ASAS ASAS BIMBINGAN DAN KONSELING

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari pendidikan yang
bertujuan untuk membantu seseorang menjadi manusia yang dewasa dan mandiri,
yang memahami dirinya sendiri secara utuh dengan kelebihan dan kekurangannya
(Walgito, 2010: 9). Layanan bimbingan dan konseling diberikan oleh konselor/
guru pembimbing. Guru pembimbing/ konselor memiliki tugas, tanggung jawab,
dan wewenang dalam pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling terhadap
siswa di sekolah. Tugas guru pembimbing/konselor terkait dengan pengembangan
diri siswa yang sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, minat, dan kepribadian
yang dimiliki siswa. Dengan pemberian layanan bimbingan yang tepat dan
kontinyu diharapkan siswa mampu memahami kelebihan dan kekurangannya,
mandiri dan mampu mengoptimalkan potensi, bakat, dan minat yang dimiliki.
Guru pembimbing/ konselor memiliki tugas, tanggung jawab, dan
wewenang dalam pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling terhadap siswa di
sekolah, dalam hal ini berarti bimbingan dan konseling merupakan pekerjaan
pelayanan yang profesional, yang menguraikan pemahaman, penanganan dan
penyikapan tentang keadaan seseorang yang meliputi unsur kognisi, afeksi, dan
psikomotorik. Pekerjaan ini sangat penting sekali dalam dunia pendidikan, agar
tercipta keserasian atau keharmonisan antara guru dengan siswa.

Sesuai dengan makna uraian tentang pemahaman, penanganan dan
penyikapan (yang meliputi unsur-unsur kognisi, afeksi dan psikomotorik)
konselor terhadap kasus, pekerjaan profesional itu harus dilaksanakan dengan
mengikuti kaidah-kaidah yang menjamin efisien dan efektivitas proses dan lainlainnya. Kaidah-kaidah tersebut didasarkan atas tuntutan keilmuan layanan di satu
segi (antara lain bahwa layanan harus didasarkan atas data dan tingkat
perkembangan konseli), dan tuntutan optimalisasi proses penyelanggaraan
layanan di segi lain, yaitu antara lain suasana konseling ditandai oleh adanya
kehangatan, pemahaman, penerimaan, kebebasan dan keterbukaan, serta berbagai
sumber daya yang perlu diaktifkan (Prayitno dan Amti, 2013: 115).

1

Keberhasilan pelaksanaan bimbingan dan konseling itu sendiri sangat
ditentukan oleh kaidah-kaidah yang berlaku atau dalam kata lain disebut “asas”.
Asas-asas bimbingan dan konseling adalah merupakan rukun yang harus dipegang
teguh dan dikuasai oleh seorang guru pembimbing/ konselor dalam menjalankan
pelayanan atau menurut Prayitno dan Amti (2013: 115) asas-asas bimbingan dan
konseling merupakan ketentuan-ketentuan yang harus ditetapkan dalam
penyelenggaraan pelayanan itu. Asas-asas tersebut adalah sebagai jiwa dan nafas
dari seluruh kehidupan layanan bimbingan dan konseling. Apabila asas-asas itu

tidak dijalankan dengan baik, maka penyelenggaraan bimbingan dan konseling
akan berlawanan dengan tujuan bimbingan dan konseling, bahkan akan merugikan
orang-orang yang terlibat di dalam pelayanan, serta profesi bimbingan dan
konseling itu sendiri.
Berdasarkan penjelasan di atas, kami sebagai calon guru pembimbing/
konselor merasa perlu memahami asas-asas bimbingan dan konseling untuk
kemudian dapat diaplikasikan di lapangan agar aktivitas dalam layanan bimbingan
dan konseling yang nantinya akan kami tempuh tidak terjebak dalam berbagai
bentuk penyimpangan yang dapat merugikan semua pihak, khususnya pihak para
penerima jasa layanan (konseli), maka pemahaman dan penguasaan tentang asasasas bimbingan dan konseling oleh para konselor tidak bisa ditawar-tawar lagi dan
menjadi mutlak adanya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan asas bimbingan dan konseling?
2. Apa saja asas-asas bimbingan dan konseling?
C. Tujuan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka makalah ini bertujuan:
1. Untuk mengetahui definisi dari asas bimbingan dan konseling.
2. Untuk memahami asas-asas bimbingan dan konseling.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Asas Bimbingan dan Konseling
2

