PENGEMBANGAN EKONOMI DAN PERBANKAN SYARI

PENGEMBANGAN EKONOMI DAN PERBANKAN SYARIAH
BERBASIS KEARIFAN LOKAL
Dr. Abdul Aziz, M.Ag
(Dosen Program Pascasarjana dan S1 Ekonomi Perbankan Islam IAIN SNJ Cirebon)
Email: razi_ratnaaziz@yahoo.co.id
Email: abdulazizmuanwwar11@gmail.com
Website: nyongnewablogaddres.blogspot.com
Pendahuluan
Puji syukur alhamdulillah atas ridla dan karunia-inayah-Nya, pada kesempatan ini saya diberi
kehormatan menjadi pembahas pada “Seminar Nasional” dan Bedah Buku “Hukum
Perbankan Syariah”, karya Prof. Dr. H. Akhmad Mujahidin, M.Ag., sekaligus sebagai
narasumber untuk tema “Peranan Kearifan Lokal (Local Wisdom) dalam Pengembangan
Ekonomi dan Perbankan Syariah di Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Program
Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
Pada tema ini, saya melihat ada tiga kata kunci penting, yaitu (1) pengembangan ekonomi,
(2) perbankan syariah, dan (3) kearifan lokal. Pengembangan ekonomi dan perbankan syariah
dibingkai dalam konteks keindonesiaan. Karena berbicara masalah kearifan lokal (local
wisdom), maka berbicara tentang ke-Indonesiaan.
Berbicara tentang keindonesiaan tentu menarik, sebelum penulis bahas masalah
pengembangan ekonomi dan perbankan syariah. Pertama, karena Indonesia merupakan
bangsa besar mayoritas Muslim yang kaya akan keberagamanan (kemajemukankebinekatunggalikaan). Kata “Keberagaman”, bisa ditinjau dari pengistilahan “ke-berragaman”, artinya aneka budaya, aneka bahasa, aneka suku, aneka kepulaan dan sejenisnya,

sementara istilah “ke-ber-agamaan”, berarti Indonesia banyak agama yang diakui, seperti
agama Islam, agama Kristen Katholik dan Protestan, agama Hindu dan Budha, agama
Khonghucu. Kedua, konteks ke-Indonesiaa yang merupakan suatu bangsa dan negara
memiliki suatu ideologi dan falsafah hidup yang berakar dari inti agama dan budaya
“keberagaman” tersebut, yaitu Pancasila. Inilah yang hemat penulis, bahwa Pancasila
seharusnya menjadi sumber segala sumber dan acuan dalam sistem berkehidupan berbangsa
dan bernegara secara menyeluruh dalam konteks Indonesia. Karena itu, pancasila merupakan
akar dari local wisdom (kearifan lokal) dalam konteks negeri ini, yaitu bangsa Indoensia.
Jika Amerika saja misalnya, dengan sistem kapitalismenya yakin dapat membantu dirinya
untuk meningkatkan perekonomian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. AS bahkan
dengan tanpa malu dan rasa percaya diri yang tinggi dengan sistemnya itu berkeinginan untuk
menyebarluaskan pada bangas-bangsa Eropa yang kalah perang dunia II, sehingga ia harus
“dengan tangan besi” menggunakan Marshall Plan 1 (George Marshall menteri luar negeri
11 Keberhasilan Amerika Serikat dalam pembangunan ekonomi tidak terlepas dari teori modernisasi yang
didasarkan teori Max Weber sebagai upaya pemerintah AS untuk “menolong”, yang sebenarnya juga
menyangkut kepentingannya sendiri untuk memperkaya negara Amerika. Karena Amerika tidak bisa kaya
sendirian saja. Amerika butuh pasangan kencan untuk berdagang. Mula-mula ia menolong negara-negara Eropa
melalui Marshal Plan untuk merekonstruksi akibat dampak perang dunia kedua. Ternyata berhasil, kemudian
Jepang. Kemudian negara-negara miskin lainnya, yang dikenal sebagai negara-negara Dunia Ketiga. Namun
mendapat kegagalan. Liha t tulisan Arief Budiman berjudul “Ilmu Sosial di Indonesia Perlunya Pendekatan

Struktural” dalam buku “Krisis Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pembangunan di Dunia Ketiga”, yang diterbitkan oleh
PLP2M, Jakarta, 1984m 155.

