PENGARUH POSITIVISM DALAM HUKUM DI INDON
PENGARUH POSITIVISM DALAM HUKUM DI INDONESIA
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Sebenarnya pertentangan antara idealis versus materialis, metafisis
versus positivis, ontologis versus empiris, telah berlangsung cukup lama,
meskipun demikian aliran positif baru mulai berkembang pesat pada
abad ke19 ketika empirisme mendominasi pemikiran.1 Positivisme lahir
dan berkembang di bawah naungan empirisme, artinya antara empirisme
dan positivisme tidak dapat dipisahkan.2 Pesatnya perkembangan
positivisme terjadi setelah menangnya gerakan sekularisasi, yang
berupaya memisahkan secara tegas antara urusan politik (negara) dengan
urusan Gereja (agama), dan bersamaan dengan runtuhnya kewibawaan
gereja yang menawarkan basis pemikiran transendental.3
Begitu juga aliran hukum positif (positivism) yang berkembang pada
abad pertengahan, dimana positivism merupakan reaksi penolakan atas
aliran hukum alam (natural law) yang menggabungkan hukum dan
moral.4 Untuk mendapatkan suatu objektivitas terhadap positivism tentu
tidak dapat dilepaskan dari sejarah dan esensi dari positivism itu pada
awalnya, bahwa sebelum abad ke18 pikiran berkenaan dengan positivism
sudah ada, tetapi pemikiran itu baru menguat setelah lahirnya negara
negara modern. Positivism memiliki cara pandang yang berbeda dalam
melihat hukum, positivism sangat mengagungkan objektivisme daripada
subjektivisme serta lebih menggunakan pendekatan sekuler dan positivis
dalam menganalisis hukum itu sendiri.
Secara garis besar positivism terpecah menjadi 2 aliran yaitu
positivism analisis yang digagas oleh John Austin dan positivism murni
1 Johni Najwan, Jurnal Implikasi Aliran Positivisme Terhadap Pemikiran Hukum (Jambi:
Magister Ilmu Hukum UNJA, 2010) hlm.19.
2 Ibid.
3 Ibid.
4Agus Brotosusilo, Materi Kuliah Filsafat Hukum, Bentham, Austin and Classical English
Positivism (Jakarta: Program Studi Magister Ilmu Hukum UPN “Veteran” Jakarta, 2014) hlm.
205.
yang dipelopori oleh Hans Kelsen. Dalam pandangan Austin, hukum itu
adalah sekelompok tandatanda (sign) yang mencerminkan kehendak
(wish) dan disusun atau diadopsi oleh pemegang kedaulatan (the
sovereign). Sementara itu menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah
sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek
seharusnya atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan
tentang apa yang harus dilakukan. Normanorma adalah produk dari aksi
manusia yang deliberatif. Kelsen menyakini bahwa ada
ketidakmungkinan memunculkan kesimpulan dari kejadian faktual bagi
das sollen. Sehingga, Kelsen percaya bahwa hukum yang merupakan
pernyataanpernyataan “seharusnya” tidak bisa direduksi ke dalam aksi
aksi alamiah.
Dalam kehidupan ketatanegaraan di Indonesia, UUD 1945
menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Prinsip ini semula
dimuat dalam penjelasan, yang berbunyi Negara Indonesia berdasar atas
hukum (rechsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machsstaat)
disamping itu, ada prinsip lain yang erat dengan prinsip negara hukum
juga dimuat dalam penjelasan seperti Pemerintahan berdasar atas sistem
konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang
tidak terbatas). Prinsip ini mengandung makna ada pembagian
kekuasaan negara dan pembatasan kekuasaan (tidak absolut dengan
kekuasaan tidak terbatas). Dengan ketentuan ini, maka dasar sebagai
negara berdasarkan atas hukum mempunyai sifat normatif bukan
sekedar asas belaka. Sebagai negara hukum pengaruh positivism yang
memisahkan hukum dengan moral hadir secara konseptual maupun
implementasi terhadap tata kehidupan hukum di Indonesia, meskipun
hal ini dirasa sangat kontradiktif dengan masyarakat Indonesia yang
dinobatkan sebagai masyarakat timur dan kental dengan aspek moralitas.
Berangkat dari pandangan kedua ahli hukum yang dinyatakan
diatas, tentulah kajian ini bermaksud untuk mencari atau
mengungkapkan tekanantekanan dari pemikiran positivism yang dapat
mengantarkan kita pada pemahaman yang lebih kompleks terhadap
pengaruh positivism yang menganggap hukum itu tidak memiliki sangkut
paut dengan moral maupun keadilan. Dengan berlatar belakang masalah
tersebut diatas maka penulis tertarik untuk mengambil judul “Pengaruh
Positivism Dalam Hukum Di Indonesia” dalam penulisan makalah ini.
B.
RUMUSAN MASALAH
Perkembangan serta halhal yang menjadi akibat dari pengaruh
positivism seperti diatas yang menyebabkan menarik untuk diangkat dan
dibahas, maka dari itu dalam makalah ini dirumuskan beberapa
permasalahan, yaitu :
1. Apa peranan hukum positif dalam penerapan hukum di Indonesia?
2. Bagaimana pandangan hukum positif terhadap peraturan perundang
undangan di Indonesia?
C.
LANDASAN TEORI
1.
JOHN AUSTIN
Sebagai seorang positifis Austin ingin menunjukkan apa hukum itu
sebenarnya, yaitu sebagai pertentangan atas moral atau gagasan
hukum kodrat. Dalam arti lain positivism secara logis bebas
menegaskan pemisahan antara hukum dan moral. Negara
dipandangnya sebagai kenyataan yang diterima begitu saja oleh
orangorang dalam wilayah tertentu. Orangorang tersebut biasa
menaati pemerintah, jika mereka berhenti menaati maka Negara
tidak ada lagi. Satusatunya sumber hukum adalah yang berkuasa
dan di atasnya tidak ditemukan hukum lagi. Austin berpendapat
bahwa karakteristik hukum yang terpenting terletak pada karakter
imperatifnya dimana hukum dipahami sebagai suatu perintah dari
penguasa. Maka untuk dapat disebut hukum menurut Austin
diperlukan unsurunsur sebagai berikut: command (perintah),
sovereignty (penguasa), duty (kewajiban), dan sanction (sanksi). Jadi
menurut Austin, hukum positif merupakan kehendak (perintah)
dari penguasa yang wajib untuk dilaksanakan. Apabila tidak
dilaksanakan maka akan ada sanksi yang dijatuhkan. Kehendak
yang memuat sanksi tersebut harus diungkapkan dengan jelas
sehingga menjamin adanya persamaan kedudukan di hadapan
hukum bagi semua orang. Tiap hukum positif dibuat oleh seseorang
yang berdaulat atau oleh suatu badan yang terdiri dari beberapa
orang yang berdaulat, untuk keperluan anggotaanggota dari
masyarakat politik yang merdeka, dimana penguasa atau badan
tersebut mempunyai kedaulatan yang penuh memegang kekuasaan
tertinggi. Austin juga mengklasifikasi hukum sebagai berikut:
Laws properly so called
Laws of God
Positive
Laws
Laws improperly so called
Laws by analogy
Human Laws
Laws by metaphor
Laws set by men, not
as political superiors
(nor in pursuance of
legal right)
Positive Morality
Austin membedakan antara hukum yang sebenarnya (laws properly
so called) dan hukum yang tidak sebenarnya (laws improperly so
called).
Yang termasuk dalam hukum yang sebenarnya (laws properly so
called) adalah:
a. Hukum Tuhan (Laws of God)
b. Hukum Manusia (Human Laws) yang dibuat oleh manusia untuk
manusia lain. Hukum manusia (human laws) dibedakan lagi
menjadi:
(1) Hukum yang dibuat oleh penguasa politik yang sedang
memegang kekuasaan atas orangorang yang secara politis
ada di bawah kekuasaannya. Hukum ini disebut hukum
positif (Positive Laws), contohnya peraturan perundang
undangan.
(2) Aturanaturan yang tidak dibuat oleh penguasa politik,
misalnya aturan yang dibuat ustad kepada santrinya,
majikan kepada buruhnya, dan guru kepada muridnya.
Aturanaturan ini menghasilkan suatu moral positif (positive
morality).
Yang termasuk dalam hukum yang tidak sebenarnya (laws
improperly so called) adalah:
a. Hukum hasil analogi (laws by analogy), yang diciptakan dan
diberlakukan melalui pendapat umum, misalnya
etika
berpakaian, etika makan dengan table manner dan hukum
internasional. Aturan melalui bentukan pendapat umum ini
dilakukan dengan cara menganalogikan “hukum” tersebut.
Sekelompok masyarakat bersamasama memiliki nilainilai yang
disukai dan tidak disukai. Keberadaan sekelompok masyarakat
dengan nilainilai ini merupakan analogi dari apa yang dilakukan
oleh negara. Laws by analogy ini menghasilkan suatu moral
positif.
b. Hukum yang muncul melalui metafora (laws by metaphor) atau
yang dalam bahasa seharihari disebut dengan hukum alamiah
(laws of nature). Contohnya, setiap orang pasti mati.
