Fungsi Legislasi DPRD (Suatu Kajian Fungsi Legislasi DPRD Provinsi Sumatera Utara Periode 2009 – 2014)
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang
Negara Indonesia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan Negara Kesatuan yang dinyatakan dengan jelas dalam UUD 1945 sebelum dan setelah amandemen yaitu Pada Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi : “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik. ”Penegasan prinsip negara kesatuan tersebut diperjelas kembali pada Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 setalah amandemen yang menyatakan : “Negara Kesatuan Republik Indonesia
dibagi atas daerah – daerah provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang – undang. Melalui interprestasi
gramatikal pada rumusan pasal 18 ayat (1) UUD 1945 setelah amandemen diketahui bahwa pembagian satuan - satuan pemerintahan daerah dalam negara kesatuan (dalam hal ini Negara Kesatuan Republik Indonesia atau disingkat NKRI) tersusun secara bertingkat (hierarki) antara daerah provinsi dan
kabupaten/kota.1
Indonesia adalah Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, hal ini terlihat dalam UUD 1945 pada Pasal 18 ayat (2) yang berbunyi: “Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Pasal tersebut menyatakan adanya pemberian kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan Otonomi
1
Titik Triwulan Tutik., Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amendemen UUD 1945, (Jakarta : Kencana Pernada Group,2010), hal .243
(2)
Daerah yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah atau dengan kata lain daerah
diberi keleluasaan untuk mengurus sendiri urusan pemerintahannya.2
Pembentukan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat konstitusi dan merupakan esensi dari pasal 18 UUD 1945. Indonesia sampai saat ini telah
memiliki delapan undang – undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah
dengan masing – masing corak dan kecenderungan yaitu :
1. Undang – Undang No. 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Daerah;
2. Undang – Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah;
3. Undang – Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok – Pokok Pemerintahan
di Daerah;
4. Undang – Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah;
5. Undang – Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Daerah;
6. Undang – Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
7. Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
8. Undang – Undang No.12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU
No. 32 Tahun 2004. 3
Secara substansi seluruh undang – undang tentang pemerintahan daerah
di Indonesia mengatur tentang bentuk susunan penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Secara normatif undang – undang tersebut mampu mengikuti
2
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Permasyarakatan UUD1945 Dan Ketetapan MPR, (Jakarta : Sekretariat Jenderal MPR RI, 2013), hal.123
3
Mirza Nasution, Pertangungjawaban Gubernur Dalam Negara Kesatuan Indonesia,
(3)
perkembangan perubahan kepemerintahan daerah sesuai dengan zamannya.
Secara empiris Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dan undang – undang
sebelumnya memberikan implikasi terhadap kedudukan dan peran formal kekuasaan eksekutif lebih dominan dari kekuasaan legislatif daerah. Dalam
undang – undang tersebut kedudukan kepala daerah sebagai pelaksana kekuasaan
eksekutif memiliki kewenangan yang lebih besar daripada kekuasaan DPRD sebagai pelaksana kekuasaan legislatif. Sedangkan kelahiran Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah lahir untuk menjawab tuntutan reformasi yang memberikan implikasi dan simplikasi terhadap kedudukan DPRD
berbalik menjadi lebih kuat dibandingkan dengan kekuasaan eksekutif.4 Undang –
undang ini membawa terobosan baru diantaranya ialah tidak lagi menyebut DPRD sebagai bagian dari pemerintahan daerah, tetapi menempatkan DPRD sebagai
badan legislatif daerah.5 Implikasi dari penguatan peran dan fungsi DPRD
tersebut dalam praktiknya ternyata tidak selalu membawa kestabilan. Oleh karena menimbulkan banyak penyimpangan, diantaranya semangat kedaerahan yang tidak terkendali, politisasi aparat pemerintah, arogansi lembaga DPRD, Pengawasan keuangan daerah yang timpang dan ketidakseimbangan wewenang
antara DPRD dan Kepala Daerah dalam penyusunan Peraturan Daerah.6 Maka
undang – undang ini diganti dengan Undang – Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah
4
Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal.54
5 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia
,(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005), hal.339
6
Hamid, Edy Suandi dan Sobirin Malian, Memperkokoh Otonomi Daerah, (Yogyakarta:UII Press, 2004), hal.161
(4)
Sistem pemerintah daerah yang berdasarkan pada Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menggunakan asas desentralisasi
dan otonomi menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan daerah.7 Otonomi
daerah merupakan pengaplikasian dari teori desentralisasi.8 Undang – Undang ini
kemudian direvisi menjadi Undang – Undang No. 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Perubahan penting dalam undang – undang ini
mengakomodasi calon kepala daerah perseorangan (independen) dalam pemilihan
kepala daerah.9 Kehadiran Undang – Undang No. 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah tidak menggantikan Undang – Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah tetapi hanya menyempurnakan dan melengkapi
undang – undang tersebut. Penyelenggaraan pemerintahan daerah tetap mengikuti
pengaturan Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
hal ini dapat dilihat pada bagian menimbang dalam Undang – Undang No. 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang – Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan alasan dilakukannya perubahan
dikarenakan Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
belum mengatur mengenai calon kepala daerah perseorangan, pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah baik dikarenakan menggantikan kepala daerah, atau dikarenakan keadaan dari wakil kepala daerah itu sendiri.
7
Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah, (Bandung : PT. Alumni, 2008), hal.24
8Ibid.,
hal.21
9
(5)
Menurut Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 19 ayat (2) menyatakan bahwa; “Penyelenggara Pemerintahan Daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD.”
