Studi Organologi Keteng keteng pada Masyarakat Karo Buatan Bapak Bangun Tarigan

BAB II
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN BIOGRAFI
SINGKAT BAPAK BANGUN TARIGAN
Bab ini merupakan penjelasan tentang gambaran umum wilayah penelitian
dan biografi singkat bapak Bangun Tarigan sebagai pembuat alat musik
tradisional Karo. Wilayah yang dimaksud disini adalah bukan hanya lokasi
penelitian, tetapi lebih terfokus kepada gambaran masyarakat Karo khususnya
yang ada di Kabanjahe secara umum. Namun sebelum membahas topik tersebut,
akan diuraikan lebih dahulu sejarah singkat Kecamatan Kabanjahe.

2.1 Sejarah Singkat Kecamatan Kabanjahe
Kabanjahe adalah nama sebuah Kecamatan di Kabanjahe, Sumatera Utara
Indonesia. Kabanjahe yang juga merupakan ibu Kota Kabupaten Karo ini, secara
geografis berada di barat laut Provinsi Sumatra Utara dengan luas daerah sekitar
2.127,25 km2 dan berpenduduk sebanyak + 500.000 jiwa. Kota Kabanjahe hanya
berjarak 76 km dari pusat Kota Medan dan 10 km dari Kota Berastagi yang
berhawa sejuk dengan panorama 2 gunung api yang masih aktif, yaitu Gunung
Sinabung dan Gunung Sibayak, sering menjadi kota perlintasan para wisatawan
yang hendak ingin menikmati hawa daerah pegunungan. Kota ini pernah
menerima piala Adipura pada tahun 1996 atas Kebersihan Lingkungan dan
Kelestarian Kota. Penduduk asli Kabupaten Karo pada umumnya adalah suku

Karo atau lebih umum dikenal dengan sebutan kalak karo, juga banyak dihuni
etnis pendatang lain seperti batak toba, simalungun dan suku jawa.

10
Universitas Sumatera Utara

2.2 Letak Geografis
Secara Geografis letak Kabupaten Karo berada diantara 2⁰ 50’-3⁰ 19’
Lintang Utara dan 97⁰ 55’-98⁰ 38’ Bujur Timur dengan luas 2.127,25 KM².
Kabupaten Karo terletak pada jajaran Bukit Barisan dan sebagian besar
wilayahnya merupakan dataran tinggi. Dua gunung berapi aktif terletak di wilayah
ini sehingga rawan gempa vulkanik.
Batas-batas wilayah Kabupaten Karo adalah sebelah Utara berbatasan
dengan Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang, sebelah Selatan dengan
Kabupaten Dairi dan Kabupaten Toba Samosir, sebelah Timur dengan Kabupaten
Deli Serdang dan Kabupaten Simalungun dan Sebelah Barat dengan Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.
Ibu kota dari Kabupaten Karo adalah Kota Kabanjahe. Kota Kabanjahe
letaknya lebih kurang 1200m diatas permukaan laut, dengan temperatur 16⁰ -27⁰ .
Curah hujan terbanyak adalah 315 hari/tahun⁷ . Dengan temperatur seperti ini

maka Kabanjahe termasuk daerah yang berhawa dingin. Luas wilayah Kabanjahe
adalah sekitar 44,65Km⁷ . Jarak kota Kabanjahe dengan ibu kota propinsi
(Medan) adalah 67Km. Adapun kecamatan Kabanjahe mempunyai atau terdiri
dari 13 Desa/ Kelurahan yaitu:
1. Kelurahan/ Desa Gung Leto
2. Kelurahan/ Desa Kaban
3. Kelurahan/ Desa Kacaribu
4. Kelurahan/ Desa Kandibata
5. Kelurahan/ Desa Ketaren
6. Kelurahan/ Desa Lau Simomo

11
Universitas Sumatera Utara

7. Kelurahan/ Desa Rumah Kabanjahe
8. Kelurahan/ Desa Samura
9. Kelurahan/ Desa Sumber Mufakat
10. Kelurahan/ Desa Gung Negeri
11. Kelurahan/ Desa Kampung Dalam
12. Kelurahan/ Desa Lau Cimba

13. Kelurahan/ Desa Padang Mas
Lokasi penulis melakukan penelitian adalah di rumah Bapak Bangun Tarigan
yang terletak di Kelurahan/ Desa Kampung Dalam.

