BAB II

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang melakukan pembangunan nasional. Pembangunan nasional dilakukan sebagai upaya meningkatkan kehidupan bangsa dan negara yang dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan demi mencapai tujuan negara yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Agar dapat merealisasikan pembangunan tersebut perlu memperhatikan pembiayaan dana pembangunan. Sumber penerimaan dari negara tersebut diperoleh dari dalam negeri maupun luar negeri yang terbesar salah satunya yaitu dari sektor pajak. Menurut Soemitro (1992) pajak merupakan iuran wajib bagi seluruh rakyat yang harus dibayarkan kepada kas negara menurut ketentuan undang-undang yang belaku sehingga dapat dipaksakan dan tanpa adanya imbal jasa (kontraprestasi) secara langsung, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum negara. Oleh karena itu, semua rakyat yang menurut undang-undang termasuk sebagai wajib pajak harus membayar pajak sesuai dengan kewajibannya (Suminarsasi, 2011:1).

Penggelapan pajak (tax evasion) di Indonesia sudah sering terjadi. Hal ini terbukti dengan mencuatnya kasus penggelapan pajak yang sering kali dilakukan oleh petugas pajak maupun wajib pajak, salah satu kasus penggelapan pajak di Indonesia adalah kasus penggelapan pajak pada tahun 2009 yang dilakukan oleh Roberto Santonius dengan melakukan penyuapan kepada petugas pajak, Gayus Halomoan Tambunan. Penyuapan tersebut bertujuan untuk mengurus gugatan keberatan pajak PT Metropolitan dan tiga perusahaan Grup Bakrie, yaitu PT Arutmin, PT Kaltim Prima Coal, dan PT Bumi Resource (Liputan6.com, April 2011). Dalam kasus penggelapan pajak yang terjadi dapat memunculkan pemikiran-pemikiran yang negatif tentang pajak. Persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak kini timbul


(2)

disebabkan karena fakta-fakta yang ada tentang petugas pajak yang melakukan korupsi atas pembayaran wajib pajak, sehingga mereka beranggapan bahwa penggelapan pajak itu etis karena uang yang mereka bayarkan tidak digunakan untuk membiayai pengeluaran negara. Masalah yang sangat mendasar sering dijumpai dalam pemungutan pajak yaitu bagaimana cara mewujudkan keadilan pajak, hal ini tidak mudah dijawab karena keadilan memiliki pengertian yang sangat luas, dimana keadilan antara masing-masing individu berbeda-beda. Untuk itu, dalam penerapan pajak sebagai sumber penerimaan, Negara harus berusaha agar seluruh masyarakat dapat merasakan keadilan dalam penerapan undang-undang pajak.

Ada beberapa cara yang digunakan wajib pajak untuk meminimalkan beban pajaknya, yaitu: Tax planning (perencanaan pajak), Tax avoidance (penghindaran pajak) dan tax evasion (penggelapan pajak). Tax planing adalah upaya wajib pajak untuk meminimalkan beban pajak melalui skema yang memang telah jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Tax avoidance adalah suatu usaha meminimalkan beban pajak dengan memanfaatkan celahcelah (loophole) ketentuan perpajakan suatu negara. Sedangkan tax evasion adalah suatu usaha untuk menghindari pajak terutang dengan cara melanggar undang-undang perpajakan (illegal), misalnya wajib pajak tidak melaporkan pendapatan yang sebenarnya. Sulitnya penerapan tax planning dan tax avoidance membuat seorang wajib pajak cenderung untuk melakukan tax evasion.

Penggelapan pajak (tax evasion) adalah tindakan strategi dan teknik penghindaran pajak yang dilakukan secara ilegal dan tidak aman bagi wajib pajak dengan cara penyeludupan pajak ini bertentangan dengan ketentuan perpajakan, karena metode dan teknik yang digunakan tidak berada dalam koridor undang-undang dan peraturan perpajakan. Suminarsasi (2011) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa sistem perpajakan di Indonesia yang belum optimal, disertai pemahaman wajib pajak yang masih rendah akan peraturan perpajakan yang berlaku merupakan salah satu faktor yang dapat


(3)

memicu wajib pajak melakukan tax evasion (penggelapan pajak). Rahman (2013) menyebutkan bahwa penggelapan pajak (tax evasion) dapat dilakukan oleh orang pribadi salah satu faktornya antara lain kurang memahami ketentuan perpajakan, meliputi Undang-Undang Perpajakan dan pemanfaatan akan adanya celah dalam Undang-Undang Perpajakan (loopholes), sehingga dapat disalah gunakan untuk melakukan penggelapan pajak, seperti tidak jujur dalam memberikan data keuangan maupun menyembunyikan data keuangan. Jika hal ini berlanjut terus-menerus, dikhawatirkan wajib pajak enggan membayar pajak bahkan cenderung menggelapkan pajak.

Dari penjelasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa dengan menunjukan sikap pemerintahan yang baik, jujur dan adil dalam menggunakan dan mendistribusikan dana yang bersumber dari pajak serta memberikan pemahaman yang menyeluruh seberapa pentingnya dana pajak untuk kemaslahatan masyarakat umum dan meningkatkan pengawasan dari berbagai kemudahan sistem perpajakan yang ada diharapkan untuk menjadikan masayarakat/WP bisa membayarkan pajaknya dengan benar sehinggga tujuan dapat tercapai dan penerimaan pajak dapat mencapai target yang diinginkan.

Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, peneliti tertarik untuk penelitian ini merupakan implikasi dari penelitian yang dilakukan oleh Suminarsasi (2011). Adapun perbedaan penelitian saat ini dengan penelitian sebelumnya yaitu:

a. Adanya penambahan variabel independen. Penelitian ini menggunakan variabel independen keadilan, sistem perpajakan, diskriminasi dan kemungkinan terdeteksi kecurangan. Sedangkan penelitian sebelumnya menggunakan variabel independen keadilan, sistem perpajakan, dan diskriminasi.

b. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Wajib Pajak Pribadi Kantor Pelayanan Pajak di Jakarta, sedangkan penelitian sebelumnya adalah Wajib Pajak pribadi yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta.


(4)

c. Selain itu, penelitian ini dilakukan pada tahun 2016 sedangkan penelitian sebelumnya pada tahun 2013.

Dari berbagai uraian di atas, peneliti termotivasi untuk melakukan penelitian ini karena maraknya tindak penggelapan pajak yang terungkap akhir-akhir ini yang banyak dilakukan oleh Wajib Pajak beserta fiskus. Selain itu, dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan bisa mengukur sejauh mana keberhasilan suatu Negara dalam mengoptimalkan pendistribusian dana pajak secara adil dan merata, serta untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel-variabel terkait terhadap persepsi dari wajib pajak terhadap tindakan penggelapan pajak. Untuk itu peneliti melakukan penelitian ini dengan judul

“Pengaruh, Sistem Perpajakan, Diskriminasi, dan Kemungkinan Terdeteksi Kecurangan terhadap Persepsi Wajib Pajak dalam Etika Penggelapan Pajak (Tax Evasion)”.

1.2 Rumusan Masalah

a. Apakah sistem perpajakan berpengaruh terhadap persepsi wajib pajak mengenai etika penggelapan pajak.

b. Apakah diskriminasi berpengaruh terhadap persepsi wajib pajak mengenai etika penggelapan pajak.

c. Apakah kemungkinan terdeteksinya kecurangan berpengaruh terhadap persepsi wajib pajak.

1.3 Batasan Masalah

Dengan beragamnya masalah yang dihadapi tidak mungkin penulis membahas secara keseluruhan masalah yang ada, maka dengan segala keterbatasan penulis membatasi ruang lingkup penlitian pada KPP Pratama Banyuwangi. Yang menjadi objek penelitian yaitu keadilan, sistem pajak, diskriminasi dan kemungkinan terjadinya kecurangan terhadap penggelapan pajak di KPP Pratama Banyuwangi.


(5)

a. Untuk menganalisis pengaruh sistem perpajakan terhadap persepsi wajib pajak mengenai etika penggelapan pajak.

b. Untuk menganalisis pengaruh diskriminasi terhadap persepsi wajib pajak mengenai etika penggelapan pajak.

c. Untuk menganalisis pengaruh kemungkinan terdeteksinya kecurangan terhadap persepsi wajib pajak mengenai etika penggelapan pajak.

1.5 Manfaat penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian, adapun manfaat penelitian yang diperoleh adalah sebagai berikut:

a. Kantor Pelayanan Pajak

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Kantor Pelayanan Pajak, sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam memahami pengaruh keadilan, sistem perpajakan, diskriminasi dan kemungkinan terdeteksinya kecurangan terhadap persepsi wajib pajak mengenai etika penggelapan pajak.

b. Bagi Akademisi Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para akademisi sebagai referensi untuk menambah pengetahuan para akademisi mengenai pengaruh keadilan, sistem perpajakan, diskriminasi dan kemungkinan terdeteksinya kecurangan terhadap persepsi wajib pajak mengenai etika penggelapan pajak.

c. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini semoga dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya, dalam menambah pengetahuan dan memberikan keyakinan mengenai pengaruh keadilan, sistem perpajakan, diskriminasi dan kemungkinan terdeteksinya kecurangan terhadap persepsi wajib pajak mengenai etika penggelapan pajak.

d. Pembaca

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya yang berkaitan dengan pengaruh keadilan, sistem perpajakan, diskriminasi dan kemungkinan terdeteksinya kecurangan terhadap persepsi wajib pajak mengenai etika penggelapan pajak.

BAB II


(6)

2.1 Penelitian Terdahulu

Hasil penelitian terdahulu bisa dijadikan dasar gambaran peneliti sebelumnya, walaupun ada perbedaan subyek, obyek dan variabel penelitian.

1. Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Rahman (2013). Berdasarkan pada data yang telah dikumpulkan dan pengujian yang telah dilakukan terhadap permasalahan dengan menggunakan model regresi berganda, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

a. Berdasarkan hasil uji regresi ditemukan bahwa pengujian hipotesis yang dilakukan membuktikan bahwa secara parsial variabel keadilan berpengaruh positif terhadap penggelapan pajak. Hal ini mendukung penelitian Suminarsasi dan Supriyadi (2011), Nickerson, et al (2009) yang menyatakan bahwa keadilan berpengaruh positif dan signifikan terhadap penggelapan pajak. Pada variabel sistem perpajakan berpengaruh negatif terhadap penggelapan pajak. Hal ini mendukung penelitian Ayu dan Hastuti (2009), Suminarsasi dan Supriyadi (2011), Mcgee (2008) yang menyatakan bahwa sistem perpajakan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penggelapan pajak. Pada variabel diskriminasi berpengaruh positif terhadap penggelapan pajak. Hal ini mendukung penelitian Nickerson, et al (2009), Suminarsasi dan Supriyadi (2011) dan Mcgee (2008) yang menyatakan bahwa diskriminasi berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap penggelapan pajak. Pada variabel kemungkinan terdeteksi kecurangan berpengaruh negatif terhadap penggelapan pajak. Hal ini mendukung penelitian Andreas (2002), Ayu dan Hastuti (2009) dan Ayu (2011) yang menyatakan bahwa diskriminasi berpengaruh secara negatif dan signifikan terhadap penggelapan pajak dan hasil penelitian secara simultan variabel keadilan, sistem perpajakan, diskriminasi dan kemungkinan terdeteksi kecurangan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap penggelapan pajak. Hasil penelitian ini mendukung


(7)

penelitian yang dilakukan oleh Suminarsasi dan Supriyadi (2011), Ayu dan Hastuti (2009), Mcgee (2008).

b. Dalam penelitian ditemukan bahwa variabel diskriminasi memiliki pengaruh paling dominan mempengaruhi diantara variabel lainya terhadap penggelapan pajak dapat dilihat berdasarkan nilai standard coeficient beta sebesar 0,587.

2. Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Marlina (2014). Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan terkait penelitian ini yaitu sebagai berikut: a. Keadilan berpengaruh dan signifikan terhadap persepsi wajib pajak

mengenai penggelapan pajak. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tingginya keadilan yang dilakukan menurut persepsi wajib pajak maka tingkat kepatuhan akan semakin tinggi dimana kecendrunagn melakukan penggelapan pajak akan rendah.

b. Sistem perpajakan tidak berpengaruh dan tidak signifikan terhadap persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak. Semakin rendahnya sistem perpajakan yang berlaku maka tingkat kepatuhan akan semakin menurun dimana kecndrungan untuk melakukan penggelapan pajak akan tinggi. Hal ini terjadi dikarenakan keterbatasan informasi dari pelayanan pajak oleh wajib pajak dan hasil jawaban responden yang berbeda-beda. Sehingga, variabel yang diteliti tidak mampu menjelaskan hasil penelitian ini.

c. Diskriminasi tidak berpengaruh dan tidak signifikan terhadap persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak.Dengan demikian semakin tinggi tingkat diskriminasi menurut persepsi wajib pajak dalam perpajakan maka perilaku penggelapan pajak cenderung dianggap perilaku yang etis dan sebaliknya.

d. Ketepatan Pengalokasian berpengaruh Negatif dan signifikan terhadap persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak. Hal ini menunjukkan bahwa ketika pemanfaatan pajak untuk kepentingan publik dianggap tepat oleh persepsi wajib pajak maka kecendrungan untuk melakukan penggelapan akan pemakin rendah.


(8)

e. Pengaruh keadilan, sistem perpajakan, diskriminasi, dan ketepatan pengalokasian terhadap persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak. Hal ini menunjukan bahwa secara bersama-sama seluruh variabel independen berpengaruh terhadap variabel dependen

3. Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Silaen (2015). Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan terkait penelitian ini yaitu sebagai berikut:

a. Hasil pengujian hipotesis pertama secara parsial membuktikan bahwa variabel sistem perpajakan berpengaruh terhadap etika penggelapan pajak (tax evasion). Sistem perpajakan yang berjalan dengan baik akan memberikan kemudahan kepada wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya dan meningkatkan etika bagi wajib pajak sehingga penggelapan pajak akan berkurang. Hal ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Suminarsasi (2011) dan Mukharoroh (2014). Hasil penelitian menemukan bahwa sistem perpajakan berpengaruh terhadap etika penggelapan pajak.

b. Hasil pengujian hipotesis kedua secara parsial membuktikan bahwa variabel diskriminasi berpengaruh terhadap etika penggelapan pajak (tax evasion). Semakin tinggi tingkat diskriminasi maka wajib pajak semakin tidak beretika sehingga penggelapan pajak akan meningkat. Hal ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Sumarnisasi (2011) dan Rahman (2013). Hasil penelitian menemukan bahwa diskriminasi berpengaruh terhadap etika penggelapan pajak.

c. Hasil pengujian hipotesis ketiga secara parsial membuktikan bahwa variabel teknologi dan informasi perpajakan berpengaruh terhadap etika penggelapan pajak (tax evasion). Semakin baik teknologi dan informasi perpajakan maka akan

d. Meningkatkan etika bagi wajib pajak sehingga penggelapan pajak akan menurun. Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Permatasari (2013) dan Ardyaksa (2014). Hasil penelitian menemukan bahwa teknologi dan informasi perpajakan berpengaruh terhadap etika penggelapan pajak.


(9)

4. Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Permatasari (2013). Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan terkait penelitian ini yaitu sebagai berikut:

Hasil analisis koefisien mengenai model regresi menunjukkan bahwa jika tarif pajak, teknologi dan informasi perpajakan, keadilan sistem perpajakan, dan ketepatan pengalokasian pengeluaran pemerintah dapat dilaksanakan dengan baik maka tax evasion dikalangan responden dapat menurun.

a. Tarif pajak berpengaruh positif signifikan terhadap tax evasion. Hal ini mengindikasikan bahwa tarif pajak merupakan faktor yang mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk melakukan tax evasion. Apabila tarif pajak yang dikenakan terhadap penghasilan WPOP mengalami peningkatan, maka kebanyakan dari WPOP merasa enggan untuk membayarkan kewajibannya.

b. Hasil pengujian variabel teknologi dan informasi perpajakan memnunjukkan adanya indikasi nilai yang negatif. Hal ini berarti bahwa kesadaran wajib pajak terhadap penggunaan teknologi dan informasi perpajakan di Kota Pekanbaru masih rendah. Hal ini ditandai dengan banyaknya wajib pajak yang masih menggunakan sistem pembayaran manual, jarang membuka website dirjen pajak, dan masih belum memaksimalkan kemudahan yang ditawarkan oleh dirjen pajak dalam melakukan kewajiban pembayaran pajak sehingga faktor ini merupakan faktor yang mempengaruh minimalisasi tax evasion secara signifikan.

c. Keadilan sistem perpajakan berpengaruh negatif signifikan terhadap tax evasion. Hal ini mengindikasikan bahwa keadilan sistem perpajakan merupakan salah satu faktor yang paling mempengaruhi seorang wajib pajak untuk membayar kewajiban perpajakannya. Jika seorang wajib pajak yang memiliki pendapatan tinggi, tetapi membayar kewajiban pajaknya dalam jumlah yang kecil, maka wajib pajak yang lain enggan untuk membayar pajak karena besarnya pajak yang dibebankan sama besarnya.


(10)

d. Ketepatan pengalokasian pengeluaran pemerintah berpengaruh negatif dan bersifat signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa penelitian ini menunjukkan rendahnya ketepatan pengalokasian pemerintah yang berasal dari pajak. Yang perlu diwaspadai jika hal ini tidak dilanjuti secara tegas maka bisa diramalkan bahwa untuk jangka waktu yang panjang akan semakin memicu terjadinya krisis kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.

Secara simultan antara tarif pajak, teknologi dan informasi perpajakan, keadilan sistem perpajakan, dan ketepatan pengalokasian pengeluaran pemerintah berpengaruh secara signifikan terhadap tax evasion yang merupakan variabel terikat. Berdasarkan hasil uji koefisien deteminasi (Adjusted R Square) dapat dibuktikan bahwa perubahan tingkat tax evasion di KPP Pratama Pekanbaru Senapelan dipengaruhi oleh tarif pajak, teknologi dan informasi perpajakan, keadilan sistem perpajakan, dan ketepatan pengalokasian pengeluaran pemerintah. Sedangkan faktor lainnya dipengaruhi atau dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini.

5. Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Paramita, dkk (2016). Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan terkait penelitian ini yaitu sistem perpajakan dan keadilan berpengaruh negatif pada persepsi wajib pajak tentang perilaku penggelapan pajak. Artinya apabila sistem perpajakan dan keadilan semadkin baik, maka anggapan wajib pajak tentang perilaku penggelapan pajak akan dianggap tidak baik, sebaliknya apabila sistem perpajakan dan keadilan semakin buruk, maka anggapan wajib pajak tentang perilaku penggelapan pajak akan cenderung dianggap baik. Sementara itu, teknologi perpajakan tidak berpengaruh negatif pada persepsi wajib pajak tentang perilaku penggelapan pajak. Artinya apabila teknologi perpajakannya semakin baik, maka belum tentu wajib pajak akan mempersepsikan bahwa perilaku penggelapan pajak merupakan perilaku yang tidak baik.


(11)

6. Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Yolanda, dkk (2013). Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan terkait penelitian ini yaitu sebagai berikut:

a. Pengujian hipotesis pertama ditemukan bahwa sistem perpajakan tidak berpengaruh signifikan terhadap persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak.

b. Pengujian hipotesis kedua ditemukan bahwa diskriminasi berpengaruh signifikan terhadap persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak. c. Pengujian hipotesis ketiga ditemukan bahwa kemungkinan

terdeteksinya kecurangan tidak berpengaruh signifikan terhadap persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak.

d. Pengujian hipotesis keempat ditemukan bahwa norma tidak berpengaruh terhadap persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak.

7. Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Ulfa (2015). Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan terkait penelitian ini yaitu sebagai berikut: a. Kemungkinan terdeteksinya kecurangan, Teknologi dan informasi

perpajakan dan Kepercayaan pada otoritas pemerintah secara bersama-sama(simultan) berpengaruh dan signifikan terhadap penggelapan pajak.

b. Hasil pengujian hipotesis pertama kemungkinan terdeteksinya kecurangan terhadap penggelapan pajak menunjukkan bahwa nilai signifikansi < 0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa kemungkinan terdeteksinya kecurangan secara parsial berpengaruh dan signifikan terhadap penggelapan pajak. Dengan hal ini semakin tinggi tingkat kemungkinan terdeteksi nya kecurangan maka perilaku penggelapan pajak akan semakin rendah.

c. Hasil pengujian hipotesis kedua teknologi dan informasi perpajakan terhadap penggelapan pajak menunjukkan bahwa nilai signifikansi < 0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa teknologi dan informasi perpajakan secara parsial berpengaruh dan signifikan terhadap penggelapan pajak. Berarti dengan semakin tinggi teknologi dan informasi perpajakan semakin berkurang perilaku penggelapan pajak


(12)

d. Hasil pengujian hipotesis ketiga Kepercayaan pada otoritas pemerintah terhadap penggelapan pajak menunjukkan bahwa nilai signifikansi < 0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa Kepercayaan pada otoritas pemerintah secara parsial berpengaruh dan signifikan terhadap penggelapan pajak. Dengan hal ini, semakin tinggi tingkat kepercayaan wajib pajak terhadap pemerintahan maka tinggkat peng gelapan pajak akan berkurang dan penerimaan pajak akan meningkat.

8. Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Friskianti (2014). Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan terkait penelitian ini bahwa self assessment system, keadilan, teknologi perpajakan, dan ketidakpercayaan kepada pihak fiskus berpengaruh simultan terhadap tindakan tax evasion. Self assessment system, keadilan, teknologi perpajakan, secara parsial tidak berpengaruh terhadap tindakan tax evasion. Sedangkan ketidakpercayaan kepada pihak fiskus secara parsial berpengaruh terhadap tindakan tax evasion. Saran berdasarkan penelitian ini adalah perlunya pengawasan dan pengevaluasian terhadap kinerja pegawai pajak. KPP Pratama Batang dapat mengadakan kegiatan untuk meningkatkan pemahaman pelaksanaan self assessment system, keadilan perpajakan, dan penggunaan teknologi perpajakan dengan melakukan sosialisasi ataupun penyuluhan serta melakukan pengawasan terhadap wajib pajak. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat menemukan faktor-faktor lain dengan menambah variabel- variabel lain yang berpengaruh terhadap tindakan tax evasion.

9. Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Ardyaksa (2014). Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan terkait penelitian ini bahwa ketepatan pengalokasian pengeluaran, teknologi dan informasi perpajakan berpengaruh negatif terhadap penggelapan pajak. Variabel keadilan sistem perpajakan, tarif pajak, dan kemungkinan terdeteksinya kecurangan tidak berpengaruh terhadap penggelapan pajak. Secara simultan kelima variabel ini berpengaruh terhadap penggelapan pajak. KPP Pratama Pati diharapkan dapat lebih meningkatkan kinerja, mutu, kualitas, disiplin, dan integritas yang tinggi agar wajib pajak lebih taat membayar pajak dan tidak melakukan kecurangan. KPP Pratama Pati juga diharapkan dapat


(13)

mengadakan penyuluhan dan sosialisasi tentang teknologi dan informasi perpajakan karena masih rendahnya penggunaannya oleh wajib pajak di Kabupaten Pati. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat juga menambah jumlah sampel penelitian serta memperluas wilayah sampel penelitian, bukan hanya di Kabupaten Pati saja tapi di Kabupaten lainnya, sehingga diperoleh hasil penelitian dengan tingkat generalisasi yang tinggi.

10.Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Kurniawati (2014). Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan terkait penelitian ini yaitu sebagai berikut:

a. Pengujian hipotesis yang dilakukan membuktikan secara parsial variabel keadilan pajak berpengaruh negatif dan signifikan terhadap persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Permatasari (2013). Teori Planned Behavior menjelaskan bahwa kecenderungan perilaku seseorang dipengaruhi oleh bagaimana keadaan lingkungan sekitarnya. Apabila Wajib Pajak memperoleh perlakuan yang tidak adil, maka mereka akan mendapat tekanan sosial dan memotivasi individu untuk cenderung melakukan tindakan menggelapkan pajak.

b. Pengujian hipotesis yang dilakukan membuktikan secara parsial variabel biaya kepatuhan berpengaruh posittif dan signifikan terhadap persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak. Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan International Tax Compact (2010) yang menyatakan bahwa biaya kepatuhan termasuk salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang untuk melakukan tindakan penggelapan pajak (tax evasion). Biaya-biaya tersebut seharusnya tidak memberatkan wajib pajak dan tidak menjadi faktor penghambat wajib pajak dalam melakukan pemenuhan kewajiban perpajakannya. Tingginya biaya kepatuhan pajak dapat menyebabkan wajib pajak cenderung melakukan penggelapan pajak.


(14)

c. Pengujian hipotesis yang dilakukan membuktikan secara parsial variabel tarif pajak berpengaruh positif dan signifikan terhadap persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak. Perceived behavioral control dalam teori planned behavior yang menjelaskan bahwa keberadaan hal-hal tertentu dapat mendukung atau menghambat perilaku seseorang. Hasil penelitian Permatasari (2013) adalah jika tarif pajak terlalu tinggi maka penggelapan pajak juga akan tinggi. Penerapan tarif pajak yang terlalu tinggi akan berbanding lurus dengan tingkat penggelapan pajak. Semakin tinggi tarif pajak, maka akan berdampak pada peningkatan tax evasion di masyarakat

d. Hasil pengujian simultan menyatakan bahwa keadilan pajak, biaya kepatuhan, dan tarif pajak secara bersama-sama berpengaruh terhadap persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak.

11. Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Kurniawati (2014). Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan terkait penelitian ini yaitu sebagai berikut:

I. Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan, Keadilan Pajak, Ketepatan Pengalokasian Pajak, Teknologi Sistem Perpajakan, dan Tax Evasion Menurut Persepsi Wajib Pajak Badan yang Terdaftar di KPP Pratama Wilayah Kota Bandung

Berikut ini adalah bagaimana kemungkinan terdeteksinya Kecurangan, keadilan pajak, ketepatan pengalokasian pajak, teknologi sistem perpajakan, dan tax evasion menurut persepsi wajib pajak badan yang terdaftar di KPP Pratama wilayah Kota Bandung:

a. Kemungkinan terdeteksinya kecurangan menurut persepsi WP Badan yang terdaftar di KPP Pratama Wilayah Kota Bandung tinggi dengan persentase sebesar 81,29%.

b. Keadilan Pajak menurut persepsi WP Badan yang terdaftar di KPP Pratama Wilayah Kota Bandung dirasa masih belum adil sebagian yaitu dengan persentase sebesar 81,45%.


(15)

c. Ketepatan pengalokasian pajak oleh pemerintah menurut persepsi WP Badan yang terdaftar di KPP Pratama Wilayah Kota Bandung dirasa masih belum tepat yaitu dengan persentase sebesar 81,58%. d. Teknologi sistem perpajakan menurut persepsi WP Badan yang

terdaftar di KPP Pratama Wilayah Kota Bandung masih belum dimanfaatkan dengan baik yaitu dengan persentase sebesar 76,7%. e. Tax evasion menurut persepsi WP Badan yang terdaftar di KPP

Pratama Wilayah Kota Bandung masih dalam tingkat yang tinggi yaitu dengan persentase sebesar 82,45%.

II. Pengaruh Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan (X1), Keadilan Pajak (X2), Ketepatan Pengalokasian Pajak (X3), dan Teknologi Sistem Perpajakan (X4) terhadap Tax Evasion (Y) secara Parsial Berikut ini adalah pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen secara parsial:

a. Variabel kemungkinan terdeteksinya kecurangan (X1) secara parsial berpengaruh signifikan terhadap tax evasion dan menunjukkan arah hubungan yang negatif.

b. Variabel keadilan pajak (X2) secara parsial berpengaruh signifikan terhadap tax evasion dan menunjukkan arah hubungan yang positif.

c. Variabel ketepatan pengalokasian pajak (X3) secara parsial berpengaruh signifikan terhadap tax evasion dan menunjukkan arah hubungan yang positif.

d. Variabel teknologi sistem perpajakan (X4) secara parsial tidak berpengaruh signifikan terhadap tax evasion karena teknologi sistem perpajakan belum digunakan oleh WP Badan di Wilayah Kota Bandung.

III. Pengaruh Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan (X1), Keadilan Pajak (X2), Ketepatan Pengalokasian Pajak (X3), dan Teknologi Sistem Perpajakan (X4) terhadap Tax Evasion (Y) secara Simultan.


(16)

Secara simultan, variabel kemungkinan terdeteksinya kecurangan, keadilan pajak, ketepatan pengalokasian pajak, dan teknologi sistem perpajakan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tax evasion. Kemampuan variabel-variabel independen ini dalam menjelaskan variasi variabel dependen mencapai 20,7%. Sedangkan variabel lain yang mempengaruhinya sebesar 79,3% tidak dimasukkan dalam model penelitian ini.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Tinjauan Umum Tentang Pajak A. Pengertian Pajak

Dalam ilmu perpajakan yang mendasari adalah peraturan yang tercantum dalam undang-undang yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pajak. Terdapat beberapa pendapat mengenai definisi pajak, diantaranya:

Definisi pajak menurut Undang-undang No.28 tahun 2007, pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Menurut Soemitro, pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang yang berlaku dan dapat dipaksakan dan tanpa adanya timbal jasa (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum Negara (Suminarsasi, 2011:1).

Menurut Feldmann, pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum (Resmi, 2009:2).


(17)

Menurut Djayaningrat, pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagaian dari kekayaan ke kas Negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari Negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum (Resmi, 2009:1)

Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur - unsur:

a. Pajak dipungut berdasarkan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya, dan sifatnya dapat dipaksakan.

b. Pajak dipungut oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

c. Pajak merupakan peralihan kekayaan dari orang atau badan ke negara (pemerintah)

d. Pajak dapat dipungut baik langsung maupun tidak langsung. e. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah

(fungsi budgetair), yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, digunakan untuk membiayai investasi publik.

f. Pajak untuk melaksankan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi (fungsi regulerend). Contoh: dikenakan pajak yang tinggi terhadap minuman keras sehingga konsumsi minuman keras dapat ditekan.

Berdasarkan definisi diatas, pengertian pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan, dimana pemerintah dapat memaksa Wajib Pajak untuk memenuhi kewajibannya dengan menggunakan surat paksa dan sita. Setiap Wajib Pajak yang membayar iuran atau pajak kepada negara tidak akan mendapat balas jasa yang langsung dapat ditunjukkan. Tetapi imbalan yang secara tidak langsung diperoleh Wajib Pajak berupa pelayanan pemerintah yang ditujukan kepada


(18)

seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan sarana irigasi, jalan, sekolah, dan sebagainya.

