PENGARUH POSITIVISM DALAM HUKUM DI INDON

PENGARUH POSITIVISM DALAM HUKUM DI INDONESIA
A.

LATAR BELAKANG MASALAH
Sebenarnya pertentangan antara idealis versus materialis, metafisis
versus positivis, ontologis versus empiris, telah berlangsung cukup lama,
meskipun   demikian   aliran   positif   baru   mulai   berkembang   pesat   pada
abad ke­19 ketika empirisme mendominasi pemikiran.1  Positivisme lahir
dan berkembang di bawah naungan empirisme, artinya antara empirisme
dan   positivisme   tidak   dapat   dipisahkan.2  Pesatnya   perkembangan
positivisme   terjadi   setelah   menangnya   gerakan   sekularisasi,   yang
berupaya memisahkan secara tegas antara urusan politik (negara) dengan
urusan Gereja (agama), dan bersamaan dengan runtuhnya kewibawaan
gereja yang menawarkan basis pemikiran transendental.3 
Begitu juga aliran hukum positif (positivism)  yang  berkembang pada
abad pertengahan, dimana  positivism  merupakan reaksi  penolakan  atas
aliran   hukum   alam   (natural   law)  yang   menggabungkan   hukum   dan
moral.4 Untuk mendapatkan suatu objektivitas terhadap positivism  tentu
tidak dapat dilepaskan dari sejarah dan esensi dari  positivism  itu pada
awalnya, bahwa sebelum abad ke­18 pikiran berkenaan dengan positivism
sudah ada, tetapi pemikiran itu baru menguat setelah lahirnya negara­

negara   modern.  Positivism  memiliki   cara   pandang   yang   berbeda   dalam
melihat hukum,  positivism  sangat mengagungkan objektivisme daripada
subjektivisme serta lebih menggunakan pendekatan sekuler dan positivis
dalam menganalisis hukum itu sendiri. 
Secara   garis   besar  positivism  terpecah   menjadi   2   aliran   yaitu
positivism  analisis yang digagas oleh John Austin dan  positivism  murni

1 Johni Najwan, Jurnal Implikasi Aliran Positivisme Terhadap Pemikiran Hukum (Jambi: 
Magister Ilmu Hukum UNJA, 2010) hlm.19.
2 Ibid.
3 Ibid.
4Agus   Brotosusilo,  Materi   Kuliah   Filsafat   Hukum,  Bentham,  Austin  and   Classical   English
Positivism  (Jakarta: Program Studi Magister Ilmu Hukum UPN “Veteran” Jakarta, 2014)  hlm.
205.

yang dipelopori oleh Hans Kelsen. Dalam pandangan Austin, hukum itu
adalah   sekelompok   tanda­tanda   (sign)   yang   mencerminkan   kehendak
(wish)   dan   disusun   atau   diadopsi   oleh   pemegang   kedaulatan   (the
sovereign). Sementara itu menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah
sistem   norma.   Norma   adalah   pernyataan   yang   menekankan   aspek

seharusnya   atau  das   sollen,   dengan   menyertakan   beberapa   peraturan
tentang apa yang harus dilakukan. Norma­norma adalah produk dari aksi
manusia   yang   deliberatif.   Kelsen   menyakini   bahwa   ada
ketidakmungkinan memunculkan kesimpulan dari kejadian faktual bagi
das   sollen.   Sehingga,   Kelsen   percaya   bahwa   hukum   yang   merupakan
pernyataan­pernyataan “seharusnya” tidak bisa direduksi ke dalam aksi­
aksi alamiah. 
Dalam   kehidupan   ketatanegaraan   di   Indonesia,   UUD   1945
menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Prinsip ini semula
dimuat dalam penjelasan, yang berbunyi Negara Indonesia berdasar atas
hukum  (rechsstaat) tidak  berdasar  atas kekuasaan belaka  (machsstaat) 
disamping itu, ada prinsip lain yang erat dengan prinsip negara hukum
juga dimuat dalam penjelasan seperti Pemerintahan berdasar atas sistem
konstitusi   (hukum   dasar),   tidak   bersifat   absolutisme   (kekuasaan   yang
tidak   terbatas).   Prinsip   ini   mengandung   makna   ada   pembagian
kekuasaan   negara   dan   pembatasan   kekuasaan   (tidak   absolut   dengan
kekuasaan   tidak   terbatas).   Dengan   ketentuan   ini,   maka   dasar   sebagai
negara   berdasarkan   atas   hukum   mempunyai   sifat   normatif   bukan
sekedar   asas   belaka.   Sebagai   negara   hukum   pengaruh  positivism  yang
memisahkan   hukum   dengan   moral   hadir   secara   konseptual   maupun

implementasi   terhadap   tata   kehidupan   hukum   di   Indonesia,   meskipun
hal   ini   dirasa   sangat   kontradiktif   dengan   masyarakat   Indonesia   yang
dinobatkan sebagai masyarakat timur dan kental dengan aspek moralitas.
Berangkat   dari   pandangan   kedua   ahli   hukum   yang   dinyatakan
diatas,   tentulah   kajian   ini   bermaksud   untuk   mencari   atau

mengungkapkan   tekanan­tekanan   dari  pemikiran  positivism  yang   dapat
mengantarkan   kita   pada   pemahaman   yang   lebih   kompleks   terhadap
pengaruh positivism yang menganggap hukum itu tidak memiliki sangkut
paut dengan moral maupun keadilan. Dengan berlatar belakang masalah
tersebut diatas maka penulis tertarik untuk mengambil judul “Pengaruh
Positivism Dalam Hukum Di Indonesia” dalam penulisan makalah ini.
B.

