Pengaruh Perilaku Individu dan Lingkungan Fisik terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Dataran Tinggi Gayo Kabupaten Aceh Tengah

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Demam Berdarah Dengue

2.1.1 Pengertian Demam Berdarah Dengue
Dengue Fever (DF) adalah penyakit febris-virus akut, sering kali disertai
dengan sakit kepala, nyeri tulang atau sendi dan otot, ruam dan leucopenia sebagai
gejalanya. Demam berdarah dengue (DHF) ditandai oleh empat manifestasi klinis
utama: demam tinggi, fenomena hemoragik, sering dengan hepatomegali dan, pada
kasus berat, tanda-tanda kegagalan sirkulasi. Pasien ini dapat mengalami syok
hipovolemik yang diakibatkan oleh kebocoran plasma. Syok ini disebut sindrom syok
dengue (DSS) dan dapat menjadi fatal (WHO, 1997).
Pada beberapa epidemik, DBD dapat disertai dengan komplikasi perdarahan,
seperti epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan gastrointestinal, hematuria dan
menoragi. Biasanya perdarahan dapat menimbulkan kematian pada kasus ini (WHO,
1997).
2.1.2 Pola Penyakit Demam Berdarah Dengeu
Pola dari penyakit DBD adalah sebagai berikut

1. Interaksi Virus-Pejamu
Menurut WHO (2001) untuk memahami berbagai situasi epidemiologi yang
muncul, penting untuk mengenali beberapa aspek dasar interaksi virus-penjamu.
Aspek-aspek tersebut meliputi:

Universitas Sumatera Utara

a.

Infeksi dengue jarang menimbulkan kasus ringan pada anak.

b.

Infeksi dengue pada orang dewasa sering menimbulkan gejala yang sering tidak
dikenali sebagai kasus dengue dan menyebar tanpa terlihat didalam masyarakat.

c.

Infeksi primer maupun sekunder dengue pada orang dewasa mungkin
menimbulkan perdarahan gastrointestinal yang parah. Contoh, tahun 1988 di

Taiwan banyak orang dewasa yang mengalami perdarahan yang berat yang
dihubungkan dengan DEN(dengue)-1 juga mengalami penyakit ulkus peptikum.

2. Faktor-Faktor Determinan pada DBD
Menurut WHO (2001), infeksi sekunder dengue merupakan faktor risiko
untuk DBD, termasuk juga antibodi-pasif pada bayi. Strain virus juga merupakan
faktor risiko untuk terkena DBD; tidak semua tipe liar virus berpotensi menimbulkan
epidemic atau mengakibatkan kasus yang parah. Faktor-faktor risiko pada Demam
Berdarah Dengue adalah: status imun setiap individu, strain/serotype virus yang
menginfeksi, usia pasien dan latar belakang genetik pasien. Terakhir, usia pasien dan
genetik penjamu juga termasuk faktor risiko terhadap DBD. Walaupun DBD dapat
dan memang menyerang orang dewasa, kebanyakan kasusnya ditemukan pada anakanak yang berusia >15 tahun, dan bukti tidak langsung memperlihatkan bahwa
beberapa kelompok di masyarakat mungkin justru lebih rentan terhadap sindrom
pecahnya pembuluh darah dari pada kelompok lainnya.

Universitas Sumatera Utara

2.1.3 Etiologi
Penyakit Demam Berdarah Dengue pada seseorang dapat disebabkan oleh
virus Dengue termasuk family Flaviviridae dan harus dibedakan dengan demam yang

disebabkan virus Japanese Encephalitis dan Yellow Fever (Demam Kuning)
(Soegijanto, 2008).
Virus dengue termasuk family Flaviviridae, genus Flavivirus, terdirin dari 4
serotip, yaitu DEN (dengue)-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Keempat serotype virus
ini terdapat di Indonesia dan dilaporkan bahwa serotype virus DEN-3 sering
menimbulkan wabah (Soegijanto, 2008).
Virus DEN termasuk dalam kelompok virus yang relatif labil terhadap suhu
dan faktor kimiawi lain serta masa viremia yang pendek, sehingga keberhasilan
isolasi dan identifikasi virus sangat bergantung kepada kecepatan dan ketepatan
pengambilan (Soegijanto, 2008).
2.1.4 Patofisiologi dan Patogenesis
Patofisiologi primer DBD adalah peningkatan akut permeabilitas vaskuler
yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler, sehingga
menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Volume plasma
menurun lebih dari 20% pada kasus-kasus berat, hal ini didukung penemuan postmortem meliputi efusi serosa, efusi pleura, hemokonsentrasi dan hipoproteinemi.
Terjadinya lesi destruktif nyata pada vaskuler, menunjukan bahwa perubahan
sementara fungsi vaskuler diakibatkan suatu mediator kerja singkat. Jika penderita
sudah stabil dan mulai sembuh, cairan ekstravasasi diabsorpsi dengan cepat,

