Solidaritas Kekerabatan Pada Masyarakat Jawa Perantauan (Studi Deskriptif Di Kelurahan Sawit Seberang, Kecamatan Sawit Seberang, Kabupaten Langkat)

(1)

SOLIDARITAS KEKERABATAN

PADA

MASYARAKAT JAWA PERANTAUAN

(STUDI DESKRIPTIF DI KELURAHAN SAWIT SEBERANG, KECAMATAN

SAWIT SEBERANG, KABUPATEN LANGKAT)

Disusun oleh:

Anna Asnidar

030905034

JURUSAN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

KATA PENGANTAR

Terlebih dahulu saya panjatkan Syukur Alhamdulillah ke hadirat ALLAH SWT, karena atas karunia dan keridhaan-Nyalah Skripsi yang berjudul ”Solidaritas Kekerabatan Pada Masyarakat Jawa Perantauan” (Studi deskriptif Di Kelurahan Sawit Seberang, Kecamatan Sawit Seberang, Kabupaten Langkat)”

ini dapat selesai. Salawat beriring salam kita sampaikan kepada junjungan besar kita Nabi Muhammmad SAW beserta keluarga dan juga para sahabat-sahabatnya, semoga kelak kita mendapatkan safaatnya. Tulisan ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Antropologi Fakultas Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Saya menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, maka untuk penyempurnaannya saya mengharapkan kritik-kritik yang bersifat membangun dari para pembaca guna lebih menyempurnakan skripsi ini. Semoga Allah SWT meridhoi isi skripsi ini sehingga bermanfaat bagi kita semua.

Dalam penyelesaiaan skripsi ini dari awal hingga selesai, saya telah melibatkan berbagai pihak. Untuk itu saya ingin menghaturkan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Prof, Dr. M. Arif Nasution, MA Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik yang telah memberikan andil selama mengikuti perkuliahan dan berbagai kebijaksanaan untuk mempermudah penyelesaiaan skripsi ini.

2. Bapak Drs. Zulkifli Lubis, MA selaku dosen wali dan ketua Departemen Antropologi pada Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik.


(3)

3. Bapak Drs. Agustrisno selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan arahan dan masukan selama penulisan skripsi ini.

4. Bapak Drs. Zulkifli, MA selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan dan petunjuk kepada penulis.

5. Para dosen Antropologi yang telah membekali, mengarahkan dan membimbing saya selama mengikuti perkuliahan di Departemen Antropologi sehingga selesainya skripsi ini.

6. Seluruh staff pegawai Fakultas Ilmu Sosial Dan ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Syahrial, Ssos selaku Lurah di Kelurahan Sawit Seberang yang telah memberikan kemudahan dalam penelitian ini.

8. Spesial penghargaan, terima kasih dan rasa cinta yang sebesar-besarnya saya persembahkan untuk kedua orang tua saya yaitu Ayahanda Anzar Ali dan Ibunda Darnilla, serta adik-adik ku tercinta Nuzul, Pipi, Wita dan Han yang telah memberikan do’a restu serta dorongan semangat untuk dapat menyelesaikan skripsi ini sehingga dapat meraih gelar sarjana.

9. Dan tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada keluarga besar saya yang ada di Tapaktuan, Aceh Selatan. Terima kasih atas do’a restu dan dorongan semangatnya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.

10.Buat sahabat-sahabat saya di Departemen Antropologi khususnya Angkatan ’03. Dan spesial to My Best Friend’s Rese’ n’ Anne, terimakasih atas semangat dan saran-sarannya.


(4)

11.Dan tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada anak-anak kost “Kamboja 50” yang telah memberikan dorongan dan semangat kepada saya. Dan selama ini telah berbagi suka dan duka bersama-sama.

Semoga Allah SWT selalu memberikan Rahmat dan Karunia-Nya Kepada kita semua di dunia maupun akhirat.

Medan, Agustus 2007


(5)

DAFTAR ISI

HALAMAN

KATA PENGANTAR……… i

DAFTAR ISI……….. iv

DAFTAR TABEL……….. vii

ABSTRAKSI……….. viii

BAB I : PENDAHULUAN……… 1.1. Latar belakang masalah…………...……… 1

1.2. Rumusan masalah………...………. 8

1.3. Lokasi penelitian………...………... 8

1.4. Tujuan dan manfaat penelitian………..….. 9

1.5. Tinjauan pustaka……….. 10

1.6. Metode penelitian………. 16

1.6.1. Teknik observasi ……… 16

1.6.2. Teknik wawancara……….. 16

1.6.3. Penentuan informan……… 18

1.7. Teknik dan analisa data………. 18

BAB II : GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN……….. 2.1. Sejarah desa……… 20

2.1.2. Lokasi dan keadaan alam……….. 22


(6)

2.2.1. Jumlah penduduk berdasarkan umur dan jenis kelamin…… 24

2.2.1.a. Jumlah penduduk berdasarkan umur………. 24

2.2.1.b. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin………. 25

2.2.2. Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan………… 26

2.2.3. Jumlah penduduk berdasarkan suku bangsa……….. 29

2.2.4. Jumlah penduduk berdasarkan agama……… 30

2.2.5. Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian………….. 31

POLA PEMUKIMAN……… 32

2.3. Aktivitas sosial budaya masyarakat………. 34

2.4. Sarana dan prasarana……… 35

2.4.1. Sarana transportasi………. 36

2.4.2. Sarana pendidikan………. 37

2.4.3. Sarana peribadatan………. 37

2.4.4. Sarana kesehatan……… 37

2.4.5. Sarana komunikasi………. 38

2.5. Sistem kemasyarakatan……… 38

2.5.1. Sistem kekerabatan……… 38


(7)

BAB III : SOLIDARITAS KEKERABATAN DALAM BERBAGAI KEGIATAN SLAMETAN……….

3.1. Slametan pada masyarakat Jawa………. 41

3.1.1. Solidaritas kekerabatan dalam slametan perkawinan….... 44

3.1.2. Solidaritas kekerabatan dalam slametan khitanan.……… 46

3.1.3. Solidaritas kekerabatan dalam slametan pertanian……… 50

3.1.4. Solidaritas kekerabatan dalam slametan kematian……… 54

3.1.5. Solidaritas kekerabatan dalam slametan bersih desa dan slametan selingan……….. 58

BAB IV: SOLIDARITAS KEKERABATAN DALAM UPACARA PERKAWINAN PADA MASYARAKAT JAWA PERANTAUAN……… 4.1. Solidaritas kekerabatan dalam slametan perkawinan………….. 61

4.1.1. Memilih jodoh……… 63

4.1.2. Pinangan dan pertunangan………..…….. 65

4.1.3. Anteran dan srah-srahan………..…………..……… 69

4.1.4. Siraman………. 71

4.1.5. Malam midodaerni……… 73

4.1.6. Ijab……… 74

4.1.7. Ketemuan dan panggih………. 75 4.2. Perubahan solidaritas kekerabatan dalam Upacara perkawinan… 80


(8)

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN……….

5.1. Kesimpulan……… 84

5.2. Saran.………. 85

DAFTAR INTERVIEW GUIDE……….. 86

DAFTAR INFORMAN……… 87

DAFTAR PUSTAKA……… 89 DAFTAR FOTO………... LAMPIRAN………..


(9)

DAFTAR TABEL

TABEL HALAMAN 2.2.1.a. JUMLAH PENDUDUK BERDASARKAN UMUR 24 2.2.1.b. JUMLAH PENDUDUK BERDASARKAN JENIS KELAMIN 25 2.2.2. JUMLAH PENDUDUK BERDASARKAN PENDIDIKAN 28 2.2.3. JUMLAH PENDUDUK BERDASARKAN SUKU BANGSA 29 2.2.4. JUMLAH PENDUDUK BERDASARKAN AGAMA 30


(10)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berhubungan dengan masalah perubahan solidaritas kekerabatan masyarakat Jawa di perantauan, dengan fokus kajian pada aktivitas acara slametan dan perkawinan dengan mengambil lokasi kajian di Kelurahan Sawit Seberang Kabupaten Langkat. Pendekatan yang digunakan ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan alat pengumpul data melalui wawancara dan observasi lapangan.

Hasil yang diperoleh di lapangan memperlihatkan bahwa solidaritas kekerabatan masyarakat Jawa di perantauan telah mengalami perubahan khususnya dalam proses pelaksanaan acara slametan dan upacara perkawinan. Hal ini di sebabkan oleh beberapa faktor antara lain; adanya rasa individualisme dan tingkat pendidikan.

Perubahan yang diakibatkan oleh kesemua faktor ini pada aktivitas acara slametan dan upacara perkawinan, terlihat dalam aktivitas pemberian hadiah yang dahulu diberikan dalam bentuk makanan, dan pada saat sekarang ini berubah menjadi lebih praktis yaitu dalam bentuk uang.

Selain itu perubahan juga terjadi pada acara slametan yang dulunya masih sering dilakukan oleh masyarakat Jawa, namun pada saat sekarang mulai jarang dilakukan. Dengan berubahnya aktivitas kekerabatan masyarakat Jawa perantauan, khususnya dalam aktivitas slametan dan upacara perkawinan tersebut mengakibatkan nilai solidaritas itu juga mulai bergeser. Sebab rasa solidaritas yang menyebabkan bersatunya suatu kelompok suku bangsa adalah rasa solidaritas yang tinggi pada setiap warganya.


(11)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berhubungan dengan masalah perubahan solidaritas kekerabatan masyarakat Jawa di perantauan, dengan fokus kajian pada aktivitas acara slametan dan perkawinan dengan mengambil lokasi kajian di Kelurahan Sawit Seberang Kabupaten Langkat. Pendekatan yang digunakan ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan alat pengumpul data melalui wawancara dan observasi lapangan.

Hasil yang diperoleh di lapangan memperlihatkan bahwa solidaritas kekerabatan masyarakat Jawa di perantauan telah mengalami perubahan khususnya dalam proses pelaksanaan acara slametan dan upacara perkawinan. Hal ini di sebabkan oleh beberapa faktor antara lain; adanya rasa individualisme dan tingkat pendidikan.

Perubahan yang diakibatkan oleh kesemua faktor ini pada aktivitas acara slametan dan upacara perkawinan, terlihat dalam aktivitas pemberian hadiah yang dahulu diberikan dalam bentuk makanan, dan pada saat sekarang ini berubah menjadi lebih praktis yaitu dalam bentuk uang.

Selain itu perubahan juga terjadi pada acara slametan yang dulunya masih sering dilakukan oleh masyarakat Jawa, namun pada saat sekarang mulai jarang dilakukan. Dengan berubahnya aktivitas kekerabatan masyarakat Jawa perantauan, khususnya dalam aktivitas slametan dan upacara perkawinan tersebut mengakibatkan nilai solidaritas itu juga mulai bergeser. Sebab rasa solidaritas yang menyebabkan bersatunya suatu kelompok suku bangsa adalah rasa solidaritas yang tinggi pada setiap warganya.


(12)

B A B I

P E N D A H U L U A N

1.1. Latar belakang masalah.

Masyarakat adalah sekumpulan individu-individu yang saling berinteraksi satu sama lain, oleh karenanya dalam suatu masyarakat terdapat kelompok-kelompok yang berbeda antara satu dengan kelompok yang lain.

Perbedaan kelompok dan kualitas individu yang ada dalam masyarakat tersebut, mengakibatkan munculnya ketertiban, keselarasan dan rasa solidaritas diantara sesama. Solidaritas dalam konteks penelitian ini adalah keterikatan erat antara individu yang satu dengan individu yang lain pada situasi sosial tertentu.

Solidaritas yang muncul dalam setiap kelompok masyarakat disebabkan adanya beberapa persamaan, seperti persamaan kebutuhan, keturunan, dan tempat tinggal. Oleh karena itu solidaritas menurut Doyle (1986:181) menunjuk pada suatu hubungan antara individu atau kelompok berdasarkan perasaan moral dan kepercayaan yang dianut dan di perkuat oleh pengalaman emosional bersama, ikatan ini lebih mendasar daripada hubungan kontraktual yang dibuat atas persetujuan rasional.

Setiap individu yang terikat dalam suatu ikatan solidaritas kelompok masyarakat, memiliki kesadaran kolektif yang sama. Kesadaran kolektif adalah keseluruhan keyakinan dan perasaan yang membentuk sistem tertentu dan dimiliki bersama. Kesadaran kolektif memiliki sifat sakral karena mengharuskan rasa hormat


(13)

dan ketaatan, hal tersebut dapat tercipta dengan baik apabila prilaku individu dalam kelompok masyarakat telah sesuai dengan sistem yang ada. Khaldun (dalam Soekanto. 1990:26).

