ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KETENTUAN IHDAD WANITA KARIER YANG DITINGGAL MATI OLEH SUAMI DI DESA KALIANYAR KABUPATEN NGANJUK.

(1)

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KETENTUAN IHDA<

D

WANITA KARIER YANG DITINGGAL MATI OLEH SUAMI DI

DESA KALIANYAR KABUPATEN NGANJUK

SKRIPSI

Oleh Diyah Ayu Lestari

NIM. C31213097

Jurusan Hukum Perdata Islam

Fakultas Syari’ah dan Hukum Prodi Hukum Keluarga Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Surabaya 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian studi lapangan (field risearch) dengan

judul ‚Analisis Hukum Islam Terhadap Ketentuan Ihda>d Wanita Karier yang Ditinggal Mati Oleh Suami di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk‛. Penelitian

ini bertujuan menjawab dua pertanyaan penelitian: 1. Bagaimana wanita karier yang masih dalam kewajiban menjalankan ihda>d menyambung hidupnya setelah ditinggal mati oleh suaminya. 2. Bagaimana Analisis Hukum Islam terhadap praktik ihda>d yang dilakukan wanita kerier tersebut yang masih dalam masa

‘iddah.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, karena pengumpulan data dihimpun melalui wawancara dan observasi terhadap 2 responden yaitu wanita karier yang ditinggal mati oleh suaminya di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk. Data yang dihimpun, selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif-deduktif yaitu dengan menggambarkan atau mendeskripsikan secara jelas tentang praktik-praktik yang tampak melanggar ketentuan ihda>d yang dilakukan oleh wanita karier setelah ditinggal mati oleh suaminya untuk kemudian dianalisis dengan pola pikir deduktif yaitu diawali dengan mengemukakan dalil umum tentang ihda>d, kemudian teori tersebut digunakan sebagai alat untu menganalisis dengan analisis Hukum Islam kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua wanita yang ditinggal mati oleh suaminya di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk ternyata tetap bekerja dan belum habis masa ‘iddahnya. Wanita tersebut dalam bekerja tetap melakukan hal-hal yang selama ini dilakukan di luar masa ‘iddah seperti bersolek dan berinteraksi dengan lawan jenis. Dari data tersebut ketika dianalisis menggunakan Hukum Islam, khususnya yang terkait dengan peraturan ihda>d wanita yang masih ada di dalam masa ‘iddah maka jelas bahwa perbuatan yang dilakukan wanita tersebut tidak melanggar hukum Islam karena dilakukan dengan keadaan benar-benar terpaksa dengan tujuan untuk memelihara jiwa (hifzh al-nafs).

Dari kesimpulan di atas, maka penulis menyarankan kepada wanita karier di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk agar lebih bijak dan hati-hati dalam menjalankan aktivitas dan berkarier ketika masih dalam masa ‘iddah setelah wafatnya suami, meskipun hukum Islam memberikan kelonggaran hukum namun etika sebagai seorang wanita muslimah harus tetap dijaga. Saran lainnya adalah, bahwa hendaknya para wanita dan masyarakat yang belum memahami peraturan hukum Islam terkait ihda>d dalam masa ‘iddah alangkah lebih baiknya untuk

bertanya atau meminta wejangan kepada ulama’ atau tokoh masyarakat agar


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

LEMBAR PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 8

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Kajian Pustaka ... 10

E. Tujuan Penelitian ... 14

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 14

G. Definisi Operasional ... 15

H. Metode Penelitian ... 16

I. Sistematika Pembahasan ... 19

BAB II KETENTUAN HUKUM ISLAM TENTANG IHDA<D BAGI WANITA YANG DITINGGAL MATI OLEH SUAMI ... 21


(8)

A. Ihda>d Dalam Hukum Islam ... 21

1. Pengertian Ihda>d ... 21

2. Dalil Disyariatkannya Ihda>d ... 24

3. Hal-hal yang Diperbolehkan dan Larangan dalam Pelaksanaan Ihda>d ... 26

4. Macam-macam Ihda>d ... 28

5. Hikmah Ihda>d ... 33

B. Maqa>shid al-Shari>’ah Sebagai Penetapan Hukum ... 35

1. Pengertian Maqa>shid al-Shari>’ah ... 35

2. Syarat-syarat Maqa>shid al-Shari>’ah ... 38

3. Tingkatan Maqa>shid al-Shari>’ah ... 39

4. Lima Pokok Prinsip Maqa>shid al-Shari>’ah ... 41

BAB III PRAKTIK IHDA<D WANITA KARIER DI DESA KALIANYAR KABUPATEN NGANJUK ... 45

A. Sekilas Tentang Letak Geografis Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk ... 46

B. Praktik Ihda>d Wanita Karier (Studi Kasus Pada Dua Responden di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk) ... 47

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP IHDA<D WANITA KARIER DI DESA KALIANYAR KABUPATEN NGANJUK ... 57

A. Praktik Ihda>d Wanita Karier Di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk Ditinjau Dari Pandangan 4 Madzhab ... 57

B. Praktik Ihda>d Wanita Karier Di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk Ditinjau dari Perspektif Maqa>shid al-Shari>’ah ... 60

BAB V PENUTUP ... 69


(9)

B. Saran-saran ... 70 DAFTAR PUSTAKA


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama Islam sangat menghormati hak-hak para pemeluknya, baik hak dalam duniawi maupun ukhrawi. Syariat Islam yang terkandung dalam

Al-qur’an telah mengajarkan pada manusia tentang tatanan hidup seorang muslim dalam segala sektor kehidupan, baik dalam bidang sosial, ekonomi, budaya maupun hukum.

Pada saat Rasulullah saw. masih hidup, otoritas pengambilan hukum terhadap suatu permasalahan ada di tangan beliau.1 Setelah wafatnya Rasulullah, penggunaan ijtihad merupakan solusi dalam rangka mencari pemecahan masalah-masalah yang baru muncul, hal ini didasarkan adanya keharusan penyelesaian masalah tanpa meninggalkan prinsip syariat Islam. Hanya agama Islam yang diridhoi Allah dan hanya Islam lah agama yang benar, cukup dengan aturan-aturan Islam seorang muslim dapat mengarungi kehidupannya dan memecahkan setiap problem kehidupannya.2 Pada perkembangan zaman yang semakin moderen ini kerja sama antara laki-laki (suami) dan perempuan (istri) mutlak diperlukan dalam sebuah kehidupan rumah tangga, masing-masing pasangan memiliki peran

1 Hasbi Ash-Shiddiqy, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), 21.


(11)

2

yang dapat saling melengkapi satu sama lain, sehingga tercipta kehidupan rumah tangga yang ideal.

Agama Islam datang dengan menjunjung harga diri dan kemuliaan wanita dan menempatkannya setara dengan pria ‚equal sharing of responsibilities‛.

Seperti Sabda Rasulullah saw:

ئَاقشَُاسِلاَا ا

َ

] اس لا َد ادَ باَ [َِ اجِلا

Artinya : ‚Sesungguhnya kaum wanita itu adalah setara dengan kaum pria‛.

(HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i).3

Menurut Ahmad Zahra Al-Hasany, Islam memberikan hak-hak kepada wanita sebagaimana diberikan kepada pria dan membebankan kewajiban kepada wanita sebagaimana dibebankan kepada pria. Namun ada beberapa hal yang khusus bagi wanita dan bagi pria karena ada dalil-dalil shar’i yang

mengaturnya. Di dalam Islam wanita diijinkan melakukan jual beli, sewa menyewa dan akad perwakilan (wakalah). Selain itu wanita juga diijinkan menangani pertanian, perindustrian dan perdagangan serta mengadkan akad-akad perjanjian.4

Perkembangan persaingan dalam dunia kerja pada saat ini tidak hanya digeluti oleh kaum pria, akan tetapi banyak juga perempuan yang ikut berkecimpung didalamnya. Banyak kaum perempuan yang aktif di berbagai bidang, baik politik, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, olah raga,

3 Ahmad Hasan, Terjemah Bulughul Maram (Bandung: Diponogoro, 2009), 498.

4 Ahmad Zahra Al-Hasa>ny, Membincang Feminisme Dikursus Gender Perspektif Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 2002), 258.


(12)

3

ketentaraan, maupun bidang-bidang lainya. Boleh dikata, hampir disetiap sektor kehidupan umat manusia, perempuan sudah terlibat bukan hanya dalam pekerjaan-pekerjaan ringan, tetapi juga dalam pekerjaan-pekerjaan yang berat, seperti sopir taksi, tukang parkir, buruh bangunan, satpam, dan lain-lain. Dibidang olahraga, kaum wanita juga tidak mau ketinggalan dari kaum pria. Bidang-bidang olahraga keras yang dulu dipandang hanya layak dilakukan oleh laki-laki, kini sudah banyak diminati dan dilakukan oleh kaum wanita, seperti sepak bola, bina raga, karate, bahkan tinju.5 Dan dari banyaknya bidang yang digeluti itu, maka mereka menamainya sebagai wanita karier.

Mengenai istilah wanita, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti perempuan dewasa.6 Sedangkan kata ‛karier‛ berarti pengembangan dan

kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan, jabatan dan sebagainya. Karier dapat juga berarti pekerjaan yang memberikan harapan untuk maju. Dengan demikian, wanita karier adalah wanita yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup pribadi dan untuk keluarga yang lebih maju secara finansial dan jabatan melalui peningkatan karier dan pekerjaan. Hal ini dapat berakibat pada kebutuhan berinteraksi dengan lawan jenis dan beraktivitas di luar rumah serta harus berhias diri dalam menunjang karier dan pekerjaannya.

5Huzaemah T Yanggo, ‚Iddah dan Ihdad Wanita Karier‛, dalam http://media.Nu-online-wanita-35-html, diakses pada 01 Oktober 2016.

6 Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1989), 1007.


(13)

4

‘Iddah merupakan masa penantian seorang perempuan sebelum menikah lagi, setelah bercerai dari suaminya atau setelah suaminya meninggal dunia.7 Para ulama sepakat bahwa wajib hukumnya melaksanakan

‘iddah serta ihda>d, bagi perempuan yang dicerai atau yang ditinggal mati oleh suaminya, yang tujuannya agar melihat kondisi perempuan dalam keadaan hamil atau tidak.8

Seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 234 :

ُك مَ ف يَ ي لا

َ جأَ غ بَ إفَا شع َ شاَ عب ََ ِ ِسُ اِبَ صب يَاجا أَ

ي َم

ًَا يِخَ ُ عتَا ِبَ ّلا َ,ف ع ْلاِبَ ِ ِسُ أَيفَ ْعفَا يفَمُكي عَحا جَاف

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.9 Perempuan yang suaminya meninggal dunia, ‘iddahnya empat bulan sepuluh hari. Di samping keharusan ber-’iddah, seorang perempuan yang ditinggal suaminya juga harus melaksanakan kewajiban ih}da>d. Ih}da>d merupakan suatu kondisi seorang istri harus menahan diri atau berkabung selama empat bulan sepuluh hari. Selama masa itu, istri hendaknya menyatakan dukanya dengan tidak berhias, dengan tidak memakai parfum, tidak bercelak mata dan tidak boleh keluar rumah.10

7 Sayyid Sa>biq, Fikih Sunnah VIII, Terjemahan Moh. Tholib (Bandung: al-ma’a>rif, 1990), 140. 8 Slamet Abidin, Fikih Munakahat II (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 121.