Universitas Sumatera Utara


menimbulkan penurunan hemotrokit. Perubahan hemostasis pada DBD melibatkan 3
faktor yaitu perubahan vaskuler, trombositopeni, dan kelainan koagulasi (Soegijanto,
2008).
Virus dengue masuk kedalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Ae.
aegypti atau Ae. albopictus. Organ sasaran dari virus adalah organ hepar, nodus
limfaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Data dari berbagai penelitian menunjukan
bahwa sel-sel monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini.
Dalam peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer
(Soegijanto, 2008).
Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam sel
tersebut. Infeksi virus dengue dimulai dengan menempelnya virus genomnya masuk
ke dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk
komponen-komponennya, baik komponen antara maupun komponen structural virus.
Setelah komponen struktural dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses
perkembangbiakan virus DEN terjadi di sitoplasma sel (Soegijanto, 2008).
2.1.5 Tanda dan Gejala Klinis
Menurut WHO (2001), manifestasi klinis dari DBD adalah:
1.


Demam: awalnya akut, cukup tinggi, dan kontinu, berlangsung selama 2 – 7 hari.

2.

Setiap manifestasi perdarahan (termasuk juga uji tourniquet positif): petekia,
purpura, ekimosis, epistaksis, gusi berdarah, dan hematemesis dan/atau malena.

3.

Pembesaran hati (hepatomegali) tampak pada beberapa tahap penyakit yaitu
sekitar 90-98% pada anak-anak.

Universitas Sumatera Utara

4.

Syok, ditandai dengan denyut yang cepat dan lemah disertai tekanan denyut yang
menurun (20 mmHg atau kurang), atau hipotensi, juga dengan kulit

yang


lembab, dingin dan gelisah.
2.1.6 Nyamuk Penular DBD
Di Asia Tenggara, Ae. aegypti merupakan vektor utama epidemik virus
dengue. Ae. albopictus merupakan vektor sekunder, yang juga penting dalam
mempertahankan keberadaan virus (WHO, 2001).
1.

Aedes aegypti

a.

Status taksonomi
Ae. aegypti memperlihatkan spektrum pola sisik yang bersambungan di
sepanjang penyebarannya mulai dari bentuk yang gelap, yang dikaitkan dengan
perbedaan perikunya.

b.

Distribusi

Ae. Aegypti tersebar luas di wilayah tropis dan subtropis Asia Tenggara, dan
terutama di sebagian besar wilayah perkotaan. Penyebaran Ae. Aegypti di
pedesaan akhir-akhir ini relatif sering terjadi yang dikaitkan dengan
pembangunan sistem persediaan air pedesaan dan perbaikan sistem transportasi.
Ae. Agypti ternyata lebih stabil dan ditemukan di daerah perkotaan, pinggiran
kota, dan daerah pedesaan karena kebiasaan penyimpanan air secara tradisional.
Selain itu urbanisasi cenderung menambah jumlah habitat yang sesuai untuk Ae.
Aegypti. Ae. Aegypti ternyata juga dapat berada di rumah yang kumuh, rumah
toko (ruko), dan di rumah susun dengan banyak kamar.

Universitas Sumatera Utara

c.

Ketinggian
Ketinggian merupakan faktor yang penting untuk membatasi penyebaran nyamuk
Ae. aegypti. Pada ketinggian yang berkisar dari nol meter sampai 1000 meter
diatas permukaan laut nyamuk Ae. aegypti dapat ditemukan. Ketinggian yang
rendah (kurang dari 500 meter) memiliki tingkat kepadatan populasi nyamuk
sedang sampai berat. Sementara daerah pegunungan (diatas 500 meter) memiliki

populasi nyamuk yang rendah.

d.