Solidaritas dalam bentuk keterkaitannya sering muncul dalam aktivitas gotong royong, menurut Koentjaraningrat (1961: 2), gotong royong adalah kerjasama diantara anggota-anggota suatu komunitas. Lebih lanjut gotong royong dapat di golongkan kedalam tujuh jenis, yakni: Pertama. Gotong royong yang timbul bila ada kematian atau beberapa kesengsaraan lain yang menimpa penghuni desa. Kedua. Gotong royong yang dilakukan oleh seluruh penduduk desa. Ketiga. Gotong royong yang terjadi bila seorang penduduk desa menyelenggarakan suatu pesta. Keempat. Sistem gotong royong yang dipraktekkan untuk memelihara dan membersihkan kuburan nenek moyang. Kelima. Gotong royong dalam membangun rumah. Keenam. Gotong royong dalam pertanian. Ketujuh. Gotong royong yang berdasarkan pada kewajiban kuli dalam menyumbangkan tenaga manusia untuk kepentingan masyarakat (Koentjaraningrat, 1997: 32-33).

Aktivitas gotong royong ini sering dijumpai di setiap daerah yang masing-masing memiliki latar kebudayaan yang berbeda-beda. Salah satunya adalah kelompok masyarakat Jawa pedesaan, hubungan sosial desa di Jawa sebagian besar berdasarkan sistem gotong royong, walaupun gotong royong tidak terbatas pada hubungan keluarga saja, namun sistem itu oleh kelompok masyarakat desa di Jawa dipahami sebagai perluasan hubungan kekerabatan yang mempunyai pengaruh kuat atas seluruh kompleks hubungan interpersonal di seluruh desa.


(14)

Seperti halnya kehidupan kelompok masyarakat desa di Jawa, gotong royong merupakan suatu sistem pengerahan tenaga kerja tambahan dari luar kalangan keluarga, untuk mengisi kekurangan tenaga pada masa-masa sibuk dalam aktivitas pertanian di sawah, dengan adat sopan santun seorang petani meminta penduduk di desanya untuk dapat membantunya dalam memanenkan hasil pertanian padi di sawahnya. Sebagai imbalan bagi tenaga petani tersebut, cukup disediakan makan siang setiap hari kepada penduduk desa yang datang untuk membantu selama pekerjaannya berlangsung (Koentjaraningrat, 1993: 57).

Hukum adat di Jawa menuntut setiap laki-laki bertanggung jawab terhadap keluarganya dan masih dituntut untuk bekerja membantu kerabat lain dalam hal-hal tertentu seperti mengerjakan tanah pertanian, membuat rumah, memperbaiki jalan desa, membersihkan lingkungan perkuburan dan yang lainnya. Semboyan saiyeg saeka praya atau gotong royong merupakan rangkain hidup tolong menolong sesama warga. Kebudayaan yang mereka bangun adalah hasil adaptasi dari alam sehingga dapat menciptakan pondasi yang kuat dan mendasar pada sistem kebudayaan tersebut.

Di daerah Jawa pesta-pesta mendapat bantuan dari tetangga, saudara-saudara dan dari desa-desa lain secara spontan dengan tidak mengharapkan balasan apapun dari apa yang telah mereka berikan, karena mereka langsung menikmati keramaian dan menikmati makanan itu secara bersama-sama. Akan tetapi akhir-akhir ini bantuan yang diberikan (gotong royong) jarang dilakukan dalam acara pesta perkawinan, banyak desa-desa di Jawa dimana setiap kelompok masyarakatnya sudah memperhitungkan dengan seksama akan keuntungan dan kerugian mengenai bantuan-bantun yang akan diberikan, lebih besar pesta yang diadakan dengan mengundang


(15)

tamu-tamu dari desa lain dan dari kota maka lebih besar pula keuntungan yang mereka peroleh, dan mereka yang telah menerima sumbangan tidak akan melupakan mereka yang telah memberi sumbangan (Koentjaraningrat, 1961: 38).

Interaksi yang terjadi karena adanya pergaulan, pada dasarnya dapat dilihat apabila terjadi hubungan-hubungan kerjasama antara individu-individu, kelompok dengan kelompok, individu dengan kelompok sesuai dengan status dan peranannya yang mungkin terjadi dalam peristiwa bertemu, berbicara, makan bersama dalam pekerjaan, upacara dan sebagainya.

Kesemuanya itu dapat terwujud apabila adanya rasa solidaritas yang tinggi antar warga di lingkungan tersebut. Namun dengan seiring berjalannya waktu, rasa solidaritas kekerabatan dalam etnis Jawa khususnya Jawa perantaun yang dulunya sangat terasa kini mulai berkurang.

Masalah terbesar di desa Jawa sekarang adalah pertambahan penduduk. Karena tanah pertanian baru tidak mungkin dicari lagi, maka luas bidang tanah yang dikuasai masing-masing keluarga terus menerus menyusut. Di zaman dulu setiap warga desa laki-laki terjamin kemungkinannya untuk bekerja di sawah melalui suatu sistem kompleks untuk menyewakan tanah dan mengikut sertakan orang pada waktu panen. Sistem ini sekarang sudah mulai hilang, usaha-usaha intensifikasi pertanian yang padat modal memaksa petani yang lebih miskin untuk menyerahkan tanah mereka kepada petani yang lebih kaya supaya dapat membayar utang-utang mereka, sedangkan bagi buruh tani tanpa tanah, kemungkinan untuk menemukan pekerjaan di bidang pertanian semakin kecil. Sebagai akibatnya, arus perpindahan penduduk ke kota-kota besar semakin deras (Franzs M.S. 1983: 19-20).


(16)

Selain faktor pendorong diatas, terjadinya arus urbanisasi dari desa ke kota disebabkan adanya kemiskinan di daerah pedesaan dan hal ini juga dikarenakan cepatnya pertambahan penduduk di desa, sehingga menimbulkan ketimpangan dalam perimbangan antara jumlah penduduk dengan luasnya lahan pertanian. Selain itu terdesaknya pengolahan lahan pertanian secara manual disebabkan adanya alat-alat mekanikal yang didatangkan dari kota, sektor industri kerajinan rumah tangga juga mulai didominasi oleh produk industri modern.

Untuk menanggulangi hal tersebut, maka diadakan program pemindahan penduduk dari pulau Jawa ke pulau Sumatera yang pertama kali diadakan pada zaman penjajah Belanda. Pemindahan penduduk dari pulau Jawa ke Sumatera ini merupakan program pemindahan tenaga kerja yang diikat dengan perjanjian kerja untuk daerah-daerah perkebunan yang dikenal dengan sebutan kuli kontrak.

Pemindahan penduduk dari daerah pulau Jawa yang sudah padat itu baik secara paksaan maupun secara sukarela sudah mulai terjadi sejak tahun 1870-an. Sejak itu banyak orang Jawa mulai dipindahkan dari kampung halamannya sebagai buruh kontrak ke perkebunan-perkebunan yang ada di Sumatera. Mayoritas buruh kontrak dari pulau Jawa tersebut setelah bertransmigrasi ke perkebunan itu tetap tinggal sebagai buruh perkebunan yang terus berlanjut dari satu generasi kegenerasi berikutnya.

Jika dilihat pada kelompok masyarakat Jawa perantauan di daerah Sawit Seberang hubungan sosial kelompok masyarakatnya akan tampak dalam aktivitas sosial maupun dalam aktivitas keagamaan. Kelompok masyarakat Jawa perantauan di Sawit Seberang ini memiliki hubungan kekerabatan, hubungan kekerabatan ini tidak


(17)

hanya karena adanya ikatan darah ataupun perkawinan tetapi juga karena pernah saling bertetangga dan menjadi sangat akrab sehingga mereka mengaku bersaudara. Ataupun hubungan saudara karena orang tua mereka dahulu satu kapal ketika mereka bermigrasi dari pulau Jawa, yang umumnya disebut dulur sak kapal. Hubungan ini akan membuat mereka akan segera datang menghadiri apabila ada yang mengadakan pesta ataupun mengalami musibah.

Kelompok masyarakat Jawa perantauan di Sawit Seberang ini mayoritas bekerja sebagai karyawan pabrik, walupun mereka sama-sama karyawan tetapi ada perbedaan dalam status sosial ekonomi. Perbedaan ini menyebabkan timbulnya persaingan, hal ini dapat dilihat dalam hal cara berpakaian, dalam hal perabotan rumah tangga, serta alat transportasi seperti sepeda motor yang dianggap dapat mengangkat prestise mereka. Walaupun kelompok masyarakat Jawa perantauan di kelurahan sawit seberang ini masih sering melakukan aktivitas sosial di lingkungan mereka namun intensitas mereka dalam melaksanakan aktivitas sosial tersebut sudah mulai berkurang

Perubahan dan hilangnya rasa solidaritas kekerabatan yang pada umumnya melekat erat pada setiap kelompok masyarakat di Indonesia ini tidak hanya terjadi pada kelompok masyarakat Jawa saja. Namun juga terjadi di beberapa daerah seperti di daerah Simalungun, solidaritas kekerabatan dalam berbagai aktivitas gotong royong sudah mulai berubah contohnya dalam aktivitas pertanian, sejak tahun 80-an seseorang yang akan memanen hasil sawah harus menyewa pekerja untuk mengerjakan sawahnya dan membayar upah pekerja tersebut menurut bayaran yang sudah ditetapkan berdasarkan lamanya waktu kerja.


(18)

Pada aktivitas persiapan pesta juga sudah terjadi pergeseran ini terbukti dari data yang didapat bahwa kelompok masyarakat Simalungun sudah memakai sistem memesan makanan yang diperlukan untuk pesta. Sedangkan dahulu sebelum tahun 90-an makanan yang untuk pesta dikerjakan oleh kelompok masyarakat setempat dengan cara gotong royong. Para kerabat dan tetangga terdekat hadir kerumah kerabat pelaksana pesta pada malam sebelum hari pesta tersebut berlangsung. Mereka saling bekerja sama, ada yang mengerjakan bumbu-bumbu masakan, ada yang membereskan peralatan pesta, misalnya mempersiapkan piring, gelas dan lain sebagainya. Kemudian esok harinya mereka masih bergotong royong mulai dari memasak sampai usainya pesta tersebut yang biasanya berlangsung sampai sore bahkan malam hari (Julia Saragih. 1998: 17-18).

Adanya perubahan-perubahan tersebut mengakibatkan penelitian ini terfokus pada pengamatan solidaritas kekerabatan khususnya pada etnis Jawa yang ada di perantauan.


(19)

1.2. Rumusan Masalah.

Berdasarkan dari latar belakang penelitian sebagaimana yang telah di kemukakan sebelumnya, secara khusus penelitian ini akan berusaha membahas permasalahan tentang solidaritas kekerabatan khususnya etnis Jawa yang ada di perantauan. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana solidaritas kekerabatan dalam berbagai kegiatan slametan pada masyarakat Jawa perantauan.

2. Bagaimana solidaritas kekerabatan dalam upacara perkawinan pada masyarakat Jawa perantauan.

1.3. Lokasi Penelitian.

Lokasi penelitian ini adalah di Kelurahan Sawit Seberang, Kabupaten Langkat. Ada beberapa alasan dalam pemilihan lokasi ini antara lain yaitu, lokasi awal penelitian ini adalah di kelurahan Silalas tepatnya di pinggiran sungai Deli. Namun karena lokasi ini dianggap kurang sesuai dengan masalah yang akan dibahas maka dosen pembimbing menyarankan lokasinya untuk dirubah.

Selain itu penduduk yang tinggal dilokasi ini di tempati oleh mayoritas suku Jawa perantauan walupun terdapat etnis-etnis lainnya, yang mana penduduknya sudah mengalami kemajuan baik dari segi pengetahuan yang di dasari oleh faktor pendidikan, sehingga kemungkinan terjadinya perubahan atau pergeseran dari solidaritas kekerabatan pada daerah tersebut. Penduduk di kelurahan tersebut selain bermata pencaharian bertani juga sudah memiliki pekerjaan lain yang menetap yang membuat mereka mulai memahami prinsip bahwa waktu adalah uang.


(20)

1.4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran bagaimana terjadinya perubahan solidaritas kekerabatan etnis Jawa yang berada di Kelurahan Sawit Seberang, kabupaten Langkat.

Manfaat dari penelitian ini dapat dilihat secara akademis dan praktis:

1. Secara akademis, dapat menambah pemahaman tentang konsep-konsep solidaritas kekerabatan dan mengetahui pola hidup pada masyarakat etnis Jawa di perantauan.