Penyelenggaraan urusan Pemerintahan menurut Undang – Undang No. 32
Tahun 2004 Pada Pasal 1 angka 2 adalah Pemerintahan Daerah yang terdiri dari Pemerintah Daerah dan DPRD. Yang dimaksud dengan pemerintah daerah dalam undang-undang ini adalah Gubernur, Bupati, atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah (Pasal 1 angka 3). Penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Otonomi daerah sebagai aplikasi desentralisasi dalam konteks hubungan hierarki dikaitkan dengan pembagian kekuasaan secara vertikal. Pembagian kekuasaan secara vertikal diartikan sebagai berikut :
Penyerahan kepada atau membiarkan setiap pemerintahan yang lebih rendah mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tertentu secara penuh baik
mengenai asas – asas maupun cara menjalankannya (wewenang mengatur dan
mengurus asas, dan cara menjalankannya. 10
Sebagai daerah otonom, pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota, berwenang untuk membuat peraturan daerah untuk menyelenggarakan urusan
otonomi daerah.11 Pemerintahan Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 18 ayat
(5) yang berbunyi ; “ Pemerintah Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
10
Titik Triwulan Tutik., Op.cit.hal.254
11
(6)
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.” Peraturan Daerah (Perda) ditetapkan oleh kepala daerah, setelah mendapat persetujuan
bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).12
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya dalam penulisan ini akan disebut dengan kata “DPRD” adalah lembaga perwakilan rakyat daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.13 Sebagai lembaga perwakilan
rakyat daerah, DPRD memiliki beberapa fungsi yaitu legislasi, pengawasan, dan anggaran. Pengertian fungsi legislasi dapat dilihat dari kata “legislasi” yang berasal dari Bahasa Inggris “legislation” yang berarti (1) perundang-undangan
dan (2) pembuatan undang-undang. Sementara itu kata “legislation” berasal dari
kata kerja “to legislate” yang berarti mengatur atau membuat undang-undang.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata legislasi berarti pembuatan undang-undang. Dengan demikian, fungsi legislasi adalah fungsi membuat
undang-undang.14 Fungsi pengawasan atau kontrol ialah pengawasan oleh
lembaga legislatif terhadap aktifitas eksekutif agar sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan. Fungsi anggaran ialah fungsi yang diwujudkan dalam perencanaan, penyusunan, pembentukan anggaran pembelanjaan daerah.
Dari ketiga fungsi tersebut, dalam berbagai peraturan perundang –
undangan di Indonesia, fungsi legislasi ini biasanya memang dianggap yang
12 Pasal 136 ayat (1) Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 13 Pasal 1 angka 4 Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 14
(7)
paling penting. Menurut Jimly Asshiddiqie fungsi legislasi menyangkut empat
bentuk kegiatan sebagai berikut : 15
1. Prakarsa pembuatan undang – undang (legislative initiation);
2. Pembahasan rancangan undang – undang (law making process);
3. Persetujuan atas pengesahan rancangan undang – undang (law
enactment approval);
4. Pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian
atau persetujuan internasional dan dokumen – dokumen hukum
yang mengikat lainnya (Binding decision making on international agreement and treaties or other legal binding documents).
Dalam melaksanakan fungsi legislasi ini lembaga perwakilan termasuk
DPRD memiliki tiga hak yaitu : Pertama, hak inisiatif (prakarsa), Kedua, hak
amandemen (usul perubahan peraturan ), Ketiga, hak budget (anggaran).16 Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah mempunyai fungsi legislasi . Secara umum yang dimaksud dengan fungsi legislasi adalah fungsi untuk membuat peraturan daerah.
Peraturan daerah selanjutnya disebut Perda adalah peraturan daerah
provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota.17 Menurut Undang – Undang
No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan
Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh dewan perwakilan rakyat daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah. Dari pernyataan tersebut jelas bahwa DPRD memiliki kewenangan dalam membentuk Perda.
15
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jilid II), (Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal.34
16
M.Solly Lubis, Hukum Tata Negara, (Bandung : Mandar Maju, 2008), hal.102
17
(8)
Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam membentuk Perda tertuang dalam Undang - Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang diperjelas pada Pasal 42 huruf a dan b yang menyatakan bahwa;
a. DPRD mempunyai tugas dan wewenang membentuk peraturan daerah
yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk mendapatkan persetujuan bersama.
b. DPRD membahas dan menyetujui rancangan peraturan daerah tentang
APBD bersama dengan Kepala Daerah.