Perilaku Istirahat
Ae. aegypti suka beristirahat ditempat yang gelap, lembab dan tersembunyi di
dalam rumah atau bangunan, termasuk dikamar tidur, kamar mandi, kamar kecil,
maupun didapur. Nyamuk ini jarang ditemukan di luar rumah, di tumbuhan atau
di tempat terlindung lainnya. Di dalam ruangan, permukaan istirahat yang
mereka suka adalah di bawah furniture, benda yang tergantung seperti baju dan
gorden, serta di dinding.

e.

Jarak terbang
Penyebaran nyamuk Ae. aegypti betina dewasa dipengaruhi oleh beberapa faktor
termasuk ketersediaan tempat bertelur dan darah, tetapi tampaknya terbatas
sampai jarak 100 meter dari lokasi kemunculan. Akan tetapi, penelitian terbaru di
Puerto Rico menunjukan bahwa nyamuk ini dapat menyebar sampai lebih dari
400 meter terutama untuk mencari tempat bertelur. Transportasi pasif dapat

berlangsung melalui telur dan larva yang ada dalam penampung.

Universitas Sumatera Utara

f.

Penyebaran virus
Nyamuk Ae. aegypti dewasa memiliki rata-rata lama hidup hanya delapan hari.
Selama musim hujan, saat masa bertahan hidup lebih panjang, risiko penyebaran
virus semakin besar.

2.

Aedes albopictus
Aedes albopictus termasuk dalam subgenus yang sama dengan Ae. Aegypti
(Stegomyia). Spesies ini tersebar luas di Asia dari Negara beriklim tropis sampai
yang beriklim subtropics.
Ae. albopictus pada dasarnya adalah spesies hutan yang beradaptasi dengan
lingkungan manusia di pedesaan, pinggiran kota, dan perkotaan. Nyamuk
bertelur dan berkembang di lubang pohon, ruas bambu, dan pangkal daun sebagai

habitat hutannya; serta penampung buatan di daerah perkotaan. Nyamuk ini
merupakan penghisap darah yang acak dan lebih zoofagik (memilih hewan) dari
pada Ae. aegypti. Jarak terbangnya bisa mencapai 500 meter. Tidak seperti Ae.
aegypti, beberapa strain dari spesies ini berhasil beradaptasi dengan cuaca dingin
di wilayah Asia Utara dan Amerika, saat telurnya menghabiskan musim dingin
dengan beristirahat.
Nyamuk ini telah menjadi hama yang signifikan di banyak masyarakat karena
erat hubungannya dengan manusia (bukan hidup dilahan basah), dan biasanya
makan di siang hari selain disenja dan fajar (Wikipedia,2010).

Universitas Sumatera Utara

2.2

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kejadian DBD

2.2.1 Perilaku
Green menganalisis bahwa kesehatan itu dipengaruhi oleh dua faktor pokok
yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor non perilaku (non behavior
causes). Sedangkan perilaku itu sendiri, khusus perilaku kesehatan dipengaruhi atau

ditentukan oleh 3 (tiga) factor yakni:
a.

Faktor-faktor predisposisi (predisposing factor), yaitu terwujud dalam
pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai-nilai dan sebagainya dari seseorang.

b.

Faktor-faktor penunjang (enabling factor) yang terwujud dalam lingkungan
fisik (tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas kesehatan).

c.

Faktor-faktor pendukung atau reinforcing factor yang terwujud dalam sikap
dan perilaku petugas kesehatan dan petugas-petugas lainnya termasuk
didalamnya keluarga dan teman sebaya.
Green kemudian berkesimpulan bahwa setiap perilaku kesehatan dapat dilihat

sebagai fungsi dari pengaruh kolektif ketiga faktor. Gagasan penyebab kolektif itu
penting terutama karena perilaku merupakan suatu fenomena yang majemuk.
Jika menelaah dari ketiga faktor tersebut maka terlihat bahwa perubahan
perilaku yang berkaitan dengan rekayasa perilaku akan sangat berhubungan dengan
faktor-faktor sebagai berikut:
a.

Kepercayaan terhadap kesehatan dengan dimensi pembentukan (determinan)
adalah pengetahuan dan sikap. Kedua dimensi ini berkaitan erat dengan
karakteristik demografis individu.

Universitas Sumatera Utara

b.

