Mekanisme Koping pada Perempuan Suku Karo yang Mengalami Infertilitas di Kabanjahe Kec. Kabanjahe Kab. Karo

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infertilitas

Ketidaksuburan (infertil) adalah suatu kondisi dimana pasangan suami istri belum mampu memiliki anak walaupun telah melakukan hubungan seksual sebanyak 2 – 3 kali seminggu dalam kurun waktu 1 tahun tanpa menggunakan alat kontrasepsi jenis apapun (Djuwantoro, 2008).

Menurut Kasdu (2001), infertilitas adalah bila pasangan suami istri, setelah bersanggama secara teratur 2-3 kali seminggu, tanpa memakai metode pencegahan belum mengalami kehamilan selama satu tahun.

Pasangan suami istri dianggap infertil apabila memenuhi syarat-syarat berikut: a. Pasangan tersebut berkeinginan untuk memiliki anak.

b. Selama satu tahun atau lebih berhubungan seksual, istri sebelum mendapatkan

c. Frekuensi hubungan seksual minimal 1– 3 kali dalam setiap minggunya.

d. Istri maupun suami tidak pernah menggunakan alat ataupun metode kontrasepsi, baik kondom, obat-obatan dan alat lain yang berfungsi untuk mencegah

(Djuwantono, 2008).

Secara medis infertilitas dibagi menjadi dua jenis, yaitu infertilitas primer yang berarti pasangan suami istri belum mampu dan belum pernah memiliki anak


(2)

setelah satu tahun berhubungan seksual sebanyak 2 – 3 kali perminggu tanpa menggunakan alat kontrasepsi dalam bentuk apapun dan infertilitas sekunder yang berarti pasangan suami istri telah atau pernah memiliki anak sebelumnya tetapi saat ini belum mampu memiliki anak lagi setelah satu tahun berhubungan seksual sebanyak 2 – 3 kali perminggu tanpa menggunakan alat atau metode kontrasepsi jenis apapun (Kasdu, 2001).

2.1.1. Faktor Penyebab Infertilitas

Sebanyak 60% – 70% pasangan yang telah menikah akan memiliki anak pada tahun pertama pernikahan mereka. Sebanyak 20% akan memiliki anak pada tahun ke-2 dari usia pernikahannya. Sebanyak 10% - ke-20% sisanya akan memiliki anak pada tahun ke-3 atau lebih atau tidak pernah memiliki anak.

Walaupun pasangan suami istri dianggap infertil bukan tidak mungkin kondisi infertil sesungguhnya hanya dialami oleh sang suami atau sang istri. Hal tersebut dapat dipahami karena proses pembuahan yang berujung pada lahirnya seorang manusia baru merupakan kerjasama antara suami dan istri. Kerjasama tersebut mengandung arti bahwa dua faktor yang harus dipenuhi adalah: a. Suami memiliki sistem dan fungsi reproduksi yang sehat sehingga mampu

menghasilkan dan menyalurkan sel kelamin pria (spermatozoa) ke dalam organ reproduksi istri

b. Istri memiliki sistem dan fungsi reproduksi yang sehat sehingga mampu menghasilkan sel kelamin wanita (sel telur atau ovum)


(3)

Infertilitas tidak semata-mata terjadi kelainan pada wanita saja. Hasil penelitian membuktikan bahwa suami menyumbang 25-40% dari angka kejadian infertil, istri 40-55%, keduanya 10%, dan idiopatik 10%. Hal ini dapat menghapus anggapan bahwa infertilitas terjadi murni karena kesalahan dari pihak wanita/istri.

2.1.1.1. Berbagai Gangguan yang Memicu terjadinya Infertilitas pada Wanita

a. Gangguan Organ Reproduksi

1. Infeksi vagina sehingga meningkatkan keasaman vagina akan membunuh sperma dan pengkerutan vagina yang akan menghambat transportasi sperma ke vagina.

2. Kelainan pada serviks akibat defesiensi hormon esterogen yang mengganggu pengeluaran mukus serviks. Apabila mukus sedikit di serviks, perjalanan sperma ke dalam rahim terganggu. Selain itu, bekas operasi pada serviks yang menyisakan jaringan parut juga dapat menutup serviks sehingga sperma tidak dapat masuk ke rahim

3. Tuba falopii akibat infeksi yang mengakibatkan adhesi tuba falopii dan terjadi obstruksi sehingga ovum dan sperma tidak dapat bertemu.

b. Gangguan Ovulasi

Gangguan ovulasi ini dapat terjadi karena ketidakseimbangan hormonal seperti adanya hambatan pada sekresi hormon FSH dan LH yang memiliki pengaruh besar terhadap ovulasi. Hambatan ini dapat terjadi karena adanya tumor cranial, stress, dan penggunaan obat-obatan yang menyebabkan terjadinya disfungsi


(4)

hipotalamus dan hipofise. Bila terjadi gangguan sekresi kedua hormon ini, maka folikel mengalami hambatan untuk matang dan berakhir pada gangguan ovulasi. c. Kegagalan Implantasi

Wanita dengan kadar progesteron yang rendah mengalami kegagalan dalam mempersiapkan endometrium untuk nidasi. Setelah terjadi pembuahan, proses nidasi pada endometrium tidak berlangsung baik. Akibatnya fetus tidak dapat berkembang dan terjadilah abortus.

e. Endometriosis f. Faktor Immunologis

Apabila embrio memiliki antigen yang berbeda dari ibu, maka tubuh ibu memberikan reaksi sebagai respon terhadap benda asing. Reaksi ini dapat menyebabkan abortus spontan pada wanita hamil.

g. Lingkungan

Paparan radiasi dalam dosis tinggi, asap rokok, gas anastesi, zat kimia, dan pestisida dapat menyebabkan toksik pada seluruh bagian tubuh termasuk organ reproduksi yang akan mempengaruhi kesuburan.

2.1.1.2. Penyebab Infertilitas pada Pria

a. Kelainan pada Alat Kelamin

1. Hipospadia yaitu muara saluran kencing letaknya abnormal, antara lain pada permukaan testis

2. Ejakulasi retrograd yaitu ejakulasi dimana air mani masuk kedalam kandung kemih


(5)

3. Varikokel yaitu suatu keadaan dimana pembuluh darah menuju buah zakar terlalu besar, sehingga jumlah dan kemampuan gerak spermatozoa berkurang yang berarti mengurangi kemampuannya untuk menimbulkan kehamilan 4. Testis tidak turun dapat terjadi karena testis atrofi sehingga tidak turun b. Kegagalan Fungsional

1. Kemampuan ereksi kurang

2. Kelainan pembentukan spermatozoa 3. Gangguan pada sperma

c. Gangguan di Daerah Sebelum Testis (Pre Testicular)

Gangguan biasanya terjadi pada bagian otak, yaitu hipofisis yang bertugas mengeluarkan hormon FSH dan LH. Kedua hormon tersebut mempengaruhi testis dalam menghasilkan hormon testosteron, akibatnya produksi sperma dapat terganggu serta mempengaruhi spermatogenesis dan keabnormalan semen. Terapi yang bisa dilakukan untuk peningkatan testosteron adalah dengan terapi hormon. d. Gangguan di Daerah Testis (Testicular)

Kerja testis dapat terganggu bila terkena trauma pukulan, gangguan fisik, atau infeksi. Bisa juga terjadi, selama pubertas testis tidak berkembang dengan baik, sehingga produksi sperma menjadi terganggu. Dalam proses produksi, testis sebagai pabrik sperma membutuhkan suhu yang lebih dingin daripada suhu tubuh, yaitu 34–35 °C, sedangkan suhu tubuh normal 36,5–37,5 °C. Bila suhu tubuh terus-menerus naik 2–3 °C saja, proses pembentukan sperma dapat terganggu.