2. Secara praktis, dapat memberikan pemahaman bagi si peneliti sendiri berdasarkan pada masalah diatas dan sebagai suatu syarat lulus ujian akhir.


(21)

1.5.Tinjauan Pustaka.

Masyarakat adalah suatu kesatuan hidup yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat, 1986:160).

Dari pengertian di atas dapat diambil beberapa hal yang menjadi ciri-ciri suatu masyarakat, yaitu saling berinteraksi, mempunyai ikatan, pola tingkah laku yang khas tentang semua faktor kehidupan dalam batas kesatuan, rasa identitas diantara warga yang dapat menunjukkan perbedaan dengan masyarakat lain.

Dalam peristiwa kehidupan sosial sehari-hari, individu sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat, memiliki kewajiban untuk menyatu dalam tujuan masyarakat itu sendiri. Kenyataan ini tidak terbantahkan jika dilihat pada bentuk kehidupan masyarakat, baik masyarakat dalam bentuk organis maupun dalam bentuk mekanis. Hal ini di karenakan kehidupan masyarakat merupakan suatu model kehidupan yang saling mengisi antara satu dengan yang lainnya.

Durkheim secara jelas membagi klasifikasi masyarakat atas dasar ikatan solidaritas mekanis dan solidaritas organis. Bentuk ikatan tersebut menurutnya ditandai dengan kekentalan hubungan antara individu, baik berdasarkan hubungan darah atau hubungan kepentingan, masyarakat terpaut kedalam bentuk ikatan yng mendasarinya dalam hal ini masyarakat dapat dipilih ke dalam karakteristik masing-masing.


(22)

Pembagian masyarakat berdasarkan bentuk ikatan solidaritas sosial yang di kategorikan Durkheim dapat di bagi menjadi dua kategori yaitu masyarakat bertipe mekanis dan masyarakat bertipe organis.

Masyarakat bertipe mekanis (masyarakat tradisional). Dimana didalam masyarakat ini terdapat model hubungan kolektif yang mana masyarakatnya lebih dapat bersosialisasi dengan baik antar sesama, serta hubungan kekerabatan di dalam masyarakat tersebut terasa lebih akrab. Selain itu masyarakat pedesaan cara berfikirnya lebih menggunakan perasaan sehingga hubungan antara sesama personal lebih bersifat informal atau dengan kata lain lebih bersifat kekeluargaan. Adapun jenis pekerjaan mereka lebih bersifat umum, dimana dalam kegiatan sehari-hari mereka masih sering tolong-menolong antar sesama.

Sedangkan masyarakat bertipe organis yaitu masyarakat modern. Masyarakat bertipe organis ini lebih identik dengan masyarakat perkotaan, model hubungan antar sesama lebih bersifat individual tanpa di dasari atas rasa kekerabatan yang kuat. Masyarakat ini cara berfikirnya lebih rasional atau dengan kata lain lebih menggunakan akal sehat, selain itu jenis pekerjaan mereka telah terspesialisasi yang pada akhirnya akan menjadi salah satu faktor pembeda antara masyarakat kelas menengah atas dengan masyarakat kelas menengah bawah.

Solidaritas sosial di pertahankan sejauh kesadaran individu pada masyarakat sama kuatnya, dengan sendirinya akan memelihara unsur-unsur pengintegrasian yang ada pada masyarakat tersebut.

Menurut A. Lysen (1981:20) “kesadaran masyarakat” adalah unsur tertentu dalam kesatuan sosial yang menetapkan dan mempengaruhi kelakuan manusia yang


(23)

menjadi bagian dari kesatuan itu. Unsur-unsur yang di maksud adalah situasi-situasi yang memuat individu-individu dalam masyarakat terlibat langsung serta berbuat sesuai dengan keinginan situasi tersebut.

Lebih jauh Durkheim menyatakan bahwa pembagian kerja mempunyai peringkat fungsi terhadap solidaritas sosial sebagai peningkat rasa solidaritas. antara teman dan di dalam keluarga, ketidaksamaan akan menciptakan suatu ikatan dan karena individu-individu memiliki kualitas yang berbeda akan terdapat ketertiban, keselarasan dan solidaritas, setiap individu melakukan berbagai kegiatan sehingga terdapat ketergantungan antara satu dengan yang lainnya.

Solidaritas tidak dapat dengan seketika di amati secara eksak, maka diperlukan suatu indeks ekstern. Menurut Durkheim (Layendecker, 1991:290). Indeks ekstern adalah peraturan-peraturan, hukum-hukum, solidaritas sosial terwujud kedalam hubungan timbal balik, yang mendapat prasyarat dalam sifat dan jumlah peraturan-peraturan hukum yang berlaku.

Durkheim mengklasifikasikan peraturan-peraturan hukum atas dasar sanksi yang dijatuhi bila terjadi pelanggaran. Durkheim membedakan antara sanksi represif, yaitu hukum yang dimaksud untuk menyebabkan penderitaan dan sanksi restitutif yaitu sanksi yang diarahkan untuk memulihkan pada keadaan semula. Hal ini sesuai dengan solidaritas mekanis dan solidaritas organis.

Solidaritas mekanis didasarkan pada persamaan. Dalam suatu masyarakat yang ditandai oleh solidaritas ini. Semua anggotanya mempunyai kesadaran kolektif yang sama. Kesadaran kolektif adalah keseluruhan keyakinan dan perasaan yang membentuk sistem tertentu yang mempunyai kehidupan tersendiri dan dimiliki


(24)

bersama oleh anggota masyarakat tersebut. Kesadaran kolektif memiliki sifat keagamaan karena mengharuskan rasa hormat dan ketaatan.

Setiap individu selalu tunduk pada kolektifitasnya. Setiap pelanggaran terhadap keyakinan-keyakinan bersama akan menimbulkan reaksi yang emosional. Setiap individu yang bersalah akan dihukum dan dalam ritual pelaksanaan hukuman akan di balas penghinaan yang terjadi terhadap kesadaran kolektif, dengan ini kesadaran di perkuat kembali.

Dalam masyarakat seperti ini, hanya sedikit anggota masyarakat yang memiliki individualitas. Dalam manusia rangkap kesadaran individual dikuasai oleh kesadaran kolektif. Orang-orang mirip satu dengan yang lainnya, hal ini menyebabkan solidaritas ini di sebut solidaritas mekanis.

Solidaritas organis menunjukkan pada keterpaduan dalam organisme yang berdasarkan atas keanekaragaman fungsi-fungsi demi kepentingan keseluruhan. Setiap organ memiliki ciri-ciri masing-masing dan tugas masing-masing yang tidak dapat diambil oleh organ yang lain. Demikian pula dalam pembagian kerja, individu-individu tidak dikelompokkan dalam segmen-segmen tetapi menurut kegiatan-kegiatan yang dilakukan.

Berlawanan dengan masyarakat segmenter pada masyarakat dengan solidaritas organis terdapat saling ketergantungan yang besar. Keadaan ini akan diatur dengan pertumbuhan tenaga kerja. Aturan-aturan itu sendiri akan timbul dari interaksi yang sering terjadi.

Aturan-aturan akan memperoleh pernyataan yuridis dalam hak orang lain. Seperti melakukan pelanggaran terhadap hak milik atau tidak menepati kerjasama.


(25)

Hukum restitutif bertujuan untuk memulihkan keadaan kepada aslinya. Pembayaran ganti rugi atau pemaksaan suatu persetuajuan.

Menurut Durkheim terjadi suatu evolusi dari soilidaritas mekanis ke solidaritas organis yang di dasarkan atas pembagian kerja. Hal ini dilihat dari meningkatnya hukum restitutif yang mengakibatkan berkurangnya hukum represif dan melemahnya kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif melemah terutama dalam hilangnya nilai agama (Layendecker, 1991: 290-291).

Lebih lanjut dia melihat dasar integrasi sosial yang sedang mangalami perubahan kesuatu bentuk yang baru ini, yang benar-benar di dasarkan pada saling ketergantungan antara bagian-bagian yang terspesialisasi dapat merupakan satu sumber yang lebih menyeluruh, lebih mampu dan lebih dalam untuk integrasi sosial daripada bentuk integrasi mekanis yang lama yang didasarkan terutama pada kesamaan dalam kepercayaan dan nilai.

Kesadaran kolektif yang mendasari solidaritas mekanis paling kuat perkembangannya dalam masyarakat-masyarakat primitif yang sederhana. Dalam masyarakat seperti itu semua anaggota pada dasarnya memiliki kepercayaan-kepercayaan bersama, pandangan, nilai dan semuanya memiliki gaya hidup yang kira-kira sama.

Homogenitas ini mungkin kalau kita lihat kenyataan bahwa pembagian kerja sangat rendah. Tentu ada semacam spesialisasi menurut usia dan jenis kelamin. Orang yang lebih tua diharapkan menjadi pemimpin atau sekurang-kurangnya sebagai penasehat yang bijaksana, sedangkan wanita diharapkan untuk berspesialisasi dalam urusan rumah tangga. Namun, pembagian kerja yang sangat elementer ini tidak


(26)

menghasilkan heterogenitas sosial yang demikian tingginya sehingga cara berfikir dan bertindak yang sama benar-benar dihilangkan.

Karena pembagian kerja mulai meluas, kesadaran kolektif pelan-pelan mulai hilang. Orang yang kegiatan pekerjaannya menjadi lebih terspesialisasi dan tidak sama lagi merasa dirinya makin berbeda dalam kepercayaan, pendapat dan juga gaya hidup. Inilah yang diharapkan karena pengalaman sosial seseorang di pengaruhi oleh pekerjaannya. Pengalaman yang beranekaragam maka begitu pula kepercayaan, sikap dan kesadarannya. Tetapi heterogenitas yang semakin bertambah ini tidak menghancurkan solidaritas sosial. Sebaliknya karena pembagian kerja yang semakin tinggi, individu dan kelompok dalam masyarakat merasa menjadi semakin tinggi, individu dan kelompok dalam masyarakat merasa menjadi semakin lebih tergantung satu sama lain daripada hanya mencukupi kebutuhannya sendiri saja. Orang yang mecurahkan perhatiannya pada spesialisasi pekerjaan harus tergantung pada yang lain yang berbeda pekerjaan dan spesialisasinya untuk barang-barang dan jasa yang mereka butuhkan guna mempertahankan hidup dan memenuhi berbagai kebutuhan. Meningkatnya secara bertahap saling ketergantungan fungsional antara berbagai bagian masyarakat yang heterogen itu memberikan satu alternatif baru untuk kesadaran kolektif sebagai dasar solidaritas sosial (Doyle. 1994:187)..


(27)

1.6. Metode penelitian.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitataif yang bersifat deskriptif. Dalam penelitaian ini peneliti akan mencoba menggambarkan secara terperinci mengenai solidaritas yang mulai melemah di dalam intensitas hubungan antar sesama warga di kelurahan tersebut. Teknik penelitian yang akan digunakan dalam pengumpulan data dilapangan antara lain.

1.6.1. Teknik Observasi.

Metode observasi dilakukan guna mengetahui situasi dalam konteks ruang dan waktu pada daerah penelitian, data yang diperoleh dari hasil wawancara saja tidaklah cukup untuk menjelaskan fenomena yang terjadi. Oleh karena itu di perlukan suatu aktivitas dengan langsung mendatangi tempat penelitian sambil melakukan pengamatan.

Teknik observasi atau pengamatan partisipasi di lakukan dengan tujuan untuk dapat memahami fenomena yang terjadi di lokasi, khususnya masalah yang menyebabkan melemahnya solidaritas kelompok masyarakat di Kelurahan Sawit Seberang tersebut. Dari pengamatan itu dimungkinkan untuk dapat memahami kondisi alam, fisik, sosial ekonomi dan budaya. Selain itu observasi ini juga nantinya diharapkan dapat menggambarkan peran masyarakat dalam proses perubahan solidaritas di Kelurahan tersebut.

1.6.2. Teknik Wawancara.

Metode yang kedua yaitu metode wawancara yang dilakukan secara langsung dan tatap muka dengan informan. Wawancara yng dilakukan adalah wawancara mendalam (depth interview) kepada beberapa orang informan yang sesuai dengan


(28)

tujuan penelitian. Informan dalam hal ini adalah warga masyarakat yang bermukim di Kelurahan Sawit Seberang, dimana informan itu sendiri sudah lama menetap di lingkungan tersebut serta mengetahui secara persis bagaimana hubungan solidaritas kekerabatan antar sesama warga di dalam aktivitas mereka sehari-hari .

Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa wawancara ini dilakukan dengan komunikasi verbal atau langsung dengan informan, dengan menggunakan pedoman wawancara (inteview guide) yang telah dipersiapkan sebelumnya. Tujuan dari pedoman wawancara ini adalah untuk mendapatkan data yang konkrit, lebih terperinci dan mendalam. Untuk mendapatkan data yang konkrit tersebut maka peneliti akan mengajukan beberapa pertanyaan yang sesuai dengan masalah yang dibahas, contohnya “apakah ada perubahan dalam kegiatan-kegiatan sosial yang biasanya dilakukan oleh masyarakat Jawa tersebut”, “bagimanakah sikap warga setempat apabila ada seorang warga yang tidak pernah ikut didalam berbagai kegiatan sosial yang sering dilakukan oleh masyarakat setempat”, “serta apakah ada sanksi yang ditetapkan oleh masyarakat itu terhadap warga yang tidak pernah ikut serta dalam berbagai aktivitas-aktivitas sosial di lingkungan tersebut”.

Untuk memperlancar wawancara ini digunakan perlengkapan berupa alat-alat tulis dan tape recorder yang berguna untuk menulis dan merekam bagian-bagian penting dari hasil wawancara, yang bertujuan untuk menghindari kesalahan data yang diperoleh ketika wawancara.

Tahap berikutnya adalah studi pustaka, dilakukan untuk mengumpulkan dan mencari data tentang kegiatan-kegiatan sosial yang melibatkan setiap warga masyarakat tersebut dengan membaca literatur-literatur yang berkaitan dengan


(29)

masyarakat Jawa perantauan serta melihat hasil penelitian para ahli lain yang berhubungan dengan penelitian ini guna untuk menambah pengertian dan wawasan peneliti untuk menyempurnakan hasil akhir penelitian ini.

1.6.3. Penentuan Informan.

Informan kunci dalam penelitian ini adalah informan yang dianggap dapat mewakili kelompok masyarakat di Kelurahan tersebut, dari informan ini diharapkan di dapat konsep bagaimana pandangan mereka terhadap solidaritas kekerabatan yang ada di dalam aktivitas kehidupan mereka sehari-harinya.

Selain itu, informan kunci haruslah orang yang mengetahui budaya masyarakat Jawa dengan begitu baik tanpa harus memikirkannya, dan benar-benar mengetahui situasi dan kondisi aktivitas sosial masyarakat Jawa khususnya Masayarakat Jawa perantauan dalam hidup bermasyarakat. Dalam penelitian ini informan yang mungkin mengetahui budaya masyarakat Jawa dan sangat mengenal lingkungan tersebut dengan begitu baik adalah kepala lingkungan (Kepling) juga kepala desa/kelurahan dan tokoh-tokoh masyarakat. Dimana mereka yang selalau terlibat di dalam kegiatan sosial di lingkungan tersebut.

1.7. Teknik Analisa Data.

Data yang diperoleh dilapangan akan diedit ulang kembali, yang akhirnya ditujukan untuk memeriksa kelengkapan hasil wawancara. Hasil wawancara itu diperlukan adanya tanpa mengurangi dan menambahi yang dapat mengurangi keaslian data tersebut dan pada akhirnya data ini akan dianalisa secara kualitatif.


(30)

Keseluruhan data diperoleh dari observasi, wawancara dan sumber kepustakaan disusun berdasarkan pemahaman serta fokus penelitian dan tujuan penelitian.


(31)

B A B II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1. Sejarah Desa.

Pada masa penjajahan kolonial Belanda di Indonesia sekitar tahun 1926, pemerintah Belanda membuka lahan hutan menjadi lahan perkebunan. Seiring dengan perkembangan zaman dan makin meluasnya wilayah kekuasaan pihak Belanda maka mereka terus memperluas lahan perkebunan dan tanaman komoditinya.

Pihak Belanda kemudian mendatangkan tenaga kerja dari pulau Jawa yang dipekerjakan sebagai kuli kontrak perkebunan. Belanda banyak mendatangkan tenaga kerja dari wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah yang kemudian di sebar di beberapa wilayah kawasan Sumatera Utara termasuk Langkat. Pada saat dibukanya lahan hutan tersebut menjadi lahan perkebunan merupakan awal masuknya orang Jawa ke kelurahan Sawit Seberang.

Menurut masyarakat kelurahan Sawit Seberang kuli kontrak adalah buruh lepas yang dipekerjakan pada lahan pertanian yang telah diatur sedemikian rupa terutama terhadap masalah kerja yang berakhir pada masa tertentu yang telah disepakati.

Seiring dengan telah tercapainya kemerdekaan Negara Republik Indonesia, maka wilayah-wilayah perkebunan yang dulunya dikuasai oleh Belanda di serahkan kepada pemerintah Indonesia. Mulai saat itu perkebunan milik Belanda tersebut


(32)

menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan di beri nama Perseroan Terbatas Perkebunan II (PTPN II).

Perkebunan Belanda yang telah menjadi PTPN ini kian lama makin berkembang. Untuk meningkatkan perkembangan perusahaan tersebut, maka perusahaan perkebunan ini juga mempekerjakan masyarakat sekitar. Mereka antara lain berasal dari suku Batak Karo, Mandailing, Tapanuli, Aceh, Melayu dan sebagainya. Orang-orang Jawa yang pada awalnya hanya merupakan kuli kontrak perkebunan Belanda kini telah menjadi karyawan tetap perkebunan dan menjadi penduduk desa Sawit Seberang. Sekarang penduduk desa Sawit Seberang yang asli merupakan bekas kuli kontrak sudah tidak ada lagi, yang ada hanyalah anak-anak cucu mereka saja.

Penduduk kelurahan Sawit Seberang yang merupakan etnis Jawa kebanyakan merupakan generasi ketiga dan keempat dari para kuli kontrak tersebut. Asal muasal di berinya nama Sawit Seberang pada kelurahan ini karena, pada saat itu daerah ini dipisahkan oleh aliran sungai. Sebelum dibangunnya jembatan, penduduk yang tinggal di daerah tersebut menggunakan jasa angkutan perahu getek yang menggunakan kabel. Untuk mempermudah lancarnya hubungan dengan daerah ini maka pada tahun 1930 dibangunlah sebuah jembatan.


(33)

2.1.2. Lokasi dan Keadaan Alam.

Sawit Seberang terdapat di lingkungan Kelurahan sawit seberang, wilayah Kecamatan Sawit Seberang, Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara. Kelurahan Sawit Seberang di kepalai oleh seorang lurah (dulu kepala desa). Kelurahan ini terdiri dari beberapa lingkungan, yaitu lingkungan 1, lingkungan 2, lingkungan 3, lingkungan 4, lingkungan 5, lingkungan 6, lingkungan 7, lingkungan 8, lingkungan 9, lingkungan 10, lingkungan 11, lingkungan 12, dan lingkungan 13 yang di kepalai oleh masing-masing kepala lingkungannya.

Batas-batas kelurahan Sawit Seberang adalah :

- Sebelah Utara Kelurahan Sawit Seberang berbatasan dengan Desa Simpang Tiga.

- Sebelah Selatan Kelurahan Sawit Seberang berbatasan dengan Desa sungai Batang Serangan.

- Sebelah Barat Kelurahan Sawit Seberang berbatasan dengan Desa Litur Tasik. - Sebelah Timur Kelurahan Sawit Seberang berbatasan dengan Desa Alur

Gadung.

Pada tanggal 17 Maret 2005 terjadi perubahan status dari desa Sawit Seberang menjadi kelurahan Sawit Seberang. Luas seluruh kelurahan Sawit Seberang adalah 2200 ha, yang di gunakan sebagai areal perkampungan 4,5 ha, selebihnya merupakan lahan perkebunan kelapa sawit 1128,20 ha dan karet 70 ha. (Sumber: Kantor Kelurahan Sawit Seberang).

Kelurahan Sawit Seberang adalah sebuah desa yang terletak diwilayah perkebunan milik PTPN II Langkat. Kelurahan ini terletak diwilayah yang dikelilingi


(34)

oleh tanaman kepala sawit, sepanjang jalan menuju desa ini kita akan melihat tanaman kelapa sawit dan karet yang tumbuh subur mulai dari persimpangan jalan sampai dengan daerah pemukiman penduduk. Gambaran ini merupakan keadaan kelurahan Sawit Seberang pada saat sekarang ini. Sedangkan pada awalnya sebelum kelurahan Sawit Seberang ini terbentuk, wilayah desa ini hanya merupakan wilayah hutan.

Wilayah kelurahan Sawit Seberang merupakan salah satu dari 19 kelurahan yang berada di wilayah Kecamatan sawit Seberang. Kelurahan Sawit Seberang terletak di sebelah Barat dari Kota Medan, dengan jarak lebih kurang 50 km, dihubungkan dengan jalan beraspal baik itu dari ibu Kota Kecamatan, maupun Ibu Kota Kabupaten. Banyaknya curah hujan 0,5 mm/tahun, kelurahan Sawit Seberang yang berada di dataran dengan suhu rata-rata 25’ C. pada saat musim hujan, jalan di kelurahan ini sebahagian basah atau becek, hal ini disebabkan karena jalan-jalan yang ada hanya merupakan jalan-jalan tanah yang sedikit ditimbun batu dan ditambah lagi dengan lubang-lubang yang cukup besar pada badan jalan, karena sering dilalaui oleh mobil truk pengangkut hasil perkebunan.


(35)

2.2. Keadaan Penduduk.

Berdasarkan data penduduk yang diperoleh dari kantor kelurahan Sawit Seberang pada tahun 2006. Jumlah penduduk kelurahan Sawit Seberang yang 11,235 jiwa ini terdiri dari 3011 kepala keluarga yang tersebar di 13 lingkungan. Dari jumlah tersebut masyarakat kelurahan Sawit Seberang ini diklasifikasikan dalam beberapa klasifikasi yaitu menurut umur dan jenis kelamin, pendidikan, agama, suku bangsa dan mata pencaharian.

2.2.1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin. 2.2.1.a. Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur.

Berdasarkan data yang diperoleh dari kantor kelurahan Sawit Seberang, jumlah penduduk mulai dari usia 0-5 tahun sebanyak 13,4 %, usia 11-21 sekitar 17,3 %, usia 22-32 sekitar 19,4 %, usia 33-54 sekitar 37,9 %, usia 55-80 sebanyak 10,6 %. rata-rata penduduk kelurahan ini yang memiliki anak pada usia dibawah lima tahun adalah ibu-ibu muda yang merupakan karyawan/karyawati baru di perkebunan Sawit Seberang ini. Hal ini disebabkan karena pada umumnya penduduk kelurahan ini adalah karyawan lama yang kini berusia diatas 45 tahunan, sehingga mereka pada umumnya memiliki anak yang berusia diatas lima tahun

Penduduk yang berumur diatas 60 tahun hampir semuanya merupakan orang Jawa. Mereka adalah karyawan yang telah menjalani masa pensiun. Untuk lebih jelasnya mengenai jumlah penduduk berdasarkan umur dapat dilihat pada tabel dibawah ini:


(36)

Tabel 2.2.1.a. Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur. No Umur Jumlah Persentase

1. 2. 3. 4. 5. 0-5 11-21 22-32 33-54 55-80 1514 1953 2187 4268 1199 13,4 17,3 19,4 37,9 10,6

Jumlah 11235 100 %

Sumber: Data Statistik Kelurahan Sawit Seberang. Tahun 2006 2.2.1.b. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin.

Berdasarkan jenis kelamin jumlah penduduk kelurahan Sawit Seberang pada tahun 2006, terdiri dari 11235 jiwa dimana penduduk laki-laki berjumlah 5657 jiwa (50,3 %) dan penduduk perempuan berjumlah 5578 jiwa (49,6 %). Untuk lebih jelasnya mengenai jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 2.2.1.b. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin. No Penduduk Jumlah Persentase

1. 2. Laki-laki Perempuan 5657 5578 50,3 49.6

Jumlah 11235 100 %


(37)

Dari tabel tersebut dapat dilihat perbedaan jumlah pria dan wanita dimana jumlah pria lebih banyak. Berdasarkan perbedaan jumlah tersebut di atas ini di sebabkan di kelurahan Sawit Seberang terdapat pabrik dan perkebunan kelapa sawit dan karet yang banyak membutuhkan karyawan pria.

2.2.2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan.

Jika ditinjau dari sudut pendidikan. Penduduk kelurahan Sawit Seberang termasuk penduduk yang sudah cukup maju pendidikannya meskipun dalam kenyataannya masih terdapat penduduk yang buta huruf. Namun bila di bandingkan dengan jumlah penduduk yang sudah berpendidikan hal itu merupakan sebagian kecil saja.