2. HANS KELSEN : THE PURE THEORY OF LAW
Kelsen menolak pendapat aliran Natural Law yang menggabungkan
antara hukum dengan moralitas.5 Sebagai seorang positifis, Kelsen
mengatakan bahwa teori hukum harus dibedakan dengan hukum itu
sendiri. Objek ilmu pengetahuan hukum adalah sifat normatif yang
diciptakan hukum yaitu sifat keharusan untuk melakukan suatu
perbuatan sesuai dengan peraturan hukum. Jadi pokok persoalan ilmu
pengetahuan hukum adalah norma hukum yang terlepas dari
pertimbanganpertimbangan semua isinya baik dari segi etika maupun
sosiologis. Karena itu ajarannya disebut dengan Ajaran Hukum Murni
(Reine Rechtslehre).
Hukum terdiri dari berbagai macam aturan, dan disinilah teori hukum
berfungsi, yaitu untuk mengorganisirkan ke dalam suatu perintah. Teori
hukum itu seharusnya seragam dan dapat dilaksanakan di setiap waktu
dan tempat. Teori hukum harus bebas dari bidangbidang lainnya di
luar hukum. Teori umum tentang hukum yang dikembangkan oleh
Kelsen meliputi dua aspek penting, yaitu aspek statis (nomostatics) yang
melihat perbuatan yang diatur oleh hukum, dan aspek dinamis
(nomodinamic ) yang melihat hukum yang mengatur perbuatan tertentu.
Karakteristik dari norma adalah sifatnya yang hipotetis, lahir bukan
karena alami, melainkan karena kemauan dan akal manusia. 6 Kemauan
dan akal ini menelorkan pernyataan yang berfungsi sebagai asumsi
dasar. Teori Kelsen dapat dirumuskan sebagai “suatu analisis tentang
struktur hukum positif, yang dilakukan seeksak mungkin, suatu
analisis yang bebas dari semua pendapat etis atau politis mengenai
suatu nilai”. Kelsen pada dasarnya ingin menciptakan suatu ilmu
5Agus Brotosusilo, Materi Kuliah Filsafat Hukum, Pure Theory of Law (Jakarta: Program Studi
Magister Ilmu Hukum UPN “Veteran” Jakarta, 2014) hlmn.272.
6Asshiddiqie, Jimly, dan Ali Safaat, M, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, hlm. 7, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006.
pengetahuan hukum murni, menghilangkan dari semua unsurunsur
yang tidak penting dan memisahkan jurisprudence dari ilmuilmu sosial,
sebagaimana yang dilakukan oleh kaum analis denga tegas. Dasardasar
esensial dari pemikran Kelsen sebagai berikut :7
Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu, adalah untuk
mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity).
Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah
pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum yang
seharusnya ada.
Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam
Sebagai suatu teori tentang normanorma, teori hukum tidak
berurusan dengan persoalan efektivitas normanorma hukum.
Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara
pengaturan dari isi yang berubahubah menurut jalan atau pola yng
spesifik. Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum
positif tertentu adalah seperti antara hukum yang mungkin dan
hukum yang ada.
Dinyatakan oleh Kelsen bahwa Hukum adalah sama dengan negara.
Suatu tertib hukum menjadi suatu tertib negaram, hal itu terjadi
apabila tertib hukum itu sudah menyusun suatu badanbadan atau
lembagalembaga guna menciptakan dan mengundangkan serta
melaksanakan hukum. Aturan hukum adalah merupakan suatu sistem
norma. Norma bukanlah suatu pernyataan mengenai realita sehingga
dengan demikian tidak dapat dikatakan “benar” atau “salah” dengan
ukuran realitas. Suatu norma dikatakan valid bukanlah dilihat dari sisi
apa yang terjadi melainkan apa yang seharusnya terjadi.8
Bagi Kelsen, hukum terdiri dari normanorma dimana normanorma
tersebut bersumber dari norma lainnya.9 Kelsen berpendapat bahwa
suatu norma selalu diukur dari norma lain yang menjadi dasar
7 Ibid., hlm. 8.
8Agus Brotosusilo, Materi Kuliah Filsafat Hukum, Pure Theory of Law, (Jakarta: Program Studi
Magister Ilmu Hukum UPN “Veteran” Jakarta, 2014) hlm.274.
9Ibid., hlm.272.
keberlakuannya. Hal ini membentuk suatu hirarki norma yang berujung
pada suatu norma yang paling tinggi (stufentheorie). Suatu norma yang
validitasnya tidak dapat diturunkan dari suatu norma yang lebih tinggi
disebut norma dasar (grundnorm). Norma dasar ini membentuk suatu
ikatan antara normanorma yang berbeda yang menjadi isi dari aturan.
Kelsen juga berpendapat bahwa suatu hukum milik suatu sistem jika
hukum tersebut ditetapkan dengan penggunaan kekuasaan yang diatur
dalam norma dasar.
Setiap sistem norma mempunyai sanksi masingmasing. Sanksi
merupakan suatu karakteristik esensial dari hukum. 10 Setiap norma
untuk dapat menjadi “legal” harus dilengkapi dengan sanksi. Terkait
dengan hal ini, Kelsen menyebut setiap pelanggaran norma hukum
sebagai “delict”. Tidak ada satu perilakupun dapat dikatakan sebagai
delict kecuali diatur sanksinya.11
D.
METODOLOGI
Dalam rangka penulisan makalah ini metode pendekatan yang
digunakan adalah yuridis normatif, yaitu melakukan penelitian dengan
berbasis pada analisis terhadap norma hukum. Sasaran kajian yuridis
normatif diarahkan untuk menganalisis hubunganhubungan hukum
antar satu peraturan dengan peraturan lainnya, tingkat sinkronisasi
hukum baik vertikal maupun horisontal termasuk penelusuran asasasas
10Ibid., hlm.277.
11Ibid., hlm.278.
hukum.12 Kajian hukum normatif mengambil sikap kritisnormatif
bertolak dari wawasan atas keberadaan manusia dalam masyarakat serta
melancarkan kritik terhadap praktek hukum maupun dogmatik hukum.13
Disiplin kajian hukum normatif menghasilkan hasil kajian preskriptif
yaitu merumuskan dan mengajukan pedomanpedoman dan kaidah
kaidah yang harus dipatuhi oleh praktek hukum dan dogmatik hukum,
dan bersifat kritis.14 Kajian ini dilandasi pandangan relasi subyeksubyek,
sehingga hasil kajiannya bersifat intersubyektif. Kajian ini dilandasi
perspektif
internal,
sehingga
Peneliti
bersikap
sebagai
partisipan/pengamat terlibat, dan hasilnya adalah pengetahuan yang
intersubyektif.15
12 Muhammad Muhdar, Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum : Sub Pokok Bahasan
Penulisan Hukum, Balikpapan, Universitas Balikpapan, 2010.
13 Laili Mahariani, Tesis Tinjauan Yuridis Transparansi Informasi Produk Bank, (Jakarta: FH
UI, 2010) hlm.7. sebagaimana dikutip dari Agus Brotosusilo, Materi Kuliah Filsafat Hukum
dan Teori Hukum bidang Hukum Ekonomi, Pergulatan Ideologis dalam Methodologi Kajian
Hukum, (Jakarta: Program Pascasarjana Ilmu Hukum, FHUI, 2005) hlm.2.
14 Ibid.
15 Ibid.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PERANAN HUKUM POSITIF DALAM PENERAPAN HUKUM DI INDONESIA
Perkembangan Positivism saat ini dianggap memiliki pengaruh besar
dalam pemikiran hukum di Indonesia, dimana dalam implementasinya terlihat
jelas peranan aliran positivism semacam roh dalam penerapan hukum yang
existing. Positivism lebih menekankan pada aspek legalitas hukum itu sendiri
tanpa perlu memperhatikan halhal diluar itu. Tokoh positivism, Austin dan
Kensel pun sependapat memisahkan secara tegas antara hukum positif dan
hukum yang dicitacitakan, dengan kata lain ia memisahkan secara tegas
antara hukum dengan moral. Ilmu hukum hanya membahas hukum positif
saja, tidak membahas hubungan antara hukum dengan moral. Tanpa
memperdulikan baik dan buruknya hukum itu, diterima atau tidak oleh
masyarakat.
Tidak hanya itu, positivism yang menurut John Austin dilakukan oleh
pihak penguasa kemudian dihadapkan dengan kekuatan legalitas yang tak
terbantahkan, tidaklah mengherankan apabila kemudian muncul kritik
terhadap positivism ketika hukum “dapat” berubah menjadi atau dijadikan
penguasa sebagai alat kekuasaan untuk mencapai tujuan berkuasa dan
bukan tujuan hukum. Seperti halnya dikeluarkan dekrit presiden 5 Juli 1959
yang memberlakukan kembali UUD 1945 (sebelumnya diubah dengan UUDS
1950), dalam peristiwa tersebut penguasa yang berdaulat dapat melakukan
endorsement menjadi legal. Tetapi jika kita konsisten dengan positivism,
sangatlah kontradiktif dengan stufenbau theory yang telah mengikat hirarki
norma hukum dalam sebuah pertingkatan dan akan menimbulkan kritik
bagaimana dengan status legalitas UUD 1945.