semasa Harry S. Truman, presiden AS tahun 1947) sebagai model pembangunan terencana
yang harus diikuti oleh negara-negara Eropa Barat (Yunani, Turki, Jerman, Italia, Inggris dan
seterusnya). Amerika Serikat konsisten dengan nilai, prinsip dan tata aturan yang dibangun
secara menyeluruh, komitmen dan yakin bahwa model yang ditawarkan dapat membawa
kemajuan negara-negara Eropa yang kalah perang, dan berhasil. Misi AS untuk “menolong”
berhasil menghantarkan negara-negara Eropa Barat menjadi negara maju dan sistem kapitalis
dengan dalih baju demokrasi dapat mengambil alih sistem politik negara sekaligus. Bahkan
negara-negara Eropa Barat menjalin kerjasama yang solid dengan membentuk European
Economic Community (EEC) pada tanggal 25 Maret 1957 di Roma, Italia.
Dan, keberhasilan Marshall Plan di negara-negara Eropa Barat yang telah mampu merecovery dan mengkonstruksi negara-negara tersebut, akhirnya diteruskan kepada negaranegara berkembang yang tentu secara geografis, budaya, ideologis dan faktor lain sangat
berbeda karakternya.
Sejalan dengan itu, Uni Soviet sebagai negara adidaya kedua setelah Amerika Serikat
membanggakan sistem sosialis dan menyebarkluaskannya pada negara-negara Eropa lainnya,
dengan baju komunismenya sebagai sistem negara. Jika pada Amerika ada Marshall Plan,
maka di Uni Soviet ada Molotov Plan (Molotov, menteri luar negari US saat itu). Molotov
Plan merupakan suatu program negara adidaya (US) dalam rangka membantu meringankan
beban dan sekaligus program pemulihan untuk negara-negara Eropa Timur dari kehancuran

akibat perang dunia kedua, dengan mengirimkan bantuan-bantuan paket ekonomi berupa
perkreditan. Karenanya, untuk soliditas mereka membentuk Commintern Economi
(Comicon). Dan, “berhasil”.
Jadi, kedua program Plan baik Marshall Plan pada Amerika Serikat maupun Molotov Plan
untuk Uni Soviet dengan masing-masing programnya telah menyebar luaskan paham
demokrasi dan komunismenya pada tataran politik kenegaraan, sementara disektor
perekonomian menumbuhsuburkan sistem kapitalisme dan sosialis. Hal ini yang tentu hemat
penulis dapat dicatat. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Mari kita diskusikan.
Pengembangan ekonomi
Jika AS mampu menanamkan ideologi kapitalis menjadi sistem ekonomi dan demokrasi
menjadi soko guru sistem kenegaraan dalam politiknya yang mampu disebarluaskan melalui
“Marshall Plan”nya, maka US dapat menerapkan pada sekutunya itu sistem sosialis untuk
sektor perekonomian dan baju komunis pada sistem kenegaraannya.
Maka, Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara, sama seperti Amerika, Uni Soviet (kini
Rusia), Jerman, Italia, Perancis, Yunani, Turki dan seterusnya yang tentu pernah mengalami
dampak perang dunia kedua dan mengalami pahit getirnya negara jajahan selama berabadabad, kini dengan telah merdeka pada tahun 1945 sampai mengalami 7 (tujuh) pergantian
presiden selama 71 tahun kemerdekaannya, belum beranjak dari negara berkembang menjadi
negara “maju”. Tentu pertanyaannya adalah kenapa, ada apa dan bagaimana ini? Mari kita
lihat perjalanan panjang (secara selintas) era kepemimpinan bangsa Indonesia dan
bagaimana pengembangan ekonominya.

Sejak kemerdekaan RI pertama Indonesia tentu mengalami hambatan dan tantangan, terutama
pemulihan (recovery) di bidang ekonomi. Dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana amanat Undang-undang tentu

ideologi yang perlu ditegakkan adalah tiada lain Pancasila. Karena, Pancasila sejak Indonesia
merdeka menjadi falsafah hidup bangsa Indonesia dan termasuk merupakan ideologi bangsa
yang ini tentu sejak era Soekarno, seorang insiyur (Ir) yang kemudian disebut sebagai Orde
Lama (21 tahun) menyakini bahwa Pancasila sebagai keputusan final menjadi dasar negara
(falsafah hidup untuk kebangsaan Indonesia) yang didampingi oleh wakilnya M. Hatta
seorang ekonom telah menggagas dan mencetuskan sistem ekonomi kerakyatan berbasis
koperasi sesuai dengan ideologi bangsa, yaitu Pancasila (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia).
Sekali lagi, jika Amerika dengan sistem kapitalisnya mampu menjadi tolok ukur
perencanaan di bidang ekonomi, di bidang politik sistem demokrasi menjadi “darah
daging”, meskipun hanya 2 partai politik saja yang berperan (Partai Republik dan Partai
Demokrat) menjadi tuntunan kehidupan politik yang dipertahankan, kalau tidak dikatakan
didewakan.
Orde Baru di era Soeharto selama 32 tahun kepemimpinannya, sekali lagi Pancasila masih
tetap menjadi acuan dan pedoman hidup bangsa – terlepas dari seperti apa dan bagaimana
cara menerjemahkannya – mampu menghantarkan bangsa Indonesia “membangun”