(6)

e. Gangguan di Daerah Setelah Testis (Post Testicular)

Gangguan terjadi di saluran sperma sehingga sperma tidak dapat disalurkan dengan lancar, biasanya karena salurannya buntu. Penyebabnya bisa jadi bawaan sejak lahir, terkena infeksi penyakit (seperti tuberkulosis), serta vasektomi yang memang disengaja.

f. Tidak Adanya Semen

Semen adalah cairan yang mengantarkan sperma dari penis menuju vagina. Bila tidak ada semen maka sperma tidak terangkut (tidak ada ejakulasi). Kondisi ini biasanya disebabkan penyakit atau kecelakaan yang memengaruhi tulang belakang.

g. Kurangnya Hormon Testosteron

Kekurangan hormon ini dapat mempengaruhi kemampuan testis dalam memproduksi sperma.

2.1.1.3. Penyebab pada Suami dan Istri

a. Gangguan pada Hubungan Seksual

Kesalahan teknik sanggama dapat menyebabkan penetrasi tak sempurna ke vagina, impotensi, ejakulasi prekoks, vaginismus, kegagalan ejakulasi, dan kelainan anatomik seperti hipospadia, epispadia.

b. Faktor Psikologis antara Kedua Pasangan (suami dan istri) - Masalah tertekan karena sosial ekonomi belum stabil - Masalah dalam pendidikan


(7)

c. Emosi karena Didahului Orang Lain Hamil

Selain faktor-faktor yang telah disebutkan diatas, masih ada faktor di luar organ yang mempengaruhi ketidaksuburan, yaitu :

1. Faktor Usia

Usia berpengaruh terhadap masa reproduksi, artinya selama masih mengalami haid yang teratur kemungkinan ia masih bisa hamil. Kejadian infertilitas berbanding lurus dengan pertambahan usia perempuan. Perempuan dengan rentang 19-26 tahun memiliki kemungkinan untuk hamil dua kali lebih besar daripada perempuan dengan rentang usia antara 35-39 tahun (Hestiantoro, 2008).

Penelitian menunjukkan hanya sepertiga pria berumur diatas 40 tahun yang mampu menghamili istrinya dalam waktu 6 bulan dibanding dengan pria yang berumur dibawah 25 tahun. Selain itu, usia yang semakin tua juga mempengaruhi kualitas sel sperma (Kasdu, 2001)

2. Berat Badan

Jika seseorang memiliki berat badan yang berlebih (over weight) atau mengalami kegemukan (obesitas), atau yang memiliki lemak tubuh 10-15% diatas lemak tubuh normal, maka perempuan tersebut akan menderita gangguan pertumbuhan folikel di ovarium yang terkait dengan sebuah sindrom ovarium poli kistik. Di samping berat badan yang berlebih maka berat badan yang rendah juga dapat mengganggu fungsi fertilitas seorang perempuan. Zat gizi yang cukup seperti karbohidrat, lemak dan protein sangat diperlukan untuk


(8)

pembentukan hormon reproduksi, sehingga pada perempuan kurus akibat asupan gizi yang sangat kurang akan mengalami defesiensi hormon reproduksi yang berakibat terhadap peningkatan kejadian infertilitas pada perempuan tersebut (Kasdu, 2001).

3. Gaya Hidup

Gaya hidup yang dimaksud adalah pola makan dan kebiasaan sehari-hari. Merokok dapat menjadi salah satu penyebab infertilitas. Di samping itu penyalahgunaan obat narkotika juga dapat menurunkan produksi hormon reproduksi. Alkohol telah pula terbukti menjadi penyebab gagalnya preses implantasi (Kasdu, 2001).

4. Lingkungan

Beberapa zat polutan seperti saat ini dicurigai memiliki kaitan yang erat dengan tingginya kejadian infertilitas akibat endometriosis terutama bagi perempuan yang tinggal di daerah perkotaan (Kasdu, 2001).

2.1.1.4. Faktor Penyebab Infertilitas dari Segi Psikologis

Kesuburan wanita secara mutlak dipengaruhi oleh proses-proses fisiologis dan anatomis, di mana proses fisiologis tersebut berasal dari sekresi internal yang mempengaruhi kesuburan. Dalam hal ini kesuburan wanita itu merupakan satu unit psikosomatis yang selalu dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor psikis dan faktor organis atau fisis. Kesulitan-kesulitan psikologis ini berkaitan dengan koitus dan kehamilan, yang biasanya mengakibatkan ketidakmampuan wanita menjadi hamil. Pengalaman-pengalaman membuktikan, bahwa unsur ketakutan serta kecemasan


(9)

berkaitan dengan fungsi reproduksi yang menimbulkan dampak yang merintangi tercapainya orgasme pada koitus. Pada umumnya dinyatakan bahwa sebab yang paling banyak dari kemandulan adalah ketakutan-ketakutan yang tidak disadari atau yang ada dibawah sadar, yang infantile atau kekanak-kanakan sifatnya.

Penelitian kedokteran juga menemukan bahwa peningkatan kadar prolaktin dan kadar Lutheinizing Hormon (LH) berhubungan erat dengan masalah psikis. Kecemasan dan ketegangan cenderung mengacaukan kadar LH, serta kesedihan dan murung cenderung meningkatkan prolaktin. Kadar prolaktin yang tinggi dapat mengganggu pengeluaran LH dan menekan hormon gonadotropin yang mempengaruhi terjadinya ovulasi (Kasdu, 2001).

Perasaan tertekan atau tegang yang dialami wanita berpengaruh terhadap fungsi hipotalamus yang merupakan kelenjar otak yang mengirimkan sejumlah sinyal untuk mengeluarkan hormon stres keseluruh tubuh. Hormon stress yang terlalu banyak keluar dan lama akan mengakibatkan rangsangan yang berlebihan pada jantung dan melemahkan sistem kekebalan tubuh. Kelebihan hormon stres juga dapat mengganggu keseimbangan hormon, sistem reproduksi ataupun kesuburan. Pernyataan ini seperti dikemukakan oleh Mark Saver pada penelitiannya tahun 1995, mengenai Psychomatic Medicine yang menjelaskan bahwa wanita dengan riwayat tekanan jiwa kecil kemungkinan untuk hamil dibandingkan dengan wanita yang tidak mengalaminya. Hal ini terjadi karena wanita tersebut mengalami ketidakseimbangan hormon (hormon estrogen). Kelebihan hormon estrogen akan memberikan sinyal kepada hormon progesteron untuk tidak berproduksi lagi karena kebutuhannya sudah


(10)

mencukupi. Akibatnya akan terjadi kekurangan hormon progesteron yang berpengaruh terhadap proses terjadinya ovulasi (Kasdu, 2001).