Kemampuan mendapatkan informasi, kemudahan mendapatkan pelayanan serta
ketersediaan alat dan bahan dalam melakukan pencegahan.
Pengetahuan dan sikap manusia (masyarakat) yang kurang mengetahui tentang

tanda/gejala, cara penularan dan pencegahan penyakit DBD mempunyai risiko
terkena penyakit DBD. Dengan demikian upaya peningkatan pengetahuan mengenai
gejala/tanda, cara penularan dan pencegahan serta pemberantasan penyakit DBD
perlu mendapat perhatian utama agar masyarakat lebih berperan aktif untuk
melakukan pembersihan dan pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Kebiasaan
menggantungkan pakaian di dalam rumah merupakan habitat kesenangan nyamuk
Aedes aegypti. Sedangkan kebiasaan tidur siang mempunyai risiko untuk terjadinya
DBD (Depkes RI, 1992).
2.2.2 Lingkungan
Lingkungan merupakan tempat interaksi vektor penular penyakit DBD dengan
manusia yang dapat mengakibatkan terjadinya penyakit DBD. Hal-hal yang
diperhatikan di lingkungan yang berkaitan dengan vektor penularan DBD antara lain:
a.

Sumber air yang digunakan
Air yang di gunakan dan tidak berhubungan langsung dengan tanah merupakan
tempat perindukkan yang potensial bagi vektor DBD.

b.

Kondisi tempat penampungan air (TPA)
Tempat penampungan air yang berjentik lebih besar kemungkinan terjadinya
DBD di bandingkan dengan tempat penampungan air yang tidak berjentik.

Universitas Sumatera Utara

c.

Kebersihan lingkungan
Kebersihan halaman dari kaleng kaleng/ban bekas, tempurung dan lain-lain
juga merupakan faktor terbesar terjadinya DBD (Depkes RI, 1997).

2.2.3. Mobilitas Penduduk
Mobilitas penduduk diartikan dengan perpindahan (Kusnadi, 2010), sementara
menurut Prasetyo (2010) pengertian lain dari mobilitas penduduk adalah perpindahan
penduduk dari suatu tempat ke tempat yang lain.
Dalam ilmu sosiologi mobilitas dibagi menjadi 3 (Prasetyo, 2010) yaitu:
1.

Mobilitas horizontal adalah perpindahan penduduk dari satu lapangan hidup
kelapangan hidup yang lain.

2.

Mobilitas vertikal adalah perpindahan penduduk dari cara-cara hidup tradisional
ke cara-cara hidup yang lebih moderen.

3.

Mobilitas geografis adalah berpindahnya seseorang dari satu tempat ke tempat
atau daerah yang lain.
Mobilitas horizontal disebut juga dengan migrasi. Migrasi penduduk adalah

perpindahan penduduk dari tempat ke satu tempat yang lain melewati batas
administrative dengan tujuan menetap (Kusnadi, 2010).
Migrasi penduduk terbagi 2 jenis yaitu migrasi internasional dan migrasi
nasional. Migrasi internasional adalah perpindahan penduduk yang melewati batas
suatu negara. Migrasi nasional adalah migasi yang terjadi dalam batas wilayah suatu
negara. Migrasi nasional terbagi dua migrasi sirkuler dan migrasi momuter. Migrasi
sirkuler yaitu perpindahan penduduk sementara karena mendekati tempat pekerjaan.

Universitas Sumatera Utara

Migrasi komuter adalah pergi ke tempat atau kota lain di pagi hari dan pulang disore
hari ataupun malam hari (Prasetyo, 2010).

2.3

Pengaruh Perilaku

2.3.1

Konsep Perilaku
Dari aspek biologis perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme

atau mahkluk hidup yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2010). Segala kegiatan yang
dilakukan mahkluk hidup dalam kehidupan sehari-hari untuk mempertahankan
kehidupan sehari-hari untuk mempertahankan kehidupannya disebut dengan perilaku.
Menurut Skiner (1938), seorang ahli psikologi yang dikutip didalam buku
Notoatmodjo (2010), merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi
seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dengan demikian perilaku
manusia terjadi melalui proses: Stimulus → Organisme → Respon, sehingga teori
Skinner ini disebut teori “SOR”.
Berdasarkan Teori SOR, maka perilaku manusia dapat dikelompokan menjadi
dua, yakni:
1.

Perilaku tertutup (covert behavior)
Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut masih belum
dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respon seseorang masih terbatas
dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap terhadap
stimulus.

Universitas Sumatera Utara

2.

