Mekanisme Koping pada Perempuan Suku Karo yang Mengalami Infertilitas di Kabanjahe Kec. Kabanjahe Kab. Karo

(1)

MEKANISME KOPING PADA PEREMPUAN SUKU KARO YANG MENGALAMI INFERTILITAS DI KABANJAHE

KEC. KABANJAHE KAB. KARO

TESIS

Oleh

IMELDA MUTIARA BR SITEPU 127032032/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

COPING MECHANISMS OF KARONESE WOMEN WITH INFERTILITY IN KABANJAHE DISTRICT, DISTRICT KARO

THESIS

By

IMELDA MUTIARA BR SITEPU 127032032/IKM

MASTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

MEKANISME KOPING PADA PEREMPUAN SUKU KARO YANG MENGALAMI INFERTILITAS DI KABANJAHE

KEC. KABANJAHE KAB. KARO

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Kesehatan Reproduksi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

IMELDA MUTIARA BR SITEPU 127032032/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Judul Tesis : MEKANISME KOPING PADA PEREMPUAN SUKU KARO YANG MENGALAMI

INFERTILITAS DI KABANJAHE KEC. KABANJAHE KAB. KARO

Nama Mahasiswa : Imelda Mutiara br Sitepu Nomor Induk Mahasiswa : 127032032/IKM

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Kesehatan Reproduksi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Namora Lumongga Lubis, M.Sc, Ph.D) (Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes

Ketua Anggota

)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(5)

Telah Diuji

pada Tanggal : 25 Agustus 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Namora Lumongga Lubis, M.Sc, Ph.D Anggota : 1. Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes

2. dr. Ria Masniari Lubis, M.Si 3. Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes


(6)

PERNYATAAN

MEKANISME KOPING PADA PEREMPUAN SUKU KARO YANG MENGALAMI INFERTILITAS DI KABANJAHE

KEC. KABANJAHE KAB. KARO

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Juli 2014

Imelda Mutiara br Sitepu 127032150/IKM


(7)

ABSTRAK

Menikah dan memiliki keturunan adalah suatu fase yang dijalani oleh manusia dalam siklus kehidupannya. Kebanyakan masyarakat Indonesia akan memandang belum sempurna dan belum lengkap bila suatu keluarga belum dilengkapi dengan kehadiran anak. Infertilitas didefenisikan sebagai suatu keadaan pasangan yang sudah menikah lebih dari satu tahun tanpa kontrasepsi dan tidak mendapatkan anak padahal telah rutin melakukan hubungan seksual satu sampai tiga kali dalam seminggu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi konsep tentang mekanisme koping pada perempuan yang mengalami infertilitas yang dipengaruhi faktor sosial budaya Karo di Kecamatan Kabanjahe Kabupaten Karo.

Jenis penelitian adalah kualitatif dengan teknik wawancara mendalam/ in depth interview dengan menggunakan tape recorder. Lokasi dilakukan di Kabanjahe dan melibatkan empat orang informan. Analisis data dilakukan menurut prosedur penelitian kualitatif dengan mengumpulkan verbatim wawancara dan mengolah data dengan metode penelitian kualitatif

Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon psikologis yang muncul pada perempuan suku Karo yang mengalami infertilitas adalah sedih, depresi dan stres. Mekanisme koping yang dilakukan meliputi mekanisme koping adaptif dan mekanisme koping maladaptif. Mekanisme koping adaptif yang dilakukan adalah peningkatan spiritual, berpikir positif, menceritakan masalah kepada orang lain, adopsi, melakukan pengobatan dan pasrah. Sedangkan mekanisme koping maladaptif yang dilakukan adalah menarik diri dari lingkungan dan melakukan percobaan bunuh diri.

Diharapkan ibu berusaha meningkatkan koping adaptif dengan berbagai cara dan upaya diantaranya peningkatan spiritualitas, tetap melakukan pengobatan dan berusaha ikhlas menerima keadaannya. Bagi Pemerintah/penentu kebijakan dalam menyusun perencanaan perlu memberikan prioritas pada program sosialisasi infertilitas, dikaitkan dengan nilai dan kepercayaan yang masih kuat di masyarakat


(8)

ABSTRACT

Getting married and having children are a phase that is undertaken by humans in their life cycle. Most of the people of Indonesia will think that it is not perfect and complete yet if a family is not gifted with the presence of children. Infertility is defined as a condition in which a couple who has married for more than 1 (one) year without using contraception and has not had children when they have been regularly having sexual intercourse as much as one to three times a week. The purpose of this study was to indentify the concept of coping mechanism in the women experiencing infertility influenced by Karonese socio-cultural factor in Kabanjahe Subdistrict, Karo District.

The data for this qualitative study conducted in Kabanjahe involving 4 (four) informants were obtained through in-depth interview by using tape recorder. The data obtained were analyzed according to qualitative research procedures by collecting the verbatim interviews and then were processed through qualitative research method.

The result of this study showed that the psychological responses given by the Karonese women experiencing infertility were sadness, depression and stress. Coping mechanism done included adaptive coping mechanism and maladaptive coping mechanism. The adaptive coping mechanisms done were spiritual elevation, positive thinking, telling the problem to others, adoption, taking medication and being resigned to the problem. While maladaptive coping mechanism done was to withdraw from the environment or neighborhood and to attempt to commit suicide.

It is expected that the women do their best to improve adaptive coping through various ways such as spiritual elevation, keeping doing the treatment, and trying to sincerely accept the condition. The government/policy maker, in planning process, should prioritize the infertility socialization program related to the values and beliefs which are still strongly practiced in the community.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat serta pertolonganNya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul “Mekanisme Koping pada Perempuan Suku Karo yang Mengalami Infertilitas di Kabanjahe Kec. Kabanjahe Kab. Karo”

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Kesehatan Reproduksi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini, penulis mendapat bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., M.Sc.(CTM)., Sp.A, (K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing kami dan memberikan masukan serta saran dalam penyelesaian tesis ini.


(10)

4. Namora Lumongga Lubis M.Sc, Ph.D dan Drs Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes, selaku Komisi Pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari pengajuan judul hingga penulisan tesis ini selesai.

5. dr Ria Masniari Lubis, M.Si dan Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes selaku Komisi Penguji yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.

6. Para Dosen dan Staf di Lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

7. Ucapan terima kasih yang tulus saya tujukan kepada Ayahanda H. Sitepu dan Ibu A br. Ginting serta keluarga besar yang telah memberikan dukungan moril serta doa dan motivasi selama penulis menjalani pendidikan.

8. Teristimewa buat suami tercinta Amsah Perangin-angin dan anak-anak tersayang David Nicholas dan Diego Chabrena yang merupakan motivasi terbesar penulis dalam menyelesaikan studi ini.

9. Teman-teman seperjuangan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara, atas bantuannya dan memberikan semangat dalam penyusunan tesis ini.

10.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam proses penyelesaian tesis ini.


(11)

Penulis menyadari segala keterbatasan yang ada, untuk itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini, dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Medan, September 2014 Penulis

Imelda Mutiara br Sitepu 127032032/IKM


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Imelda Mutiara br Sitepu, lahir pada tanggal 23 April 1982 di Kabanjahe, Kecamatan Kabanjahe Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara, beragama Kristen Protestan, bertempat tinggal di Jalan Jamin Ginting Simp Berhala Kabanjahe. Penulis merupakan anak dari pasangan ayahanda Harta Sitepu dan ibunda Asnawaty br Ginting, anak kedua dari empat bersaudara.

Jenjang pendidikan formal penulis dimulai dari SD Methodist Kabanjahe (1994), SMP Negeri 1 Kabanjahe (1997), SMU Negeri 1 Kabanjahe (2000), Diploma III Kebidanan Akbid Pemkab Karo Kabanjahe (2003), Program Studi D-IV Bidan Pendidik di Universitas Sumatera Utara (2005), Program Sarjana Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Karo (2008) dan tahun 2012 – 2014 penulis menempuh pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat minat studi Kesehatan Reproduksi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Pada tahun 2005 diterima sebagai PNS dan bekerja di Akademi Kebidanan Pemkab Karo sebagai tenaga pengajar sampai saat ini.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 9

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Manfaat Penelitian ... 10

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Infertilitas ... 11

2.1.1. Faktor Penyebab Infertilitas ... 12

2.1.2. Penatalaksanaan Infertilitas ... 20

2.1.3. Pencegahan Infertilitas ... 23

2.1.4. Respon Psikologis yang Mengalami Infertilitas ... 23

2.2. Mekanisme Koping ... 28

2.2.1. Pengertian Koping ... 28

2.2.2. Pengertian Mekanisme Koping ... 29

2.2.3. Mekanisme Koping Perempuan yang Mengalami Infertilitas ... 31

2.3. Infertilitas Dilihat dari Faktor Budaya ... 34

2.3.1. Infertilitas Menurut Suku Karo ... 35

2.4. Kerangka Pikir ... 41

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 42

3.1. Desain Penelitian ... 42

3.2. Subjek Penelitian ... 43

3.2.1. Karakteristik Subjek Penelitian ... 43

3.2.2. Jumlah Informan Penelitian ... 43

3.2.3. Teknik Pengambilan Sampel ... 44

3.2.4. Lokasi Penelitian ... 44

3.3. Metode Pengumpulan Data ... 44

3.3.1. Wawancara ... 45


(14)

3.4.1. Pedoman Wawancara ... 46

3.4.2. Alat Perekam ... 46

3.5. Prosedur Analisis Data ... 46

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 48

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 48

4.2. Karakteristik Informan ... 49

4.2.1. Karakteristik Informan I ... 49

4.2.2. Karakteristik Informan II ... 49

4.2.3. Karakteristik Informan III ... 50

4.2.4. Karakteristik Informan IV ... 50

4.3. Gambaran Hasil Penelitian tentang Mekanisme Koping pada Perempuan Suku Karo yang Mengalami Infertilitas ... 51

4.3.1. Respon Psikologis Perempuan yang Mengalami Infertilitas ... 51

4.3.2. Mekanisme Koping Adaptif pada Perempuan yang Mengalami Infertilitas ... 54

4.3.3. Mekanisme Koping Maladaptif ... 58

4.3.4. Nilai dan Kepercayaan Masyarakat Suku Karo terhadap Perempuan Infertil ... 59

BAB 5. PEMBAHASAN ... 63

5.1. Interpretasi Hasil Penelitian ... 63

5.2. Keterbatasan Penelitian ... 71

5.2.1. Peneliti sebagai Instrumen ... 71

5.2.2. Referensi Artikel ... 72

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 73

6.1. Kesimpulan ... 73

6.2. Saran ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 76


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Data Demografi ... 79

2. Pedoman Wawancara Kepada Responden ... 80

3. Verbatim Wawancara ... 81

4. Surat Izin Penelitian ... 108


(17)

ABSTRAK

Menikah dan memiliki keturunan adalah suatu fase yang dijalani oleh manusia dalam siklus kehidupannya. Kebanyakan masyarakat Indonesia akan memandang belum sempurna dan belum lengkap bila suatu keluarga belum dilengkapi dengan kehadiran anak. Infertilitas didefenisikan sebagai suatu keadaan pasangan yang sudah menikah lebih dari satu tahun tanpa kontrasepsi dan tidak mendapatkan anak padahal telah rutin melakukan hubungan seksual satu sampai tiga kali dalam seminggu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi konsep tentang mekanisme koping pada perempuan yang mengalami infertilitas yang dipengaruhi faktor sosial budaya Karo di Kecamatan Kabanjahe Kabupaten Karo.