2.1.2. Penatalaksanaan Infertilitas 2.1.2.1. Penatalaksanaan pada wanita

Langkah pertama adalah anamnesis, ini merupakan cara yang terbaik untuk mencari penyebab infertilitas pada wanita. Banyak faktor penting yang berkaitan dengan infertilitas dapat ditanyakan pada pasien. Anamnesis meliputi hal-hal berikut, misalnya lama fertilitas, riwayat haid, ovulasi, dan dismenorea, riwayat sanggama, frekuensi sanggama, dispareunia, riwayat komplikasi pascapartum, abortus, kehamilan ektopik, kehamilan terakhir, kontrasepsi yang pernah digunakan, pemeriksaan infertilitas dan pengobatan sebelumnya, riwayat penyakit sistematik (tuberkulosis, diabetes melitus, tiroid), pengobatan radiasi, sitostatika, alkoholisme, riwayat bedah perut/hipofisis/ginekologi, riwayat PID, PHS, leukorea, riwayat keluar ASI dan pengetahuan kesuburan.

Langkah kedua adalah analisis hormonal, dilakukan jika dari hasil anamnesis ditemukan riwayat, atau sedang mengalami gangguan haid, atau dari pemeriksaan dengan suhu basal badan ditemukan anovulasi. Hiperprolaktinemia menyebabkan gangguan sekresi GnRH yang akibatnya terjadi anovulasi. Kadar normal prolaktin adalah 5-25 ng/ml. Pemeriksaan dilakukan antara pukul 7 sampai 10. Jika ditemukan kadar prolaktin >50 ng/ml disertai gangguan haid, perlu dipikirkan ada tumor di hipofisis. Pemeriksaan gonadotropin dapat memberi informasi tentang penyebab tidak terjadinya haid.


(11)

Langkah III adalah uji pasca-sanggama. Tes ini dapat memberi informasi tentang interaksi antara sperma dan getah serviks. Jika hasil uji pasca senggama negatif, perlu dilakukan evaluasi kembali terhadap sperma. Hasil uji pasca senggama yang normal dapat menyimpulkan penyebab infertilitas suami.

Langkah IV adalah penilaian ovulasi. Penilaian ovulasi dapat diukur dengan pengukuran suhu basal badan (SBB). SBB dikerjakan setiap hari pada saat bangun pagi hari, sebelum bangkit dari tempat tidur, atau sebelum makan atau minum. Jika wanita memiliki siklus haid berovulasi, grafik akan memperlihatkan gambaran bifasik, sedangkan yang tidak berovulasi gambaran grafiknya monofasik.

Pada gangguan ovulasi idiopatik yang penyebabnya tidak diketahui, induksi ovulasi dapat dicoba dengan pemberian estrogen (umpan balik positif) atau antiestrogen (umpan balik negatif). Untuk umpan balik negatif, diberikan klomifen sitrat dosis 50-100 mg, mulai hari ke-5 sampai ke-9 siklus haid. Jika dengan pemberian estrogen dan klomifen sitrat tidak juga terjadi sekresi gonadotropin, untuk pematangan folikel terpaksa diberikan gonadotropin dari luar. Cara lain untuk menilai ovulasi adalah dengan USG. Jika diameter folikel mencapai 18-25 mm, berarti menunjukkan folikel yang matang dan tidak lama lagi akan terjadi ovulasi.

Langkah V yaitu pemeriksaan bakteriologi. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi dari vagina dan porsio. Infeksi akibat Clamydia trachomatis dan gonokokus sering menyebabkan sumbatan tuba. Jika ditemukan riwayat abortus berulang atau kelainan bawaan pada kehamilan sebelumnya perlu dilakukan pemeriksaan terhadap TORCH.


(12)

Langkah VI adalah analisis fase luteal. Kadar estradiol yang tinggi pada fase luteal dapat menghambat implantasi dan keadaan seperti ini sering ditemukan pada unexplained infertility. Pengobatan insufisiensi korpus luteum dengan pemberian sediaan progesteron alamiah. Lebih diutamakan progesteron intravagina dengan dosis 50- 200 mg daripada pemberian oral.

Langkah VII yaitu diagnosis tuba falopii. Karena makin meningkatnya penyakit akibat hubungan seksual, pemeriksaan tuba menjadi sangat penting. Tuba yang tersumbat, gangguan hormon, dan anovulasi merupakan penyebab tersering infertilitas. Untuk mengetahui kelainan pada tuba tersedia berbagai cara, yaitu uji insuflasi, histerosalpingografi, gambaran tuba falopii secara sonografi, hidrotubasi, dan laparoskopi. Penanganan pada tiap predisposisi infertilitas bergantung pada penyebabnya, termasuk pemberian antibiotik untuk infertilitas yang disebabkan oleh infeksi. (Timang, 2011)

2.1.2.2. Penatalaksanaan pada Pria

Umumnya adalah dengan analisis sperma. Dari hasil analisis sperma dapat terlihat kualitas dan kuantitas dari spermatozoa. Jika ditemukan fruktosa di dalam semen, harus dilakukan tindakan biopsi testis. Jika tidak ditemukan fruktosa di dalam semen, menunjukkan tidak adanya kelainan vesikula dan vasa seminalis yang bersifat congenital (Timang, 2011).

Perubahan gaya hidup yang sederhana dan yang terkoreksi, seperti perbaikan nutrisi, tidak membiasakan penggunaan celana yang panas dan ketat, serta harus


(13)

memperhatikan penggunaan lubrikans saat coital, jangan yang mengandung spermatisida (Ferrystoner, 2013)

2.1.3. Pencegahan Infertilitas

a. Berbagai macam infeksi diketahui menyebabkan infertilitas terutama infeksi prostate, buah zakar, maupun saluran sperma. Karena itu, setiap infeksi di daerah tersebut harus ditangani serius.

b. Beberapa zat dapat meracuni sperma. Banyak penelitian menunjukkan pengaruh buruk rokok terhadap jumlah dan kualitas sperma.

c. Alkohol dalam jumlah banyak dihubungkan dengan rendahnya kadar hormon testosteron yang tentunya akan menganggu pertumbuhan sperma.

d. Seringkali sebabkan oleh penyakit menular seksual, karena itu dianjurkan untuk menjalani perilaku seksual yang aman guna meminimalkan risiko kemandulan dimasa yang akan datang.

e. Imunisasi gondongan/mumps telah terbukti mampu mencegah gondongan dan komplikasinya pada pria (orkitis). Kemandulan akibat gondongan bisa dicegah dengan menjalani imunisasi gondongan.

f. Beberapa jenis alat kontrasepsi memiliki risiko kemandulan lebih tinggi misalnya IUD. IUD tidak dianjurkan untuk dipakai pada wanita yang belum pernah memiliki anak. (Ferrystoner, 2013).

2.1.4. Respon Psikologis Pasangan yang Mengalami Infertilitas

Beberapa budaya menganggap suatu ketidaksuburan merupakan tanggungjawab perempuan. Ketidakmampuan perempuan untuk mengandung


(14)

dihubungkan dengan dosa-dosanya, perbuatan yang tidak senonoh dimasa lalu, dan menunjukkan bahwa perempuan adalah individu yang tidak adekuat (Anwar, 1997; Olds, London, Ladewig, 2000). Perempuan pada awalnya merasa bahwa dirinya adalah penyebab ketidaksuburan, dan seringkali perempuan yang pertama divonis oleh masyarakat sebagai individu penyebab masalah tanpa melihat terlebih dahulu penyebabnya (perempuan atau laki-laki). Masalah infertilitas juga menyebabkan stres pada laki-laki, namun stres lebih banyak dan lebih cepat dialami oleh perempuan (Watkins & Baldo, 2005). Tidak jarang kekerasan dalam rumah tangga terjadi akibat ketidakadilan memandang masalah terkait infertilitas, sehingga pada akhirnya perempuan yang menjadi korban baik secara fisik, ekonomi, seksual maupun psikososial (Greil, 1997 dalam Benyamini, Gozlan & Kokia, 2004; Gibson & Myer, 2002 dalam Watkins & Baldo, 2004; Old, London & Ladewig, 2000).