9 Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro 2010), 38.

10


(14)

5

Ihda>d secara etimologi adalah menahan atau menjauhi. Secara

definitif, sebagaimana tersebut dalam beberapa kitab fikih adalah ‚menjauhi

sesuatu yang dapat menggoda laki-laki kepadanya selama menjalani masa

‘iddah. Pembicaraan disini menyangkut untuk siapa dia berbuat, kenapa dia berbuat, apa yang tidak boleh diperbuat dan hukum berbuat.11 Ihda>d maknanya meninggalkan perhiasan dan wangi-wangian di waktu tertentu oleh seseorang yang ditinggal mati oleh orang terdekatnya.

Wahbah al-Zuhaili memberikan definisi tentang makna ihda>d: ‚Ihda>d ialah meninggalkan harum-haruman, perhiasan, celak mata dan minyak, baik minyak yang mengharumkan maupun yang tidak‛.12

Mengenai kenapa seseorang harus berkabung, maka dalam hal ini menjadi pembahasan di kalangan ulama. Adapun pendapat yang disepakati adalah bahwa ihda>d atau berkabung hanya berlaku bagi perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya.13

Adapun hikmah ihda>d bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya adalah memberikan alokasi waktu yang cukup untuk turut berduka cita atau berkabung dan sekaligus menjaga fitnah serta untuk memelihara keharmonisan hubungan keluarga suami yang meninggal dengan pihak isteri yang ditinggalkan dan keluarga besarnya. Selain itu ihda>d juga untuk

11

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2007), 320.

12

Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu Jilid VII, Diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Katani (Jakarta: Gema Insani, 1985), 659.

13


(15)

6

menampakkan kesedihan dan kedukaan atas kematian suaminya, dan ukuran untuk bersedih karena yang lainnya.14

Ummu Atiah (Shahabah Nabi) berkata:

ْك َا َا شع َ شاَ عب ََج َى عَاِإَ اثَ فَتِيمَى عَ ح َْ أَى َا ُك

َا َُلح

ِإَت س عَا ِإَِ طلاَ عَا لَصخ َ ق َ.َبصعَاب ثَاإَاع صمَاب ثَس ْ َا َبيط

َا ا ح

. ا ْظأ َطسُقَ مَ َيفَا ضيحمَ م

Kami dicegah oleh Nabi Muhammad SAW untuk berkabung untuk kematian seseorang lebih dari tiga hari melainkan kepada suami. Wajib berkabung untuk kematian suami selama empat bulan 10 hari. Selama itu kami tidak boleh bercelak, tidak memakai minyak wangi, tidak boleh pakai pakaian yang dicelup dengan warna melainkan pakaian ‘as}ab (sejenis kain

dari yaman). Kami telah dibenarkan untuk meletakkan secalit wangian setanggi qust} dan az}fa>r setelah kami mandi wajib selepas habis keluar darah haid. (HR. Muslim)15

Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) Bab XIX Pasal 170 ayat (1)

juga menjelaskan tentang masa berkabung dimana ‚isteri yang ditinggal mati

oleh suaminya, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa ‘iddah

sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah.16 Abu Muhammad mengatakan sebagaimana dikutip oleh Abdul Rahman Ghazaly, berpendapat syarat untuk ber-ihda>d adalah iman, sehingga hal itu menunjukkan bahwa ihda>d juga merupakan suatu ibadah. Ihda>d dimaksudkan untuk mencegah pandangan kaum laki-laki selama masa ‘iddah perempuan, dan demikian pula untuk mencegah perempuan dari memandang

14

Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), 372.

15 Syekh Faishol Ibnu Abdul Aziz Almubarok, Terjemah Nailul Authar Jilid 5, Diterjemahkan oleh Mu’ammal Hamidy (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993), 2422.


(16)

7

kaum laki-laki. Hal ini dilakukan dalam rangka menutup jalan kerusakan (sadd al-dzari’ah).17

Dengan kondisi seperti ini, jelas akan menjadi problematika ketika wanita yang harus bekerja di luar rumah untuk menghidupi keluarganya, namun ia memiliki keterbatasan waktu untuk bekerja karena melaksanakan kewajibannya ber-ihda>d setelah ditinggal mati oleh suaminya. Demikian halnya yang terjadi pada Bu Mawar (nama samaran) seorang wanita karier di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk. Dia bekerja dan berkarier di bidang perbankan di Cabang Nganjuk yang telah ditinggal mati oleh suaminya, wanita tersebut dihadapkan pada ketentuan agama yaitu masa ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari. Di dalam masa ‘iddah empat bulan sepuluh hari tersebut, wanita tersebut juga diwajibkan ber-ihda>d (masa berkabung) yang lamanya mengikuti masa ‘iddah yaitu selama 4 bulan 10 hari hari dimana untuk menghormati kematian suaminya yang menikahinya secara sah dan untuk menunjukkan rasa setianya serta meninggalkan berhias dengan tidak bersolek, tidak memakai parfum, tidak bercelak dan tidak keluar rumah. Namun kenyataannya ketentuan ini dilanggar oleh wanita kerier tersebut karena aturan pekerjaan yang mengikatnya. Wanita tersebut tetap bekerja keluar rumah di hari ketiga kematian suaminya dan berpenampilan menarik serta bersolek sebagaimana biasa karena untuk menyambung kelangsungan hidup dan menjaga keturunan. Ketentuan ihda>d ini tidak sepenuhnya dijalankan bukan karena wanita tersebut hendak menghibur diri,


(17)

8

tetapi karena aturan pekerjaan yang mengikatnya dan wanita tersebut sebagai satu-satunya tulang punggung keluarga, meskipun masih mempunyai kedua orang tua namun keadaannya sudah sangat renta. Selain itu wanita tersebut sebagai anak tunggal yang memiliki dua orang anak.18

Adapun sebagai pembanding dalam memberikan kelonggaran hukum pada kasus ketentuan ihda>d wanita karier yang ditinggal mati oleh suami yang juga tinggal di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk adalah seorang wanita karier yang berkarier di dunia pendidikan, wanita yang kembali bekerja di hari ke tujuh setelah kematian suami karena untuk menyambung hidupnya dengan anak semata wayang tinggalan suami.

Berangkat dari masalah tersebut, maka penulis ingin membahas lebih lanjut mengenai ketentuan ihda>d, dengan analisis hukum Islam menggunakan Maqa>shid al-Shari>’ah yang membolehkan wanita karier tersebut bekerja dan berpenampilan menarik sehingga melanggar ketentuan ihda>d, yang dituangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul ‚Analisis Hukum Islam Terhadap Ketentuan Ihda>d Wanita Karier yang Ditinggal Mati Oleh Suami Di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk‛.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Setelah penulis memaparkan faktor-faktor yang mendorong dilakukannya penelitian mengenai praktik ketentuan menjalankan ihda>d

18

Mawar (nama samaran), Objek Penelitian Wanita Karier Di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk.


(18)

9

oleh wanita karier yang ditinggal mati suaminya, perlu kiranya penulis sarikan poin-poin penting yang akan menjadi fokus penelitian penulis selanjutnya, poin tersebut diantaranya adalah:

a. Pengertian dan ketentuan ihda>d.

b. Deskripsi praktik ihda>d yang dilakukan oleh wanita karier sebab suami wafat.

c. Elastisitas hukum Islam terhadap praktik ihda>d wanita kerier sebab suami wafat.

2. Batasan Masalah

Dengan adanya suatu permasalahan di atas, maka untuk memberikan arah yang jelas dalam penelitian ini penulis membatasi pada masalah-masalah berikut ini:

a. Deskripsi terhadap praktik ihda>d yang dilakukan oleh wanita karier selama menjalani ‘iddah wafat.

b. Tinjauan hukum Islam terhadap praktik ihda>d yang dilakukan oleh wanita karier yang masih berkewajiban menjalankan ‘iddah wafat.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, penulis menarik permasalahan yang akan diteliti dalam skripsi ini, yaitu:

1. Bagaimana deskripsi praktik ihda>d pada wanita karier di Desa Kaliayar Kabupaten Nganjuk dalam masa ‘iddah wafat?


(19)

10

2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap praktik ihda>d pada wanita karier di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk dalam masa ‘iddah wafat?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka pada penelitian ini pada dasarnya adalah untuk mendapatkan gambaran hubungan topik yang akan diteliti dengan penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, sehingga diharapkan tidak ada pengulangan penelitian secara mutlak.

Topik yang akan diteliti adalah mengenai praktik ihda>d pada wanita karier yang ditinggal mati oleh suaminya di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk. Setelah menelusuri melalui kajian pustaka di perpustakaan penulis menemukan skripsi yang dapat dijadikan bahan masukan dalam penulisan penelitian ini.

Adapun penelitian (skripsi) yang membahas tentang ihda>d antara lain: 1. Skripsi Saudari Heni ‚Dilema Peraktek Ihda>d (Studi Sosiologi Hukum

Pada Masyarakat Kebayoran Lama)‛, Nim: 106043201334, 2010. Mahasiswa UIN Syarief Hidayatullah Jakarta Fakultas Syariah dan Hukum, Program Studi Peradilan Agama.

Penelitian ini, mendasarkan bagaimana tanggapan masyarakat tehadap hukum ihda>d dari segi psikologi. Bangaimana masyarakat menanggapi semua ketentuan-ketentuan yang ada dalam ihda>d, terutama pada masyarakat kebayoran lama. Hasil dari penelitian ini memberikan titik fukos pada tanggapan masyarakat secara relevan dengan wacana-wacana


(20)

11

yang berkembang selama ini terhadap diadakannya hukum ihda>d di masyarakat kebayoran lama.19

2. Skripsi Fredi Siswanto ‚Analisis Hukum Terhadap Ihda>d Bagi Perempuan Ditinjau Dari Aspek Hukum Islam dan Kesetaraan Gender‛,

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, Tahun 2014.

Hasil penelitian ini menunjukkan ihda>d bagi perempuan menurut hukum Islam bahwa kepatutan seorang perempuan dalam masa berkabung adalah dimana seorang istri harus menahan diri dengan tidak berhias diri untuk menghormati kematian suami. Ihda>d bagi perempuan dalam hukum Islam menurut gender dapat dikatakan bahwa dalam kehidupan berelasi dengan yang lain terdapat nilai tatakrama dan norma hukum yang membedakan antara laki-laki dan perempuan, dan hasil penelitian ini memberi gambaran bahwa masa berkabung itu berlaku bagi laki-laki dan perempuan.20

3. Skipsi saudara Alex Iskandar, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Syariah dan Hukum, Jurusan Perbandingan Madzhab, Tahun 2007, ‚Ihda>d Wanita Karier (Studi Pandangan Imam

Syafi’i dan Imam Abu Hanifah)‛.

