PERBANDINGAN MAZHAB AGAMA DAN NEGARA

PERBANDINGAN MAZHAB : AGAMA DAN NEGARA

Oleh:
Kelompok 11

Rendy Iskandar Chaniago

1112113000017

Ash-Shidiq
Muhammad Ardiansyah
Dosen Pengampu
Dr. Sri Mulyati, MA

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2012

Kata Pengantar

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat ihsan
dan Islam kepada kami, sehingga berhasil menulis dan menyelesaikan makalah ini yang
Alhamdulillah tepat pada waktunya. Tak lupa kami panjatkan sholawat ke Baginda Nabi
Muhammad S.A.W yang telah membawa manusia menuju zaman terang benderang seperti
yang kita rasakan sekarang.
Makalah ini berisikan tentang pandangan para ulama Islam tentang asal usul negara
sebagai organisasi tertinggi dalam islam. Selain itu, penulis juga menjelaskan syarat-syarat
pemimpin dalam islam dan kedudukan seorang pemimpin layaknya seorang imam dalam
sholat. Tak hanya itu, penulis juga menjelaskan bagaiman sistem pemerintahan yang terbaik
untuk negara sehingga dapat menopang kelangsungan beribadah dan melakukan kegiatan
sosial. Dalam mementukan perbedaan pandangan tersebut, penulis akan mengunakan
Muqaran fil Ushul untuk menemukan hubungan terbaik antara agama dan negara.
Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua
tentang fitrah manusia untuk berkumpul dan kepemimpinan dalam Islam.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, saya ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah
SWT senantiasa me-ridhai segala usaha kita, Amin.


Ciputat, 16 Desember 2012

Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………..
BAB I

PENDAHULUAN
Pernyataan Masalah……………………………………………
Pertanyaan Penilitian………………………………………….
Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………
Tinjauan Pustaka……………………………………………..
Kerangka Teoretis…………………………………………..
1. Faktor Trafficking………………………………….
a. Kemiskinan…………………………………
b. Rendahnya pendidikan………………………..
c. Minimnya Lapangan Pekerjaan…………………
2. Sekuritisasi……………………………………………..
3. Faktor-faktor Sekuritisasi Isu women trafficking dalam perumusan

kebijakan luar negeri……………………
F. Metodologi Penelitian…………………………………………..
G. Sistematika Penelitian……………………………………….
A.
B.
C.
D.
E.

BAB II
A.
B.
C.
D.
BAB III

BAB IV

HUBUNGAN BILATERAL INDONESIA-MALAYSIA
Hfjasfjjsfhjah ……………………………………………

Jasfhjasfhajshfjasfashfjasf…………………………….
Afhajsfhjkjkasfjkahsjkjkhasfjhsjfhjsfbjkasfhba………….
Jasfhjasfjsjhsjkhjjasfhjkasfjahfja……………………..

FJSKFHSJFHSAJKSHJASJHASJHAJFHJAS
A. Jahsfbajhsfbajsfjasf asdbshjbasdbhasbd……………………..
1. Jfhnajsfhjasfjasjfas………………..
2. Ajfdasfjasfjsjfs………………………………..
B. Jsfjasbasjf asfbjabfjasjfbja afbjasbf…………………………

FASFJKAJSFJABSFJBASFJASBFJABSFBASFBJKAS
A. Jcjasbjabsjd…………………………………………..
B. Asfjajsfjasfjs…………………………………………….
C. Afjasfjsjasfjasfjhsjasfjhasfjsa………………
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan dan Saran……………………………………………
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….
LAMPIRAN-LAMPIRAN


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia adalah mahluk paling sempurna di muka bumi, Allah memberikan akal yang
dengannya manusia dapat membedakan baik dan benar. Akal manusia juga berfungsi dalam
menentukan kehidupan mereka sehari-hari, dan dalam melakukan tindakan sosial. Manusia
tidak dapat hidup sendirian di bumi, mereka harus bersosialisasi dengan orang-orang di
sekitarnya melalui kontrak sosial, bermusyawarah dan berkonsultasi.