Berbagai kritik yang diarahkan pada aliran positivism selama ini pada
intinya selalu menyorot atas esensinya, bahwa semua hukum adalah perintah
yang dibuat oleh penguasa yang berdaulat ditujukan kepada yang diperintah
dengan sanksi apabila perintah itu dilanggar. Dalam perspektif negara hukum
yang demokratis pemikiran Austin banyak dianggap tidak sesuai lagi karena
hanya melihat hukum sebagai perintah dari penguasa (command of
sovereign/command of lawgiver). Tapi bagi yang berbeda pandangan,
menganggap hal ini masih relevan karena hukum sebagaimana pemikiran
Austin tidak boleh dilihat secara parsial atau bahkan hanya pada unsur
“perintah” dan “penguasa”nya saja dengan mengesampingkan unsur
kedaulatannya. Kedaulatan inilah yang memiliki korelasi kuat dengan
eksistensi dari penguasa itu sendiri. Esensi dari positivism ini tidak dapat kita
ambil setengahsetengah, sebaliknya kita harus memahaminya sebagai
sesuatu yang inheren atau satu kesatuan yang utuh, dengan kata lain tanpa
salah satu unsur itu diasumsikan batal teori positivism tersebut.
Berkaca kebelakang, jika ciri formal legalistik diterapkan secara
konsisten maka status keberadaan Negara Republik Indonesia dipertanyakan.
Meskipun secara praktis, proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945 merupakan fenomena yang secara defacto sebagai
tanggal lahirnya suatu negara baru yaitu negara Republik Indonesia, akan
tetapi dalam pandangan positivism maka sebenarnya gerakan revolusioner
para pejuang kita tidak lebih dari gerakan “makar” menumbangkan suatu
pemerintahan yang sah. Sekali lagi jika kita konsisten menggunakan
paradigma positivism misalnya pure theory of law dari Hans Kelsen berarti
keseluruhan hasil dari proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tahun
1945 hingga saat ini adalah “batal demi hukum” dan ilegal. Namun dalam
kenyataannya, unsur kedaulatanlah (kehendak seluruh rakyat Indonesia) yang
mengambil peran penting dibandingkan unsur penguasa maupun unsur
perintah yang telah dilegalitas.
Apabila Austin memandang bahwa pemegang kedaulatan atau penguasa
tidak terikat oleh peraturan manapun, tidak sepenuhnya terjadi demikian.
Sebagaimana halnya dengan positivism di Indonesia, kedaulatan yang
merupakan salah satu unsur dari positivism dan dapat dikatakan bersifat pra
legal maupun postlegal (bukan urusan hukum, tetapi urusan politik atau
sosiologi) mampu menempatkan penguasa kedalam keterikatan hukum positif
itu sendiri yang tentunya telah dilengkapi juga dengan instrumeninstrumen
sanksinya. Akhirnya bayangan positivism hanya relevan pada negara totaliter
gugur sudah, dan kedaulatan dapat dianggap sebagai sesuatu yang
mengancam penguasa serta arah pembentukan hukum dalam kenyataan
berikutnya.
Selain hal diatas, kritik terhadap hukum di Indonesia juga diinspirasi
oleh pandangan yang menilai hukum selalu dikaitkan dengan peraturan
perundangperundangan, sedangkan nilainilai moral dan norma di luar
undangundang hanya dapat diakui apabila dimungkinkan oleh undang
undang. Atau dapat dikatakan positivism tidak menghiraukan adanya nilai
nilai moral di masyarakat.
Masih ingat kasus seorang nenek yang dipenjara karena mencuri 3 buah
kakao? Hal itu banyak menuai kontroversi dimana hakim dianggap tidak
dapat memenuhi rasa keadilan. Secara hukum tidak ada yang salah dengan
putusan hakim tersebut karena putusan yang diberikan telah diatur legal
dalam peraturan perundangundangan. Meskipun hakim memiliki kompetensi
menggali nilainilai hukum untuk mengenal perasaan hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat, namun dalam melaksanakan
tugasnya hakim kurang mendapatkan ruang gerak dalam perundang
undangan yang didominasi aliran positivism (pandangan Legalisme). Positivism
yang memandang hukum dari teropong legal atau perundangundangan
dianggap hanya menempatkan penegak hukum sebagai corong undang
undang dengan kaca mata kudanya, atau bahkan ada yang menyimpulkan
positivism hanya bertumpu pada ruang hampa kedap suara yang berwujud
rumusan atau katakata dalam undangundang.
Secara sederhana positivism menganut dua prinsip dasar, yakni,
Pertama, hanya undangundang yang disebut hukum, di luar undangundang
tidak ada hukum. Kedua, negara atau otoritas yang berdaulat merupakan
satusatunya sumber hukum. Implikasi dari dua prinsip ini adalah bahwa
setiap undangundang yang telah ditetapkan oleh otoritas yang sah harus
dianggap hukum yang harus dipatuhi, apapun isi dari hukum tersebut.
Dalam konteks positivism, adanya identifikasi hukum yang aplikasinya
diterapkan sesuai aspek legalitas memiliki kelebihan yaitu akan menjamin
bahwa setiap individu dapat mengetahui dengan pasti apa saja perbuatan
yang boleh dilakukan dan apa saja perbuatan yang tidak boleh dilakukan.
Bahkan negara pun kemudian dapat bertindak dengan tegas sesuai dengan
apa yang telah ditetapkan dan diputuskan.
Namun disamping kebaikankebaikan yang ada, sudah barang tentu
terdapat beberapa kelemahan yakni tentang ajaranajarannya yang kurang
sesuai dan bertentangan dengan berbagai pihak terutama masyarakat. Apabila
dilihat secara mendasar, maka kelemahan yang sangat pokok dalam Aliran
Positivism adalah justru dengan adanya identifikasi Hukum dan Undang
undang tersebut. Karena jika dilihat dengan nyata, bahwa betapapun
buruknya peraturan dan ketentuan yang ada, asalkan peraturan dan
ketentuan tersebut telah menjadi Undangundang yang harus diterapkan
dalam masyarakat maka seketika juga hakim akan menjadi terikat pada
Undangundang yang telah ditetapkan tersebut. Padahal peraturan
perundangundangan juga memiliki kelemahan atau kekurangan, seperti yang
dikemukakan oleh Bagir Manan bahwa:16
1. Peraturan perundangundangan tidak fleksibel. Tidak mudah
menyesuaikannya dengan masyarakat. Pembentukan peraturan perundang
undangan membutuhkan waktu dan tatacara tertentu sementara
16 Manan Bagir, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2004
mesyarakat berubah terus bahkan mungkin sangat cepat. Akibatnya terjadi
jurang pemisah antara peraturan perundangundangan dengan masyarakat.
2. Peraturan perundangundangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi
semua peristiwa hukum atau tuntutan hukum dan ini menimbulkan apa
yang lazim disebut kekosongan hukum.
Meskipun hal tersebut tidak identik dengan positivism sebagai penyebab
kegagalan hukum, khususnya kegagalan dalam penegakan hukum. Tapi
secara kompleks pemikiran positivism ditempatkan sebagai faktor menjauhnya
rasa keadilan dari masyarakat serta kegagalan hukum dalam memainkan
peranan yang sejati pada pembangunan hukum di Indonesia. Oleh karena
adanya beberapa kelemahan ini, maka mau tidak mau harus mengakomodir
keberadaan hukum tidak tertulis. Menurut Bagir Manan, hukum tak tertulis
ini mempunyai peranan sebagai berikut:17
a. Merupakan instrumen yang melengkapi dan mengisi berbagai kekosongan
b.
hukum dari suatu peraturan perundangundangan.
Merupakan instrumen yang memberikan dinamika atas peraturan
c.
perundangundangan.
Merupakan instrumen relaksasi atau koreksi atas peraturan perundang
undangan agar lebih sesuai dengan tuntutan perkembangan, rasa
keadilan dan kebenaran yang hidup dalam masyarakat.
Selain itu political will dalam proses pralegal harus dapat menempatkan
atau setidaknya memberikan ruang pada aspek sosial ditengahtengah
kakunya peraturan legal. Teori Hukum tidak bisa dilepaskan dari lingkungan
zamannya, sekalipun ia berkeinginan untuk mengatakan suatu pikiran
universal. Dengan demikian kita baiknya bersikap untuk selalu tidak
melepaskan teoriteori tersebut dari konteks waktu pemunculannya. Hukum
diharapkan menjadi suatu bentuk kontrol masyarakat, meskipun dalam
bentuk yang sederhana namun harus dapat membuktikan bahwa hukum
mampu mempertahankan kelangsungan hidup bermasyarakat dan mampu
menjadi penyeimbang antara kehendak individu, masyarakat dan penguasa.