Hasil dari penelitian ini adalah, penulis menggunakan kajian kepustakaan dengan cara mengumpulkan berbagai literatur buku serta didukung dengan pendekatan ushul fiqih yang dimaksudkan sebagai usaha untuk

19 Heni, "Dilema Praktek Ihdad (Studi Sosiologi Hukum Terhadap Masyarakat Islam Kebayoran Lama)" (Skripsi--UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2010), 12.

20 Fredi Siswanto, Analisis Hukum Terhadap Ihda>d Bagi Perempuan Ditinjau Dari Aspek Hukum Islam dan Kesetaraan Gender‛ (Skripsi--Universitas Bengkulu, Bengkulu, 2014), 17.


(21)

12

mendekati masalah yang diteliti berdasarkan kaidah yang sesuai dengan objek kajian. Data yang digunakan saudara Alex adalah dari berbagai literatur pustaka yang telah ditemukan untuk menggali dan memperkuat mengenai pendapat kedua tokoh mujtahid tersebut, dan mengomparasikannya agar menghasilkan perbedaan pendangan antara

Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah mengenai ihda>d wanita karier. 21

4. Skripsi saudara Ahmad Izzatul Muttaqin Albadri Anugrah Jaya Sampoerna, ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap ‘Iddah Cerai Mati Perempuan Karier‛, Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya, Jurusan Hukum Perdata Islam, Tahun 2014.

Dalam penelitian karya ilmiyah ini, penulis lebih menekan pada aspek

hukum Islam dan pendapat para ulama’ dengan teori ushul fiqh yang

mana membolehkan perempuan karier bekerja keluar rumah yang masih dalam masa ‘iddah.22

5. Skripsi saudara Ahmad Fahru, ‚Iddah dan Ihda>d Wanita Karier

(Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif)‛, Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, Program studi Hukum Keluarga, Tahun 2015.

Hasil penelitian ini menggambarkan tentang bagaimana penerapan hukum yang digambarkan al-Qur’an dan hadits serta hukum dalam KHI

dalam menyikapi konsep ‘iddah dan ihda>d wanita karier. Pembahasan

21

Alex Iskandar, ‚Ihda>d Wanita Karier (Studi Pandangan Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah)‛ (Skripsi--UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2007), 12.

22

Ahmad Izzatul Muttaqin Albadri Anugrah Jaya Sampoerna, ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap ‘Iddah Cerai Mati Perempuan Karier‛ (Skripsi--UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2014), 10.


(22)

13

dalam penelitian ini berusaha menguak semua yang berkaitan dengan kebebasan wanita dalam melakukan kegiatan diluar rumah namun dibatasi dengan peraturan agama. Penulis menggunakan metode kepustakaan atau library research yaitu dengan cara membaca dan mempelajari buku-buku yang mempunyai kaitan dengan masalah tersebut dan menjelaskan pandangan hukum positif dan hukum Islam tentang masalah ‘iddah dan ihda>d wanita karier.23

Dari kenyataan yang penulis ungkapkan diatas, maka terlihat perbedaan permasalahan yang ditulis oleh penulis mengenai ihda>d. Disini yang diteliti oleh penulis adalah masalah praktik-praktik yang tampak melanggar ihda>d wanita karier yang ditinggal mati oleh suaminya, praktik yang tampak melanggar ihda>d ini dilakukan karena tuntutan pekerjaan yang mana untuk menopang hidupnya.

Subjek peneliti disini adalah seorang wanita kerier yang bekerja pada sebuah instansi perbankan yang diharuskan berpenampilan menarik dan bersolek sedangkan wanita tersebut masih dalam masa ‘iddah 4 bulan 10 hari akibat ditinggal mati oleh suaminya dan masih dalam kewajiban ihda>d dimana wanita tersebut masih dalam masa berduka atau berkabung serta masih dalam masa dimana wanita tersebut diharuskan untuk meninggalkan bersolek, memakai harum-haruman yang berkaitan dengan anggota badan. Selain itu, sebagai perbandingan subjek penelitian mengenai praktik ihda>d yang dilakukan oleh wanita karier, penulis juga mengambil sampel

23

Ahmad fahru, ‚Iddah dan Ihdad Wanita Karier (Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif)‛ (Skripsi--UIN Syarief Hidayatullah, Jakarta, 2015), 15.


(23)

14

wanita yang berkarier di bidang pendidikan yang juga mengalami kewajiban ihda>d wafat namun kondisi kehidupannya tidak seberat wanita karier dalam bidang perbankan.

Penulis memberikan sudut pandang yang berbeda, penulis lebih menekan terhadap aspek Hukum Islam dan menganalisa menggunakan teori ilmu fiqih dan dipertajam dengan prinsip-prinsip Maqa>shid al-Shari>’ah yang membolehkan wanita karier tersebut keluar rumah untuk bekerja setelah kematian suaminya dan meninggalkan ihda>d.

E. Tujuan Penelitian

Setelah melihat dari rumusan masalah di atas maka tujuan diadakannya penelitian ini yaitu:

1. Untuk mendeskripsikan praktik ihda>d pada wanita karier di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk dalam masa ‘iddah wafat.

2. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap praktik ihda>d pada wanita karier di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk dalam masa iddah wafat.

F. Kegunaan Hasil Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan mampu memperkaya khazanah pemikiran Islam dalam menjelaskan praktik ihda>d


(24)

15

pada wanita karier yang ditinggal mati oleh suaminya dalam persepektif hukum Islam.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi ilmu pengetahuan dan dalam ranah pemikiran Islam pada umumnya, serta bermanfaat bagi studi hukum perkawinan Islam tentang praktik ihda>d pada wanita karier yang ditinggal mati oleh suaminya dan problematikanya.

G. Definisi Operasional

Untuk mempermudah pemahaman terhadap istilah kunci dalam penelitian ini, maka disini dijelaskan maknanya sebagai berikut:

1. Hukum Islam yang dimaksud dalam penelitian ini adalah aturan yang mengatur perilaku mukallaf, dan sumber hukum yang digunakan untuk menganalisis problematika kehidupan wanita karier yaitu berdasarkan

al-Qur’an dan Hadits serta pendapat-pendapat para ulama juga teori-teori Maqa>shid al-Shari>’ah yang berkenaan dengan praktik ihda>d pada wanita karier yang ditinggal mati oleh suaminya.

2. Ihda>d adalah masa berkabung yang diwajibkan atas seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dengan tujuan untuk menyatakan dukanya karena ditinggal wafat oleh suaminya dengan meninggalkan berhias, meninggalkan memakai parfum, tidak bercelak mata dan tidak keluar rumah.


(25)

16

3. Wanita Karier yang dimaksud dalam penelitian ini adalah wanita yang mempunyai kesibukan diluar rumah untuk menekuni satu atau beberapa pekerjaan yang dilandasi oleh keahlian tertentu yang dimilikinya untuk mencapai suatu kemajuan dalam hidup, pekerjaan, atau jabatan.

H. Metode Penelitian

Studi penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research), yang bersifat kualitatif. Di dalam menganalisa data, penulis menggunakan teknik deskriptif-deduktif yaitu dengan mendeskripsikan secara jelas tentang praktik ihda>d pada wanita karier kemudian dianalisis dengan cara berfikir deduktif yaitu dengan mengemukakan dalil umum tentang ihda>d lalu diikuti dengan pendekatan normatif yang dilandaskan pada analisis hukum Islam menggunakan teori Maqa>shid al-Shari>’ah sebagai pijakannya. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Data yang dikumpulkan meliputi:

a. Ketentuan atau aturan dalam ihda>d seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya yang ditinjau dari hukum islam.

b. Praktik yang namapak melanggar ketentuan ihda>d yang dilakukan oleh wanita karier yang ditinggal mati oleh suaminya.

2. Sumber Data

Sumber yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


(26)

17

1) 2 Orang Responden wanita karier yang ditinggal mati oleh suaminya, bertempat tinggal di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk.

2) Al-Qur’an dan terjemahnya, Falsafah Hukum Islam, Konsep

Maqashid Syari’ah, Kitab Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu,

Kompilasi Hukum Islam, Kitab Hadits Shahih Muslim dan Kaidah Fiqhiyah.

b. Sumber Sekunder, merupakan bahan-bahan yang mengikat dalam pembahasan kitab-kitab fiqih di antaranya, I’a>nah al tha>libi>n, Fathul Wahha>b dan buku-buku Maqa>shid al-Shari>’ah yang berkaitan dengan ketentuan ihda>d wanita yang ditinggal mati oleh suaminya.

c. Reverensi internet. 3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan cara yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data yang memenuhi standart data yang ditetapkan.24

a. Wawancara: wawancara digunakan untuk menemukan data tentang wanita karier yang dihadapkan pada ketentuan agama setelah kematian suaminya yaitu masa‘iddah cerai wafat dan kewajiban ihda>d. Dalam wawancara ini, dilakukan dengan bertemu langsung dengan ke dua responden yang tetap bekerja di luar rumah yang

24 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Cet. 8 (Bandung: Alfabeta, 2009), 224.


(27)

18

masih dalam masa ‘iddah dan kewajiban ihda>d wafat dengan tetap bekerja, bersolek dan berinteraksi dengan lawan jenis.

b. Observasi: metode ini peneliti gunakan untuk menghimpun data penelitian berupa pengamatan langsung kehidupan wanita karier setelah ditinggal mati oleh suaminya.

c. Tela’ah atau dokumenter: metode ini digunakan penulis untuk

membaca dan mengklarifikasi serta menguji kebenaran yang ada terhadap tulisan yang ada dalam buku.

4. Teknik Pengolahan Data

Setelah semua data yang diperlukan terkumpul, maka teknik pengolahan data yang penulis lakukan yaitu:

a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali terhadap data-data yang diperoleh.25 Setelah data terkumpul, maka kegiatan selanjutnya adalah memeriksa kembali mengenai kelengkapan dan kejelasan data tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh wanita karier selama berada dalam masa ihda>d.

b. Organizing, yaitu kegiatan mengatur dan menyusun bagian-bagian sehingga seluruhnya menjadi satu kesatuan yang teratur. Kegiatan ini dilakukan untuk menyusun data dengan sistematis untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang praktik-praktik yang tampak melanggar ihda>d yang dilakukan oleh wanita karier selama


(28)

19

berada dalam masa ‘iddah yang tinggal di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk.

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang dipakai untuk menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber26 dengan metode deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis adalah memaparkan data tentang wanita karier sesuai dengan keadaannya, lalu dianalisis dengan hukum Islam menggunakan metode Maqa>shid al-Shari>’ah, yaitu teori ketentuan ihda>d wanita yang ditinggal mati oleh suaminya.

I. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan dipaparkan dengan tujuan untuk memudahkan pembahasan masalah-masalah dalam penelitian ini. Dalam menyusun penulisan skripsi ini, penulis membagi pembahasan ke dalam beberapa bab berikut:

Bab Pertama, bab ini memuat Pendahuluan yang meliputi Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Identifikasi dan Batasan Masalah, Kajian Pustaka, Tujuan Penelitian, Kegunaan Hasil Penelitian, Definisi Operasional, Metode Penelitian, dan Sistematika Pembahasan.

Bab Kedua, sebagai Landasan Teori umum yang menjelaskan pengertian, teori-teori, macam-macam dan tujuan kewajiban ihda>d wafat serta tinjauan hukum Maqa>shid al-Shari>’ah.


(29)

20

Bab ketiga adalah penjelasan tentang deskripsi praktik ihda>d pada kedua responden yaitu wanita karier yang tinggal di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk meliputi kelengkapan biografi dan latar belakang hiruk pikuk kehidupan dan liku pekerjaannya, serta data dari responden yang dihimpun dalam wawancara.

Bab keempat adalah Analisis. Bab ini memuat tentang analisa terhadap temuan yang terdapat dalam bab tiga mengenai wanita karier yang tampak melanggar ketentuan ihda>d dengan teori hukum Islam yang ada dalam bab dua.

Bab kelima adalah Penutup berupa kesimpulan dan saran. Kesimpulan ini berisi jawaban dari pokok masalah yang ada pada bab pertama yang selanjutnya penulis memberikan sumbang saran sebagai refleksi terhadap realita yang terjadi saat ini.


(30)

BAB II

KETENTUAN HUKUM ISLAM TENTANG IHDA<D BAGI WANITA YANG DITINGGAL MATI SUAMI

A. Ihda>d Dalam Hukum Islam 1. Pengertian Ihda>d

Ihda>d secara etimologi adalah menahan atau menjauhi. Secara

definitif, sebagaimana tersebut dalam beberapa kitab fikih, adalah ‚menjauhi

sesuatu yang dapat menggoda laki-laki kepadanya selama menjalani masa

‘iddah‛. Pembicaraan di sini menyangkut: untuk siapa dia berbuat, kenapa dia berbuat, apa yang tidak boleh diperbuat dan hukum berbuat.1

Adapun mengenai untuk siapa, atau atas dasar apa seseorang melakukan ihda>d, hampir semua ulama berpendapat bahwa ihda>d hanya dilakukan untuk suami yang menikahinya dengan nikah yang sah dan yang meninggal dalam masa perkawinannya dan tidak berlaku untuk lainnya. Masa berkabung (ihda>d) bagi perempuan yang diatur oleh syari’at.

Sebagaimana yang dikutip oleh Tihami dan Sahrani, ihda>d berasal dari kata ahadda>, dan kadang-kadang bisa juga disebut al-hida>d yang diambil dari kata hadda>. Secara etimologis (lughawi) ihda>d berarti al-man’u (cegahan atau larangan). Berbeda dengan Abdul Mujieb yang menjelaskan dengan gamblang bahwa ihda>d adalah masa berkabung bagi seorang isteri yang ditinggal mati suaminya. Masa tersebut adalah empat bulan sepuluh hari

1

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antar Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2007), 320.


(31)

22

disertai dengan larangan-larangannya, antara lain: bercelak mata, berhias diri, keluar rumah, kecuali dalam keadaan terpaksa.2

Definisi ih}da>d menurut Imam Hanafi yang dikutip Wahbah Zuhaili adalah menjahuinya seorang perempuan dari memakai harum-haruman, memakai celak, berhias, tidak boleh menyisir rambutnya dan lainnya. Imam Maliki mendefinisikan ih}da>d yang juga dikutip Wahbah Zuhaili adalah meninggalkan semua hiasan termasuk juga cincin, yang dibuat berhias oleh seorang perempuan seperti minter, celak wangi-wangian dan baju yang di warnai. Sedangkan Imam Ahmad Bin Hanbal mendefinisikan ih}da>d adalah seorang perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya untuk menjahui berhias diri baik dari pakaian maupun dari wangi-wangian.3

Selanjutnya, sebagaimana definisi pendapat para ulama madzhab diatas, Wahbah Zuhaili menegaskan bahwa maksud meninggalkan harum-haruman, perhiasan, celak mata, dan minyak wangi adalah yang berkaitan dengan anggota badan wanita. Oleh karena itu, wanita yang sedang dalam keadaan ih}da>d tidak dilarang memperindah tempat tidur, karpet, dan alat rumah tangga lainnya ia juga tidak dilarang duduk diatas kain sutra.4

Jika dilihat arti kata berhias dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka berhias itu adalah memperelok diri dengan pakaian dan sebagainya yang indah-indah atau bisa juga diartikan dengan berdandan. Sedangkan

2 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Press, 2009), 342.

3

Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu Jilid VII, Diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Katani (Jakarta: Gema Insani, 1985), 659.

4


(32)

23

berdandan itu asal kata dari dandan yang memiliki dua arti yaitu pertama, mengenakan pakaian dan perhiasan serta alat-alat rias. Kedua, memperbaiki, atau menjadikan baik (rapi).5

Lebih mendalam Abdul Rahman Ghozali menjelaskan bahwa masa tersebut adalah 4 bulan 10 hari, dengan larangan-larangannya, antara lain: bercelakmata, berhias diri, keluar rumah kecuali dengan keadaan terpaksa‛.6 Dari pendapat diatas jika dilihat dengan teliti mendekati pengertian yang diungkapkan oleh Ali al-Salusi seorang guru besar Universitas Qatar

dalam bukunya Mausu’ah alqadzaya al-fiqhiyyah halaman 72, bahwa ihda>d secara etimologi adalah mencegah, dan diantara pencegahan tersebut adalah pencegahan seorang perempuan dari bersolek.7

Yang dimaksud dengan ihda>d (masa berkabung) adalah masa dimana seseorang harus memiliki rasa, yaitu: mempersiapkan, menata mental, dan menambah kesabaran bagi orang yang ditinggal. Dimana tiga poin di sini adalah merupakan tawaran hukum agar seseorang melakukan hal yang sesuai dengan dasar syari’at.8

Sedangkan ihda>d (berkabung), menurut Ibnu Katsir adalah :

‚berkabung itu suatu ungkapan, yang intinya ialah: tidak berhias dengan

wangi-wangian dan tidak memakai pakaian dan perhiasan yang bisa menarik

5 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Cet. Ke-7, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), 348.

6 Abdul Rohman Ghozali, Fikih Munakahat (Jakarta: Kencana, 2008), 302.

7 Ali al-Salusi (guru besar kulliyyah al-Syari’ah wa al-Ushul Universitas Qatar), Mausu’ah alqadzaya al-Fiqhiyyah al-Mu’asharah, al-Maktabah al-Syamilah Juz II Cetakat ke VII (Maktabah: Dar al-Qur’an Qatar, t.p, 2002), 72.

8 Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Lengkap (Jakarta: Rajawali Press, 2009), 153.


(33)

24

laki-laki‛. Dan berkabung ini wajib atas perempuan yang mengalami musibah kematian seorang suami.9

Para fuqaha’ berbeda pendapat bahwa wanita yang sedang berihda>d dilarang memakai semua perhiasan yang dapat menarik perhatian laki-laki kepadanya. Seperti perhiasan, intan dan celak, kecuali hal-hal yang dianggap bukan sebagai perhiasan. Dan dilarang pula memakai pakaian yang celup dengan warna, kecuali warna hitam.10

Beberapa definisi diatas, redaksinya tampak berbeda, namun isinya tetaplah sama, yaitu tidak bolehnya memakai perhiasan, bersolek dan hal-hal yang lain yang menimbulkan syahwat dan gairah kaum laki-laki, bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya.

2. Dalil Disyariatkannya Ihda>d

Seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya wajib menjalankan kewajiban ihda>d sebagai tanda bela sungkawa atas kepergian suami selama empat bulan sepuluh hari, demikian pendapat mayoritas ulama. Adapun landasan hukum disyariatkannya ihda>d adalah sebagai berikut :

1. QS. Al-baqarah ayat 234

َ ّف يَ ي ّلا

َّ جأَ غ بَا ِإفَا شع َ شأَ عب أَّ ِ ِسُ ِبَ صّب يَاجا أَ

ي َمُك م

رِخَ ُ عتَا ِبَ ّلا َف ع ْلاِبَّ ِ ِسُ أَيفَ ْعفَا يفَمُكي عَحا جَاف

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber‘iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa

9 Ammal Hamidy dan Imron A. Manan, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni (Surabaya: Jl. Rungkut Industri, 2003), 306.

10

Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, Edisi Pertama, Cet Ke 3 (Jakarta: Kencana, 2008), 304.


(34)

25

bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.11

2. Dasar dari kewajiban berkabung untuk suami yang meninggal dunia adalah hadits Nabi Muhammad saw. yang berbunyi:

َ أ ماَ َاجَُ ُقتَ

َ ُأَتع َب ي َتلاق

َم َ ي عَ لاَى صَ لاَِ

َىلِإ

َ اقفَا ُحْك فأَا يعَتك شاَ ق َا ج َا عَيف تَي باَ ِإَ لاَ

َايَتلاقف

َُ

ا ثَ أَِ يت مَالَم َ ي عَ لاَى صَ لا

َ لاَى صَ لاَُ

َ اقَمُثَالَُ ُقيَكل َلُكَاًث

ْلاِبَيم تَ ي ا ْلاَيفَ ُكا حِإَت اكَ ق َ شع َ شأَُعب أَي َا ِإَم َ ي ع

َى عَ ع

ي لَتُْقفَ ي حَ اقَِ حْلاَِ ْأ

َب ي َتلاقفَِ حْلاَِ ْأ َى عَ ع ْلاِبَيم تَام َب

حَا يطَس تَمل َا ِبايثَ شَتسِل َاشْحَت خدَا ج َا عَيف تَا ِإَُأ ْلاَت اك

َى

ا حَ با ِبَىت تَمُثَ َا ِبَ ت

َ

َمُثَ امَالِإَعيشِبَض ْتَا قفَ ِبَض ْ فَ ئاطَ أَ اشَ أ

ض ْتَامَكلامَل َ ِيغَ أَبيطَ مَ َاشَامَ عبَعِجا تَمُثَيم فًَ عبَىطع فَج ت

َ

ا ِْجَ ِبَحس تَ اقَ ِب

Zainab berkata: Aku mendengar Ummu Salamah berkata: Seorang wanita pernah datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak perempuanku ditinggal mati oleh suaminya, sementara matanya juga terasa perih. Bolehkah ia bercelak?" Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Tidak." Beliau mengulanginya dua atau tiga kali. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Masa berkabungnya adalah empat bulan sepuluh hari. Sesungguhnya pada masa jahiliyah dulu, salah seorang dari kalian melempar kotoran setelah satu tahun." Humaid berkata; Aku bertanya kepada Zainab, "Apa maksud dari pernyataan bahwa, ia melempar kotoran setelah setahun?" Zainab menjawab, "Maksudnya, bila seorang wanita ditinggal mati oleh suaminya, ia masuk ke dalam gubuk, dan memakai pakaian yang paling lusuh miliknya. Ia tidak boleh menyentuh wewangian hingga berlalu satu tahun. Kemudian keledai, kambing atau sebangsa burung didatangkan kepada wanita itu agar ia mengusap kulitnya. Dan amat jarang ia mengusap suatu pun kecuali sesuatu itu akan mati. Setelah itu, ia keluar lalu diberi kotoran hewan dan ia lemparkan, setelah itu ia bebas menyentuh kembali sekehendaknya berupa wewangian atau pun yang lainnya." Malik ditanya,

11 Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro 2010), 38.