RUMUSAN MASALAH
Perkembangan   serta   hal­hal   yang   menjadi   akibat   dari   pengaruh
positivism seperti diatas yang menyebabkan menarik untuk diangkat dan
dibahas,   maka   dari   itu   dalam   makalah   ini   dirumuskan   beberapa
permasalahan, yaitu :
1. Apa peranan hukum positif dalam penerapan hukum di Indonesia?

2. Bagaimana pandangan hukum positif terhadap peraturan perundang­
undangan di Indonesia?

C.

LANDASAN TEORI
1.

JOHN AUSTIN
Sebagai seorang positifis Austin ingin menunjukkan apa hukum itu
sebenarnya,  yaitu  sebagai   pertentangan   atas   moral   atau   gagasan
hukum   kodrat.   Dalam   arti   lain  positivism  secara   logis   bebas
menegaskan   pemisahan   antara   hukum   dan   moral.  Negara
dipandangnya   sebagai   kenyataan   yang   diterima   begitu   saja   oleh
orang­orang   dalam   wilayah   tertentu.   Orang­orang   tersebut   biasa
menaati   pemerintah,   jika   mereka   berhenti   menaati   maka   Negara
tidak ada lagi. Satu­satunya sumber hukum adalah yang berkuasa
dan  di   atasnya   tidak   ditemukan   hukum  lagi.   Austin  berpendapat
bahwa karakteristik hukum yang terpenting terletak pada karakter
imperatifnya dimana hukum dipahami sebagai suatu perintah dari


penguasa.  Maka   untuk   dapat   disebut   hukum   menurut   Austin
diperlukan   unsur­unsur   sebagai   berikut:  command  (perintah),
sovereignty (penguasa), duty (kewajiban), dan sanction (sanksi). Jadi
menurut   Austin,   hukum   positif   merupakan   kehendak   (perintah)
dari   penguasa   yang   wajib   untuk   dilaksanakan.   Apabila   tidak
dilaksanakan   maka   akan   ada   sanksi   yang   dijatuhkan.   Kehendak
yang   memuat   sanksi   tersebut   harus   diungkapkan   dengan   jelas
sehingga   menjamin   adanya   persamaan   kedudukan   di   hadapan
hukum bagi semua orang. Tiap hukum positif dibuat oleh seseorang
yang   berdaulat   atau   oleh   suatu   badan  yang   terdiri  dari  beberapa
orang   yang   berdaulat,   untuk   keperluan   anggota­anggota   dari
masyarakat   politik   yang   merdeka,   dimana   penguasa   atau   badan
tersebut mempunyai kedaulatan yang penuh memegang kekuasaan
tertinggi. Austin juga mengklasifikasi hukum sebagai berikut:
Laws properly so called

Laws of God

Positive 

Laws

Laws improperly so called

Laws by analogy

Human Laws

Laws by metaphor

Laws set by men, not 
as political superiors 
(nor in pursuance of 
legal right)

Positive Morality

Austin membedakan antara hukum yang sebenarnya (laws properly
so  called) dan  hukum   yang   tidak  sebenarnya  (laws  improperly so
called).

Yang   termasuk   dalam   hukum   yang   sebenarnya   (laws   properly  so
called) adalah:

a. Hukum Tuhan (Laws of God)
b. Hukum Manusia (Human Laws) yang dibuat oleh manusia untuk
manusia   lain.  Hukum   manusia   (human   laws)   dibedakan   lagi
menjadi:
(1) Hukum   yang   dibuat   oleh   penguasa   politik   yang   sedang
memegang   kekuasaan   atas   orang­orang   yang   secara   politis
ada   di   bawah   kekuasaannya.   Hukum   ini   disebut   hukum
positif   (Positive   Laws),   contohnya   peraturan   perundang­
undangan.
(2) Aturan­aturan   yang   tidak   dibuat   oleh   penguasa   politik,
misalnya   aturan   yang   dibuat  ustad  kepada  santrinya,
majikan   kepada   buruhnya,   dan   guru   kepada   muridnya.
Aturan­aturan ini menghasilkan suatu moral positif (positive
morality).
Yang   termasuk   dalam   hukum   yang   tidak   sebenarnya   (laws
improperly so called) adalah:
a. Hukum   hasil   analogi   (laws   by   analogy),   yang   diciptakan   dan

diberlakukan   melalui   pendapat   umum,   misalnya

 etika

berpakaian,   etika   makan   dengan   table   manner  dan   hukum
internasional.   Aturan   melalui   bentukan   pendapat   umum   ini
dilakukan   dengan   cara   menganalogikan   “hukum”   tersebut.
Sekelompok masyarakat bersama­sama memiliki nilai­nilai yang
disukai  dan  tidak   disukai.   Keberadaan   sekelompok   masyarakat
dengan nilai­nilai ini merupakan analogi dari apa yang dilakukan
oleh   negara.  Laws   by   analogy  ini   menghasilkan   suatu   moral
positif. 
b. Hukum yang muncul melalui metafora (laws by metaphor) atau
yang dalam bahasa sehari­hari disebut dengan hukum alamiah
(laws of nature). Contohnya, setiap orang pasti mati.