17 Bagir Manan, “Peranan Hukum Administrasi Negara dalam Pembentukan Peraturan
Perundangundangan”. Makalah pada Penataran Nasional Hukum Administrasi Negara.
Fakultas Hukum Universitas Hasanudin, 1985, Ujung Pandang.
B. PANDANGAN HUKUM POSITIF TERHADAP PERATURAN PERUNDANG
UNDANGAN DI INDONESIA
Ranah pembentukan hukum serta tata negara di Indonesia juga masih
kental dengan aroma Positivism, dalam hal ini teori hukum murni masih
tercermin menjadi pakem dalam sistem secara yuridis dan ketatanegaraan.
Diantaranya dalam tata urutan peraturan perundangundangan yang
dipengaruhi oleh Stufenbau theory dari Kelsen. Teori Hans kelsen yang
mendapat banyak perhatian adalah hirarki norma hukum dan rantai validitas
yang membentuk piramida hukum. Artinya Peraturan hukum keseluruhannya
diturunkan dari norma dasar yang semakin ke bawah semakin beragam dan
menyebar. Norma dasar teratas bersifat abstrak dan semakin ke bawah
semakin konkret. Dalam proses itu, apa yang semula berupa sesuatu yang
“seharusnya”, berubah menjadi sesuatu yang “dapat” dilakukan.
Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid
Hans Kelsen, yaitu Hans Naviasky. Menurut Naviasky, norma tertinggi yang
oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basicnorm) dalam suatu negara
“sebaiknya” tidak disebut sebagai staats grundnorm melainkan Staats
fundamentalnorm, atau norma fundamental negara.18 Grundnorm pada
dasarnya tidak berubahubah dan tidak dilegalisasi, sedangkan norma
tertinggi dapat berubah dan dapat dilegalisasi. Teori Naviasky disebut dengan
theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori
tersebut adalah19:
18 Asshiddiqie, Jimly, dan Ali Safaat, M, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, hlm. 170,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006)
19 Ibid., hlm.170.
1. Norma fundamental negara (Staats fundamentalnorm);
2. Aturan dasar negara (staats grundgesetz);
3. Undangundang formal (formell gesetz); dan
4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome
satzung).
Dalam penyataan Naviasky muncul kebimbangankebimbangan bagi
penganut positivism, apakah Staats fundamentalnorm adalah norma yang
dianggap mutlak menggantikan grundnorm atau hanya “sebaiknya” dianggap
demikian. Kata “sebaiknya” masih memunculkan perdebatan dalam
memaknainya, karena apapun itu secara prinsip dua istilah tersebut memiliki
perbedaan syarat validitasnya.
Posisi hukum dari suatu Staats fundamentalnorm adalah sebagai syarat
bagi berlakunya suatu konstitusi. Begitu pula grundnorm yang terbentuk
terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara. Perbedaan yang mendasar dari
keduanya adalah Staats fundamentalnorm dapat berubahubah dan
validitasnya dapat dilegalisasikan, sedangkan grundnorm memiliki sifat yang
tetap dan dipostulasikan valid tanpa legalisasi.
Perdebatan tersebut merambah pada cara pandang hukum di Indonesia
memposisikan Pancasila yang dianggap sebagian orang adalah sebagai
grundnorm dan sebagian lagi menolak hal itu dan cukup menempatkan
Pancasila sesuai teori Naviasky yang menyatakan “sebaiknya” disebut sebagai
staats fundamentalnorm. Memang masih debatable apakah Pancasila berada di
luar piramida hukum secara abstrak sebagai norma dasar atau Pancasila
berada di pucuk teratas piramida hukum yang secara empiris terlegalisasi
disebut sebagai norma fundamental negara.
Berdasarkan teori Hans Naviasky, A. Hamid S. Attamimi
membandingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur
tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hirarki tata hukum
Indonesia dengan menggunakan teori Naviasky. Berdasarkan teori tersebut,
struktur tata hukum Indonesia adalah20:
1. Staats fundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
20 Ibid., hlm. 171.
2. Staats grundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi
Ketatanegaraan.
3. Formell gesetz: UndangUndang.
4. Verordnung en Autonome Satzung: Secara hirarkis mulai dari Peraturan
Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.
Namun secara legalitas dalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan menunjukkan
struktur hirarki tata hukum Indonesia sebagai berikut :
1. UUD 1945 (Staats fundamentalnorm).
2. Tap MPR (Staats grundgesetz).
3. UndangUndang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Formell
gesetz).
4. Peraturan Pemerintah (Verordnung en Autonome Satzung).
5. Peraturan Presiden (Verordnung en Autonome Satzung).
6. Peraturan Daerah (Verordnung en Autonome Satzung).
Hans Kelsen membahas validitas normanorma hukum dengan
menggambarkannya sebagai suatu rantai validitas yang berujung pada
konstitusi negara. Validitas konstitusi pertama adalah presuposisi terakhir, di
mana validitas semua norma dalam tata aturan hukum bergantung. Dokumen
yang merupakan wujud konstitusi pertama adalah konstitusi sesungguhnya,
suatu norma mengikat, hanya dalam kondisi dipresuposisikan sebagai valid.
Presuposisi inilah yang disebut dengan istilah trancendentallogical
pressuposition.21
Logika Kelsen tersebut sering dipahami secara salah dengan
mencampuradukkan antara presuposisi validitas dan konstitusi, manakah
yang merupakan norma dasar (grundnorm)? Hal inilah yang selanjutnya
diselesaikan oleh Naviasky dengan membedakan antara
staats
fundamentalnorm dengan grundnorm, dimanan grundnorm pada dasarnya
tidak berubah sedangkan staats fundamentalnorm dapat berubah seperti
melalui kudeta atau revolusi.
Jika Pancasila bukan merupakan grundnorm lalu apa yang
mempresuposisikan validitas UUD 1945? “Mungkin” Proklamasi 17 Agustus
1945 yang saat itu terjadi dan konon bukan merupakan tindakan hukum
21 Ibid., hlm. 172.
karena dilakukan bukan oleh organ hukum dan tidak sesuai dengan prosedur
hukum, dapat (memenuhi syarat) menjadi presuposisi validitas terakhir.
Proklamasi bisa dianggap sebagai tonggak terbentuknya suatu tata hukum
baru yang dapat mempresuposisikan validitas tata hukum Indonesia
berdasarkan UUD 1945.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1.
Peranan hukum positif dalam penerapan hukum di Indonesia sangat
berkaitan dengan pandangan aliran hukum positivisme yang
mengedepankan pada prinsip hukum itu ada apabila di wujudkan dalam
undangundang, hukum itu di buat oleh penguasa, dan selain itu hukum
bersifat memaksa. Dalam aliran hukum positivisme juga terdapat
pemisahan antara hukum dengan moral. Hal ini sangat terasa
pengaruhnya dalam penerapan hukum di Indonesia dimana Positivism
yang memandang hukum dari teropong legal atau perundangundangan
dianggap hanya menempatkan penegak hukum sebagai corong undang
undang dengan kaca mata kudanya, atau bahkan ada yang
menyimpulkan positivism hanya bertumpu pada ruang hampa kedap
2.
suara yang berwujud rumusan atau katakata dalam undangundang.
Pandangan hukum positif terhadap peraturan perundangundangan di
Indonesia diwujudkan dalam peraturan hukum yang keseluruhannya
diturunkan dari norma dasar yang berada di puncak priamida, dan
semakin ke bawah semakin beragam dalam artian hukum itu berjenjang.
Berkaitan dengan ini dalam pembentukan peraturan perundang
undangan di Indonesia jelaslah dapat kita lihat pada UndangUndang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang
undangan. Hal ini dibuktikan dengan adanya sistem struktur tata hukum
Indonesia yang divalidasikan sesuai dengan tata urutan norma
sebagaimana dijelaskan oleh teori stufenbau Hans Kelsen.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Brotosusilo, Materi Kuliah Filsafat Hukum, Bentham, Austin and
Classical English Positivism, Program Studi Magister Ilmu Hukum UPN
“Veteran” Jakarta, Jakarta, 2014
Agus Brotosusilo, Materi Kuliah Filsafat Hukum, Pure Theory of Law Program
Studi Magister Ilmu Hukum UPN “Veteran” Jakarta, Jakarta, 2014
Asshiddiqie, Jimly, dan Ali Safaat, M, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, hlm.
7, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,
Jakarta, 2006
Bagir Manan. 1985. “Peranan Hukum Administrasi Negara dalam
Pembentukan Peraturan Perundangundangan.”. Makalah pada
Penataran Nasional Hukum Administrasi Negara. Fakultas Hukum
Universitas Hasanudin. Ujung Pandang.
Manan Bagir, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2004
Johni Najwan, Jurnal Implikasi Aliran Positivisme Terhadap Pemikiran
Hukum, Magister Ilmu Hukum UNJA, Jambi, 2010
Laili Mahariani, Tesis Tinjauan Yuridis Transparansi Informasi Produk Bank,
FH UI, Jakarta, 2010
Muhammad Muhdar, Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum : Sub Pokok
Bahasan Penulisan Hukum, Balikpapan, Universitas Balikpapan, 2010.