(35)

26

"Apa makna Tanfadldlu bihi?" Ia menjawab, "Yaitu, mengusap kulitnya dengannya."12

3. Dasar berihda>d untuk wanita yang ditinggal mati oleh suami dan larangannya dalam bersolek adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Athiyah (Sahabat Nabi), beliau berkata :

َُلح ْك َا َا شع َ شاَ عب ََج َى عَاِإَ اثَ فَتِيمَى عَ ح َْ أَى َا ُك

َا ِإَِ طلاَ عَا لَصخ َ ق َ.َبصعَاب ثَاإَاع صمَاب ثَس ْ َا َبيط َا

ع

. ا ْظأ َطسُقَ مَ َيفَا ضيحمَ مَا ا حِإَت س

Kami dicegah oleh Nabi Muhammad saw untuk berkabung untuk kematian seseorang lebih dari tiga hari melainkan kepada suami. Wajib berkabung untuk kematian suami selama empat bulan 10 hari. Selama itu kami tidak boleh bercelak, tidak memakai minyak wangi, tidak boleh

pakai pakaian yang dicelup dengan warna melainkan pakaian ‘as}ab

(sejenis kain dari yaman). Kami telah dibenarkan untuk meletakkan secalit wangian setanggi qust} dan az}fa>r setelah kami mandi wajib selepas habis keluar darah haid. (HR. Muslim)13.

4. KHI (Kompilasi Hukum Islam) Bab XIX Pasal 170 ayat (1) juga

menjelaskan tentang masa berkabung dimana ‚isteri yang ditinggal mati

oleh suaminya, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa ‘iddah

sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah.14

3. Hal-hal yang Diperbolehkan dan Larangan dalam Pelaksanaan Ihda>d

12

Muhammad bin Ismail Al-Kahlami, Terjemah Subulus Salam, (Bandung: Pustaka Belajar, 2009), 202.

13 Syekh Faishol Ibnu Abdul Aziz Almubarok, Terjemah Nailul Authar Jilid 5, Diterjemahkan oleh Mu’ammal Hamidy (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993), 2422.


(36)

27

Sebagaimana telah dipaparkan dalam uraian sebelumnya, bahwa hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh wanita yang ditinggal mati oleh suaminya selama menjalani ihda>d dalam masa ‘iddah, secara umum bisa dikatakan yaitu dilarang memakai dari segala bentuk yang sekiranya menarik

perhatian dari lawan jenis. Menurut Imam Syafi’i perhiasan yang dimaksud

adalah perhiasan yang dipakai di badan. Jadi perhiasan tersebut bisa berupa kosmetik, pakaian, minyak wangi dan alat-alat aksesoris yang lainnya. Para fuqaha’ berpendapat bahwa wanita yang sedang ber-ihda>d dilarang memakai semua perhiasan yang menarik perhatian kaum laki-laki padanya, seperti perhiasan intan dan celak. Kecuali hal-hal yang dianggap bukan sebagai perhiasan dan dilarang memakai pakaian yang dicelup dengan warna, kecuali warna hitam. Karena Imam Malik tidak memakruhkan memakai pakaian berwarna hitam bagi wanita yang sedang ber-ihda>d. Mereka semua memberikan kemudahan (rukhshah) dan membolehkan pemakaian celak karena terpaksa.15

Wahbah Az-Zuhaily menjelaskan bahwa wanita yang telah ditinggal mati oleh suaminya wajib menjalankan ihda>d, dan selama menjalaninya ia dilarang memakai harum-haruman (minyak wangi), perhiasan, celak mata, dan hal-hal yang berkaitan dengan anggota badan. Namun wanita yang sedang menjalani ihda>d boleh memperindah dan menghias tempat tidurnya,

15 Muhammad Jawwad Muhgniyah, Fiqih Lima Mazhab , Diterjemahkan oleh Masykur A.B (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1996), 471.


(37)

28

karpet, gorden, dan alat-alat rumah tangga yang lainnya. Ia juga tidak dilarang duduk di atas kain sutera.16

Menurut Imam Syafi’i ia membolehkan wanita yang sedang berihda>d meminyaki tubuhnya dengan minyak yang tidak harum, sebagaimana yang dilakukan orang ihram, meskipun wanita yang berkabung itu pada sebagian urusannya berbeda dengan orang yang sedang ihram. Sebab hal itu dilakukan bukan pada anggota badan tempatnya berhias dan minyak yang digunakan bukan minyak wangi yang dapat menarik hati kaum laki-laki.

Wanita yang sedang menjalani kewajiban ihda>d karena ditinggal mati oleh suami juga dilarang untuk memakai inai dan semua jenis cat dan sepuh. Berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah, bahwa Nabi SAW melarang perempuan yang sedang menjalani masa ‘iddah untuk memakai sepuh. Selaian cat atau sepuh wanita yang sedang ber-ihda>d dilarang untuk memakai pakaian yang diberikan wangi-wangian dengan disepuh warna merah dan kuning. Hal ini merujuk pada hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah dari Nabi saw, beliau bersabda:

َا عَىف ْلا

َ،بعس تَا َ،ي حْلاا َ،ُقِش مَا َ،ِ اي لاَ مَفِسع ْلاَسِْتَاَا ج

َا

.ُلح ْكت

‚Perempuan yang suaminya meninggal dunia hendaknya tidak mengenakan

pakaian yang diberi warna kuning, juga pakaian yang telah disepuh dengan

tanah merah, juga perhiasan, juga tidak menggunakan sepuh dan celak‛.17

4. Macam-macam Ihda>d

16 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu Jilid IX, Diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Katani (Jakarta: Gema Insani, 2007), 563.

17

Syekh Faishol Ibnu Abdul Aziz Almubarok, Terjemah Nailul Authar Jilid 6, Diterjemahkan oleh Mu’ammal Hamidy (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993), 296.


(38)

29

Ihda>d sangat berkaitan erat dengan masa ‘iddah, karena kewajiban ihda>d ada di dalam sepanjang masa ‘iddah pada seorang wanita. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan seorang wanita menjalani ihda>d adalah sebagai berikut:

1. Ihda>d Bagi Wanita yang Ditinggal Mati oleh Suami

Para ulama Madzhab kecuali Imam Hasan al Bashri telah sepakat bahwa ihda>d bagi wanita muslimah yang ditinggal mati oleh suaminya adalah wajib hukumnya. Para fuqaha telah sepakat atas diwajibkannya masa berkabung bagi perempuan yang suaminya meninggal dunia.18 Berdasarkan hadits yang telah diriwayatkan oleh Ummu Habibah r.a manakala diberitahukan perihal kematian bapaknya yaitu Abu Sufyan dan menunggunya selama tiga hari. Kemuadian dia meminta wewangian. Dia

berkata ‚Demi Allah, aku tidak memerlukan wewangian, hanya saja aku mendengar Rasulullah saw berkata diatas mimbar :

أَج َى عَالِإَ ا ثَ فَتِيمَى عَ حتَِخ ْلاَِ يْلا َ لاِبَ م تَ أ مالَلحيَال

َ شأَ عب

ا شع

Tidak halal bagi perempuan yang beriman kepada Allah dan hari kiamat untuk berkabung atas kematian seorang yang melebihi tiga hari, kecuali atas kematian suaminya yaitu empat bulan sepuluh hari.19

Di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 170 ayat (1) disebutkan

bahwa ‚isteri yang ditinggal mati oleh suaminya, wajib menjalankan masa

berkabung selama masa ‘iddah sebagai tanda berduka cita dan sekaligus

18

Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu Jilid IX, Diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Katani (Jakarta: Gema Insani, 2007), 564.


(39)

30

menjaga timbulnya fitnah‛.20 Sedangkan di masa iddah bagi istri yang

ditinggal mati oleh suaminya dijelaskan di dalam QS. Al-baqarah ayat 234 :

ا شع َ شأَ عب أَّ ِ ِسُ ِبَ صّب يَاجا أَ

ي َمُك مَ ّف يَ ي ّلا

\

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan

isteri-isteri (hendaklah Para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.21

Dan firman Allah yang lain dalam QS. At-Thalaq : 4

ّ تّ عفَم ت اَ ِإَمُكئاسَِ مَِضيح ْلاَ مَ س يَيئالا

َ

َ ضحيَملَيئالا َ شأَُثاث

ا سيَ ِمأَ مَ لَْلع يَ ّلاَِ ّيَ م َّ حَ عضيَْ أَّ ُجأَِ ا حأاَ ا ُأ

‚Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya) maka ‘iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan-perempuan-perempuan yang hamil, waktu

‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya

kemudahan dalam urusannya‛.22

Jadi, untuk mengetahui lamanya menjalankan ihda>d (berkabung) wanita yang ditinggal mati oleh suaminya maka harus diketahui lebih dulu wanita itu sedang mengandung atau tidak, kareana wanita itu wajib menjalankan ihda>d selama masa ‘iddah.

2. Ihda>d Bagi Wanita yang Di Talaq Ba>’in

Para ulama’ membedakan antara talaq raj’i dan talaq ba’in, sebab wanita yang di talaq ba’in oleh suami khususnya talaq ba’in kubro maka baginya haram untuk bisa rujuk kembali kecuali isteri yang telah di talaq ba’in tersebut telah kawin dengan orang lain dan ba’dha dukhul. Posisi

20

Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2013), 51.

21 Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro 2010), 38.


(40)

31

wanita yang mengalami hal seperti ini hampir sama dengan wanita yang ditinggal mati oleh suaminya. Sama dalam arti keduanya sama-sama tidak bisa berkumpul dengan suaminya dan bedanya jika wanita yang ditinggal mati oleh suaminya tersebut dia tidak bisa berkumpul dan menatap wajah suaminya untuk selama-lamanya. Sedangkan bagi wanita yang di talaq ba’in kubro ia masih bisa bertemu dengan mantan suaminya dan masih ada harapan untuk berkumpul dengan mantan suaminya asalkan memenuhi syarat yang ditentukan.