2. HANS KELSEN : THE PURE THEORY OF LAW
Kelsen   menolak   pendapat   aliran   Natural   Law   yang   menggabungkan
antara   hukum   dengan   moralitas.5  Sebagai   seorang   positifis,   Kelsen
mengatakan   bahwa   teori   hukum   harus   dibedakan   dengan   hukum   itu

sendiri.  Objek   ilmu   pengetahuan   hukum   adalah   sifat   normatif   yang
diciptakan   hukum   yaitu   sifat   keharusan   untuk   melakukan   suatu
perbuatan sesuai dengan peraturan hukum. Jadi pokok persoalan ilmu
pengetahuan   hukum   adalah   norma   hukum   yang   terlepas   dari
pertimbangan­pertimbangan semua isinya baik dari segi etika maupun
sosiologis. Karena itu ajarannya disebut dengan Ajaran Hukum Murni
(Reine Rechtslehre).
Hukum terdiri dari berbagai macam aturan, dan disinilah teori hukum
berfungsi, yaitu untuk mengorganisirkan ke dalam suatu perintah. Teori
hukum itu seharusnya seragam dan dapat dilaksanakan di setiap waktu
dan   tempat.   Teori   hukum   harus   bebas   dari   bidang­bidang   lainnya   di
luar   hukum.  Teori   umum   tentang   hukum   yang   dikembangkan   oleh
Kelsen meliputi dua aspek penting, yaitu aspek statis (nomostatics) yang
melihat   perbuatan   yang   diatur   oleh   hukum,   dan   aspek   dinamis
(nomodinamic ) yang melihat hukum yang mengatur perbuatan tertentu.
Karakteristik   dari   norma   adalah   sifatnya   yang   hipotetis,   lahir   bukan
karena alami, melainkan karena kemauan dan akal manusia. 6 Kemauan
dan   akal   ini   menelorkan   pernyataan   yang   berfungsi   sebagai   asumsi
dasar. Teori Kelsen dapat dirumuskan sebagai “suatu analisis tentang
struktur   hukum   positif,   yang   dilakukan   seeksak   mungkin,   suatu

analisis   yang   bebas   dari   semua   pendapat   etis   atau   politis   mengenai
suatu   nilai”.   Kelsen   pada   dasarnya   ingin   menciptakan   suatu   ilmu
5Agus Brotosusilo, Materi Kuliah Filsafat Hukum, Pure Theory of Law (Jakarta: Program Studi 
Magister Ilmu Hukum UPN “Veteran” Jakarta, 2014) hlmn.272.
6Asshiddiqie, Jimly, dan Ali Safaat, M, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, hlm. 7, Sekretariat 
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006.

pengetahuan   hukum   murni,   menghilangkan   dari   semua   unsur­unsur
yang tidak penting dan memisahkan jurisprudence dari ilmu­ilmu sosial,
sebagaimana yang dilakukan oleh kaum analis denga tegas. Dasar­dasar
esensial dari pemikran Kelsen sebagai berikut :7
 Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu, adalah untuk


mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity). 
Teori   hukum   adalah   ilmu,   bukan   kehendak,   keinginan.   Ia   adalah
pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum yang





seharusnya ada.
Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam
Sebagai   suatu   teori   tentang   norma­norma,   teori   hukum   tidak



berurusan dengan persoalan efektivitas norma­norma hukum.
Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara
pengaturan dari isi yang berubah­ubah menurut jalan atau pola yng
spesifik. Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum
positif   tertentu   adalah   seperti   antara   hukum   yang   mungkin   dan

hukum yang ada.
Dinyatakan   oleh   Kelsen   bahwa   Hukum   adalah   sama   dengan   negara.
Suatu   tertib   hukum   menjadi   suatu   tertib   negaram,   hal   itu   terjadi
apabila   tertib   hukum   itu   sudah   menyusun   suatu   badan­badan   atau
lembaga­lembaga   guna   menciptakan   dan   mengundangkan   serta
melaksanakan hukum.  Aturan hukum adalah merupakan suatu sistem
norma.   Norma   bukanlah   suatu   pernyataan   mengenai   realita   sehingga
dengan   demikian   tidak   dapat   dikatakan   “benar”   atau   “salah”   dengan
ukuran realitas. Suatu norma dikatakan valid bukanlah dilihat dari sisi
apa yang terjadi melainkan apa yang seharusnya terjadi.8 
Bagi   Kelsen,   hukum   terdiri   dari   norma­norma   dimana   norma­norma
tersebut   bersumber   dari   norma   lainnya.9  Kelsen   berpendapat   bahwa
suatu   norma   selalu   diukur   dari   norma   lain   yang   menjadi   dasar
7 Ibid., hlm. 8.
8Agus Brotosusilo, Materi Kuliah Filsafat Hukum, Pure Theory of Law, (Jakarta: Program Studi
Magister Ilmu Hukum UPN “Veteran” Jakarta, 2014) hlm.274. 
9Ibid., hlm.272. 

