Formulasi Beads Alginat Gastroretentif yang Mengandung Ekstrak Kunyit (Curcuma domestica Val.) dan Uji Efek Penyembuhan Terhadap Lesi Lambung pada Tikus

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lambung
Lambung adalah rongga berbentuk J yang terletak antara esofagus dan
usus halus. Organ ini dibagi menjadi tiga bagian berdasarkan pembedaan
anatomik, histologis, dan fungsional. Fundus adalah bagian lambung yang terletak
di atas lubang esofagus. Bagian tengah atau utama lambung adalah korpus.
Lapisan otot polos di fundus dan korpus relatif tipis, tetapi bagian bawah lambung,
antrum, memiliki otot yang jauh labih tebal. Perbedaan ketebalan otot ini
memiliki peran penting dalam motilitas lambung di kedua regio tersebut. Juga
terdapat perbedaan kelenjar di mukosa regio-regio ini. Bagian terminal lambung
adalah sfingter pilorus, yang bekerja sebagai sawar antara lambung dan bagian
atas usus halus duodenum (Sherwood, 2011).
2.1.1 Fungsi lambung
Lambung melakukan tiga fungsi utama:
1. Lambung menyimpan makanan yang masuk sampai makanan dapat disalurkan
ke usus halus dengan kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan penyerapan
yang optimal. Diperlukan waktu beberapa jam untuk mencerna dan menyerap
satu porsi makanan yang dikonsumsi hanya dalam bilangan menit. Lambung
menyimpan makanan dan menyalurkannya secara mencicil ke duodenum

dengan kecepatan yang tidak melebihi kapasitas usus halus.
2. Lambung mengeluarkan asam hidroklorida (HCl) dan enzim yang memulai
pencernaan protein.

7

Universitas Sumatera Utara

3. Melalui gerakan mencampur lambung, makanan yang tertelan dihaluskan dan
dicampur dengan sekresi lambung untuk menghasilkan campuran cairan
kental yang dikenal sebagai kimus (Sherwood, 2011).
2.1.2 Anatomi Lambung
Secara anatomi, lambung dibagi atas tiga bagian:fundus, badan (body), dan
pilorus antrum. Bagian proksimal terdiri atas fundus dan badan lambung bertindak
sebagai penampung materi yang belum dicerna, dimana antrum adalah bagian
utama tempat gerakan pencampuran dan bertindak sebagai pompa untuk
pengosongan lambung dengan gerakan mendorong. Pengosongan lambung terjadi
selama puasa (fasted state) dan juga keadaan kenyang (fed state). Selama keadaan
puasa, terjadi seri elektrik interdigestifmelewati lambung dan usus tiap 2-3 jam.
Ini disebut siklus miloelektrik interdigestif atau migrating myloelectric cycle

(MCC), yang kemudian dibagi menjadi 4 fase (Singh dan Kim, 2000).
Tabel 2.1 Empat fase dalammigrating myloelectric cycle (MCC) (Talukder dan
Fassihi, 2004)
Fase I
Fase II

Fase III

Fase IV

Fase I adalah periode tanpa gerak, berlangsung 30-60 menit tanpa
ada kontraksi
Fase II terdiri atas kontraksi singkat yang perlahan meningkat
intensitasnya seiring berjalannya fase dan berlangsung sekitar 20-40
menit. Lambung kemudian mengeluarkan cairan dan partikel yang
sangat kecil pada fase ini
Fase III adalah periode singkat dari kontraksi lambung proksimal
dan distal yang kuat (4-5 kontraksi per menit) berlangsung sekitar
10-20 menit. Kontraksi ini juga dikenal sebagai gelombang housekeeper, menyapu isi lambung ke arah bawah menuju usus halus
Fase IV adalah periode transit singkat kira–kira 0-5 menit dan

kontraksi mengosongkan antara bagian akhir fase III dan fase I yang
tanpa gerakan

Pola kontraksi berubah setelah pencernaan dari campuran makanan, dari
keadaan puasa menjadi keadaan kenyang. Ini juga dikenal sebagai pola gerakan