Madzhab Hanafi mewajibkan masa berkabung bagi istri yang di talaq ba’in oleh suami, karena ini adalah hak syariat, juga untuk menunjukkan rasa sedihnya atas hilangnya nikmat perkawinan, seperti halnya wanita yang ditinggal mati oleh suaminya.23

Jumhur fuqaha tidak mewajibkan masa berkabung kepada perempuan yang di talaq ba’in kubro oleh suaminya, mereka hanya mensunahkannya saja karena suaminya telah menganiaya dengan talak ba’in, maka tidak lazim baginya untuk menunjukkan rasa sedih dan menyesal atas perpisahan dengannya. Karena dia menjalani masa ‘iddah dari talaq, maka ia seperti wanita yang di talaq raj’i. Hanya saja disunahkan baginya untuk berkabung agar jangan sampai bersolek membawa pada kerusakan.

Secara tegas Imam Malik mengatakan bahwa tidak ada ihda>d kecuali pada kematian suami. Bertolak belakang dengan Imam Malik, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa wajib hukumnya menjalankan ihda>d pada masa

23

Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu Jilid IX, Diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Katani (Jakarta: Gema Insani, 2007), 565.


(41)

32

menjalani masa ‘iddah yang disebabkan oleh talaq ba’in. Sedangkan menurut

Imam Syafi’i mengatakan, ‚Saya lebih menyukai wanita yang di talaq ba’in melakukan ihda>d sebagaimana ihda>d wanita yang ditinggal mati oleh suaminya. Ihda>d itu dilakukan selama masa ‘iddah talaq. Pendapat ini

merupakan pendapat para tabi’in, dan saya memperoleh keterangan dari

mereka tentang kewajiban ihda>d atas wanita yang di talaq ba’in, karena keadaan wanita yang di talak ba’in dan wanita yang ditinggal mati oleh suaminya itu berbeda walaupun dalam beberapa hal ada persamaannya. Jadi

Imam Syafi’i tidak mewajibkan wanita yang ditalak bain itu menjalani ihda>d, namun ia menganggap baik bagi yang mengerjakannya.24

3. Ihda>d Bagi Wanita yang Ditinggal Mati oleh Keluarga Dekatnya

Disamping masalah ihda>d bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dan wanita yang di talaq ba’in, ulama juga membahas tentang ihda>d bagi wanita yang ditinggal mati oleh keluarga dekatnya. Menurut Sayyid Sabiq, seorang wanita boleh menjalani ihda>d karena kematian keluarga dekatnya selama tiga hari dan haram bila lebih dari tiga hari. Akan tetapi ada syarat bagi wanita tersebut, yaitu harus mendapatkan izin dari suaminya, bila ternyata suaminya tidak mengizinkan maka ihda>d tidak boleh dilakukan.25

Sedangkan Wahbah az-Zuhaili secara tegas mengatakan, ‚seorang

suami berhak melarang istrinya melakukan ihda>d atas kematian keluarga

24

Ibnu Rusyid, Bidayatul Mujtahid Jilid II Diterjemahkan Oleh M. Abdurrahman dan Haris Abdullah (Semarang: Asy-Syifa’, 1990), 345.


(42)

33

dekatnya (ayah, ibu dan saudara), karena berhias dan bersolek bagi seorang istri adalah hak suami.26

Dasar yang digunakan oleh Sayyid sabiq dan Wahbah Alzuhaili tentang kebolehan bagi seorang wanita untuk menjalankan kewajiban ihda>d selama 3 hari atas kematian keluarga dekatnya adalah hadits yang berbunyi:

َِ يْلا َ لاِبَ م تَ أ مالَلحيَال

َ شأَ عب أَج َى عَالِإَ ا ثَ فَتِيمَى عَ حتَِخ ْلا

ا شع

"Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir melakukan ihdad (berkabung dengan meninggalkan berhias) terhadap mayyit melebihi tiga hari, kecuali kematian suaminya yaitu empat bulan sepuluh hari."27

5. Hikmah Ihda>d

Hikmah dan rahasia syariat ihda>d bagi wanita yang ditinggal mati oleh suami adalah sebagai berikut:

1. Memberi alokasi waktu yang cukup untuk turut berduka cita atau berkabung dan sekaligus menjaga fitnah.

2. Menutup jalan bagi perempuan yang berhasrat untuk menikah atau dilamar kembali, padahal ia masih dalam ‘iddah.

3. ‘Iddah adalah masa penantian seorang perempuan untuk tidak boleh menikah setelah suaminya meninggal. Waktunya selama empat bulan sepuluh hari. Sementara itu, ihda>d adalah meninggalkan berhias, memakai wewangian, dan yang semisalnya berupa hal-hal yang bisa membuat perempuan memikat untuk menikah atau dinikahi sebagaimana

26 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu Jilid IX, Diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Katani (Jakarta: Gema Insani, 2007), 659.

27


(43)

34

yang telah diterangkan, sedang dalil pensyariatan ihda>d berasal dari sunnah Nabi sebagaimana yang telah disebutkan. Jadi, ‘iddah adalah masa penantian, sedang ihda>d adalah aturan dalam masa penantian itu. Oleh karena itu, dengan keberadaan syariat ihda>d ini, tampaklah penekanan akan besarnya dosa dan larangan terhadap seorang perempuan untuk melakukan akad nikah pada masa itu.

4. Penjagaan terhadap hak suaminya yang meninggal dan penghargaan terhadap kebersamaan yang dia kenang bersama suaminya.

5. Memuliakan anggota keluarga suami dan menjaga perasaan mereka dan untuk memelihara keharmonisan hubungan keluarga suami yang meninggal dengan pihak isteri yang ditinggalkan dan keluarga besarnya.28

6. Kesedihan terhadap hilangnya nikmat nikah, yang mengumpulkan antara kebaikan dunia dan akhirat yang pernah dia jalani. Pernikahan merupakan nikmat besar bagi istri, karena sang suami melindungi, mengasihi, memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal. Maka ketika ditinggal mati oleh suami, istri wajib menunjukkan rasa sedih atas nikmat.29

7. Ihda>d juga untuk menampakkan kesedihan dan kedukaan atas kematian suaminya, dan ukuran untuk bersedih karena yang lainnya. Selain cerai mati, maka talak dalam bentuk apapun tidak membutuhkan adanya

28

Fatwa Majelis Ulama Indonesia ( Jakarta: MUI, 1996), 64.

29

Syeikh Ali Ahmad Jurjawi, Falsafah dan Hikmah Hukum Islam (Semarang: CV Adhi Grafika, 1992), 324.


(44)

35

ihda>d. Hal ini sesuai dengan wanita-wanita yang hidup pada masa Nabi dan Khulafa el-Rasyid>in tidak pernah melakukan ihda>d selain cerai mati.30

8. Sebagai penyempurna dan konsekuensi ‘iddah.

Menurut Wahbah Zuhaili bahwa ihda>d merupakan hak syar’i dan merupakan ungkapan atau manifestasi rasa duka cita karena hilangnya karunia Allah. Dalam bentuk perkawinan sehingga ia tidak mungkin lagi berkumpul dengan bekas suaminya.31

B. Maqa>shid al-Shari>’ah Sebagai Penetapan Hukum 1. Pengertian Maqa>shid al-Shari>’ah

Maksud-maksud syari’at adalah tujuan yang menjadi target teks dan

hukum-hukum partikular untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia, baik berupa perintah, larangan dan mubah. Baik untuk individu, keluarga, jamaah dan umat.

Tujuan penetapan hukum atau yang sering dikenal dengan istilah Maqa>shid al-Shari>’ah merupakan salah satu konsep penting dalam kajian hukum Islam. Karena begitu pentingnya Maqa>shid al-Shari>’ah tersebut, para ahli teori hukum menjadikan Maqa>shid al-Shari>’ah sebagai sesuatu yang harus dipahami oleh mujtahid yang melakukan ijtihad.

30 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), 372.

31 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu Jilid VII, Diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Katani (Jakarta: Gema Insani, 1989), 7206.


(45)

36

Adapun inti dari teori Maqa>shid al-Shari>’ah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat dan menolak madharat. Istilah yang sepadan dengan inti dari Maqa>shid

al-Shari>’ah tersebut adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam harus bermuara kepada maslahat.

Secara bahasa kata syariat berasal dari ‚syara’a as-syai‛ dengan arti

menjelaskan sesuatu, atau ia diambil dari ‚asy-syir’ah‛ dan ‚asy-sha>riah‛

dengan arti tempat sumber air yang tidak pernah terputus dan orang yang datang kesana tidak memerlukan adanya alat.

Maqa>shid jamak dari kata ma>qsud yang berarti tuntutan, kesengajaan atau tujuan. Shari>’ah adalah sebuah kebijakan (hikmah) dan tercapainya perlindungan bagi setiap orang pada kehidupan dunia dan akhirat. Adapun makna Maqa>shid al-Shari>’ah secara istilah adalah al-ma’aani allati syuri’at

laha al-ahkam yang berarti nilai-nilai yang menjadi tujuan penetapan hukum. Sebagai landasan dalam berijtihad dalam rangka menetapkan hukum, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pertimbangan Maqa>shid

al-Shari>’ah menjadi suatu yang urgen bagi masalah-masalah yang tidak ditemukan hukumnya secara tegas dalam nash.32

Sedangkan secara Istilah Ibnu al-Qayyim Al Jauziyah ‚Menegaskan bahawa shari>’ah itu berdasarkan kepada hikmah-hikmah dan maslahah-maslahah untuk manusia baik di dunia maupun di akhirat. Perubahan hukum

32

Asafari Jaya Bhakti, Konsep Maqoshid Syari’ah Menurut Al-Syatibi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), 57.


(46)

37

yang berlaku berdasarkan perubahan zaman dan tempat adalah untuk menjamin syariah dapat mendatangkan kemaslahatan kepada manusia‛.33

Wahbah Zuhaily menyebutkan Maqa>shid al-Shari>’ah adalah sejumlah

makna atau sasaran yang hendak dicapai oleh syara’ dalam semua atau

sebagian besar kasus hukumnya. Atau ia adalah tujuan dari syari’at, atau

rahasia di balik pencanangan tiap-tiap hukum oleh Syar’i (pemegang otoritas

syari’at, Allah dan Rasul-Nya).34

Berdasarkan penjelasan sebelumnya maka Maqa>shid al-Shari>’ah adalah maksud dan tujuan disyariatkannya hukum Islam. Beberapa Ulama mendefinisikan Maqa>shid al-Shari>’ah sebagai berikut:

َمهايجاحَرق ت َمهاي ضَ كبَ ا لاَحاصمَ َ اكحااَ عي شتَيَ اش لَ اعلاَ صاقما

مها سح

Maqa>shid al-Shari>’ah secara Umum adalah: kemaslahatan bagi Manusia dengan memelihara kebutuhan dharuriat mereka dan menyempurnakan kebutuhan Hajiyat dan Tahsiniat mereka.