Penduduk kelurahan Sawit Seberang berdasarkan tingkat pendidikan dibagi dalam beberapa tingkatan yaitu mulai dari tingkat belum sekolah, tidak tamat SD, SD, SLTP, SLTA dan perguruan tinggi. Pada tingkat pendidikan belum sekolah menunjukkan pada usia dibawah lima tahun yang berjumlah 3,4 %. Pada tingkat tidak tamat sekolah menunjukkan penduduk yang tidak mengenyam pendidikan SD sampai tamat sebanyak 2,0 %. Pada penduduk yang pendidikannya hanya sampai tingkat SD ini biasanya mereka bekerja sebagai karyawan harian pabrik dan biasanya penduduk yang pendidikannya hanya sampai ditingkat SD ini berumur diatas 50 tahun sebanyak 21,8 %. Penduduk yang pendidikanya hanya sampai di tingkat SD ini kebnyakan adalah para ibu rumah tangga.

Kebanyakan para ibu rumah tangga di kelurahan ini pendidikannya hanya sampai di tingkat SD ini disebabkan karena pemikiran orang Jawa zaman dahulu yng


(38)

tidak mementingkan pendidikan bagi anak perempuan. Selain itu karena pada masa lalu keadaan ekonomi masyarakat yang tidak memadai, juga mempengaruhi tingkat pendidikan masyarakat di kelurahan Sawit Seberang tersebut.

Pada penduduk yang tingkat pendidikannya hanya sampai pada tingkat SLTP kebnyakan adalah anak sekolah yaitu yang berumur 12-15 tahun, namun selain itu usia diatas 45 tahun juga banyak yang hanya tamat SLTP sebanayk 12,8%. Pada umumnya yang tamat pada tingkat SLTP bekerja di perkebunan, biasanya selain bekerja sebagai karyawan harian juga ada yang menjabat sebagi mandor.

Untuk penduduk yang tingkat pendidikannya hanya sampai tingkat SLTA biasanya berada pada tingkat usia 15-18 tahun dan juga diatas 45 tahunan, penduduk yang tingkat pendidikannya hanya sampi pada tingkat SLTA sebanyak 8,9 %. Pada karyawan perkebunan yang memperoleh tingkat pendidikan setingkat SLTA biasanya memperoleh jabatan yang cukup baik di perkebunan, yaitu mulai dari mandor, krani dan sebagainya yang jabatannya lebih tinggi dari mandor. Terakhir pada penduduk yang memperoleh pendidikn setingkat D I-S I di kelurahan ini sangat sedikit sekali yaitu 0,1 %, Karena sangat jarang dijumpai penduduk di kelurahan ini yang mampu menyekolahkan anaknya sampai pada tingkat perguruan tinggi, karena faktor biaya pendidikan yang dianggap sangat mahal oleh masyarakat. Namun walaupun sangat sedikit masih ada juga masyarakat yang mencapai tingkat perguruan tinggi, karyawan perkebunan yang mencapai tingkat tersebut biasanya menjabat sebagai asisten, staf-staf perkebunan dan jabatan penting lainnya.

Pada persentase penduduk berdasarkan tingkat pendidikan, masyarakat Jawa yang merupakan karyawan perkebunan, kebanyakan hanya memperoleh tingkat


(39)

pendidikan yang rendah yaitu mulai dari tidak tamat SD sampai tingkat SLTP. Namun sekarang generasi muda di kelurahan ini sudah mulai megenyam pendidikan yang lebih baik, untuk lebih jelasnya mengenai jumlah penduduk kelurahan Sawit Seberang berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.2.2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan. No Tingkat pendidikan Jumlah Persentase

1. 2. 3. 4. 5. 6. Belum sekolah Tidak tamat SD

SD SLTP SLTA Perguruan tinggi 391 225 245 1448 1009 22 3,4 2,0 2,1 12,8 8,9 0,1 Jumlah 11235 100 % Sumber: Data Statistik Kelurahan Sawit Seberang. Tahun 2006.

2.2.3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa.

Kelurahan Sawit Seberang adalah sebuah kelurahan yang masyarakatnya berasal dari berbagai etnis/suku bangsa. Hampir semua penduduk di kelurahan ini merupakan kaum pendatang yang bekerja di perkebunan milik PTPN II.

Penduduk jawa di kelurahan ini berjumlah 3607 yaitu kira-kira 32,1 %, etnis Tapanuli 1,1 %, etnis Karo sekitar 1,0 %, etnis Melayu 0,6 %, etnis Minang 0,1%, etnis dan selebihnya etnis yang minoritas seperti Aceh dan banjar.


(40)

Berdasarkan jumlah etnis Jawa yang mendominasi di kelurahan ini berhubungan dengan sejarah kedatangan orang Jawa di kelurahan Sawit seberang, sebagai penduduk pendatang yang pertama kali menetap di wilayah ini. Etnis Jawa yang ada merupakan kuli kontrak perkebunan dan juga merupakan penduduk pertama yang mendiami kawasan kelurahan Sawit Seberang sekaligus yang pertama bekerja pada perkebunan tersebut. Untuk lebih lengkapnya data mengenai jumlah penduduk berdasarkan etnis atau suku bangsa di kelurahan Sawit Seberang ini dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 2.2.3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Etnis/Suku Bangsa. No Suku bangsa Jumlah Persentase

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Jawa Karo Tapanuli Melayu Minang Aceh Banjar 3607 118 120 69 21 9 5 32,1 1,0 1,0 0,6 0,1 0,0 0,0

Jumlah 11235 100 %

Sumber: data Statistik Kantor Kelurahan Sawit Seberang. Tahun 2006 Interaksi antar etnis terjalin harmonis, ini terlihat dari komunikasi yang berjalan lancar, karena masyarakat pendatang yang terdiri dari berbagai


(41)

macam-macam etnis (Melayu, Karo, Tapanuli, Banjar, Aceh, dan Minang). Selalu menjaga keharmonisan didalam kehidupan bermasyarakat.

2.2.4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama.

Mayoritas penduduk Sawit Seberang beragama Islam, sedangkan penduduk lainnya adalah beragama Kristen, Khatolik dan Budha. Toleransi beragama dalam kelurahan Sawit Seberang ini cukup baik dimana mereka saling menghormati dan menghargai kepercayaan masing-masing. Ini tampak pada hari-hari besar keagamaan dimana penganut kepercayaan yang berbeda-beda tersebut saling mengundang dan menghadiri perayaan besar agama mereka masing-masing.

Mayoritas penduduk di kelurahan ini memeluk agama Islam yang jumlahnya sekitar 90,5 %, diantaranya merupakan etnis Jawa yang merupakan pemeluk agama Islam paling banyak. Etnis-etnis lain seperti Tapanuli, Karo, Melayu dan lainnya ada juga yang memeluk agama Islam namun jumlahnya hanya sedikit. Untuk lebih jelasnya mengeni jumlah penduduk berdasarkan agama dapat dilihat pada tabel di bawah ini:


(42)

Tabel 2.2.4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama. No Agama Jumlah Persentase

1. 2. 3. 4. 5. Islam Kristen Khatolik Hindu Budha 10175 647 349 - 51 90,5 5,75 3,10 - 0,45

Jumlah 11235 100 %

Sumber: Data Statistik Kantor Kelurahan Sawit Seberang. Tahun 2006.

2.2.5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian.

Penduduk kelurahan Sawit Seberang pada umumnya bermata pencaharian sama yaitu pekerja atau karyawan pada pabrik PTPN II. Hal ini disebabkan lokasi kelurahan Sawit Seberang yang berada pada wilayah perkebunan sehingga semua penduduk yang bermukim di kelurahan ini merupakan karyawan PTPN II tersebut. Selain pekerjaan sebagai karyawan di pabrik tersebut, ada juga pekerjaan sampingan mereka seperti menjadi petani kecil-kecilan dengan lahan yang sangat terbatas.

Masyarakat Jawa yang bekerja di perkebunan ini pada umumnya merupakan karyawan biasa sampai pada tingkat mandor. Masyarakat Jawa yang bekerja sebagai karyawan rendah kebanyakan melakukan pekerjaan sampingan. Mereka kebanyakan bekerja di kebun milik masyarakat di sekitar kelurahan Sawit Seberang sebagai buruh tani. Biasanya mereka bekerja sebagai penanam padi dan juga menyadap karet,


(43)

mereka melakukan pekerjaan sampingan itu untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.

Pola pemukiman.

Kelurahan Sawit Senberang ini merupakan desa yang wilayahnya banyak dikelilingi oleh perkebunan kelapa sawit dan karet. Hampir sepanjang jalan menuju kelurahan Sawit Seberang kita akan melewati jalan yang disamping kanan kirinya tumbuh pohon kelapa sawit dan karet. Tanaman kelapa sawit dan karet ini juga akan terlihat tumbuh di lingkungan sekitar perumahan penduduk.

Jalan masuk menuju kelurahan ini sebagian sudah di aspal dan sebahagian lagi masih merupakan jalan tanah yang berlubang-lubang. Sehingga jalan di kelurahan ini pada musim panas akan berdebu karena tanah dan pasir yang kering karena terbawa angin. Sedangkan pada musim hujan jalannnya akan becek, karena banyak sekali lubang-lubang besar yang di sebabkan seringnya dilewati oleh mobil bermuatan besar, seperti Truk dan Bus. Jalan yang ada di kelurahan ini walaupun tidak terlalu baik dan jauh dari jalan raya namun di kelurahan ini tersedia sarana dan transportasi yang dapat dimanfaatkan untuk menuju kelurahan ini yaitu Bus dan ojek yang sudah tersedia dengan baik.

Perumahan penduduk di kelurahan ini tidak berada ditepi jalan raya karena pada umumnya setiap lingkungan yang ada di kelurahan ini berada 1-3 km dari jalan raya, sehingga rumah-rumah penduduk tidak terlihat dari jalan raya.

Pola perkampungan di daerah Sawit seberang ini adalah berdekatan dan menyebar dan tidak beraturan, artinya rumah-rumah penduduk ada yang berhadapan,


(44)

ada yang membelakangi rumah lainnya, Rumah yang yang tidak beraturan itu ada yang menghadap ke Utara, Selatan, Timur dan Barat. Sedangkan yang berdekatan maksudnya di sini adalah antara satu rumah dengan rumah lainnya saling berdekatan dan menyebar maksudnya kebanyakan rumah-rumah penduduk di lingkungan tersebut di dirikan secara berkelompok-kelompok.

Bangunan rumah penduduk mayoritas semi permanen, ada sebagian yang permanen dan sebagian kecil rumah gubuk. Modelnya ada yang memanjang kebelakang dan ada juga yang melebar ke samping.

Perumahan karyawan biasa, yaitu karyawan harian sampai pegawai kantor rendahan biasanya tinggal diperumahan semi permanen. Sedangkan mandor dan para atasan menempati rumah permanen. Walaupun rumah permanen dan semi permanen namun biasanya bentuk rumah mereka sama. Kebanyakan merupakan karyawan biasa, mereka pada umumnya tinggal di rumah semi permanen.

Penduduk yang tinggal di kelurahan Sawit Seberang rata-rata memiliki rumah yang memiliki halaman atau pekarangan depan maupun belakang. Pada halaman belakang mereka dapat dijadikan sebagai kebun kecil untuk menanam sayur-sayuran. Kebanykan penduduk menjadikan halaman belakang rumah mereka sebagai kandang hewan ternak seperti kambing, lembu, ayam dan bebek.

Kelurahan ini tidak memiliki sebuah bangunan yang menunjukkan keberadaan etnis tertentu seperti rumah adat. Setiap lingkungan di kelurahan ini terdapat sebuah Mushala karena penduduk kelurahan ini mayoritas Islam.


(45)

2.3. Aktivitas Sosial Budaya Masyarakat.

Masyarakat kelurahan Sawit Seberang mayoritas adalah suku Jawa, sehingga aktivitas budaya yang sering terlihat adalah aktivitas budaya yang sering dilaksanakan pada masyarakat Jawa umumnya. Aktivitas yang sering terlihat adalah acara slametan baik itu slametan untuk memohon keselamatan pada setip perayaan seputar lingkaran hidup. Seperti masa hamil, kelahiran, sunatan, pernikahan, kematian dan sebagainya. Acara slametan ini juga terjadi pada acara lainnya yang dianggap perlu dan penting bagi masyarakat Jawa itu sendiri. Masyarakat Jawa di kelurahan ini juga tidak pernah menghilangkan kebiasaan slametan pada pelaksanaan pesta pernikahan, sunatan dan acara syukuran lainnya.