8

Universitas Sumatera Utara

pencernaan (digestive motility pattern) dan terdiri atas kontraksi lanjutan fase II
pada keadaan puasa. Kontraksi ini menghasilkan pengurangan ukuran dari partikel
makanan (hingga kurang dari 1 mm), yang didorong menuju pilorus dalam bentuk
suspensi. Selama keadaan kenyang, onset MCC ditunda sehingga memperlambat
waktu pengosongan lambung (Allen dan Snary, 1972).
2.1.3 Mukosa dan mukus lambung
Lambung dilindungi oleh mukosa yang mencegah sekresi lambung dan
agen perusak lainnya melukai lapisan epitel dan lapisan terdalam dari dinding
lambung. Dinding mukosa biasanya impermeabel terhadap asam yang
disekresinya, sehingga lambung bisa menyimpan asam dan pepsin tanpa membuat

dindingnya ikut tercerna. Beberapa faktor membantu menjaga mukosa lambung,
termasuk penutupan permukaan sel epitel yang impermeabel, mekanisme transpor
selektif ion hidrogen dan bikarbonat, dan sifat mukus lambung. Mekanisme ini
disebut sebagai mukosa lambung penghalang (Porth, 2009).
Mukus adalah lapisan gel yang melekat pada mukosa berupa sekresi
lengket dan kental yang disintesa oleh sel goblet khusus. Sel ini adalah sel epitel
kelenjar berbentuk kolom dan berada di sepanjang semua organ yang terpapar ke
bagian luar. Mukus ditemukan memiliki banyak fungsi seperti pelumas bagi objek
yang melewatinya, mempertahankan lapisan epitel tetap terhidrasi, sebagai
penghalang bagi patogen dan senyawa berbahaya, dan sebagai lapisan gel
permeabel bagi pertukaran gas dan nutrien dari dan ke dalam epitel (Bansil dan
Turner, 2006). Mukus ini berfungsi sebagai sawar protektif terhadap beberapa
bentuk cedera yang dapat mengenai mukosa lambung:
a. berkat sifat pelumasannya, mukus melindungi mukosa lambung dari cedera
mekanis

9

Universitas Sumatera Utara


b. mukus membantu mencegah dinding lambung mencerna dirinya sendiri karena
pepsin terhambat jika berkontak dengan lapisan mukus yang menutupi bagian
dalam lambung
c. karena bersifat basa, mukus membantu melindungi lambung dari cedera asam
karena menetralkan HCl di dekat lapisan dalam lambung, tetapi tidak
mengganggu fungsi HCl di lumen. Sementara pH di lumen dapat serendah 2,
pH di lapisan mukus di permukaan sel mukosa adalah sekitar 7 (Sherwood,
2011).
Mukus terdiri atas air (>95%), musinglikoprotein dan lipid (0,5-5 %) yang
merupakan glikoprotein dengan berat molekul sangat tinggi (2-4 x 106 g/mol),
garam inorganik (elektrolit; 0,5-1%) dan protein bebas (1%). Musin ada dalam
keluarga glikoprotein yang dikarakterisasi berdasarkan berat molekul (BM)
beragam dari 1000 hingga 4000 kDa. Glikoprotein musin membentuk jaringan
makromolekul sangat kusut yang berhubungan satu sama lain melalui ikatan
nonkovalen. Hubungan makromolekular tersebut adalah pusat dari struktur mukus
dan bertanggung jawab atas sifat alirannya. Komponen non musin laintermasuk
IgA, lisozin, laktoferrin, lipid, polisakarida, dan bermacam spesies ionik lain yang
dipercaya memiliki aktivitas bakteriostatik. Komposisi dapat beragam bergantung
asal dan peran mukus, dan kondisi kesehatan individu (Allen dan Snary, 1972;
Sandri, et al., 2015).

Mukus yang melindungi mukosa lambung terdiri atas dua jenis: tidak larut
air dan larut air. Mukus yang tidak larut air membentuk gel tipis yang stabil,
melekat pada permukaan mukosa lambung, dan memberikan perlindungan dari
pepsin yang mencerna protein. Mukus ini juga membentuk lapisan yang menjerap
bikarbonat, membentuk permukaan basa antara isi lambung dan permukaan

10

Universitas Sumatera Utara

mukosa. Mukus yang larut air tercuci dari permukaan dan bercampur dengan isi
lambung; sifatnya sebagai lubrikan yang mencegah kerusakan mekanik pada
permukaan mukosa. Kemampuannya mempengaruhi permeabilitas mukosa dan
produksi bikarbonat, dapat dihambat dan diubah sifatnya oleh agen perusak
seperti aspirin dan OAINS (Porth, 2009).