Kesimpulannya bahwa Maqa>shid al-Shari>’ah adalah konsep untuk mengetahui hikmah (nilai-nilai dan sasaran syara' yang tersurat dan tersirat dalam Al-Qur’an dan Hadits). yang ditetapkan oleh Allah ta’ala terhadap

manusia adapun tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik di dunia (dengan

Mu’amalah) maupun di akhirat (dengan ‘aqidah dan Ibadah).

33 Yusuf Al-Qardawi, Fiqih Maqa>shid al-Shari>’ah (Jakarta: Pustaka Al-Kaustar, 2007), 209.

34

Saifudin Zuhri, Ushul Fiqih Akal Sebagai Sumber Hukum Islam (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), 56.


(47)

38

Al-Sha>tiby menguraikan bahwa untuk dapat memahami Maqa>shid

al-Shari>’ah atau tujuan syariah secara sempurna, maka terlebih dahulu harus

mengetahui hakim, hukum, mahkum fih dan mahkum ‘alaih. Dalam syari’at

Islam Maqa>shid al-Shari>’ah lebih tinggi dan bersifat abadi, artinya tidak terbatas kepada bidang materil saja yang bersifat sementara karena faktor-faktor individu dan masyarakat. Dengan hukum Islam dimaksudkan adalah agar kebaikan umat manusia terwujud.

2. Syarat-syarat Maqa>shid al-Shari>’ah

Wahbah az-Zuhaili dalam bukunya menetapkan syarat-syarat Maqa>shid al-Shari>’ah. Menurutnya bahwa sesuatu baru dapat dikatakan sebagai Maqa>shid al-Shari>’ah apabila memenuhi empat syarat berikut, yaitu :

1. Harus bersifat tetap, maksudnya makna-makna yang dimaksudkan itu harus bersifat pasti atau diduga kuat mendekati kepastian.

2. Harus jelas, sehingga para fuqaha tidak akan berbeda dalam penetapan makna tersebut. Sebagai contoh, memelihara keturunan yang merupakan tujuan disyariatkannya perkawinan.

3. Harus terukur, maksudnya makna itu harus mempunyai ukuran atau batasan yang jelas yang tidak diragukan lagi. Seperti menjaga akal yang merupakan tujuan pengharaman khamr dan ukuran yang ditetapkan adalah kemabukan.

4. Berlaku umum, artinya makna itu tidak akan berbeda karena perbedaan waktu dan tempat. Seperti sifat Islam dan kemampuan untuk memberikan


(48)

39

nafkah sebagai persyaratan kafa'ah dalam perkawinan menurut mazhab Maliki.

3. Tingkatan Maqa>shid al-Shari>’ah

Kehidupan manusia, maslahat dapat dibagi menjadi tiga tingkatan, sedangkan cara untuk tercapai kemaslahatan tersebut manusia harus memenuhi kebutuhan Dharuriat (Primer), dan menyempurnakan kebutuhan Hajiyat (sekunder), dan Tahsiniat atau kamaliat (tersier).

Imam asy-Syathibi berpandangan bahwa tujuan utama dari Maqa>shid al-Shari>’ah adalah untuk menjaga dan memperjuangkan tiga kategori hukum yaitu antara lain :

1. Daruriyyat

Secara bahasa berarti kebutuhan yang mendesak atau darurat. Dalam kategori ini ada lima hal yang perlu diperhatikan, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal pikiran, memelihara kehormatan dan keturunanan, serta memelihara harta benda.

Dalam kebutuhan Daruriyyat, apabila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka akan mengancam keselamatan umat manusia di dunia maupun di akhirat.

2. Hajiyyat

Secara bahasa berarti kebutuhan-kebutuhan sekunder. Apabila kebutuhan ini tidak terwujud tidak sampai mengancam keselamatan, namun akan mengalami kesulitan. Untuk menghilangkan kesulitan tersebut, dalam Islam terdapat hukum rukhsa>h (keringanan) yaitu hukum yang dibutuhkan


(49)

40

untuk meringankan beban, sehingga hukum dapat dilaksanakan tanpa rasa tertekan dan terkekang sebagai contoh dari kepedulian syari’at Islam.

Dalam lapangan ibadat, Islam mensyariatkan beberapa hukum rukhsha>h (keringanan) bilamana kenyataannya mendapat kesulitan dalam menjalankan perintah-perintah taklif. Misalnya, Islam membolehkan tidak berpuasa bilamana dalam perjalanan dalam jarak tertentu dengan syarat diganti pada hari yang lain dan demikian juga halnya dengan orang yang sedang sakit. Kebolehan meng-qasar shalat adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan hajiyat ini.

3. Tahsiniyyat

Secara bahasa berarti hal-hal penyempurna disebut juga sebagai kebutuhan tahsiniyyat yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi dan tidak pula menimbulkan kesulitan. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat yang sesuai dengan tuntutan moral dan akhlak. Contoh jenis Maqa>shid ini adalah antara lain mencakup kesopanan dalam bertutur dan bertindak serta pengembangan kualitas produksi dan hasil pekerjaan. Jenis kemaslahatan ini lebih memberikan perhatian pada masalah estetika dan etika, masuk dalam katagori ini misalnya ajaran tentang kebersihan, berhias, shadaqah dan bantuan kemanusiaan. Kemaslahatan ini juga penting dalam rangka menyempurnakan kemaslahatan primer dan skunder.35


(50)

41

4. Lima Pokok Prinsip Maqa>shid al-Shari>’ah

1. Memelihara Agama (Hifzh al-Din)

Menjaga atau memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat dibagi menjadi tiga peringkat :

a. Memelihara agama dalam peringakat daruriyyat, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk peringkat primer, seperti melaksanakan sholat lima waktu.

b. Memelihara agama dalam peringkat hajiyyat, yaitu melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghindari kesulitan, seperti shalat jamak dan shalat qashar bagi orang yang sedang bepergian. c. Memelihara agama dalam peringkat tahsiniyyat, yaitu mengikuti

petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan terhadap Tuhan. Misalnya menutup aurat, baik di dalam maupun di luar sholat, membersihkan badan, pakaian dan tempat. Kegiatan ini erat kaitannya dengan akhlaq yang terpuji. 2. Memelihara Jiwa (Hifzh al-Nafs)

Memelihara jiwa, berdasarkan tingkat kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat :

a. Memelihara jiwa dalam peringakat daruriyyat, seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan pokok ini diabaikan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa manusia.


(51)

42

b. Memelihara jiwa dalam peringkat hajjiyat, seperti diperbolehkannya berburu binatang untuk menikmati makanan yang lezat dan halal.

c. Memelihara jiwa dalam peringkat tahsiniyyat, seperti ditetapkannya tata cara makan dan minum. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika.

3. Memelihara Akal (Hifzh al-‘Aql)

Memelihara akal dilihat dari segi kepentingannya, dapat dibagi menjadi tiga peringkat :

a. Memelihara akal dalam peringkat daruriyyat, seperti diharamkan meminum minuman keras. Jika ketentuan ini tidak diindahkan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi akal.

b. Memelihara akal dalam peringkat hajiyyat, seperti dianjurkannya menuntut ilmu pengetahuan.

c. Memelihara akal dalam peringkat tahsiniyyat, seperti menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah.

4. Memelihara Keturunan (Hifzh al-Nasl)

Memelihara keturunan, ditinjau dari segi tingkat kebutuhannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat :

a. Memelihara keturunan dalam peringkat daruriyyat, seperti disyari’atkan

menikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam.


(52)

43

b. Memelihara keturunan dalam peringakat hajiyyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada wkatu akad nikah dan diberikan hak talaq padanya.

c. Memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyyat, seperti

disyari’atkannya khitbah atau walimah dalam perkawinan. 5. Memelihara Harta (Hifz al-Mal)

Dilihat dari segi kepentingannya, memelihara harta dapat dibedakan menjadi tiga peringkat yaitu :

a. Memelihara harta dalam peringkat daruriyyat, seperti syariat tentang tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah.

b. Memelihara harta dalam peringkat hajiyyat, seperti syari’at tentang jual beli dengan cara ba’i as-salam.

c. Memelihara harta dalam peringkat tahsiniyyat, seperti ketentuan tentang menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika bermuamalah dan etika berbisnis.36

Dalam setiap tingkatan atau peringkat, seperti telah dijelaskan diatas, terdapat hal-hal atau kegiatan yang bersifat penyempurnaan terhadap

pelaksanaan tujuan syari’at Islam.

Abu Ishaq Asy-Syatibi telah merinci dan membagi tujuan hukum Islam tersebut menjadi dua yakni:37

1. Segi pembuat hukum Islam yaitu Allah dan Rasul-Nya.

36

Fathurrahman Djalil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), 128-131.

37


(53)

44

Bila dilihat dari tingkatan pertama pembuat hukum Islam, tujuan hukum Islam adalah untuk memenuhi keperluan hidup manusia yang bersifat primer, sekunder, dan tersier, yang dalam kepustakawan disebut dengan istilah daruriyyat, hajjiyat, dan tahsiniyyat. Selain itu, adalah untuk di taati dan di laksanakan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari serta meningkatkan kemampuan manusia untuk memenuhu hukum islam melalui metodologi pembentukannya (ushul fiqih).

2. Dari segi manusia yang menjadi pelaku dan pelaksana hukum Islam itu. Dan dari tingkatan ke dua sebagai pelaku hukum Islam yakni manusia sendiri, tujuan hukum islam ini adalah untuk mencapai kehidupan yang bahagia dan sejahtera. caranya yaitu mengambil yang bermanfaat dan menolak yang tidak berguna bagi kehidupan, maksudnya adalah untuk mencapai keridhaan Allah dalam kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.38

38

Mohammad Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia (Jakarta : Rajawali Press, 1991), 67.


(54)

BAB III

PRAKTIK IHDA<D WANITA KARIER DI DESA KALIANYAR KABUPATEN NGANJUK

Pada Bab III ini akan dipaparkan hasil temuan penelitian yang menggambarkan praktik-praktik baik di dunia kerja maupun di keseharian para wanita yang masih dalam masa ‘iddah. Deskripsi praktik-praktik tersebut adalah untuk melihat apakah mereka sudah melanggar ketentuan ihda>d, seperti keluar rumah, bersolek dan berinteraksi dengan lawan jenis.

Dalam bab ini fokus pada dua studi kasus. Kasus pertama adalah kasus seorang wanita bernama Bu Mawar (nama samaran) yang breprofesi sebagai teller bank yang bekerja di luar rumah dan masih dalam masa ‘iddah dan kewajiban ihda>d wafat. Kasus kedua adalah kasus Bu Yuni (nama asli) yang

berprofesi sebagai guru SMP di SMP Islam Baitul ‘Izzah dan sebagai Dosen di

IAI Pangeran Diponegoro Nganjuk yang masih berada dalam masa ‘iddah wafat, yang keduanya sama-sama tinggal di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk.