keberlakuannya. Hal ini membentuk suatu hirarki norma yang berujung
pada suatu norma yang paling tinggi (stufentheorie). Suatu norma yang
validitasnya tidak dapat diturunkan dari suatu norma yang lebih tinggi
disebut   norma   dasar   (grundnorm).   Norma   dasar   ini   membentuk   suatu
ikatan antara norma­norma yang berbeda yang menjadi isi dari aturan.
Kelsen juga berpendapat bahwa suatu hukum milik suatu sistem jika
hukum tersebut ditetapkan dengan penggunaan kekuasaan yang diatur
dalam norma dasar. 
Setiap   sistem   norma   mempunyai   sanksi   masing­masing.   Sanksi
merupakan   suatu   karakteristik   esensial   dari   hukum. 10  Setiap   norma
untuk   dapat   menjadi   “legal”   harus   dilengkapi   dengan   sanksi.   Terkait
dengan   hal   ini,   Kelsen   menyebut   setiap   pelanggaran   norma   hukum
sebagai   “delict”.   Tidak   ada   satu   perilakupun   dapat   dikatakan   sebagai
delict kecuali diatur sanksinya.11

D.

METODOLOGI
Dalam   rangka   penulisan   makalah   ini   metode   pendekatan   yang
digunakan   adalah   yuridis   normatif,   yaitu   melakukan   penelitian   dengan
berbasis   pada   analisis   terhadap   norma   hukum.   Sasaran   kajian   yuridis
normatif   diarahkan   untuk   menganalisis   hubungan­hubungan   hukum
antar   satu   peraturan   dengan   peraturan   lainnya,   tingkat   sinkronisasi
hukum baik vertikal maupun horisontal termasuk penelusuran asas­asas

10Ibid., hlm.277.
11Ibid., hlm.278.

hukum.12  Kajian   hukum   normatif   mengambil   sikap   kritis­normatif
bertolak dari wawasan atas keberadaan manusia dalam masyarakat serta
melancarkan kritik terhadap praktek hukum maupun dogmatik hukum.13
Disiplin kajian hukum normatif menghasilkan hasil kajian preskriptif
yaitu   merumuskan   dan   mengajukan   pedoman­pedoman   dan   kaidah­
kaidah yang harus  dipatuhi oleh praktek hukum dan dogmatik hukum,
dan bersifat kritis.14  Kajian ini dilandasi pandangan relasi subyek­subyek,
sehingga   hasil   kajiannya   bersifat   intersubyektif.  Kajian   ini   dilandasi
perspektif

 

internal,

 

sehingga

 

Peneliti

 

bersikap 

sebagai

partisipan/pengamat   terlibat,  dan   hasilnya   adalah   pengetahuan   yang
inter­subyektif.15

12 Muhammad Muhdar, Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum : Sub Pokok Bahasan 
Penulisan Hukum, Balikpapan, Universitas Balikpapan, 2010.
13 Laili Mahariani, Tesis Tinjauan Yuridis Transparansi Informasi Produk Bank, (Jakarta: FH 
UI, 2010) hlm.7. sebagaimana dikutip dari Agus Brotosusilo, Materi Kuliah Filsafat Hukum 
dan Teori Hukum bidang Hukum Ekonomi, Pergulatan Ideologis dalam Methodologi Kajian 
Hukum, (Jakarta: Program Pascasarjana Ilmu Hukum, FH­UI, 2005) hlm.2.
14 Ibid.
15 Ibid.

BAB II
PEMBAHASAN

A. PERANAN HUKUM POSITIF DALAM PENERAPAN HUKUM DI INDONESIA
Perkembangan  Positivism  saat   ini   dianggap   memiliki   pengaruh   besar
dalam pemikiran hukum di Indonesia, dimana dalam implementasinya terlihat
jelas  peranan  aliran  positivism  semacam  roh  dalam  penerapan hukum  yang
existing.  Positivism  lebih menekankan pada aspek legalitas hukum itu sendiri
tanpa perlu memperhatikan hal­hal diluar itu. Tokoh  positivism, Austin dan
Kensel pun sependapat memisahkan secara tegas antara hukum positif dan
hukum   yang   dicita­citakan,   dengan   kata   lain   ia   memisahkan   secara   tegas
antara  hukum  dengan  moral.  Ilmu  hukum  hanya   membahas hukum  positif
saja,   tidak   membahas   hubungan   antara   hukum   dengan   moral.   Tanpa
memperdulikan   baik   dan   buruknya   hukum   itu,   diterima   atau   tidak   oleh
masyarakat. 
Tidak hanya itu,  positivism  yang menurut John Austin dilakukan oleh
pihak   penguasa   kemudian   dihadapkan   dengan   kekuatan   legalitas   yang   tak
terbantahkan,   tidaklah   mengherankan   apabila   kemudian   muncul   kritik
terhadap  positivism  ketika   hukum   “dapat”   berubah   menjadi   atau   dijadikan
penguasa   sebagai   alat   kekuasaan   untuk   mencapai   tujuan   berkuasa   dan
bukan tujuan hukum. Seperti halnya dikeluarkan dekrit presiden 5 Juli 1959
yang memberlakukan kembali UUD 1945 (sebelumnya diubah dengan UUDS
1950),   dalam   peristiwa   tersebut   penguasa   yang   berdaulat   dapat   melakukan
endorsement  menjadi   legal.   Tetapi   jika   kita   konsisten   dengan  positivism,
sangatlah   kontradiktif   dengan  stufenbau   theory  yang   telah   mengikat   hirarki