Di kelurahan Sawit Seberang, sering juga dilaksanakan pertunjukan kuda lumping (jaran kepang). Jaran kepang ini biasanya dipertunjukkan pada acara pernikahan atau pun khitanan. Jaran kepang ini juga sering tampil pada acara peringatan hari besar nasional. Pertunjukan jaran kepang ini sangat digemari oleh anak-anak baik itu orang Jawa maupun dari suku lainnya. Dimana setiap pertunjukan mereka selalu menampilkan pertunjukan yang berbahaya, misalnya memakan kaca, selain itu ada juga di pertunjukkan adegan-adegan yang lucu.

Selain kegiatan yang berbau kebudayaan seperti diatas, ada juga kegiatan yang bersifat keagamaan yang sering diikuti oleh setiap lapisan masyarakat di kelurahan tersebut. Khusus untuk umat muslim memiliki perkumpulan pengajian AL-hidayah dan pengajian untuk para remaja yang biasanya dilaksanakan sehari dalam seminggu.


(46)

Umat Kristen di kelurahan ini juga melakukn perwiritan (perkumpulan kebaktian). Kegiatan perwiritan ini biasanya dilaksanakan di gereja dan juga di rumah-rumah penduduk yang beragama Kristen.

Walaupun di kelurahan Sawit Seberang ini terdapat berbagai agama dan etnis, namun seluruh masyarakat yang bermukim di daerah ini saling berhubungn baik satu sama lain. Hal ini tercermin di dalam setiap peringatan hari besar agama, masing-masing masyarakat akan saling mengunjungi. Selain itu jika ada warga yang ditimpa kemalangan seperti kematian, maka setiap orang akan saling membantu sampai acara pemakaman selesai.

2.4. Sarana dan Prasarana.

Sarana dan prasarana yang ada di kelurahan Sawit Seberang ini sudah cukup memadai, sarana dan prasarana yang tersedia di kelurahan ini antara lain: sarana transportasi, sarana tempat peribadatan, sarana kesehatan, sarana pendidikan, sarana komunikasi dan sarana prasarana lainnya. Hampir seluruh sarana dan prasarana di kelurahan ini letaknya menyebar, atau dengan kata lain sarana dan prasarana tersebut terdapat di setiap lingkungan di kelurahan ini. Hal ini disebabkan karena letak pemukiman penduduk yang berpola menyebar atau saling berjauhan. Sehingga memudahkan penduduk untuk dapat menggunakan sarana dan prasarana tersebut.


(47)

2.4.1. Sarana Transportasi.

Kelurahan Sawit Seberang memang merupakan sebuah desa kecil yang berada di lokasi perkebunan miliki PTPN II, sarana dan transportasi yang tersedia di daerah tersebut sudah lumayan cukup memadai untuk menunjang segala aktivitas masyarakat terutama untuk mendukung operasional perusahaan. Kelurahan memiliki sarana jalan yang cukup baik walaupun merupakan hanya berupa jalan tanah dengan pasir dan batu kerikil. Untuk sarana transportasi masyarakat keluar dari kelurahan ini, terdapat sarana angkutan yang banyak tersedia diantaranya, truk, bus, mobil, ojek dan lain sebagainya.

Sarana angkutan seperti truk dan mobil merupakan sarana angkutan milik PTPN II dimana sarana ini merupakan sarana pendukung aktivitas perusahaan untuk pendistribusian hasil perkebunan dan kelancaran kerja para karyawan. Walaupun letak kelurahan ini cukup jauh dari jalan raya, namun masyarakat dapat dengan mudah untuk mencapi jalan raya karena saran dan prasarana seperti ojek ada di setiap lingkungan. Sedangkan untuk menuju ke kecamatan atau ke kabupaten, masyarakat dapat menggunakan sarana angkutan umum lainnya.

Masyarakat perkebunan yang mayoritas orang Jawa khususnya karyawan rendahan rata-rata memiliki sepeda. Sepeda ini biasanya digunakan untuk berangkat ke kebun dan juga berfungsi untuk mengangkut karet. Selain memiliki sepeda, mereka pada umumnya juga memiliki sepeda motor.


(48)

2.4.2. Sarana Pendidikan.

Sarana untuk mendukung pendidikan di kelurahan ini sudah cukup memadai. Dimana di kelurahan Sawit Seberang ini memiliki sarana pendidikan yang mulai dari tingkat TK-SLTA. Untuk tingkat pendidikan yang lebih tinggi di kelurahan ini tidak tersedia. Dimana untuk tingkat pendidikan yang lebih tinggi yaitu perguruan tinggi hanya tersedia di ibu kota propinsi. Di kelurahan ini terdapat 2 unit gedung TK, 6 unit gedung SD, 4 unit gedung SLTP dan 4 unit gedung SLTA.

2.4.3. Sarana Peribadatan.

Sarana peribadatan yang ada di kelurahan ini cukup memadai, dan dapat di gunakan oleh setiap penganut agama masing-masing. Di kelurahan ini terdapat 3 unit Mesjid, 9 unit Mushala, 3 unit Gereja Protestan dan 1 unit Gereja Khatolik. Dengan adanya sarana peribadatan yang tersedia di kelurahan ini memudahkan para penganut agama masing-masing untuk melaksanakan ibadahnya tanpa harus mengalami kesulitan yang cukup berarti.

2.4.4. Sarana Kesehatan.

Kelurahan Sawit Seberang memiliki sarana kesehatan yang cukup memadai, disini terdapat 1 unit puskesmas, 4 unit puskesmas pembantu, 3 unit poliklinik, 6 unit apotik, 6 unit posyndu, dan 2 unit tempat praktek dokter. Di bangunnya sarana kesehatan ini dimasudkan agar kesehatan masyarakat dapat terjaga dengan baik sehingga ativitas dan kelancaran kerja karyawan dapat terjaga dengan baik pula.


(49)

2.4.5. Sarana Komunikasi.

Sarana komunikasi yang dapat mendukung kelancaran masuknya segala informasi ke kelurahan ini sudah sangat memadai. Masyarakat di kelurahan ini sangat terbiasa dengan media massa seperti surat kabar, majalah, tabloid dan berbagai bentuk media massa lainnya. Media elektronik sudah dapat dinikmati oleh hampir semua lapisan masyarakat di kelurahan ini, hal ini terlihat dengan dimilikinya televisi dan radio oleh hampir sluruh lapisan masyarakat. Sedangkan untuk sarana komunikasi telepon, di kelurahan ini terdapat beberapa unit wartel atau warung telepon. Selain itu HP atau telepon genggam merupakan barang yang sudah tidak dianggap mewah lagi karena rata-rata masyarakat di kelurahan Sawit seberang tersebut sudah memilikinya.

2.5. Sistem Kemasyarakatan. 2.5.1. Sistem kekerabatan.

Sistem kekerabatan masyarakat jawa seperti yang telah kita ketahui adalah bilateral yaitu menghitung garis keturunan berdasarkan garis ayah dan ibu. Dalam sistem kekerabatan ini laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama dan sistem kekerabatan ini berdasarkan garis keturunan atau ikatan darah.

Kelompok kerabat terkecil disebut keluarga batih yang terdiri dari sumi, isteri, dan anak-anaknya yang belum menikah. Selain itu ada juga kelompok kerabat sanak sedulur atau sanak saudara yang terdiri dari saudara-saudara sekandung, saudara sepupu baik dari pihak suami ataupun dari pihak isteri dan semua kerabat dari pihak ayah atau ibu.


(50)

Disamping sistem kekerabatan berdasarkan keturunan atau hubungan darah tersebut, masyarakat Jawa mengenal sistem kemasyarakatan berdasarkan lingkungan tempat tinggal mereka yang disebut tangga teparo atau saudara sebelah rumah atau tetangga. Pada pergaulan sehari-hari tetangga ini terkadang dianggap sebagai gantinya orang tua dan sanak keluarga kandung. Karena tetangga ini biasanya merupakan orang yang pertama kali kita mintai tolong ketika menderita musibah atau kesusahan karena merekalah orang yang berada paling dekat dengan lingkungan kita.

Selain itu masyarakat Jawa di kelurahan Sawit Seberang juga mengenal istilah saudara sekapal atau dulur sak kapal. Ini dikarenakan pada zaman dahulu msyarakat Jawa yang sekarang bermukim di kelurahan ini adalah pendatang dari pulau Jawa, mereka datang ke Sumatera sebagai perantau dengan menggunakan angkutan kapal. Di kapal inilah mereka yang semulanya tidak saling kenal mulai menjalin hubungan persaudaaran karena adanya rasa senasib dan sepenanggungan.

Masyarakat kelurahan ini menganggap saudara satu kapal sama dekatnya dengan saudara kandung karena merasa senasib dan sepenanggungan lagi pula hanya orang-orang yang satu kapal itu saja yang mereka kenal di wilayah perantauan tersebut. Namun istilah satu kapal ini hanya di kenal oleh para orang tua yang merupakan perantau awal di daerah tersebut. Walaupun demikian hubungan persaudaran yang terjalin tetap diteruskan sampai sekarang kepada anak-anak mereka.


(51)

2.5.2. Organisasi Kemasyarakatan.

Kelurahan Sawit Seberang juga memiliki beberapa organisasi sosial, seperti organisasi perempuan yaitu pengajian Al-hidayah, organisasi pemuda seperti AMPI, PK, PP dan lain sebagainya. Selain itu ada juga organisasi keagamaan yang terdiri dari remaja Mesjid. Serta pengajian atau perwiritan yang biasanya di ikuti oleh para ibu-ibu rumah tangga dari setiap lingkungan yang ada.


(52)

B A B III

SOLIDARITAS KEKERABATAN DALAM BERBAGAI KEGIATAN SLAMETAN

3.1. Slametan pada masyarakat Jawa.

Slametan menurut masyarakat Jawa di kelurahan Sawit Seberang adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan kehidupan yang aman, damai dan tentram. Slametan ini biasanya tercermin dalam kegiatan makan bersama, dimana para tetangga, sanak keluarga dan teman dekat ikut serta dalam kegiatan tersebut. Tujuan mereka melakukan kegiatan slametan ini untuk menghindarkan diri dari bahaya.

Pada umumnya masyarakat Jawa di kelurahan Sawit Seberang masih melakukan kegiatan slametan dalam seputar siklus kehidupan yaitu pada saat kelahiran, khitanan, perkawinan dan kematian. Selain itu kegiatan slametan juga dilakukan pada peristiwa-peristiwa kemasyarakatan lainnya, seperti slametan yang dilakukan dalam acara gotong royong bersama dan sebagainya.

Dalam kegiatan slametan ini, setiap individu yang ada dilingkungan tersebut harus terlibat dan berperan aktif agar tujuan dari slametan itu dapat tercapai dan kegiatan slametan itu dapat berjalan dengan baik dan lancar. Selain itu kegiatan slametan juga bertujuan membangun dan menciptakan hubungan sosial yang baik antar warga, sehingga tercipta suasana yang aman, damai dan tentram dilingkungan tersebut. Di kelurahan Sawit Seberang, kegiatan slametan ini dilakukan secara bersama-sama dan berkumpul disuatu tempat. Disini setiap orang sama tanpa


(53)

membedakan status dan kedudukan serta diwajibkan memberikan sumbangan yang sama untuk kegiatan slametan tersebut, maka dari itu slametan menurut masyarakat di kelurahan Sawit Seberang berfungsi untuk menciptakan masyarakat yang rukun dan memiliki rasa solidaritas yang tinggi.

Agar slametan yang diadakan oleh seorang warga itu berhasil, maka keikutsertaan para kerabat dan tetangga dekat dalam kegiatan slametan tersebut merupakan hal yang sangat penting. Oleh karena itu penting sekali untuk menciptakan hubungan-hubungan yang baik, dan tidak menonjolkan diri sendiri kepada orang lain. Misalnya, menjaga kerukunan, menghormati perasaan orang lain dan khususnya bersikap toleran mengenai hal-hal yang menyangkut hubungan bersama. Karena pada umumnya orang lain akan merasa tidak senang jika ada seorang warga yang tidak pernah ikut dalam berbagai kegiatan sosial dilingkungannya, seperti misalnya dalam kegiatan slametan bersama dan upacara pemakaman kematian seseorang.

Pada umumnya slametan menurut masyarakat Jawa di kelurahan Sawit Seberang terbagi dalam empat jenis, yaitu:

1. Slametan yang berkisar sekitar siklus kehidupan yaitu, kelahiran, khitanan, perkawinan dan kematian.

2. Slametan yang ada hubungannya dengan hari-hari raya Islam, seperti Maulud

Nabi, Idul Fitri, Idul Adha dan sebagainya.