Jenis penelitian adalah kualitatif dengan teknik wawancara mendalam/ in depth interview dengan menggunakan tape recorder. Lokasi dilakukan di Kabanjahe dan melibatkan empat orang informan. Analisis data dilakukan menurut prosedur penelitian kualitatif dengan mengumpulkan verbatim wawancara dan mengolah data dengan metode penelitian kualitatif

Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon psikologis yang muncul pada perempuan suku Karo yang mengalami infertilitas adalah sedih, depresi dan stres. Mekanisme koping yang dilakukan meliputi mekanisme koping adaptif dan mekanisme koping maladaptif. Mekanisme koping adaptif yang dilakukan adalah peningkatan spiritual, berpikir positif, menceritakan masalah kepada orang lain, adopsi, melakukan pengobatan dan pasrah. Sedangkan mekanisme koping maladaptif yang dilakukan adalah menarik diri dari lingkungan dan melakukan percobaan bunuh diri.

Diharapkan ibu berusaha meningkatkan koping adaptif dengan berbagai cara dan upaya diantaranya peningkatan spiritualitas, tetap melakukan pengobatan dan berusaha ikhlas menerima keadaannya. Bagi Pemerintah/penentu kebijakan dalam menyusun perencanaan perlu memberikan prioritas pada program sosialisasi infertilitas, dikaitkan dengan nilai dan kepercayaan yang masih kuat di masyarakat


(18)

ABSTRACT

Getting married and having children are a phase that is undertaken by humans in their life cycle. Most of the people of Indonesia will think that it is not perfect and complete yet if a family is not gifted with the presence of children. Infertility is defined as a condition in which a couple who has married for more than 1 (one) year without using contraception and has not had children when they have been regularly having sexual intercourse as much as one to three times a week. The purpose of this study was to indentify the concept of coping mechanism in the women experiencing infertility influenced by Karonese socio-cultural factor in Kabanjahe Subdistrict, Karo District.

The data for this qualitative study conducted in Kabanjahe involving 4 (four) informants were obtained through in-depth interview by using tape recorder. The data obtained were analyzed according to qualitative research procedures by collecting the verbatim interviews and then were processed through qualitative research method.

The result of this study showed that the psychological responses given by the Karonese women experiencing infertility were sadness, depression and stress. Coping mechanism done included adaptive coping mechanism and maladaptive coping mechanism. The adaptive coping mechanisms done were spiritual elevation, positive thinking, telling the problem to others, adoption, taking medication and being resigned to the problem. While maladaptive coping mechanism done was to withdraw from the environment or neighborhood and to attempt to commit suicide.

It is expected that the women do their best to improve adaptive coping through various ways such as spiritual elevation, keeping doing the treatment, and trying to sincerely accept the condition. The government/policy maker, in planning process, should prioritize the infertility socialization program related to the values and beliefs which are still strongly practiced in the community.


(19)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Undang-Undang No 1 tahun 1974 yang mengatur tentang perkawinan menjelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Aisah, 2010).

Perkawinan merupakan wujud menyatunya pria dan wanita ke dalam satu tujuan yang sama, dan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan seorang individu. Menurut Duval dan Miller (2001) perkawinan adalah suatu hubungan yang diakui secara sosial antara pria dan wanita, yang mensahkan adanya hubungan seksual dan adanya kesempatan mendapatkan keturunan. Widarjono (2007) mengatakan bahwa tujuan perkawinan adalah mencapai kebahagian yang langgeng bersama pasangan hidup.

Menikah dan memiliki keturunan adalah suatu fase yang dijalani oleh manusia dalam siklus kehidupannya. Memiliki keturunan sebagai penerus generasi dirasakan sebagai satu keharusan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Keberadaan anak dianggap mampu menyatukan dan menjaga agar suatu keluarga dan pernikahan tetap utuh (Wirawan, 2004 dalam Aisah, 2010).

Dalam tatanan kehidupan berkeluarga, keberadaan anak mempunyai nilai penting. Begitu bermaknanya keberadaan seorang anak dalam sebuah keluarga


(20)

sehingga muncul anggapan dalam masyarakat bahwa keluarga baru dapat dikatakan lengkap bila pasangan tersebut mampu menghasilkan anak (Pranata, 2009).

Diperolehnya keturunan sangat didambakan oleh tiap pasangan suami istri (Hidayah, 2005). Memiliki anak yang baik dapat merupakan kebanggaan tersendiri dan secara ekonomi juga dianggap menguntungkan sebagai infestasi masa tua. Anak mempunyai peranan sosial yang sangat penting, keberadaan anak menyebabkan ikatan keluarga menjadi kokoh, tidak mudah goyah, anak merupakan sumber motivasi keluarga menata masa depan yang lebih baik. Kebanyakan masyarakat Indonesia akan memandang “belum sempurna dan belum lengkap“ bila suatu keluarga belum dilengkapi dengan kehadiran anak (Samsulhadi, 2005).

Norma budaya masih menghendaki wanita harus menjadi ibu (Albrecht, dkk, 1997). Payne (dalam Burns dan Covington, 1999), menegaskan anggapan kultural yang sangat kuat bahwa masyarakat sering menanyakan “berapa jumlah anak yang dimiliki” dan “kapan mempunyai anak” kepada pasangan suami istri daripada menanyakan “apakah mereka ingin mempunyai anak”. Dalam realisasinya tidak semua pasangan mudah memperoleh keturunan seperti yang diharapkan. Di tengah gencarnya pencanangan program pembatasan kelahiran (Keluarga Berencana) di berbagai penjuru dunia ternyata ada kelompok pasangan suami istri yang justru mengalami kesulian untuk memperoleh anak atau infertilitas (Kasdu, 2001).

Infertilitas dalam bahasa awam disebut tidak subur tetapi bukan kemandulan. Infertilitas didefenisikan sebagai suatu keadaan pasangan yang sudah menikah lebih


(21)

dari satu tahun tanpa kontrasepsi dan tidak mendapatkan anak padahal telah rutin melakukan hubungan seksual satu sampai tiga kali dalam seminggu (BKKBN, 2012).

Di seluruh dunia, lebih dari 70 juta pasangan menderita infertilitas , mayoritas terjadi pada penduduk di negara berkembang (Tabong and Adongo, 2013). Berdasarkan studi WHO dan laporan lainnya, diamsusikan bahwa secara konservatif 8-12 % pasangan yang mengalami infertilitas selama masa reproduktif mereka. Di Amerika Serikat, sekitar 2.1 juta pasangan yang sudah menikah mengalami kesulitan mempunyai anak (Gibson, Donna Myers, Jane E, 2002). Di Australia, 15% atau 3 juta pasangan bermasalah dengan kesuburan (Ried and Alfred, 2013).

Di negara Sub Sahara Afrika didapatkan jumlah pasangan infertil tertinggi mencapai 30 persen atau lebih pada beberapa area (Mogobe, 2005). Di Ghana, infertilitas merupakan masalah kesehatan yang dialami 15 persen dari pasangan usia subur (Afr J Reprod Health, 2009). Di Indonesia, kejadian infertilitas menurut Inspektorat Pelayanan dan Statistik Nasional hasil pendataan tahun 2000 menunjukkan jumlah pasangan usia subur (PUS) di Indonesia adalah sebanyak 38.783.347 pasangan. 15% atau sekitar 5.812.502 PUS di Indonesia mengalami infertilitas atau kesulitan untuk mempunyai anak (Samsulhadi, 2005).

Angka infertilitas di Indonesia yang dikemukakan oleh Sumapraja (2005) berkisar 12-15 persen. Banyaknya pasangan infertil di Indonesia dapat diperhitungkan dari banyaknya wanita yang pernah kawin dan tidak mempunyai anak yang masih hidup. Menurut sensus penduduk terdapat 12 persen, baik di desa ataupun di kota atau sekitar 3 juta pasangan infertil tersebar di seluruh Indonesia (Sarwono,


(22)

2005), dari jumlah tersebut terdapat perempuan infertil 15 % pada usia 30-34 tahun, 30 % pada usia 35-39 tahun, dan 64 % pada usia 40-44 tahun (Hestiantoro, 2008).

Dalam kehidupan bermasyarakat sering kita mengetahui ketidakharmonisan rumah tangga karena tidak adanya anak sebagai buah dari suatu perkawinan. Tidak jarang kondisi tersebut kemudian berakhir dengan terjadinya poligami dan perceraian. Secara statistik belum ditemukan data yang mengemukakan besaran kejadian poligami dan perceraian karena alasan tidak punya anak. Namun studi yang dilakukan Rahmani dan Abrar (1999) menunjukkan keterkaitan perceraian dengan faktor ketidakadaan anak dalam keluarga. Dikemukakan bahwa laki-laki mempunyai kecenderungan untuk melakukan perceraian berkaitan dengan faktor ketidakadaan anak. Ketidakhadiran seorang anak dalam rumah tangga tentunya akan mempunyai konsekuensi tersendiri. Kondisi yang tidak menggembirakan adalah satu kenyataan bahwa kasus infertil dalam suatu lingkungan sosial budaya mengandung bias jender (Pranata, 2009).

Pasangan suami istri yang mengalami infertilitas sering kali mengalami perasaan tertekan terutama pihak wanita yang pada akhirnya dapat jatuh pada keadaan depresi, cemas dan lelah yang berkepanjangan. Perasaan yang dialami para wanita tersebut timbul sebagai akibat dari hasil pemeriksaan, pengobatan dan penanganan yang terus menerus tidak membuahkan hasil. Hal inilah yang mengakibatkan wanita merasa kehilangan kepercayaan diri serta perasaan tidak enak terhadap diri sendiri, suami dan keluarga ataupun lingkungan dimana wanita itu


(23)

berada. Keadaan wanita yang lebih rileks ternyata lebih mudah hamil dibandingkan dengan wanita yang selalu dalam keadaan stress (Ferrystoner, 2013).

Bagi masyarakat Indonesia, kelengkapan keluarga, yaitu ada ayah, ibu dan anak menjadi gambaran ideal dari sebuah keluarga. Sesuai dengan latar belakang budaya dan religiusitas masyarakatnya, anak memiliki beberapa fungsi. Pertama, anak sebagai simbol kesuburan dan keberhasilan. Filosofi yang berkembang adalah banyak anak banyak rejeki. Keterlambatan memiliki anak dianggap sebagai kegagalan besar. Kedua, anak sebagai pelanjut keturunan. Ketiga, anak sebagai teman dan penghibur. Keempat, anak merupakan amanat dan anugerah Tuhan yang tidak boleh disia-siakan. Kelima, anak yang saleh akan mendoakan dan menolong orangtuanya di dunia dan akhirat (Moelok, 1986 dalam Aisah, 2010).

Hasil penelitian Anggraeni, 2009 tentang dukungan sosial yang diterima oleh perempuan yang belum berhasil dalam pengobatan infertilitas menunjukkan bahwa perempuan yang infertil memiliki pandangan negatif terhadap dirinya sendiri dengan mengganggap bahwa penyebab belum ada anak dalam pernikahannya adalah hanya karena adanya masalah pada diri perempuan, para perempuan juga merasa bersalah karena belum bisa memberi keturunan untuk suami dan keluarga besarnya, mereka menjadi mudah tersinggung, sensitif dan merasa tidak nyaman dan menghindari pembicaraan ataupun pertanyaan seputar keberadaan anak yang belum juga hadir dalam pernikahannya.

Penelitian yang dilakukan oleh Tirtaonggana (2005) menunjukkan meskipun infertilitas merupakan stressor yang berat namun tidak semua pasangan memiliki


(24)

sikap yang negatif, terdapat pasangan yang semakin menguatkan komitmen pernikahan, mendekatkan diri kepada Tuhan, saling menguatkan agar sabar, mencari alternatif sebagai solusi terhadap masalah ketidakhadiran seorang anak dengan cara bertanya terhadap tenaga kesehatan yang menangani masalahnya dan berbagai dengan pasangan lain yang memiliki masalah yang sama. Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya pengaruh positif dukungan yang diberikan kepada perempuan dengan masalah infertilitas (Tirtaonggana, 2005 dalam Anggraeni, 2009).