Kamus besar bahasa Indonesia mengartikan asas sebagai “dasar”. Tetapi
asas dalam pengertian disini adalah bukan dasar tetapi “rukun”. Jadi, asas
bimbingan dan konseling berarti “rukun yang harus dipegang teguh dan dikuasai
oleh seorang guru pembimbing atau konselor dalam menjalankan pelayanan atau
kegiatan bimbingan dan konseling (Nasari, 2015)”. Setiap kegiatan selalu ada asas
yang dijadikan pegangan dalam melaksanakan kegiatan tersebut. Demikian pula
dalam layanan/ kegiatan bimbingan dan konseling, ada asas yang dijadikan
pegangan dalam menjalankan kegiatan itu.
B. Asas-Asas Bimbingan dan Konseling
1. Asas Kerahasiaan
Asas yang menuntut dirahasiakannya segenap data dan keterangan
peserta didik (konseli) yang menjadi sasaran layanan, yaitu data atau
keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui orang lain. Dalam
hal ini, guru pembimbing/ konselor berkewajiban penuh memelihara dan
menjaga semua data dan keterangan itu sehingga kerahasiaan benar-benar

terjamin (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 22). Asas kerahasiaan ini
merupakan asas kunci dalam usaha bimbingan dan konseling. Jika asas
ini benar-benar dilaksanakan, maka penyelenggara atau pemberi
bimbingan akan mendapat kepercayaan dari semua pihak, terutama
penerima bimbingan yaitu konseli, sehingga mereka mau memanfaatkan
jasa bimbingan dan konseling dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya, jika
konselor tidak dapat memegang asas kerahasiaan dengan baik, maka
hilanglah kepercayaan konseli, akibatnya pelayanan bimbingan tidak
mendapat tempat di hati konseli dan para calon konseli. Mereka takut
meminta bantuan sebab khawatir masalah mereka akan menjadi bahan
gunjingan. Apabila hal terakhir itu terjadi, maka tamatlah pelayanan
bimbingan dan konseling ditangan konselor yang tidak dapat dipercaya
oleh konseli itu (Prayitno dan Amti, 2013: 115).
Seorang konselor berkewajiban untuk menjaga rahasia data
tersebut, baik data yang diperoleh dari hasil wawancara atau konseling,
karena hubungan menolong dalam bimbingan dan konseling hanya dapat

3

berlangsung dengan baik jika data informasi yang dipercayakan kepada

konselor/ guru pembimbing dapat dijamin kerahasiaannya. Dengan
adanya asas kerahasiaan ini dapat menimbulkan rasa aman dalam diri
konseli (Nasari, 2015).
Berdasarkan apa yang dikemukakan di atas, maka yang terjadi saat
pelayanan bimbingan dan konseling yang dilakukan oleh konselor dan
konseli baik itu isi pembicaraan atau pun sikap konseli, kerahasiaanya
perlu dihargai dan dijaga dengan baik. Demikian pula catatan-catatan
yang dibuat sewaktu atau pun sesudah wawancara atau konseling perlu
disimpan dengan baik dan kerahasiaanya dijaga dengan cermat oleh
konselor. Sebagaimana telah diketahui bahwa dalam kegiatan bimbingan
dan koseling, kadang-kadang konseli harus menyampaikan hal-hal yang
sangat pribadi/ rahasia kepada konselor. Oleh karena itu konselor harus
menjaga kerahasiaan data yang diperoleh dari konselinya. Contoh: ada
seorang konseli yang menceritakan kepada konselor bahwa konseli itu
memiliki penyakit HIV yang didapatnya sejak lama, maka seorang
konselor harus bisa menjaga kerahasian tersebut agar penyakit konseli itu
tidak di ketahui oleh orang banyak.
2. Asas Kesukarelaan
Asas yang menghendaki adanya kesukaan dan kerelaan peserta
didik (konseli) menjalani layanan/ kegiatan yang diperlukan baginya.

Dalam hal ini guru pembimbing (konselor) berkewajiban membina dan
mengembangkan kesukarelaan tersebut (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 22).
Proses bimbingan dan konseling harus berlangsung atas dasar
kesukarelaan, baik dari pihak konseli maupun dari pihak konselor.
Konseli diharapkan secara sukarela dan rela tanpa ragu-ragu ataupun
merasa terpaksa menyampaikan masalah yang dihadapinya serta
mengungkapkan segenap fakta, data, dan seluk-beluk berkenaan dengan
masalahnya itu kepada konselor. Konselor hendaknya dapat memberikan
bantuan dengan tidak terpaksa, atau dengan kata lain konselor
memberikan bantuan dengan ikhlas (Prayitno dan Amti, 2013: 116).