Perilaku terbuka (overt behavior)
Perilaku terbuka terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah berupa
tindakan atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar.
Berdasarkan pembagian domain oleh Bloom, dan untuk kepentingan

pendidikan praktis, dikembangkan menjadi tingkat ranah perilaku sebagai berikut
(Notoatmodjo, 2010):
1. Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan adalah hasil pengindraan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indra yang dimiliknya (mata, hidung, telinga, dan
sebagainya).
2. Sikap (Attitude)
Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu,
yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan
3. Tindakan atau praktik (Practice)
Seperti telah disebutkan di atas bahwa sikap adalah kecenderungan untuk
bertindak (praktik). Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk
terwujudnya tindakan perlu faktor lain antara lain adanya fasilitas atau sarana
dan prasarana.
2.3.2 Perilaku Kesehatan
Menurut Skiner (1938), perilaku kesehatan adalah respons seseorang terhadap
stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit dan faktor-faktor

Universitas Sumatera Utara

yang mempengaruhi sehat-sakit (kesehatan) seperti lingkungan, makanan, minuman,
dan pelayanan kesehatan (Notoatmodjo, 2010).
Dengan perkataan lain perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau
kegiatan seseorang baik yang dapat diamati (observable) maupun yang tidak dapat
diamati (unobservable) yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan
kesehatan.
2.3.3

Konsep Dasar Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
pancaindra manusia, yakni indra pengelihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan
raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga
(Notoatmodjo, 2003).
Menurut WHO pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau
pengalaman orang lain. Selanjutnya menurut Poedjawijatna (1991), orang yang tahu
disebut mempunyai pengetahuan. Jadi pengetahuan adalah hasil dari tahu. Dengan
demikian pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2010).
Penelitian Rogers (2003), mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi
tahapan pengetahuan dalam diri orang tersebut terjadi adalah sebagai berikut:
a.

Knowledge (pengetahuan), yakni orang tersebut mengetahui dan memahami akan
adanya sesuatu perubahan baru.

Universitas Sumatera Utara

b.

Persuasion (kepercayaan), yakni orang mulai percaya dan membentuk sikap
terhadap perubahan tersebut.

c.

Decision (keputusan), yakni orang mulai membuat suatu pilihan untuk
mengadopsi atau menolak perubahan tersebut.

d.

Implementation (pelaksanaan), orang mulai menerapkan perubahan tersebut
dalam dirinya.

e.

Confirmation (penegasan), orang tersebut mencari penegasan kembali terhadap
perubahan yang telah diterapkan, dan boleh merubah keputusannya apabila
perubahan tersebut berlawanan dengan hal yang diinginkannya.
Namun demikian dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa

perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut. Apabila penerima
perubahan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini didasari oleh
pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku itu tidak didasari oleh
pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama (Notoatmodjo, 2003).
Menurut Bloom (1908), pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif
mempunyai 6 tingkatan:
a.

Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)
sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang
telah diterima, oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang
paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang

Universitas Sumatera Utara

dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan,
dan sebagainya.
b.

Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut
secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat
menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya
terhadap objek yang dipelajari.

c.

Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat
diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode,
prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

d.

Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
kedalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi,
dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat
dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan),
membedakan, memisahkan, mengelompokan dan sebagainya.

e.

Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

Universitas Sumatera Utara

Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi
baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat
merencanakan, dapat meringkas, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap
suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin diketahui atau diukur dapat
disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan menjadi landasan penting untuk menentukan suatu tindakan.
Pengetahuan, sikap dan perilaku akan kesehatan merupakan faktor yang menentukan
dalam mengambil suatu keputusan. Orang yang berpengetahuan di dalam kehidupan
sehari-hari (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya suatu tindakan seseorang (overt behavior) dari pengalaman dan
penelitian ternyata perilaku yang dasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2003).
Menurut Notoatmodjo (2003), ada beberapa faktor yang memengaruhi
pengetahuan yaitu:
a.

Pendidikan
Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan didalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.
Pendidikan memengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang
makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Dengan pendidikan

Universitas Sumatera Utara

tinggi maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari
orang lain maupun dari media massa. Semakin banyak informasi yang masuk
semakin banyak pula pengetahuan yang didapat tentang kesehatan. Pengetahuan
sangat erat kaitan dengan pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan
pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya.
Namun perlu ditekankan bahwa seseorang yang berpendidikan rendah tidak
berarti mutlak diperoleh di pendidikan formal, akan tetapi dapat diperoleh pada
pendidikan nonformal. Pengetahuan seseorang tentang suatu objek juga
mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan negatif. Kedua aspek inilah yang
akhirnya akan menentukan sikap seseorang terhadap obyek tertentu.
b.