Jika individu berada pada posisi stress, manusia akan menggunakan berbagai cara untuk mengatasinya. Memiliki strategi koping sangat penting untuk melanjutkan hidup tanpa anak-anak. Mekanisme koping dapat digunakan individu untuk memecahkan masalah, koping yang efektif akan membantu individu terbebas dari stress yang berkepanjangan(Tabong and Adongo, 2013).

Studi tentang mekanisme koping pada penderita infertilitas menunjukkan bahwa mekanisme koping memiliki keterkaitan dengan respon individu dalam menghadapi masalah, hasil studi menunjukkan bahwa perempuan penderita infertilitas mengalami respon kesedihan, cemas, cemburu/iri, isolasi dan marah. Dalam mengatasi masalah berkaitan dengan infertilitas pasangan menggunakan mekanisme koping dengan cara melakukan pengobatan secara medis maupun non medis, mencari informasi, pasrah dan berdoa, berusaha sabar, mengambil hikmah dari kondisi dan mencari dukungan keluarga, teman serta menceritakan masalah kepada orang lain.


(25)

Masyarakat Karo merupakan masyarakat yang menganut budaya patrilineal. Dalam masyarakat patrilineal suami merupakan pengambil keputusan tertinggi dalam keluarga, termasuk keputusan perempuan untuk menentukan hak-hak reproduksinya (Koentjaraningrat, 1999). Mendapatkan keturunan bagi masyarakat Karo, adalah hal yang amat penting. Walaupun dengan perkembangan pemikiran yang semakin maju masyarakat Karo lebih gembira lagi apabila mempunyai anak laki-laki, karena ini berhubungan dengan penerus keturunan dari klannya.

Pada suami istri yang belum mendapat keturunan walaupun telah bertahun-tahun membina rumah tangga, ada upacara yang dipercayai dan dilakukan orang Karo untuk memperoleh keturunan yaitu Upacara Nengget. Nengget adalah upacara yang dilakukan dengan memberikan kejutan (sengget), ke suatu keluarga dengan alasan tertentu dan dengan tujuan tertentu, tidak boleh diketahui sebelumnya oleh keluarga yang akan di sengget dan dianggap batal dan tidak berhasil jika mereka mengetahuinya. Kegiatan ini juga akan dilakukan jika keluarga tersebut hanya memiliki anak perempuan saja karena dianggap belum sempurna (Tarigan, 2010). Perempuan pada suku Karo dianggap sebagai tanah ataupun lahan yang akan ditanami. Jika tidak dapat memiliki keturunan dianggap tanah itu tandus dan gersang sehingga jika ditanam bibit yang bagus sekalipun pasti tidak akan pernah tumbuh.

Studi pendahuluan yang telah dilakukan dengan cara melakukan komunikasi personal terhadap seorang perempuan suku Karo berinisial (BS), yang bercerai dengan suaminya pada tahun keempat perkawinan mereka. Hal ini terjadi karena selama pernikahan mereka, ibu BS tidak dapat memberikan keturunan kepada


(26)

suaminya. Pada awal perkawinan suami dan mertuanya sangat sayang dan perhatian terhadap ibu BS, karena merupakan menantu perempuan satu-satunya di keluarga dan statusnya yang seorang Pegawai Negeri Sipil. Memasuki tahun kedua perkawinan, mertuanya khawatir dan mulai terlihat tidak menyukai ibu BS karena belum ada tanda-tanda hamil. Suaminya yang selama ini sabar dan mendukungnya juga mengalami perubahan, selalu menyalahkan ibu BS atas keadaan yang terjadi, karena sejak gadis memang siklus haid ibu BS tidak teratur karena ada kista di rahimnya tetapi pada bulan keenam perkawinan mereka sudah diobati dan dinyatakan sembuh oleh dokter.

Ibu BS mengatakan bahwa belum mempunyai anak merupakan stresor bagi dirinya dan pasangan. Adanya pertanyaan dari keluarga, tetangga dan teman dekat akan kehadiran anaknya semakin menimbulkan rasa sedih, hal yang paling membuat sedih kalau mengingat mertuanya yang selalu sengaja menyakiti hatinya dengan mengingatkan mantan-mantan pacar anaknya yang semuanya sudah memiliki anak, seakan-akan menyesal memiliki menantu BS dan selalu berusaha agar ibu BS terlihat buruk di mata suaminya.

Suami BS yang merupakan anak laki-laki satu-satunya dan selama ini dekat sekali dan patuh kepada ibunya lebih memilih ibunya dibanding ibu BS, suaminya mengatakan tidak perlu lagi berobat kemana-mana karena ibu BS pasti penyebabnya karena BS adalah perempuan mandul. Karena kondisi keluarganya yang tidak pernah akur, BS memutuskan untuk bercerai dengan suaminya, dia mengatakan bahwa tanpa


(27)

suami kehidupannya justru lebih nyaman, tidak tertekan, lebih bebas dan menjadi lebih pemberani (Komunikasi interpersonal BS, tanggal 8 Februari 2013).

Dengan melihat uraian diatas, penelitian ini akan mempelajari secara mendalam tentang mekanisme koping perempuan yang mengalami infertilitas yang dipengaruhi faktor sosial budaya Karo di Kecamatan Kabanjahe Kabupaten Karo serta mendapatkan informasi secara detail dan jelas tentang bermacam upaya untuk menanggulangi permasalahannya. Terlebih lagi, adanya perspektif baru dalam memandang masalah kesehatan dan penyakit yang tidak hanya melibatkan aspek biologis, melainkan juga aspek psikologis dan sosial, maka sangat terasa kebutuhan untuk menggali informasi yang lebih kaya tentang sumbangan aspek psikologis terhadap kesehatan.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah “Bagaimana mekanisme koping pada perempuan suku Karo yang mengalami infertilitas?”

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk mengidentifikasi konsep tentang mekanisme koping pada perempuan yang mengalami infertilitas yang dipengaruhi faktor sosial budaya Karo di Kecamatan Kabanjahe Kabupaten Karo.


(28)

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Bagi Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Hasil penelitian diharapkan dapat menambah kepustakaan khususnya yang berkaitan dengan teori dan konsep mekanisme koping pada perempuan yang mengalami infertilitas yang dipengaruhi sosial budaya Karo

1.4.2. Bagi Perempuan yang Mengalami Infertilitas

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan masukan yang berharga bagi ibu yang mengalami infertilitas dalam melihat dan belajar melalui pengalaman serupa dalam menjalani infertilitas dan mengatasi permasalah yang ada serta mendapat gambaran untuk menggunakan mekanisme koping dan beradaptasi dengan masalah infertilitas

1.4.3. Bagi Instansi Kesehatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai mekanisme koping perempuan yang mengalami infertilitas yang dipengaruhi oleh sosial budaya Karo. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan dalam pembuatan program kesehatan bagi perempuan yang mengalami masalah infertilitas berbasis sosial budaya


(29)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infertilitas

Ketidaksuburan (infertil) adalah suatu kondisi dimana pasangan suami istri belum mampu memiliki anak walaupun telah melakukan hubungan seksual sebanyak 2 – 3 kali seminggu dalam kurun waktu 1 tahun tanpa menggunakan alat kontrasepsi jenis apapun (Djuwantoro, 2008).

Menurut Kasdu (2001), infertilitas adalah bila pasangan suami istri, setelah bersanggama secara teratur 2-3 kali seminggu, tanpa memakai metode pencegahan belum mengalami kehamilan selama satu tahun.

Pasangan suami istri dianggap infertil apabila memenuhi syarat-syarat berikut: a. Pasangan tersebut berkeinginan untuk memiliki anak.

b. Selama satu tahun atau lebih berhubungan seksual, istri sebelum mendapatkan

c. Frekuensi hubungan seksual minimal 1– 3 kali dalam setiap minggunya.

d. Istri maupun suami tidak pernah menggunakan alat ataupun metode kontrasepsi, baik kondom, obat-obatan dan alat lain yang berfungsi untuk mencegah

(Djuwantono, 2008).

Secara medis infertilitas dibagi menjadi dua jenis, yaitu infertilitas primer yang berarti pasangan suami istri belum mampu dan belum pernah memiliki anak


(30)

setelah satu tahun berhubungan seksual sebanyak 2 – 3 kali perminggu tanpa menggunakan alat kontrasepsi dalam bentuk apapun dan infertilitas sekunder yang berarti pasangan suami istri telah atau pernah memiliki anak sebelumnya tetapi saat ini belum mampu memiliki anak lagi setelah satu tahun berhubungan seksual sebanyak 2 – 3 kali perminggu tanpa menggunakan alat atau metode kontrasepsi jenis apapun (Kasdu, 2001).

2.1.1. Faktor Penyebab Infertilitas

Sebanyak 60% – 70% pasangan yang telah menikah akan memiliki anak pada tahun pertama pernikahan mereka. Sebanyak 20% akan memiliki anak pada tahun ke-2 dari usia pernikahannya. Sebanyak 10% - ke-20% sisanya akan memiliki anak pada tahun ke-3 atau lebih atau tidak pernah memiliki anak.

Walaupun pasangan suami istri dianggap infertil bukan tidak mungkin kondisi infertil sesungguhnya hanya dialami oleh sang suami atau sang istri. Hal tersebut dapat dipahami karena proses pembuahan yang berujung pada lahirnya seorang manusia baru merupakan kerjasama antara suami dan istri. Kerjasama tersebut mengandung arti bahwa dua faktor yang harus dipenuhi adalah: a. Suami memiliki sistem dan fungsi reproduksi yang sehat sehingga mampu

menghasilkan dan menyalurkan sel kelamin pria (spermatozoa) ke dalam organ reproduksi istri

b. Istri memiliki sistem dan fungsi reproduksi yang sehat sehingga mampu menghasilkan sel kelamin wanita (sel telur atau ovum)


(31)

Infertilitas tidak semata-mata terjadi kelainan pada wanita saja. Hasil penelitian membuktikan bahwa suami menyumbang 25-40% dari angka kejadian infertil, istri 40-55%, keduanya 10%, dan idiopatik 10%. Hal ini dapat menghapus anggapan bahwa infertilitas terjadi murni karena kesalahan dari pihak wanita/istri.

2.1.1.1. Berbagai Gangguan yang Memicu terjadinya Infertilitas pada Wanita

a. Gangguan Organ Reproduksi

1. Infeksi vagina sehingga meningkatkan keasaman vagina akan membunuh sperma dan pengkerutan vagina yang akan menghambat transportasi sperma ke vagina.

2. Kelainan pada serviks akibat defesiensi hormon esterogen yang mengganggu pengeluaran mukus serviks. Apabila mukus sedikit di serviks, perjalanan sperma ke dalam rahim terganggu. Selain itu, bekas operasi pada serviks yang menyisakan jaringan parut juga dapat menutup serviks sehingga sperma tidak dapat masuk ke rahim

3. Tuba falopii akibat infeksi yang mengakibatkan adhesi tuba falopii dan terjadi obstruksi sehingga ovum dan sperma tidak dapat bertemu.

b. Gangguan Ovulasi

Gangguan ovulasi ini dapat terjadi karena ketidakseimbangan hormonal seperti adanya hambatan pada sekresi hormon FSH dan LH yang memiliki pengaruh besar terhadap ovulasi. Hambatan ini dapat terjadi karena adanya tumor cranial, stress, dan penggunaan obat-obatan yang menyebabkan terjadinya disfungsi


(32)

hipotalamus dan hipofise. Bila terjadi gangguan sekresi kedua hormon ini, maka folikel mengalami hambatan untuk matang dan berakhir pada gangguan ovulasi. c. Kegagalan Implantasi

Wanita dengan kadar progesteron yang rendah mengalami kegagalan dalam mempersiapkan endometrium untuk nidasi. Setelah terjadi pembuahan, proses nidasi pada endometrium tidak berlangsung baik. Akibatnya fetus tidak dapat berkembang dan terjadilah abortus.

e. Endometriosis f. Faktor Immunologis

Apabila embrio memiliki antigen yang berbeda dari ibu, maka tubuh ibu memberikan reaksi sebagai respon terhadap benda asing. Reaksi ini dapat menyebabkan abortus spontan pada wanita hamil.

g. Lingkungan

Paparan radiasi dalam dosis tinggi, asap rokok, gas anastesi, zat kimia, dan pestisida dapat menyebabkan toksik pada seluruh bagian tubuh termasuk organ reproduksi yang akan mempengaruhi kesuburan.