3. Slametan yang ada sangkutannya dengan integrasi sosial desa, bersih desa (pembersihan desa dari roh-roh jahat).


(54)

4. Slametan sela yang diselenggarakan dalam waktu yang tidak tetap, tergantung kepada kejadian luar biasa yang dialami seseorang. Seperti keberangkatan untuk perjalanan jauh, pindah tempat, ganti nama, sakit, terkena tenung dan sebagainya.

Kebanyakan slametan diselenggarakan di waktu malam hari, kalau slametan diadakan untuk peristiwa menyangkut khitanan, perkawinan, panen, atau ganti nama, tuan rumah akan mengundang seorang ahli agama untuk menentukan hari baik menurut hitungan sistem kalender Jawa. Kalau slametan untuk peristiwa yang menyangkut kelahiran dan kematian, maka peristiwa itu sendirilah yang menentukan waktunya. Siang hari biasanya dimanfaatkan untuk menyiapkan hidangan, para kaum perempuan yang bertugas untuk menyiapkan hidangan untuk keperluan slametan tersebut. Untuk satu pesta kecil hanya anggota keluarga saja yang ikut serta, sedangkan untuk pesta yang lebih besar, beberapa sanak keluarga akan dimintai bantuannya.

Semua orang yang tinggal disekitar lingkungan tersebut akan di undang, khususnya orang yang tinggal disekitar rumahnya baik itu keluarga atau bukan, teman atau bukan semua yang tinggal di lingkungan tersebut harus datang.


(55)

3.1.1. Solidaritas kekerabatan dalam slametan perkawinan.

Perkawinan merupakan suatu tingkah laku yang sangat penting, dan menentukan kehidupan manusia baik perorangan maupun kelompok. Oleh sebab itu pada proses pelaksanaannya di perlukan beberapa syarat yang diatur dan di tetapkan oleh norma-norma bahkan tradisi. Proses pelaksanaan perkawinan pada masyarkat Jawa di kelurahan Sawit Seberang terdiri dari beberapa tahapan, yaitu mulai dari acara pelamaran hingga pelaksanaan perkawinan bisa memakan waktu mulai dari satu bulan hingga dua tahun lamanya. Proses tahapan ini tergantung dari kesepakatan yang dibuat oleh keluarga dari kedua calon pengantin.

Aktivitas tolong menolong dalam acara perkawinan masih sering di lakukan oleh masyarakat Jawa di kelurahan Sawit Seberang, tolong menolong tidak hanya di lakukan dalam aktivitas acara perkawinan saja namun tolong menolong juga dilakukan dalam berbagai aktivitas kehidupan sehari-hari, karena jiwa tolong menolong itu sudah berakar dalam jiwa masyarakat Jawa pada umumnya.

Tolong menolong dalam aktivitas acara perkawinan pada masyarakat Jawa di kelurahan Sawit seberang, mulai sejak dulu sudah diterapkan dalam kehidupan sosial mereka. Sistem tolong menolong ini terjadi karena adanya rasa kekerabatan yang kuat di dalam diri orang Jawa.

Menurut salah seorang informan, apabila ada seorang warga yang akan menyelenggarakan pesta perkawinan maka ia akan mendapatkan beberapa sumber bantuan. Baik itu dari sanak keluarga, tetangga maupun teman-teman dekatnya, bentuk bantuan itu biasanya berupa bahan makanan, uang maupun tenaga kerja. Untuk mendapatkan bantuan dan perhatian tersebut maka si penyelenggara pesta


(56)

harus bisa membina hubungan baik dengan anggota kerabat maupun dengan warga sekitarnya, misalnya si penyelenggara pesta harus terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang sering diadakan dilingkungan tersebut, dan selalu berusaha untuk dapat menghadiri undangan-undangan yang diadakan oleh tetangga sekitarnya.

Pada suatu acara pesta perkawinan di kelurahan Sawit Seberang, yaitu dalam hal menyiapkan berbagai hidangan untuk para tamu undangan biasanya dilakukan oleh pihak perempuan, sedangkan pihak laki-laki melakukan pekerjaan yang lebih berat seperti: memotong kambing dan menyayat dagingnya, mendirikan atap/teratak untuk para tamu, dan sebagainya. Selain adanya bantuan dalam bentuk tenaga kerja, ada juga bantuan yang diberikan dalam bentuk bahan makanan yang nantinya akan digunakan dalam pesta perkawinan tersebut. Biasanya keluarga dekat dari tuan rumah yang masih sering memberi bantuan berupa bahan makanan yang dibutuhkan dalam upacara perkawinan itu.

Kegiatan memberikan bantuan dalam bentuk tenaga kerja maupun dalam bentuk bahan makanan dan uang merupakan suatu rasa kepedulian, kebersamaan dan rasa solidaritas yang tinggi terhadap sesama warga dilingkungan tersebut.

Aktivitas tolong menolong seperti ini akan berlanjut terus menerus karena setiap warga di wajibkan membalas kembali atas bantuan yang telah diberikan kepadanya, baik itu bantuan dalam bentuk dana maupun tenaga yang telah di berikan oleh kerabat maupun tetangga dekat untuk acara perkawinan yang dilaksanakan oleh tuan rumah tersebut. Sehingga rasa solidaritas kekerabatan pada masyarakat Jawa khususnya di kelurahan Sawit Seberang akan dapat di pertahankan dengan baik.


(57)

3.1.2. Solidaritas kekerabatan dalam slametan khitanan.

Upacara sunatan atau khitanan merupakan upacara saat peralihan seseorang dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Orang Jawa pada umumnya yang masih kuat kepercayaannya terhadap leluhur mereka beranggapan bahwa sunat atau khitanan adalah suatu upacara yang harus dilakukan, karena hal ini merupakan salah satu upacara inisiasi yaitu berpindahnya status seseorang dari satu tingkat ke tingkat yang lain. Seperti kita ketahui bahwa dalam proses inisiasi ini penuh dengan adanya gangguan gaib yang harus dihindari, akan tetapi bagi seseorang yang menganut agama Islam khitanan merupakan pertanda bahwa seseorang itu telah menjadi penganut agama Islam.

Makna slametan khitanan ini tidak hanya menandai kedewasaan seseorang, namun juga menandai bahwa sudah saatnya ia menerapkan batasan-batasan yang jelas antara laki-laki dan perempuan berkaitan dengan sikap, tindak-tanduk, pergaulan dan penampilan mereka.

Seperti halnya upacara perkawinan, upacara sunat yang sering dilakukan di kelurahan Sawit Seberang, khususnya bagi orang yang mampu kadang-kadang dirayakan secara besar-besaran dengan berbagai pertunjukan atau hiburan yang berlangsung semalam suntuk. Sedangkan bagi mereka yang kurang mampu cukup dengan slametan secara sederhana yang cukup disaksikan oleh beberapa tetangganya dan anggota kerabat dekat.

Malam hari sebelum anak laki-laki itu disunat, diadakan tirakatan semalam suntuk. Pada pagi harinya dilanjutkan dengan acara inti yaitu saat anak laki-laki itu disunat, sebelum disunat pada pagi harinya si anak disuruh merendam diri di dalam


(58)

air, maksud dari kegiatan ini adalah agar ketika disunat nanti darah tidak akan banyak keluar dan juga akan mengurangi rasa sakit. Setelah mandi atau merendam diri, anak tersebut dibawa kesuatu ruangan untuk diberi pakaiaan yang bagus antara lain memakai kain panjang yang oleh orang Jawa disebut bebedan. Adapun cara memakainya seperti kalau seorang wanita memakai kain, hanya bedanya kalau si anak yang disunat kain itu dipakai pada bagian muka yang ditaruh dibelakang, kemudian memakai baju yang disebut surjan, ikat pinggang dan lain sebagainya.

Upacara untuk merayakan khitanan pada umumnya menyerupai pola upacara perkawinan, dalam upacara ini biasanya tuan rumah akan banyak mengeluarkan dana secara berlebih-lebihan. Hiburan sewaan yang meriah, seperti wayang kulit dengan seperangkat gamelan dan lain sebagainya, biasanya dalam acara slametan ini banyak tamu yang akan di undang dan mereka yang hadir ini diharapkan akan membawa hadiah-hadiah atau sumbangan dalam bentuk uang.

Khitanan merupakan upacara menyambut masa remaja khususnya anak laki-laki pada orang Jawa di kelurahan Sawit Seberang. Kebanyakan anak laki-laki-laki-laki di khitan pada usia sepuluh sampai lima belas tahun, biasanya mereka di khitan sendiri-sendiri maupun secara rombongan yang terdiri dari dua tau tiga orang saudara, saudara sepupu atau tetangga dekat dimana proses khitanannya dilaksanakan sekaligus.

Menurut salah seorang informan, Slametan untuk khitanan ini di tentukan juga hari baik pelaksanaannya. Hal ini hampir sama dengan slametan perkawinan yang juga harus ditentukan dan dipilih hari yang baik. Tujuannya untuk mendapatkan berkah dan keselamatan pada orang yang akan melaksanakan hajatan tersebut.


(59)

Dalam mempersiapkan acara slametan khitanan ini, biasanya melibatkan banyak orang, hampir semua kerabat dan tetangga dekat akan hadir dalam persiapan acara slametan tersebut. di kelurahan Sawit Seberang, acara slametan khitanan ini juga dilakukan dengan melibatkan banyak anggota kerabat dan tetangga dekat, setiap orang akan ikut berpartisipasi dalam mempersiapkan berbagai keperluan acara slametan khitanan tersebut.

Slametan khitanan ini biasanya diselenggarakan pada malam hari menjelang sunatan dilaksanakan, slametan ini yang disebut manggulan hampir sama dengan slametan midodareni yang diadakan pada malam hari menjelang perkawinan. Di dalam upacara tersebut dihidangkan semua jenis penganan yang dibuat dari beras ketan yang dilumatkan pada satu talam besar hingga berbentuk sebuah piringan biskuit yang tipis. Penganan ini dimaksudkan untuk melambangkan rasa iri hati, benci, cemburu dan semacamnya yang tersembunyi dalam setiap diri manusia telah dihilangkan dan yang ada hanyalah perasaan dalam hati yang tenang, damai dan tentram.

Pada malam harinya setelah anak yang mengadakan slametan tersebut telah di khitan, diadakan acara pesta hiburan untuk para tetangga dan tamu yang telah datang. Biasanya pertunjukan ini berlangsung sampai larut malam,

Upacara sunat atau khitanan tidak hanya dilakukan oleh anak laki-laki saja, namun anak perempuan juga mengalami proses tersebut. Pada anak perempuan acara slametan sunat atau khitanan ini dilakukan pada saat si anak sudah berumur sekitar delapan tahun. Tujuan dari upacara ini hampir sama yaitu merupakan acara inisiasi atau masa peralihan seseorang dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.


(60)

Tidak seperti sunat laki-laki yang dirayakan dengan upacara besar-besaran dan melibatkanbanyak orang, sunat perempuan dilaksanakan secara rahasia bertempat di dalam rumah tanpa pemberitahuan kepada siapapun kecuali dihadiri ibu dari anak perempuan yang disunat dan dukun. Selama pelaksanaan sunat berlangung biasanya pihak ibu hanya menyediakan sesaji berisi beras, nasi tumpeng, rempah-rempah, sesisir pisang, air bunga setaman (tiga macam bunga mawar, melati, sedap malam), dan seekor ayam hidup (pangurip-urip) untuk diberikan kepada dukun. Atau menyediakan nasi gudangan (berisi macam-macam sayur) untuk dibagikan kepada anak-anak.

Seperti halnya di kelurahan Sawit Seberang, biasanya sunat perempuan dilaksanakan oleh bidan yang bertempat di rumah sakit atau klinik, acara ini hanya dihadiri oleh pihak ibu dan bidan. Terkadang hanya bidan sendirian, tanpa disertai upacara apapun kecuali mengucapkan doa pendek menurut keyakinan masing-masing sebelum dilakukan sunat. Sejak dulu sunat perempuan dilaksanakan oleh dukun bayi. Dukun itu sendiri dalam kepercayaan mistik Jawa, dipahami sebagai orang yang memiliki kekuatan supranatural yang dapat mengusir roh-roh jahat.


(61)

3.1.3. Solidaritas kekerabatan dalam slametan pertanian.

Solidaritas kekerabatan dalam akivitas pertanian sudah sejak dahulu mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Jawa di kelurahan Sawit Seberang. Tolong menolong dalam aktivitas pertanian ini terjadi karena dahulu daerah perladangan sangat luas, dan hal ini membutuhkan tenaga kerja yang banyak.

Para petani membutuhkan tenaga tambahan untuk menggarap tanah. Suatu cara pengerahan tambahan tenaga ialah dengan jalan bantu membantu atau kita kenal dengan istilah gotong royong.