norma   hukum   dalam   sebuah   pertingkatan   dan   akan   menimbulkan   kritik
bagaimana dengan status legalitas UUD 1945.
Berbagai kritik yang diarahkan pada aliran  positivism  selama ini pada
intinya selalu menyorot atas esensinya, bahwa semua hukum adalah perintah
yang dibuat oleh penguasa yang berdaulat ditujukan kepada yang diperintah
dengan sanksi apabila perintah itu dilanggar. Dalam perspektif negara hukum
yang demokratis pemikiran Austin banyak dianggap tidak sesuai lagi karena
hanya   melihat   hukum   sebagai   perintah   dari   penguasa   (command   of
sovereign/command   of   law­giver).   Tapi   bagi   yang   berbeda   pandangan,
menganggap   hal   ini   masih   relevan   karena   hukum   sebagaimana   pemikiran
Austin   tidak   boleh   dilihat   secara   parsial   atau   bahkan   hanya   pada   unsur
“perintah”   dan   “penguasa”­nya   saja   dengan   mengesampingkan   unsur
kedaulatannya.   Kedaulatan   inilah   yang   memiliki   korelasi   kuat   dengan
eksistensi dari penguasa itu sendiri. Esensi dari positivism ini tidak dapat kita
ambil   setengah­setengah,   sebaliknya   kita   harus   memahaminya   sebagai
sesuatu yang inheren atau satu kesatuan yang utuh, dengan kata lain tanpa
salah satu unsur itu diasumsikan batal teori positivism tersebut.
Berkaca   kebelakang,   jika   ciri   formal   legalistik   diterapkan   secara
konsisten maka status keberadaan Negara Republik Indonesia dipertanyakan.
Meskipun secara praktis, proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia  pada
tanggal  17  Agustus 1945 merupakan  fenomena  yang  secara  defacto sebagai
tanggal   lahirnya   suatu   negara   baru   yaitu   negara   Republik   Indonesia,   akan
tetapi   dalam   pandangan  positivism  maka   sebenarnya   gerakan   revolusioner
para   pejuang   kita   tidak   lebih   dari   gerakan   “makar”   menumbangkan   suatu
pemerintahan   yang   sah.   Sekali   lagi   jika   kita   konsisten   menggunakan
paradigma  positivism  misalnya  pure   theory   of   law  dari   Hans   Kelsen   berarti
keseluruhan   hasil   dari   proklamasi   kemerdekaan   Republik   Indonesia   tahun
1945   hingga   saat   ini   adalah   “batal   demi   hukum”   dan   ilegal.   Namun   dalam
kenyataannya, unsur kedaulatanlah (kehendak seluruh rakyat Indonesia) yang

mengambil   peran   penting   dibandingkan   unsur   penguasa   maupun   unsur
perintah yang telah dilegalitas.
Apabila Austin memandang bahwa pemegang kedaulatan atau penguasa
tidak   terikat   oleh   peraturan   manapun,   tidak   sepenuhnya   terjadi   demikian.
Sebagaimana   halnya   dengan  positivism  di   Indonesia,   kedaulatan   yang
merupakan salah satu unsur dari positivism dan dapat dikatakan bersifat pra­
legal   maupun   post­legal   (bukan   urusan   hukum,   tetapi   urusan   politik   atau
sosiologi) mampu menempatkan penguasa kedalam keterikatan hukum positif
itu sendiri yang tentunya telah dilengkapi juga dengan instrumen­instrumen
sanksinya. Akhirnya bayangan positivism hanya relevan pada negara totaliter
gugur   sudah,   dan   kedaulatan   dapat   dianggap   sebagai   sesuatu   yang
mengancam   penguasa   serta   arah   pembentukan   hukum   dalam   kenyataan
berikutnya.
Selain hal diatas, kritik terhadap hukum di Indonesia juga diinspirasi
oleh   pandangan   yang   menilai   hukum   selalu   dikaitkan   dengan   peraturan
perundang­perundangan,   sedangkan   nilai­nilai   moral   dan   norma   di   luar
undang­undang   hanya   dapat   diakui   apabila   dimungkinkan   oleh   undang­
undang.   Atau   dapat   dikatakan  positivism  tidak   menghiraukan   adanya   nilai­
nilai moral di masyarakat. 
Masih ingat kasus seorang nenek yang dipenjara karena mencuri 3 buah
kakao?   Hal   itu   banyak   menuai   kontroversi   dimana   hakim   dianggap   tidak
dapat memenuhi rasa keadilan. Secara hukum tidak ada yang salah dengan
putusan   hakim   tersebut   karena   putusan   yang   diberikan   telah   diatur   legal
dalam peraturan perundang­undangan. Meskipun hakim memiliki kompetensi
menggali   nilai­nilai   hukum   untuk   mengenal   perasaan   hukum   dan   rasa
keadilan   yang   hidup   dalam   masyarakat,   namun   dalam   melaksanakan
tugasnya   hakim   kurang   mendapatkan   ruang   gerak   dalam   perundang­
undangan yang didominasi aliran positivism (pandangan Legalisme). Positivism
yang   memandang   hukum   dari   teropong   legal   atau   perundang­undangan
dianggap   hanya   menempatkan   penegak   hukum   sebagai   corong   undang­
undang   dengan   kaca   mata   kudanya,   atau   bahkan   ada   yang   menyimpulkan