(devlopment country) melalui GBHN-nya dan P4 (Pedoman Penghayatan Pengamalan
Pancasila) sebagai cara menyakinkan kepada rakyat dalam mensosialisasikan dan memahami
isi kandungan Pancasila. Namun faktanya, apa yang diharapkan dan diinginkan oleh
“Pancasila” sebagai ideologi dan falsafah negara sebagaimana yang diterjemahkan era
Soeharto belum mampu mensejahterakan rakyat Indonesia, kesenjangan sosial masih ada
keadilan sosial belum sepenuhnya tercapai. Namun yang perlu dicatat adalah bahwa apa yang
menjadi cita-cita perekonomian dengan asas kekeluargaan melalui KOPERASI dapat
tumbuh-surut- berkembang2.
Meskipun sekali lagi, demam kapitalis melalui IMF3-nya dengan dalih bantuan untuk
pemulihan perekonoman dan pembangunan pada negara-negara berkembang dan dorongan
“kaspat” DEMOKRASI – istilah yang sekarang sedang booming yang diperankan kanjeng
Brajamukti – tidak dapat dihindari di”PAKSAKAN” agar dijadikan sebagai sistem politik
tersebut, sebagaimana apa yang diinginkan oleh MARSHALL PLAN-nya Amerika berhasil
mengganti tatanan sosial bangsa Indonesia, yaitu PANCASILA dan EKONOMI
KERAKYATAN.

22 Pada tahun 1945 – 1958 gagasan ekonomi kerakyatan cenderung mengalami proses pasang surut,
apalagi 1949 ketika kaum penjajah belum sepenuhnya rela meningalkan Indonesia. Sementara tahun 1950 –
1958, meskipun pada 1955 berlangsung sukses pemilihan umum. Indonesia terlanjur terjebak ke dalam kancah
pergulatan politik internal yang hampir tiada henti. Pada tahun 1959 – 1965 di era ekonomi dan demokrasi

terpimpin, semangat ekonomi kerakyatan cenderung mengalami politisasi besar-besaran sehingga memunculkan
gerakan G 30 S/PKI, puncaknya terjadi alih kepemimpinan dari Soekarno ke Soeharto pada tahun 11 Maret
1966. Di awal kepemimpinannya, ekonomi kerakyatan dengan secara tegas menamakan koperasi dengan
munculnya UU Koperasi No. 12/1967. Namun sebelumnya telah diterbitkan UU No. 1/1967 tentang Penanaman
Modal Asing (UU PMA). Dikutip dari tulisan Revrisond Baswir berjudul Ekonomi Kerakyatan Ekonomi Rakyat
dan Koperasi Sebagai Soko Guru Perekonomian Nasional.
33 IMF sebagai bagian dari wujud “MARSHALL PRLAN” modern diduga merupakan pelindung pejudipejudi pasar uang. Karena disamping posisinya sebagai pemantau dan pengendali defisit neraca berjalan
(“DNB”) pada para anggotanya, juga berfungsi sebagai pemberi peringatan dini, rekomendasi kebijakan yang
perlu ditempuh sembari memberikan dana bantuan kalau perlu. Meskipun secara formal berjalan, namaun ada
keanehan terkait dengan apa yang dialami Indonesia semasa krisis melanda.Untuk lebih lengkapnya, lihat
Hidayat Nataatmadja dalam buku berjudul “Inteligensi Spiritual Inteligensi Manusia-Manusia Kreatif, Kaum
Sufi dan Para Nabi”, yang diterbitkan Perenial Press, Jakarta tahun 2001, 201.

Akhirnya di era reformasi pada tahun 1997, apa yang menjadi “cita-cita” era orde lama dan
orde baru dalam rangka menyakinkan kepada rakyatnya bahwa Pancasila sejatinya adalah
ideologi bangsa dan dasar negara, serta ekonomi kerakyatannya dengan wujud “koperasi”
dihancur leburkan atau paling tidak dilihat sebelah mata oleh rakyatnya sendiri, terutama
IDEOLOGI BANGSA “PANCASILA” dilempar jauh-jauh dengan cara, misalnya P4
dihapuskan dari sekolah dan GBHN dihilangkan. Meskipun koperasi tetap masih eksis
bahkan menunjukkan perkembangannya, akan tetapi tidak sejalan dengan ideologinya.

Artinya, jika – lagi-lagi – sistem kapitalis akan dapat berjaya dan dapat berbuat banyak
menjadi sistem ekonomi suatu bangsa jika ditopang dan didorong oleh sistem politiknya,
yaitu demokrasi. Seperti halnya Amerika (“dewanya negara maju), INI FAKTA. Sementara di
Indonesia tidak berjalan secara berkelindan. Yakni, ekonomi kerakyatan tidak di back up oleh
Pancasila yang melahirkannya. Justru, sistem Pancasila diganti sistem Demokrasi, atau paling
tidak agar supaya tidak menyalahi dasar negara ditambah-tambah, yaitu DEMOKRASI
PANCASILA4 ATAU DEMOKRASI EKONOMI.
Hemat penulis, apa yang menjadi milik bangsa, jati diri bangsa yang mencerminkan karakter
bangsa dan ideologi bangsa yaitu PANCASILA disanding-sanding dengan DEMOKRASI,
yang bukan milik bangsa, karakter bangsa bahkan jatidiri bangsa Indonesia. DEMOKRASI
mungkin sangat cocok dengan karakter bangsa jati diri bangsa lain, sehingga bisa jadi sesuatu
yang bukan bajunya dipakai, maka tidak akan pas, bisa jadi kedodoran. Apalagi sistem
KAPITALIS, yang jauh dengan jati diri bangsa Indonesia yang guyub, tepo seliro, santun,
rerewangan, gotong royong, paroan, pertelonan, dan sejenisnya dalam bidang pertanian, yang
kecil menghormati yang tua, yang tua menyanyangi yang kecil. Misalnya, di Aceh
masyarakat sangat menghormati dan patuh pada tokoh, Cut Nya Dien, Cik Di Tiro, di Padang
Imam Bonjol di Jawa Tengah dengan Pangeran Dipenogoro sampai Papua semua tokoh-tokoh
masyarakat dipatuhi ditaati dan dihormati sehingga keterwakilan menjadi karakter dan
budaya bangsa dipaksakan menjadi sistem kapitalis yang sekuler yang sangat berbeda dengan
nilai-nilai tersebut di atas.