Isu ketidaksuburan secara fisik memang tidak mengancam kehidupan dan bukan merupakan suatu penyakit, namun dampak psikologis yang terjadi mungkin dapat sebanding dengan penyakit kronis (Anwar, 1997; Benyamini, Gozlan & Kokia, 2004). Adanya konflik-konflik emosional dan penghayatan perasaan akan dirinya berbeda dengan wanita yang memiliki anak akan mengurangi kegembiraan dan kebahagiaanya. Disisi lain, kebahagiaan dan kegembiraan dalam kehidupan seseorang merupakan indikator yang penting bagi kesehatan mental.

Masalah kehamilan, melahirkan anak dan menjadi seorang ibu merupakan isu yang sangat kompleks dalam masyarakat. Perempuan yang mengalami infertilitas sering mendapat stigma yang berat. Hal tersebut disebabkan, secara tradisional ibu


(15)

didefenisikan secara biologis yaitu perempuan yang hamil, melahirkan kemudian mengasuh sedangkan bapak lebih didefenisikan secara sosial,laki-laki membutuhkan anak sebagai ahli waris, penerus garis keluarga dan untuk menunjukkan maskulinitas mereka (Hardy & Makach, 2001; Widge, 2001).

Pada umumnya perempuan akan menginternalisasi perannya sebagai ibu yang harus melahirkan anak, sehingga ketika pasutri menghadapi masalah infertilitas, maka perempuan akan merasa tidak mempunyai nilai, dan ditandai dengan timbulnya perasaan takut, cemas dan lain-lain. Masalah utama infertilitas secara sosial adalah berhubungan dengan kekeluargaan, warisan, pola perkawinan dan perceraian. Hal ini akan mengancam identitas kewanitaan, legalitas wanita sebagai istri, stabilitas perkawinan mereka, ikatan dan perannya dalam keluarga dan masyarakat, harga diripun menurun sehingga timbul frustasi dan perasaan tidak berdaya (Lee, Sun & Chao; Widge, 2001).

Masalah psikologis yang terjadi pada wanita yang menghadapi infertilitas juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Lee (2001) terhadap yang mengalami infertilitas di Thailand memperoleh hasil terjadinya peningkatan kecemasan dan ketegangan pada perempuan yang mengalami infertilitas. Kecemasan dan ketegangan ini mengganggu dalam berhubungan dengan orang lain karena adanya sikap curiga yang berlebihan ketika berbicara dengan orang lain dan mudah terpicunya emosi jika ada pernyataan orang lain yang dianggap menyinggung harga dirinya sebagai perempuan (Anggraeni, 2009)


(16)

Hasil penelitian Tabong and Adongo, 2013 di Ghana Utara, yang meneliti pengalaman pasangan infertil menunjukkan bahwa mereka merasa tertekan, frustrasi, menarik diri dari pergaulan, merasa terhina dan dianggap terkutuk bukan hanya di dunia tetapi juga di akhirat. Perempuan dilaporkan lebih khawatir tentang ketidakmampuan mereka untuk melahirkan anak daripada laki-laki. Perempuan tanpa anak-anak di usia tua mereka sering dicap sebagai penyihir dan ditinggalkan oleh keluarga mereka.

Perempuan tersebut tidak diperbolehkan untuk berinteraksi dengan anak-anak orang lain karena mereka dianggap bisa menyihir dan menyebabkan kematian anak-anak orang lain. Wanita infertil berbahaya bagi masyarakat di usia tua mereka karena mereka menjadi iri terhadap anak orang lain dan dapat menyebabkan kematian anak-anak orang lain. Ketidakbahagiaan mereka juga memiliki dampak langsung pada kehidupan seksual mereka yakni berkurangnya minat dalam aktivitas seksual dengan pasangan mereka.

Beberapa reaksi psikologis pada pasangan yang mengalami infertilitas : 1. Shock

Shock dan terkejut merupakan reaksi awal yang sering ditemui pada pasangan infertilitas, biasanya pada pasangan yang sehat berharap tidak ada masalah untuk bisa mempunyai keturunan. Reaksi mereka berbeda-beda tergantung dari kepribadian, citra diri dan kekuatan hubungan diantara pasangan.


(17)

2. Guilt

Salah satu pasangan yang di diagnosa mengalami masalah infertilitas mungkin merasa bersalah karena dia yang menyebabkan tidak bisa mempunyai anak. Menyesali perilaku masa lalu yang ternyata mempengaruhi kesuburan mereka, seperti praktek seksual yang tidak sehat yang mengakibatkan infeksi pada organ reproduksi.

3. Isolation

Pasangan yang mengalami masalah infertilitas seringkali merasa berbeda dari pasangan lain yang subur, mereka mungkin mengisolasi diri dari orang-orang, untuk menghindari rasa sakit emosional, dengan melakukan itu mereka juga mengisolasi diri dari sumber-sumber dukungan.

4. Depression

Salah satu atau kedua pasangan yang mengalami infertilitas mungkin mengalami depresi, terutama jika terapi tidak berhasil dengan cepat. Harapan dan keputusasaan untuk hamil datang silih berganti di setiap siklus menstruasi, tetapi dalam jangka waktu panjang utuk mengurangi kekecewaan mereka mencoba untuk tidak terlalu berharap banyak. Dalam hal ini mungkin pasangan pun bisa marah dan menghakimi orang lain.

Infertilitas memberikan dampak yang besar pada kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang. Proses pengobatan infertilitas merupakan metode invasif yang membutuhkan waktu yang lama dan merupakan prosedur yang membuat tidak nyaman.


(18)

Banyak pasangan yang merasa ternoda dan malu karena mereka mengalami infertilitas. Pengalaman infertilitas membuat mereka terisolasi sehingga menimbulkan stres dan cemas dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari mereka. Tingkat keberhasilan pengobatan rendah, sehingga banyak pasangan yang mengalami kesedihan dan kehilangan yang berulang sehingga membuat depresi. Biaya pengobatan yang harus dikeluarkan juga dapat membuat stres pasangan yang sedang menjalani pengobatan. Masalah emosi yang muncul pada pasangan yang infertil yaitu, kehilangan harga diri, berkabung, ancaman, rasa bersalah, masalah perkawinan dan juga masalah kesehatan.

2.2. Mekanisme Koping 2.2.1. Pengertian Koping

Koping berasal dari kata coping yang bermakna harafiah pengatasan atau penanggulangan (to cope with artinya mengatasi/menanggulangi).

Koping adalah bagaimana reaksi orang ketika menghadapi stres atau tekanan. Koping sering dimaknai sebagai cara memecahkan masalah (problem solving). Pemecahan masalah lebih mengarah pada proses kognitif dan persoalan yang juga bersifat kognitif.