positivism  hanya   bertumpu   pada   ruang   hampa   kedap   suara   yang   berwujud
rumusan atau kata­kata dalam undang­undang.
Secara   sederhana  positivism  menganut   dua   prinsip   dasar,   yakni,
Pertama, hanya undang­undang yang disebut hukum, di luar undang­undang
tidak   ada   hukum.  Kedua,  negara   atau   otoritas   yang   berdaulat   merupakan
satu­satunya   sumber   hukum.   Implikasi   dari   dua   prinsip   ini   adalah   bahwa
setiap   undang­undang   yang   telah   ditetapkan   oleh   otoritas   yang   sah   harus
dianggap hukum yang harus dipatuhi, apapun isi dari hukum tersebut.
Dalam konteks  positivism, adanya identifikasi hukum yang aplikasinya
diterapkan   sesuai   aspek   legalitas   memiliki   kelebihan   yaitu   akan   menjamin
bahwa   setiap   individu   dapat   mengetahui   dengan   pasti   apa   saja   perbuatan
yang   boleh   dilakukan   dan   apa   saja   perbuatan   yang   tidak   boleh   dilakukan.
Bahkan negara pun kemudian dapat  bertindak dengan tegas sesuai dengan
apa yang telah ditetapkan dan diputuskan. 
Namun   disamping   kebaikan­kebaikan   yang   ada,   sudah   barang   tentu
terdapat   beberapa   kelemahan   yakni   tentang   ajaran­ajarannya   yang   kurang
sesuai dan bertentangan dengan berbagai pihak terutama masyarakat. Apabila
dilihat   secara   mendasar,   maka   kelemahan   yang   sangat   pokok   dalam   Aliran
Positivism  adalah   justru   dengan   adanya   identifikasi   Hukum   dan   Undang­
undang   tersebut.   Karena   jika   dilihat   dengan   nyata,   bahwa   betapapun
buruknya   peraturan   dan   ketentuan   yang   ada,   asalkan   peraturan   dan
ketentuan   tersebut   telah   menjadi   Undang­undang   yang   harus   diterapkan
dalam   masyarakat   maka   seketika   juga   hakim   akan   menjadi   terikat   pada
Undang­undang   yang   telah   ditetapkan   tersebut.   Padahal   peraturan
perundang­undangan juga memiliki kelemahan atau kekurangan, seperti yang
dikemukakan oleh Bagir Manan bahwa:16
1. Peraturan   perundang­undangan   tidak   fleksibel.   Tidak   mudah
menyesuaikannya dengan masyarakat. Pembentukan peraturan perundang­
undangan   membutuhkan   waktu   dan   tatacara   tertentu   sementara

16 Manan Bagir, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2004

mesyarakat berubah terus bahkan mungkin sangat cepat. Akibatnya terjadi
jurang pemisah antara peraturan perundang­undangan dengan masyarakat.
2. Peraturan   perundang­undangan   tidak   pernah   lengkap   untuk   memenuhi
semua  peristiwa  hukum  atau  tuntutan hukum  dan  ini menimbulkan apa
yang lazim disebut kekosongan hukum.
Meskipun hal tersebut tidak identik dengan positivism sebagai penyebab
kegagalan   hukum,   khususnya   kegagalan   dalam   penegakan   hukum.   Tapi
secara kompleks pemikiran positivism ditempatkan sebagai faktor menjauhnya
rasa   keadilan   dari   masyarakat   serta   kegagalan   hukum   dalam   memainkan
peranan   yang   sejati   pada   pembangunan   hukum   di   Indonesia.   Oleh   karena
adanya beberapa kelemahan ini, maka mau tidak mau harus mengakomodir
keberadaan hukum tidak tertulis. Menurut Bagir Manan, hukum tak tertulis
ini mempunyai peranan sebagai berikut:17
a. Merupakan instrumen yang melengkapi dan mengisi berbagai kekosongan
b.

hukum dari suatu peraturan perundang­undangan. 
Merupakan   instrumen   yang   memberikan   dinamika   atas   peraturan

c.

perundang­undangan. 
Merupakan instrumen relaksasi atau koreksi atas peraturan perundang­
undangan   agar   lebih   sesuai   dengan   tuntutan   perkembangan,   rasa
keadilan dan kebenaran yang hidup dalam masyarakat.
Selain itu political will dalam proses pra­legal harus dapat menempatkan

atau   setidaknya   memberikan   ruang   pada   aspek   sosial   ditengah­tengah
kakunya peraturan legal. Teori Hukum tidak bisa dilepaskan dari lingkungan
zamannya,   sekalipun   ia   berkeinginan   untuk   mengatakan   suatu   pikiran
universal.   Dengan   demikian   kita   baiknya   bersikap   untuk   selalu   tidak
melepaskan teori­teori tersebut dari konteks waktu pemunculannya. Hukum
diharapkan   menjadi   suatu   bentuk   kontrol   masyarakat,   meskipun   dalam
bentuk   yang   sederhana   namun   harus   dapat   membuktikan   bahwa   hukum
mampu   mempertahankan   kelangsungan   hidup   bermasyarakat   dan   mampu
menjadi penyeimbang antara kehendak individu, masyarakat dan penguasa.
17 Bagir Manan, “Peranan Hukum Administrasi Negara dalam Pembentukan Peraturan 
Perundang­undangan”. Makalah pada Penataran Nasional Hukum Administrasi Negara. 
Fakultas Hukum Universitas Hasanudin, 1985, Ujung Pandang.  