4

Telah

dikemukakan

bahwa

bimbingan


merupakan

proses

membantu individu. Membantu disini mengandung arti bahwa bimbingan
bukan merupakan suatu paksaan, akan tetapi merupakan suatu binaan.
Oleh karena itu, dalam kegiatan bimbingan dan konseling diperlukan
adanya kerjasama yang demokratis antara konselor/ guru pembimbing
dengan konselinya. Kerjasama akan terjalin bilamana konseli dapat
dengan suka rela menceritakan serta menjelaskan masalah yang
dialaminya kepada konselor (Nasari, 2015). Contoh: konseli sakit hati
karena dikirim oleh wakasek kesiswaan ke ruang BK, dalam hal ini
konseli masih dalam keadaan terpaksa, dan sebisa mungkin sebelum
proses konseling konseli ini harus sukarela dulu mau di konseling, tidak
boleh terpaksa.
3. Asas Keterbukaan
Asas yang menghendaki agar peserta didik (konseli) yang menjadi
sasaran layanan/kegiatan bersifat terbuka dan tidak berpura-pura, baik
dalam memberikan keterangan tentang dirinya sendiri maupun dalam

menerima berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna bagi
pengembangan dirinya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban
mengembangkan keterbukaan peserta didik (konseli). Keterbukaan ini
berkaitan dengan terselenggaranya asas kerahasiaan dan adanya
kesukarelaan pada diri peserta didik yang menjadi sasaran layanan/
kegiatan. Agar peserta didik dapat terbuka, guru pembimbing/ konselor
terlebih dahulu harus bersikap terbuka dan tidak berpura-pura (Yusuf dan
Nurihsan, 2014: 22).
Asas keterbukaan merupakan asas yang penting bagi konselor/ guru
pembimbing, karena hubungan tatap muka antara konselor dan konseli
merupakan pertemuan batin. Adanya keterbukaan ini dapat ditumbuhkan
kecenderungan pada konseli untuk membuka dirinya, untuk membuka
kedok hidupnya yang menjadi penghalang bagi perkembangan psikisnya.
Konselor yang sukses adalah konselor yang bisa memudahkan konseli
untuk membuka dirinya dan berusaha memahami lebih jauh tentang

5

dirinya sendiri. Truax dan Carkhuff (dalam Nasari, 2015) menyimpulkan
bahwa ada hubungan yang erat antara keterbukaan konselor dan

kemampuan konseli membuka diri (self exploration). Keterbukaan ini
bukan hanya sekadar bersedia menerima saran-saran dari luar, lebih dari
itu diharapkan masing-masing pihak yang bersangkutan bersedia
membuka diri untuk kepentingan pemecahan masalah. Individu yang
membutuhkan bimbingan diharapkan dapat berbicara sejujur mungkin
dan berterus terang tentang dirinya sendiri sehingga dengan keterbukaan
ini penelaahan serta pengkajian berbagai kekuatan dan kelemahan
konseli dapat dilaksanakan (Prayitno dan Amti, 2013: 116).
Keterusterangan dan kejujuran konseli akan terjadi jika konseli
tidak

lagi

mempersoalkan

asas

kerahasiaan

dan


kesukarelaan;

maksudnya, konseli betul-betul telah mempercayai konselornya lebih
jauh, keterbukaan akan semakin berkembang apabila konseli tahu bahwa
konselornya terbuka. Keterbukaan di sini di tinjau dari dua arah. Dari
pihak konseli diharapkan mau membuka diri sehingga apa yang ada pada
dirinya dapat di ketahui oleh orang lain, dan keduanya mau membuka
diri dalam arti mau menerima saran-saran dan masukan lainya dari pihak
luar. Dari pihak konselor, keterbukaan terwujud dengan kesediaan
konselor menjawab pertanyaan-pertanyaan konseli dan mengungkapkan
diri konselor sendiri jika hal itu memang dikehendaki oleh konseli
(Prayitno dan Amti, 2013: 116). Contoh : ada konseli yang memiliki sifat
tertutup, sebagai konselor kita harus dapat mengubah konseli untuk
berbicara secara terbuka dan tidak berpura-pura dalam menceritakan
masalah pribadinya sendiri, sehingga konseli dapat berbicara jujur dan
merasa nyaman dalam menyampaikan masalahnya.
4. Asas Kegiatan
Asas yang menghendaki agar peserta didik (konseli) yang menjadi
sasaran layanan dapat berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan

layanan/ kegiatan bimbingan. Dalam hal ini guru pembimbing/ konselor
perlu mendorong dan memotivasi peserta didik untuk aktif dalam setiap