Ini sesuai dengan

firman Allah S.W.T dalam surat As-Syura ayat 38 berbunyi :

(38 : ‫جابقووالفنر فبمفهوم نوأ ننقاقموو ال منصل ننونة نوا نومقرقهوم قشوونرفىبوفين نقهوم نوفم منمانرنزوقنناقهوم يقن وففققوونن )الشورى‬
‫نو الل منفذيونن اوستن ن‬
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” ( Asy-Syuraa : 38)
Ada sebuah pepatah Arab berbunyi :


‫ي فبال م نطبوفع‬
‫افلن ونساقن نمندفن م ي‬
“Manusia adalah mahkluk sosial”
Hal ini mendorong manusia untuk bekerja sama dan saling tolong menolong, sehingga
masyarakat mengadakan kontrak politik dan membentuk sebuah lembaga bersama yang
dinamakan negara.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun hal-hal yang akan saya bahas antara lain :
1. Apa yang dimaksud dengan Muqaran fil ushul?
2. Bagaimana negara terbentuk menurut pandangan para ulama?
3. Bagaimana kepemimpinan dalam islam?
4. Bagaimana sistem pemerintahan terbaik?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan untuk kali ini adalah :
1. Mengetahui bagaimana negara lahir menurut pandangan ulama.
2. Pengetahuan tentang syarat-syarat kepemimpinan dalam islam.
3. Pemahaman tentang sistem pemerintahan terbaik.

1.4 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah :
1. Agar pembaca memahami fitrah manusia sebagai makhluk sosial.
2. Pemahaman akan syarat-syarat menjadi pemimpin.
3. Memahamkan umat muslim Indonesia untuk terus menopang demokrasi yang
berlangsung di Indonesia.

BAB II
ASAL MULA NEGARA
Sebelum memulai pembahasan mengenai topik perbandingan madzhab negara,
sebaiknya kita pelajari terlebih dahulu mengenai Muqaranah Mazahib Fil Ushul. Hal ini
penting, karena dengannya, kita bisa membandingkan antara mazhab dan pendapat ulama

mengenai tema negara dalam mencari kebenaran. Secara etimologi, Muqaranah berasal dari
kata

qarana

yang

artinya


membandingkan,

sedangkan

menurut

isthilah

berarti

membandingkan antara dua perkara atau lebih. Adapun mazahib, merupakan jamak dari kata
mazhab yang berarti paham yang dianut. Yang dimaksud dengan ushul adalah ushul fiqh
yaitu, ilmu hukum islam yang dijadikan alat untuk memahami nash dalam rangka
menghasilkan dan menetapkan hukum.1 Jadi, pengertian dari Muqaranah Mazahib Fil Ushul
adalah membandingkan dua mazhab dan lebih untuk mendapatkan kebenaran dalam
menentukan hukum, khususnya masalah negara dalam islam. Maka, dengan pengetahuan
mendasar tentang muqaranah diharapkan, kita dapat menentukan hukum sesuatu setelah
melakukan pembandingan dengan mazhab dan pendapat para mujtahid.
Negara adalah suatu “entitas”, suatu yang ada atau kenyataan yang bersifat politik dan

yuridis, yang terdiri dari suatu masyarakat manusia yang merupakan suatu golongan yang
bebas dalam suatu daerah bersama yang kompak (bersatu padu), dan yang tunduk kepada
seorang penguasa tertinggi2. Pekembangan pemikiran politik pada zaman pertengahan
sangatlah pesat. Para khalifah sangat besar perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan, tak
terbatas hanya ilmu agama dan sosial, tetapi juga ilmu pasti dan ilmu alam. Pada zaman
pertengahan Islam mencapai masa keemasannya dan kemajuan pengetahuan, para khalifah
menugaskan para ulama untuk belajar buku-buku asing yang kemudian diterjemahkan ke
bahasa arab. Oleh sebab itu, lahirlah para pemikir politik Islam yang membahas tentang
kenegaraan dan mengemukakan gagasannya melalui karya tulis. Mereka adalah Ibnu ArRabi, Farabi, Mawardi, Imam Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun dan lain-lain. Sekarang
marilah meninjau pandangan para ulama mengenai asal usul negara.
Menurut pendapat Ibnu Ar-Rabi, negara timbul karena pada dasarnya manusia
diciptakan untuk berkumpul dan bermasyarakat, serta mereka tak mampu memenuhi segala
kebutuhan sendiri tanpa bantuan orang lain. Pendapatnya ini tak jauh berbeda dengan
pandangan Plato tentang asal mula negara. Namun, sebagai seorang muslim beliau
menambahkan tiga butir pengertian lain: pertama, kecenderungan manusia untuk berkumpul
dan bermasyarakat itu watak yang diciptakan oleh Tuhan pada manusia; kedua, Tuhan telah
meletakkan peraturan tentang hak dan kewajiban masing-masing anggota masyarakat sebagai
rujukan yang harus dipahami; ketiga, Allah telah mengangkat penguasa-penguasa yang
bertugas menjaga berlakunya peraturan Tuhan berdasarkan petunjuk Ilahi3.