Kekuasaan membentuk Perda yang diberikan undang – undang kepada
pemerintah daerah dilengkapi dengan pemberian hak inisiatif. Hak inisiatif ialah hak memprakarsai peraturan yaitu hak mengajukan usul rancangan peraturan
daerah kepada pemerintah daerah.18 Dalam Undang - Undang 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah diatur mengenai hak inisiatif, hak inisiatif dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Gubernur sebagai kepala
pemerintahan. Tetapi undang – undang ini memberikan hak inisiatif yang lebih
banyak kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Hal ini dapat kita lihat dalam ketentuan pada Pasal 140 ayat (1) yang menyatakan bahwa; “Rancangan Perda dapat berasal dari DPRD, Gubernur, atau Bupati/Walikota.” Berdasarkan ketentuan diatas berarti Gubernur sebagai kepala pemerintahan daerah juga memiliki wewenang yang sama dengan DPRD dalam pembentukan Peraturan Daerah. Namun pada ayat (2) dinyatakan dengan tegas yakni; “Apabila dalam satu
18
(9)
masa sidang, DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota menyampaikan rancangan Perda mengenai materi yang sama maka yang dibahas adalah rancangan Perda yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan rancangan Perda yang disampaikan Gubernur atau Bupati/Walikota digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.” Ketentuan ini kemudian ditegaskan kembali pada Pasal 31
dalam Undang – Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang – Undangan yang menjadi acuan dalam pembentukan peraturan
perundang – undangan termasuk peraturan daerah . Namun, undang – undang
tersebut tidak membedakan pengaturan mengenai Perda Provinsi dengan Perda
Kabupaten/ Kota. Sedangkan dalam Undang – Undang No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan yang menggantikan
Undang – Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang – Undangan memisahkan pengaturan mengenai rancangan peraturan
daerah provinsi dengan rancangan pengaturan daerah kabupaten/ kota. Pengaturan mengenai rancangan peraturan daerah provinsi diatur dengan jelas pada Pasal 62 yang berbunyi ; “Apabila dalam satu masa sidang, DPRD dan Gubernur menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi mengenai materi yang sama, yang dibahas adalah Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang disampaikan oleh DPRD Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah yang disampaikan oleh Gubernur digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.”
Walaupun Undang – Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang – Undangan memisahkan pengaturan mengenai pengaturan
(10)
kabupaten / kota tetapi ketentuan mengenai pengaturan rancangan peraturan daerah kabupaten/ kota tetap mengikuti ketentuan mengenai rancangan perda provinsi. Pemisahan pengaturan ini hanya untuk menjelaskan pembagian daerah dalam pemerintahan bahwa Indonesia sebagai Negara Kesatuan terdiri dari beberapa daerah provinsi dimana daerah provinsi tersebut terbagi ke dalam beberapa kabupaten dan kota.
Provinsi Sumatera Utara sebagai salah satu daerah provinsi, tentu mempunyai struktur pemerintahan daerah yang sama dengan daerah-daerah provinsi lainnya di Indonesia, yaitu adanya pemerintah daerah dan lembaga perwakilan rakyat daerah yang disebut Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Provinsi Sumatera Utara sebagai daerah otonom berwenang memanfaatkan wilayahnya untuk melakukan suatu pembangunan dalam berbagai aspek untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan rakyatnya. Untuk mencapai kesejahteraan rakyat, maka perlu adanya suatu peraturan daerah.
Pembentukan Perda merupakan esensi dari fungsi legislasi yang dimiliki oleh DPRD sebagai lembaga perwakilan daerah dan unsur penyelenggara
pemerintahan daerah. Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa undang –
undang telah memberikan wewenang yang lebih kepada DPRD untuk membentuk
Perda. Akan tetapi, DPRD Provinsi Sumatera Utara Periode 2009 – 2014 hanya
menetapkan sebanyak 38 Perda selama tahun 2009 - 2014. Dari 38 Perda yang ditetapkan hanya ada 4 Perda yang berasal dari usulan DPRD Provinsi Sumatera
(11)
Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk mengambil judul “FUNGSI LEGISLASI DPRD (Suatu Kajian Fungsi Legislasi DPRD Provinsi Sumatera Utara Periode 2009 –2014).”
B.Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pelaksanakan Fungsi Legislasi DPRD Provinsi Sumatera
Utara periode 2009 – 2014?
2. Apakah sajakah faktor yang menjadi penghambat dan pendukung Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara dalam melaksanakan
Fungsi Legislasi pada periode 2009 – 2014?
C.Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Dari rumusan permasalahan di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui dan memahami pelaksanaan fungsi legislasi dalam
pembentukan Peraturan Daerah yang dilaksanakan oleh DPRD Provinsi
Sumatera Utara periode 2009 – 2014.
2. Untuk mengetahui secara jelas faktor penghambat dan pendukung bagi
DPRD Provinsi Sumatera Utara Periode 2009 – 2014 dalam
(12)
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Memberikan gambaran tentang pelaksanaan fungsi legislasi yang
dilaksanakan oleh DPRD Provinsi Sumatera Utara periode 2009 –
2014.
2. Menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis mengenai
pembentukan Perda.
3. Menjadi bahan pembelajaran bagi praktisi hukum dan kalangan
masyarakat luas yang ingin mengetahui tentang Peranan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam pembentukan Peraturan Daerah di Provinsi Sumatera Utara
4. Untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dibidang hukum
pada umumnya dan ilmu Hukum Tata Negara pada khususnya.