2.3 Sistem Bahasa
Bahasa yang dipergunakan dalam bahasa sehari-hari adalah bahasa Karo
(Cakap Karo), namun di Kota Kabanjahe selain bahasa Karo bahasa yang sering
dipergunakan dalam berkomunikasi adalah bahasa Indonesia, hal ini diakibatkan
karena jumlah penduduk yang semakin banyak masuk dari berbagai daerah dan
juga wisatawan yang ingin berwisata di Tanah Karo, sehingga wajar bila selain
bahasa Karo bahasa Indonesia juga kerap dipergunakan sebagai bahasa
berkomunikasi sehari-hari.

2.4 Sistem Kekerabatan
Masyarakat Karo dikenal sebagai masyarakat yang menganut sistem
kekerabatan Patrilineal, seperti yang dianut suku Batak lainnya (Simalungun,
Toba, Mandailing, Pakpak/Dairi). Dalam sistem kekerabatan ini, setiap anak yang
lahir dalam sebuah keluarga, baik laki-laki maupun perempuan, dengan sendirinya

12

Universitas Sumatera Utara

akan mengikuti garis keturunan atau marga dari ayahnya. Dengan demikian yang
dapat meneruskan marga atau silsilah ayahnya adalah anak laki-laki. Sehingga
apabila seorang anak perempuan menikah, maka anak-anak yang dilahirkannya
akan mengikuti marga suaminya. Hal ini yang membuat kedudukan seorang anak
laki-laki sangat penting dalam masyarakat Karo.
Ada beberapa struktur yang mendukung sistem kekerabatan pada
masyarakat Karo yaitu:
-

Merga Silima

-

Tutur Siwaluh

-

Rakut Sitelu


Merga Silima adalah jumlah marga (merga) yang ada pada suku Karo yaitu:
1. Karo-Karo
2. Ginting
3. Tarigan
4. Sembiring
5. Perangin-angin
Tutur Siwaluh adalah delapan unsur keturunan yang terdapat pada seorang yang
bersuku Karo (kalak Karo) yaitu.:
1. Sembuyak
2. Senina
3. Kalimbubu
4. Puang Kalimbubu
5. Puang ni Puang
6. Anak Beru

13
Universitas Sumatera Utara

7. Anak Beru Menteri

8. Anak Beru Pengapit
Tutur siwaluh inilah yang selalu dipergunakan saat suku Karo melaksanakan suatu
acara. Sebelum seseorang mengetahui dimana posisinya dalam suatu acara maka
diharuskan untuk berkenalan (Ertutur) satu sama lain, dari hasil ertutur inilah
seseorang akan tau posisinya dengan orang lain dalam adat.
Berikut ini adalah hal yang penting dipertanyakan dalam berkenalan (ertutur) :
1. Merga/Beru
Merga dalam Suku Karo dipakai oleh laki-laki, sedangkan Beru dalam
Suku Karo itu dipakai oleh perempuan. Merga/Berudalam Suku Karo diambil dari
marga keluarga ayahnya, yang dimana dalam Suku Karo itu terdapat lima marga
besar yaitu, Karo-karo, Ginting, Tarigan, Sembiring, Perangin-angin. Contoh
pemakaian Merga atau Beru: Bapak saya bermarga Karo-karo, maka saya
bermarga Karo-karo, begitu juga dengan adik perempuan saya yang mempunyai
br Karo-karo, pada perempuan beru biasanya disingkat menjadi br.
2. Bere-bere
Bere-bere yang dipakai seseorang dalam Suku Karo, berasal dari beru
yang dipakai oleh ibu. Penggunaan bere-bere dalam Suku Karo sama dengan
pemakaian Merga/berudalam seseorang, bedanya kalau Merga/beru yang
digunakan seseorang itu berasal dari Merga ayah, tetapi bere-bere dalam
seseorang itu berasal dari Beru ibu. Bere-bere dalam Rakut Sitelu disebut juga

dengan Kalimbubu Simupu. Contoh pemakaian bere-bere dalam seseorang suku
Karo: ibu saya Beru Ginting maka saya Bere-bere Ginting, begitu juga dengan
adik perempuan saya.