Kenapa Pancasila layak dipertahankan dan harus dipertaruhkan sebagai dasar negara, falsafah
hidup bangsa, bukan Islam misalnya karena Indonesia mayoritas Muslim. Paling tidak,
seperti apa yang menjadi kegelisahan dan keperihatinan Mubyarto pada teori-teori ekonomi
yang bersumber pada “KAPITALIS”, khususnya teori neoklasik teori-teori Neoklasik banyak
menggantungkan pada kekuatan pasar untuk melaksanakan alokasi sumber daya dalam
masyarakat yang dianggap oleh para pengamat lebih banyak menumbuhkan golongan
ekonomi kuat, dan kurang mampu meningkatkan peranan golongan ekonomi lemah.
Sementara dengan PANCASILA sebagai dasar negara dan falsafah hidup bangsa, didalamnya
menurut Mubyarto, memiliki prinsip dasar ekonomi yang jelas, seperti:
1.
2.
3.
4.
5.

Etika/Bermoral (Spirituality)
Manusiawi (Humanity)
Nasionalisme ekonomi (Economic Nationalism)
Demokrasi ekonomi/ekonomi kerakyatan
Keadilan sosial (Social justice)


44 Demokrasi Pancasila ala ORBA dan atau demokrasi terpimpin ala ORLA dua sistem yang berbeda.
Demokrasi merupakan sistem Barat yang secara politis diikutsertakan pada sistem Kapitalis sehingga
melahirkan neoliberal. Pancasila merupakan lahir asli dari rahim bangsa Indonesia. Demokrasi mau disatu
padukan dengan Pancasila menjadi Demokrasi Pancasila, sesuaikah? Hal ini tentu tidak terlepas dari perseteruan
ide dan gagasan yang sengit antara Sarbini Sumawinata pelanjut gagasan ekonomi kerakyatan dengan Widjojo
Nitisastro “penghamba” pada produk luar negeri yang bernama neoliberal dengan dewa penyelamatnya yang
bernama “KAPITALIS-DEMOKRASI”.

Juga sangat jelas karakteristik dan tatan budaya pada sistem ekonomi Pancasila
mencerminkan pada:
1) Roda kegiatan ekonomi digerakkan oleh rangsangan sosial dan moral.
2) Ada tekad kuat seluruh bangsa utk mewujudkan kemerataan sosial.
3) Ada nasionalisme ekonomi.
4) Koperasi merupaka sokoguru ekonomi nasional.
5) Ada keseimbangan yang selaras, serasi, dan seimbang dari perencanaan ekonomi
nasional dengan pelaksanaannya di daerah-daerah.
Inilah nilai-nilai dasar dari ekonomi Pancasila versi Mubyarto atau ekonomi kerakyatannya
M. Hatta dengan koperasinya yang secara pasti-akurat sesuai dengan budaya dan karakter
bangsa Indonesia, bukan Kapitalis atau pun Sosialis, Demokrasi maupun Komunis.

Karenanya, para pengikut sekaligus murid-murid beliau selalu mendukung dan
menyebarluaskan ide dan gagasannya itu. Untuk itu dikenal sebagai mazhab UGM, karena
Mubyarto seorang lulusan ekonomi pertanian.
Begitu juga pengakuan Yuyun Wirasasmita bahwa pada sistem kapitalis yang dilematik pada
aspek kepemilikan (ownership) dimana setiap orang diberikan kebebasan mutlak baik untuk
memilikinya maupun penggunaannya yang menimbulkan berbagai masalah seperti
eksternalitas (masalah kerusakan lingkungan, monopoli dan lain-lain), serta sosialis yang
cenderung membatasi kepemilikan individu sehingga menimbulkan kemandegan ekonomi.
Ini pun telah terbukti secara sadar atau tidak, menimbulkan masalah yang tak kunjung selesai,
terutama bagi negara-negara berkembang yang mau dipaksakan “harus” mengikuti pola
demokrasi ala Kapitalis atau pun pola komunis ala Sosialis.
Namun berakhirnya orde baru pada tahun 1997 dan beralihnya orde reformasi, dimana
warisan orba dengan hutang luar negeri yang begitu menganga dengan sistem demokrasi
pancasila yang gagal menunjukkan Pancasila “sakti” sesuai dengan nilai-nilai silanya.
Hampir seluruh produk yang “berbau” ORBA dihilangkan. Kini telah 18 tahun yang diawali
dengan era reformasi, mulai masa transisi BJ. Habibie sampai era Jokowi kehilangan pijakan
dan arah pembangunan di bidang ekonomi. Pemerataan ekonomi masih berpihak pada kaum
kuat, meskipun kaum lemah beranjak tetapi sangat lambat bergeser pada sedikit seditik
menuju kaum menengah. Munculnya korupsi merajalela dari tingkat desa sampai pejabat
tinggi negara, tindak kriminalitas meningkat ditandai dengan adanya ulah geng motor yang