2.2 Sistem Penyampaian Gastroretentif
Sistem penyampaian gastroretentif adalah bentuk sediaan yang dapat
tertahan di lambung selama beberapa jam dan secara signifikan memperpanjang
waktu tinggal obat dalam lambung. Sistem ini disampaikan per oral, tertahan

dalam lambung, dan akan melepaskan obat dengan cara terkontrol, sehingga obat
dapat disuplai secara kontinu pada daerah absorpsi saluran pencernaan (Nayak, et
al., 2010).
Memperpanjang waktu tinggal obat di lambung diinginkan untuk
mencapai keuntungan terapi dari obat yang diabsorpsi di bagian proksimal saluran
pencernaan, atau yang kurang larut, atau terdegradasi pH basa pada bagian bawah
saluran pencernaan. Sistem penyampaian gastroretentif menguntungkan bagi obat
untuk:
a. meningkatkan bioavailabilitas
b. efisiensi terapi
c. kemungkinan pengurangan dosis
d. keuntungan farmakokinetik, seperti mempertahankan level terapetik yang
konstan dan mengurangi fluktuasi konsentrasi terapetik (Ali, et al., 2005).
Beberapa pendekatan digunakan untuk meningkatkan waktu tinggal
lambung, termasuk sistem penyampaian obat mengapung (floating drug delivery

11

Universitas Sumatera Utara


systems (FDDS)), juga dikenal sebagai sistem hidrodinamik seimbang
(hydrodynamically balanced systems (HBS)), sistem mengembang (swelling) dan
melebar (expanding), dan sistem polimer bioadhesif (Mishra, 2016).
Tabel 2.2 Perbandinganantarasistem penyampaianobat gastroretentif dan
sistempenyampaian obat konvensional (Badoni, et al., 2012)
No.

Perbandingan

1

Toksisitas

2

Kepatuhan pasien

3
4
5

6
7

berkurang

Obat dengan absorpsi
sempit pada usus halus
Obat dengan absorpsi
cepat melalui saluran
pencernaan
Obat yang didegradasi
dalam kolon
Obat dengan aksi lokal
dalam lambung
Obat dengan kelarutan
rendah pada pH basa

Bentuk

sediaan


Konvensional
Toksisitas berisiko
tinggi

Gastroretentif
Toksisitas berisiko
rendah
Meningkatkan
kepatuhan pasien

Tidak cocok

Cocok

Tidak
menguntungkan

Sangat
menguntungkan


Tidak
menguntungkan
Tidak
menguntungkan
Tidak
menguntungkan

Sangat
menguntungkan
Sangat
menguntungkan
Sangat
menguntungkan

pelepasan

terkontrol

mampu

mencapai

berbagai

keuntungan terapi, termasuk (a) mempertahankan konsentrasi plasma dalam
rentang yang diinginkan dengan fluktuasi minimal sehingga efek terapi yang lebih
konstan; (b) peningkatan durasi aktivitas dari obat dengan waktu paruh singkat;
(c) mengurangi efek samping; (d) mengurangi frekuensi dosis dan peningkatan
kepatuhan pasien; dan (e) potensi untuk penyampaian obat tapak spesifik dalam
saluran pencernaan (Wen dan Park, 2010).

2.3 Sistem mukoadhesif
Bentuk sediaan mukoadhesif telah menarik perhatian sebagai penyedia
kontak antara obat/sistem penyampaian dengan tempat absorpsi, dan untuk

12

Universitas Sumatera Utara

memperpanjang waktu tinggal pada tempat target. Polimer mukoadhesif memiliki
kemampuan untuk melekat pada substrat mukosa (lapisan mukus yang menutupi
jaringan epitel). Bahan-bahan tersebut tidak hanya mampu memperpanjang waktu
tinggal obat tetapi juga mengatur pelepasan obat. Karena itu, polimer
mukoadhesif cocok untuk pengobatan penyakit lokal juga untuk peningkatan
ketersediaan obat sistemik (Sandri, et al., 2015).
2.3.1Definisi bioadhesi dan mukoadhesi
Istilah bioadhesi diartikan sebagai kondisi dimana dua permukaan biologis
atau permukaan biologis dan permukaan sintetik tergabung selama beberapa
waktu dikarenakan kekuatan interfasial. Pada farmasetika, ketika fenomena adhesi
dikaitkan dengan permukaan biologis yang tertutupi lapisan mukus, istilah yang
tepat adalah mukoadhesi: yang berarti pelekatan makromolekul alami atau sintetik
pada mukus dan/atau permukaan epitel(Sandri, et al., 2015).
2.3.2 Mekanisme mukoadhesi
Pembentukan hubunganmukoadhesi, misal bahan mukoadhesif dan
membran mukosa, membutuhkan 3 tahap:
a.

Tahap kontak: kontak dekatantara polimer mukoadhesif dan membran
mukosa.

b.

Tahap interpenetrasi: interdifusi rantai polimer melalui lapisan mukus untuk
memperluas area kontak

c.