1 Romli SA, “Muqaranah Mazahib fil Ushul” ( Jakarta, Gaya Media Pratama), h.7.
2 Fuad Muhd. Fachruddin “Pemikiran Politik Islam” (Jakarta,Pedoman Ilmu Jaya), h.17.
3 Ibid., hlm. 45.

Hal senada juga di katakan Ibnu Farabi, bahwa negara berasal dari sifat alami manusia
untuk bermasyarakat. Adapun tujuan bermasyarakat, menurut Farabi, tidak semata-mata
untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup
yang akan memberikan manusia kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat kelak 4.
Sebagaimana Plato, Aristoteles, dan Ibnu Abi Rabi’, Mawardi juga berpendapat bahwa
manusia itu adalah makhluk sosial, tetapi Mawardi memasukan unsur agama dalam teorinya.
Menurut Mawardi Allah yang menciptakan kita supaya tidak sanggup memenuhi kebutuhan
kita seorang diri, tetapi butuh bantuan orang lain. Hal ini bertujuan agar manusia sadar bahwa
Allah-lah pencipta kita dan pemberi rezeki, serta kita selalu butuh bantuan-Nya dan
pertolongan-Nya.
Tak jauh berbeda dengan Farabi, Imam Ghozali juga berpendapat bahwa manusia itu
makhluk sosial. Pendapat Ghozali tersebut disebabkan dua faktor : pertama, kebutuhan akan
keturunan demi kelangsungan hidup umat manusia; kedua, saling membantu dalam
penyediaan bahan makanan, pakaian, dan pendidikan anak. Adanya kedua faktor tersebut
mendorong manusia untuk mendirikan negara demi kebutuhan bersama5. Pendapat serupa
juga diungkapkan oleh Ibnu Khaldun, munculnya negara merupaka tabiat asli manusia

sebagai mahkluk sosial dan organisasi masyarakat merupakan keharusan bagi hidup manusia.
Selain faktor tersebut, ia juga mengemukakan bahwa upaya untuk memenuhi kebutuhan
hidup manusia, serta upaya untuk aman dan pembelaan diri terhadap makhluk hidup lain
mendorong

manusia

untuk

berkerjasama,

itulah

sebabnya

mengapa

organisasi

kemasyarakatan merupakan suatu keharusan bagi manusia. Setelah membahas mengenai
pembentukan negara, dapat disimpulkan bahwa adanya negara merupakan hasil dari sifat asli
manusia sebagai makhluk sosial untuk hidup bermasyarakat, jadi untuk mencapai
kesejateraan di dunia dan akhirat perlu diciptakan sebuah negara.

BAB III
KEPEMIMPINAN DAN SYARAT-SYARAT PEMIMPIN
Setelah membahas mengenai asal mula negara, tidak ada pertentangan dalam
memahaminya. Pada dasarnya, Allah telah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka
4 Ibid., hlm. 53.
5 Ibid., hlm. 74.

bumi. Namun, dalam kepemimpinan terdapat beberapa perbedaan pandangan ulama akan
syarat-syarat menjadi seorang pemimpin dan bagaimana pemimpin dalam islam. Adapun ayat
yang menjelaskan bahwa manusia adalah seorang pemimpin yakni :