B. Fungsi Pajak

Menurut Resmi (2009:3) fungsi pajak dalam masyarakat suatu negara terbagi dalam 2 (dua) fungsi, yaitu:

a. Fungsi Budgetair (sumber dana bagi pemerintah) fungsi ini bertujuan untuk memasukan penerimaan uang untuk kas negara sebanyak-banyaknya antara lain mengisi Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN) sesuai dengan target penerimaan pajak yang telah ditetapkan, sehingga posisi anggaran pendapatan dan pengeluaran yang berimbang tercapai.

b. Fungsi Regulerend (mengatur) fungsi pajak yang secara tidak langsung dapat mengatur dan menggerakan perkembangan sarana perekonomian nasional yang produktif. Adanya pertumbuhan perekonomian yang demikian maka akan dapat menumbuhkan objek pajak dan subjek pajak yang baru yang lebih banyak lagi, sehingga basis pajak lebih meningkat lagi. Beberapa contoh penerapan pajak sebagai fungsi regulerend adalah:

1. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dikenakan pada saat terjadi transaksi jual beli barang mewah. Semakin mewah suatu barang maka tarif pajaknya semakin tinggi sehingga barang tersebut semakin mahal harganya. Pengenaan pajak ini dimaksudkan agar rakyat tidak berlomba-lomba untuk mengonsumsi barang mewah (mengurangi gaya hidup mewah). 2. Tarif pajak progresif dikenakan atas penghasilan: dimaksudkan

agar pihak yang memperoleh penghasilan tinggi memberikan kontribusi (membayar pajak) yang tinggi pula, sehingga terjadi pemerataan pendapatan.


(19)

3. Tarif pajak ekspor sebesar 0%, dimaksudkan agar para pengusaha terdorong mengekspor hasil produksinya dipasar dunia sehingga dapat memperbesar devisa Negara.

4. Pajak penghasilan dikenakan atas penyerahan hasil barang industri tertentu, seperti industri semen, rokok, baja dan lain-lain: dimaksudkan agar terdapat penekanan terhadap produksi tersebut karena dapat mengganggu lingkungan atau polusi (membahayakan kesehatan).

5. Pemebebasan pajak penghasilan atas sisa hasil usaha koperasi: dimaksudkan untuk mendorong perkembangan koperasi di Indonesia.

6. Pemberlakuan tax holiday, dimaksudkan untuk menarik investor asing agar menanamkan modalnya di Indonesia.

Berdasarkan fungsi pajak diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa fungsi budgetair merupakan suatu alat untuk mengisi kas negara atau daerah sebanyak-banyaknya dalam rangka membiayai pengeluaran rutin dan pembangunan pemerintah pusat maupun daerah, sedangkan fungsi regulerend yaitu bersifat mengatur dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan budaya.

C. Jenis Pajak

Menurut Mardiasmo (2009:5) terdapat berbagai jenis pajak yang dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu penggolongan menurut golongannya, menurut sifatnya, dan menurut lembaga pemungutnya.

1. Menurut golongannya, jenis pajak terdiri:

a. Pajak langsung, adalah pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan atau dibebankan kepada orang lain atau pihak lain.

b. Pajak tidak langsung, adalah pajak yang akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga.


(20)

a. Pajak subjektif, adalah pajak yang pengenaannya memperlihatkan pada keadaan pribadi Wajib Pajak atau pengenaan pajak yang memperhatikan pada subjeknya.

b. Pajak objektif, adalah pajak yang pengenaannya memperhatikan pada objeknya baik berupa benda, keadaan, perbuatan peristiwa yang mengakibatkan timbulnya kewajiban membayar pajak, tanpa memperhatikan keadaan pribadi subjek pajak (Wajib Pajak) maupun tempat tinggal.

3. Menurut lembaga pemungutannya, jenis pajak terdiri dari:

a. Pajak Negara atau Pajak Pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara pada umumnya.

b. Pajak Daerah, adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Daerah Tingkat I maupun Daerah Tingkat II dan digunakan untuk membiayai rumah tangga masing-masing.

Berdasarkan definisi di atas terlihat jelas bahwa jenis-jenis dari pajak daerah pada hakekatnya sama dengan pajak pusat, yaitu dalam pemungutannya pajak pusat maupun pajak daerah sama harus berdasarkan peraturan perundang-undangan begitu juga dengan hasil penerimaannya dipergunakan untuk pembiayaan pembangunan, baik pembangunan pusat maupun pembangunan daerah, dan yang membedakannya hanyalah pelaksana pemungutnya.

D. Tata Cara Pemungutan Pajak

Menurut Waluyo (2009:16) tata cara pemungutan pajak terdiri atas stelsel pajak, asas pemungutan pajak, dan sistem pemungutan pajak. a. Stelsel Pajak

1. Stelsel nyata (rill), stelsel ini menyatakan bahwa pengenaan banyak didasarkan objek yang sesungguhnya terjadi (untuk pajak penghasilan maka objeknya adalah pajak penghasilan). Oleh karena itu, pemungutan pajaknya baru dapat dilakukan


(21)

pada akhir tahun pajak, yaitu setelah semua penghasilan yang sesungguhnya dalam suatu tahun pajak diketahui.

2. Stelsel anggapan, stelsel ini menyatakan bahwa pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang.

3. Stelsel campuran, stelsel ini menyatakan bahwa pengenaan pajak didasarkan pada kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan.

Dianutnya suatu stelsel pajak tertentu dalam suatu negara membawa adanya sistem pemungutan tertentu juga di dalamnya, seperti yang telah di uraikan di atas stelsel dibagi menjadi tiga, dan ketiganya juga memiliki kelebihan maupun kelemahan masing-masing.

b. Asas Pemungutan Pajak

Menurut Mardiasmo (2009:7) dalam era globalisasi sekarang ini, batas negara menjadi tidak jelas bagi Wajib Pajak dalam mencari dan memperoleh penghasilan, sehingga penentuan cara pemungutan pajak ini penting untuk menentukan negara mana yang berhak memungut pajak. Dalam pemungutan pajak penghasilan ada tiga macam cara yang biasa dilakukan sebagai berikut:

1. Asas domisili (asas tempat tinggal) Dalam asas ini, pemungutan pajak berdasarkan domisili atau tempat tinggal wajib pajak dalam suatu negara. Negara di mana Wajib Pajak bertempat tinggal berhak memungut pajak terhadap Wajib Pajak tanpa melihat dari mana pendapatan atau penghasilan tersebut diperoleh, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri dan tanpa melihat kebangsaan atau kewarganegaraan Wajib Pajak tersebut.

2. Asas sumber Dalam asas ini pemungutan pajak didasarkan pada sumber pendapatan atau penghasilan dalam suatu negara.


(22)

Menurut asas ini, negara yang menjadi sumber pendapatan atau penghasilan tersebut berhak memungut pajak tanpa memerhatikan domisili dan kewarganegaraan Wajib Pajak. 3. Asas kebangsaan Dalam asas ini, pemungutan pajak

didasarkan pada kebangsaan atau kewarganegaraan dari Wajib Pajak, tanpa melihat dari mana sumber pendapatan tersebut maupun di negara mana tempat tinggal (domisili) dari Wajib Pajak yang bersangkutan.

Di Indonesia, secara tegas dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa segala pajak untuk keuangan negara ditetapkan berdasarkan undang-undang. Untuk dapat menyusun suatu undang-undang perpajakan, diperlukan asas-asas atau dasar-dasar yang akan dijadikan landasan oleh negara. Seperti yang telah di uraikan di atas merupakan asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai asas dalam menentukan wewenangnya untuk mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan.

c. Sistem Pemungutan Pajak Menurut Mardiasmo (2009:9) sistem pemungutan pajak dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu Official Assessment System, Self Assessment System, With Holding System.

1. Official Assessment System

Suatu sistem pemungutan yang memberikan wewenang kepada pemerintah (Fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Fiskus, Wajib Pajak bersifat pasif. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh Fiskus.

2. Self Assessment System

Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak


(23)

yang terutang. Ciri-cirinya adalah wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri. Wajib Pajak aktif mulai dari, menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang, Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.

3. With Holding System

Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan Fiskus atau bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain Fiskus dan Wajib Pajak.

Di Indonesia, menerapkan ketiga sistem tersebut: (1) Official assessment system diterapkan dalam hal pelunasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dimana KPP akan mengeluarkan surat ketetapan pajak mengenai besarnya PBB yang terhutang setiap tahun. Jadi Wajib Pajak tidak perlu menghitung sendiri, tapi cukup membayar PBB berdasarkan Surat Pembayaran Pajak Terutang (SPPT) yang dikeluarkan oleh KPP dimana tempat objek pajak tersebut terdaftar. (2) Self assessment system contohnya diterapkan dalam penyampaian SPT Tahunan PPh (baik untuk Wajib Pajak Badan maupun Wajib Pajak Orang Pribadi), dan SPT Masa PPN. PBB juga menganut system self assessment dimana Wajib Pajak diberikan kepercayaan dengan memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk mendaftarkan dan melaporkan sendiri objek pajak yang dikuasai dimiliki atau dimanfaatkan (self declaration) dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP). (3) With Holding System diterapkan dalam mekanisme pemotongan atau pemungutan sesuai PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Final Pasal 4 Ayat (2), PPh Pasal 15, dan PPN. Sebagai bukti atas pelunasan pajak ini biasanya


(24)

berupa bukti potong atau bukti pungut. Dalam kasus tertentu ada juga yang berupa Surat Setoran Pajak (SSP). Bukti-bukti pemotongan ini nanti dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh/SPT Masa PPN dari Wajib Pajak yang bersangkutan.

E. Tarif Pajak

Menururt Mardiasmo (2009:9) pajak dipungut berdasarkan tarif. Ada empat macam tarif pajak, yaitu tarif proposional, tarif tetap, tarif progresif, dan tarif degresif.

a. Tarif Proposional

Tarif berupa persentase yang tetap terhadap berapapun jumlah yang dikenakan pajak, sehingga besarnya pajak yang terutang proposional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak.

b. Tarif Tetap Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak, sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.

c. Tarif Progresif

Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.

d. Tarif Degresif Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah dikenai pajak semakin besar.