Dahulu kegiatan gotong royong dalam aktivitas pertanian masih sering di lakukan di kelurahan Sawit Seberang. Gotong royong tersebut terdapat pula dalam hal kematian, kecelakaan, mendirikan rumah atau memperbaiki bagian rumah, memperbaiki jalan-jalan, jembatan dan lain sebagainya. Gotong royong dalam pertanian biasanya terdapat pada waktu orang mengerjakan sawah, misalnya mencangkul, membajak, menggaru, menanam padi, memelihara tanaman (menyiangi rumput dan memberi pupuk) dan sebagainya.

Kegotong royongan ini biasa terjadi diantara para petani yang mempunyai sawah yang berdekatan, sesuatu hal yang lebih penting bagi penduduk desa adalah hubungan baik serta kerja sama yang baik dengan petani-petani lain yang mempunyai sawah dan tegalan pada satu tempat yang sama. Petani-petani yang berdekatan sawah atau ladangnya, berusaha untuk saling tolong-menolong dalam pekerjaan pertanian.

Sering terjadi kesepakatan antara pemilik sawah untuk saling membantu dalam mengerjakan sawahnya, misalnya dalam waktu tertentu mereka bekerja mencangkul sawah milik si A, kemudian setelah selesai, membajak tanah milik si B,


(62)

selanjutnya sawah si C yang belum digaru di kerjakan bersama-sama demikian seterusnya hingga sawah milik setiap petani tersebut selesai di garap.

Gotong royong ini sifatnya sukarela tanpa upah, tetapi karena masyarakat Indonesia yang biasanya memiliki rasa solidaritas yang tinggi terlebih lagi orang-orang yang berada di pedesaan maka mereka tidak sampai hati jika dirinya dibantu para tetangga tanpa menyediakan sekedar jaminan apapun. Jadi mereka yang bekerja di sawah tadi seringkali dijamin makan dan minum oleh si pemilik sawah.

Solidaritas kekerabatan yang tercermin di dalam aktivitas pertanian ini adalah dimana setiap warga masyarakat harus ikut serta di dalam beberapa tahap dalam aktivitas pertanian tersebut. Setiap warga memiliki rasa solidaritas yang tinggi terhadap warga lainnya.

Kerja bersama yang mirip dengan gotong royong yaitu yang sering disebut sambatan dahulunya masih sering dilakukan di kelurahan Sawit Seberang. Di dalam kerja sambatan ini orang-orang yang membantu pada umumnya telah disambat lebih dahulu, yaitu dimintai tolong secara lisan. Kemudian pada hari yang telah ditentukan, orang-orang yang disambat tadi datang beramai-ramai serta mengerjakan apa yang telah direncanakan oleh si tuan rumah. Sambatan ini terdapat dalam hal mendirikan rumah, memperbaiki rumah, membuat sumur dan lain sebagainya. Pada dasarnya sambatan itu adalah kerja bersama tanpa upah tetapi dijamin makan, minum.

Pada umumnya, dahulu para petani di kelurahan Sawit Seberang dalam bercocok tanam terutama tanaman padi, masih mengadakan upacara selametan. Hal ini rupanya sukar dihapus karena erat hubungannya dengan kepercayaan mereka. Para petani masih percaya akan adanya Dewi Sri yang dihormati karena dianggap sebagai


(63)

Dewi padi pelindung pertanian. Mereka menghormatinya karena atas jasa-jasa padilah mereka dapat makan., oleh sebab itu rasa hormat dibuktikan dengan adanya upacara-upacara yang mereka adakan dalam semua pekerjaan yang berhubungan dengan padi. Upacara slametan tadi ada yang diadakan secara sederhana, ada pula yang dilaksanakan secara besar-besaran.

Dalam hal melaksanakan upacara-upacara slametan tersebut, para anggota masyarakat di kelurahan Sawit Seberang akan berkerja secara gotong royong dalam rangka persiapan upacara slametan tersebut. Sehingga dapat dilihat dalam setiap aktivitas kehidupan mereka selalu menerapakan azas-azas gotong royong.

Selain slametan tersebut diatas, ada juga slametan panen yang biasanya dahulu dilakukan oleh masyarakat di kelurahan Sawit Seberang. Ketika musim tanam padi mendekat, petani mencari seorang tua yang dikenalnya untuk menerapkan suatu sistem numerologi petungan dalam memilih hari yang tepat untuk “membuka tanah” (mulai membajak). Ketika hari ini tiba, suatu slametan kecil yang disebut “wiwit sawah” (mulai bersawah) diadakan pada pagi hari di sawah, dan setiap orang yang kebetulan lewat harus diajak ikut serta. Pada malam harinya suatu slametan kecil seringkali diadakan juga dirumah petani itu. Slametan kecil lainnya kadang-kadang diadakan juga di rumah pada waktu memindahkan tanaman dari persemaian atau pada waktu memindahkan tanaman dari persemaian ke sawah, walaupun keduanya ini biasanya ditiadakan.

Upacara lain yang berhubungan dengan pertanian adalah upacara yang disebut bersih desa atau merti desa. Upacara ini ditunjukan pula kepada roh halus yang menunggu desa itu dan ditujukan pula kepada Dewi Sri yang telah memberikan panen


(1)

Hal ini tentu saja akan mengurangi rasa kebersamaan yang biasanya tercipta, apabila persiapan untuk keperluan perkawinan tersebut dilakukan oleh tuan rumah yang nantinya akan dibantu oleh para kerabat dan tetangga dekat.

Upacara perkawinan di kelurahan Sawit Seberang sudah tidak lagi mengikuti semua ritual yang sering dilakukan masyarakat Jawa pada zaman dahulu, meniadakan beberapa hal itu dinilai lebih Islami. Proses ijab kabul diselenggarakan pada pagi hari atau bisa jadi sehari sebelum resepsi diadakan. Pada saat resepsi perkawinan itu, kedua mempelai berdiri dan terkadang duduk di kursi yang sudah disediakan dan sudah didekorasi sedemikian rupa indahnya. Kedua mempelai ini di dampingi oleh orang tua keduanya.

Tamu yang datang menyalami dan memberi selamat kepada orang tua dan kedua mempelai, kemudian para tamu tersebut dipersilahkan memilih hidangan yang telah tersedia di atas sebuh meja yang telah dipersiapkan sebelumnya. Menurut masyarakat kelurahan Sawit Seberang cara seperti ini dianggap lebih praktis.

Karena adanya pergeseran yang terjadi pada acara slametan dalam berbagai aktivitas sosial, serta pergeseran pada upacara perkawinan khususnya di kelurahan Sawit Seberang ini, secara tidak langsung menyebabkan hilangnya rasa solidaritas yang ada pada setiap warga masyarakat Jawa di perantauan.


(2)

itu merupakan suatu wadah dimana para kerabat dekat maupun masyarakat secara keseluruhannya dapat berkumpul dalam suatu keadaan yang tujuannya untuk menguatkan rasa kebersamaan dalam lingkungan masyarakat khususnya masyarakat Jawa di kelurahan Sawit Seberang.

Namun kenyataannya seiring dengan perkembangan zaman, pelaksanaan slametan dalam berbagai kegiatan sosial dan pelaksanaan upacara perkawinan sudah mulai mengalami perubahan. Perubahan ini dapat dilihat dari berbagai kegiatan sosial seperti perkawinan, khitanan, kematian, pertanian dan lain sebagainya yang sering dilakukan oleh masyarakat Jawa di kelurahan Sawit Seberang, kini tidak lagi diikuti dengan mengadakan slametan atau kenduri yang tujuannnya mengharapkan keselamatan dan kedamaian dalam kehidupan ini. Kalaupun ada hanya beberapa orang saja yang masih mau melaksanakan tradisi tersebut.

Semua hal diatas terjadi dikarenakan oleh faktor-faktor dari luar seperti faktor tingkat pendidikan mereka yang sudah mulai maju, selain itu faktor agama juga ikut mepengaruhi terjadinya perubahan tersebut.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan.

Berdasarkan uaraian yang telah dideskripsikan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Terjadinya proses perubahan solidaritas kekerabatan slametan dalam berbagai kegiatan sosial dan dalam upacara perkawinan pada masyarakat Jawa perantauan, khususnya pada masyarakat kelurahan Sawit Seberang.

2. Adanya perubahan-perubahan yang terjadi, khususnya dalam berbagai kegiatan slametan dan pada upacara perkawinan di kelurahan Sawit Seberang. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, baik itu faktor dari luar maupun faktor dari dalam masyarakat itu sendiri. Sehingga mengakibatkan terganggunya solidaritas kekerabatan diantara mereka.

3. Tingkat pendidikan masyarakat merupakan salah satu faktor pendorong terjadinya perubahan solidaritas kekerabatan di kelurahan Sawit Seberang. 4. Faktor agama juga mempengaruhi solidaritas kekerabatan yang biasanya


(4)

Seberang memiliki mata pencaharian sebagai buruh perkebunan dan pegawai. Sehingga keeratan hubungan dalam sistem kerja bersama sudah tidak ada lagi.

Saran.

Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan diatas, maka penulis dapat memberikan saran-saran sebagai berikut:

1. Terjadinya perubahan solidaritas kekerabatan etnis Jawa perantauan di kelurahan Sawit Seberang tersebut merupakan hal yang wajar. Namun sebagai suku asli, perlu adanya pencegahan agar identitas kesukuannya tidak hilang. 2. Diharapkan agar generasi muda mau mempelajari adat-istiadat kebudayaan

sendiri, yaitu sebagai suku bangsa Jawa yang banyak mengandung nilai-nilai budaya yang dapat dipergunakan dalam pergaulan sehari-hari.

3. Hilangnya identitas etnis Jawa, tergantung kepada solidaritas kekerabatan yang mereka miliki. Oleh sebab itu modernisasi yang dapat mengurangi rasa solidaritas perlu dicegah, supaya tidak merusak dan menghilangkan identitas tersebut. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memelihara situasi-situasi sosial yang membuat suku tersebut bersatu.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Berutu, L, dan P. “Pendahuluan”, dalam Tradisi dan Perubahan Konteks Masyarakat Pakpak Dairi. Medan. Monora. 1998.

Durkheim. E. “Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas”. Yayasan Obor Indonesia. 1986

Depdikbud. “Adat dan Upacara Perkawinan Daerah jawa Tengah”. Jakarta. 1977

“Adat Istiadat Daerah Istimewa Yogyakarta”. Jakarta 1976

Suseno. M. F. “Etika jawa”. Gramedia. Jakarta. 1983

J.P. Doyle. “Teori Sosiologi Klasik dan Modern”. Jakarta, Gramedia. 1986


(6)

Layendecker. L. “Tata Perubahan dan Ketimpangan”. Jakarta. Gramedia. 1982

Moleong. Lexy. J “Metode Penelitian Kualitatif. Bandung”. Remaja Rosdakarya. 2004.

Mulder. N. “Pribadi dan Masyarakat di Jawa”. Sinar harapan. Jakarta. 1985

Oflin. Ni. C. “Solidaritas Sosial Suku Sakai”. Skripsi S1 FISIP USU. 1990.

Saragih. J “Solidaritas Kekerabatan Masyarakat Simalungun”. Skripsi S1 FISIP USU. 1998.

Yudi. M “Bentuk-bentuk Solidaritas Sosial Yang Muncul di Permukiman Masyarakat”. Skripsi S1 FISIP USU. 2000


Dokumen yang terkait

Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Pernikahan Usia Muda di Kelurahan Sawit Seberang Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat

2 94 114

Gambaran Karakteristik dan Sosial Budaya Masyarakat Terhadap Kejadian Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Sawit Seberang Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat 2014

4 83 118

Analisis Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Puskesmas Sawit Seberang Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat

20 192 114

Pengetahuan Lansia Tentang Andropause di Desa Alur Gadung Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat

4 84 74

Pengaruh Keberadaan PTPN II Kebun Sawit Seberang Terhadap Tingkat Pendapatan Masyarakat Setempat (Studi Kasus : Kec. Sawit Seberang Kab. Langkat).

0 23 84

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Pernikahan Usia Muda di Kelurahan Sawit Seberang Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat

0 0 9

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERNIKAHAN USIA MUDA DI KELURAHAN SAWIT SEBERANG KECAMATAN SAWIT SEBERANG KABUPATEN LANGKAT

0 0 13

GAMBARAN KARAKTERISTIK DAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT TERHADAP KEJADIAN HIPERTENSI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SAWIT SEBERANG KECAMATAN SAWIT SEBERANG KABUPATEN LANGKAT

0 1 15

BAB I PENDAHULUAN - Analisis Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Puskesmas Sawit Seberang Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat

0 0 9

Analisis Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Puskesmas Sawit Seberang Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat

0 1 18