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Sebenarnya pertentangan antara idealis versus materialis, metafisis
versus positivis, ontologis versus empiris, telah berlangsung cukup lama,
meskipun demikian aliran positif baru mulai berkembang pesat pada
abad ke19 ketika empirisme mendominasi pemikiran.1 Positivisme lahir
dan berkembang di bawah naungan empirisme, artinya antara empirisme
dan positivisme tidak dapat dipisahkan.2 Pesatnya perkembangan
positivisme terjadi setelah menangnya gerakan sekularisasi, yang
berupaya memisahkan secara tegas antara urusan politik (negara) dengan
urusan Gereja (agama), dan bersamaan dengan runtuhnya kewibawaan
gereja yang menawarkan basis pemikiran transendental.3
Begitu juga aliran hukum positif (positivism) yang berkembang pada
abad pertengahan, dimana positivism merupakan reaksi penolakan atas
aliran hukum alam (natural law) yang menggabungkan hukum dan
moral.4 Untuk mendapatkan suatu objektivitas terhadap positivism tentu
tidak dapat dilepaskan dari sejarah dan esensi dari positivism itu pada
awalnya, bahwa sebelum abad ke18 pikiran berkenaan dengan positivism
sudah ada, tetapi pemikiran itu baru menguat setelah lahirnya negara
negara modern. Positivism memiliki cara pandang yang berbeda dalam
melihat hukum, positivism sangat mengagungkan objektivisme daripada
subjektivisme serta lebih menggunakan pendekatan sekuler dan positivis
dalam menganalisis hukum itu sendiri.
Secara garis besar positivism terpecah menjadi 2 aliran yaitu
positivism analisis yang digagas oleh John Austin dan positivism murni
1 Johni Najwan, Jurnal Implikasi Aliran Positivisme Terhadap Pemikiran Hukum (Jambi:
Magister Ilmu Hukum UNJA, 2010) hlm.19.
2 Ibid.
3 Ibid.
4Agus Brotosusilo, Materi Kuliah Filsafat Hukum, Bentham, Austin and Classical English
Positivism (Jakarta: Program Studi Magister Ilmu Hukum UPN “Veteran” Jakarta, 2014) hlm.
205.
yang dipelopori oleh Hans Kelsen. Dalam pandangan Austin, hukum itu
adalah sekelompok tandatanda (sign) yang mencerminkan kehendak
(wish) dan disusun atau diadopsi oleh pemegang kedaulatan (the
sovereign). Sementara itu menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah
sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek
seharusnya atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan
tentang apa yang harus dilakukan. Normanorma adalah produk dari aksi
manusia yang deliberatif. Kelsen menyakini bahwa ada
ketidakmungkinan memunculkan kesimpulan dari kejadian faktual bagi
das sollen. Sehingga, Kelsen percaya bahwa hukum yang merupakan
pernyataanpernyataan “seharusnya” tidak bisa direduksi ke dalam aksi
aksi alamiah.
Dalam kehidupan ketatanegaraan di Indonesia, UUD 1945
menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Prinsip ini semula
dimuat dalam penjelasan, yang berbunyi Negara Indonesia berdasar atas
hukum (rechsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machsstaat)
disamping itu, ada prinsip lain yang erat dengan prinsip negara hukum
juga dimuat dalam penjelasan seperti Pemerintahan berdasar atas sistem
konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang
tidak terbatas). Prinsip ini mengandung makna ada pembagian
kekuasaan negara dan pembatasan kekuasaan (tidak absolut dengan
kekuasaan tidak terbatas). Dengan ketentuan ini, maka dasar sebagai
negara berdasarkan atas hukum mempunyai sifat normatif bukan
sekedar asas belaka. Sebagai negara hukum pengaruh positivism yang
memisahkan hukum dengan moral hadir secara konseptual maupun
implementasi terhadap tata kehidupan hukum di Indonesia, meskipun
hal ini dirasa sangat kontradiktif dengan masyarakat Indonesia yang
dinobatkan sebagai masyarakat timur dan kental dengan aspek moralitas.
Berangkat dari pandangan kedua ahli hukum yang dinyatakan
diatas, tentulah kajian ini bermaksud untuk mencari atau
mengungkapkan tekanantekanan dari pemikiran positivism yang dapat
mengantarkan kita pada pemahaman yang lebih kompleks terhadap
pengaruh positivism yang menganggap hukum itu tidak memiliki sangkut
paut dengan moral maupun keadilan. Dengan berlatar belakang masalah
tersebut diatas maka penulis tertarik untuk mengambil judul “Pengaruh
Positivism Dalam Hukum Di Indonesia” dalam penulisan makalah ini.
B.
RUMUSAN MASALAH
Perkembangan serta halhal yang menjadi akibat dari pengaruh
positivism seperti diatas yang menyebabkan menarik untuk diangkat dan
dibahas, maka dari itu dalam makalah ini dirumuskan beberapa
permasalahan, yaitu :
1. Apa peranan hukum positif dalam penerapan hukum di Indonesia?
2. Bagaimana pandangan hukum positif terhadap peraturan perundang
undangan di Indonesia?
C.
LANDASAN TEORI
1.
JOHN AUSTIN
Sebagai seorang positifis Austin ingin menunjukkan apa hukum itu
sebenarnya, yaitu sebagai pertentangan atas moral atau gagasan
hukum kodrat. Dalam arti lain positivism secara logis bebas
menegaskan pemisahan antara hukum dan moral. Negara
dipandangnya sebagai kenyataan yang diterima begitu saja oleh
orangorang dalam wilayah tertentu. Orangorang tersebut biasa
menaati pemerintah, jika mereka berhenti menaati maka Negara
tidak ada lagi. Satusatunya sumber hukum adalah yang berkuasa
dan di atasnya tidak ditemukan hukum lagi. Austin berpendapat
bahwa karakteristik hukum yang terpenting terletak pada karakter
imperatifnya dimana hukum dipahami sebagai suatu perintah dari
penguasa. Maka untuk dapat disebut hukum menurut Austin
diperlukan unsurunsur sebagai berikut: command (perintah),
sovereignty (penguasa), duty (kewajiban), dan sanction (sanksi). Jadi
menurut Austin, hukum positif merupakan kehendak (perintah)
dari penguasa yang wajib untuk dilaksanakan. Apabila tidak
dilaksanakan maka akan ada sanksi yang dijatuhkan. Kehendak
yang memuat sanksi tersebut harus diungkapkan dengan jelas
sehingga menjamin adanya persamaan kedudukan di hadapan
hukum bagi semua orang. Tiap hukum positif dibuat oleh seseorang
yang berdaulat atau oleh suatu badan yang terdiri dari beberapa
orang yang berdaulat, untuk keperluan anggotaanggota dari
masyarakat politik yang merdeka, dimana penguasa atau badan
tersebut mempunyai kedaulatan yang penuh memegang kekuasaan
tertinggi. Austin juga mengklasifikasi hukum sebagai berikut:
Laws properly so called
Laws of God
Positive
Laws
Laws improperly so called
Laws by analogy
Human Laws
Laws by metaphor
Laws set by men, not
as political superiors
(nor in pursuance of
legal right)
Positive Morality
Austin membedakan antara hukum yang sebenarnya (laws properly
so called) dan hukum yang tidak sebenarnya (laws improperly so
called).
Yang termasuk dalam hukum yang sebenarnya (laws properly so
called) adalah:
a. Hukum Tuhan (Laws of God)
b. Hukum Manusia (Human Laws) yang dibuat oleh manusia untuk
manusia lain. Hukum manusia (human laws) dibedakan lagi
menjadi:
(1) Hukum yang dibuat oleh penguasa politik yang sedang
memegang kekuasaan atas orangorang yang secara politis
ada di bawah kekuasaannya. Hukum ini disebut hukum
positif (Positive Laws), contohnya peraturan perundang
undangan.
(2) Aturanaturan yang tidak dibuat oleh penguasa politik,
misalnya aturan yang dibuat ustad kepada santrinya,
majikan kepada buruhnya, dan guru kepada muridnya.
Aturanaturan ini menghasilkan suatu moral positif (positive
morality).
Yang termasuk dalam hukum yang tidak sebenarnya (laws
improperly so called) adalah:
a. Hukum hasil analogi (laws by analogy), yang diciptakan dan
diberlakukan melalui pendapat umum, misalnya
etika
berpakaian, etika makan dengan table manner dan hukum
internasional. Aturan melalui bentukan pendapat umum ini
dilakukan dengan cara menganalogikan “hukum” tersebut.
Sekelompok masyarakat bersamasama memiliki nilainilai yang
disukai dan tidak disukai. Keberadaan sekelompok masyarakat
dengan nilainilai ini merupakan analogi dari apa yang dilakukan
oleh negara. Laws by analogy ini menghasilkan suatu moral
positif.
b. Hukum yang muncul melalui metafora (laws by metaphor) atau
yang dalam bahasa seharihari disebut dengan hukum alamiah
(laws of nature). Contohnya, setiap orang pasti mati.