Koping diartikan sebagai apa yang dilakukan oleh individu untuk menguasai situasi yang dinilai sebagai suatu tantangan/luka/kehilangan atau ancaman. Jadi koping lebih mengarah pada apa yang orang lakukan untuk mengatasi tuntutan-tuntutan yang penuh tekanan atau yang membangkitkan emosi (Siswanto, 2007).


(19)

2.2.2. Pengertian Mekanisme Koping

Mekanisme koping merupakan tiap upaya yang ditujukan untuk penatalaksanaan stres, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan ego yang digunakan untuk melindungi diri (Stuart, 2007)

Mekanisme koping terbentuk melalui proses belajar dan mengingat, yang dimulai sejak awal timbulnya stressor dan saat mulai disadari dampak stressor tersebut. Kemampuan belajar ini tergantung pada kondisi eksternal dan internal, sehingga yang berperan bukan hanya bagaimana lingkungan membentuk stressor tetapi juga kondisi temperamen individu, persepsi, serta kognisi terhadap stressor tersebut.

Mekanisme koping bersumber dari ego, sering di sebut sebagai mekanisme pertahanan mental, yaitu yang terdiri dari; denial ( menyangkal) menghindarkan realitas ketidak setujuan dengan mengabaikan atau menolak untuk mengenalinya, projeksi yaitu mekanisme perilaku dengan menempatkan sifat-sifat batin sendiri pada objek di luar diri atau melemparkan kekurangan diri sendiri pada orang lain, regresi yaitu menghindarkan stres terhadap karakteristik perilaku dari tahap perkembangan yang lebih awal, displacement (mengisar) yaitu mengalihkan emosi yang seharusnya diarahkan pada orang atau benda tertentu ke benda atau orang yang netral atau tidak membahayakan, mencari dukungan sosial seperti keluarga mencari dukungan atau bantuan dari keluarga, tetangga, teman atau keluarga jauh, reframing yaitu mengkaji ulang kejadian stres agar lebih dapat menanganinya dan menerimanya, mencari dukungan spiritual seperti mencari dan berusaha secara spiritual, berdoa, menemui


(20)

pemuka agama atau aktif pada pertemuan ibadah, dan yang terakhir adalah menggerakkan keluarga untuk dapat menerima bantuan, keluarga berusaha mencari sumber-sumber komunitas dan menerima bantuan orang lain.

Mekanisme koping yang berorientasi pada tugas digunakan untuk menyelesaikan masalah, menyelesaikan konflik dan memenuhi kebutuhan dasar. Terdapat 3 macam reaksi yang berorientasi pada tugas yaitu; prilaku menyerang (Fight), prilaku menarik diri (withdrawl), dan kompromi (Rasmun, 2004).

Pada prilaku menyerang, individu menggunakan energinya untuk melakukan perlawanan dalam rangka mempertahankan integritas pribadinya. Prilaku yang ditampilkan dapat merupakan tindakan konstruktif maupun destruktif yaitu tindakan agresif (menyerang) terhadap obyek, dapat berupa benda, barang, orang lain atau bahkan terhadap diri sendiri. Sedangkan tindakan konstruktif adalah upaya individu dalam menyelesaikan masalah secara asertif, yaitu dengan kata-kata terhadap rasa ketidak senangannya. Seperti kompromi juga merupakan tindakan konstruktif yang dilakukan oleh individu untuk menyelesaikan masalah. Lazimnya kompromi dilakukan dengan cara bermusyawarah atau negosiasi untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Secara umum kompromi dapat mengurangi ketegangan dan masalah dapat diselesaikan.

Prilaku menarik diri adalah perilaku yang menunjukkan pengasingan diri dari lingkungan dan orang lain, jadi secara fisik dan psikologis individu secara sadar pergi meninggalkan lingkungan yang menjadi sumber stressor misalnya; individu melarikan diri dari sumber stres, menjauhi sumber beracun, polusi dan sumber


(21)

infeksi. Sedangkan reaksi psikologis individu menampilkan diri seperti apatis, pendiam dan munculnya perasaan tidak berminat yang menetap pada individu (Rasmun, 2004).

Menurut Stuart dan Sundeen (2005), mekanisme koping juga dapat di golongkan menjadi 2 (dua) yaitu : mekanisme koping adaptif dan mekanisme koping maladaptif. Mekanisme koping adaptif merupakan mekanisme yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang dan aktivitas konstruktif (kecemasan yang dianggap sebagai sinyal peringatan dan individu menerima peringatan dan individu menerima kecemasan itu sebagai tantangan untuk di selesaikan). Sedangkan mekanisme koping maladaptif adalah mekanisme yang menghambat fungsi integrasi, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah makan berlebihan/tidak makan, bekerja berlebihan, menghindar dan aktivitas destruktif (mencegah suatu konflik dengan melakukan pengelakan terhadap solusi).

2.2.3. Mekanisme Koping Perempuan yang Mengalami Infertilitas

Penelitian yang dilakukan oleh Tirtaonggana (2005) menunjukkan meskipun infertilitas merupakan stressor yang berat namun tidak semua pasangan memiliki sikap yang negatif, terdapat pasangan yang semakin menguatkan komitmen pernikahan, mendekatkan diri kepada Tuhan, saling menguatkan agar sabar, mencari alternatif sebagai solusi terhadap masalah ketidakhadiran seorang anak dengan cara bertanya terhadap tenaga kesehatan yang menangani masalahnya dan berbagi dengan


(22)

pasangan lain yang memiliki masalah yang sama. Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya pengaruh positif dukungan yang diberikan kepada perempuan dengan masalah infertilitas.

Jika individu berada pada posisi stress manusia akan menggunakan berbagai cara untuk mengatasinya, individu dapat menggunakan satu atau lebih sumber koping yang tersedia. Seseorang yang mengalami masalah serius dan dianggap sebagai penyakit akan menunjukkan kesadaran yang tinggi terhadap kepercayaannya yang tampak pada perilakunya sehari-hari. Individu memerlukan segala usaha untuk mengatasi stress akibat kondisi yang dialaminya.

Memiliki strategi koping sangat penting untuk melanjutkan hidup tanpa anak-anak . Mekanisme koping tergantung pada sumber daya internal seperti kekuatan batin, rasa percaya diri, dan penerimaan yang benar tentang nasib mereka, mampu bergantung pada struktur dukungan atau mencoba untuk melanjutkan dengan berfokus pada masa depan.

Mekanisme koping dapat digunakan individu untuk memecahkan masalah, koping yang efektif akan membantu individu terbebas dari stress yang berkepanjangan(Tabong and Adongo, 2013).

Studi tentang mekanisme koping pada penderita infertilitas menunjukkan bahwa mekanisme koping memiliki keterkaitan dengan respon individu dalam menghadapi masalah, hasil studi menunjukkan bahwa perempuan penderita infertilitas mengalami respon kesedihan, cemas, cemburu/iri, isolasi dan marah. Dalam mengatasi masalah berkaitan dengan infertilitas pasangan menggunakan


(23)

mekanisme koping dengan cara melakukan pengobatan secara medis maupun non medis, mencari informasi, pasrah dan berdoa, berusaha sabar, mengambil hikmah dari kondisi dan mencari dukungan keluarga, teman serta menceritakan masalah kepada orang lain.