2.1.1.2. Penyebab Infertilitas pada Pria

a. Kelainan pada Alat Kelamin

1. Hipospadia yaitu muara saluran kencing letaknya abnormal, antara lain pada permukaan testis

2. Ejakulasi retrograd yaitu ejakulasi dimana air mani masuk kedalam kandung kemih


(33)

3. Varikokel yaitu suatu keadaan dimana pembuluh darah menuju buah zakar terlalu besar, sehingga jumlah dan kemampuan gerak spermatozoa berkurang yang berarti mengurangi kemampuannya untuk menimbulkan kehamilan 4. Testis tidak turun dapat terjadi karena testis atrofi sehingga tidak turun b. Kegagalan Fungsional

1. Kemampuan ereksi kurang

2. Kelainan pembentukan spermatozoa 3. Gangguan pada sperma

c. Gangguan di Daerah Sebelum Testis (Pre Testicular)

Gangguan biasanya terjadi pada bagian otak, yaitu hipofisis yang bertugas mengeluarkan hormon FSH dan LH. Kedua hormon tersebut mempengaruhi testis dalam menghasilkan hormon testosteron, akibatnya produksi sperma dapat terganggu serta mempengaruhi spermatogenesis dan keabnormalan semen. Terapi yang bisa dilakukan untuk peningkatan testosteron adalah dengan terapi hormon. d. Gangguan di Daerah Testis (Testicular)

Kerja testis dapat terganggu bila terkena trauma pukulan, gangguan fisik, atau infeksi. Bisa juga terjadi, selama pubertas testis tidak berkembang dengan baik, sehingga produksi sperma menjadi terganggu. Dalam proses produksi, testis sebagai pabrik sperma membutuhkan suhu yang lebih dingin daripada suhu tubuh, yaitu 34–35 °C, sedangkan suhu tubuh normal 36,5–37,5 °C. Bila suhu tubuh terus-menerus naik 2–3 °C saja, proses pembentukan sperma dapat terganggu.


(34)

e. Gangguan di Daerah Setelah Testis (Post Testicular)

Gangguan terjadi di saluran sperma sehingga sperma tidak dapat disalurkan dengan lancar, biasanya karena salurannya buntu. Penyebabnya bisa jadi bawaan sejak lahir, terkena infeksi penyakit (seperti tuberkulosis), serta vasektomi yang memang disengaja.

f. Tidak Adanya Semen

Semen adalah cairan yang mengantarkan sperma dari penis menuju vagina. Bila tidak ada semen maka sperma tidak terangkut (tidak ada ejakulasi). Kondisi ini biasanya disebabkan penyakit atau kecelakaan yang memengaruhi tulang belakang.

g. Kurangnya Hormon Testosteron

Kekurangan hormon ini dapat mempengaruhi kemampuan testis dalam memproduksi sperma.

2.1.1.3. Penyebab pada Suami dan Istri

a. Gangguan pada Hubungan Seksual

Kesalahan teknik sanggama dapat menyebabkan penetrasi tak sempurna ke vagina, impotensi, ejakulasi prekoks, vaginismus, kegagalan ejakulasi, dan kelainan anatomik seperti hipospadia, epispadia.

b. Faktor Psikologis antara Kedua Pasangan (suami dan istri) - Masalah tertekan karena sosial ekonomi belum stabil - Masalah dalam pendidikan


(35)

c. Emosi karena Didahului Orang Lain Hamil

Selain faktor-faktor yang telah disebutkan diatas, masih ada faktor di luar organ yang mempengaruhi ketidaksuburan, yaitu :

1. Faktor Usia

Usia berpengaruh terhadap masa reproduksi, artinya selama masih mengalami haid yang teratur kemungkinan ia masih bisa hamil. Kejadian infertilitas berbanding lurus dengan pertambahan usia perempuan. Perempuan dengan rentang 19-26 tahun memiliki kemungkinan untuk hamil dua kali lebih besar daripada perempuan dengan rentang usia antara 35-39 tahun (Hestiantoro, 2008).

Penelitian menunjukkan hanya sepertiga pria berumur diatas 40 tahun yang mampu menghamili istrinya dalam waktu 6 bulan dibanding dengan pria yang berumur dibawah 25 tahun. Selain itu, usia yang semakin tua juga mempengaruhi kualitas sel sperma (Kasdu, 2001)

2. Berat Badan

Jika seseorang memiliki berat badan yang berlebih (over weight) atau mengalami kegemukan (obesitas), atau yang memiliki lemak tubuh 10-15% diatas lemak tubuh normal, maka perempuan tersebut akan menderita gangguan pertumbuhan folikel di ovarium yang terkait dengan sebuah sindrom ovarium poli kistik. Di samping berat badan yang berlebih maka berat badan yang rendah juga dapat mengganggu fungsi fertilitas seorang perempuan. Zat gizi yang cukup seperti karbohidrat, lemak dan protein sangat diperlukan untuk


(36)

pembentukan hormon reproduksi, sehingga pada perempuan kurus akibat asupan gizi yang sangat kurang akan mengalami defesiensi hormon reproduksi yang berakibat terhadap peningkatan kejadian infertilitas pada perempuan tersebut (Kasdu, 2001).

3. Gaya Hidup

Gaya hidup yang dimaksud adalah pola makan dan kebiasaan sehari-hari. Merokok dapat menjadi salah satu penyebab infertilitas. Di samping itu penyalahgunaan obat narkotika juga dapat menurunkan produksi hormon reproduksi. Alkohol telah pula terbukti menjadi penyebab gagalnya preses implantasi (Kasdu, 2001).

4. Lingkungan

Beberapa zat polutan seperti saat ini dicurigai memiliki kaitan yang erat dengan tingginya kejadian infertilitas akibat endometriosis terutama bagi perempuan yang tinggal di daerah perkotaan (Kasdu, 2001).

2.1.1.4. Faktor Penyebab Infertilitas dari Segi Psikologis

Kesuburan wanita secara mutlak dipengaruhi oleh proses-proses fisiologis dan anatomis, di mana proses fisiologis tersebut berasal dari sekresi internal yang mempengaruhi kesuburan. Dalam hal ini kesuburan wanita itu merupakan satu unit psikosomatis yang selalu dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor psikis dan faktor organis atau fisis. Kesulitan-kesulitan psikologis ini berkaitan dengan koitus dan kehamilan, yang biasanya mengakibatkan ketidakmampuan wanita menjadi hamil. Pengalaman-pengalaman membuktikan, bahwa unsur ketakutan serta kecemasan


(37)

berkaitan dengan fungsi reproduksi yang menimbulkan dampak yang merintangi tercapainya orgasme pada koitus. Pada umumnya dinyatakan bahwa sebab yang paling banyak dari kemandulan adalah ketakutan-ketakutan yang tidak disadari atau yang ada dibawah sadar, yang infantile atau kekanak-kanakan sifatnya.

Penelitian kedokteran juga menemukan bahwa peningkatan kadar prolaktin dan kadar Lutheinizing Hormon (LH) berhubungan erat dengan masalah psikis. Kecemasan dan ketegangan cenderung mengacaukan kadar LH, serta kesedihan dan murung cenderung meningkatkan prolaktin. Kadar prolaktin yang tinggi dapat mengganggu pengeluaran LH dan menekan hormon gonadotropin yang mempengaruhi terjadinya ovulasi (Kasdu, 2001).

Perasaan tertekan atau tegang yang dialami wanita berpengaruh terhadap fungsi hipotalamus yang merupakan kelenjar otak yang mengirimkan sejumlah sinyal untuk mengeluarkan hormon stres keseluruh tubuh. Hormon stress yang terlalu banyak keluar dan lama akan mengakibatkan rangsangan yang berlebihan pada jantung dan melemahkan sistem kekebalan tubuh. Kelebihan hormon stres juga dapat mengganggu keseimbangan hormon, sistem reproduksi ataupun kesuburan. Pernyataan ini seperti dikemukakan oleh Mark Saver pada penelitiannya tahun 1995, mengenai Psychomatic Medicine yang menjelaskan bahwa wanita dengan riwayat tekanan jiwa kecil kemungkinan untuk hamil dibandingkan dengan wanita yang tidak mengalaminya. Hal ini terjadi karena wanita tersebut mengalami ketidakseimbangan hormon (hormon estrogen). Kelebihan hormon estrogen akan memberikan sinyal kepada hormon progesteron untuk tidak berproduksi lagi karena kebutuhannya sudah


(38)

mencukupi. Akibatnya akan terjadi kekurangan hormon progesteron yang berpengaruh terhadap proses terjadinya ovulasi (Kasdu, 2001).

2.1.2. Penatalaksanaan Infertilitas 2.1.2.1. Penatalaksanaan pada wanita

Langkah pertama adalah anamnesis, ini merupakan cara yang terbaik untuk mencari penyebab infertilitas pada wanita. Banyak faktor penting yang berkaitan dengan infertilitas dapat ditanyakan pada pasien. Anamnesis meliputi hal-hal berikut, misalnya lama fertilitas, riwayat haid, ovulasi, dan dismenorea, riwayat sanggama, frekuensi sanggama, dispareunia, riwayat komplikasi pascapartum, abortus, kehamilan ektopik, kehamilan terakhir, kontrasepsi yang pernah digunakan, pemeriksaan infertilitas dan pengobatan sebelumnya, riwayat penyakit sistematik (tuberkulosis, diabetes melitus, tiroid), pengobatan radiasi, sitostatika, alkoholisme, riwayat bedah perut/hipofisis/ginekologi, riwayat PID, PHS, leukorea, riwayat keluar ASI dan pengetahuan kesuburan.

Langkah kedua adalah analisis hormonal, dilakukan jika dari hasil anamnesis ditemukan riwayat, atau sedang mengalami gangguan haid, atau dari pemeriksaan dengan suhu basal badan ditemukan anovulasi. Hiperprolaktinemia menyebabkan gangguan sekresi GnRH yang akibatnya terjadi anovulasi. Kadar normal prolaktin adalah 5-25 ng/ml. Pemeriksaan dilakukan antara pukul 7 sampai 10. Jika ditemukan kadar prolaktin >50 ng/ml disertai gangguan haid, perlu dipikirkan ada tumor di hipofisis. Pemeriksaan gonadotropin dapat memberi informasi tentang penyebab tidak terjadinya haid.


(39)

Langkah III adalah uji pasca-sanggama. Tes ini dapat memberi informasi tentang interaksi antara sperma dan getah serviks. Jika hasil uji pasca senggama negatif, perlu dilakukan evaluasi kembali terhadap sperma. Hasil uji pasca senggama yang normal dapat menyimpulkan penyebab infertilitas suami.

Langkah IV adalah penilaian ovulasi. Penilaian ovulasi dapat diukur dengan pengukuran suhu basal badan (SBB). SBB dikerjakan setiap hari pada saat bangun pagi hari, sebelum bangkit dari tempat tidur, atau sebelum makan atau minum. Jika wanita memiliki siklus haid berovulasi, grafik akan memperlihatkan gambaran bifasik, sedangkan yang tidak berovulasi gambaran grafiknya monofasik.