6

layanan/ kegiatan bimbingan dan konseling yang diberikan kepadanya
(Yusuf dan Nurihsan, 2014: 22).
Menurut Prayitno dan Amti (2013: 117) usaha bimbingan dan
konseling tidak akan memberikan buah yang berarti bila konseli tidak
melakukan sendiri kegiatan dalam mencapai tujuan bimbingan dan
konseling, karena dalam proses pelayanan bimbingan dan konseling
terkadang konselor memberikan beberapa tugas dan kegiatan pada
konselinya. Hasil usaha bimbingan dan konseling tidak akan tercapai
dengan sendirinya, melainkan harus dengan kerja keras dari konseli
sendiri. Konselor hendaklah membangkitkan semangat konseli sehingga
ia mampu dan mau melaksanakan kegiatan yang diperlukan dalam
penyelesaian masalah yang menjadi pokok pembicaraan dalam
konseling.
Asas ini merujuk pada pola konseling “multidimensional” yang
tidak hanya mengandalkan transaksi verbal antara konseli dan konselor.
Dalam penyelenggaraannya, yaitu konseli aktif menjalani proses
konseling dan aktif pula melaksanakan/ menerapkan hasil-hasil konseling
(Prayitno dan Amti 2013: 117). Contoh: seorang konselor harus bisa
membuat suatu program kegiatan seperti ospek maupun MOS (siswa
baru) agar konseli/ peserta didik dapat mengenali lingkungan yang baru
serta mampu untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan yang baru.
5. Asas Kemandirian
Asas yang menunjukkan pada tujuan umum bimbingan dan
konseling yaitu peserta didik (konseli) sebagai sasaran layanan/kegiatan
bimbingan dan konseling diharapkan menjadi individu-individu yang
mandiri, dengan ciri-ciri mengenal dan menerima diri sendiri dan
lingkungannya, mampu mengambil keputusan, mengarahkan, serta
mewujudkan diri sendiri. Guru pembimbing (konselor) hendaknya
mampu mengarahkan segenap layanan bimbingan dan konseling yang
diselenggarakannya bagi berkembangnya kemandirian peserta didik
(Yusuf dan Nurihsan, 2014: 22).

7

Salah satu tujuan pemberian layanan bimbingan dan konseling
adalah agar konselor berusaha menghidupkan kemandirian di dalam diri
konseli. Agar dapat tumbuh sikap kemandirian tersebut, maka konselor
harus memberikan respon yang cermat terhadap konseli atas keluhankeluhan yang diungkapkan. Individu yang dibimbing setelah dibantu
diharapkan dapat mandiri dengan ciri-ciri pokok mampu (Prayitno dan
Amti, 2013: 117):
a. mengenal diri sendiri dan lingkungan sebagaimana mestinya;
b. menerima diri sendiri dan lingkungan secara positif dan dinamis;
c. mengambil keputusan untuk dan oleh diri sendiri;
d. mengarahkan diri sesui dengan keputusan itu;
e. mewujudkan diri secara optimal sesuai dengan potensi, minat dan
kemampuan - kemampuan yang dimiliki.
Kemandirian dengan ciri-ciri umum di atas haruslah disesuikan
dengan tingkat perkembangan dan peranan konseli dalam kehidupan
sehari-hari. Kemandiran sebagai hasil konseling menjadi arah dari
keseluruhan proses konseling, dan hal itu didasari baik oleh konselor
maupun konseli (Prayitno dan Amti, 2013: 117). Contoh: ada seorang
konseli yang cacat fisik datang pada konselor dan menceritakan bahwa
dia tidak memiliki semangat untuk meneruskan hidupnya, sebagai
konselor yang profesional harus bisa menumbuhkan rasa semangat hidup
dengan cara memberikan pemahaman agar konseli tersebut mengenal dan
menerima dirinya dan lingkungannya, serta mampu mengambil sebuah
keputusan agar konseli tersebut menjadi diri yang mandiri .
6. Asas Kekinian
Asas yang menghendaki agar objek sasaran layanan bimbingan dan
konseling, yakni permasalahan yang dihadapi peserta didik/ konseli
dalam kondisi sekarang. Layanan yang berkenaan dengan “masa depan
atau kondisi masa lampau pun” dilihat dampak dan memiliki keterkaitan
dengan apa yang ada dan diperbuat peserta didik (konseli) pada saat
sekarang (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 23).
Asas kekinian juga mengandung pengertian bahwa konselor tidak
boleh menunda-nunda pemberian bantuan. Jika di minta bantuan oleh