tak pernah kunjung dipecahkan, pergaulan bebas semarak tak kenal tempat, alih-alih
seksualitas yang dilakukan anak pada anak dan terhadap anak oleh orang dewasa muncul
setiap saat. Dari berbagai permasalahaan dan persoalan seakan-akan tidak mampu untuk
diurai dari mana harus memulai, dan kapan harus diobati.
Sejatinya kalau dirunut dari fakta sejarah, memang tidak lepas dari bagaimana peran para
tokoh, terutama para akademisi sumbangsihnya pada pengembangan teori khususnya di
bidang ekonomi. Mereka mencoba untuk mengerahkan segenap ide, gagasan dan pikiran
sehingga melahirkan teori-teori ekonomi. Lahirnya ekonomi klasik tidak lepas dari Adam
Smith sebagai embahnya ekonomi modern denga disebarluaskan – baik melalui kritikan
perbaikan – oleh para pelanjut dan murid-muridnya, seperti: Thomas Robert Malthus (1766 –
1834), David Ricardo (1772 – 1823), Jean Baptiste Say (1767 – 1832) dan John Stuart Mill
(1806 – 1873)5 melahirkan sistem Kapitalis yang banyak dan telah memberikan sumbangsih
55 Mereka yang tersebut telah memberikan sumbangsih pemikiran di bidang ekonomi meletakkan dasar-dasar
yang kokoh dalam melahirkan sistem Kapitalis yang kemudian muncul dan berkembang menjadi mazhah-

besar pada negara Adidaya Amerika Serikat, dengan Demokrasi sebagai bungkus
pemerintahnnya. Karl Marx dengan pengembangan dari teori sosialis uthopis mampu
menampilkan sistem sosialisme menjadi sistem ekonomi yang dibungkus dengan sistem
pemerintahan komunis6.
Lantas bagaimana dengan sistem Pancasila dan ekonomi kerakyatan yang miskin akan ide
dan gagasan serta pelanjut dan jenderal lapangan yang mau “berkorban” untuk setidaknya
pada konteks keindonesiaan mau dengan “suka rela”, khususnya para ekonom untuk
mencuatkan Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah hidup bangsa menjadi sistem
ekonomi lokal, alih—alih sistem ekonomi dunia, ekonomi kerakyatan menjadi
pengajawantah sistem ekonomi Pancasila.
Kenapa harus sistem ekonomi Pancasila
Sebagaimana Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah hidup bangsa, maka bagaimana pun
kita harus konsisten dengan seluruh aspek di dalamnya. Prinsip, nilai dan karakteristik yang
terkandung didalmnya harus diimplementasikan dalam wujud nyata berbangsa dan bernegara.
Pancasila yang lahir dari asli rahim perwakilan tokoh agama, budaya, akademisi dan
represenatif dari bangsa Indonesia – terlepas dari kontroversinya, ketika 7 kata di dalamnya,
yang disebut piagam Jakarta – kini telah diakui secara konstitusi. Artinya, senang tidak
senang harus dipedomani secara konsisten.
Mayoritas Muslim Indonesia khususnya telah menerima bahkan diakui dalam sila pertama,
yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, merupakan wujud dari ketahuidan dalam ajaran islam. Yaitu
Allah Ahad, Allah Tuhan Yang Maha Esa. Sila ini tentu menjadi spirit keagamaan bagi semua
warga negara yang ada di dalam tubuh yang bernama Indonesia, spirit moral dalam
keberagamaan, budaya, sosial ekonomi yang merupakan pilar dalam menyemangati
kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi nilai etis oleh perilaku manusia-manusia
Indonesia. Maka jika, dalam ekonomi konvensional semangat atas homoeconomicus dalam
Pancasila menjadi homopanasilus, kalau bukan homosolius yang bisa ditafsirkan sebagai
manusia sebagai khalifah fi ardli. Artinya, perilaku warga negara Indonesia harus didasari
atas landasan moral Pancasila, tanpa harus diselewengkan tanpa harus diduakan dengan
lainnya. Karena itu, sistem ekonomi Pancasila paralel dengan sistem ekonomi Islam dilihat
dari aksiomatik sistem nilai ajaran Islam, yaitu TAUHID.
Disisi lain dalam sila-sila lain, sebagaimana pula jelaskan dan ditafsirkan oleh banyak tokoh
dan begawan ekonomi seperti yang telah disebutkan, misalnya Sarbini Sumawinata pelanjut
dari gagasan ekonomi kerakyatan M. Hatta, berlanjut pada Prof. Mubyarto dan Sri Edi
Swasono dengan banyak lagi para pengikutnya yang kemudian “angin-anginan” dalam
mazhab pemikiiran sampai matangnya pada John Maynard Keynes (1883 – 1946) dengan teori ekonomi yang
terkenal tentang Teori Uang. Buku yang sangat monumental The General Theory of Employment, Interest, and
Money merupakan buku penyempurna metode klasik dan neoklasik. Peran besar Keynes adalah saat
pembentukan IMF (International Monetary Fund), sehingga dengan jasanya itu ia dianugerahi gelar “BARON”,
suatu gelar kebangsaan yang sangat tinggi dalam masyarakat Eropa, sehingga ia mendapat banyak dukungan
seperti Alvin Harvey Hansen (1887 – 1975), Simon Kuznets (1901 – 1985), John R. Hicks (1904-) dengan
memperjelas analisis teori IS-LM, Wassily Leontief (1906 -) dan Paul Sameulson (1915 -) dan seterusnya. Lih.
Deliarnov dalam buku Perkembangan Pemikiran Ekonomi, 1997.
66 Sistem sosialisme Mark atau Marxisme yang nama lengkapnya adalah Karl Heindrich Marx (1818 – 1883)
pelanjut dari sosialis utopis yang digagas oleh tokoh-tokohnya seperti Sir Thomas More (1478 – 1535), Tomasso
Campanella (1568 – 1639), Francis Bacon (1560 – 1626) dan James Harrington dan lain sebagainya. Marx tidak
sendirian dalam memuncul-cuatkan ide dan gagasannya bersama Friedrich Engels, Georg Wilhelm Hegel dan
Ludwig Feuerbach dan tokoh Valdimir Ilich Lenin (1870 – 1924) Bapak Revolusi Rusia. Inilah pendekarpendekar kaum sosilias.