14
Universitas Sumatera Utara

3. Binuang
Binuang yang terdapat dalam seseorang suku Karo, berasal dari bere-bere
ayah atau dengan kata lain beru yang digunakan oleh nenek (ibu dari ayah).
Binuang dalam Rakut Sitelu disebut dengan Kalimbubu Bena-Bena. Contoh
pemakaian Binuang dalam seseorang suku Karo: ayah saya mempunyai bere-bere
Perangin-angin, maka Binuang dalam diri saya adalah Perangin-angin.
4. Kempu atau Perkempun
Kempu atau Perkempun dalam seseorang suku Karo berasal dari bere-bere
ibu atau dengan kata lain beru yang dimiliki nenek (ibu dari ibu). Kempu dalam
Rakut Sitelu disebut juga dengan Kalimbubu Singalo Perkempun. Contoh
pemakaian Kempu atau Perkempun dalam seseorang suku Karo: ibu saya
mempunyai bere-bere Karo-karo, maka Kempu atau Perkempun dalam diri saya
adalah Karo-karo.

5. Kampah
Kampah dalam seseorang suku Karo berasal dari ibu kakek, kakek yang
dimaksud adalah ayah dari ayah, atau dengan kata lain bere-bere dari kakek (ayah
dari ayah). Kampah sendiri disebut juga dengan Kalimbubu dari seseorang.
Contoh pemakaian Kampah dari seseorang suku Karo: kakek (ayah dari ayah)
mempunyai bere-bere Sebayang, maka Kampah dalam diri saya adalah Sebayang.
6. Entah
Entah dalam seseorang suku Karo berasal dari bere-bere nenek (ibu dari
ayah), atau dengan kata lain Entah adalah beru dari nini (nenek dari ayah). Entah
dalam Rakut Sitelu disebut juga dengan Puang Kalimbubu. Contoh pemakaian

15
Universitas Sumatera Utara

Entah dalam seseorang suku Karo: nenek (ibu dari ayah) saya mempunyai berebere Sembiring Keloko, jadi Entah saya adalah Sembiring Keloko.
7. Ente
Ente dalam seseorang suku Karo berasal dari bere-bere kakek (ayah dari
ibu), dalam Rakut Sitelu, Ente termasuk ke dalam Puang Kalimbubu. Contoh
pemakaian Ente dalam seseorang suku Karo: kakek (ayah dari ibu) saya
mempunyai bere-bere Tarigan , sehingga Ente saya adalah Tarigan.

8. Soler
Soler dalam seseorang suku karo berasal dari bere-bere nenek (ibu dari
ibu), yang dimana dalam Rakut Sitelu, Soler termasuk ke dalam Puang ni Puang.
Contoh pemakaian Soler dalam seseorang suku Karo: nenek (ibu dari ibu) saya
mempunyai bere-bereSembiring Depari, sehingga saya mempunyai Soler
Sembiring Depari.
Setelah berkenalan (ertutur) maka seseorang akan mengetahui dimana
posisinya dalam adat Karo
Rakut Si Telu adalah tiga kelompok yang saling mendukung pada masyarakat
Karo yaitu:
1. Sukut
2. Kalimbubu
3. Anak beru
Rakut Si Telu sangat berperan penting dalam upacara adat bagi masyarakat Karo,
jika dalam sebuah upacara adat salah satu dari Rakut Si Telu belum hadir maka
acara adat tersebut tidak dapat dimulai.