D.Keaslian Penulisan
Bahwa skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Fungsi Legislasi DPRD Provinsi Sumatera Utara” merupakan hasil karya dan ide sendiri dari penulis. Dan sudah ditelusuri dan diketahui di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan dengan judul di atas belum pernah ditulis dalam skripsi. Pernyataan ini dibuktikan oleh hasil uji bersih oleh perpustakaan Universitas cabang Fakultas Hukum USU/ Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum USU pada tanggal 16 Februari 2015. Dalam penulisan ini, penulis akan
(13)
mengarahkan pembaca kepada fungsi legislasi yang dilaksanakan oleh DPRD
Provinsi Sumatera Utara pada periode 2009 – 2014.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pembagian Kekuasaan
Pembagian kekuasaan sebagaimana yang dikenal sekarang merupakan pengembangan atau reformasi dari teori “pemisahan kekuasaan”,19
dalam bahasa
Indonesia dimaknai separation of power dimulai dari pemahaman atas teori Trias
Politica Monstequieu.20 Monstequieu menyatakan dalam teori Trias Politica
bahwa kekuasaan negara harus dibagi – bagi dalam tiga kekuasaan yang terpisah –
pisah (la separation des pouvoirs = pemisahan kekuasaan – kekuasaan ). Ketiga
kekuasaan itu ialah :
Kekuasaan membentuk undang – undang (legislatif),
Kekuasaan menjalankan undang – undang (eksekutif),
Kekuasaan mengadili pelanggaran – pelanggaran terhadap undang –
undang (yudikatif).21
Dari pandangan Monstequieu tersebut memberikan pemahaman bahwa pemisahan kekuasaan bertujuan agar penguasa atau pemerintah dalam
menjalankan tugas dan fungsi – fungsi pemerintahan untuk menghindari tindakan
19
Arsyad Mawardi, Pengawasan Keseimbangan antara DPR dan Presiden Dalam Sistem Ketatanegaraan RI, (Semarang : RaSAIL, 2013), hal.67
20
Saldi Isra, Op.cit, hal.76
21
(14)
sewenang – wenang, menjamin hak-hak warga negara, dan memberikan ruang
gerak terhadap pelaksanaan prinsip kebebasan dan kemerdekaan.22
Berbeda dengan Montesquieu, John Locke mengemukakan bahwa kekuasaan negara harus dibagi dalam tiga kekuasaan yaitu :
Kekuasaan legislatif,
Keuasaan eksekutif, dan
Kekuasaan federatif (federatif disebutnya : federative power of the
commomwealth), yang masing – masing terpisah yang satu dari yang lain. Berdasarkan pembagian kekuasaan di atas, Jhon Locke menerangkan bahwa kekuasaan legislatif meliputi wewenang membuat peraturan, kekuasaan eksekutif meliputi wewenang mempertahankan peraturan serta mengadili perkara ( Jhon Locke melihat wewenang mengadili itu suatu uitvoering (pelaksanaan), dan kekuasaan federatif meliputi wewenang - wewenang yang tidak termasuk pada kekuasaan legislatif dan eksekutif. Hubungan dengan luar negeri termasuk
kekuasaan federatif.23
Apabila pendapat John Locke dan Montesquieu dibandingkan, maka akan tampak perbedaan konsep yaitu : Locke berpendapat bahwa kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan yang mencakup kekuasaan yudisial, dikarenakan kekuasaan federatif merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri. Sedangkan Montesquieu yang menyatakan, bahwa kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan federatif karena melaksanakan hubungan luar negeri adalah termasuk kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif merupakan kekuasaan yang terpisah dari eksekutif yang
22
Arsyad Mawardi., Op.cit, hal.67
23
(15)
berdiri sendiri.24 Dari kedua pendapat tersebut juga memiliki persamaan, yakni kedua-duanya sama-sama dilatarbelakangi atas kepedulian dan perlawanan
terhadap praktik Raja atau penguasa yang absolut.25
Pembagian kekuasaan merupakan salah satu usaha untuk membatasi
kekuasaan pemerintah dalam negara hukum.26 Melalui pembagian kekuasaan,
maka lembaga - lembaga negara akan melakukan tugas dan wewenang sesuai dengan ketentuan konstitusi, dengan demikian menjadi jelas batas tugas dan
kewenangan.27 Kekuasaan harus dilakukan berdasarkan dan wewenang dari
ketentuan hukum yang didasarkan kepada teori sistem pemerintahan sehingga
menjadi jelas batas tugas dan wewenang dari masing – masing cabang
pemerintahan dan sekaligus menjadi tolak ukur pertangungjawabannya. 28
Pembagian tugas dan wewenang yang dimaksud dalam bagian ini, ialah pembagian tugas pemerintahan meliputi : wewenang legislatif, wewenang
eksekutif, dan wewenang yudikatif.29
Ada dua jenis pembagian kekuasaan yang dikenal dalam praktik ketatanegaraan di banyak negara yaitu : pembagian secara horizontal dan
pembagian secara vertikal.30 Pembagian kekuasaan secara vertikal adalah : “
Pembagian kekuasaan menurut tingkatnya dan dalam hal ini yang dimaksud ialah pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan.” 31
Pembagian
24
Arsyad Mawardi., Op.cit, hal.26
25Ibid
.,hal.70
26Ibid
.,hal.25
27Ibid
.,
28Ibid.
, hal. 67
29
M.Solly lubis., Op.cit, hal.54
30
Juanda, Op.cit , hal.36
31
Prof.Miriam Budiardjo, Dasar – Dasar Ilmu Politik, (Jakarta : PT.Ikrar Mandiriabadi, 2010), hal.267
(16)
kekuasaan secara vertikal ini dapat disebut pembagian karena bentuk negara atau pembagian secara teritorial. Sedangkan pembagian kekuasaan secara horizontal adalah : “Pembagian yang menunjukkan perbedaan antara fungsi – fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang lebih dikenal
dengan Trias Politika atau pembagian kekuasaan (division of powers).”32
Sistem baru yang dianut oleh Indonesia dalam UUD 1945 pasca perubahan
keempat adalah sistem pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip checks and
balances atau keseimbangan dan saling mengawasi diantara lembaga – lembaga
negara. 33 Akan tetapi, istilah “pembagian” itu tetap dipergunakan dalam UUD
1945 pada Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 dalam konteks pengertian pembagian
yang bersifat vertikal atau territorial division of power.34 Berdasarkan ketentuan
tersebut, pembagian kekuasaan secara vertikal di negara Indonesia berlangsung antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah (pemerintahan provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota).