Pada gangguan ovulasi idiopatik yang penyebabnya tidak diketahui, induksi ovulasi dapat dicoba dengan pemberian estrogen (umpan balik positif) atau antiestrogen (umpan balik negatif). Untuk umpan balik negatif, diberikan klomifen sitrat dosis 50-100 mg, mulai hari ke-5 sampai ke-9 siklus haid. Jika dengan pemberian estrogen dan klomifen sitrat tidak juga terjadi sekresi gonadotropin, untuk pematangan folikel terpaksa diberikan gonadotropin dari luar. Cara lain untuk menilai ovulasi adalah dengan USG. Jika diameter folikel mencapai 18-25 mm, berarti menunjukkan folikel yang matang dan tidak lama lagi akan terjadi ovulasi.

Langkah V yaitu pemeriksaan bakteriologi. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi dari vagina dan porsio. Infeksi akibat Clamydia trachomatis dan gonokokus sering menyebabkan sumbatan tuba. Jika ditemukan riwayat abortus berulang atau kelainan bawaan pada kehamilan sebelumnya perlu dilakukan pemeriksaan terhadap TORCH.


(40)

Langkah VI adalah analisis fase luteal. Kadar estradiol yang tinggi pada fase luteal dapat menghambat implantasi dan keadaan seperti ini sering ditemukan pada unexplained infertility. Pengobatan insufisiensi korpus luteum dengan pemberian sediaan progesteron alamiah. Lebih diutamakan progesteron intravagina dengan dosis 50- 200 mg daripada pemberian oral.

Langkah VII yaitu diagnosis tuba falopii. Karena makin meningkatnya penyakit akibat hubungan seksual, pemeriksaan tuba menjadi sangat penting. Tuba yang tersumbat, gangguan hormon, dan anovulasi merupakan penyebab tersering infertilitas. Untuk mengetahui kelainan pada tuba tersedia berbagai cara, yaitu uji insuflasi, histerosalpingografi, gambaran tuba falopii secara sonografi, hidrotubasi, dan laparoskopi. Penanganan pada tiap predisposisi infertilitas bergantung pada penyebabnya, termasuk pemberian antibiotik untuk infertilitas yang disebabkan oleh infeksi. (Timang, 2011)

2.1.2.2. Penatalaksanaan pada Pria

Umumnya adalah dengan analisis sperma. Dari hasil analisis sperma dapat terlihat kualitas dan kuantitas dari spermatozoa. Jika ditemukan fruktosa di dalam semen, harus dilakukan tindakan biopsi testis. Jika tidak ditemukan fruktosa di dalam semen, menunjukkan tidak adanya kelainan vesikula dan vasa seminalis yang bersifat congenital (Timang, 2011).

Perubahan gaya hidup yang sederhana dan yang terkoreksi, seperti perbaikan nutrisi, tidak membiasakan penggunaan celana yang panas dan ketat, serta harus


(41)

memperhatikan penggunaan lubrikans saat coital, jangan yang mengandung spermatisida (Ferrystoner, 2013)

2.1.3. Pencegahan Infertilitas

a. Berbagai macam infeksi diketahui menyebabkan infertilitas terutama infeksi prostate, buah zakar, maupun saluran sperma. Karena itu, setiap infeksi di daerah tersebut harus ditangani serius.

b. Beberapa zat dapat meracuni sperma. Banyak penelitian menunjukkan pengaruh buruk rokok terhadap jumlah dan kualitas sperma.

c. Alkohol dalam jumlah banyak dihubungkan dengan rendahnya kadar hormon testosteron yang tentunya akan menganggu pertumbuhan sperma.

d. Seringkali sebabkan oleh penyakit menular seksual, karena itu dianjurkan untuk menjalani perilaku seksual yang aman guna meminimalkan risiko kemandulan dimasa yang akan datang.

e. Imunisasi gondongan/mumps telah terbukti mampu mencegah gondongan dan komplikasinya pada pria (orkitis). Kemandulan akibat gondongan bisa dicegah dengan menjalani imunisasi gondongan.

f. Beberapa jenis alat kontrasepsi memiliki risiko kemandulan lebih tinggi misalnya IUD. IUD tidak dianjurkan untuk dipakai pada wanita yang belum pernah memiliki anak. (Ferrystoner, 2013).

2.1.4. Respon Psikologis Pasangan yang Mengalami Infertilitas

Beberapa budaya menganggap suatu ketidaksuburan merupakan tanggungjawab perempuan. Ketidakmampuan perempuan untuk mengandung


(42)

dihubungkan dengan dosa-dosanya, perbuatan yang tidak senonoh dimasa lalu, dan menunjukkan bahwa perempuan adalah individu yang tidak adekuat (Anwar, 1997; Olds, London, Ladewig, 2000). Perempuan pada awalnya merasa bahwa dirinya adalah penyebab ketidaksuburan, dan seringkali perempuan yang pertama divonis oleh masyarakat sebagai individu penyebab masalah tanpa melihat terlebih dahulu penyebabnya (perempuan atau laki-laki). Masalah infertilitas juga menyebabkan stres pada laki-laki, namun stres lebih banyak dan lebih cepat dialami oleh perempuan (Watkins & Baldo, 2005). Tidak jarang kekerasan dalam rumah tangga terjadi akibat ketidakadilan memandang masalah terkait infertilitas, sehingga pada akhirnya perempuan yang menjadi korban baik secara fisik, ekonomi, seksual maupun psikososial (Greil, 1997 dalam Benyamini, Gozlan & Kokia, 2004; Gibson & Myer, 2002 dalam Watkins & Baldo, 2004; Old, London & Ladewig, 2000).

Isu ketidaksuburan secara fisik memang tidak mengancam kehidupan dan bukan merupakan suatu penyakit, namun dampak psikologis yang terjadi mungkin dapat sebanding dengan penyakit kronis (Anwar, 1997; Benyamini, Gozlan & Kokia, 2004). Adanya konflik-konflik emosional dan penghayatan perasaan akan dirinya berbeda dengan wanita yang memiliki anak akan mengurangi kegembiraan dan kebahagiaanya. Disisi lain, kebahagiaan dan kegembiraan dalam kehidupan seseorang merupakan indikator yang penting bagi kesehatan mental.

Masalah kehamilan, melahirkan anak dan menjadi seorang ibu merupakan isu yang sangat kompleks dalam masyarakat. Perempuan yang mengalami infertilitas sering mendapat stigma yang berat. Hal tersebut disebabkan, secara tradisional ibu


(43)

didefenisikan secara biologis yaitu perempuan yang hamil, melahirkan kemudian mengasuh sedangkan bapak lebih didefenisikan secara sosial,laki-laki membutuhkan anak sebagai ahli waris, penerus garis keluarga dan untuk menunjukkan maskulinitas mereka (Hardy & Makach, 2001; Widge, 2001).

Pada umumnya perempuan akan menginternalisasi perannya sebagai ibu yang harus melahirkan anak, sehingga ketika pasutri menghadapi masalah infertilitas, maka perempuan akan merasa tidak mempunyai nilai, dan ditandai dengan timbulnya perasaan takut, cemas dan lain-lain. Masalah utama infertilitas secara sosial adalah berhubungan dengan kekeluargaan, warisan, pola perkawinan dan perceraian. Hal ini akan mengancam identitas kewanitaan, legalitas wanita sebagai istri, stabilitas perkawinan mereka, ikatan dan perannya dalam keluarga dan masyarakat, harga diripun menurun sehingga timbul frustasi dan perasaan tidak berdaya (Lee, Sun & Chao; Widge, 2001).

Masalah psikologis yang terjadi pada wanita yang menghadapi infertilitas juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Lee (2001) terhadap yang mengalami infertilitas di Thailand memperoleh hasil terjadinya peningkatan kecemasan dan ketegangan pada perempuan yang mengalami infertilitas. Kecemasan dan ketegangan ini mengganggu dalam berhubungan dengan orang lain karena adanya sikap curiga yang berlebihan ketika berbicara dengan orang lain dan mudah terpicunya emosi jika ada pernyataan orang lain yang dianggap menyinggung harga dirinya sebagai perempuan (Anggraeni, 2009)


(44)

Hasil penelitian Tabong and Adongo, 2013 di Ghana Utara, yang meneliti pengalaman pasangan infertil menunjukkan bahwa mereka merasa tertekan, frustrasi, menarik diri dari pergaulan, merasa terhina dan dianggap terkutuk bukan hanya di dunia tetapi juga di akhirat. Perempuan dilaporkan lebih khawatir tentang ketidakmampuan mereka untuk melahirkan anak daripada laki-laki. Perempuan tanpa anak-anak di usia tua mereka sering dicap sebagai penyihir dan ditinggalkan oleh keluarga mereka.

Perempuan tersebut tidak diperbolehkan untuk berinteraksi dengan anak-anak orang lain karena mereka dianggap bisa menyihir dan menyebabkan kematian anak-anak orang lain. Wanita infertil berbahaya bagi masyarakat di usia tua mereka karena mereka menjadi iri terhadap anak orang lain dan dapat menyebabkan kematian anak-anak orang lain. Ketidakbahagiaan mereka juga memiliki dampak langsung pada kehidupan seksual mereka yakni berkurangnya minat dalam aktivitas seksual dengan pasangan mereka.

Beberapa reaksi psikologis pada pasangan yang mengalami infertilitas : 1. Shock

Shock dan terkejut merupakan reaksi awal yang sering ditemui pada pasangan infertilitas, biasanya pada pasangan yang sehat berharap tidak ada masalah untuk bisa mempunyai keturunan. Reaksi mereka berbeda-beda tergantung dari kepribadian, citra diri dan kekuatan hubungan diantara pasangan.


(45)

2. Guilt

Salah satu pasangan yang di diagnosa mengalami masalah infertilitas mungkin merasa bersalah karena dia yang menyebabkan tidak bisa mempunyai anak. Menyesali perilaku masa lalu yang ternyata mempengaruhi kesuburan mereka, seperti praktek seksual yang tidak sehat yang mengakibatkan infeksi pada organ reproduksi.

3. Isolation

Pasangan yang mengalami masalah infertilitas seringkali merasa berbeda dari pasangan lain yang subur, mereka mungkin mengisolasi diri dari orang-orang, untuk menghindari rasa sakit emosional, dengan melakukan itu mereka juga mengisolasi diri dari sumber-sumber dukungan.

4. Depression

Salah satu atau kedua pasangan yang mengalami infertilitas mungkin mengalami depresi, terutama jika terapi tidak berhasil dengan cepat. Harapan dan keputusasaan untuk hamil datang silih berganti di setiap siklus menstruasi, tetapi dalam jangka waktu panjang utuk mengurangi kekecewaan mereka mencoba untuk tidak terlalu berharap banyak. Dalam hal ini mungkin pasangan pun bisa marah dan menghakimi orang lain.

Infertilitas memberikan dampak yang besar pada kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang. Proses pengobatan infertilitas merupakan metode invasif yang membutuhkan waktu yang lama dan merupakan prosedur yang membuat tidak nyaman.


(46)

Banyak pasangan yang merasa ternoda dan malu karena mereka mengalami infertilitas. Pengalaman infertilitas membuat mereka terisolasi sehingga menimbulkan stres dan cemas dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari mereka. Tingkat keberhasilan pengobatan rendah, sehingga banyak pasangan yang mengalami kesedihan dan kehilangan yang berulang sehingga membuat depresi. Biaya pengobatan yang harus dikeluarkan juga dapat membuat stres pasangan yang sedang menjalani pengobatan. Masalah emosi yang muncul pada pasangan yang infertil yaitu, kehilangan harga diri, berkabung, ancaman, rasa bersalah, masalah perkawinan dan juga masalah kesehatan.