16
Universitas Sumatera Utara


2.5 Mata Pencaharian
Mata pencarian penduduk masyarakat Kecamatan Kabanjahe sebagian
besar adalah sebagai petani meskipun ada beberapa sebagai PNS/ABRI,
pengusaha, pedagang serta karyawan swasta. Disamping itu penduduk juga
mempunyai pekerjaan sambilan yaitu memelihara ternak ayam, lembu, kerbau,
kambing, kelinci serta kolam ikan untuk menambah pendapatan.
Banyaknya orang yang bekerja sebagai petani dan beternak tak lepas dari
kondisi alam yang subur dan curah hujan yang tinggi. Hasil pertanian yang
menonjol adalah sayur mayur, buah-buahan, bunga-bungaan, dan palawija
lainnya.
Tabel 2.1
Mata Pencaharian di Kecamatan Kabanjahe
No.

Mata Pencaharian

Jumlah

1


Pertanian

14.463

2

Industri Rumah Tangga

667

3

PNS/ABRI

3.953

4

Lainnya

5.001

Jumlah Keseluruhan

24.084

Sumber: Kecamatan Kabanjahe Dalam Angka, Tahun 2014

2.6 Sistem Kepercayaan
Sebelum menganut agama seperti pada saat sekarang ini, masyarakat Karo
menganut kepercayaan yang disebut pemena. Pemena mempercayai adanya
penciptaan alam semesta yang disebut Dibata Kaci-Kaci atau lebih dikenal

17
Universitas Sumatera Utara

dengan nama Tonggal Sinasa. Masyarakat Karo juga mempercayai adanya tiga
alam yaitu Banua Datas (alam bagian atas yang dikuasai oleh Dibata Datas yang
bernama Ompung Utara Diatas), Banua Teruh (alam yang dikuasai oleh Dibata
Teruh yang bernama Panglima Doukah Ni Haji), dan Banua Tengah (alam yang
dikuasai oleh Dibata Tengah yang bernama Beru Noman Kaci-Kaci).
Dibata ini disembah agar manusia mendapatkan keselamatan, jauh dari
marabahaya dan mendapatkan kelimpahan rezeki. Mereka pun percaya adanya
tenaga gaib yaitu berupa kekuatan yang berkedudukan di batu-batu besar, kayu
besar, sungai, gunung, gua, atau tempat-tempat lain. Tempat inilah yang
dikeramatkan dan apabila tenaga gaib yang merupakan kekuatan perkasa dari
maha pencipta, dalam hal ini Dibata yang menguasai baik alam raya/langit,
dunia/bumi, ataupun di dalam tanah disembah maka permintaan akan terkabul.
Karena itu masyarakat yang berkepercayaan demikian melakukan berbagai variasi
untuk melakukan penyembahan.
Ada beberapa upacara ritual yang dilaksanakan masyarakat Karo secara
umum, yang bersifat mistis (gaib) sesuai dengan kepercayaan zaman dahulu,
yaitu:
1. Perumah Begu yaitu upacara pemanggilan arwah seseorang yang sudah
meninggal melalui media Guru Sibaso (dukun)
2. Raleng Tendi/ Ndilo Tendi yaitu upacara memanggil jiwa (tendi) yang tersesat,
dilakukan apabila seseorang terkejut karena mengalami suatu kejadian, baik
karena pengelihatan, pendengaran atau jatuh, hanyut, dan lain-lain. Dimana tendi
tersebut akan meninggalkan tubuhnya karena terkejut.