(165 ‫نو قهنو ال نفذوي نجنعل نك قوم نخنلافئنف ال نورفض )النعام‬
“Dan Dia-lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi”) Al-An’aam : 165)

      
      








      

     

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui."(Al-Baqarah : 30)
Kepemimpinan dalam Islam tidak jauh berbeda dengan pemimpin dalam sholat
(imam), hal ini didasarkan sholat memberikan bentuk dari negara Islam. Oleh sebab itu, yang
menjadikan muslimin mengangkat “Abu Bakar Ash-Shidiq” menjadi khalifah pertama
mengantikan Rasulullah S.A.W ialah karena pada waktu Rasulullah sakit, beliau menyuruh
Abu Bakar mengantikannya sebagai imam sholat. Para sahabat berkata, “Kalau sekiranya
Rasulullah sudah menyerahkan pimpinan urusan agama kepada Abu Bakar, maka beliau juga
pasti menyerahkan pimpinan dunia juga kepadanya. Oleh karena itu, menjadi pemimpin
dalam Islam tidaklah jauh berbeda dengan menjadi imam dalam shalat6.
Menurut pandangan Ibnu Abi Rabi’ seorang pemimpin haruslah orang yang mulia di
Negara atau kota itu, sebab seorang yang menangung amanah besar di pundaknya haruslah
orang yang tidak hanya bisa berucap, tapi juga dapat memberikan contoh. Adapun mengenai
sistem pemerintahan, Rabi’ lebih memilih sistem monarki, penyebab utamanya adalah

6 Fuad Muhd. Fachruddin “Pemikiran Politik Islam” (Jakarta,Pedoman Ilmu Jaya), h. 18.

sedikitnya kepala yang ikut campur dalam urusan negara, sebaliknya jika banyak kepala ikut
campur, maka negara tersebut akan kacau dan sukar membina persatuan7.
Berbeda dengan Rabi’, menurut kaca mata Farabi, pemimpin negara adalah anggota
masyarakat yang tertinggi dan tersempurna, tentunya berasal dari kelas tertinggi, dengan
bantuan dari orang-orang sekelas. Jadi menurutnya, sebuah negara harus diciptakan dari
pemimpin dahulu baru kemudian rakyat, maka Farabi bertujuan mendirikan negara baru dari
awal. Farabi mengibaratkanya seperti jantung yang terbentuk dahulu barulah kemudian
terbentuk organ-organ lainnya8.
Pendapat lain juga dikemukakan oleh Mawardi, ia berpendapat seorang imam harus
memiliki tujuh syarat : pertama, sikap adil dengan segala persyaratannya; kedua, ilmu
pengetahuan yang memadai; ketiga, sehat pendengaran, pengelihatan, dan lisannya; keempat,
utuh anggota tubuhnya; kelima, wawasan yang memadai untuk mengatur kehidupan rakyat
dan mengelola kepentingan umum; keenam, keberanian; terakhir, keturunan suku Quraisy9.
Menurut Ghozali, mengangkat seorang kepala negara tidak berdasarkan rasio, tetapi
berdasarkan keharusan agama. Hal ini disebabkan, dunia adalah ladang untuk mengumpulkan
pembekalan bagi kehidupan di akhirat nanti, dunia merupakan wahana unutk mencari ridho
Allah, dan dunia bukan merupakan tempat persinggahan terakhir. Sehingga, seorang
pemimpin negara harus mampu melindungi kepentingan rakyat untuk beribadah kepada-Nya
dan menggapai ridho-Nya, baik di dunia dan akhirat kelak. Hal ini didasarkan bahwa
keberadaan pemimpin negara merupakan keharusan bagi ketertiban dunia, ketertiban dunia
merupakan keharusan bagi ketertiban agama, dan ketertiban agama merupakan keharusan
bagi tercapainya kesejahteraan akhirat nanti10.
Setelah membahas mengenai pemimpin menurut pandangan Rabi’, Farabi, Mawardi,
dan Ghozali, maka sekarang saatnya membahas kepemimpinan menurut Ibnu Taimiyah.
Menurutnya, seorang pemimpin harus bisa menegakkan keadilan sedemikian kuat, sehingga
dia beranggapan bahwa kepala negara yang adil meskipun kafir adalah lebih baik daripada
kepala negara yang tidak adil meskipun Islam, dengan mengatakan bahwa Allah mendukung
negara yang adil meskipun kafir, dan bahwa Allah tidak mendukung negara tidak adil
sekalipun Islam11.