2. HANS KELSEN : THE PURE THEORY OF LAW
Kelsen menolak pendapat aliran Natural Law yang menggabungkan
antara hukum dengan moralitas.5 Sebagai seorang positifis, Kelsen
mengatakan bahwa teori hukum harus dibedakan dengan hukum itu
sendiri. Objek ilmu pengetahuan hukum adalah sifat normatif yang
diciptakan hukum yaitu sifat keharusan untuk melakukan suatu
perbuatan sesuai dengan peraturan hukum. Jadi pokok persoalan ilmu
pengetahuan hukum adalah norma hukum yang terlepas dari
pertimbanganpertimbangan semua isinya baik dari segi etika maupun
sosiologis. Karena itu ajarannya disebut dengan Ajaran Hukum Murni
(Reine Rechtslehre).
Hukum terdiri dari berbagai macam aturan, dan disinilah teori hukum
berfungsi, yaitu untuk mengorganisirkan ke dalam suatu perintah. Teori
hukum itu seharusnya seragam dan dapat dilaksanakan di setiap waktu
dan tempat. Teori hukum harus bebas dari bidangbidang lainnya di
luar hukum. Teori umum tentang hukum yang dikembangkan oleh
Kelsen meliputi dua aspek penting, yaitu aspek statis (nomostatics) yang
melihat perbuatan yang diatur oleh hukum, dan aspek dinamis
(nomodinamic ) yang melihat hukum yang mengatur perbuatan tertentu.
Karakteristik dari norma adalah sifatnya yang hipotetis, lahir bukan
karena alami, melainkan karena kemauan dan akal manusia. 6 Kemauan
dan akal ini menelorkan pernyataan yang berfungsi sebagai asumsi
dasar. Teori Kelsen dapat dirumuskan sebagai “suatu analisis tentang
struktur hukum positif, yang dilakukan seeksak mungkin, suatu
analisis yang bebas dari semua pendapat etis atau politis mengenai
suatu nilai”. Kelsen pada dasarnya ingin menciptakan suatu ilmu
5Agus Brotosusilo, Materi Kuliah Filsafat Hukum, Pure Theory of Law (Jakarta: Program Studi
Magister Ilmu Hukum UPN “Veteran” Jakarta, 2014) hlmn.272.
6Asshiddiqie, Jimly, dan Ali Safaat, M, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, hlm. 7, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006.
pengetahuan hukum murni, menghilangkan dari semua unsurunsur
yang tidak penting dan memisahkan jurisprudence dari ilmuilmu sosial,
sebagaimana yang dilakukan oleh kaum analis denga tegas. Dasardasar
esensial dari pemikran Kelsen sebagai berikut :7
Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu, adalah untuk
mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity).
Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah
pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum yang
seharusnya ada.
Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam
Sebagai suatu teori tentang normanorma, teori hukum tidak
berurusan dengan persoalan efektivitas normanorma hukum.
Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara
pengaturan dari isi yang berubahubah menurut jalan atau pola yng
spesifik. Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum
positif tertentu adalah seperti antara hukum yang mungkin dan
hukum yang ada.
Dinyatakan oleh Kelsen bahwa Hukum adalah sama dengan negara.
Suatu tertib hukum menjadi suatu tertib negaram, hal itu terjadi
apabila tertib hukum itu sudah menyusun suatu badanbadan atau
lembagalembaga guna menciptakan dan mengundangkan serta
melaksanakan hukum. Aturan hukum adalah merupakan suatu sistem
norma. Norma bukanlah suatu pernyataan mengenai realita sehingga
dengan demikian tidak dapat dikatakan “benar” atau “salah” dengan
ukuran realitas. Suatu norma dikatakan valid bukanlah dilihat dari sisi
apa yang terjadi melainkan apa yang seharusnya terjadi.8
Bagi Kelsen, hukum terdiri dari normanorma dimana normanorma
tersebut bersumber dari norma lainnya.9 Kelsen berpendapat bahwa
suatu norma selalu diukur dari norma lain yang menjadi dasar
7 Ibid., hlm. 8.
8Agus Brotosusilo, Materi Kuliah Filsafat Hukum, Pure Theory of Law, (Jakarta: Program Studi
Magister Ilmu Hukum UPN “Veteran” Jakarta, 2014) hlm.274.
9Ibid., hlm.272.
keberlakuannya. Hal ini membentuk suatu hirarki norma yang berujung
pada suatu norma yang paling tinggi (stufentheorie). Suatu norma yang
validitasnya tidak dapat diturunkan dari suatu norma yang lebih tinggi
disebut norma dasar (grundnorm). Norma dasar ini membentuk suatu
ikatan antara normanorma yang berbeda yang menjadi isi dari aturan.
Kelsen juga berpendapat bahwa suatu hukum milik suatu sistem jika
hukum tersebut ditetapkan dengan penggunaan kekuasaan yang diatur
dalam norma dasar.
Setiap sistem norma mempunyai sanksi masingmasing. Sanksi
merupakan suatu karakteristik esensial dari hukum. 10 Setiap norma
untuk dapat menjadi “legal” harus dilengkapi dengan sanksi. Terkait
dengan hal ini, Kelsen menyebut setiap pelanggaran norma hukum
sebagai “delict”. Tidak ada satu perilakupun dapat dikatakan sebagai
delict kecuali diatur sanksinya.11
D.
METODOLOGI
Dalam rangka penulisan makalah ini metode pendekatan yang
digunakan adalah yuridis normatif, yaitu melakukan penelitian dengan
berbasis pada analisis terhadap norma hukum. Sasaran kajian yuridis
normatif diarahkan untuk menganalisis hubunganhubungan hukum
antar satu peraturan dengan peraturan lainnya, tingkat sinkronisasi
hukum baik vertikal maupun horisontal termasuk penelusuran asasasas
10Ibid., hlm.277.
11Ibid., hlm.278.
hukum.12 Kajian hukum normatif mengambil sikap kritisnormatif
bertolak dari wawasan atas keberadaan manusia dalam masyarakat serta
melancarkan kritik terhadap praktek hukum maupun dogmatik hukum.13
Disiplin kajian hukum normatif menghasilkan hasil kajian preskriptif
yaitu merumuskan dan mengajukan pedomanpedoman dan kaidah
kaidah yang harus dipatuhi oleh praktek hukum dan dogmatik hukum,
dan bersifat kritis.14 Kajian ini dilandasi pandangan relasi subyeksubyek,
sehingga hasil kajiannya bersifat intersubyektif. Kajian ini dilandasi
perspektif
internal,
sehingga
Peneliti
bersikap
sebagai
partisipan/pengamat terlibat, dan hasilnya adalah pengetahuan yang
intersubyektif.15
12 Muhammad Muhdar, Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum : Sub Pokok Bahasan
Penulisan Hukum, Balikpapan, Universitas Balikpapan, 2010.
13 Laili Mahariani, Tesis Tinjauan Yuridis Transparansi Informasi Produk Bank, (Jakarta: FH
UI, 2010) hlm.7. sebagaimana dikutip dari Agus Brotosusilo, Materi Kuliah Filsafat Hukum
dan Teori Hukum bidang Hukum Ekonomi, Pergulatan Ideologis dalam Methodologi Kajian
Hukum, (Jakarta: Program Pascasarjana Ilmu Hukum, FHUI, 2005) hlm.2.
14 Ibid.
15 Ibid.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PERANAN HUKUM POSITIF DALAM PENERAPAN HUKUM DI INDONESIA
Perkembangan Positivism saat ini dianggap memiliki pengaruh besar
dalam pemikiran hukum di Indonesia, dimana dalam implementasinya terlihat
jelas peranan aliran positivism semacam roh dalam penerapan hukum yang
existing. Positivism lebih menekankan pada aspek legalitas hukum itu sendiri
tanpa perlu memperhatikan halhal diluar itu. Tokoh positivism, Austin dan
Kensel pun sependapat memisahkan secara tegas antara hukum positif dan
hukum yang dicitacitakan, dengan kata lain ia memisahkan secara tegas
antara hukum dengan moral. Ilmu hukum hanya membahas hukum positif
saja, tidak membahas hubungan antara hukum dengan moral. Tanpa
memperdulikan baik dan buruknya hukum itu, diterima atau tidak oleh
masyarakat.
Tidak hanya itu, positivism yang menurut John Austin dilakukan oleh
pihak penguasa kemudian dihadapkan dengan kekuatan legalitas yang tak
terbantahkan, tidaklah mengherankan apabila kemudian muncul kritik
terhadap positivism ketika hukum “dapat” berubah menjadi atau dijadikan
penguasa sebagai alat kekuasaan untuk mencapai tujuan berkuasa dan
bukan tujuan hukum. Seperti halnya dikeluarkan dekrit presiden 5 Juli 1959
yang memberlakukan kembali UUD 1945 (sebelumnya diubah dengan UUDS
1950), dalam peristiwa tersebut penguasa yang berdaulat dapat melakukan
endorsement menjadi legal. Tetapi jika kita konsisten dengan positivism,
sangatlah kontradiktif dengan stufenbau theory yang telah mengikat hirarki
norma hukum dalam sebuah pertingkatan dan akan menimbulkan kritik
bagaimana dengan status legalitas UUD 1945.