8

konseli atau jelas terlihat misalnya ada siswa yang mengalami masalah,
maka konselor hendaklah segera memberikan bantuan. Konselor tidak
selayaknya menunda-nunda pemberian bantuan dengan berbagai alasan.
Konselor harus mendahulukan kepentingan konseli daripada yang lain.
Jika konselor benar-benar memiliki alasan yang kuat untuk tidak
memberikan bantuannya saat iu juga, maka dia harus dapat
mempertanggungjawabkan bahwa penundaan yang dilakukan itu justru
untuk kepentingan konseli (Prayitno dan Amti, 2013: 117). Contoh: misal
konseli saat ini mengalami masalah kesulitan belajar, ya masalah konseli
sekaranglah yang dibahas (kesulitan belajar) bukan menyelesaikan
masalah konseli yang telah lampau.
7. Asas Kedinamisan
Asas yang menghendaki agar isi layanan terhadap sasaran layanan
(peserta didik/ konseli) yang sama hendaknya selalu bergerak maju, tidak
monoton dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai dengan
kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu ke waktu (Yusuf dan
Nurihsan, 2014: 23). Usaha bimbingan dan konseling yang menghendaki
terjadinya perubahan pada konselinya yang dibimbing. Contoh:
konseli yang mengalami masalah sering tidur saat pelajaran, setelah
proses konseling, konseli dapat berubah ke arah yang lebih baik (tidak
lagi tidur di kelas).
Keberhasilan usaha pelayanan BK ditandai dengan terjadinya
perubahan sikap dan tingkah laku konseli ke arah yang lebih baik. Demi
mewujudkan terjadinya perubahan sikap dan tingkah laku itu
membutuhkan proses dan waktu tertentu sesuai dengan kedalaman dan
kerumitan masalah yang dihadapi konseli. Konselor dan konseli serta
pihak-pihak lain diminta untuk memberikan kerjasama sepenuhnya agar
pelayanan BK yang diberikan dapat dengan cepat menimbulkan
perubahan dalam sikap dan tingkah laku konseli. Perubahan itu tidaklah
sekadar mengulang yang lama yang bersifat menoton, melainkan
perubahan yang selalu menuju kesuatu pembaruan, sesuatu yang lebih

9

maju, dinamis sesuai dengan arah perkembangan konseli yang
dikehendaki karena asas kedinamisan mengacu pada hal-hal baru yang
hendaknya terdapat pada dan menjadi ciri-ciri dari proses konseling dan
hasil-hasilnya (Prayitno dan Amti, 2013: 118). Oleh karena itu, seorang
konselor harus mampu mengikuti perkembangan zaman, agar konselor
dapat menyelesaikan permasalahan konseli yang semakin hari semakin
kompleks, misalnya masalah keluarga broken dan pergaulan bebas
dikalangan pemuda.
8. Asas Keterpaduan
Asas yang menghendaki agar berbagai layanan dan kegiatan
bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing
maupun pihak lain, saling menunjang, harmonis dan terpadu. Untuk itu
kerja sama antara guru pembimbing/ konselor dan pihak-pihak yang
berperan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling
perlu terus dikembangkan. Koordinasi dengan berbagai pihak yang
terkait dengan bimbingan dan konseling menjadi amat penting dan harus
dilaksanakan sebaik-baiknya (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 23). Contoh:
seorang konselor melakuakan kerjasama dengan seorang psikologi seks
maupun dokter kandungan, dan mengundang ke sekolah untuk
memberikan pemahaman kepada peserta didik di sekolah agar
konseli/peserta didik memiliki pengetahuan dan pemahaman yang lebih
jelas tentang seks, supaya mereka tidak terjerat dalam pergaulan bebas.
Individu memiliki berbagai aspek kepribadian yang apabila
keadaannya tidak seimbang, tidak serasi, dan tidak terpadu justru akan
menimbulkan masalah. Oleh sebab itu, usaha bimbingan dan konseling
hendaknya memadukan berbagai aspek kepribadian konseli. Selain
keterpaduan pada diri konseli, juga harus terpadu dalam isi dan proses
layanan yang diberikan. Tidak boleh aspek layanan yang satu tidak serasi
apalagi bertentangan dengan aspek layanan yang lainnnya (Prayitno dan
Amti, 2013: 118). Konselor harus mampu memadukan lingkungan,
keluarga, pergaulan konseli dengan masalah yang konseli hadapi. Aspek