Informasi
Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal dapat
memberikan

pengaruh

jangka

pendek

(immediate

impact)

sehingga

menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Majunya teknologi akan
tersedia bermacam-macam media massa yang dapat memengaruhi pengetahuan
masyarakat tentang inovasi baru. Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk
media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain
memengaruh besar terhadap pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam
penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pula
pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang.
Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru
bagi terbentuknya pengetahuan terhadap hal tersebut.

Universitas Sumatera Utara

c.

Sosial budaya dan ekonomi

d.

Lingkungan

e.

Pengalaman

f.

Usia

2.4.1

Konsep Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap

suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi
hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata
menunjukan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu
(Notoatmodjo, 2007).
Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yakni (Notoatmodjo, 2007):
1.

Menerima (Receiving)
Menerima diartikan, bahwa orang (subjek) mau dan memerhatikan stimulus yang
diberikan (objek).

2.

Merespon (Responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas
yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha
untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas
pekerjaan itu benar atau salah, berarti orang menerima ide tersebut.

3.

Menghargai (Valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain
terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

Universitas Sumatera Utara

4.

Bertanggung jawab (Responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala
resiko merupakan sikap yang paling tinggi

2.5.1

Konsep Tindakan
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior).

Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbedaan nyata diperlukan faktor
pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas.
Tingkat-tingkat praktik:
1.

Persepsi (Perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan
diambil merupakan praktik tingkat pertama.

2.

Respon terpimpin (Guided Respons)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai contoh adalah
indikator praktik tingkat dua.

3.

Mekanisme (Mechanism)
Apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau
sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktik tingkat
tiga.

4.

Adaptasi (Adaptation)
Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan
baik. Artinya, tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi
kebenaran tindakan tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Penelitian yang dilakukan oleh Tedy,B (2005) menunjukan bahwa ada
perbedaan yang bermakna antara pengetahuan dengan kejadian DBD,
responden yang berpengetahuan kurang baik lebih besar 3,077 kali
dibandingkan dengan responden yang berpengetahuan baik. Dengan interval
kepercayaan 95% untuk OR=3,077 adalah 1,218-7,776. Sikap responden
terhadap kejadian DBD adalah bahwa risiko kejadian DBD bagi responden
yang bersikap kurang baik lebih besar 2,738 kali dibandingkan dengan
responden yang sikapnya baik. Dengan interval kepercayaan 95% untuk
OR=2,738 adalah 1,196 - 6,269. Sedangkan hasil penelitian tindakan terhadap
kejadian DBD menunjukan bahwa risiko kejadian DBD bagi responden yang
tindakannya kurang baik lebih besar 4,487 kali dibandingkan dengan
responden yang tindakannya baik. Dengan interval kepercayaan 95% untuk
OR=4,487 adalah 1,822 – 11,051.

2.4.

Pengaruh Lingkungan Fisik Terhadap Kejadian DBD
Lingkungan adalah sekeliling tempat organisasi, berorganisasi, termasuk

udara, air, tanah, sumber daya alam, flora, fauna, manusia serta hubungan didalamnya
(Notoatmodjo, 2007).
Lingkungan fisik (physical environment) adalah istilah yang mencakup semua
benda hidup dan tidak hidup yang terjadi secara alami di bumi atau bagiandarinya.
Istilah ini mencakup beberapa komponen kunci yaitu: unit bentang alam lengkap
yang berfungsi sebagai sistem alami tanpa intervensi manusia yang berlebihan