Hubungan antara pemerintahan provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota terjalin dengan koordinasi, pembinaan dan pengawasan oleh Pemerintahan Pusat dalam bidang administrasi dan kewilayahan. Pembagian kekuasaan secara vertikal muncul sebagai konsekuensi dari diterapkannya asas desentralisasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan asas tersebut, Pemerintah Pusat menyerahkan wewenang pemerintahan kepada pemerintah daerah otonom (provinsi dan kabupaten/kota) untuk mengurus dan mengatur sendiri urusan pemerintahan di daerahnya. Pemerintah daerah yang dimaksud menerima
32Ibid.
, hal.267
33
Jimlly Asshiddiqie, Op.cit , hal.24
34Ibid
(17)
kewenangan dari pemerintah pusat terdiri atas Kepala Daerah dan DPRD. Keberadaan DPRD sebagai penyelenggara pemerintahan daerah dan sebagai lembaga legislatif daerah merupakan perwujudan atau berakar dari adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan.
2. Desentralisasi Pemerintahan
Istilah desentralisasi secara etimologis berasal dari bahasa latin yaitu “de = lepas dan “centerum” = pusat. Berdasarkan peristilahannya desentralisasi adalah
melepaskan dari pusat.35 Ada beberapa definisi desentralisasi menurut para ahli,
diantaranya ialah ;
1. Philipus M. Hadjon mengemukakan dalam buku Titik Triwulan Tutik bahwa :
“Desentralisasi mengandung makna bahwa wewenang
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tidak semata-mata dilakukan oleh Penterintah Pusat, melainkan dilakukan juga oleh satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah, baik dalam bentuk satuan teritorial maupun fungsional. Satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah diserahi dan dibiarkan mengatur dan dibiarkan mengatur dan mengurus sendiri sebagian urusan pemerintahan.”36
2. Bagir Manan memberikan gambaran mengenai desentrlisasi, yaitu :
“Desentralisasi adalah bentuk dari susunan organisasi negara yang terdiri dari
satuan – satuan Pemerintah Pusat dan satuan pemerintahaih yang lebih rendah
yang dibentuk baik berdasarkan teritorial atau fungsi pemerintahan tertentu.”37
3. Selain dari definisi di atas, ada juga definisi desentralisasi dari segi politik,
yaitu menurut Henry Maddick, desentralisasi ialah mencakup proses dekonsentrasi dan devolusi, merupakan pengalihan kekuasaan secara hukum
35
Juanda., Op.cit, hal.21
36
Titik Triwulan Tutik., Op.cit, hal.250
37
B.Hestu Cipto Handoyo dan Y.Theresianti.S, Dasar – Dasar Hukum Tata Negara Indonesia, (Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogjakarta, 2000), hal.88
(18)
untuk melaksanakan fungsi yang spesifik maupun residual yang menjadi
kewenangan pemerintah daerah.”38
Desentralisasi dalam arti ketatanegaraan adalah pelimpahan kekuasaan
pemerintahan dari pusat kepada daerah – daerah, yang mengurus rumah tangga
nya sendiri (daerah – daerah otonomi).39 Di Indonesia penjelasan mengenai arti
desentralisasi dapat di lihat dalam Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah pada Pasal 1 angka 7, yang berbunyi : “desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Dari beberapa definisi diatas penulis menarik kesimpulan desentralisasi ialah penyerahan sebagian wewenang atau urusan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah otonom untuk mengurusi pemerintahannya sendiri.
Desentralisasi pada dasarnya terjadi karena sentralisasi melalui asas dekonsentrasi tidak dapat melaksanakan tugas pemerintahan secara baik dalam
mewujudkan pemerintahan masing – masing yang demokratis.40
Desentralisasi dibagi menjadi dua yaitu desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional. Desentralisasai teritorial ialah penyerahan urusan pemerintahan ( pelimpahan wewenang untuk menyelenggarkan suatu urusan pemerintahan) dari Pemerintahan Pusat kepada badan yang bersifat kewilayahan (teritorial), sedangkan desentralisasi fungsional ialah penyerahan urusan pemerintahan ( pelimpahan wewenang untuk menyelenggarkan suatu urusan
38 Ni’Matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah
, (Bandung : Nusa Media, 2012 ), hal.62
39
Juanda., Op.cit ,hal.119
40
(19)
pemerintahan) dari Pemerintahan Pusat kepada badan fungsional tertentu, menjelma dalam bentuk badan- badan yang didasarkan kepada tujuan-tujuan tertentu.41
Joeniarto mengemukakan tiga elemen pokok dalam desentralisasi yaitu :
“Pertama, pembentukan organisasi pemerintahan daerah otonom, kedua,
pembagian wilayah negara menjadi daerah otonom, dan ketiga, penyerahan
wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan kepada daerah otonom”. Dengan kata lain, dalam proses desentralisasi adalah wewenang
pemerintah pusat.42
Tujuan desentralisasi adalah agar pemerintahan di daerah lebih disesuaikan dengan keadaan daerah masing- masing. Dalam rangka desentralisasi
dibentuklah daerah otonom.43
3. Otonomi Daerah
Otonomi daerah merupakan esensi pemerintahan desentralisai. Secara etimologi, istilah otonomi atau “autonomy” berasal dari penggalan dua kata
bahasa Yunani, yakni autos yang berarti sendiri dan nomous yang berarti hukum
atau undang – undang . Otonomi bermakna membuat perundang-undangan sendiri
(zelfwet-geving).44 Menurut Encyclopedia of Social Science, otonomi dalam
pengertian orisinil adalah the legal self sufficiency of social body and its actual
independence. Berdasarkan pengertian di atas, ada dua ciri hakikat dari otonomi
41
Hestu Cipto Handoyo dan Y.Theresianti.S., Op.cit, hal.90
42
Titik Triwulan Tutik., Op.cit.hal.252
43Ibid.,
44Ni’Matul Huda., Pemerintahan Daerah
(20)
yaitu legal self sufficiency dan actual independence.45 Menurut Koesoemahatmadja, “otonomi selain mengandung arti perundangan (regeling)
juga mengandung arti pemerintahan (bestuur)”.46 Dalam perkembangannya,
konsepsi otonomi daerah selain mengandung arti zelfwetgeving (membuat
perda-perda), juga utamanya mencakup zelfbestuur (pemerintahan sendiri).47
Kesimpulannya otonomi adalah tatanan yang bersangkutan dengan cara –
cara membagi wewenang, tugas dan tanggungjawab mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan antara pusat dan daerah.48 Ada beberapa pengertian
mengenai otonomi daerah ini, diantaranya sebagai berikut :
a. C.W. van der Pot memahami konsep otonomi daerah sebagai “eigen
huishouding(menjalankan rumah tangganya sendiri)”.49
b. Bagir Manan, merumuskan pengertian otonomi daerah adalah “kebebasan
dan kemandirian (vrijheid en zelfstandigheid) satuan pemerintahan yang
lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan
pemerintahan”.50
c. Menurut Undang – Undang No.32 Tahun 2004 pada Pasal 1 Angka 5,
“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
keperntingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang –
undangan”.