10

keterpaduan juga menuntut konselor memiliki wawasan yang luas
tentang perkembangan konseli dan aspek-aspek lingkungan konseli, serta
berbagai sumber yang dapat diaktifkan untuk menangani masalah konseli
(Tohirin, 2009: 92).
9. Asas Kenormatifan
Asas yang menghendaki agar segenap layanan dan kegiatan
bimbingan dan konseling didasarkan pada nilai dan norma yang ada,
tidak boleh bertentangan dengan nilai dan norma yang ada, yaitu nilai
dan norma agama, hukum, peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan
kebiasaan-kebiasaan yang berlaku. Bukanlah layanan atau kegiatan
bimbingan dan konseling yang dapat dipertanggungjawabkan apabila isi
dan

pelaksanaannya

tidak

berdasarkan

nilai

dan

norma

yang

dimaksudkan itu. Bahkan lebih jauh lagi, layanan/ kegiatan bimbingan
dan konseling ini harus dapat meningkatkan kemampuan peserta didik
(konseli) dalam memahami, menghayati dan mengamalkan nilai dan
norma tersebut (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 23).
Seluruh isi dan proses konseling harus sesuai dengan norma-norma
yang berlaku. Demikian pula prosedur, teknik dan peralatan (instrumen)
yang dipakai tidak menyimpang dari norma-norma yang berlaku
(Tohirin, 2009: 93). Ditilik dari permasalahan konseli, barangkali pada
awalnya ada materi bimbingan dan konseling yang tidak bersesuaian
dengan norma (misalnya konseli mengalami masalah melanggar normanorma tertentu), namun justru dengan pelayanan bimbingan dan
konseling tingkah yang melanggar norma itu diarahkan kepada yang
lebih bersesuaian dengan norma (Prayitno dan Amti, 2013: 119). Tetapi
harus diingat bahwa konselor tidak boleh memaksakan nilai atau norma
yang dianutnya itu kepada konselinya, konselor dapat membicarakan
secara terbuka dan terus terang segala sesuatu yang menyangkut norma
dan nilai-nilai itu, bagaimana berkembangnnya, bagaimana penerimaan
masyarakat, apa dan bagaimana akibatnya bila norma dan nilai-nilai itu
terus dianut dan lain sebagainya. Contoh: Jika dilingkungan konseli tidak

11

melarang berboncengan dengan lawan jenis, maka pelayanan bimbingan
konseling tidak boleh melarang hal itu.
10. Asas Keahlian
Asas yang menghendaki agar layanan dan kegiatan bimbingan dan
konseling diselenggarakan atas dasar kaidah-kaidah profesional. Dalam
hal ini, para pelaksana bimbingan dan konseling hendaknya merupakan
tenaga yang benar-benar ahli dalam bimbingan dan konseling.
keprofesionalan guru pembimbing/ konselor harus terwujud, baik dalam
penyelenggaraan jenis-jenis layanan dan kegiatan bimbingan dan
konseling maupun dalam penegakan kode etik bimbingan dan konseling
(Yusuf dan Nurihsan, 2014: 23). Contoh: konseling harus ditangani oleh
guru BK/ konselor (lulusan S1, pendidikan profesi konselor, S2, S3
bimbingan

konseling),

atau

jika

tenaga

konselor

tidak

dapat

menyelesaikannya dapat dialihtangankan kepada yang lebih ahli.
Usaha bimbingan dan konseling perlu dilakukan asas keahlian
secara teratur dan sistematik dengan menggunakan prosedur, teknik dan
alat (instrumentasi bimbingan dan konseling) yang memadai. Untuk itu
para konselor perlu mendapat latihan secukupnya, sehingga dengan itu
akan dapat dicapai keberhasilan usaha pemberian layanan. Pelayanan
bimbingan

dan

konseling

adalah

pelayanan

profesional

yang

diselenggarakan oleh tenaga-tenaga ahli khusus dididik untuk pekerjaan
itu. Asas keahlian selain mengacu kepada kualifikasi konselor (misalnya
pendidikan sarjana bimbingan dan konseling), juga kepada pengalaman.
Teori dan praktik bimbingan dan konseling perlu dipadukan. Oleh karena
itu, seorang konselor ahli harus benar-benar menguasai teori dan praktik
konseling secara baik (Prayitno dan Amti, 2013: 119).
11. Asas Alih Tangan Kasus
Asas yang menghendaki agar pihak-pihak yang tidak mampu
menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling secara tepat dan
tuntas