2.2. Mekanisme Koping 2.2.1. Pengertian Koping

Koping berasal dari kata coping yang bermakna harafiah pengatasan atau penanggulangan (to cope with artinya mengatasi/menanggulangi).

Koping adalah bagaimana reaksi orang ketika menghadapi stres atau tekanan. Koping sering dimaknai sebagai cara memecahkan masalah (problem solving). Pemecahan masalah lebih mengarah pada proses kognitif dan persoalan yang juga bersifat kognitif.

Koping diartikan sebagai apa yang dilakukan oleh individu untuk menguasai situasi yang dinilai sebagai suatu tantangan/luka/kehilangan atau ancaman. Jadi koping lebih mengarah pada apa yang orang lakukan untuk mengatasi tuntutan-tuntutan yang penuh tekanan atau yang membangkitkan emosi (Siswanto, 2007).


(47)

2.2.2. Pengertian Mekanisme Koping

Mekanisme koping merupakan tiap upaya yang ditujukan untuk penatalaksanaan stres, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan ego yang digunakan untuk melindungi diri (Stuart, 2007)

Mekanisme koping terbentuk melalui proses belajar dan mengingat, yang dimulai sejak awal timbulnya stressor dan saat mulai disadari dampak stressor tersebut. Kemampuan belajar ini tergantung pada kondisi eksternal dan internal, sehingga yang berperan bukan hanya bagaimana lingkungan membentuk stressor tetapi juga kondisi temperamen individu, persepsi, serta kognisi terhadap stressor tersebut.

Mekanisme koping bersumber dari ego, sering di sebut sebagai mekanisme pertahanan mental, yaitu yang terdiri dari; denial ( menyangkal) menghindarkan realitas ketidak setujuan dengan mengabaikan atau menolak untuk mengenalinya, projeksi yaitu mekanisme perilaku dengan menempatkan sifat-sifat batin sendiri pada objek di luar diri atau melemparkan kekurangan diri sendiri pada orang lain, regresi yaitu menghindarkan stres terhadap karakteristik perilaku dari tahap perkembangan yang lebih awal, displacement (mengisar) yaitu mengalihkan emosi yang seharusnya diarahkan pada orang atau benda tertentu ke benda atau orang yang netral atau tidak membahayakan, mencari dukungan sosial seperti keluarga mencari dukungan atau bantuan dari keluarga, tetangga, teman atau keluarga jauh, reframing yaitu mengkaji ulang kejadian stres agar lebih dapat menanganinya dan menerimanya, mencari dukungan spiritual seperti mencari dan berusaha secara spiritual, berdoa, menemui


(48)

pemuka agama atau aktif pada pertemuan ibadah, dan yang terakhir adalah menggerakkan keluarga untuk dapat menerima bantuan, keluarga berusaha mencari sumber-sumber komunitas dan menerima bantuan orang lain.

Mekanisme koping yang berorientasi pada tugas digunakan untuk menyelesaikan masalah, menyelesaikan konflik dan memenuhi kebutuhan dasar. Terdapat 3 macam reaksi yang berorientasi pada tugas yaitu; prilaku menyerang (Fight), prilaku menarik diri (withdrawl), dan kompromi (Rasmun, 2004).

Pada prilaku menyerang, individu menggunakan energinya untuk melakukan perlawanan dalam rangka mempertahankan integritas pribadinya. Prilaku yang ditampilkan dapat merupakan tindakan konstruktif maupun destruktif yaitu tindakan agresif (menyerang) terhadap obyek, dapat berupa benda, barang, orang lain atau bahkan terhadap diri sendiri. Sedangkan tindakan konstruktif adalah upaya individu dalam menyelesaikan masalah secara asertif, yaitu dengan kata-kata terhadap rasa ketidak senangannya. Seperti kompromi juga merupakan tindakan konstruktif yang dilakukan oleh individu untuk menyelesaikan masalah. Lazimnya kompromi dilakukan dengan cara bermusyawarah atau negosiasi untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Secara umum kompromi dapat mengurangi ketegangan dan masalah dapat diselesaikan.

Prilaku menarik diri adalah perilaku yang menunjukkan pengasingan diri dari lingkungan dan orang lain, jadi secara fisik dan psikologis individu secara sadar pergi meninggalkan lingkungan yang menjadi sumber stressor misalnya; individu melarikan diri dari sumber stres, menjauhi sumber beracun, polusi dan sumber


(49)

infeksi. Sedangkan reaksi psikologis individu menampilkan diri seperti apatis, pendiam dan munculnya perasaan tidak berminat yang menetap pada individu (Rasmun, 2004).

Menurut Stuart dan Sundeen (2005), mekanisme koping juga dapat di golongkan menjadi 2 (dua) yaitu : mekanisme koping adaptif dan mekanisme koping maladaptif. Mekanisme koping adaptif merupakan mekanisme yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang dan aktivitas konstruktif (kecemasan yang dianggap sebagai sinyal peringatan dan individu menerima peringatan dan individu menerima kecemasan itu sebagai tantangan untuk di selesaikan). Sedangkan mekanisme koping maladaptif adalah mekanisme yang menghambat fungsi integrasi, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah makan berlebihan/tidak makan, bekerja berlebihan, menghindar dan aktivitas destruktif (mencegah suatu konflik dengan melakukan pengelakan terhadap solusi).

2.2.3. Mekanisme Koping Perempuan yang Mengalami Infertilitas

Penelitian yang dilakukan oleh Tirtaonggana (2005) menunjukkan meskipun infertilitas merupakan stressor yang berat namun tidak semua pasangan memiliki sikap yang negatif, terdapat pasangan yang semakin menguatkan komitmen pernikahan, mendekatkan diri kepada Tuhan, saling menguatkan agar sabar, mencari alternatif sebagai solusi terhadap masalah ketidakhadiran seorang anak dengan cara bertanya terhadap tenaga kesehatan yang menangani masalahnya dan berbagi dengan


(50)

pasangan lain yang memiliki masalah yang sama. Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya pengaruh positif dukungan yang diberikan kepada perempuan dengan masalah infertilitas.

Jika individu berada pada posisi stress manusia akan menggunakan berbagai cara untuk mengatasinya, individu dapat menggunakan satu atau lebih sumber koping yang tersedia. Seseorang yang mengalami masalah serius dan dianggap sebagai penyakit akan menunjukkan kesadaran yang tinggi terhadap kepercayaannya yang tampak pada perilakunya sehari-hari. Individu memerlukan segala usaha untuk mengatasi stress akibat kondisi yang dialaminya.

Memiliki strategi koping sangat penting untuk melanjutkan hidup tanpa anak-anak . Mekanisme koping tergantung pada sumber daya internal seperti kekuatan batin, rasa percaya diri, dan penerimaan yang benar tentang nasib mereka, mampu bergantung pada struktur dukungan atau mencoba untuk melanjutkan dengan berfokus pada masa depan.

Mekanisme koping dapat digunakan individu untuk memecahkan masalah, koping yang efektif akan membantu individu terbebas dari stress yang berkepanjangan(Tabong and Adongo, 2013).

Studi tentang mekanisme koping pada penderita infertilitas menunjukkan bahwa mekanisme koping memiliki keterkaitan dengan respon individu dalam menghadapi masalah, hasil studi menunjukkan bahwa perempuan penderita infertilitas mengalami respon kesedihan, cemas, cemburu/iri, isolasi dan marah. Dalam mengatasi masalah berkaitan dengan infertilitas pasangan menggunakan


(51)

mekanisme koping dengan cara melakukan pengobatan secara medis maupun non medis, mencari informasi, pasrah dan berdoa, berusaha sabar, mengambil hikmah dari kondisi dan mencari dukungan keluarga, teman serta menceritakan masalah kepada orang lain.

Penelitian yang dilakukan oleh Ernestine S Donker and Jane Sandall tentang strategi koping perempuan dalam mencari pengobatan infertilitas di Ghana Utara menunjukkan bahwa mekanisme koping yang dilakukan oleh para perempuan adalah 95 % mempunyai harapan situasinya akan berubah, menceritakan masalah kepada orang lain untuk mendapatkan solusi, 41 % mencari pengobatan dari profesional, 85 % menyimpan perasaannya sendiri dan 95 % percaya bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik.

Hasil studi Davis & Dearman di Amerika menunjukkan banyak perempuan yang mengalami kesedihan mendalam dan frustasi, dengan melampiaskan emosi dan menangis biasanya mereka akan merasa lebih baik. Woolet, dalam sebuah studi di Amerika Serikat menemukan bahwa koping yang dilakukan perempuan yang infertil adalah mencari bantuan medis dan menambah pengetahuan mengenai infertilitas. Hasil penelitian Parry di Amerika Serikat, Unisa di India dan Davis & Dearman di Amerika Serikat menunjukkan bahwa mekanisme koping yang dilakukan perempuan adalah dengan banyak membaca dan belajar mengenai keadaan mereka, berdoa dan percaya bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik.


(52)

2.3. Infertilitas Dilihat dari Faktor Budaya

Berbagai budaya di belahan dunia masih menggunakan simbol dan upacara adat untuk merayakan fertilitas ataupun keberhasilan pasangan dalam memperoleh keturunan. Salah satu upacara yang masih bertahan sampai saat ini ialah adat istiadat melempar beras ke arah pengantin pria dan wanita. Ada juga yang memberikan rokok, permen ataupun pensil sebagai ucapan selamat kepada pria yang baru menjadi ayah sebagai antisipasi kelahiran anak. Banyak budaya yang masih menjamur terutama ditengah-tengah masyarakat kita yang menyatakan bahwa suatu ketidaksuburan itu merupakan tanggung jawab wanita (Ferrystoner, 2013).

Beberapa budaya menganggap suatu ketidaksuburan merupakan tanggungjawab perempuan. Terlepas dari penyebab medis infertilitas, perempuan menerima kesalahan utama atas kemunduran reproduksi dan mereka menderita kesedihan pribadi dan frustrasi, stigma sosial, pengucilan dan kesulitan ekonomi yang serius (Tabong and Adongo, 2013). Ketidakmampuan perempuan untuk mengandung dihubungkan dengan dosa-dosanya, perbuatan yang tidak senonoh dimasa lalu, dan menunjukkan bahwa perempuan adalah individu yang tidak adekuat (Anwar, 1997; Olds, London, Ladewig, 2000). Perempuan pada awalnya merasa bahwa dirinya adalah penyebab ketidaksuburan, dan seringkali perempuan yang pertama divonis oleh masyarakat sebagai individu penyebab masalah tanpa melihat terlebih dahulu penyebabnya (perempuan atau laki-laki).

Masalah infertilitas juga menyebabkan stres pada laki-laki, namun stres lebih banyak dan lebih cepat dialami oleh perempuan (Watkins & Baldo, 2005). Tidak


(53)

jarang kekerasan dalam rumah tangga terjadi akibat ketidakadilan memandang masalah terkait infertilitas, sehingga pada akhirnya perempuan yang menjadi korban baik secara fisik, ekonomi, seksual maupun psikososial (Greil, 1997 dalam Benyamini, Gozlan & Kokia, 2004; Gibson & Myer, 2002 dalam Watkins & baldo 2004; Old, London & Ladewig 2000).

Di Kamerun, infertilitas adalah alasan untuk perceraian pada suku Bangangte yang menyebabkan seorang wanita kehilangan aksesnya dan sama sekali tidak dihargai terutama oleh keluarga suaminya. Di Mesir, perempuan harus menjalani ritual yang rumit yang dikenal sebagai Kabsa dalam upaya untuk mengatasi ketidaksuburan. Di Nigeria Barat, perempuan diperlakukan sebagai orang buangan dan setelah mereka mati, mayat mereka dimakamkan di pinggiran kota dengan orang-orang orang-orang yang mengalami sakit gangguan mental (Tabong and Adongo, 2013).