18
Universitas Sumatera Utara

3. Nengget adalah upacara yang ditujukan pada pasangan suami istri yang setelah
sekian tahun berumah tangga namun belum memiliki anak.
4. Ngarkari ialah upacara menghindari suatu kemalangan yang dialami oleh suatu
keluarga dimana Guru Sibaso berperan penting dalam upacara ritual.
5. Perselihi ialah upacara pengobatan suatu penyakit seseorang, untuk
memperoleh kesembuhan dan untuk menghindari penyakit menjadi semakin
parah.
6. Ngulaken adalah upacara yang dilaksanakan karena suatu penyakit yang
sengaja dibuat oleh seseorang untuk menyerang orang lain hingga orang tersebut
jatuh sakit. Orang yang sakit tersebut meminta kepada guru sibaso untuk
memantulkan penyakit tersebut kepada si pembuatnya.
7. Erpangir Ku Lau adalah upacara untuk membersihkan diri seseorang atau
keluarga secara keseluruhan, menghilangkan kesulitan, malapetaka, dan lainnya.
8. Ndilo Wari Udan adalah upacara untuk memanggil turunnya hujan kepada
Tuhan agar kemarau tidak berkepanjangan.
9. Njujungi Beras Piher adalah suatu upacara selamatan dan doa agar seseorang
tersebut dapat diberikan keteguhan iman, berkat, dan lain-lain.
10. Guro-Guro Aron yaitu pesta yang dilakukan oleh masyarakat desa setahun
sekali. Guro-guro Aron adalah ungkapan rasa syukur atas pertanian yang
dilaksanakan dalam waktu setahun telah membuahkan hasil yang melimpah,
sehingga masyarakat desa berinisiatif untuk melakukan pesta syukuran.
Seiring berjalannya waktu masyarakat Karo secara perlahan-lahan mulai
meninggalkan kepercayaan tersebut, walaupun masih ada beberapa ritual yang
masih dilaksanakan. Begitu juga dengan masyarakat Karo di Kecamatan

19
Universitas Sumatera Utara

Kabanjahe, saat ini masyarakat Karo di Kabanjahe telah memeluk agama yang
berkembang dan diakui oleh negara, rumah ibadah juga telah banyak berdiri di
Kecamatan Kabanjahe.
Tabel 2.2 Jumlah Pemeluk Agama di Kecamatan Kabanjahe
NO

Agama

Jumlah

1

Islam

18.643

2

Kristen Protestan

37.669

3

Kristen Katolik

8.485

4

Hindu

0

5

Budha

831

Jumlah

65.628

Sumber: Kecamatan Kabanjahe Dalam Angka, Tahun 2014
2.7 Sistem Kesenian
Kesenian adalah merupakan ekspresi perasaan manusia terhadap
keindahan, dalam kebudayaan suku-suku bangsa yang pada mulanya bersifat
deskriptif (Koentjaraningrat, 1980:395-397). Begitu juga dengan masyarakat
Karo, mereka memiliki beragam kesenian dalam kehidupan masyarakatnya.
2.7.1 Seni Musik (gendang)
Dalam masyarakat Karo istilah musik disebut dengan gendang. Terdapat
dua ensambel musik yang dipakai di masyarakat Karo, yaitu ensambel gendang
lima sendalanen dan ensambel gendang telu sendalanen. Ensambel gendang lima
sendalanen terdiri dari sarune, gendang singindungi, gendang singanaki,
penganak dan gung, sedangkan ensambel gendang telu sendalanen terdiri dari
balobat/kulcapi, keteng-keteng, dan mangkuk mbentar.

20
Universitas Sumatera Utara

2.7.2

Seni Tari (landek)
Dalam masyarakat Karo istilah tari disebut juga dengan landek, menurut

masyarakat Karo, masing-masing gerakan tari (landek) selalu berhubungan
dengan perlambangan tertentu. Salah satu tarian masyarakat Karo adalah tari Lima
Serangkai.
2.7.3

Seni Bela Diri (ndikar)
Ndikar adalah seni bela diri tradisional dari daerah Karo, dalam

prakteknya ndikar sering juga dianggap sebagai tari-tarian karena dalam setiap
penampilannya dalam acara-acara tertentu pertunjukan ndikar kerap diiringi
dengan musik tradisional Karo.
2.7.4

Seni Ukir
Masyarakat Karo banyak membuat ukiran-ukiran ornamen di dalam

kehidupan sehari-harinya, masyarakat juga percaya kalau ukiran tersebut
mempunyai kekuatan mistis. Secara garis besar ada empat tempat dimana karya
seni ini biasa ditempatkan, antara lain:
Berikut adalah beberapa contoh ornamen yang ada pada masyarakat Karo.