45
Juanda., Op.cit, hal.125
46Ibid.
,
47 Ni’Matul Huda.,
Pemerintahan Daerah, Op.cit, hal.83
48Ibid
.,hal.41
49Ibid
.,
50
(21)
Dari pendapat para ahli dan peraturan perundang – undangan tersebut, dapat
diketahui bahwa otonomi daerah subsistem dari negara kesatuan dimana daerah –
daerahnya diberikan kemandirian dan kebebasan untuk mengatur daerahnya sendiri. Kemandirian itu adalah wujud dari pemberian kesempatan yang harus
dipertanggungjawabkan.51
Otonomi daerah dalam penyelenggaraan dan pelaksanaannya memiliki
prinsip. Adapun prinsip – prinsip otonomi daerah adalah :52
a. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan
aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan
keanekaragaman daerah.
b. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan
bertanggung jawab.
c. Pelaksanaan otonomi daerah kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi
daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
d. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara
sehingga teteap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
e. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian
daerah otonom, sehingga dalam daerah kabupaten dan daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi, demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau pihak-pihak lain, seperti badan otoritas, kawasan industri, kawasan kehutanan, kawasan pertambangan, kawasan pedesaan, kawasan kota, kawasasan wisata, dan semacam itu berlaku ketentuan daerah otonomi.
f. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi
badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawasan, maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah
g. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam
kedudukan sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan
kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah
h. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya
pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
51
Juanda.,Op.cit, hal. 126
52
Ateng Syafrudin, Kapita Selekta Hakikat Otonomi & Desentralisasi Dalam Pembangunan Daerah, (Yogyakarta : PT.Citra Media, 2006), hal.21
(22)
Dasar hukum penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia selain terkandung dalam UUD 1945 pada Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 18 ayat (5), juga di
atur dalam Undang – Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam peraturan perundang – undangan di atas, menggunakan prinsip otonomi,
yaitu : 53
a. Otonomi seluas-luasnya, yaitu daerah diberikan kewenangan mengurus dan
mengatur semua urusan-urusan pemerintahan kecuali yang menjadi urusan pemerintah pusat.
b. Otonomi nyata, yaitu suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan
pemerintahan harus dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang telah ditetapkan sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.
c. Otonomi bertanggung jawab merupakan otonomi yang dalam
penyelenggaraannya harus benar – benar sejalan dengan tujuan pemberian
otonomi.
Adapun tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat daerah, partisipasi masyarakat, ,produktivitas masyarakat daerah sesuai dengan kondisi dan keunggulan daerah yang bertujuan meningkatan kesejahteraan rakyat guna mewujudkan efisiensi dan efektivitas pemerintahan.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara yang teratur dan terpikir secara runtut dan baik dengan menggunakan metode ilmiah yang bertujuan untuk menemukan, mengembangkan maupun guna menguji kebenaran maupun ketidak-benaran dari
suatu pengetahuan, gejala atau hipotesis.54 Dalam rangka mencapai hasil yang
53
Darda Syahrizal, Hukum Administrasi Negara & Pengadilan Tata Usa Negara, (Jakarta : Pustaka Yustisia, 2012), hal.63
54
(23)
diharapkan serta kebenaran dari si penulis dapat dipertanggung jawabkan, maka untuk memperoleh data yang tepat dan ada relevansinya dengan pembahasan skripsi ini serta menunjang masalah yang dibahas, maka metode penelitiannya adalah sebagai berikut.