Tahap konsolidasi: pembentukan interaksi mekanik dan/atau kimia yang
bertanggung jawab untuk penyatuandan memperkuat hubunganmukoadhesif,
yang menghasilkan adhesi yang berkepanjangan (Sandri, et al., 2015).

13

Universitas Sumatera Utara

Tahap pertama dipengaruhi oleh kondisi fisik dari bahan polimer, secara
khusus oleh kondisi hidrasi. Tahap kontak antara bahan mukoadhesif dan epitel
mukosa, terjadi ketika menempatkan bahan mukoadhesif kontak langsung dengan
permukaan

mukosa

melaluipenghantaran

obat

dalam

bentuk

partikulat

mukoadhesif di saluran pernapasan, atau adsorpsi di permukaan mukosa saluran
pencernaan. Kontak menyebabkan pengurangan energi bebas permukaan,
penghilangan dua permukaan yang berbeda, dan pembentukan permukaan baru.
Pada titik ini, terjadi tahap kedua: interpenetrasi rantai polimer ke dalam lapisan
mukosa yang menyebabkan rantai tersangkut. Pada tahap konsolidasi, sangkutan
rantai menyebabkan pembentukan ikatan mekanik dan kimia, sehingga
memperkuat hubungan mukoadhesif (Sandri, et al., 2015).
2.3.3 Teori mukoadhesi
Mukoadhesi adalah fenomena yang cukup rumit, dimana ada beberapa
teori dipaparkan dalam literatur untuk menjelaskan fenomena mukoadhesi; yang
paling umum adalah: teori elektronik, adsorpsi, mekanik, difusi, wetting, dan
fraktur. Teori elektronik menyatakan bahwa transfer elektron terjadi antara lapisan
adhesif dan lapisan mukus sebagai akibat dari perbedaan struktur elektronik.
Transfer elektron melintasi lapisan ganda elektrik ini menyebabkan gaya tarik dan
mukoadhesi. Teori adsorpsi menjelaskan mukoadhesi sebagai gaya sekunder
permukaan, seperti van der Waals, ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik. Teori
ini menjelaskan sifat mukoadhesif dari bahan hidrofobik dengan afinitas kimia
yang rendah terhadap lapisan mukus hidrofilik. Teori mekanik menjelaskan
bahwa adhesi disebabkan terpautnya bahan adhesif ke dalam permukaan tak
beraturan. Permukaan demikian meningkatkan area kontak antara bahan

14

Universitas Sumatera Utara

adhesifdan mukus yang memberikan tempat untuk interaksi. Teori difusi
menjelaskan bahwa mukoadhesi adalah difusi bahan adhesif ke dalam lapisan
mukus hingga kedalaman yang cukup untuk membuat lapisan adhesif semipermanen (Sandri, et al., 2015).
Tabel 2.3Teori dan mekanisme bioadhesi(Zhang, et al., 2014)
Teori
Wetting (pembasahan)

elektronik

Difusi

Adsorpsi

Fraktur

Mekanik

Mekanisme
Kemampuan
polimer
bioadhesif menyebar di
permukaan lapisan mukus
Elektron
berpindah
diantara polimer dan
lapisan mukus
Polimer berpenetrasi ke
dalam gel mukus pada
kedalaman 0,2-0,5 mm
Polimer
berinteraksi
dengan mukus melalui
ikatan ionik, kovalen dan
logam, atau tenaga van
der
Waals,
interaksi
hidrofobik, dan ikatan
hidrogen
Kesulitan
menyebar
setelah adhesi mukus
polimer
Kekasaran
permukaan
meningkatkan
kontak
permukaaan,
sehingga
meningkatkan adhesi

Jenis polimer
Bentuk cairan

Polimer bermuatan

Kelarutan yang baik

Polimer dengan banyak
gugus fungsi

Padat dan/atau kaku

Kasar dan/atau berpori

2.3.4 Polimer mukoadhesif
Penggunaan polimer mukoadhesif untuk meningkatkan penyampaian agen
terapi telah menarik minat selama beberapa tahun dikarenakan beberapa
keuntungan penting terkait performabentuk sediaan secara in vitro dan in vivo.
Formulasi mukoadhesif mampu menyediakan obat dengan pelepasan obat
terlokalisasi pada daerah yang diinginkan seperti rongga hidung, mata, mulut,
lambung, intestin, dan vagina untuk meningkatkan efikasi klinisnya. Penggunaan