Tarif pajak merupakan ukuran atau standar pemungutan pajak, dalam hubungannya dengan pajak penghasilan sebagaimana diatur dalam UU PPh maka tarif yang diterapkan adalah tarif progresif sebagaimana diatur dalam pasal 17 ayat (1) UU PPh. Sedangkan untuk pajak pertambahan nilai berlaku tarif pajak proporsional yaitu 10%. 6.

F. Pengertian Wajib Pajak (WP)

Berdasarkan pasal 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 pengertian wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan.


(25)

Badan adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. Kewajiban perpajakan Wajib Pajak badan maupun perseorangan sesuai dengan undang-undang KUP antara lain:

1. Wajib mendaftarkan diri kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdekat untuk mendapatkan NPWP.

2. Wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar, lengkap dan jelas.

3. Wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang melalui Kantor Pos atau Bank persepsi yang ditunjuk.

Jadi dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Wajib Pajak ini terdiri dari dua jenis yaitu Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak badan yang memenuhi definisi sebagai subjek pajak dan menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek pajak yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.

2.2.2 Etika

A. Pengertian Etika

Secara etimologi kata etika berasal dari bahasa Yunani yaitu "Ethos" yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan erat dengan moral yang merupakan istilah dari bahasa latin, yaitu "mos" yang dalam bentuk melakukan perbuatan baik dan menghindari hal-hal tindakan yang


(26)

buruk. Menurut seorang muslim etika adalah cara manusia berprilaku yang didasarkan pada aturan-aturan agama dan masyarakat (Izza, 2008:4).

B. Jenis - Jenis Etika

Untuk menganalisis arti etika, menurut Bertens etika dibedakan menjadi dua, yaitu (Syopiansyah, 2009:4):

1. Etika Sebagai Praktis

a. Nilai-nilai dan norma-norma moral sejauh yang dipraktekkan atau justru tidak diparktekkan walaupun seharusnya dipraktekkan.

b. Apa yang dilakukan sejauh sesuai atau tidak sejauh dengan nilai dan norma moral.

2. Etika Sebagai Refleksi

a. Pemikiran moral berpikir tentang apa yang dilakukan dan khususnya tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan.

b. Berbicara tentang etika sebagai praktis atau mengambil praktis etik sebagai objeknya.

c. Menyoroti dan menilai baik buruknya perilaku seseorang. Menurut Sidik (2007), etika dapat dikelompokan menjadi dua definisi yang dijelaskan sebagai berikut:

a. Etika merupakan karakter individu, dalam hal ini termasuk bahwa orang yang beretika adalah orang yang baik, dan

b. Etika merupakan hukum sosial. Sifat dasar etika adalah sifat kritis, etika bertugas:

i. Untuk mempersoalkan norma yang dianggap berlaku; ii. Etika mengajukan pertanyaan tentang legitimasinya;

iii. Etika mempersoalkan pula hak setiap lembaga seperti orangtua, sekolah, negara dan agama untuk memberikan perintah atau larangan yang harus ditaati;


(27)

iv. Etika dapat mengantarkan manusia pada sifat kritis dan rasional;

v. Etika menjadi alat pemikiran yang rasional dan bertanggung jawab bagi seorang ahli dan bagi siapa saja yang tidak mau diombang-ambingkan oleh norma-norma yang ada.

Objek etika menurut Zubair (1987) adalah pernyataan moral, apabila diperiksa segala macam moral, pada dasarnya hanya dua macam, yaitu pernyataan tentang tindakan manusia dan pernyataan tentang manusia sendiri atau tentang unsur-unsur kepribadian manusia seperti motif-motif, maksud, dan watak (Syopiansyah, 2009:6). Etika berhubungan dengan empat hal yaitu:

1. Dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia.

2. Dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran, maka etika tidak bersifat mutlak, absolut dan tidak pula universal. Ia terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan, kelebihan dan sebagainya. 3. Dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai,

penentu dan penetap terhadap sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan sebagainya. Jamaknya “Mores” yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang.

Etika mempunyai beragam makna yang berbeda, salah satu maknanya adalah: “prinsip tingkah laku yang mengatur individu atau kelompok”. Seperti penggunaan istilah etika personal, yaitu mengacu pada aturan-aturan dalam lingkup dimana orang per orang menjalani kehidupan pribadinya. Selain itu, kita menggunakan istilah akuntansi ketika mengacu pada seperangkat aturan yang mengatur tindakan professional akuntan. Untuk makna yang kedua, etika adalah “kajian moralitas.” Hal ini berarti etika berkaitan


(28)

dengan moralitas. Meskipun berkaitan, etika tidak sama persis dengan moralitas. Etika adalah semacam penelaahan (baik aktivitas penelaahan maupun hasil-hasil penelaahan itu sendiri), sedangkan moralitas merupakan pedoman yang dimiliki individu atau kelompok mengenai apa itu benar dan salah, atau baik dan jahat (Suminarsasi, 2011:4).

Setelah mengaitkan dengan moralitas, Velasquez mengembangkan pengertian etika sebagai ilmu yang mendalami standar moral perorangan dan standar moral masyarakat. Merujuk pada uraian di atas dapat diambil.

pengertian bahwa etika pajak adalah peraturan dalam lingkup dimana orang per orang atau kelompok orang yang menjalani kehidupan dalam lingkup perpajakan, bagaimana mereka melaksanakan kewajiban perpajakannya, apakah sudah benar, salah, baik ataukah jahat (Suminarsasi, 2011:4.

2.2.3 Penggelapan Pajak (Tax Evasion) A. Pengertian Penggelapan Pajak

Penggelapan pajak mengacu pada tindakan yang tidak benar yang dilakukan oleh wajib pajak mengenai kewajibannya dalam perpajakan.

Mardiasmo (2009) mendefinisikan penggelapan pajak (tax evasion) :

“Adalah usaha yang dilakukan oleh wajib pajak untuk meringankan beban pajak dengan cara melanggar undang-undang. Dikarenakan melanggar undang-undang, penggelapan pajak ini dilakukan dengan menggunakan cara yang tidak legal. Para wajib pajak sama sekali mengabaikan ketentuan formal perpajakan yang menjadi kewajibannya, memalsukan dokumen, atau mengisi data dengan tidak lengkap dan tidak benar”.

Menurut Siahaan (2010:110) mengatakan bahwa penggelapan pajak :


(29)

“adalah usaha yang digunakan oleh wajib pajak untuk mengelak dari kewajiban pajak yang sesungguhnya dan merupakan perbuatan yang melanggar undang-undang pajak, sehingga membawa berbagai macam akibat, meliputi berbagai bidang kehidupan masyarakat, antara lain bidang keuangan, ekonomi, dan psikologi”.

Masri (2012:5), menjelaskan pembahasan mengenai penggelapan pajak (tax evasion) adalah sebagai berikut :

“Usaha-usaha memperkecil jumlah pajak dengan melanggar ketentuan-ketentuan pajak yang berlaku. Pelaku tax evasion dapat dikenakan sanksi administratif maupun sanksi pidana.”

Menurut Setiawan (2008:181) tax evasion yaitu :

“cara menghindari pajak dengan cara-cara yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Bila diketemukan dalam pemeriksaan pajak, maka Wajib Pajak akan dikenakan sanksi administrasi dan pidana sesuai dengan ketentuan yang berlaku”.

Menurut Wallschutzki beberapa alasan yang menjadi pertimbangan Wajib Pajak untuk melakukan penghindaran pajak (Nurmantu, 2004:26), adalah sebagai berikut:

a. Ada peluang untuk melakukan penghindaran pajak karena ketentuan perpajakan yang ada belum mengatur secara jelas mengenai ketentuan-ketentuan tertentu

b. Kemungkinan perbuatannya diketahui relatif kecil c. Manfaat yang diperoleh relatif besar daripada resikonya d. Sanksi perpajakan yang tidak terlalu berat

e. Ketentuan perpajakan tidak berlaku sama terhadap seluruh Wajib Pajak

f. Pelaksanaan penegakan hukum yang bervariasi

B. Dampak Penggelapan Pajak (Tax Evasion)

Menurut Siahaan (2010:110) penggelapan pajak membawa akibat pada pada perekonomian secara makro. Akibat dari


(30)

pengelakan pajak sangat beragam dan meliputi berbagai bidang kehidupan masyarakat, antara lain sebagai berikut:

1. Akibat Pengelakan / Penggelapan Pajak Dalam Bidang Keuangan

Penggelapan/pengelakan pajak (sebagaimana juga halnya dengan penghindaran diri dari pajak) berarti pos kerugian yang penting bagi Negara, yaitu dapat menyebabkan ketidakseimbangan anggaran dan konsekuensi-konsekuensi lain yang berhubungan dengan penaikan tarif pajak, inflasi, dan sebagainya. Untuk menjamin pemungutan pajak secara tepat, sering dikemukakan falsafah sebagai berikut, “Wajib Pajak yang mengelakan pajak mungkin mengira bahwa Negara mengambil sejumlah yang telah ada dikantungnya. Pada hakikatnya dialah yang mengambil uang dari warga-warga yang oleh Negara harus diminta pengorbanan lain (untuk mengimbangi kekurangan yang ditimbulkan oleh Wajib Pajak yang tidak menunaikan kewajibannya itu)”.

2. Akibat Pengelakan / Penggelapan Pajak Dibidang Ekonomi

Menurut Siahaan (2010:110), adapun akibat dari penggelapan pajak dalam bidang ekonomi adalah sebagai berikut

a. Pengelakan/penggelapan pajak sangat mempengaruhi persaingan sehat diantara para pengusaha, sebab suatu perusahaan yang menggelapkan pajaknya dengan menekan menekan biaya secara tidak legal, mereka mempunyai posisi yang lebih menguntungkan daripada saingan-saingan yang tidak berbuat demikian.

b. Pengelakan/penggelapan pajak tersebut merupakan penyebab stagnasi perputaran roda ekonomi yang apabila perusahaan bersangkutan berusaha untuk mencapai tambahan dari keuntungannya dengan penggelapan pajak,


(31)

dan tidak mengusahakan dengan jalan perluasan aktivitas atau peningkatan usaha. Untuk menutup-nutupinya agar jangan sampai terlihat oleh fiskus.

c. Pengelakan/penggelapan pajak termaksud juga menyebabkan langkanya modal karena para wajib pajak yang menyembunyikan keuntungannya terpaksa berusaha keras untuk menutupinya agar tidak sampai terdeteksi oleh fiskus.