7 Ibid., hlm. 46.
8 Ibid., hlm. 55.
9 Ibid., hlm. 63.
10 Ibid., hlm. 76.
11 Ibid., hlm. 90.

Ibnu Khaldun sebagai seorang filsuf muslim juga mengemukakan pendapatnya
mengenai kepemimpinan dan syarat-syarat menjadi pemimpin. Menurut Khaldun, seorang
pimpinan negara harus memiliki superioritas atau keunggulan dan kekuatan fisik untuk
memaksa kehendak dan keputusannya sehingga keputusannya merupakan kata akhir. Selain
itu dia juga harus memiliki tentara yang kuat dan loyal kepadanya, guna menjamin keamanan
negara terhadap ganguan dari luar. Adapun syarat-syarat pemimpin menurutnya adalah :
berpengetahuan luas, adil, mampu, sehat badan serta untuh semua panca inderanya, dan
terakhir dari keturunan Quraisy12.

BAB IV
SISTEM PEMERINTAHAN
12 Ibid., hlm. 102.

Setelah membahas mengenai kepemimpinan dan syarat menjadi pemimpin dalam
Islam, maka saatnya membahas bagaimana sistem pemerintahan yang terbaik berserta
alasannya. Hal ini sangatlah penting, karena sistem merupakan jalan yang dituju negara untuk
mencapai kemakmuran rakyatnya serta kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Berikut akan disajikan pendapat para ulama mengenai sistem pemerintahan.
Banyak sekali sistem pemerintahan di dunia ini, namun Ibnu Abi Rabi’ memilih
sistem monarki atau kerajaan di bawah pimpinan seorang raja serta penguasa tunggal sebagai
bentuk terbaik. Rabi juga menolak sistem pemerintahan aristokrasi, oligarki, demokrasi, dan
demagogi, yang menurutnya akan menimbulkan kekacauan atau anarki. Alasanya mengapa
Ibnu Abi Rabi’ memilih monarki sebagai bentuk pemerintahan yang terbaik adalah keyakinan
bahwa dengan banyak kepala, maka politik negara akan terus kacau dan sukar membina
kesatuan.
Farabi mempunyai pendapat lain mengenai negara, menurutnya negara terbaik dan
terunggul adalah negara sempurna kecil atau negara kota (polis)13. Pendapat ini sejalan
dengan pemikiran Aristoteles yang menganggap negara kota merupakan sistem perpolitikan
terbaik. Hal ini disebabkan, idealisasi pola politik menurut dia, negara nasional kadangkadang tidak memperdulikan kepentingan politik negara kota, maka dengan negara kota yang
lebih kecil, rakyat mudah menuju kesejahteraan. Berbeda dengan Farabi, Mawardi lebih
menekankan untuk sistem monarki, ia juga menekankan bahwa khalifah harus berbangsa
Arab dari suku Quraisy,dan bahwa wazir tafwidh atau pembantu utama khalifah dalam
penyusunan kebijakan harus berbangsa Arab14.

Allah S.W.T berfirman :

13 Ibid., hlm. 52.
14 Ibid., hlm. 63.

       












     
