15

Universitas Sumatera Utara

bahan mukoadhesif dalam formulasi bisa mengubah permeabilitas jaringan
mukosa atau membran sehingga membantu adsorpsi makromolekul, seperti
peptida. Lebih lanjut, interaksi antara formulasi mukoadhesif dan permukaan
mukosa memberikan potensi untuk memperpanjang waktu tinggal dari bentuk
sediaan pada tempat pemakaian, karenanya menurunkan frekuensi pemberian
dosis dan meningkatkan kepatuhan pasien(Yu, et al., 2014).
Mukoadhesi dan kekuatan interaksi dapat dipengaruhi oleh struktur
polimer dan gugus fungsional. Saat ini, polimer mukoadhesif yang umum
digunakan tersusun atas gugus fungsi polar seperti gugus hidroksil (-OH),
karboksil (-COOH), amida (-NH2), dan sulfat (-SO4) yang bisa berinteraksi
dengan glikoprotein musin. Interaksi antara polimer dan musin termasuk
keterkaitan fisik dan interaksi sekunder utamanya ikatan hidrogen. Kontribusi dari
kekuatan tersebut memfasilitasi pembentukan jaringan cross-linked yang menguat
dan selanjutnya menjadi mukoadhesi(Yu, et al., 2014).
Tabel 2.4Polimer adhesi yang umum digunakan(Yu, et al., 2014)
Jenis
Polimer anionik
Polimer kationik
Polimer nonionik

Polimer stimuli-sensitif

Polimer yang umum
Carbopol®, Polycarbophil®, Natrium
alginat, Natrium karboksimetilselulosa
Kitosan
Hidroksipropilselulosa,
Hidroksipropilselulosa, Metilselulosa,
Polietilen glikol, Polivinilpirolidon,
Hidroksietilselulosa
Poloxamer

2.4 Natrium Alginat
Alginat adalah polisakarida linear yang dihasilkan oleh alga laut dan
bakteri genus Pseudomonas dan Azetobacter. Viskositas larutan alginat beragam
berdasarkan komposisi polimer dan ukurannya, dan dengan adanya ion

16

Universitas Sumatera Utara

logamdivalen larutan alginat dapat membentuk gel. Sifat fisikokimia dari alginat
dimanfaatkan secara luas sebagai bahan tambahan dalam industri makanan,
hingga menarik minat peneliti bagian medis (Tipton, 2010).
Asam alginat tidak larut dalam air. Oleh karena itu, umumnya yang
digunakan dalam industri adalah dalam bentuk garam natrium dan kalium. Salah
satu sifat natrium alginat mempunyai kemampuan membentuk gel dengan
penambahan larutan garam-garam kalsium seperti kalsium glukonat, kalsium
tartrat, dan kalsium sitrat. Pembentukan gel dengan ion kalsium disebabkan oleh
adanya ikatan silang membentuk khelat antara ion kalsium dan anion karboksilat
pada blok G-G melalui mekanisme antar rantai. Natrium alginat mempunyai
rantai poliguluronat menunjukkan sifat pengikatan ion kalsium yang lebih besar
(Morris, et al., 1980).
Ada dua unit monosakarida yang berbeda dalam alginat, yakni β- Dmannuronat (M) dan α-L-guluronat (G). Kedua unit ini bergabung melalui ikatan
1,4-glikosidik, polimernya tidak bercabang, memanjang hingga ratusan residu,
dan memiliki berat molekul beragam dari 100.000 hingga 500.000. Jumlah relatif
M dan G dan pola distribusinya dalam polimer beragam pada alginat dari sumber
yang berbeda. Alginat dari laut tersusun atas struktur blok terdiri dari deretan
panjang residu M berurutan (blok M), residu G (blok G), dan residu M dan G
bergantian (blok MG). Alginat dari bakteri umumnya memiliki kandungan M
lebih tinggi (Tipton, 2010).
Karena merupakan poli–ol yang mengandung karboksilat, alginat
berkoordinasi dengan ion logam. Struktur dari gel Ca2+ alginat telah menjadi
subjek dari beberapa spekulasi, misalnya model ‘kotak telur’. Dalam model kotak

17

Universitas Sumatera Utara

telur, residu G berdekatan dalam 1 rantai polimer membentuk kantong tempat
Ca2+ berkoordinasi; akan tetapi pembentukan gel terjadi ketika deretan G (paling
sedikit 20) berkoordinasi dengan Ca2+ (Tipton, 2010).