Penelitian yang dilakukan oleh Ernestine S Donker and Jane Sandall tentang strategi koping perempuan dalam mencari pengobatan infertilitas di Ghana Utara menunjukkan bahwa mekanisme koping yang dilakukan oleh para perempuan adalah 95 % mempunyai harapan situasinya akan berubah, menceritakan masalah kepada orang lain untuk mendapatkan solusi, 41 % mencari pengobatan dari profesional, 85 % menyimpan perasaannya sendiri dan 95 % percaya bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik.

Hasil studi Davis & Dearman di Amerika menunjukkan banyak perempuan yang mengalami kesedihan mendalam dan frustasi, dengan melampiaskan emosi dan menangis biasanya mereka akan merasa lebih baik. Woolet, dalam sebuah studi di Amerika Serikat menemukan bahwa koping yang dilakukan perempuan yang infertil adalah mencari bantuan medis dan menambah pengetahuan mengenai infertilitas. Hasil penelitian Parry di Amerika Serikat, Unisa di India dan Davis & Dearman di Amerika Serikat menunjukkan bahwa mekanisme koping yang dilakukan perempuan adalah dengan banyak membaca dan belajar mengenai keadaan mereka, berdoa dan percaya bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik.


(24)

2.3. Infertilitas Dilihat dari Faktor Budaya

Berbagai budaya di belahan dunia masih menggunakan simbol dan upacara adat untuk merayakan fertilitas ataupun keberhasilan pasangan dalam memperoleh keturunan. Salah satu upacara yang masih bertahan sampai saat ini ialah adat istiadat melempar beras ke arah pengantin pria dan wanita. Ada juga yang memberikan rokok, permen ataupun pensil sebagai ucapan selamat kepada pria yang baru menjadi ayah sebagai antisipasi kelahiran anak. Banyak budaya yang masih menjamur terutama ditengah-tengah masyarakat kita yang menyatakan bahwa suatu ketidaksuburan itu merupakan tanggung jawab wanita (Ferrystoner, 2013).

Beberapa budaya menganggap suatu ketidaksuburan merupakan tanggungjawab perempuan. Terlepas dari penyebab medis infertilitas, perempuan menerima kesalahan utama atas kemunduran reproduksi dan mereka menderita kesedihan pribadi dan frustrasi, stigma sosial, pengucilan dan kesulitan ekonomi yang serius (Tabong and Adongo, 2013). Ketidakmampuan perempuan untuk mengandung dihubungkan dengan dosa-dosanya, perbuatan yang tidak senonoh dimasa lalu, dan menunjukkan bahwa perempuan adalah individu yang tidak adekuat (Anwar, 1997; Olds, London, Ladewig, 2000). Perempuan pada awalnya merasa bahwa dirinya adalah penyebab ketidaksuburan, dan seringkali perempuan yang pertama divonis oleh masyarakat sebagai individu penyebab masalah tanpa melihat terlebih dahulu penyebabnya (perempuan atau laki-laki).

Masalah infertilitas juga menyebabkan stres pada laki-laki, namun stres lebih banyak dan lebih cepat dialami oleh perempuan (Watkins & Baldo, 2005). Tidak


(25)

jarang kekerasan dalam rumah tangga terjadi akibat ketidakadilan memandang masalah terkait infertilitas, sehingga pada akhirnya perempuan yang menjadi korban baik secara fisik, ekonomi, seksual maupun psikososial (Greil, 1997 dalam Benyamini, Gozlan & Kokia, 2004; Gibson & Myer, 2002 dalam Watkins & baldo 2004; Old, London & Ladewig 2000).

Di Kamerun, infertilitas adalah alasan untuk perceraian pada suku Bangangte yang menyebabkan seorang wanita kehilangan aksesnya dan sama sekali tidak dihargai terutama oleh keluarga suaminya. Di Mesir, perempuan harus menjalani ritual yang rumit yang dikenal sebagai Kabsa dalam upaya untuk mengatasi ketidaksuburan. Di Nigeria Barat, perempuan diperlakukan sebagai orang buangan dan setelah mereka mati, mayat mereka dimakamkan di pinggiran kota dengan orang-orang orang-orang yang mengalami sakit gangguan mental (Tabong and Adongo, 2013).

2.3.1. Infertilitas Menurut Suku Karo

Karo adalah salah Suku Bangsa yang mendiami Utara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama Kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yait

Suku Karo memiliki sistem kemasyarakatan ata

nama merga silima, tutur siwaluh, da

sedangkan untberu. Merga atau beru ini disandang di belakang nama seseorang. Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok, yang disebut dengan merga silima.


(26)

Masyarakat Karo merupakan masyarakat yang menganut budaya patrilineal. Dalam masyarakat patrilineal suami merupakan pengambil keputusan tertinggi dalam keluarga, termasuk keputusan perempuan untuk menentukan hak-hak reproduksinya.

Dalam filosofi Karo, tujuan hidup seseorang adalah untuk mendapatkan

kesangapen (hidup sejahtera), yaitu ertuah (mempunyai keturunan) dan bayak

(memiliki kekayaan), yang artinya jika salah satunya tidak terpenuhi maka hidupnya dikatakan tidak sejahtera. Tugas perkawinan dalam suku Karo salah satunya adalah sebagai sarana untuk meneruskan keturunan (fungsi reproduksi). Mendapatkan keturunan bagi masyarakat Karo, adalah hal yang amat penting. Walaupun dengan perkembangan pemikiran yang semakin maju masyarakat Karo lebih gembira lagi apabila mempunyai anak laki-laki, karena ini berhubungan dengan penerus keturunan dari klannya.

Masyarakat Karo menilai bahwa perempuan yang tidak bisa memiliki anak itu dianggap kurang sempurna, dalam pandangan masyarakat Karo sebagian membaca orang dengan istilah subur dan tidak subur, subur itu bagus, tidak subur itu berarti sulit untuk mempunyai anak. Guyonan yang beredar di masyarakat Karo orang yang mempunyai anak tempat duduknya panas, sehingga kalau kita duduk di tempat bekas perempuan kemudian panas, berarti dia anaknya banyak.

Dalam tradisi Karo, belum mengenal terapi medis untuk mendeteksi dan mengobati infertilitas, biasanya hanya terapi pijat dan melakukan acara “Nengget. (komunikasi interpersonal dengan Toma, tanggal 18 Februari 2014)


(27)

Nengget adalah salah satu jenis upacara religi yang sampai saat sekarang ini masih dilaksanakan atau masih diyakini oleh masyarakat etnik Karo. Nengget itu sendiri berarti engadakan kejutan pada keluarga yang sudah lama menikah tetapi belum memiliki keturunan. Nengget secara harafiah berarti membuat kejutan atau membuat orang terkejut. Upacara ini dilakukan dengan harapan jika tendi atau jiwanya dibuat terkejut dan dipermalukan maka akan ada harapan nantinya pasangan ini akan segera mendapatkan keturunan (komunikasi interpersonal dengan Toma, tanggal 18 Februari 2014).

Menurut suku bangsa Karo keadaan 'terkejut' mempunyai fungsi yang besar sekali hubungannya dengan prokreasi (melanjutkan keturunan). Keadaan terkejut sengaja diciptakan untuk menghasilkan sebuah proses yang dipercayai dapat membawa dampak yang baik bagi pasangan suami istri (pasutri) yang belum memperoleh keturunan, maupun bagi sebuah keluarga yang belum mempunyai anak yang berjenis kelamin laki-laki.