atas

suatu

permasalahan

peserta

didik

(konseli)

dapat

mengalihtangankan permasalahan itu kepada pihak yang lebih ahli. Guru

12

pembimbing/ konselor dapat menerima alih tangan kasus dari orang tua,
guru-guru lain, atau ahli lain. Demikian pula, sebaliknya guru
pembimbing/ konselor, dapat mengalihtangankan kasus kepada pihak
yang lebih kompeten, baik yang berada di dalam lembaga sekolah
maupun di luar sekolah (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 24).

Contoh:

seorang peserta didik/ konseli yang mengalami stres akibat tidak lulus
sekolah datang kepada konselor, dalam konteks ini seorang konselor
tidak dapat bertidak sendiri. Seorang konselor harus melakukan
kerjasama dengna pihak yang lebih kompeten dalam kasus ini seperti
membawa konseli tersebut pada seorang psikiater maupun dokter.
Jika konselor sudah mengerahkan segenap kemampuannya untuk
membantu individu, namun individu yang bersangkutan belum dapat
terbantu sebagaimana yang diharakan, maka konselor dapat mengirim
individu tersebut kepada petugas atau badan yang lebih ahli. Di samping
itu asas ini juga mengisyaratkan bahwa pelayanan bimbingan konseling
hanya menangani masalah-masalah individu sesuai dengan kewenangan
petugas yang bersangkutan, dan setiap masalah ditangani oleh ahli yang
berwenang untuk itu. Bimbingan dan konseling hanya memberikan
kepada individu yang pada dasarnya normal dan bekerja dengan kasuskasus yang terbebas dari masalah-masalah kriminal ataupun perdata
(Prayitno dan Amti, 2013: 120).
12. Asas Tut Wuri Handayani
Asas yang menghendaki agar pelayanan bimbingan dan konseling
secara keseluruhan dapat menciptakan suasana yang mengayomi
(memberikan rasa aman), mengembangkan keteladaan, dan memberikan
rangsangan dan dorongan, serta kesempatan yang seluas-luasnya kepada
peserta didik (konseli) untuk maju. Demikian juga segenap layanan dan
kegiatan bimbingan dan konseling yang diselenggarakan hendaknya
disertai dan sekaligus dapat membangun suasana pengayoman,
keteladanan, dan dorongan seperti itu (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 24).
Contoh:

seorang

konselor

harus

13

menjadi

guru

teladan,

dan

menyenangkan agar peserta didik/ konseli tidak takut menceritakan
masalahnya kepada konselor dan mampu mengayomi paserta didik.
Menurut Prayitno dan Amti (2013, 120) asas ini menunjuk pada
suasana umum yang hendaknya tercipta dalam rangka hubungan
keseluruhan antara konselor dan konseli. Lebih-lebih di lingkungan
sekolah, asas ini makin dirasakan keperluannya dan bahkan perlu
dilengkapi dengan “ing ngarso sung tolodo (di depan memberi contoh
(teladan yang baik)), ing madya mangun karso (di tengah memberi
bimbingan) dan tut wuri handayani (di belakang memberikan dorongan
moral dan semangat)”. Asas ini menuntut agar pelayanan bimbingan dan
konseling tidak hanya dirasakan pada waktu konseli mengalami masalah
dan menghadap kepada konselor saja, namun di luar hubungan proses
bantuan bimbingan dan konseling pun hendaknya dirasakan adanya dan
manfaatnya pelayanan bimbingan dan konseling itu.
Selain asas-asas tersebut terkait satu sama lain, segenap asas itu perlu
diselenggarakan secara terpadu dan tepat waktu, yang satu tidak perlu
didahulukan atau dikemudiankan dari yang lain. Begitu pentingnya asas-asas
tersebut, sehinggga dapat dikatakan bahwa asas-asas itu merupakan jiwa dan nafas
dari seluruh proses kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling. Apabila asasasas itu tidak dijalankan dengan baik penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan
konseling akan tersendat-sendat atau bahkan berhenti sama sekali (Yusuf dan
Nurihsan, 2014: 24).
Kedua belas asas bimbingan dan konseling tersebut pada dasarnya
menegaskan bahwa para konselor merupakan para ahli yang memiliki kemampuan
untuk membimbing konselinya, baik secara ikhlas maupun profesional sehingga
mereka mampu meningkatkan taraf kehidupannya yang lebih baik, terutama
berkaitan dengan persoalan mentalitas konseli, baik dalam menghadapi
lingkungannya maupun orang-orang yang ada di sekelilingnya (Nasari, 2015).