Oleh karena itu pengelakan/penggelapan pajak yang dilakukan oleh para WP pada hakikatnya menimbulkan dampak yang secara tidak langsung menghambat pertumbuhan dan perluasan usahanya, dengan mencoba sedemikian rupa untuk meminimalkan jumlah beban pajak yang dilaporkan di SPT. Hal ini juga mengakibatkan ruang lingkup perputaran modal suatu usaha menjadi tidak leluasa dikarenakan WP berusaha menyembunyikan laba/keuntungannya sedemikian rupa agar tidak sampai terdeteksi oleh fiskus.

3. Akibat Pengelakan / Penggelapan Pajak Dalam Bidang Psikologi

Akibat dari penggelapan pajak itu juga dirasakan dalam bidang psikologi, sebab penggelapan pajak membiasakan Wajib Pajak untuk melanggar undang-undang. Apabila Wajib Pajak sampai hati melakukan penipuan dalam bidang fiskal, lambat laun Wajib Pajak tidak akan segan-segan berbuat sama dalam hal ini. Akibat dari komplikasi-komplikasi ini pasti menimbulkan dampak yang mengancam sehubungan dengan tindak penggelapan pajak, seperti: kemungkinan terungkapnya praktek penipuan tersebut dengan konsekuensi pembayaran pajak yang berlipat ganda karena meliputi utang pajak dalam waktu tertentu, ditambah dengan denda dan kenaikan pajak yang harus dibayarnya. Hal demikian kadang-kadang terjadi


(32)

pada saat yang kurang tepat seperti dalam keadaan kekurangan uang, sakit ataupun mengalami kebangkrutan. Akhirnya tindakan penggelapan pajak mempunyai pengaruh yang berbahaya terhadap Wajib Pajak, dengan tidak menyadari akan konsekuensinya, dan mengira bahwa perbuatan curang semacam itu akan menguntungkannya secara jangka panjang (Siahaan, 2010:111).

Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengelakan/penggelapan pajak yang dilakukan oleh WP memiliki konsekuensi yang sangat beresiko secara materil dan non materil. Secara materil bahwa WP akan menganggap perbuatan penggelapan pajak itu akan menguntungkannya secara jangka panjang, akan tetapi konsekuensi yang terjadi jika terungkapnya tindak penggelapan pajak tersebut, maka WP akan membayar dengan kerugian berkali-kali lipat disertai dengan dengan denda dan kurungan pidana dalam jangka waktu tertentu, ditambah pula jika WP tidak mempunyai cukup dana untuk menutup denda yang diputuskan, sejumlah asset akan disita dan bisa berdampak pada kebangkrutan bahkan resiko kejiwaan.

2.2.4 Sistem Perpajakan A. Asas Perpajakan

Banyak pendapat ahli yang mengemukakan tentang asas-asas perpajakan yang harus ditegakan dalam membangun suatu sistem perpajakan, Tjahjono mengemukakan dari Adam Smith dalam buku Wealth of Nations, menyatakan bahwa pemungutan pajak hendaknya didasarkan oleh empat asas, equality/equity, certainly, convenience of payment dan economy (Andria 2008:14): Tjahjono (2005:16) menjelaskan ke empat asas tersebut sebagai berikut:


(33)

Equality atau kesamaan mengandung arti bahwa keadaan yang sama atau orang dalam keadaaan yang sama harus dikenakan pajak yang sama.

2. Certainly

Kepastian hukum merupakan tujuan dari Undang-undang, dalam pembuatannya, harus diupayakan supaya ketentuan yang dimuat didalam undang-undang harus jelas, tegas, tidak mengandung arti ganda atau memberikan peluang untuk ditafsirkan lain. Kepastian hukum banyak tergantung pada susunan kalimat, susunan kata, dan penggunaan istilah yang sudah dibakukan. Untuk mencapai tujuan tersebut penggunaan bahasa hukum sangat mutlak dibutuhkan.

3. Convinience of Payment

Pajak yang dipungut harus sesuai waktu yang tepat, yaitu ketika Wajib Pajak mempunyai uang. Tidak semua Wajib Pajak mempunyai saat Convinience yang sama, yang mengenakannya untuk membayar pajak. Seseorang yang menerima gaji akan lebih mudah membayar gaji pada saat menerima gaji.

4. Economics of Collection

Dalam pembuatan undang-undang pajak perlu dipertimbangkan bahwa biaya pemungutan harus lebih kecil dari uang pajak yang masuk. Tidak ada artinya pengenaan pajak jika pemasukan pajaknya hanya untuk biaya pemungutan saja (Adrian, 2005:21 (Tjahjono dan Husein, 2005:16-17)).

B. Sistem Perpajakan di Indonesia

Menurut Mardiasmo (2009:9) sistem pemungutan pajak dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu Official Assessment System, Self Assessment System, With Holding System.

1. Official Assessment System

Suatu sistem pemungutan yang memberikan wewenang kepada pemerintah (Fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Fiskus, Wajib Pajak bersifat


(34)

pasif. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh Fiskus (Mardiasmo, 2009:9).

Menurut Siahaan (2010:178-179) sistem perpajakan yang telah diterapkan pada perundang-undangan perpajakan atas penghasilan dan kekayaan adalah sistem penetapan pajak oleh instansi pajak (official assessment). Oleh karena itu berlaku hal-hal sebagai berikut:

a. Pemungutan pajak dibebankan kepada administrasi pajak, sehingga berhasil atau tidaknya pemungutan pajak bergantung pada aktivitas aparatur perpajakan, baik dalam mencari subjek pajak maupun dalam menetukan besarnya pajak terutang.

b. WP dalam memenuhi kewajibannya mengisi dan memasukan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) tergantung pada aktivitas aparatur perpajakan untuk mengirimkan SPT tersebut kepada WP. Meskipun ditentukan, apabila sampai akhir bulan Maret tahun berikutnya masih belum bisa menerima pengiriman SPT, WP diwajibkan mengambil sendiri ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP).

c. Fungsi SPT adalah sebagai dasar administrasi perpajakan untuk menetapkan besarnya pajak yang terutang. Hasil penghitungan dan penetapan pajak tersebut tertuang pada Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang dikirimkan kepada WP yang bersangkutan. Pada saat SKP diterbitkan, secara formal timbul utang pajak dan pada administrasi perpajakan (KPP) timbul dasar penagihan pajak.

d. Sesuai fungsi SPT diatas, maka pada penyampaian SPT tidak merupakan keharusan adanya pelunasan pajak terlebih dahulu atas jumlah pajak yang terutang seperti yang tertera dalam SPT.

e. Terlambat menyampaikan SPT atau melakukan penundaan dalam menyampaikan SPT tidak dikenakan sanksi, baik


(35)

berupa denda maupun bunga. Kecuali apabila telah diperingatkan secara tertulis dan tercatat ternyata masih belum memenuhinya, kepada WP dikenakan sanksi berupa penetapan secara jabatan, yaitu penetapan pajak berdasarkan penghasilan yang telah diperkirakan oleh fiskus.

f. Kepasifan WP diatas juga terjadi pada tahun berjalan, dimana WP baru melakukan pembayaran pajak apabila telah memperoleh SKP meskipun masih bersifat sementara.

2. Self Assessment System

Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya adalah wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri. Wajib Pajak aktif mulai dari, menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang, Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi (Mardiasmo, 2009:9).

Menurut Siahaan (2010:184-185) self assessment system

sebagai suatu bentuk sistem hukum yang modern dibidang perpajakan, dan ini sejalan dengan falsafah bangsa yang meletakkan pembayaran pajak sebagai bentuk kegotongroyongan nasional sebagaimana yang dimaksud dalam jiwa Pancasila. Dalam sistem ini pajak terutang bukan karena adanya SKP (faham formal dalam utang pajak), namun adanya pajak terutang karena timbulnya subjek memiliki objek pajak (faham material dari timbulnya utang pajak). Dalam hal ini bukan berarti pengertian faham formal timbulnya utang pajak (melalui penerbitan SKP) tidak ada, SKP diterbitkan apabila WP memiliki kesalahan dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, yang bersifat bukan merupakan perbuatan pidana. Dalam hal kesalahan tersebut bersifat kekeliruan yang bersifat manusiawi dari WP maka kekeliruan itu cukup


(36)

diterbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 189/PMK.03/2007 yang mulai berlaku pada 1 Januari 2008).

Menurut Siahaan (2010:185) keuntungan penerapan self assessment system adalah sebagai berikut:

a. Uang pajak dapat segera masuk ke kas Negara tanpa melalui proses penagihan yang bertele-tele. Begitu suatu

taatbestand terpenuhi, maka telah ada utang pajak yang harus dibayar oleh Wajib pajak tanpa menunggu adanya SKP dari pejabat pajak. Dengan demikian WP dapat segera membayar utang pajak ke kas Negara tanpa perlu menunggu ditagih oleh fiskus. Tindakan penagihan tetap diperlukan, hanya saja tidak dilakukan kepada semua WP tetapi terhadap WP tertentu saja, yaitu WP yang tidak melunasi utang pajak sebagaimana mestinya.

b. Karena tanpa melalui proses penagihan terhadap semua WP, maka ada unsur efisiensi biaya pemungutan pajak. Fiskus hanya perlu meningkatkan pelayanan dan pengawasan terhadap WP agar mereka memahami dan melaksanakan kewajiban perpajakannya secara benar. c. Adanya sanksi perpajakan bagi WP yang tidak

melaksanakan kewajiban perpajakan sebagaimana mestinya. Baik sanksi administrasi maupun sanksi pidana, diharapkan adanya efek jera serta menimbulkan tingkat kepatuhan di dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.

d. Meningkatkan kebanggaan kepada masyarakat karena telah dipercaya oleh Negara untuk melaksanakan hak dan kewajiban kenegaraannya tanpa harus dilayani oleh fiskus; hal ini menunjukan telah meningkatnya kecerdasan bangsa. e. Meningkatkan kesadaran perpajakan secara sukarela (voluntary tax compliance) masyarakat karena tanpa campur tangan fiskus yang besar, masyarakat telah


(37)

memahami tata cara pelaksanaan kewajiban perpajakan secara baik dan benar.

Dengan demikian, penerapan self assessment ini Negara khususnya Dirjen Pajak memberikan kepercayaan penuh kepada masyarakat/WP dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sejalan dengan prinsip demokrasi yang berlaku di Indonesia. Dengan diberlakukannya sistem ini, diharapkan masyarakat/WP bisa dengan baik dan jujur dalam menghitung dan melaporkan utang pajaknya. Perlu adanya kerja sama dan sosialisasi yang baik antara pemerintah khususnya fiskus dengan WP untuk mensukseskan self assessment ini.