B. PANDANGAN HUKUM POSITIF TERHADAP PERATURAN PERUNDANG­
UNDANGAN DI INDONESIA
Ranah pembentukan hukum serta tata negara di Indonesia juga masih
kental   dengan   aroma  Positivism,   dalam   hal   ini   teori   hukum   murni   masih
tercermin   menjadi   pakem   dalam   sistem   secara   yuridis   dan   ketatanegaraan.
Diantaranya   dalam   tata   urutan   peraturan   perundang­undangan   yang
dipengaruhi   oleh  Stufenbau   theory  dari   Kelsen.   Teori   Hans   kelsen   yang
mendapat banyak perhatian adalah hirarki norma hukum dan rantai validitas
yang membentuk piramida hukum. Artinya Peraturan hukum keseluruhannya
diturunkan dari norma dasar yang semakin ke bawah semakin beragam dan
menyebar.   Norma   dasar   teratas   bersifat   abstrak   dan   semakin   ke   bawah
semakin   konkret.   Dalam   proses   itu,   apa   yang   semula   berupa   sesuatu   yang
“seharusnya”, berubah menjadi sesuatu yang “dapat” dilakukan.
Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid
Hans Kelsen, yaitu Hans Naviasky. Menurut Naviasky, norma tertinggi yang
oleh   Kelsen   disebut   sebagai   norma   dasar   (basicnorm)   dalam   suatu   negara
“sebaiknya”   tidak   disebut   sebagai  staats   grundnorm  melainkan  Staats
fundamentalnorm,   atau   norma   fundamental   negara.18  Grundnorm  pada
dasarnya   tidak   berubah­ubah   dan   tidak   dilegalisasi,   sedangkan   norma
tertinggi dapat berubah dan dapat dilegalisasi. Teori Naviasky disebut dengan
theorie   von   stufenufbau   der   rechtsordnung.   Susunan   norma   menurut   teori
tersebut adalah19:
18 Asshiddiqie, Jimly, dan Ali Safaat, M, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, hlm. 170, 
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006)
19 Ibid., hlm.170.

1. Norma fundamental negara (Staats fundamentalnorm);
2. Aturan dasar negara (staats grundgesetz);
3. Undang­undang formal (formell gesetz); dan
4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome 
satzung). 
Dalam   penyataan   Naviasky   muncul   kebimbangan­kebimbangan   bagi
penganut  positivism,   apakah  Staats   fundamentalnorm    adalah   norma   yang
dianggap mutlak menggantikan  grundnorm  atau hanya “sebaiknya” dianggap
demikian.   Kata   “sebaiknya”   masih   memunculkan   perdebatan   dalam
memaknainya, karena apapun itu secara prinsip dua istilah tersebut memiliki
perbedaan syarat validitasnya.
Posisi hukum dari suatu Staats fundamentalnorm adalah sebagai syarat
bagi   berlakunya   suatu   konstitusi.   Begitu   pula  grundnorm  yang   terbentuk
terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara. Perbedaan yang mendasar dari
keduanya   adalah  Staats   fundamentalnorm  dapat   berubah­ubah   dan
validitasnya dapat dilegalisasikan, sedangkan  grundnorm  memiliki sifat yang
tetap dan dipostulasikan valid tanpa legalisasi.
Perdebatan tersebut merambah pada cara pandang hukum di Indonesia
memposisikan   Pancasila   yang   dianggap   sebagian   orang   adalah   sebagai
grundnorm  dan   sebagian   lagi   menolak   hal   itu   dan   cukup   menempatkan
Pancasila sesuai teori Naviasky yang menyatakan “sebaiknya” disebut sebagai
staats fundamentalnorm. Memang masih debatable apakah Pancasila berada di
luar   piramida   hukum   secara   abstrak   sebagai   norma   dasar   atau   Pancasila
berada   di   pucuk   teratas   piramida   hukum   yang   secara   empiris   terlegalisasi
disebut sebagai norma fundamental negara.
Berdasarkan   teori   Hans   Naviasky,   A.   Hamid   S.   Attamimi
membandingkannya  dengan teori  Kelsen  dan menerapkannya  pada   struktur
tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hirarki tata hukum
Indonesia   dengan   menggunakan   teori   Naviasky.   Berdasarkan   teori   tersebut,
struktur tata hukum Indonesia adalah20:
1. Staats fundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
20 Ibid., hlm. 171.

2. Staats   grundgesetz:   Batang   Tubuh   UUD   1945,   Tap   MPR,   dan   Konvensi
Ketatanegaraan.
3. Formell gesetz: Undang­Undang.
4. Verordnung   en   Autonome   Satzung:   Secara   hirarkis   mulai   dari   Peraturan
Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.
Namun secara legalitas dalam Undang­Undang Nomor 12 Tahun 2011
Tentang   Pembentukan   Peraturan   Perundang­undangan   menunjukkan
struktur hirarki tata hukum Indonesia sebagai berikut :
1. UUD 1945 (Staats fundamentalnorm).
2. Tap MPR (Staats grundgesetz).
3. Undang­Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang­Undang (Formell
gesetz).
4. Peraturan Pemerintah (Verordnung en Autonome Satzung).
5. Peraturan Presiden (Verordnung en Autonome Satzung).
6. Peraturan Daerah (Verordnung en Autonome Satzung).
Hans   Kelsen   membahas   validitas   norma­norma   hukum   dengan
menggambarkannya   sebagai   suatu   rantai   validitas   yang   berujung   pada
konstitusi negara. Validitas konstitusi pertama adalah presuposisi terakhir, di
mana validitas semua norma dalam tata aturan hukum bergantung. Dokumen
yang merupakan wujud konstitusi pertama adalah konstitusi sesungguhnya,
suatu norma mengikat, hanya dalam kondisi dipresuposisikan sebagai valid.
Presuposisi   inilah   yang   disebut   dengan   istilah  trancendental­logical
pressuposition.21
Logika   Kelsen   tersebut   sering   dipahami   secara   salah   dengan
mencampuradukkan   antara   presuposisi   validitas   dan   konstitusi,   manakah
yang   merupakan   norma   dasar   (grundnorm)?   Hal   inilah   yang   selanjutnya
diselesaikan   oleh   Naviasky   dengan   membedakan   antara