2.5 Tukak Lambung
Tukak adalah lesi yang berpenetrasi menembus mukosa saluran
pencernaan. Ada beberapa jenis tukak yang umum, yakni: tukak lambung, yang
dikarenakan kerusakan dinding pencernaan, dan tukak duodenum, yang dikaitkan
dengan sekresi asam berlebihan oleh lambung. Gejala utama penyakit tukak
lambung adalah adanya rasa sakit dan ketidaknyamanan pada bagian lambung dan
gejala lainnya seperti darah pada tinja, muntah, dan tinja yang berwarna hitam
menunjukkan bahwa terjadinya pendarahan pencernaan (Sunil, et al., 2012).
Sel-sel epitel lambung dihubungkan oleh ikatan kuat yang mencegah
penetrasi asam, dan ditutupi oleh lapisan lipid hidrofobik yang mencegah difusi
molekul larut air yang terion. Aspirin, yang tidak terion dan larut lemak dalam
suasana

asam,

cepat

berdifusi

menembus

lapisan

lipid,

meningkatkan

permeabilitas mukosa dan merusak sel-sel epitel. Alkohol, yang juga larut lemak,
merusak mukosa penghalang; ketika aspirin dan alkohol dikonsumsi bersama,
semakin sering, semakin meningkat resiko iritasi lambung. Asam empedu juga
merusak komponen lipid mukosa penghalang dan meningkatkan potensi iritasi
lambung ketika ada refluks isi duodenum menuju lambung (Porth, 2009).
2.5.1 Etiologi penyakit tukak lambung
Etiologi dari tukak lambung terbentuk dikarenakan ketidakseimbangan
faktor agresif (H.pylori, OAINS, asam lambung) dan faktor pelindung (musin,
bikarbonat, prostaglandin) sehingga mengganggu keutuhan mukosa. Faktor yang

18

Universitas Sumatera Utara

paling penting dalam patogenesis tukak yakni beberapa infeksi bakteri, bermacam
obat dan zat kimia, sekresi lambung, metabolit lipid, neuropeptida, mediator
inflamasi dan radikal bebas reaktif (Sunil, et al., 2012). Sekresi asam lambung
ditetapkan sebagai salah satu faktor pembentuk tukak dalam menginduksi
penyakit tukak lambung. Dilaporkan bahwa sekitar 50% pasien tukak lambung
mensekresi pepsin dan asam lambung berlebihan. NO juga ditetapkan sebagai
mediator dikarenakan penghasilan NO mengambil bagian dalam patogenesis
tukak (Szabo, et al., 1998). Di sisi lain, asam lambung memainkan peran dalam
pertahanan lambung yakni untuk mencegah kolonisasi bakteri dan mengurangi
kemampuannya untuk memasuki lapisan mukosa (Aihara, et al., 2003).
Secara normal, sekresi asam klorida oleh sel parietal lambung diikuti
dengan sekresi ion bikarbonat (HCO3-). Untuk tiap ion H+ yang disekresi, satu
HCO3- dihasilkan, dan selama produksi HCO3- seimbang dengan sekresi H+, luka
lambung tidak terjadi. Perubahan aliran darah lambung cenderung menurunkan
produksi HCO3-. Aspirin dan OAINS, seperti indometasin dan ibuprofen, juga
mengganggu sekresi HCO3- (Porth, 2009).
Tukak lambung yang dikarenakan paparan agen pembentuk tukak dan/atau
nekrosis, seperti aspirin, indometasin, asam empedu, dan alkohol menyebabkan
perubahan karakter morfologi, struktur, dan fungsional yang mengarah ke cedera.
Cedera pada mukosa lambung yang akut dikaitkan dengan 1) gangguan lapisan
dan hidrofobisitas permukaan, 2) luka dan pengelupasan permukaan epitel
sehingga menyebabkan kehilangan pelindung dan fungsi elektrik, 3) luka lapisan
mukosa lambung yang lebih dalam termasuk: a) sel endotelium mikrovaskular, b)