Untuk memperjelas pembahasan, pada Bab ini sistematikanya terdiri dari dua subbab. Subbab pertama tentang sekilas letak geografis Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk, subbab ke dua adalah sub bab inti, karena akan memaparkan tentang gambaran praktik-praktik keseharian responden yang tampak melanggar ketentuan ihda>d baik di keseharian mapun di dunia kerja yang masih berada dalam masa ‘iddah.


(55)

46

Bab III ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang pertama yaitu bagaimana deskripsi praktik ihda>d pada wanita karier yang ditinggal mati oleh suaminya dan keseharian responden baik di dunia kerja maupun di kehidupan sehari-hari dalam kaitannya dengan ketentuan ihda>d yang berlaku bagi wanita dalam masa ‘iddah.

A. Sekilas Tentang Letak Geografis Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk

Kabupaten Nganjuk adalah sebuah Kabupaten di Provinsi Jawa Timur. Kabupaten ini berbatasan dengan sebelah:

 Utara : Kabupaten Bojonegoro  Timur : Kabupaten Jombang

 Selatan : Kabupaten Kediri dan Kabupaten Ponorogo  Barat : Kabupaten Madiun

Pada zaman Kerajaan Medang, Nganjuk dikenal dengan nama Anjuk Ladang yaitu Tanah kemenangan. Nganjuk juga dikenal dengan julukan Kota Angin.1

Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk di Kabupaten Nganjuk sebanyak 1.017.030 dengan kurang lebih 36% penduduk tinggal di perkotaan dan sisanya 64% tinggal di pedesaan. (Sumber: Badan Pusat Statistik: Hasil sensus penduduk BPS Tahun 2012).

1

Bappeda,‚Jatimprov Kabupaten Nganjuk‛, dalam http://media.jatimprov .go.id>. upload> kab. nganjuk.html, diakses pada 12 November 2016


(1)

BAB V PENUTUP

A. Simpulan

1. Praktik-praktik yang tampak melanggar ketentuan ihda>d yang dilakukan

oleh Bu Mawar (nama samaran) dan Bu Yuni mempunyai background

dan alasan masing-masing. Bu Mawar yang berprofesi sebagai teller

bank, terpaksa tetap bekerja, bersolek dan berinteraksi dengan lawan

jenis dengan alasan mencari nafkah untuk mempertahankan hidup karena

tidak ada yang menopang hidupnya beserta keluarganya baik dari

keluarganya sendiri maupun keluarga dari almarhum suaminya. Pada

kasus Bu Yuni praktik yang nampak melanggar ihda>d seperti keluar

rumah adalah untuk memenuhi kewajiban mengajar dan mencari nafkah

demi mencukupi kebutuhan pendidikan putrinya, meskipun sebagaian

nafkah masih ditanggung oleh keluarga dari almarhum suaminya, tetapi

ternyata belum memenuhi sebagian kebutuhan hidupnya dan putrinya.

2. Kedua kasus tersebut ketika ditinjau menggunakan analisis hukum Islam

yang dipertajam menggunakan beberapa prinsip maqa>shid syariah maka

dihasilkan kesimpulan bahwa Bu Mawar dan Bu Yuni boleh

meninggalkan ihda>d karena keadaannya sangat darurat, jika Bu Mawar

dan Bu Yuni tidak melanjutkan bekerja, maka akan mengancam


(2)

70

B. Saran

1. Kepada wanita karier yang tetap melakukan aktivitas di dunia kerja

maupun di keseharian ketika masih dalam masa ‘iddah wafat, agar lebih

bijak dan hati-hati dalam berkarier. Meskipun hukum Islam memberikan

kelonggaran dalam meninggalkan ihda>d karena keadaan sangat mendesak atau darurat, tetapi etika sebagai umat Islam dan wanita

muslimah harus tetap dijaga.

2. Dan bagi masyarakat awam yang belum mengetahui wajibnya seorang

istri menjalani ihda>d setelah ditinggal mati oleh suami, alangkah lebih

baiknya meminta wejangan atau berdiskusi dengan ulama atau tokoh


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. Problematika Hukum Islam Kontemporer Dalam Pemikiran

Ahmad Hafidz Anshary. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.

Abdurrahman, Abu Muhammad Jibril. Wanita Dalam Islam. Jakarta: Media

Group, 1999.

Abidin, Slamet Fikih Munakahat II. Bandung: Pustaka Setia, 1999.

Al-Dimyati, Sayyid Abu Bakar. I’anatut Thalibin Jilid IV., t.tp., tp., t.t.

Al-Hasa>ny, Ahmad Zahra. Membincang Feminisme Dikursus Gender Perspektif

Islam. Surabaya: Risalah Gusti, 2002.

Ali, Mohammad Daud. Asas-Asas Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan

Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Rajawali Press, 1991.

Al-Jauhari, Mahmud Muhammad. Membangun Keluarga Untuk Wanita

Muslimah. Jakarta: Amzah, 2015.

Al-Kahlami, Muhammad bin Ismail. Terjemah Subulus Salam. Bandung: Pustaka Belajar, 2009.

Al-Mubarok, Syekh Faishol Ibnu Abdul Aziz. Terjemah Nailul Authar Jilid 5,

Diterjemahkan oleh Mu’ammal Hamidy. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993.

Al-Salusi Ali, (guru besar kulliyyah al-Syari’ah wa al-Ushul Universitas Qatar),

Mausu’ah alqadzaya al-Fiqhiyyah al-Mu’asharah, Maktabah

al-Syamilah Juz II Cetakat ke VII. Maktabah: Dar al-Qur’an Qatar, t.p,

2002.

Al-Qardawi, Yusuf. Fiqih Maqa>shid al-Shari>’ah. Jakarta: Pustaka Al-Kaustar,

2007.

As’ad Aly. Terjemah Fathul Mu’in Juz 3. Kudus: Menara Kudus Offset., t.t. Asraf, Abu Muhammad. Kemuliaan Wanita. Bandung: Insan Media, 2009.

Ash-Shiddiqy, Hasbi. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam.

Jakarta: Bulan Bintang, 1971.


(4)

Az-Zuhaili, Wahbah Fiqih Islam Wa Adilatuhu Jilid IX, Diterjemahkan oleh

Abdul Hayyie al-Katani. Jakarta: Gema Insani, 2007.

Ali, Mahruz ‚Hadits Tentang Pria-Wanita‛, dalam http://media.isnet.kumpulan-hadits-76.html, diakses pada 21 September 2016.

Bappeda, ‚Jatimprov Kabupaten Nganjuk‛, dalam http://media.jatimprov .go.id>.

upload> kab. nganjuk.html, diakses pada 12 November 2016.\

---, Kabupaten Nganjuk, ‚Data-Kelurahan-Begadung‛, dalam

http://homepage- bappeda-kotanganjuk.blogspot.com>2011.html, diakses pada 12 November 2016.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah. Bandung: CV. Penerbit

Diponegoro 2010.

Djalil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam. Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997. Ali, Zainuddin. Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika, 2006.

Djazuli, Ahmad. Kaidah-kaidah Fikih. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,

2006.

Fahru, Ahmad. ‚Iddah dan Ihda>d Wanita Karier (Perspektif Hukum Islam dan

Hukum Positif)‛ , Skripsi--UIN Syarief Hidayatullah, Jakarta, 2015. Ghazaly, Abdul Rahman. Fikih Munakahat. Jakarta: Kencana, 2003.

---, Fikih Munakahat. Jakarta: Kencana, 2008.

Hamidy, Ammal dan Manan, Imron Ahmad. Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam

Ash-Shabuni. Surabaya: Jl. Rungkut Industri, 2003.

Heni. "Dilema Praktek Ihda>d (Studi Sosiologi Hukum Terhadap Masyarakat

Islam Kebayoran Lama)", Skripsi--UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2010.

Iskandar, Alex. ‚Ihda>d Wanita Karier (Studi Pandangan Imam Syafi’i dan Imam

Abu Hanifah)‛, Skripsi--UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2007. Khalla>f, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: PT. Dina Utama, 1994. Kompilasi Hukum Islam. Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2013.

Mawar (nama samaran), Wawancara, Nganjuk 27 November 2016.

Moeliono, Anton Muhammad. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:


(5)

Moleong, Lexi J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya,

2002.

Muhgniyah, Muhammad Jawwad. Fiqih Lima Mazhab, Diterjemahkan oleh

Masykur A.B. Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1996.

Musbikin, Imam. Qawa>’id Al Fiqhiyah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2001.

Rusyid, Ibnu. Bidayatul Mujtahid Jilid II Diterjemahkan Oleh M. Abdurrahman

dan Haris Abdullah. Semarang: Asy-Syifa’, 1990.

Sabiq, Sayyid Fiqih Al Sunnah Jilid I. Jakarta: Darul Fikr Cetakan IV, 1992.

--- . Fikih Sunnah VIII, Terjemahan Moh. Tholib. Bandung: al- ma’a>rif, 1990.

--- . Fiqih Sunnah Jilid 2, Penerjemah Asep Sobari. Jakarta: Al- I’tisom, 2008.

Sampoerna, Ahmad Izzatul Muttaqin Albadri Anugrah Jaya. ‚Tinjauan Hukum

Islam Terhadap ‘Iddah Cerai Mati Perempuan Karier‛’, Skripsi--UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2014.

Siswanto, Fredi. ‚Analisis Hukum Terhadap Ihda>d Bagi Perempuan Ditinjau Dari

Aspek Hukum Islam dan Kesetaraan Gender‛, Skripsi--Universitas

Bengkulu, Bengkulu, 2014.

Shihab, Muhammad Quraish. Konsep Wanita Menurut al-Qur’an. Jakarta: PT.

Pustaka Antara, 1996.

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Cet. 8. Bandung:

Alfabeta, 2009.

Syarifuddin, Amir Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikih

Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana, 2007.

Tihami dan Sahrani, Sohari. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap.

Jakarta: Rajawali Press, 2009.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus

Besar Bahasa Indonesia Cet. Ke-7. Jakarta: Balai Pustaka, 1996.

Waluyo, Bandung. Penetapan Hukum dalam Praktik. Jakarta: Sinar Grafika,

1996.

Yanggo, Huzaemah Tahido. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Lengkap. Jakarta:


(6)

--- . ‚Iddah dan Ihda>d Wanita Karier‛, dalam http://media.Nu

-online-wanita-35-html, diakses pada 01 Oktober 2016.

--- . Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Pustaka Firdaus,

1994.

Yasid, Abu. Fiqh Realitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Yuni (nama asli), Wawancara, Nganjuk 1 Desember 2016.

Zuhri, Saifudin Ushul Fiqih Akal Sebagai Sumber Hukum Islam. Yogyakarta :