Berbagai kritik yang diarahkan pada aliran positivism selama ini pada
intinya selalu menyorot atas esensinya, bahwa semua hukum adalah perintah
yang dibuat oleh penguasa yang berdaulat ditujukan kepada yang diperintah
dengan sanksi apabila perintah itu dilanggar. Dalam perspektif negara hukum
yang demokratis pemikiran Austin banyak dianggap tidak sesuai lagi karena
hanya melihat hukum sebagai perintah dari penguasa (command of
sovereign/command of lawgiver). Tapi bagi yang berbeda pandangan,
menganggap hal ini masih relevan karena hukum sebagaimana pemikiran
Austin tidak boleh dilihat secara parsial atau bahkan hanya pada unsur
“perintah” dan “penguasa”nya saja dengan mengesampingkan unsur
kedaulatannya. Kedaulatan inilah yang memiliki korelasi kuat dengan
eksistensi dari penguasa itu sendiri. Esensi dari positivism ini tidak dapat kita
ambil setengahsetengah, sebaliknya kita harus memahaminya sebagai
sesuatu yang inheren atau satu kesatuan yang utuh, dengan kata lain tanpa
salah satu unsur itu diasumsikan batal teori positivism tersebut.
Berkaca kebelakang, jika ciri formal legalistik diterapkan secara
konsisten maka status keberadaan Negara Republik Indonesia dipertanyakan.
Meskipun secara praktis, proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945 merupakan fenomena yang secara defacto sebagai
tanggal lahirnya suatu negara baru yaitu negara Republik Indonesia, akan
tetapi dalam pandangan positivism maka sebenarnya gerakan revolusioner
para pejuang kita tidak lebih dari gerakan “makar” menumbangkan suatu
pemerintahan yang sah. Sekali lagi jika kita konsisten menggunakan
paradigma positivism misalnya pure theory of law dari Hans Kelsen berarti
keseluruhan hasil dari proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tahun
1945 hingga saat ini adalah “batal demi hukum” dan ilegal. Namun dalam
kenyataannya, unsur kedaulatanlah (kehendak seluruh rakyat Indonesia) yang
mengambil peran penting dibandingkan unsur penguasa maupun unsur
perintah yang telah dilegalitas.
Apabila Austin memandang bahwa pemegang kedaulatan atau penguasa
tidak terikat oleh peraturan manapun, tidak sepenuhnya terjadi demikian.
Sebagaimana halnya dengan positivism di Indonesia, kedaulatan yang
merupakan salah satu unsur dari positivism dan dapat dikatakan bersifat pra
legal maupun postlegal (bukan urusan hukum, tetapi urusan politik atau
sosiologi) mampu menempatkan penguasa kedalam keterikatan hukum positif
itu sendiri yang tentunya telah dilengkapi juga dengan instrumeninstrumen
sanksinya. Akhirnya bayangan positivism hanya relevan pada negara totaliter
gugur sudah, dan kedaulatan dapat dianggap sebagai sesuatu yang
mengancam penguasa serta arah pembentukan hukum dalam kenyataan
berikutnya.
Selain hal diatas, kritik terhadap hukum di Indonesia juga diinspirasi
oleh pandangan yang menilai hukum selalu dikaitkan dengan peraturan
perundangperundangan, sedangkan nilainilai moral dan norma di luar
undangundang hanya dapat diakui apabila dimungkinkan oleh undang
undang. Atau dapat dikatakan positivism tidak menghiraukan adanya nilai
nilai moral di masyarakat.
Masih ingat kasus seorang nenek yang dipenjara karena mencuri 3 buah
kakao? Hal itu banyak menuai kontroversi dimana hakim dianggap tidak
dapat memenuhi rasa keadilan. Secara hukum tidak ada yang salah dengan
putusan hakim tersebut karena putusan yang diberikan telah diatur legal
dalam peraturan perundangundangan. Meskipun hakim memiliki kompetensi
menggali nilainilai hukum untuk mengenal perasaan hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat, namun dalam melaksanakan
tugasnya hakim kurang mendapatkan ruang gerak dalam perundang
undangan yang didominasi aliran positivism (pandangan Legalisme). Positivism
yang memandang hukum dari teropong legal atau perundangundangan
dianggap hanya menempatkan penegak hukum sebagai corong undang
undang dengan kaca mata kudanya, atau bahkan ada yang menyimpulkan
positivism hanya bertumpu pada ruang hampa kedap suara yang berwujud
rumusan atau katakata dalam undangundang.
Secara sederhana positivism menganut dua prinsip dasar, yakni,
Pertama, hanya undangundang yang disebut hukum, di luar undangundang
tidak ada hukum. Kedua, negara atau otoritas yang berdaulat merupakan
satusatunya sumber hukum. Implikasi dari dua prinsip ini adalah bahwa
setiap undangundang yang telah ditetapkan oleh otoritas yang sah harus
dianggap hukum yang harus dipatuhi, apapun isi dari hukum tersebut.
Dalam konteks positivism, adanya identifikasi hukum yang aplikasinya
diterapkan sesuai aspek legalitas memiliki kelebihan yaitu akan menjamin
bahwa setiap individu dapat mengetahui dengan pasti apa saja perbuatan
yang boleh dilakukan dan apa saja perbuatan yang tidak boleh dilakukan.
Bahkan negara pun kemudian dapat bertindak dengan tegas sesuai dengan
apa yang telah ditetapkan dan diputuskan.
Namun disamping kebaikankebaikan yang ada, sudah barang tentu
terdapat beberapa kelemahan yakni tentang ajaranajarannya yang kurang
sesuai dan bertentangan dengan berbagai pihak terutama masyarakat. Apabila
dilihat secara mendasar, maka kelemahan yang sangat pokok dalam Aliran
Positivism adalah justru dengan adanya identifikasi Hukum dan Undang
undang tersebut. Karena jika dilihat dengan nyata, bahwa betapapun
buruknya peraturan dan ketentuan yang ada, asalkan peraturan dan
ketentuan tersebut telah menjadi Undangundang yang harus diterapkan
dalam masyarakat maka seketika juga hakim akan menjadi terikat pada
Undangundang yang telah ditetapkan tersebut. Padahal peraturan
perundangundangan juga memiliki kelemahan atau kekurangan, seperti yang
dikemukakan oleh Bagir Manan bahwa:16
1. Peraturan perundangundangan tidak fleksibel. Tidak mudah
menyesuaikannya dengan masyarakat. Pembentukan peraturan perundang
undangan membutuhkan waktu dan tatacara tertentu sementara
16 Manan Bagir, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2004
mesyarakat berubah terus bahkan mungkin sangat cepat. Akibatnya terjadi
jurang pemisah antara peraturan perundangundangan dengan masyarakat.
2. Peraturan perundangundangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi
semua peristiwa hukum atau tuntutan hukum dan ini menimbulkan apa
yang lazim disebut kekosongan hukum.
Meskipun hal tersebut tidak identik dengan positivism sebagai penyebab
kegagalan hukum, khususnya kegagalan dalam penegakan hukum. Tapi
secara kompleks pemikiran positivism ditempatkan sebagai faktor menjauhnya
rasa keadilan dari masyarakat serta kegagalan hukum dalam memainkan
peranan yang sejati pada pembangunan hukum di Indonesia. Oleh karena
adanya beberapa kelemahan ini, maka mau tidak mau harus mengakomodir
keberadaan hukum tidak tertulis. Menurut Bagir Manan, hukum tak tertulis
ini mempunyai peranan sebagai berikut:17
a. Merupakan instrumen yang melengkapi dan mengisi berbagai kekosongan
b.
hukum dari suatu peraturan perundangundangan.
Merupakan instrumen yang memberikan dinamika atas peraturan
c.
perundangundangan.
Merupakan instrumen relaksasi atau koreksi atas peraturan perundang
undangan agar lebih sesuai dengan tuntutan perkembangan, rasa
keadilan dan kebenaran yang hidup dalam masyarakat.
Selain itu political will dalam proses pralegal harus dapat menempatkan
atau setidaknya memberikan ruang pada aspek sosial ditengahtengah
kakunya peraturan legal. Teori Hukum tidak bisa dilepaskan dari lingkungan
zamannya, sekalipun ia berkeinginan untuk mengatakan suatu pikiran
universal. Dengan demikian kita baiknya bersikap untuk selalu tidak
melepaskan teoriteori tersebut dari konteks waktu pemunculannya. Hukum
diharapkan menjadi suatu bentuk kontrol masyarakat, meskipun dalam
bentuk yang sederhana namun harus dapat membuktikan bahwa hukum
mampu mempertahankan kelangsungan hidup bermasyarakat dan mampu
menjadi penyeimbang antara kehendak individu, masyarakat dan penguasa.
17 Bagir Manan, “Peranan Hukum Administrasi Negara dalam Pembentukan Peraturan
Perundangundangan”. Makalah pada Penataran Nasional Hukum Administrasi Negara.