2.3.1. Infertilitas Menurut Suku Karo

Karo adalah salah Suku Bangsa yang mendiami Utara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama Kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yait

Suku Karo memiliki sistem kemasyarakatan ata

nama merga silima, tutur siwaluh, da

sedangkan untberu. Merga atau beru ini disandang di belakang nama seseorang. Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok, yang disebut dengan merga silima.


(54)

Masyarakat Karo merupakan masyarakat yang menganut budaya patrilineal. Dalam masyarakat patrilineal suami merupakan pengambil keputusan tertinggi dalam keluarga, termasuk keputusan perempuan untuk menentukan hak-hak reproduksinya.

Dalam filosofi Karo, tujuan hidup seseorang adalah untuk mendapatkan

kesangapen (hidup sejahtera), yaitu ertuah (mempunyai keturunan) dan bayak

(memiliki kekayaan), yang artinya jika salah satunya tidak terpenuhi maka hidupnya dikatakan tidak sejahtera. Tugas perkawinan dalam suku Karo salah satunya adalah sebagai sarana untuk meneruskan keturunan (fungsi reproduksi). Mendapatkan keturunan bagi masyarakat Karo, adalah hal yang amat penting. Walaupun dengan perkembangan pemikiran yang semakin maju masyarakat Karo lebih gembira lagi apabila mempunyai anak laki-laki, karena ini berhubungan dengan penerus keturunan dari klannya.

Masyarakat Karo menilai bahwa perempuan yang tidak bisa memiliki anak itu dianggap kurang sempurna, dalam pandangan masyarakat Karo sebagian membaca orang dengan istilah subur dan tidak subur, subur itu bagus, tidak subur itu berarti sulit untuk mempunyai anak. Guyonan yang beredar di masyarakat Karo orang yang mempunyai anak tempat duduknya panas, sehingga kalau kita duduk di tempat bekas perempuan kemudian panas, berarti dia anaknya banyak.

Dalam tradisi Karo, belum mengenal terapi medis untuk mendeteksi dan mengobati infertilitas, biasanya hanya terapi pijat dan melakukan acara “Nengget. (komunikasi interpersonal dengan Toma, tanggal 18 Februari 2014)


(55)

Nengget adalah salah satu jenis upacara religi yang sampai saat sekarang ini masih dilaksanakan atau masih diyakini oleh masyarakat etnik Karo. Nengget itu sendiri berarti engadakan kejutan pada keluarga yang sudah lama menikah tetapi belum memiliki keturunan. Nengget secara harafiah berarti membuat kejutan atau membuat orang terkejut. Upacara ini dilakukan dengan harapan jika tendi atau jiwanya dibuat terkejut dan dipermalukan maka akan ada harapan nantinya pasangan ini akan segera mendapatkan keturunan (komunikasi interpersonal dengan Toma, tanggal 18 Februari 2014).

Menurut suku bangsa Karo keadaan 'terkejut' mempunyai fungsi yang besar sekali hubungannya dengan prokreasi (melanjutkan keturunan). Keadaan terkejut sengaja diciptakan untuk menghasilkan sebuah proses yang dipercayai dapat membawa dampak yang baik bagi pasangan suami istri (pasutri) yang belum memperoleh keturunan, maupun bagi sebuah keluarga yang belum mempunyai anak yang berjenis kelamin laki-laki.

Mendapatkan anak bagi masyarakat Karo adalah suatu hal yang amat penting. Walaupun dengan perkembangan pemikiran yang semakin maju masyarakat Karo lebih gembira lagi apabila mempunyai anak laki-laki, karena hal ini berhubungan dengan penerus keturunan dari klannya, dimana masyarakat Karo menganut garis keturunan berdasarkan garis ayahnya (paternalistik). Namun akibat faktor-faktor biologis dan non-biologis banyak juga pasangan suami istri yang belum mendapatkan keturunan walaupun telah bertahun-tahun membina hubungan rumah tangga.


(56)

Nengget secara harafiah berarti membuat orang terkejut. Nengget erat kaitannya dengan konteks adat-istiadat, dimana di dalam adat nggeluh (adat orang hidup) orang Karo diatur berdasarkan "merga silima, rakut si telu dan tutur si waluh”. Wujudnya ada tiga kelompok dalam masyarakat Karo, yaitu kalimbubu (pihak pemberi wanita), senina (saudara), dan anak beru (pihak penerima wanita). Berhubungan dengan nengget tersebut, maka ada beberapa jenis nengget yang ada sesuai dengan fungsinya, yaitu :

1. Nengget, yaitu upacara tradisional yang dilakukan menurut adat karo, berupa melakukan kejutan bagi keluarga dengan harapan agar keluarga itu memperoleh anak (laki-laki dan perempuan). Peralatan untuk nengget ini adalah uis arinteneng, uis kapal (ndawa), batu (simbol anak), tumba beru-beru (tempat air),

lau simalem-malem, gendang, serta makanan (sangkep). Pada malam yang

ditentukan keluarga itu disenggeti (dikejutkan) oleh simehangkenya (seperti turangkunya) dari keluarga itu sambil berkata: "Emaka mupus... dilaki/diberu ningku si Anu, adi lang ngayak mate kita la rebu!!". Kemudian suami istri itu diosei secara terbalik, yaitu laki-laki berpakaian wanita dan si wanita berpakaian laki-laki. Setelah acara ini biasanya makan atau bisa juga dilanjutkan dengan acara menari. Di Karo Jahe biasanya sebelum disenggeti alat musik gung dan gendang biasanya dipukul terlebih dahulu. Setelah makan kemudian diberikan sen

penjujuri (gantang tumba) dan mereka biasanya didudukkan kembali seperti


(57)

2. Lentarken, yaitu upacara nengget yang dilakukan ketika ada yang meninggal dunia atau pada acara nurun-nurun. Pelaksanaannya dilakukan yakni ketika sedang menari keluarga yang tidak mempunyai keturunan itu tiba-tiba ditangkap oleh turangkunya (rebunya) masing-masing, kemudian dilentarken (ditangkap) dan selanjutnya diosei secara terbalik seperti pada acara nengget. Setelah ditangkap kemudian diarak dan acara menari.

3. Jera la mupus, yaitu upacara nengget yang diadakan pada acara memasuki rumah baru (mbengket rumah mbaru atau sumalin jabu). Nengget ini dilakukan ketika yang empunya rumah yang belum mempunyai keturunan mau memasuki rumah baru, kemudian di depan pintu masuknya mereka dihalangi oleh rebunya sambil berkata "Ma jera kam la mupus?" Maka oleh yang empunya rumah dijawab "Jera!". Hal ini dilakukan sebanyak empat kali. Bilangan empat ini juga tentunya mempunyai makna, yaitu selpat (putus hubungan) dengan hal-hal yang tidak baik. Setelah empat kali ditanya, maka mereka diperbolehkan memasuki rumah barunya.

4. Sengget, yaitu terkejut. Terkejut ini mempunyai beberapa proses yang mempunyai arti bagi masyarakat Karo. Misalnya seseorang yang terkejut dapat menjadi sakit karena ditinggalkan oleh tendi (roh). Tendinya ini bisa jadi kicat (terjepit) di sebuah batu, di sebuah tempat yang angker dan sebagainya. Untuk melepaskan

tendi ini maka biasanya juga dilakukan upacara melepas tendi ini seperti raleng tendi, ngkiap tendi, ngkicik tendi, ngkirep tendi dan sebagainya. Sebagai upah kepada roh yang menahan tendi ini biasanya adalah manuk kahul (ayam


(1)

Verbatim 4

P : Peneliti I : Informan

P / I Verbatim P

I

P I P I P I P I P I

P I

P I

P I P

Kak, menurut kakak apa arti sebuah perkawinan?

Kalo menurut aku suatu perkawinan itu adalah suatu karunia yang diberikan Tuhan, yang perlu dijaga agar utuh.. ikatan lah kalo rumah tangga.

Umur kakak berapa kak? 49 tahun

Umur abang kak?

67 tahun, beda kami hampir 20 tahun. Iya ya...

Pernikahan yang sekarang inilah yang kedua

Ini pernikahan ke dua, yang pertama kemaren, maaf ya kak kalau kita ungkit lagi masa lalu, kemarin berpisah kenapa kak?

Seringkali kami nggak cocok, nggak ada anak kami kemaren Karena nggak ada anak kak?

Iya hanya itu saja, cuman gara gara…. Yah pisah kami gara gara gak ada anaknya. Sudah mulai dia.. 8 tahun kami berumah tangga, mulai menjelang 6 tahun mulai dia dah pacar pacaran lah terus dah sering gak pulang ke rumah setelah itu berjalan juga nya sampe 8 tahun.

Itu awalnya semuanya karna gak punya anak??

Awalnya karena gak ada anaknya itu nya penyebabnya, kalo gara gara ekonomi gak nya, pacaran pun dia kaya kemaren sabarnya aku selalu, kapan pun dia pulang ke rumah masi tetap nya bagus ku buat pelayanannya, ku kasi tehnya makan, selalu nya ku urus kalo makanannya.

Jadi kok bisa sampai bercerai? Gimana ceritanya kak?

Aku sudah mulai bosan. Eeehhh kenapa kamu gak pulang kamu ku bilang kemaren, terus di jawabnya aku udah mulai bosan, bosan aku cepat pulang ke rumah ke rumah pun aku gak ada orang di rumah gak ada yang mau di gendong gak ada anak kamu pun katanya. Aku pula emangnya mau gini gini aja di rumah, kamu beli TVpun sepinya kurasa.. aku emangnya yang mau gak punya anak, makanya berobat kita kubilang

Itu kemaren berobat kalian kak?

Berobat kami ke Rumah Sakit Cipto itu kami berobat, kan di Jakarta kami kemaren tinggal


(2)

I P

I

P I P

I

P I

P I

P I

Iya gak berhasil.

Terus untuk perkawinan yang ke dua, yang sama abang sekarang gimana perkawinan kalian kak??

Emmm, sebelum menikah kemaren gak ada kam trauma, akan terjadi lagi seperti itu, mana tau bisa kayak yang dulu pula nanti.

Itu ada pula memang sempat terpikir kemaren mana tau kaya yang dulu pula nanti ku pikir, tapi ternyata ada sudah anaknya , kan anak juga yang ku cari pikirku kemaren terus udah jodoh pula ku pikir, mau lah aku sudah dia jodohku kupikir pula lah.

Tapi kalo yang sekarang sama abang gak ada pun anak yang sama kalian gak masalah kan?

Kalo itu gak, tetap nya kami bahagia.

Kira kira apa pengalaman kakak yang paling menyakitkan lah yang pernah kam alami yang berhubungan dengan keadaan yang belum ada anak?

Waktu waktu belum ada anak ku kemaren? Kemaren itu pernah aku ke gereja, ini bukan orang lain saudara perempuan ku sendiri, anaknya ada dua anaknya dekat kali sama aku, kalo ada anak anak jajan di gereja mau beli mobil mobilan atau pun balon gitu kan sana minta sama tante kata kakak ku itu tadi, kukasi sama keponakan ku itu. Terus sekali kemaren ku panggil anak nya itu tadi “buat anak kamu” kata kakak ku itu tadi, itu kemaren sangat sakit hati kali aku sedih kali aku di buat nya bikin anak mu katanya. Iiiihhhhhh kok gitu kali kakak ku ini ngomong sama ku ya padahal dia dah tau dah berapa tahun aku berumah tangga belum ada anak ku gitu pula dibilangnya sama ku iiihhh gitu kali ya ku pikir kakak ku sendiri gitu ngomong sama ku sakit kali hati ku Pas waktu itu kebetulan suamiku gak ikut pula gereja hanya aku sendiri.

Itu kakak kandung atau apa?