Universitas Sumatera Utara

termasuk semua tumbuhan, binatang, batuan dan fenomena alami yang terjadi dalam
batas unit bentang alam tersebut. Sumber daya alam bersifat universal dan fenomena
fisik yang bersifat lintas batas, seperti udara, air, iklim dan juga energi, radiasi, yang
tidak berasal dari aktivitas manusia (Ling-geo, 2009).
Kesehatan lingkungan pada hakekatnya adalah suatu kondisi atau keadaan
lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status
kesehatan yang optimal pula (Notoatmodjo, 2007).
Ruang lingkup kesehatan lingkungan tersebut antara lain mencakup:
perumahan, pembuangan kotoran manusia (tinja), penyediaan air bersih, pembuangan
sampah, pembuangan air kotor (air limbah), rumah hewan ternak (kandang), dan
sebagainya (Notoatmodjo, 2007).
Manusia agar merupakan media yang baik untuk terwujudnya kesehatan yang
Adapun yang dimaksud dengan usaha kesehatan lingkungan adalah suatu usaha untuk
memerbaiki atau mengoptimumkan lingkungan hidup optimum bagi manusia yang
hidup didalamnya (Notoatmodjo, 2007).
Manajemen

lingkungan

yang

dapat

mencegah

atau

meminimalkan

perkembangbiakan vektor sehingga kontak antara manusia dan vektor berkurang
adalah (WHO, 2001):
1.

Perbaikan persediaan air
Jika persediaan air pipa tidak adekuat dan hanya keluar pada jam-jam tertentu
atau tekanan airnya rendah, ada anjuran untuk penyimpanan air dalam berbagai
jenis wadah. Hal ini akhirnya akan memperbanyak tempat perkembangbiakan

Universitas Sumatera Utara

nyamuk Ae. aegypti. Sebagian besar wadah yang digunakan memiliki ukuran
yang besar dan berat (misal: gentong air) dan tidak mudah untuk dibuang atau
dibersihkan.
2.

Drainase instalasi persediaan air
Tumpah/bocornya air dalam bangunan pelindung, dari pipa distribusi, katup air,
pintu air, hidran kebakaran, meteran air dan sebagainya menyebabkan air
mengenang dan dapat menjadi habitat yang penting untuk larva Ae. aegypti jika
tindakan pencegahan tidak dilakukan.

3.

Penyimpanan air rumah tangga
Sumber utama perkembangbiakan Ae. aegypti

disebagian besar daerah

perkotaan Asia Tenggara adalah wadah penyimpanan air untuk kebutuhan rumah
tangga yang mencakup gentong air dari tanah liat,keramik serta teko semen yang
dapat menampung 200 liter air, drum logam berkapasitas 210 liter (50 galon),
dan wadah yang berukuran lebih kecil untuk menampung air bersih atau air
hujan. Wadah penyimpanan air harus ditutup dengan tutup yang pas dan rapat
yang harus ditempatkan kembali dengan benar setelah mengambil air.
4.

Pot/vas bunga
Pot bunga dan vas bunga merupakan tempat utama perkembangbiakan Ae.
aegypti. Benda-benda tersebut harus dilubangi untuk saluran air keluar. Tindakan
lainya, bunga hidup dapat ditempatkan diatas wadah yang berisi pasir dan air.

Universitas Sumatera Utara

5.

Perkembangbiakan Ae.aegypti di genangan air incidental
Pendingin air tempat kering (water (evaporasi) cooler), wadah penampungan
hasil kondensasi dibawah lemari es, dan pendingin udara (air conditioner) harus
diperiksa, dikeringkan dan dibersihkan secara teratur. Pendingin air tempat
kering yang biasa dipakai di wilayah gersang/semigersang.

6.

Bagian luar bangunan
Dilakukan pemeriksaan berkala terhadap bangunan selama musim Desain
bangunan penting untuk mencegah perkembangbiakan nyamuk Aedes. Pipa
aliran dari talang atap sering tertsumbat dan menjadi lokasi perkembangbiakan
nyamuk Aedes. Dengan demikian perlu hujan untuk menemukan

lokasi

potensial perkembangbiakan.
7.

Pembuangan sampah padat
Sampah padat, seperti kaleng, botol, ember, atau benda tak terpakai lainnya yang
berserakan di sekeliling rumah harus dibuang dan dikubur di tempat penimbunan
sampah. Barang-barang pabrik dan gudang yang tak terpakai harus disimpan
dengan benar sampai saatnya dibuang. Peralatan rumah tangga dan kebun
(ember, mangkuk, dan alat penyiram tanaman) harus disimpan dalam kondisi
terbalik untuk mencegah tergenangan air hujan.

8.

Pengelolaan ban
Ban bekas kendaraan merupakan lokasi utama perkembangbiakan nyamuk Aedes
di daerah perkotaan sehingga menimbulkan satu masalah kesehatan masyarakat

Universitas Sumatera Utara

yang penting. Ban bekas harus ditutup untuk mencegah tergenangnya air hujan
dalam ban.
9.