menyebarluaskan ide dan gagasannya itu. Maka, akan sangat lama waktu yang dibutuhkan
dalam rangka paling tidak bertahan dari serbuan gelomban sistem ekonomi Kapitalis dan
Sosialis yang diperjuangkan leat demokrasi dan komunis dalam sistem penyelenggaraan
negara, apalagi menggesernya. Mesikupun adanya sistem ekonomi Islam (SEI) telah
memberikan angin segar dengan ada dan muncul kembangnya kelembagaan ekonomi Islam
baik perbankan maupun non perbankannya. Namun hemat penulis, proses ini akan memakan
waktu yang sangat lama, karena disisi lain sistem ekonomi Islam hanya diterapkan pada
bidang ekonomi saja, tanpa dibarengi dengan sistem politik kenegaraan apalagi perundangundangannya. Mengingat Indonesia bukan negara agama, apalagi negara Islam. Meskipun
tentu sebagai bagian dari Muslim ini merupakan ijtihad di bidang ekonomi.
Semangat umat Islam untuk menjalankan ajaran Islam secara kaffah (universal), dengan
catatan tidak mengikuti langkah-langkah syetan, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang
tidak proporsional paling tidak itu akan menghambat. Hal ini telah terbukti berkali-kali dalam
sejarah kita. Hemat penulis, Pancasila sebagai bagian dari inti dari ajaran Islam paling tidak
akan mampu secara menyeluruh untuk menjadikan sistem ekonomi menjadi sistem ekonomi
nasional dan dunia, dengan syarat para pendekar dan begawan, baik dari kalangan politisi,
agamawan, teknokrat, dan para ekonomi semuanya bahu membahu tanpa batas agama, ras,
suku dan lainnya seperti halnya mereka para tokoh “mensukseskan” masing-masing ideologi
Kapitalis maupun Sosialis.
Syarat lain adalah pertentangan Pancasila dan Islam yang telah berkesudahan harus menjadi
momentum baik dalam pengembangan ekonomi berbasis kebijakan lokal (local wisdom)
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Jika sistem ekonomi Islam menjadi bagian penting
dalam rangka Pancasila membentuk dirinya pada sistem ekonomi nasional, maka secara
politik Islam dapat menjadi sistem politik dalam bingkai transpormasi Pancasila dengan
memproduk perundang-undangan dan peraturan pemerintah secara Islami. Karena itu,
Pancasila merupakan sumber inspiratif kearifan lokal (Pancasila as Inspiring of local
wisdom).
Perbankan Syariah vs Koperasi
Terlepas apakah perbankan syariah sesuai dengan “hukum Islam” atau tidak, “belum sesuai”
atau “sudah sesuai”, di Indonesia perkembangan kelembagaan ini secara kuantitatif telah
menunjukkan peningkatannya. Misalnya, sejak tahun 1991 dimana dimulainya babak baru
munculnya perbankan syariah dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang
berdiri tahun 1990 (1998 berlakunya UU PS) sampai dengan tahun 2016 telah mencapai
jumlah yang signifikan, yaitu dari 1 perbankan menjadi 12 perbankan (BUS). Dan, harus
diakui secara formal yuridis perkembangan perbankan syariah dengan peraturan perundangundangannya, baik oleh pemerintah maupun fatwa-fatwanya banyak diadopsi pada produkproduknya.
Pertumbuhan perbankan syariah yang signifikan ini tidak terlepas setelah adanya perubahan
Undang-Undang perbankan Nomor 10 tahun 1998, sebagai Undang-undang pengganti UU
Nomor 7 tahun 1992 tersebut mengatur dengan jelas landasan hukum dan jenis-jenis usaha
yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Pada tahun 2008, UU No.
21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah diberlakukan. UU No. 21 ini adalah UU khusus
yang mengatur perbankan Syariah.
Tabel 1 Perkembangan Bank Syariah Indonesia