 
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu*. kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”(Ali-Imran : 159)
*Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik,
ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya.
Menurut Ibnu Taimiyah, maksud dari ayat di atas adalah seorang kepala negara tidak
boleh meninggalkan musyawarah. Nabi Muhammad S.A.W sendiri amat terkenal gemar
bermusyawarah. Kalau saja Nabi diperintahkan oleh Allah untuk bermusyawarah, apa lagi
manusia biasa. Oleh karena itu, kepala negara harus bermusyawarah dan meminta pendapat
para ahli, dia harus mengikuti pendapat mereka selama pendapat itu sejalan dengan Al-Quran,
Sunnah Nabi dan konsensus antara umat Islam15. Menarik di sini adalah kata-kata konsensus
yang sesuai dengan demokrasi, maka kami berpendapat Ibnu Taimiyah lebih cenderung ke
demokrasi.
Watak manusia adalah agresif dan bersifat tidak adil, maka dibutuhkan seorang
penengah yang mempunyai pengaruh kuat atas anggota masyarakat itu sendiri. Penengah
tersebut harus mempunyai kekuasaan otoriter atas mereka, sehingga tak ada anggota
masyarakat dapat menggangu dan menyerang anggota masyatakat lain. Tokoh tersebut secara
tak langsung adalah seorang raja atau kepala negara16. Secara tak langsung, Ibnu Khaldun
berpendapat bahwa sistem pemerintahan terbaik adalah monarki.

15 Ibid., hlm. 89.
16 Ibid., hlm. 101.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Pada dasarnya para ulama sependapat bahwa asal mula lahirnya suatu negara tidak
semata-mata untuk memenuhi kebutuhan lahiriah manusia saja, tetapi juga kebutuhan
rohaniah dan ukhrawiyah. Sedangkan dalam kepemimpinan para ulama lebih cenderung
memilih pemimpin yang mempunyai kredibilitas tinggi, kompeten, dan dapat membimbing
masyarakatnya dalam beribadah kepada Allah SWT. Sehingga kebutuhan batiniyah dan
lahiriyah seorang manusia bisa tercukupi.
Dari pembahasan mengenai sistem pemerintahan para ulama lebih cenderung memilih
sistem monarki, karena pada saat itu sistem monarki adalah sistem pemerintahan yang terbaik
pada masanya. Namun, seiring perkembangan zaman, globalisasi, dan dibentuknya DUHAM,
maka manusia lebih cenderung meninggalkan sistem monarki dan menjunjung tinggi
persamaan hak yang diusung oleh sistem demokrasi.
Sebagaimana dikemukakan oleh Nurcholis Majid, pidato Abu Bakar sesaat setelah
dirinya diangkat menjadi khalifah mengambarkan sebuah “kekuasaan konstitusional” bukan
mutlak perorangan dan unsur struktural politik Islam klasik merupakan sistem perpolitikan
yang sangat modern17. Pemilihan khalifah pada zaman Abu Bakar merupakan contoh sistem
pemilihan yang demokratis berdasarkan musyawarah. Maka, sistem perpolitikan Indonesia
sudah benar mengunakan demokrasi, hanya dalam beberapa hal berbeda dengan sistem
politik Islam. Perbedaan ini disebabkan, demokrasi dikembangkan di Barat maka ia terkesan
bertentangan dengan Islam, padahal nilai yang digunakan sama.

4.2 Saran
Dengan penjelasan-penjelasan diatas diharapkan dapat memberikan pengertian yang
jelas terhadap kepemimpinan dalam islam. Islam sebagai agama syumuli bukan hanya
menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah sebuah agama
yang sempurna dan lengkap dengan peraturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk
17 Nurcholish Majid, “Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi” (Jakarta, Paramadina 1999),
h.xxiv

kehidupan bernegara. Hendaknya kita sebagai umat Islam menginstropeksi diri sebelum
menjadikan khilafah sebagai sistem pemerintahan dalam negara. Khilafah runtuh bukan
karena Islam akan tetapi runtuhnya disebabkan karena tidak dijalankan sesuai dengan apa
yang telah dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW.
Demokrasi sebagai sebuah sistem yang telah diterapkan di Indonesia adalah pilihan
yang tepat bagi kemajemukan yang terdapat di negara ini. Bukanlah hal yang salah apabila
demokrasi dijadikan sebagai sistem perpolitikan negara oleh para pendahulu kita. Sebab
menurut mereka demokrasi adalah jalan terbaik untuk menjaga persatuan dan menghindarkan
perpecahan diantara bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka dari itu, sudah
sepatutnya kita menjunjung tinggi sistem demokrasi. Karena apabila kita ingin merubah
sistem tersebut kita harus merubah konstitusi terlebih dahulu, apabila konstitusi dirubah maka
akan timbul pergejolakan yang mengakibatkan hancurnya negara ini.