1. Metode Pendekatan Masalah
Metode pendekatan masalah yang digunakan adalah metode yuridis normatif, yaitu penelitian yang didasarkan pada studi terhadap bahan-bahan kepustakaan atau studi terhadap dokumen berupa peraturan tertulis dan
bahan-bahan hukum lain.55
Pendekatan Yuridis Normatif digunakan untuk mengkaji dan menganalisa masalah prosedur dan mekanisme proses pembentukan peraturan daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yang mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian. Metode deskriptif analitis ini juga bertujuan untuk memberikan gambaran, gejala dan peristiwa yang terjadi dan memaparkan obyek penelitian berdasarkan kenyataan secara kronologis dan sistematis kemudian diadakan penganalisaan tentang realitas tersebut yang dihubungkan dengan peraturan hukum yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
3. Sumber Data
55
Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri, (Jakarta: Gralia Indonesia, 1980), hal.9
(24)
Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa sumber data yang berkaitan dengan masalah yang diteliti yaitu :
a) Studi Kepustakaan yang merupakan hasil penelitian bersumber dari data yang ada pada peraturan perundang-undangan yang terkait dan bahan buku-buku hukum.
b) Studi Lapangan merupakan penunjang studi kepustakaan, yang diperoleh dari proses wawancara dengan anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara maupun file laporan yang berkaitan langsung dengan Fungsi Legislasi di DPRD Provinsi SumatraUtara.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis-jenis data yang terdiri dari:
1) Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya, baik melalui
wawancara, observasi maupun laporan dalam bentuk dokumen tidak resmi yang kemudian diolah oleh peneliti.
2) Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi,
buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian dalam bentuk laporan, skripsi atau makalah ilmiah, dan peraturan perundang-undangan. Data
sekunder tersebut, dapat dibagi menjadi :56
a) Bahan Hukum Primer yaitu, bahan yang diteliti mengenai undang-undang
yang berkaitan dengan judul penelitian yaitu:
a. Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
56
(25)
b. Undang-Undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
c. Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
d. Undang – Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang – Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
e. Undang-Undang No.27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD
f.Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
g. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah
b) Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan yang tertuang didalam buku-buku,
penelitian-penelitian, teori-teori hukum dan pendapat ahli yang dapat dipertanggung jawabkan keilmiahannya yang terkait dengan objek penelitian ini.
c) Bahan Hukum Tertier adalah petunjuk atau penjelasan mengenai bahan
hukum primer atau bahan hukum sekunder yang berasal dari kamus,
ensiklopedia, majalah, surat kabar, dan sebagainya.57
4. Metode Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data penulis dapat memanfaatkan data yang didapat dari sumber data, data tersebut kemudian dikumpulkan dengan metode sebagai berikut:
57Ibid
(26)
a) Studi Dokumen
Melakukan pendataan terhadap bahan-bahan hukum yang didapat pada berkas-berkas program legislatif daerah Provinsi Sumatera Utara, produk hukum seperti perda yang dikeluarkan di daerah Sumatera Utara.
b) Wawancara ( interview )
Wawancara (interview) dapat dipandang sebagai metode pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak, yang dikerjakan dengan sistematis dan
berlandaskan kepada tujuan penelitian.58 Wawancara yang dilakukan dengan
wawancara terstruktur untuk menggali sebanyak-sebanyaknya informasi yang diperoleh dari anggota DPRD. Alat instrument yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah daftar wawancara yang
terstruktur (structured interview schedule) dengan pedoman wawancara (interview
guide) yang disusun sebelumnya dengan pemilihan responden dilakukan secara porpossive sampling, yaitu pengambilan sample yang ditentukan oleh penulis sendiri yaitu sebanyak 6 (enam ) orang yang terdiri dari ; 5 (lima) orang anggota
DPRD Periode 2009 – 2014 dan 1 (satu) orang kepala bagian kesekretariatan
DPRD Provinsi Sumatera Utara bidang hukum dan perundang – undangan.
Responden tersebut dipilih karena dianggap terkait untuk menunjang studi dokumen.
5. Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian baik dari penelitian kepustakaan maupun penelitian lapangan, kemudian dianalisa dengan menggunakan metode
58
(27)
diskriptif kualitatif, yaitu data yang diperoleh di lapangan maupun di
perpustakaan, disusun secara sistematis setelah diseleksi berdasarkan
permasalahan dan dilihat kesesuaiannya dengan ketentuan yang berlaku, selanjutnya disimpulkan sehingga diperoleh jawaban permasalahan.
G.Sistematika Penulisan
Dalam menulis karya ilmiah diperlukan penulisan yang sistematis. Adapun sistematika penulisan ini dibagi menjadi 4 (empat) bab yang dapat diuraikan secara garis besar.
Bab I Pendahuluan, pada bab ini berisi pengantar yang menguraikan mengenai latar belakang penulisan skripsi, permasalahan yang diangkat tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan diakhiri oleh sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Keberadaan Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia, pada bab ini akan mulai dibahas permasalahan dengan menguraikan tentang keberadaan lembaga perwakilan rakyat daerah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Bab III Pelaksanaan Fungsi Legislasi, pada bab ini diuraikan terlebih dahulu mengenai gambaran umum kedudukan dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kemudian gambaran anggota dan alat kelengkapan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara Periode 2009 – 2014 , dan
Pelaksanaan Fungsi Legislasi DPRD Provinsi Sumatera Utara Periode 2009 –
(28)
DPRD pada periode 2009 – 2014 sekaligus menjawab dua permasalahan pada penulisan ini.
Bab IV Kesimpulan dan Saran, bab ini berisi kesimpulan dari analis penelitian yang dilakukan oleh penulis dan saran dari analisis yang ada.
Daftar Pustaka
(1)
diharapkan serta kebenaran dari si penulis dapat dipertanggung jawabkan, maka untuk memperoleh data yang tepat dan ada relevansinya dengan pembahasan skripsi ini serta menunjang masalah yang dibahas, maka metode penelitiannya adalah sebagai berikut.