Mendapatkan anak bagi masyarakat Karo adalah suatu hal yang amat penting. Walaupun dengan perkembangan pemikiran yang semakin maju masyarakat Karo lebih gembira lagi apabila mempunyai anak laki-laki, karena hal ini berhubungan dengan penerus keturunan dari klannya, dimana masyarakat Karo menganut garis keturunan berdasarkan garis ayahnya (paternalistik). Namun akibat faktor-faktor biologis dan non-biologis banyak juga pasangan suami istri yang belum mendapatkan keturunan walaupun telah bertahun-tahun membina hubungan rumah tangga.


(28)

Nengget secara harafiah berarti membuat orang terkejut. Nengget erat kaitannya dengan konteks adat-istiadat, dimana di dalam adat nggeluh (adat orang hidup) orang Karo diatur berdasarkan "merga silima, rakut si telu dan tutur si waluh”. Wujudnya ada tiga kelompok dalam masyarakat Karo, yaitu kalimbubu (pihak pemberi wanita), senina (saudara), dan anak beru (pihak penerima wanita). Berhubungan dengan nengget tersebut, maka ada beberapa jenis nengget yang ada sesuai dengan fungsinya, yaitu :

1. Nengget, yaitu upacara tradisional yang dilakukan menurut adat karo, berupa melakukan kejutan bagi keluarga dengan harapan agar keluarga itu memperoleh anak (laki-laki dan perempuan). Peralatan untuk nengget ini adalah uis

arinteneng, uis kapal (ndawa), batu (simbol anak), tumba beru-beru (tempat air),

lau simalem-malem, gendang, serta makanan (sangkep). Pada malam yang

ditentukan keluarga itu disenggeti (dikejutkan) oleh simehangkenya (seperti turangkunya) dari keluarga itu sambil berkata: "Emaka mupus... dilaki/diberu ningku si Anu, adi lang ngayak mate kita la rebu!!". Kemudian suami istri itu diosei secara terbalik, yaitu laki-laki berpakaian wanita dan si wanita berpakaian laki-laki. Setelah acara ini biasanya makan atau bisa juga dilanjutkan dengan acara menari. Di Karo Jahe biasanya sebelum disenggeti alat musik gung dan gendang biasanya dipukul terlebih dahulu. Setelah makan kemudian diberikan sen

penjujuri (gantang tumba) dan mereka biasanya didudukkan kembali seperti


(29)

2. Lentarken, yaitu upacara nengget yang dilakukan ketika ada yang meninggal dunia atau pada acara nurun-nurun. Pelaksanaannya dilakukan yakni ketika sedang menari keluarga yang tidak mempunyai keturunan itu tiba-tiba ditangkap oleh turangkunya (rebunya) masing-masing, kemudian dilentarken (ditangkap) dan selanjutnya diosei secara terbalik seperti pada acara nengget. Setelah ditangkap kemudian diarak dan acara menari.

3. Jera la mupus, yaitu upacara nengget yang diadakan pada acara memasuki rumah

baru (mbengket rumah mbaru atau sumalin jabu). Nengget ini dilakukan ketika yang empunya rumah yang belum mempunyai keturunan mau memasuki rumah baru, kemudian di depan pintu masuknya mereka dihalangi oleh rebunya sambil berkata "Ma jera kam la mupus?" Maka oleh yang empunya rumah dijawab "Jera!". Hal ini dilakukan sebanyak empat kali. Bilangan empat ini juga tentunya mempunyai makna, yaitu selpat (putus hubungan) dengan hal-hal yang tidak baik. Setelah empat kali ditanya, maka mereka diperbolehkan memasuki rumah barunya.

4. Sengget, yaitu terkejut. Terkejut ini mempunyai beberapa proses yang mempunyai

arti bagi masyarakat Karo. Misalnya seseorang yang terkejut dapat menjadi sakit karena ditinggalkan oleh tendi (roh). Tendinya ini bisa jadi kicat (terjepit) di sebuah batu, di sebuah tempat yang angker dan sebagainya. Untuk melepaskan

tendi ini maka biasanya juga dilakukan upacara melepas tendi ini seperti raleng

tendi, ngkiap tendi, ngkicik tendi, ngkirep tendi dan sebagainya. Sebagai upah


(30)

persembahan) yang dilepas. Sebagai tanda apabila kahul tersebut diterima, yaitu ayam tersebut dimakan oleh elang.

Menurut tradisi Karo, kalau keluarga tidak mempunyai anak, maka yang disalahkan adalah istrinya, perempuan diasumsikan sebagai tanah, kalau tanah ditanami tidak tumbuh berarti yang salah adalah tanahnya, begitu juga kalau seorang perempuan yang tidak mempunyai anak, maka dialah yang selalu disalahkan. Istilah yang diberikan kepada perempuan yang tidak mempunyai keturunan adalah “la

ertuah, diberu sial atau mandul”.

Si istri yang selalu disarankan untuk melakukan terapi pijat tradisional atau urut oleh orang yang dipercaya dapat mengembalikan kesuburan atau memperbaiki kesuburan agar dapat segera hamil. Jika ada kegelisahan terhadap diri masing-masing kemudian ada kesepakatan, dalam rangka menutupi aib, maka dapat dilakukan

“pinjam jago” yaitu si istri melakukan hubungan dengan saudara laki-laki suami

yang dianggap bisa memberi keturunan dan keturunannya memiliki marga yang sama, tetapi hal ini dirahasiakan dari keluarga maupun kerabat lainnya karena ini demi kehormatan berdua, sehingga keluarga itu dianggap sempurna, tapi di jaman sekarang ini, kemungkinan ini sudah sangat jarang (komunikasi interpersonal dengan Toma, tanggal 18 Februari 2014).


(31)

2.4. Kerangka Pikir

Gambar 2.1. Kerangka Pikir Penelitian

Mekanisme Koping Infertilitas pada

Suku Karo


(1)

Masyarakat Karo merupakan masyarakat yang menganut budaya patrilineal. Dalam masyarakat patrilineal suami merupakan pengambil keputusan tertinggi dalam keluarga, termasuk keputusan perempuan untuk menentukan hak-hak reproduksinya.

Dalam filosofi Karo, tujuan hidup seseorang adalah untuk mendapatkan kesangapen (hidup sejahtera), yaitu ertuah (mempunyai keturunan) dan bayak (memiliki kekayaan), yang artinya jika salah satunya tidak terpenuhi maka hidupnya dikatakan tidak sejahtera. Tugas perkawinan dalam suku Karo salah satunya adalah sebagai sarana untuk meneruskan keturunan (fungsi reproduksi). Mendapatkan keturunan bagi masyarakat Karo, adalah hal yang amat penting. Walaupun dengan perkembangan pemikiran yang semakin maju masyarakat Karo lebih gembira lagi apabila mempunyai anak laki-laki, karena ini berhubungan dengan penerus keturunan dari klannya.

Masyarakat Karo menilai bahwa perempuan yang tidak bisa memiliki anak itu dianggap kurang sempurna, dalam pandangan masyarakat Karo sebagian membaca orang dengan istilah subur dan tidak subur, subur itu bagus, tidak subur itu berarti sulit untuk mempunyai anak. Guyonan yang beredar di masyarakat Karo orang yang mempunyai anak tempat duduknya panas, sehingga kalau kita duduk di tempat bekas perempuan kemudian panas, berarti dia anaknya banyak.