Fakultas Hukum Universitas Hasanudin, 1985, Ujung Pandang.
B. PANDANGAN HUKUM POSITIF TERHADAP PERATURAN PERUNDANG
UNDANGAN DI INDONESIA
Ranah pembentukan hukum serta tata negara di Indonesia juga masih
kental dengan aroma Positivism, dalam hal ini teori hukum murni masih
tercermin menjadi pakem dalam sistem secara yuridis dan ketatanegaraan.
Diantaranya dalam tata urutan peraturan perundangundangan yang
dipengaruhi oleh Stufenbau theory dari Kelsen. Teori Hans kelsen yang
mendapat banyak perhatian adalah hirarki norma hukum dan rantai validitas
yang membentuk piramida hukum. Artinya Peraturan hukum keseluruhannya
diturunkan dari norma dasar yang semakin ke bawah semakin beragam dan
menyebar. Norma dasar teratas bersifat abstrak dan semakin ke bawah
semakin konkret. Dalam proses itu, apa yang semula berupa sesuatu yang
“seharusnya”, berubah menjadi sesuatu yang “dapat” dilakukan.
Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid
Hans Kelsen, yaitu Hans Naviasky. Menurut Naviasky, norma tertinggi yang
oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basicnorm) dalam suatu negara
“sebaiknya” tidak disebut sebagai staats grundnorm melainkan Staats
fundamentalnorm, atau norma fundamental negara.18 Grundnorm pada
dasarnya tidak berubahubah dan tidak dilegalisasi, sedangkan norma
tertinggi dapat berubah dan dapat dilegalisasi. Teori Naviasky disebut dengan
theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori
tersebut adalah19:
18 Asshiddiqie, Jimly, dan Ali Safaat, M, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, hlm. 170,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006)
19 Ibid., hlm.170.
1. Norma fundamental negara (Staats fundamentalnorm);
2. Aturan dasar negara (staats grundgesetz);
3. Undangundang formal (formell gesetz); dan
4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome
satzung).
Dalam penyataan Naviasky muncul kebimbangankebimbangan bagi
penganut positivism, apakah Staats fundamentalnorm adalah norma yang
dianggap mutlak menggantikan grundnorm atau hanya “sebaiknya” dianggap
demikian. Kata “sebaiknya” masih memunculkan perdebatan dalam
memaknainya, karena apapun itu secara prinsip dua istilah tersebut memiliki
perbedaan syarat validitasnya.
Posisi hukum dari suatu Staats fundamentalnorm adalah sebagai syarat
bagi berlakunya suatu konstitusi. Begitu pula grundnorm yang terbentuk
terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara. Perbedaan yang mendasar dari
keduanya adalah Staats fundamentalnorm dapat berubahubah dan
validitasnya dapat dilegalisasikan, sedangkan grundnorm memiliki sifat yang
tetap dan dipostulasikan valid tanpa legalisasi.
Perdebatan tersebut merambah pada cara pandang hukum di Indonesia
memposisikan Pancasila yang dianggap sebagian orang adalah sebagai
grundnorm dan sebagian lagi menolak hal itu dan cukup menempatkan
Pancasila sesuai teori Naviasky yang menyatakan “sebaiknya” disebut sebagai
staats fundamentalnorm. Memang masih debatable apakah Pancasila berada di
luar piramida hukum secara abstrak sebagai norma dasar atau Pancasila
berada di pucuk teratas piramida hukum yang secara empiris terlegalisasi
disebut sebagai norma fundamental negara.
Berdasarkan teori Hans Naviasky, A. Hamid S. Attamimi
membandingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur
tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hirarki tata hukum
Indonesia dengan menggunakan teori Naviasky. Berdasarkan teori tersebut,
struktur tata hukum Indonesia adalah20:
1. Staats fundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
20 Ibid., hlm. 171.
2. Staats grundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi
Ketatanegaraan.
3. Formell gesetz: UndangUndang.
4. Verordnung en Autonome Satzung: Secara hirarkis mulai dari Peraturan
Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.
Namun secara legalitas dalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan menunjukkan
struktur hirarki tata hukum Indonesia sebagai berikut :
1. UUD 1945 (Staats fundamentalnorm).
2. Tap MPR (Staats grundgesetz).
3. UndangUndang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Formell
gesetz).
4. Peraturan Pemerintah (Verordnung en Autonome Satzung).
5. Peraturan Presiden (Verordnung en Autonome Satzung).
6. Peraturan Daerah (Verordnung en Autonome Satzung).
Hans Kelsen membahas validitas normanorma hukum dengan
menggambarkannya sebagai suatu rantai validitas yang berujung pada
konstitusi negara. Validitas konstitusi pertama adalah presuposisi terakhir, di
mana validitas semua norma dalam tata aturan hukum bergantung. Dokumen
yang merupakan wujud konstitusi pertama adalah konstitusi sesungguhnya,
suatu norma mengikat, hanya dalam kondisi dipresuposisikan sebagai valid.
Presuposisi inilah yang disebut dengan istilah trancendentallogical
pressuposition.21
Logika Kelsen tersebut sering dipahami secara salah dengan
mencampuradukkan antara presuposisi validitas dan konstitusi, manakah
yang merupakan norma dasar (grundnorm)? Hal inilah yang selanjutnya
diselesaikan oleh Naviasky dengan membedakan antara
staats
fundamentalnorm dengan grundnorm, dimanan grundnorm pada dasarnya
tidak berubah sedangkan staats fundamentalnorm dapat berubah seperti
melalui kudeta atau revolusi.
Jika Pancasila bukan merupakan grundnorm lalu apa yang
mempresuposisikan validitas UUD 1945? “Mungkin” Proklamasi 17 Agustus
1945 yang saat itu terjadi dan konon bukan merupakan tindakan hukum
21 Ibid., hlm. 172.
karena dilakukan bukan oleh organ hukum dan tidak sesuai dengan prosedur
hukum, dapat (memenuhi syarat) menjadi presuposisi validitas terakhir.
Proklamasi bisa dianggap sebagai tonggak terbentuknya suatu tata hukum
baru yang dapat mempresuposisikan validitas tata hukum Indonesia
berdasarkan UUD 1945.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1.
Peranan hukum positif dalam penerapan hukum di Indonesia sangat
berkaitan dengan pandangan aliran hukum positivisme yang
mengedepankan pada prinsip hukum itu ada apabila di wujudkan dalam
undangundang, hukum itu di buat oleh penguasa, dan selain itu hukum
bersifat memaksa. Dalam aliran hukum positivisme juga terdapat
pemisahan antara hukum dengan moral. Hal ini sangat terasa
pengaruhnya dalam penerapan hukum di Indonesia dimana Positivism
yang memandang hukum dari teropong legal atau perundangundangan
dianggap hanya menempatkan penegak hukum sebagai corong undang
undang dengan kaca mata kudanya, atau bahkan ada yang
menyimpulkan positivism hanya bertumpu pada ruang hampa kedap
2.
suara yang berwujud rumusan atau katakata dalam undangundang.
Pandangan hukum positif terhadap peraturan perundangundangan di
Indonesia diwujudkan dalam peraturan hukum yang keseluruhannya
diturunkan dari norma dasar yang berada di puncak priamida, dan
semakin ke bawah semakin beragam dalam artian hukum itu berjenjang.
Berkaitan dengan ini dalam pembentukan peraturan perundang
undangan di Indonesia jelaslah dapat kita lihat pada UndangUndang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang
undangan. Hal ini dibuktikan dengan adanya sistem struktur tata hukum
Indonesia yang divalidasikan sesuai dengan tata urutan norma
sebagaimana dijelaskan oleh teori stufenbau Hans Kelsen.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Brotosusilo, Materi Kuliah Filsafat Hukum, Bentham, Austin and
Classical English Positivism, Program Studi Magister Ilmu Hukum UPN
“Veteran” Jakarta, Jakarta, 2014
Agus Brotosusilo, Materi Kuliah Filsafat Hukum, Pure Theory of Law Program
Studi Magister Ilmu Hukum UPN “Veteran” Jakarta, Jakarta, 2014
Asshiddiqie, Jimly, dan Ali Safaat, M, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, hlm.
7, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,
Jakarta, 2006
Bagir Manan. 1985. “Peranan Hukum Administrasi Negara dalam
Pembentukan Peraturan Perundangundangan.”. Makalah pada
Penataran Nasional Hukum Administrasi Negara. Fakultas Hukum
Universitas Hasanudin. Ujung Pandang.
Manan Bagir, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2004
Johni Najwan, Jurnal Implikasi Aliran Positivisme Terhadap Pemikiran
Hukum, Magister Ilmu Hukum UNJA, Jambi, 2010
Laili Mahariani, Tesis Tinjauan Yuridis Transparansi Informasi Produk Bank,
FH UI, Jakarta, 2010
Muhammad Muhdar, Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum : Sub Pokok
Bahasan Penulisan Hukum, Balikpapan, Universitas Balikpapan, 2010.