14

BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pada pembahasan bab 2, dapat ditarik kesimpulkan sebagai
berikut:
1. Asas bimbingan dan konseling adalah rukun yang harus dipegang teguh
dan dikuasai oleh seorang guru pembimbing atau konselor dalam
menjalankan pelayanan atau kegiatan bimbingan dan konseling.
2. Asas kerahasiaan, yaitu asas yang menuntut dirahasiakannya segenap data
dan keterangan peserta didik (konseli) yang menjadi sasaran layanan, yaitu
data atau keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui orang lain.
3. Asas kesukarelaan, yaitu asas yang menggambarkan proses bimbingan dan
konseling harus berlangsung atas dasar kesukarelaan, baik dari pihak konseli
maupun dari pihak konselor.
4. Asas keterbukaan, yaitu asas yang menghendaki agar peserta didik (konseli)
yang menjadi sasaran layanan/kegiatan bersifat terbuka dan tidak berpurapura, baik dalam memberikan keterangan tentang dirinya sendiri maupun
dalam menerima berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna bagi
pengembangan dirinya.
5. Asas kegiatan, yaitu asas yang menghendaki agar peserta didik (konseli) yang
menjadi sasaran layanan dapat berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan
layanan/ kegiatan bimbingan.
6. Asas kemandirian, yaitu asas yang menunjukkan pada tujuan umum
bimbingan dan konseling yaitu peserta didik (konseli) sebagai sasaran
15

layanan/kegiatan bimbingan dan konseling diharapkan menjadi individuindividu yang mandiri.
7. Asas kekinian, yaitu asas yang menghendaki agar objek sasaran layanan
bimbingan dan konseling, yakni permasalahan yang dihadapi peserta didik/
konseli dalam kondisi sekarang. Asas kekinian juga mengandung pengertian
bahwa konselor tidak boleh menunda-nunda pemberian bantuan.
8. Asas kedinamisan, yaitu asas yang menghendaki agar isi layanan terhadap
sasaran layanan (peserta didik/ konseli) yang sama hendaknya selalu bergerak
maju, tidak monoton dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai dengan
kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu ke waktu.
9. Asas keterpaduan, yaitu asas yang menghendaki agar berbagai layanan dan
kegiaan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru
pembimbing maupun pihak lain, saling menunjang, harmonis dan terpadu.
10. Asas kenormatifan, yaitu asas yang menghendaki agar segenap layanan dan
kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada nilai dan norma yang ada,
tidak boleh bertentangan dengan nilai dan norma yang ada, yaitu nilai dan
norma agama, hukum, peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan
kebiasaan-kebiasaan yang berlaku.
11. Asas keahlian, yaitu asas yang menghendaki agar layanan dan kegiatan
bimbingan dan konseling diselenggarakan atas dasar kaidah-kaidah
professional.
12. Asas Alih Tangan Kasus, yaitu asas yang menghendaki agar pihak-pihak yang
tidak mampu menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling secara
tepat dan tuntas atas suatu permasalahan peserta didik (konseli) dapat
mengalihtangankan permasalahan itu kepada pihak yang lebih ahli.
13. Asas Tutwuri Handayani, yaitu asas yang menghendaki agar pelayanan
bimbingan dan konseling secara keseluruhan dapat menciptakan suasana yang
mengayomi (memberikan rasa aman), mengembangkan keteladaan, dan
memberikan rangsangan dan dorongan, serta kesempatan yang seluas-luasnya
kepada peserta didik (konseli) untuk maju.

16

DAFTAR PUSTAKA

Nasari, Pareza. 2015. Asas-Asas Bimbingan Konseling. [Online]. Tersedia:
Http://parezanasari.blogspot.co.id/2015/01/makalah-asas-asas-bimbingankonseling.html, diakses pada 7 November 2015.
Prayitno dan Amti, Erman. 2013. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling.
Jakarta: Rineka Cipta.
Tohirin. 2009. Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah (Berbasis
Integrasi). Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Walgito, Bimo. 2010. Bimbingan dan Konseling [Studi dan Karir]. Yogyakarta:
ANDI.
Yusuf, Syamsu, dan Nurihsan, Juntika. 2014. Landasan Bimbingan dan Konselig.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

17