3. With Holding System

Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan Fiskus atau bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain Fiskus dan Wajib Pajak (Mardiasmo, 2009:9).

Menurut Siahaan (2010:185) sistem with holding

diterapkan khususnya terhadap WP yang penghitungan dan pemungutannya lebih efektif apabila dilakukan oleh orang atau badan tertentu yang ditunjuk oleh fiskus sebagai pemotong atau pemungut pajak. Pada pengenaan dan pemungutan PPh pasal 21, misalnya PPh terhadap karyawan, lebih efektif apabila pemberi kerja diberi kewenangan untuk memungut pajak atas pekerja yang bekerja kepadanya. Dengan pemungutan pajak pada sumbernya, yaitu pada pemberi kerja, maka pemungutan pajak dapat segera dilakukan dan dimasukan ke kas Negara tepat waktu, karena pemungut pajak diharuskan untuk segera memasukan (menyetorkan) pajak yang dipungutnya ke kas Negara (umumnya paling lambat 15 bulan berikutnya).


(38)

Dari ulasan materi di atas, menurut Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (penjelasan bagian umum angka 3) pemungutan pajak di Indonesia memiliki corak dan ciri tersendiri yang berbeda dengan Negara lain dan menunjukan pajak sebagai wujud kewajiban kenegaraan setiap anggota masyarakat. Ciri dan corak pemungutan pajak di Indonesia adalah sebagaimana dijelaskan berikut ini:

a. Pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian dan peran serta WP untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan penyelenggaraan Negara dan pembangunan nasional.

b. Tanggung jawab atas pelaksanaan pemungutan pajak sebagai pencerminan kewajiban dibidang perpajakan dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan, dan pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.

c. Anggota masyarakat atau WP diberi kepercayaan untuk melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak terutang (self assessment), sehingga melalui sistem ini administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan lebih rapi, terkendali, sederhana, dan mudah dipahami oleh anggota masyarakat atau WP.

Dengan berbagai akses kemudahan WP dalam membayarkan pajaknya, diharapkan masyarakat/WP dapat melaksanakan pemenuhan kewajibannya dengan baik. Sistem pembayaran pajak yang berlaku di Indonesia memberikan kebebasan dan tanggung jawab penuh dari dalam diri WP,


(39)

sehingga diharapkan secara bersama-sama seluruh masyarakat/WP bisa mewujudkan ketaatannya dalam kehidupan bernegara khususnya untuk membayarkan kewajiban pajaknya yang digunakan untuk pembangunan nasional.

2.2.5 Diskriminasi

A. Pengertian Diskriminasi

Berdasarkan Undang - Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 ayat (3), UU tersebut menyatakan bahwa diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik, yang berakibat pengangguran, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan, baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan yang lain.

Menurut Danandjaja (2003:18), diskriminasi adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial.”

Sedangkan definisi diskriminasi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah mencakup perilaku apa saja, yang berdasarkan perbedaan yang dibuat berdasarkan alamiah atau pengkategorian masyarakat, yang tidak ada hubungannya dengan kemampuan individu atau jasanya.

2.2.6 Pemeriksaan Pajak

A. Pengertian Pemeriksaan Pajak

Pasal 1 angka 25 Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun


(40)

2007 (selanjutnya ditulis UU No. 28/2007) Pemeriksaan Pajak adalah kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan proporsional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Waluyo, 2010:66).

Pengertian pemeriksaan pajak menekankan pada pemeriksaan bukti yang berupa buku - buku, dokumen dan catatan yang dilaksanakan secara objektif oleh pemeriksaan pajak yang professional berdasarkan suatu standar pemeriksaan, pemeriksaan pajak tidak mencari-cari kesalahan WP tetapi untuk menguji kepatuhan pemenuhan perpajakan (Pardiat, 2008:11). 55

B. Kriteria Pemeriksaan Pajak

Sebagaimana yang dipaparkan Pardiat (2008:5) bahwa di dalam sistem self assessment tidak semua SPT dilakukan pemeriksaan pajak, kriteria SPT yang dilakukan pemeriksaan pajak adalah SPT Lebih Bayar karena dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanda terima penerimaan SPT lebih bayar, Direktur Jenderal Pajak harus sudah memberikan ketetapan pajak. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.199/PMK.03/2007 Pasal 3 ayat (3), Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.

Kriteria pemeriksaan pajak merupakan kebijakan pajak dari Direktorat Jenderal Pajak, seperti yang dituangkan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-10/PJ.7/2004 tanggal 31 Desember 2004, kriteria pemeriksaan adalah:

1. Pemeriksaan Rutin dapat dilaksanakan dalam hal:

a. Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan menyampaikan: i. SPT Tahunan/SPT Masa yang menyatakan Lebih Bayar ii. SPT Tahunan PPh yang menyatakan Rugi Tidak Lebih

Bayar

iii. SPT Tahun PPh untuk bagian tahun pajak sebagai akibat adanya perubahan tahun buku atau metode pembukuan


(41)

atau penilaian kembali aktiva tetap yang telah disetujui oleh Direktorat Jenderal Pajak.

b. Wajib Pajak melakukan penggabungan, pemekaran, pengambilalihan usaha, atau likuidasi, penutupan usaha, atau akan meninggalkan Indonesia selama-lamanya.

c. Wajib Pajak orang pribadi atau badan tidak menyampaikan SPT Tahunan/Masa dalam jangka waktu yang telah ditentukan dan setelah ditegur secara tertulis tidak menyampaikan SPT pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam surat teguran.

d. Wajib Pajak orang pribadi atau badan melakukan kegiatan membangun sendiri yang pemenuhan kewajiban PPN atas kegiatan tersebut patut diduga tidak melaksanakan sebagaiman mestinya.

2. Pemeriksaan kriteria seleksi terdiri dari:

a. Kriteria seleksi resiko dilaksanakan apabila SPT Tahunan PPh Wajib Pajak orang pribadi atau badan terpilih untuk diperiksa berdasarkan analisis resiko.

b. Kriteria seleksi lainnya dilaksanakan apabila SPT Tahunan PPh Wajib Pajak orang pribadi atau badan terpilih untuk diperiksa berdasarkan sistem scoring secara komputerisasi. 3. Pemeriksaan Khusus dapat dilakukan dalam hal:

a. Adanya dugaan melakukan tindakan pidana di bidang perpajakan

b. Pengaduan masyarakat, termasuk melalui kotak pos 5000. c. Terdapat data baru atau data yang semula belum terungkap

yang dilakukan melalui pemeriksaan ulang berdasarkan instruksi Direktorat Jenderal Pajak

d. Permintaan Wajib Pajak

e. Pertimbangan Direktorat Jenderal Pajak

f. Untuk memperoleh informasi atau data tertentu dalam rangka pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan.

4. Pemeriksaan bukti permulaan dapat dilakukan apabila ditemukan adanya indikasi tindakan pidana di bidang


(42)

perpajakan berdasarkan hasil analisis data, informasi, laporan, pengaduan, laporan pengamatan atau laporan pemeriksaan pajak (Pardiat, 2008:6).

C. Tujuan Pemeriksaan Pajak

Menurut Pardiat (2008:6) Pemeriksaan pajak yang dilakukan Pemeriksa Pajak Direktorat Jenderal Pajak bertujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang - undangan perpajakan.

Pemeriksaan pajak untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, seperti yang disebutkan dalam Peraturan Menteri Nomor 199/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember 2000, meliputi pemeriksaan yang dilakukan dalam rangka:

a. Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan b. Penghapusan NPWP

c. Pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak

d. Wajib Pajak mengajukan keberatan

e. Pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Perhitungan Penghasilan Neto

f. Pencocokan data dan alat keterangan

g. Penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil

h. Penetuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai

i. Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak

j. Penetuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka waktu kompensasi kerugian sehubungan dengan pemberian fasilitas perpajakan.

k. Memenuhi permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.

Jadi pemeriksaan pajak terkait dengan tujuan lain ini merupakan suatu kegiatan review/peninjauan oleh fiskus terkait dengan kondisi objek pajak baru maupun objek pajak yang lama atas rekomendasi/laporan dari WP terhadap kegiatan usahanya.


(43)

D. Wewenang Pemeriksaan Pajak

Menurut (Pardiat, 2008:12) berdasarkan Pasal 29 ayat (1) UU. No. 28/2007, Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan WP dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Direktur Jenderal Pajak dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan berwewenang melakukan pemeriksaan untuk:

a. Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan WP b. Tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

E. Standar Pemeriksaan

Menurut Waluyo (2010:70) pemeriksaan harus dilaksanakan sesuai dengan standar pemeriksaan (audit standar), standar pemeriksaan ini meliputi: 59

a. Standar umun pemeriksaan pajak

Standar umum pemeriksaan merupakan standar yang bersifat pribadi dan berkaitan dengan persyaratan pemeriksaan pajak dan mutu pekerjaan.

b. Standar pelaksanaan pemeriksaan pajak

Standar pelaksanaan pemeriksaan pajak untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus dilakukan sesuai dengan standar pelaksanaan pemeriksaan pajak.

c. Standar pelaporan hasil pemeriksaan pajak

Kegiatan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus dilaporkan dalam bentuk Laporan Hasil Pemeriksaan yang disusun sesuai standar pelaporan hasil pemeriksaan.

F. Jenis - Jenis Pemeriksaan Pajak

a. Pemeriksaan Lapangan

Pemeriksaan lapangan adalah pemeriksaan yang dilakukan ditempat kedudukan, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak, tempat tinggal Wajib Pajak atau tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak (yang meliputi satu, beberapa jenis pajak, untuk tahun kegiatan dan/atau


(44)

tahun-tahun sebelumnya). Prosedur pemeriksaan lapangan (Pardiat, 2008:58):

1. Pemeriksaan pajak ke tempat WP yang akan diperiksa: a. Menyampaikan surat pemberitahuan pemeriksaan

lapangan kepada WP, dilampirkan kopi surat perintah pemeriksaan,

b. Menjelaskan maksud dan tujuan pemeriksaan,

c. Pemeriksaan lapangan di laksanakan pada jam kerja, dalam hal tertentu dilakukan jam kerja.