19

Universitas Sumatera Utara

sel zona proliferatif, dan c) sel parietal dan sel chief; ini menyebabkan
terbentuknya erosi mukosa atau pembentukan tukak (Tarnawski, et al., 1999).
2.5.2 Pengobatan tukak lambung
Beberapa pendekatan telah dilakukan untuk menangani tukak lambung.
Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
1. untuk mengurangi sekresi asam lambung
a. Antagonis reseptor H2 seperti: simetidin, ranitidin, famotidin
b. Inhibitor pompa proton seperti: omeprazol, lansoprazol, pantoprazol,
rabeprazol, esomeprazol, dekslansoprazol
c. Antikolinergik seperti: pirenzepin, propanthelin, oksifenonium
d. Analog prostaglandin seperti: misoprostol
2. untuk menetralkan asam lambung
a. Sistemik seperti: Natrium bikarbonat, Natrium sitrat
b. Nonsistemik seperti:hidroksida/ karbonat/ trisilikat misalnya Mg, Al, Ca.
3. untuk melindungi mukosa lambung seperti sukralfat dan koloid bismut
subsitrat.
4. penggunaan agen antimikroba untuk pengobatan infeksi H. pylori seperti:
amoksisilin, klaritromisin, metronidazol, tinidazol dan tetrasiklin (Avinash,
2011).
2.5.3 Penyembuhan tukak lambung
Perbaikan jaringan dan penyembuhan luka merupakan proses kompleks
yang melibatkan peradangan, granulasi, dan pembentukan kembali jaringan. Selsel saluran pencernaan memiliki kecepatan pergantian tinggi yang membuat
mukosa saluran pencernaan menjadi jaringan paling cepat berproliferasi dalam

20

Universitas Sumatera Utara

tubuh setelah jaringan kulit (Davenport, 1982). Pada kondisi normal, populasi sel
saluran pencernaan dipertahankan pada kondisi stabil dinamis oleh kehilangan sel
karena pengelupasan permukaan sel (sebab mukosa lambung sering terpapar
senyawa-senyawa yang memiliki pH, osmolaritas, dan suhu dengan rentang luas)
diseimbangkan dengan pembaharuan sel yang terus menerus (Lipkin, 1987).
Keseimbangan antara sel yang hilang dan pembaharuan sel harus diatur dengan
ketat, karena kehilangan sel yang berlebihan dapat menyebabkan atrofi atau
pembentukan tukak, sedangkan kelebihan proliferasi atau perpanjangan waktu
hidup sel dapat memicu hiperplasia (Johnson dan McCormack, 1994).
Penyembuhan tukak lambung membutuhkan penyusunan kembali struktur
epitel dan jaringan penghubung yang menopang, termasuk lapisan pembuluh dan
otot. Beberapa faktor pertumbuhan telah dilibatkan dalam proses ini, karena
kemampuannya dalam mengatur fungsi penting sel, seperti proliferasi sel, migrasi,
diferensiasi, sekresi, dan degradasi matriks ekstraseluler, dimana semuanya
penting selama penyembuhan jaringan (Milani dan Calabro, 2001). Penyembuhan
luka merupakan proses yang melibatkan peptida faktor pertumbuhan dimana
TGF-beta adalah salah satu yang paling penting. Nitric oxide juga merupakan
faktor penting penyembuhan dan produksinya diatur oleh inducible nitric oxide
synthase (iNOS) (Mani, et al., 2002).

2.6 Kunyit (Curcuma longa L.)
Taksonomi kunyit adalah sebagai berikut (Krishnaswamy, 2009).
Kingdom
Subkingdom
Superdivisi
Divisi
Kelas

: Plantae (tumbuhan)
: Tracheobionta (tumbuhan pembuluh)
: Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
: Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)
: Liliopsida (monokotiledon)

21

Universitas Sumatera Utara

Subkelas
: Zingiberidae
Order
: Zingiberales
Famili
: Zingiberaceae (famili jahe-jahean)
Genus
: Curcuma L.
Species
: Curcuma longa Linn. (Kunyit)
Sinonim
: C. domestica Valeton
Curcuma longa atau kunyit adalah tanaman tropis yang berasal dari Asia
Selatan dan Tenggara, yang berupa tanaman berasal dari famili jahe-jahean
berukuran hingga 1 meter. Bagian yang dipakai adalah rimpang. Bagian paling
aktif dari kunyit adalah kurkumin, yang bisa mencapai 2-5% dari total bagian
rimpang. Kunyit dipakai sebagai bumbu masakan, pewarna makanan, dan obat
tradisional untuk mengobati bermacam penyakit, seperti pengobatan keseleo dan
bengkak akibat cedera, sakit tenggorokan, luka diabetes, kelainan hati, rematik,
dan sinusitis seperti tertera pada buku Hindu kuno (Aggarwal, et al., 2003).
Kunyit memiliki sejarah panjang dalam pengobatan Ayurvedasebagai
pengobatan untuk keadaan inflamasi. Konstituen kunyit termasuk tiga
kurkuminoid: kurkumin (diferuloilmetana; komponen penyusun utama dan yang
betanggung

jawab

atas

warna

kuning

kuat),

demetoksikurkumin,

dan

bisdemetoksikurkumin, dan juga minyak volatil (tumeron, atlanton, dan
zingiberon), gula, protein dan resin. Penelitian menunjukkan bahwa kurkumin
merupakan molekul yang pleiotropik (menghasilkan banyak ekspresi fenotip)
yang bisa berinteraksi dengan banyak molekul target yang terlibat dalam inflamasi.
Senyawa kimia utama: senyawa aktif adalah kurkuminoid (3-5%), yang
merupakan