Pengisian rongga pada pagar
Pagar yang terbuat dari kayu berongga seperti bambu harus dipotong di bagian
beton agar tidak menjadi habitat larva Aedes.

10. Botol kaca dan kaleng
Botol kaca, kaleng dan wadah lainnya harus di timbun di tempat penimbunan
sampah atau dihancurkan dan didaur ulang untuk industri.
11. Jarak rumah
Jarak rumah adalah ukuran yang menunjukan seberapa jauh antara satu rumah
dengan rumah lainnya.
12. Tata rumah
Tata rumah adalah susunan peletakan peralatan/perabotan didalam rumah.
Penelitian yang dilakukan oleh Roose (2005) menunjukan bahwa kemungkinan
orang menderita DBD jarak rumahnya < 5 m dengan tetangga sebelah
menyebelah 1,78 kali lebih besar dibandingkan dengan tidak DBD. Tidak ada
perbedaan risiko terkena DBD pada responden yang tata rumahnya baik dengan
yang tata rumahnya tidak baik. Kemungkinan orang yang menderita DBD di
lingkungan rumahnya terdapat penampungan air 0,33 kali lebih besar
dibandingkan dengan orang yang tidak menderita DBD.

Universitas Sumatera Utara

Penelitian yang dilakukan oleh sitorus (2005) menunjukan bahwa ada
kemungkinan orang yang menderita DBD ditemukan ada jentik di rumahnya 5,8 kali
dibandingkan dengan orang yang tidak menderita DBD.

2.5. Landasan Teori
Masalah kesehatan adalah suatu masalah yang sangat komplek, yang saling
berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan sendiri. Demikian pula
pemecahan masalah kesehatan masyarakat, tidak hanya dilihat dari segi kesehatannya
sendiri, tapi harus dilihat dari segi-segi yang ada pengaruhnya terhadap masalah
‘sehat-sakit’ atau kesehatan tersebut. Banyak faktor yang memengaruhi kesehatan,
baik kesehatan individu maupun kesehatan masyarakat, untuk hal ini Hendrik L.
Blum (1974) mengatakan bahwa faktor perilaku, lingkungan, keturunan dan
pelayanan masyarakat disamping berpengaruh langsung kepada kesehatan, juga
saling berpengaruh satu sama lainnya (Notoatmodjo, 2007).
Teori segitiga epidemiologi menjelaskan bahwa timbulnya penyakit
disebabkan oleh adanya pengaruh faktor penjamu (host), penyebab (agent) dan
lingkungan (environment). Perubahan dari sektor lingkungan akan memengaruhi
host, akan timbul penyakit secara individu maupun keseluruhan populasi yang
mengalami perubahan tersebut. Demikian juga dengan kejadian penyakit DBD yang
berhubungan dengan lingkungan.
Selain itu perubahan dari perilaku dan lingkungan akan memengaruhi
individu, sehingga akan timbul penyakit secara individu maupun keseluruhan

Universitas Sumatera Utara

populasi yang mengalami perubahan tersebut. Demikian juga dengan kejadian
penyakit DBD yang berpengaruh dengan individu dan lingkungan. Pada prinsipnya
status kesehatan individu di pengaruhi oleh perilaku, lingkungan, keturunan dan
pelayanan kesehatan.
Keturunan:
- Faktor biologik
- Penyakit alergi

Pelayanan Kesehatan :
- Jarak ketempat
pelayanan kesehatan
- Fasilitas kesehatan
- Petugas kesehatan

Status
Kesehatan

Kesehatan

Lingkungan:
- Lingkungan fisik
- Lingkungan non
fisik

Perilaku :
- Pengetahuan
- Sikap
- Keterampilan

Gambar 2.1. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Status Kesehatan Menurut
Hendrik L. Blum

Universitas Sumatera Utara

2.6. Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teori maka peneliti merumuskan kerangka konsep
penelitian sebagai berikut:
Perilaku Individu
- Pengetahuan
- Sikap
- Tindakan

Lingkungan Fisik
- Jarak antar rumah
- Tata rumah (pengaturan barang
dalam rumah)
- Tempat penampungan air (TPA)
- Tempat penampungan air alami
- Keberadaan Jentik

Kejadian
DBD

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Pengaruh Perilaku Individu dan Lingkungan
Fisik terhadap Kejadian DBD

Universitas Sumatera Utara