1. Ampik-Ampik
Motif
Bunga

:

Terdiri dari bermacam-macam motif yang bergabung yaitu:

Gundur, Duri Ikan, Tempune-tempune, Pakau-pakau, Anjak-anjak beru

Ginting dan Pancung-pancung Cekala.
Fungsi

:

Tolak bala / hiasan

21
Universitas Sumatera Utara

Tempat

:

Pada anyaman ayo-ayo rumah adat

2. Tapak Raja Sulaiman
Motif

:

Geometris

Fungsi

:

Tolak bala

Tempat

:

Melmelen, Ukat, Gantang beru-beru, Buku Pustaka

3. Bindu Matagah
Motif

:

Geometris

Pelambang

:

Tolak bala

Tempat

:

Melmelen, Ukat, Gantang beru-beru, Buku Pustaka

Motif

:

Geometris

Pelambang

:

Tolak bala, Ngenen gerek-gereken

Tempat

:

Kalung anak-anak, Buku Pustaka, dll

4. Pahai

22
Universitas Sumatera Utara

5. Bindu Matoguh
Motif

:

Geometris

Pelambang

:

Tolak bala

Tempat

:

Melmelen, Ukat, Gantang beru-beru, dll

6. Lukisan Suki
Motif

:

Geometris

Pelambang

:

Hiasan

Tempat

:

Ujung kiri dan kanan Melmelen

7. Ukiran Piso Tumbuk Lada

23
Universitas Sumatera Utara

2.8 Biografi Bangun Tarigan
Biografi berasal dari bahasa Yunani, yaitu bios yang berarti hidup, dan
graphien yang berarti tulis. Dengan kata lain biografi merupakan tulisan tentang
kehidupan seseorang. Biografi dapat berbentuk beberapa baris kalimat saja,
namun juga dapat berupa lebih dari satu buku. Biografi menganalisa dan
menerangkan kejadian-kejadian dalam hidup seseorang.
Biografi yang dibahas disini hanyalah berupa biografi ringkas, artinya
hanya memuat hal-hal yang umum mengenai kehidupan bapak Bangun Tarigan
dimulai dari masa kecil hingga saat ini. Biografi yang dibahas disini adalah hasil
wawancara langsung dengan beliau.
2.8.1 Latar Belakang Keluarga
Bangun Tarigan lahir di Desa Sarimunte, Kecamatan Munte, Kabupaten
Karo pada tanggal 8 bulan 2 tahun 1963. Ayah Bangun Tarigan bernama Hidup
Tarigan dan Ibu Bangun Tarigan bernama Limun br Sembiring dari pernikahan
tersebut mereka memiliki 5 anak yaitu, Andel br Tarigan, Lengkap br Tarigan,
Arus br Tarigan, Cepat br Tarigan dan Bangun Tarigan. Bangun Tarigan
merupakan anak laki-laki satu-satunya.
Orang tua beliau bekerja sebagai petani di Desa Sarimunte. Seperti anakanak kecil lainnya di Tanah Karo, pada saat itu beliau sering bermain-main
dengan anak sebayanya dan pergi ke ladang membantu orang tua.
2.8.2 Latar Belakang Pendidikan
Beliau mengikuti pendidikan sekolah dasar di SD Negeri Sarimunte pada
saat berumur 6 tahun. Tanggal 1 desember 1975 beliau lulus dari SD Negri
Sarimunte melanjutkan pendidikan ke SMP Masehi Kabanjahe, dan disinilah