fenilpropanoid,

predominan

kurkumin

(50-60%),

dengan

monodesmetoksikurkumin, dihidrokurkumin dan lainnya (Jurenka, 2009).
Komposisi umum dari kunyit ditunjukkan pada tabel di bawah, tetapi
komposisi bisa beragam tergantung varietas, penyimpanan, kematangan sampel,
pemupukan, juga teknik pertanian. Oleoresin dari serbuk kunyit dibuat dengan

22

Universitas Sumatera Utara

ekstraksi menggunakan pelarut diikuti destilasi. Materi kental semi liquid ini
mengandung senyawa aromatik volatil dan bagian non-volatil, yang membuat
aroma dan rasa dalam bentuk konsentrat, tanpa bagian serat dan tepung. Warna
kunyit dikarenakan kelompok senyawa yang disebut kurkuminoid, terdiri atas
diferuloilmethana (C12H20O6) atau kurkumin I (77%), demetoksikurkumin atau
kurkumin II (17%) dan bisdemetoksikurkumin atau kurkumin III (3%). Ketiga
kurkuminoid menunjukkan fluorosensi di bawah sinar ultraviolet (Krishnaswamy,
2009).
Tabel 2.5 Komposisi kimia Curcuma longa Linn. (Ravindran, et al., 2007;
Krishnaswamy, 2009)
Senyawa

Persentasi
60-70
6-8
2-7
3-7
5-10
2-3
2-5
3-7
4-8

Karbohidrat
Protein
Serat
Kandungan mineral
Lemak
Minyak lemak
Kurkumin
Kadar air
Kadar abu

2.6.1 Kurkumin
Kurkumin adalah senyawa polifenol berupa serbuk kristalin kuning tak
berbau dengan berat molekul 368,4 dan titik lebur 1840-1860C, sukar larut dalam
air, petroleum eter dan benzena dan larut dalam metil dan etil alkohol, kloroform,
asam asetat glasial, alkali, aseton dan propilen glikol yang memiliki 2 molekul
asam ferulat yang dihubungkan melalui jembatan metilen pada atom C gugus
karboksil. Gugus hidroksil dari cincin benzena dan/ atau gugus pusat β-diketon
secara struktur dikaitkan dengan aktivitas biologisnya (Krishnaswamy, 2009).

23

Universitas Sumatera Utara

Sifat kurkumin tidak stabil pada suasana netral dan basa karena memicu
degradasi asam ferulat dan gugus feruloilmetan. Kurkumin stabil pada saluran
pencernaan pH 1-6. Vanilin, asam ferulat dan feruloil diidentifikasi sebagai
produk degradasi minor. Melalui sistem reduksi endogen sebagian besar
kurkuminakan direduksi menjadi dihidrokurkumin dan tetrahidrokurkumin dan
diubah menjadi konjugat monoglukuronosida. Tetrahidrokurkumin (THC) adalah
metabolit in vivo utama (Krishnaswamy, 2009).

sebagai
radikal

produk kondensasi
feruloilmethana

vanilin

asam ferulat

aseton

Gambar 2.1 Degradasi kurkumin dalam pH basa (Kumavat, et al., 2013)
2.6.2 Farmakokinetika kurkumin
Kurkumintidak larut dalam air, sedikit diserap dari saluran pencernaan,
dan ketikamelalui saluran pencernaan tidak banyak masuk ke aliran darah, jadi
sedikit menghasilkan efek ke tubuh. Dosis besar harus diberikan secara oral untuk
memasukkan jumlah kecil ke darah (Jefferson, 2015).Absorpsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi kurkumin dalam hewan pengerat telah dijelaskan dalam

24

Universitas Sumatera Utara

sedikitnya 10 studi. Tidak ada data farmakokinetik komprehensif manusia sebagai
perbandingan studi preklinik dikarenakan bioavailabilitas sistemik yang rendah
dari kurkumin. Efek first-pass dan beberapa metabolisme intestinal kurkumin,
secara

khusus

glukuronidasi

dan

sulfasi,

bisa

menjelaskan

kerendahanbioavailabilitas ketika diberikan via rute oral (Sharma, et al., 2007).
Kurkumin sangat sedikit diabsorpsi di saluran pencernaan bagian bawah dan
memiliki waktu paruh eliminasi 0,39 jam. Bioavailabilitas yang rendah (