Indikasi
BUS
UUS
BPRS

1998
KP/UUS
1

76

2003
KP/UUS
2
8
84

2004
KP/UUS
3
15
88

2005
KP/UUS
3
19
92

2006
KP/UUS
3
20
105

2007
KP/UUS
3
25
114

2008
KP/UUS
5
27
131

2009
KP/UUS
6
25
139

2014
KP/UUS
12
22
163

2015
KP/UUS
12
22
163

2016
KP/UUS
12
22
165

Sumber : OJK-BI, Statistik Perbankan Syariah, 2016.
Keterangan :
BUS
= Bank Umum Syariah
UUS
= Unit Usaha Syariah
BPRS = Bank Perkreditan Rakyat Syariah
KP/UUS = Kantor Pusat/Unit Usaha Syariah

Dari tabel di atas, dapat dilihat secara kuantitas baik BUS dan BPRS menunjukkan
peningkatannya, berbeda dengan UUS ada penurunan terutama pada tahun 2008 dengan
jumlah 27 tahun berikutnya 22. Hal ini membuktikan bahwa ekonomi islam dengan sistem
kelembagaan dapat diterima di tengah-tengah masyarakat yang kecenderungannya
konvensionalisme produk kapitalis demokrasi, melalui lembaga-lembaga perbankannya. Lalu
dimana peran Pancasilanya, meskipun sistem ekonomi Pancasila belum muncul secara
yuridis karena memang harus atas ketok palu DPR, setidaknya dalam perbankan Islam
menjadi representatif ekonomi Pancasila. Bisakah? ini PR kita bersama, terutama bagi yang
setuju akan hal ini.
Demikian pula koperasi yang merupakan bagian dari wujud ekonomi kerakyatan dalam
sistem ekonomi Pancasila, bait al-mal wa tamwil (BMT) dalam konteks ekonomi Islam
(syariah) menjadi soko guru perekonomian nasional harus diakui. Meskipun sebenarnya
lembaga perbankan lebih menjurus pada “melenganggengkan” sistem Kapitalis, setidaknya
koperasi syariah plus ekonomi kerakyatan lagi-lagi perlu didorong agar betul-benar menjadi
soko guru perekonomian nasional, “bukan” lembaga perbankan. Hal ini telah jelas disebutkan
secara tidak langsung pada Pasal 33 ayat 2 dan ayat 3 UUD 1945. Jadi, hanya koperasi yang
paling tidak mendekati apa yang dikehendaki oleh UU tersebut, bukan perbankan karena asas
kekeluargaan dengan wujud “ANGGOTA” menjadi slogan koperasi, sementara
“NASABAH” menjadi slogan perbankan.
Dalam konteks perbankan syariah dengan sistem bagi hasil (al-qiradh/mudharabah atau
musyarakah, muzara’ah, mukhabarah dan musyaqah) dan sistem jual beli (murabahah dan
lainnya) fee (jasa) menjadi hal yang menarik dalam konteks pembeda pada perbankan
konvensional. Maka perlu kita perjelas dengan model berikut ini:
100 %
50 %
30 %
BH / BRH