2. WP yang diperiksa

a. WP berhak meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan surat perintah pemeriksaan dan tanda pengenal pemeriksa

b. WP berhak meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan pemeriksaan pajak.

3. Pemeriksa pajak berwenang

a. Memeriksa atau meminjam buku-buku, catatan-catatan dan dokumen pendukung lainya termasuk keluaran atau media computer dan perangkat elektronik pengolah data lainya.

b. Meminta keterangan lisan atau tulisan dari WP yang diperiksa.

c. Memasuki tempat atau ruangan yang diduga merupakan tempat menyimpan dokumen, uang, barang, yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan usaha WP.

d. Melakukan penyegelan tempat atau ruangan tersebut pada huruf c, apabila WP atau wakil atau kuasanya tidak memberikan kesempatan untuk memasuki tempat ruangan dimaksud.

e. Meminta keterangan dan atau data yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan WP yang diperiksa.

4. Peminjaman buku - buku, catatan dan dokumen-dokumen yang terkait dan membuat bukti peminjaman buku dan dokumen tersebut serta memberikan tanda bukti


(45)

peminjaman buku-buku tersebut secara rinci dan jelas mengenai jenis serta jumlahnya. WP wajib memenuhi permintaan peminjaman buku-buku tersebut dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal permintaan, jika WP tidak memenuhinya dalam jangka waktu yang di tetapkan maka dikirim surat peringatan pada hari kerja berikutnya. Pemeriksa Pajak wajib mengembalikan buku-buku dan catatan-catatan yang dipinjam dari WP paling lama 14 (empat belas) hari sejak selesainya pemeriksaan.

5. Keterangan pihak ketiga

a. Pemeriksaan pajak melalui Kepala Unit Pelaksanaan Pemeriksaan Pajak dapat meminta keterangan atau bukti yang berkaitan dengan pemeriksaan yang sedang dilakukan terhadap WP kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud Pasal 35 ayat (1) KUP (Undang-undang No. 16 Tahun 2000), secara tertulis.

b. Pihak ketiga harus memberikan keterangan paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat permintaan keterangan/bukti.

c. Apabila dalam waktu jangka tersebut no 5b tidak terpenuhi Pemeriksa Pajak memberikan surat peringatan I, dan apabila tidak dipenuhi diberikan surat peringatan II.

d. Apabila surat peringatan II tidak dipenuhi Pemeriksa Pajak membuat berita acara tidak dipenuhinya permintaan keterangan/bukti dari pihak ketiga dan dapat melaporkannya kepada pihak kepolisian tempat pihak ketiga tersebut berdomisili atau berkedudukan.

6. Metode pemeriksaan pajak

Pemeriksa Pajak setelah menerima buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen dari WP melakukan pemeriksaan, metode pemeriksaan pajak terdiri dari metode langsung dan metode tidak langsung


(1)

c. Berdasarkan tanggapan tertulis dari Wajib Pajak, Pemeriksaan Pajak mengundang Wajib Pajak untuk menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. d. Dalam pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Wajib

Pajak dapat didampingi oleh Konsultan Pajak dan/atau Akuntan Publik.

e. Jangka waktu pembahasan akhir hasil pemeriksaan akan diatur lebih lanjut dengan peraturan Direktur Jenderal Pajak.

f. Apabila Wajib Pajak tidak memberikan tanggapan dan/atau tidak mengahadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaaan, wajib dibuatkan Berita Acara, dan Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak diterbitkan secara jabatan berdasarkan hasil pemeriksaan yang disampaikan kepada Wajib Pajak.

g. Pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak tidak dilakukan apabila pemeriksaan dilanjutkan dengan tindakan penyidikan.

b. Pemeriksaan Kantor

Pemeriksaan kantor adalah pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak di Kantor Unit Pelaksana Pemeriksaan Pajak yang meliputi data jenis pajak tertentu pada tahun berjalan dan atau tahun-tahun sebelumnya yang dapat dilaksanakan melalui pelaksanaan melalui Pemeriksaan Sederhana (Pardiat, 2008:71). Prosedur Pemeriksaan Kantor:

1. Surat Perintah Pemeriksaan Pajak (SPPP) dapat diterbikan untuk 1 (satu) atau beberapa Masa Pajak dalam suatu Tahun Pajak atau untuk 1 (satu) Tahun Pajak terhadap 1 (satu) Wajib Pajak.

2. Bedasarkan SPPP tersebut, Kepala UPPP segera memanggil Wajib Pajak dengan menggunakan Surat Panggilan dalam rangka Pemeriksaan Pajak yang dilampiri dengan Daftar Buku, Catatan dan Dokumen yang diperlukan oleh Pemeriksa Pajak.


(2)

3. Pemeriksa Pajak harus memperlihatkan Kartu Tanda Pengenal Pemeriksaan Pajak dan Surat Perintah pemeriksaan pajak kepada WP yang diperiksa.

4. Surat Pangggilan dalam rangka Pemeriksaan Pajak harus sudah dikirimkan kepada WP paling lama 3 (tiga) hari setelah tanggal penerbitan SPPP kepada WP yang diperiksa. 5. WP yang harus memenuhi panggilan sesuai dengan waktu

dan tempat yang telah ditentukan dalam Surat Panggilan dalam rangka Pemeriksaan Pajak dengan membawa buku, catatan dan dokumen yang diperlukan oleh Pemeriksa Pajak dan dibuat bukti peminjaman/pengambilan dengan rinci dan jelas oleh Pemeriksa Pajak.

6. Apabila buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen yang dipinjam berupa fotokopi harus dinyatakan sesuai dengan aslinya dengan surat pernyataan Wajib Pajak. 7. Terhadap WP yang tidak memenuhi panggilan segera

diterbitkan Surat Panggilan kedua.

8. WP yang menyetujui seluruh hasil pemeriksaan harus menandatangi STHP (surat tanggapan hasil pemeriksaan) beserta Lembar Pernyataan Persetujuan Hasil Pemeriksaan dan Berita Acara Persetujuan Hasil Pemeriksaan dan menyerahkan kembali kepada Kepala UPPP.

9. Wajib Pajak yang tidak setuju atas sebagian atau seluruh hasil pemeriksaan harus mengisi, menandatangani dan menyampaikan STHP kepada Kepala UPPP dan dilampiri dengan bukti-bukti pendukung sanggahan serta penjelasan seperlunya.

10. Berdasarkan tanggapan WP, Pemeriksa Pajak mengirimkan Surat Panggilan melalui faksimili, pos tercatat, atau jasa pengiriman lainnya kepada Wajib Pajak untuk menandatangani Berita Acara Hasil Pemeriksaan dalam rangka pelaksanaan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. 11. Dalam pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, WP dapat


(3)

yang melakukan audit atas laporan keuangan Wajib Pajak untuk tahun pajak yang sedang diperiksa.

12. Hasil pembahasan akhir dituangkan dalam suatu Berita Acara Hasil Pemeriksaan beserta lampirannya berupa Ikhtisar Pembahasan Akhir dan harus ditandatangani WP dan pemeriksaan Pajak, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Laporan Pemeriksaan Pajak.

13. Dalam hal WP menolak untuk menandatangani Berita Acara Hasil Pemeriksaan, Tim Pemeriksaan Pajak membuat catatan tentang penolakan tersebut dalam Berita Acara Hasil Pemeriksaan.

14. Proses pemberitahuan hasil pemeriksaan sampai dengan persetujuan atau menandatangani Berita Acara Hasil Pemeriksaan dan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan harus diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak SPHP diterima WP.

15. Apabila WP tidak memberikan tanggapan dan atau tidak menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, harus dibuatkan Berita Acara Tidak Memberikan Tanggapan/Berita Acara Ketidakhadiran Wajib Pajak, sebagai dasar penerbitan SKP berdasarkan hasil pemeriksaan yang disampaikan kepada WP.

16. Bentuk formulir tersebut di atas sudah tersedia. G. Jangka Waktu Pemeriksaan

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan yang diberlakukan sejak 1 Januari 2008, ditetapkan bahwa:

a. Pemeriksaan kantor dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 6 (enam) bulan yang dihitung sejak tangggal Wajib Pajak datang memenuhi surat panggilan dalam rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan.

b. Pemeriksaan lapangan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 8 (delapan) bulan yang dihitung sejak tanggal Surat


(4)

Perintah Pemeriksaan sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan.

c. Apabila Pemeriksaan Lapangan ditemukan indikasi transaksi khusus lain yang dapat berindikasi adanya rekayasa transaksi dengan transfer pricing dan/atau transaksi khusus lainnya yang berindikasi adanya rekayasa transaksi keuangan yang memerlukan pengujian yang lebih mendalam serta memerlukan waktu yang paling lama, Pemeriksaan Lapangan dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.

Dalam hal pemeriksaan dilakukan berdasarkan kriteria Pemeriksaan Pajak. Dalam hal ini Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak jangka waktu pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam butir 1, 2, dan 3 di atas, harus memperhatikan jangka waktu penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. (Waluyo, 2008:70)

2.3 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka secara skematis dapat dibuat kerangka pemikiran sebagai berikut :


(5)

Gambar 2.3

Kerangka pemikiran penelitian

DAFTAR PUSTAKA

Kantor Pelayanan Pajak Pratama Banyuwangi

Persepsi Etika Penggelapan Pajak (Y)

Kemungkinan Terdeteksi Kecurangan (X3) Sistem Perpajakan

(X1) Diskriminasi (X2) Uji Instrumen Data : 1. Uji Validitas 2. Uji Reliabilitas

Uji Asumsi Klasik : 1. Uji Normalitas 2. Uji Multikolinearitas

Uji Regresi Linear Berganda

Uji Statistik t Uji Statistik F

Uji Koefisien Determinasi (R2)

Hasil dan Pembahasan


(6)

Soemitro, Rochmat. 1992. “Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan 1994”. Bandung, Eresco.

Suminarsasi, Wahyu dan Supriyadi. 2011. “Pengaruh Keadilan, Sistem Perpajakan dan Diskriminasi Terhadap Persepsi Wajib Pajak Mengenai Penggelapan Pajak.” Yogyakarta, PPJK 15 Universitas Gajah Mada.

Rahman, Irma Suryani.2013.Pengaruh Keadilan, Sistem Perpajakan, Diskriminasi, dan Kemungkinan Terjadinya Kecurangan Terhadap Persepsi Wajib Pajak mengenai Etika Penggelapan Pajak.Skripsi. Jakarta : UIN