24
Universitas Sumatera Utara

beliau banyak belajar tentang alat musik tradisional Karo karena pada saat itu
kepala sekolah SMP Masehi yang bernama M.Tarigan senang sekali mengajarkan
banyak seni-seni kebudayaan Karo seperti landek, rende, vokal group, dan juga
memainkan alat musik balobat dan keteng-keteng dengan memainkan 1 buah lagu
yang masih diingat oleh beliau yaitu lagu tading maham botol. Setelah lulus dari
SMP Masehi Kabanjahe pada tanggal 5 mei 1979 beliau melanjutkan sekolahnya
ke jenjang menengah atas yaitu SMA Kristen Sada Medan dan kemudian lulus
pada tanggal 6 mei 1982.
Setelah lulus dari SMA beliau kemudian kuliah di Universitas Sumatera
Utara, Fakultas Sastra, jurusan Etnomusikologi. Di Etnomusikologi beliau banyak
belajar tentang musik-musik tradisional namun beliau lebih menggeluti musik
tradisional Karo. Beliau mulai belajar membuat keteng-keteng sejak berada di
kelas 2 sekolah menengah pertama, yang bisa dikatakan masih jauh dari kata
sempurna. Namun saat kuliah di semester 8, dengan mata kuliah workshop, yang
mempelajari tentang bagaimana teknik membuat alat musik keteng-keteng, yang
dibawakan oleh dosen Endosuanda, beliau mampu membuat keteng-keteng
dengan bentuk dan suara yang lebih bagus.
Pada tahun 1991 beliau ikut bermain kulcapi dan surdam dalam acara
musik North of Sumatera oleh KIAS ( Kebudayaan Indonesia Amerika Serikat)
yang dipimpin oleh bapak Rizaldi Siagian.
Dan beliau akhirnya mendapatkan gelar sarjananya pada tanggal 22 januari
1994.

25
Universitas Sumatera Utara

2.8.3 Masa Berumah Tangga
Bapak Bangun Tarigan menikah pada tahun 1984 saat berusia 21 tahun
dengan masih mengikuti kuliah di Etnomusikologi semester 4. Beliau menikah
dengan Nemi br Gurusinga. Dari pernikahan ini beliau dan istrinya dikaruniai satu
orang anak yaitu, Trisuci Ria br Tarigan. Namun hubungan pernikahan tersebut
tidak berjalan dengan baik, maka pada tahun 1990 beliau kembali menikah
dengan Ibu Nari br Surbakti. Dari pernikahan itu mereka di karuniai empat orang
anak, satu orang anak perempuan dan tiga orang anak laki-laki yaitu:
1. Nopri Deliana br Tarigan
2. Pridonta Tarigan
3. Remando Tarigan
4. Jejoredo Tarigan

2.8.4 Bangun Tarigan Sebagai Seniman Karo
Sejak kecil Bangun Tarigan memang sudah memiliki keterampilan dalam
bidang seni terutama dalam memainkan alat musik tradisional Karo. Alat musik
keteng-keteng dan balobat sudah biasa dibuat dan dimainkan oleh beliau sejak
masih kecil. Beliau belajar dari banyak orang di sekelilingnya termasuk yang
paling berperan adalah kepala sekolah beliau saat masih bersekolah di SMP
Masehi Kabanjahe, kepala sekolah tersebut banyak mengajarkan cara-cara
memainkan dan membuat alat musik tradisional Karo.
Pada tahun 1986 beliau mempelajari alat musik Karo seperti gung,
penganak, kulcapi, surdam, dan gendang yang diajarkan oleh almarhum Bapak
Jasa Tarigan, dan pada saat itu beliau merupakan pemukul penganak dan gung

26
Universitas Sumatera Utara

untuk mengisi acara-acara pernikahan, kematian, dan gendang guro-guro aron.
Kemudian pada tahun 1990 beliau mendalami permainan kulcapi Karo dari
almarhum Bapak Tukang Ginting.
Bangun Tarigan telah mengisi berbagai macam acara dalam permusikan di
Tanah Karo mulai dari tahun 1986 sampai dengan sekarang, beliau juga banyak
memberikan pembelajaran dan semangat untuk generasi-generasi muda agar tidak
melupakan musik tradisional Karo.

27
Universitas Sumatera Utara