Iya kakak kandung. Kakak kandung gitu kali kakak itu ngomong sama ku kenapa maka enggak ada anak mu katanya sakit kali ku rasa kemaren, berdoa aku sama Tuhan kasian kam sama ku Tuhan kuatkan aku Tuhan kapan pun kam kasi aku tetap siap menerimanya Tuhan. Jadi pasti lah ada rasa sakit hati di buat kakak kandung sendiri yang ngomong gitu cara kamu menghadapinya gimana kam buat kak?

Cara menghadapi nya biar gak stres kurasa gitu? Yahh pergi pula aku ke salon, jalan-jalan aku ke Ramayana gitu, gak ada pun uang biar cuci cuci mata aja gitu. Terus rajin pula memang aku ke Moria.

Jadi tetap ikut perkumpulan perkumpulan gitu ya..?

Rajin pun aku ke gereja, Moria, di situ cuma kudapat ketenangan biar tenang hati ku. Ngomong-ngomong sama orang gitu kan ternyata gak aku saja orang yang gak punya anak di dunia ini, banyak orang lain yang nggak ada juga anaknya.


(3)

P

I

P I

P I P I

P I

P I P I P I

Terus menurut kakak, di adat kita orang karo yang kamu tau gimana orang memandang perempuan yang gak punya anaknya, menurut budaya kita karo lah kak.

Yaahh, kalo menurut ku, kalo adat karo kan kalo gak ada anak nya langsung di bilangnya ceraikan kata keluarga nya. Terus gak pula di liatnya mana tau anak nya yang salah itu lah mana tau sudah seperti itu kuadrat nya, kenapa maka perempuan yang langsung di vonis, perempuan yang langsung di salahkan dia nya yang gak bisa ngasi keturunan dia nya yang mandul.

Terus apa yang kakak tahu tentang julukan julukan atau pun sebutan kalo perempuan selalu gak ada anaknya?

Yaahh “mamak Sope” mamak Sope gitu di panggil kalo gak ada anak nya, kalo gak mamak Harapan mamak Harapan di bilang karna kalo mamak sope kan belum ada anaknya kalo mamak harapan karna harapan ada kan biasa nya di panggil gitu kalo belum ada anak nya. Aku sering kemaren di panggil gitu ooww mamak sope ooo mamak harapan gitu di panggil orang terus nya aku mengharap.

Terus julukan negatif yang kamu tau, kayak ada kemaren di bilang orang lahan yang kurang subur atau pun yang lain yang kakak tau?

Kalo aku belum pernah ku dengar kalo mandul di bilang orang sama ku, belum pernah lah di juluki orang yang gitu gitu sama ku.

Ada pendapat orang karo yang bilang kan semua perempuan disalahkan menurut kam itu gimana?

Perasaan ku salah anggapan itu, kenapa harus perempuan , karena laki laki pun ada juga yang impoten. Kenapa harus perempuan yang disalahkan mandul. Jalan satu satunya biar tau kita siapa yang salah siapa yang enggak kan sama sama berobat kan gitu? Biar tau siapa yang mandul siapa yang enggak kan gitu.

Terus yang kam tau orang karo gimana?

Iiiihhh kalo orang karo biasanya perempuan yang selalu berobat yang laki laki enggak. Ayok sama sama berobat diajak, aku enggak kamu nya itu egois sebenarnya laki laki ini.

Menurut kakak itu kenapa?

Kalo menurut aku yahh udah lah campur disitu semua egois dia, atau pun malu dia ketauan nanti penyakit nya.

Karna berhubungan dengan kejantanan?

Iya memang jantan dia tapi spermanya gimana? Mana tau gak bagus Terus menurut abang gitu kalo tetap gak punya anak gimana katanya kak?

Kalo dia berharap memang dia ada maunya satu aja keturunan ku di pernikahan ini katanya terus kalo gak ada pun aku pun gak lagi pala menginginkan karena banyak pula anak ku ini yang ku dapat ini ada 7.


(4)

P

I P I

P I

P I

Jadi abang gak terbeban? Atau pun ada tekanan yang dikasi sama kam atau pun mana tau ada kata kata nya yang menyakitkan sehubungan keadaan kakak gitu gak pernah?

Maksud kamu?

Tadikan ada harapannya ada maunya keturunan tapi tetap belum ada gitu dia gak ada masalah?

Enggak lah kurasa....Enggak pun ada anak kamu, adanya udah anak kita katanya..

Aku rajinnya ke gereja. Banyak pun yang bikin sakit hati, kayak kakak ku itu berbicara ku pikir adanya nanti tergerak hatinya ku pikir sabar aku sabar aku berdoa aku selalu. Tuhan... lihat lah aku Tuhan. Sampe sekarang gitulah ku ucapkan, cukup lah Tuhan gak ada kepercayaanMu memberi aku anak tapi satu cuman yang ku minta samaMu Tuhan beri aku kesehatan beri kepada ku kekuatan agar bisa ku cari kehidupan ku. Cukup anak ku yang 7 ini yang ku dapat ini yang ku sayang, kalo sayang aku sama mereka, mereka pun akan sayang sama ku itu yang ku harap kan, kalo enggak sebetulnya sakitnya ku rasa. Kalo sekarang kamu bilang, enggak pun ada anak ku enggak nya apa apa kurasa pun.

Memang waktu dulu pernah kalo kita perempuan ini kan apa lagi kalo tinggal di kota kan tiap sore kan kita rapikan tempat tidur kita, seringkali terlintas di pikirannku disini maunya anak ku tadi tidur, ini bantalnya ini lah ininya inilah itunya sering kali kemaren terlintas di hayalan ku aahhh terus menerus nanti aku tinggal di hayalan pikir ku kalo enggak di dalam hayalan ku aku semangat kali memiliki anak, aku kalo ada anak ku, kalo hamil nanti aku daster yang kaya gini, ada lah gitu sangat semangat kali aku pokoknya kalo hamil aku ini dah gini ku buat bajua anak ku gini kubuat tempat tidurnya gini ku buat, gitu pula memang hayalan ku. Jadi kalo memang belum tercapai sampai sekarang gimana perasaan kakak?

Enggak lagi nya sekarang apa lagi udah ada anak ku itu namanya lima orang orang itu udah ku sekolahkan udah ku nikahkan, istilahnya rasa melahirkan itu lagi belum kurasakan kalo rasa membesarkan anak udah kurasakan, nyekolahkan anak udah menikahkan anak udah ngurus anak udah kurasakan.

Kalo sekarang bagaimana....?

Gak lagi nya aku pengen kali, gak lagi nya, apa lagi sekarang udah menopouse pun gak lagi nya ada keinginan kita pun ke situ. Sekarang gimana caranya agar sehat, gak ada lagi keinginan ku gak lagi kepingin kali aku, gak lagi..

Tapi terbersit di hati ku kalo baik ku buat sama anak ku ini baik pula dibuatnya nanti samaku, kalo gak baik di buatnya sama ku ya Tuhan lah yang tahu semuanya gitu lah yang ada di hati ku.


(5)

P I P I P I P I P I P I

P I

Aku kuanggap semua anak kandung, tapi kamu kan tau kita menjumpai anak yang gak dari perut kita. Kita harusss gini tadi lah sudah pun kita jadi ibunya kalo dah besar kita dapat kita harus bisa menyesuaikan diri agar tidak terjadi perkelahian kalo gak pun anak yang berasal dari perut kita pun bisanya berkelahi apa lagi ini gak berasal dari perut kita sendiri. Ada yang sudah kita temukan jadi anak gadis sebagian lagi sudah menikah sampe sekarang enggak pernah nya kami saling menyakiti hati, gak pernah nya. Senang ya senang gitu aja.

Jadi hubungan sama anak sama menantu semuanya berhubungan baik kak?

Baik.

Terus kalo sekarang.. Dah menopause kamu kak? Udah.

49 tahun umurndu tadi ya, waktu menikah sama abang kemaren kak? Beda 20 tahun kami, umur-umur 27 atau 28 gitulah

Tahun berapa kalian menikah kak? Tahun 1993.

Tahun 1993 kalian menikah berarti sudah 21 tahun Iya.. itu lah lamanya aku menikah yang kedua. Apa yang kakak rasakan?

Bahagia. Ya kalo rumah tangga ya di bahagiakan lah

Iya kalo di lihat kan dah 21 tahun kami menikah dengan abang kamu ini, orang ini belum menikah kemaren 5 masi sekolah SD,SMP menjelang dewasa perempuan dan laki laki kalo ini semua yang mau ku hadapi gimana lah ini ku pikir gimana lah ini ku pikir terus, enggak ada ku sangka. Terima kasih Tuhan bisa rupanya ku buat tamat SMA ku buat udah ada pula yang menikah semuanya, gak ada yang mustahil bagi Tuhan pikirku. Disini bukan karena kekuatan aku sama abang kamu itu bukan, bukan karna ada uang abang kamu itu bukan, aku pun keladang cuman kerja ku.

Apa pernah ada hal negatif yang pernah kakak lakukan sehubungan dengan keadaan kakak yang belum punya anak?

Pernah sekali kemaren itu, apa lah salah dosa kamu mamak bapak ku bilang pula maka aku seperni ini kubilang. Yaaah enggak adanya salah ku sama salah bapak kamu, mana tau kemaren kakek dan nenek kamu yang bersalah. Ke kakek nenek pula di salah kannya terus ku pikirkan aaahhh bodoh kali rupanya pertanyaan ku ini kan ku tanyak sama mamak dan bapak di bilangnya pula kakek sama nenek. Udah nya gini nasibku kupikir enggak pun bukan hanya aku yang gak punya anak di dunia ini banyak, tapi kalo aku saja yang kaya gini di dunia ini bisa apa lah salah mamak bapak ku enggak pun bukan hanya aku yang gak punya anak di dunia ini banyak, tapi kalo aku saja yang kaya gini di dunia ini


(6)

P I

P I P I

P I

bisa apa lah salah bapak ku maka bisa aku kayak gini. Ini enggak, makanya aku enggak nya pernah putus asa aku berpikir sudah gini lah nasib ku.

Berarti dah pasrah lah ya...?

Sudah pasrah aku sama Tuhan. Sewaktu belum menopause kemaren tetapnya ada harapanku, sekarang ya pasrahlah, kan dah ada aku 2 tahun ini menopouse, doaku sekarang kan dah menopouse aku Tuhan sekarang aku sudah yakin, pasrah aku kamu tidak percaya sama aku gak kamu kasi aku anak, tapi satu cuma ku minta sama kamu mulai aku kecil sampai aku sudah tua sekarang umur ku sudah 49 tahun kamu selalu ku sembah, selalu kupuji satu yang ku pinta pada Mu, tetaplah buat aku tenang di hati ku dan di rumah tangga ku, damai Mu tetap menyertai, berilah kesehatan kepada ku agar aku sehat aku menjalani umur ku yang tua ini agar bisa ku jalani kerjaan ku dalam kehidupan ku sehari hari. Jadi itu lah harapan nya sekarang?

Itu lah harapan ku sekarang.

Berarti bagus lah kak, bisa dikatakan termasuk perempuan hebat. Jadi bisa perempuan lain belajar dari kakak.

Yah, kalau hebat kam bilang, hebatlah itu. Pokoknya jangan mau lakukan yang aneh-anehlah, apalagi sampe mau bunuh diri. Iiihhhh kalo ada perempuan kaya gitu percuma dia ke gereja selalu hanya untuk menunjukkan baju nya, tas nya yang baru, kalo hanya untuk itu dia ke gereja lebih baik dia gak usah ke gereja, kalo kita ke gereja kan supaya menenangkan hati kita gimana kita agar lebih menerima kehidupan kita di dunia ini. Apa lagi jaman sekarang ini kamu tau semakin lama semakin gawat.

Iya lah kak ini bisa jadi inspirasi bagi perempuan lain, pokoknya supaya perempuan lain jadi lebih semangat. Terimakasih ya kak...