20 %
10 %
0
6

7

1

2

3

4

5

8

Gambar 1 BH/BRH 100 % dalam 8 Tahun

100 %
50 %
30 %
20 %

BH / BRH

10 %
0
6

7

1
8

2

3

4

5

Gambar 2 BH/BRH 50% cicilan dlm 8 Tahun
100 %
50 %
30 %
20 %
BH / BRH

10 %
0
6

7

1

2

3

4

5

8

Gambar 3 BH/BRH 30 % cicilan dalam 8 Tahun
100 %
50 %
30 %
20 %
10 %

BH / BRH
0

6

7

1

2

3

4

5

8

Gambar 4 BRH/BH < 20 % cicilan dalam 8 Tahun

Dari ilustari 1 sd. 4 tersebut menjelaskan tentang bagaimana prinsip bagi hasil atau bagi rugi
hasil dan atau produk perbankan syariah lainnya dengan adanya tambahan (ziyadah, atau
dengan dalih apa pun ulama sepakat sebagai “riba”) dalam konteks kekinian di Indonesia
dikenal dengan terang benderang sebagai “BUNGA” dalam konvensional. Apakah dengan ini
adalah peristilahan lain, terutama bagaimana rumusan sistem ekonomi Pancasila dapat
menjawab isu ini. PR panjang? Lalu bagaimana dengan koperasi?
Inilah bahan-bahan diskusi lanjutan untuk kita bahas dan dengan tekun pelajari agar harapan
kita menjadikan apakah SEI ataukah SEP dengan ekonomi kerakyataannya yang dipertegas
oleh sistem politik yang berdasarkan PANCASILA bukan demokrasi ala Kapitalis membumi
di Indonesia, tanah kelahiran sendiri, bukan tanah kelahiran Adam Smith, bukan juga tanah
kelahiran Karl H Marx.
Penutup
Dari bahasan tersebut di atas, maka dalam hal ini penulis ingin sharing bahwa ide dan
gagasan apapun yang muncul dan dituangkan dalam bentuk pemikiran merupakan suatu amal
ibadah jika diniatkan untuk pencerahan, peneyelesaian suatu masalah apalagi yang
menyangkut keumatan, terlebih dalam bentuk tulisan yang bisa dibaca dikritik dan

didiskusikan. Islam sebagai ajaran rahmatan lil alamin telah mengarahkan kepada pendiri
bangsa memunculkan ide dan gagasan berupa PANCASILA menjadi akhir dari perdebatan
ideologi dan dasar negara bagi bangsa Indonesia. Akankah disia-siakan? Tidak bisakah dari
ideologi bangsa dan dasar negara tersebut tidak bisa diwujudkan dalam kesejahteraan
ekonomi, kedamaian sosial dalam kerangka perpolitikan negara, sistem negara, hukum
negara dan seterusnya. Seperti halnya ide dan gagasan seorang diri Adam Smith bagi
penyelesaian akan kehancuran suatu bangsa dengan munculnya sistem KAPITALIS yang
diperbuat dengan DEMOKRASI, menjadi solusi. Amerikat Serikat dengan negara-negara
Eropa Barat lainnya. Ataukah seorang Karl Marx dengan ide cemerlang menggagas ide
sosialis menjadi sistem perekonomian SOSIALIS dengan bantuan “kediktatoran” negara
menjadi “KOMUNIS”, yang diimplementasikan dalam bentuk negara Uni Soviet, kini
RUSIA.
Pengembangan ekonomi dan perbankan syariah sebagaimana dalam diskusi ini memulai
sedini mungkin, meskipun sudah jauh dari lainnya mulai mencari pegangan dan basis pada
local wisdom (kearifan lokal) yang tentu penulis cenderung memilih sebagai basis
PANCASILA, sebagaiman juga telah selalu dibahas di kampus-kampus. Wallahu a’lam bi
sawab.

Daftar Referensi Diperkaya Oleh Tulisan:
Berbahasa Inggris:
Kindleberger, Charles, P. 1968. “the Marshall Plan and the Cold War”, International Journal,
Vol. 23, No.3, pp.369-382
Kunz, Diane B. 1997. “the Marshall Plan Reconsidered: a Complex of Motives”, Foreign
Affairs, Vol.76 No.3, pp.162-170
Bryan, Ferald J. 1991. “George C. Marshall at Harvard: a Study of the Origin and
Construction of the Marshall Plan Speech”, Presidential Studies Quarterly, Vol. 21, No. 3, pp.
21-38
Machado, Barry 2007, In Search of a Usable Past: The Marshall Plan and Postwar
Reconstruction Today, George C. Marshall Foundation, Lexington, VA. Pp. 51-63
Milward, Alan S. 1984, The Reconstruction of Western Europe, 1945-1951, Methuen,
London.
Berghahn, Volker R. 2008, The Marshall Plan and the Recasting of Europe’s Postwar,
Berbahasa Indonesia:
Nataatmadja, Hidayat, dkk. 1984. Krisis Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pembangunan di Dunia
Ketiga. PLP2M, Jakarta.
_________________, 2001. Inteligensi Spiritual. Perenial Press, Jakarta.
_________________, T.Th. Membangun Ilmu Pengetahuan Berlandaskan Ideologi. Iqro,
Bandung.
________________, 1984. Pemikiran Kearah Ekonomi Humanistik. PLP2M Ygoyakarta.
Rahardjo, Dawam, 1990. Etika Ekonomi dan Manajemen. Tiara Wacana, Yogyakarta.
Dong-Sung Cho dan Hwy-Chang Moon, 2000. From Adam Smith to Michael Porter Evolusi
Teori Daya Saing. Salemba Empat, Jakarta.
Deliarnov, 1997. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. RajawaliPress, Jakarta.

Kindleberger, Charles, P. 1968. “the Marshall Plan and the Cold War”, International Journal,
Vol. 23, No.3, pp.369-382
Kunz, Diane B. 1997. “the Marshall Plan Reconsidered: a Complex of Motives”, Foreign
Affairs, Vol.76 No.3, pp.162-170
Bryan, Ferald J. 1991. “George C. Marshall at Harvard: a Study of the Origin and
Construction of the Marshall Plan Speech”, Presidential Studies Quarterly, Vol. 21, No. 3, pp.
21-38