 staats

fundamentalnorm  dengan  grundnorm,     dimanan  grundnorm  pada   dasarnya
tidak   berubah   sedangkan  staats   fundamentalnorm  dapat   berubah   seperti
melalui kudeta atau revolusi.
Jika   Pancasila   bukan   merupakan  grundnorm  lalu   apa   yang
mempresuposisikan   validitas   UUD   1945?   “Mungkin”   Proklamasi   17   Agustus
1945   yang   saat   itu   terjadi   dan   konon   bukan   merupakan   tindakan   hukum
21 Ibid., hlm. 172.

karena dilakukan bukan oleh organ hukum dan tidak sesuai dengan prosedur
hukum,   dapat   (memenuhi   syarat)   menjadi     presuposisi   validitas   terakhir.
Proklamasi   bisa   dianggap   sebagai   tonggak   terbentuknya   suatu   tata   hukum
baru   yang   dapat   mempresuposisikan   validitas   tata   hukum   Indonesia
berdasarkan UUD 1945.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1.

Peranan   hukum   positif   dalam   penerapan   hukum   di   Indonesia   sangat
berkaitan   dengan   pandangan   aliran   hukum   positivisme   yang
mengedepankan pada prinsip hukum itu ada apabila di wujudkan dalam
undang­undang, hukum itu di buat oleh penguasa, dan selain itu hukum
bersifat   memaksa.   Dalam   aliran   hukum   positivisme   juga   terdapat
pemisahan   antara   hukum   dengan   moral.   Hal   ini   sangat   terasa
pengaruhnya   dalam   penerapan   hukum   di   Indonesia   dimana  Positivism

yang memandang hukum dari teropong legal atau perundang­undangan
dianggap hanya menempatkan penegak hukum sebagai corong undang­
undang   dengan   kaca   mata   kudanya,   atau   bahkan   ada   yang
menyimpulkan  positivism  hanya   bertumpu   pada   ruang   hampa   kedap
2.

suara yang berwujud rumusan atau kata­kata dalam undang­undang.
Pandangan   hukum   positif   terhadap   peraturan   perundang­undangan   di
Indonesia   diwujudkan   dalam   peraturan   hukum   yang   keseluruhannya
diturunkan   dari   norma   dasar   yang   berada   di   puncak   priamida,   dan
semakin ke bawah semakin beragam dalam artian hukum itu berjenjang.
Berkaitan   dengan   ini   dalam   pembentukan   peraturan   perundang­
undangan   di   Indonesia   jelaslah   dapat   kita   lihat   pada   Undang­Undang
Nomor   12   Tahun   2011   tentang   Pembentukan   Peraturan   Perundang­
undangan. Hal ini dibuktikan dengan adanya sistem struktur tata hukum
Indonesia   yang   divalidasikan   sesuai   dengan   tata   urutan   norma
sebagaimana dijelaskan oleh teori stufenbau Hans Kelsen.

DAFTAR PUSTAKA
Agus   Brotosusilo,  Materi   Kuliah   Filsafat   Hukum,  Bentham,  Austin  and
Classical   English   Positivism,  Program   Studi   Magister   Ilmu   Hukum   UPN
“Veteran” Jakarta, Jakarta, 2014
Agus Brotosusilo,  Materi Kuliah Filsafat Hukum,  Pure Theory of Law  Program
Studi Magister Ilmu Hukum UPN “Veteran” Jakarta, Jakarta, 2014

Asshiddiqie, Jimly, dan Ali Safaat, M, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, hlm.
7,  Sekretariat   Jenderal   dan   Kepaniteraan   Mahkamah   Konstitusi   RI,
Jakarta, 2006
Bagir   Manan.   1985.   “Peranan   Hukum   Administrasi   Negara   dalam
Pembentukan   Peraturan   Perundang­undangan.”.   Makalah   pada
Penataran   Nasional   Hukum   Administrasi   Negara.   Fakultas   Hukum
Universitas Hasanudin. Ujung Pandang. 
Manan Bagir, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2004
Johni   Najwan,   Jurnal   Implikasi   Aliran   Positivisme   Terhadap   Pemikiran
Hukum,  Magister Ilmu Hukum UNJA, Jambi, 2010
Laili Mahariani, Tesis Tinjauan Yuridis Transparansi Informasi Produk Bank,
FH UI, Jakarta, 2010
Muhammad   Muhdar,   Bahan   Kuliah   Metode   Penelitian   Hukum   :   Sub   Pokok
Bahasan Penulisan Hukum, Balikpapan, Universitas Balikpapan, 2010.