1. Metode Pendekatan Masalah
Metode pendekatan masalah yang digunakan adalah metode yuridis normatif, yaitu penelitian yang didasarkan pada studi terhadap bahan-bahan kepustakaan atau studi terhadap dokumen berupa peraturan tertulis dan bahan-bahan hukum lain.55
Pendekatan Yuridis Normatif digunakan untuk mengkaji dan menganalisa masalah prosedur dan mekanisme proses pembentukan peraturan daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yang mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian. Metode deskriptif analitis ini juga bertujuan untuk memberikan gambaran, gejala dan peristiwa yang terjadi dan memaparkan obyek penelitian berdasarkan kenyataan secara kronologis dan sistematis kemudian diadakan penganalisaan tentang realitas tersebut yang dihubungkan dengan peraturan hukum yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
3. Sumber Data
55
Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri, (Jakarta: Gralia Indonesia, 1980), hal.9
(2)
Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa sumber data yang berkaitan dengan masalah yang diteliti yaitu :
a) Studi Kepustakaan yang merupakan hasil penelitian bersumber dari data yang ada pada peraturan perundang-undangan yang terkait dan bahan buku-buku hukum.
b) Studi Lapangan merupakan penunjang studi kepustakaan, yang diperoleh dari proses wawancara dengan anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara maupun file laporan yang berkaitan langsung dengan Fungsi Legislasi di DPRD Provinsi SumatraUtara.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis-jenis data yang terdiri dari:
1) Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya, baik melalui wawancara, observasi maupun laporan dalam bentuk dokumen tidak resmi yang kemudian diolah oleh peneliti.
2) Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian dalam bentuk laporan, skripsi atau makalah ilmiah, dan peraturan perundang-undangan. Data sekunder tersebut, dapat dibagi menjadi :56
a) Bahan Hukum Primer yaitu, bahan yang diteliti mengenai undang-undang yang berkaitan dengan judul penelitian yaitu:
a. Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
56
(3)
b. Undang-Undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
c. Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah d. Undang – Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang – Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; e. Undang-Undang No.27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD
f.Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
g. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah
b) Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan yang tertuang didalam buku-buku, penelitian-penelitian, teori-teori hukum dan pendapat ahli yang dapat dipertanggung jawabkan keilmiahannya yang terkait dengan objek penelitian ini.
c) Bahan Hukum Tertier adalah petunjuk atau penjelasan mengenai bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder yang berasal dari kamus, ensiklopedia, majalah, surat kabar, dan sebagainya.57
4. Metode Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data penulis dapat memanfaatkan data yang didapat dari sumber data, data tersebut kemudian dikumpulkan dengan metode sebagai berikut:
57
(4)
a) Studi Dokumen
Melakukan pendataan terhadap bahan-bahan hukum yang didapat pada berkas-berkas program legislatif daerah Provinsi Sumatera Utara, produk hukum seperti perda yang dikeluarkan di daerah Sumatera Utara.
b) Wawancara ( interview )
Wawancara (interview) dapat dipandang sebagai metode pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak, yang dikerjakan dengan sistematis dan berlandaskan kepada tujuan penelitian.58 Wawancara yang dilakukan dengan wawancara terstruktur untuk menggali sebanyak-sebanyaknya informasi yang diperoleh dari anggota DPRD. Alat instrument yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah daftar wawancara yang terstruktur (structured interview schedule) dengan pedoman wawancara (interview guide) yang disusun sebelumnya dengan pemilihan responden dilakukan secara
porpossive sampling, yaitu pengambilan sample yang ditentukan oleh penulis sendiri yaitu sebanyak 6 (enam ) orang yang terdiri dari ; 5 (lima) orang anggota DPRD Periode 2009 – 2014 dan 1 (satu) orang kepala bagian kesekretariatan DPRD Provinsi Sumatera Utara bidang hukum dan perundang – undangan. Responden tersebut dipilih karena dianggap terkait untuk menunjang studi dokumen.
5. Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian baik dari penelitian kepustakaan maupun penelitian lapangan, kemudian dianalisa dengan menggunakan metode
58
(5)
diskriptif kualitatif, yaitu data yang diperoleh di lapangan maupun di perpustakaan, disusun secara sistematis setelah diseleksi berdasarkan permasalahan dan dilihat kesesuaiannya dengan ketentuan yang berlaku, selanjutnya disimpulkan sehingga diperoleh jawaban permasalahan.
G.Sistematika Penulisan
Dalam menulis karya ilmiah diperlukan penulisan yang sistematis. Adapun sistematika penulisan ini dibagi menjadi 4 (empat) bab yang dapat diuraikan secara garis besar.
Bab I Pendahuluan, pada bab ini berisi pengantar yang menguraikan mengenai latar belakang penulisan skripsi, permasalahan yang diangkat tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan diakhiri oleh sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Keberadaan Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia, pada bab ini akan mulai dibahas permasalahan dengan menguraikan tentang keberadaan lembaga perwakilan rakyat daerah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Bab III Pelaksanaan Fungsi Legislasi, pada bab ini diuraikan terlebih dahulu mengenai gambaran umum kedudukan dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kemudian gambaran anggota dan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara Periode 2009 – 2014 , dan Pelaksanaan Fungsi Legislasi DPRD Provinsi Sumatera Utara Periode 2009 – 2014, dan faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan fungsi legislasi
(6)
DPRD pada periode 2009 – 2014 sekaligus menjawab dua permasalahan pada penulisan ini.
Bab IV Kesimpulan dan Saran, bab ini berisi kesimpulan dari analis penelitian yang dilakukan oleh penulis dan saran dari analisis yang ada.
Daftar Pustaka