Dalam tradisi Karo, belum mengenal terapi medis untuk mendeteksi dan mengobati infertilitas, biasanya hanya terapi pijat dan melakukan acara “Nengget. (komunikasi interpersonal dengan Toma, tanggal 18 Februari 2014)


(2)

Nengget adalah salah satu jenis upacara religi yang sampai saat sekarang ini masih dilaksanakan atau masih diyakini oleh masyarakat etnik Karo. Nengget itu sendiri berarti engadakan kejutan pada keluarga yang sudah lama menikah tetapi belum memiliki keturunan. Nengget secara harafiah berarti membuat kejutan atau membuat orang terkejut. Upacara ini dilakukan dengan harapan jika tendi atau jiwanya dibuat terkejut dan dipermalukan maka akan ada harapan nantinya pasangan ini akan segera mendapatkan keturunan (komunikasi interpersonal dengan Toma, tanggal 18 Februari 2014).

Menurut suku bangsa Karo keadaan 'terkejut' mempunyai fungsi yang besar sekali hubungannya dengan prokreasi (melanjutkan keturunan). Keadaan terkejut sengaja diciptakan untuk menghasilkan sebuah proses yang dipercayai dapat membawa dampak yang baik bagi pasangan suami istri (pasutri) yang belum memperoleh keturunan, maupun bagi sebuah keluarga yang belum mempunyai anak yang berjenis kelamin laki-laki.

Mendapatkan anak bagi masyarakat Karo adalah suatu hal yang amat penting. Walaupun dengan perkembangan pemikiran yang semakin maju masyarakat Karo lebih gembira lagi apabila mempunyai anak laki-laki, karena hal ini berhubungan dengan penerus keturunan dari klannya, dimana masyarakat Karo menganut garis keturunan berdasarkan garis ayahnya (paternalistik). Namun akibat faktor-faktor biologis dan non-biologis banyak juga pasangan suami istri yang belum mendapatkan keturunan walaupun telah bertahun-tahun membina hubungan rumah tangga.


(3)

Nengget secara harafiah berarti membuat orang terkejut. Nengget erat kaitannya dengan konteks adat-istiadat, dimana di dalam adat nggeluh (adat orang hidup) orang Karo diatur berdasarkan "merga silima, rakut si telu dan tutur si waluh”. Wujudnya ada tiga kelompok dalam masyarakat Karo, yaitu kalimbubu (pihak pemberi wanita), senina (saudara), dan anak beru (pihak penerima wanita). Berhubungan dengan nengget tersebut, maka ada beberapa jenis nengget yang ada sesuai dengan fungsinya, yaitu :

1. Nengget, yaitu upacara tradisional yang dilakukan menurut adat karo, berupa melakukan kejutan bagi keluarga dengan harapan agar keluarga itu memperoleh anak (laki-laki dan perempuan). Peralatan untuk nengget ini adalah uis arinteneng, uis kapal (ndawa), batu (simbol anak), tumba beru-beru (tempat air), lau simalem-malem, gendang, serta makanan (sangkep). Pada malam yang ditentukan keluarga itu disenggeti (dikejutkan) oleh simehangkenya (seperti turangkunya) dari keluarga itu sambil berkata: "Emaka mupus... dilaki/diberu ningku si Anu, adi lang ngayak mate kita la rebu!!". Kemudian suami istri itu diosei secara terbalik, yaitu laki-laki berpakaian wanita dan si wanita berpakaian laki-laki. Setelah acara ini biasanya makan atau bisa juga dilanjutkan dengan acara menari. Di Karo Jahe biasanya sebelum disenggeti alat musik gung dan gendang biasanya dipukul terlebih dahulu. Setelah makan kemudian diberikan sen penjujuri (gantang tumba) dan mereka biasanya didudukkan kembali seperti pengantin baru (mukul).


(4)

2. Lentarken, yaitu upacara nengget yang dilakukan ketika ada yang meninggal dunia atau pada acara nurun-nurun. Pelaksanaannya dilakukan yakni ketika sedang menari keluarga yang tidak mempunyai keturunan itu tiba-tiba ditangkap oleh turangkunya (rebunya) masing-masing, kemudian dilentarken (ditangkap) dan selanjutnya diosei secara terbalik seperti pada acara nengget. Setelah ditangkap kemudian diarak dan acara menari.

3. Jera la mupus, yaitu upacara nengget yang diadakan pada acara memasuki rumah baru (mbengket rumah mbaru atau sumalin jabu). Nengget ini dilakukan ketika yang empunya rumah yang belum mempunyai keturunan mau memasuki rumah baru, kemudian di depan pintu masuknya mereka dihalangi oleh rebunya sambil berkata "Ma jera kam la mupus?" Maka oleh yang empunya rumah dijawab "Jera!". Hal ini dilakukan sebanyak empat kali. Bilangan empat ini juga tentunya mempunyai makna, yaitu selpat (putus hubungan) dengan hal-hal yang tidak baik. Setelah empat kali ditanya, maka mereka diperbolehkan memasuki rumah barunya.

4. Sengget, yaitu terkejut. Terkejut ini mempunyai beberapa proses yang mempunyai arti bagi masyarakat Karo. Misalnya seseorang yang terkejut dapat menjadi sakit karena ditinggalkan oleh tendi (roh). Tendinya ini bisa jadi kicat (terjepit) di sebuah batu, di sebuah tempat yang angker dan sebagainya. Untuk melepaskan tendi ini maka biasanya juga dilakukan upacara melepas tendi ini seperti raleng tendi, ngkiap tendi, ngkicik tendi, ngkirep tendi dan sebagainya. Sebagai upah kepada roh yang menahan tendi ini biasanya adalah manuk kahul (ayam


(5)

persembahan) yang dilepas. Sebagai tanda apabila kahul tersebut diterima, yaitu ayam tersebut dimakan oleh elang.

Menurut tradisi Karo, kalau keluarga tidak mempunyai anak, maka yang disalahkan adalah istrinya, perempuan diasumsikan sebagai tanah, kalau tanah ditanami tidak tumbuh berarti yang salah adalah tanahnya, begitu juga kalau seorang perempuan yang tidak mempunyai anak, maka dialah yang selalu disalahkan. Istilah yang diberikan kepada perempuan yang tidak mempunyai keturunan adalah “la ertuah, diberu sial atau mandul”.

Si istri yang selalu disarankan untuk melakukan terapi pijat tradisional atau urut oleh orang yang dipercaya dapat mengembalikan kesuburan atau memperbaiki kesuburan agar dapat segera hamil. Jika ada kegelisahan terhadap diri masing-masing kemudian ada kesepakatan, dalam rangka menutupi aib, maka dapat dilakukan “pinjam jago” yaitu si istri melakukan hubungan dengan saudara laki-laki suami yang dianggap bisa memberi keturunan dan keturunannya memiliki marga yang sama, tetapi hal ini dirahasiakan dari keluarga maupun kerabat lainnya karena ini demi kehormatan berdua, sehingga keluarga itu dianggap sempurna, tapi di jaman sekarang ini, kemungkinan ini sudah sangat jarang (komunikasi interpersonal dengan Toma, tanggal 18 Februari 2014).


(6)

2.4. Kerangka Pikir

Gambar 2.1. Kerangka Pikir Penelitian

Mekanisme Koping Infertilitas pada

Suku Karo