GURU DAN MURID DALAM PENDIDIKAN ISLAM

GURU DAN MURID DALAM PENDIDIKAN ISLAM

MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu
: Prof.Dr. Jamali, M.Ag

Disusun oleh:
KUDUNG ISNAINI

2052113023

PROGRAM PASCASARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
STAIN PEKALONGAN
TAHUN 2013

GURU DAN MURID DALAM PENDIDIKAN ISLAM
I. PENDAHULUAN
Pendidikan adalah suatu bentuk interaksi manusia. Dalam UndangUndang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan

pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagaman, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.1 Dalam pendidikan menuntut
terwujudnya manusia Indonesia yang berkualitas, cerdas, beriman, beriptek dan
berakhlakul karimah sebagai tujuan dari pendidikan, maka perlu pengamatan
dari segi aktualisasinya bahwa pendidikan merupakan proses interaksi antara
pendidik dan peserta didik untuk mencapai tujuan dari sebuah proses
pendidikan.
Pendidik dan peserta adalah dua entitas yang tak dapat terpisahkan
dalam menggerakkan dimensi pendidikan terutama pendidikan Islam. Kedunya
mempunyai interaksi secara kontinyu yang dapat menghasilkan perambahan
intelektual, namun tidak dapat dipungkiri dalam praktek pendidikan terkadang
mengalami degradasi dan dekadensi bagi kalangan pendidik dengan
mengesampingkan tradisi-tradisi humanis yang seharusnya diberlakukan dalam
dimensi-dimensi peserta didik. Hal ini penting menjadi sebuah otokritik yang
produktif dalam membangun tradisi pendidikan dengan mensejajarkan peserta
didik tanpa adanya bentuk diskriminasi.
Pendidik, peserta didik dan tujuan utama pendidikan merupakan

komponen utama dalam pendidikan, ketiga komponen tersebut merupakan
komponen yang satu, jika hilang salah satu dari komponen tersebut maka hilang
pula hakikat pendidikan tersebut. Hakikat pendidik dan peserta didik inilah yang
perlu menjadi bahan pengetahuan sebagai landasan untuk melakukan kegiatan
transformasi ilmu pengetahuan kepada peserta didik yang merupakan sebagai
1

Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional, 2003), hlm. 3

1

obyek dalam penanaman nilai moral, sosial, intelektual, keterampilan dan
spiritual. Pendidik merupakan pelaku utama dalam tujuan dan sasaran
pendidikan yaitu membentuk manusia yang berkepribadian dan dewasa.
Disamping sebagai tujuan pendidikan Islam secara umum diorientasikan untuk
membentuk insan kamil, insan kaffah, dan mampu menjadi khalifah Allah swt.2
Melihat perkembangan pendidikan yang semakin maju seiring dengan
perkembangan zaman, maka hal yang terpenting dan salah satu faktornya adalah
mempersiapkan pendidik yang benar-benar dapat menjadi teladan dan

memahami hakikat pendidik maupun peserta didik. Demikian pula perlu
pemahaman yang mendasar tentang peserta didik yang kompleks. Hal inilah
yang menyebabkan kajian tentang hakikat pendidik dan peserta didik masih
menarik dan dianggap perlu dilakukan. Perlu dipahami bahwa Guru−pendidik
dan anak didik (peserta didik) adalah padanan frase yang serasi, seimbang dan
harmonis. Hubungan keduanya berada dalam relasi kejiwaan yang saling
membutuhkan. Dalam perpisahan raga, jiwa mereka bersatu sebagai
“dwitunggal”. Guru mengajar dan anak didik belajar dalam proses interaksi
edukatif yang menyatukan langkah mereka kesatu tujuan yaitu “kebaikan”.
Dengan kemuliaannya guru meluruskan pribadi anak didik yang dinamis agar
tidak membelok dari kebaikan.3
Berangkat dari uraian latarbelakang di atas maka muncul beberapa
rumusan permasalahan yang perlu dieksplorasi dalam makalah ini yaitu, (1)
Seperti apa pengertian istilah dan makna guru dalam pendidikan Islami?, (2) apa
pengertian istilah dan makna murid dalam pendidikan Islami?, (3) Bagaimana
peran guru di era teknologi informasi?, serta (4) Bagaimana sikap dan perilaku
murid dalam pendidikan Islami?
II. PEMBAHASAN
1. Pengertian istilah dan makna guru dalam pendidikan Islami
2


M.Agus Nuryanto, “Isu-Isu Kritis dalam Pendidikan Islam (Perspektif Paedagogik
Kritis)” dalam Hermeneia Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, Volume 9, Nomor 2 Desember 2010, hlm. 213.
3
Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2000), hlm. iv.

2

a. Pengertian Guru dalam pendidikan Islami
Dalam konteks keindonesiaan di samping dikenal dengan istilah
guru, juga dikenal dengan istilah pendidik. Pendidik bertugas
sebagaimana tugas yang dilaksanakan oleh guru. Guru sebagai pribadi
teladan minimal bagi peserta didiknya di sekolah sehingga muncul
adagium guru adalah pribadi yang harus digugu dan ditiru segala sikap
dan perilakunya. Sedangkan pendidik adalah orang dewasa yang
bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada peserta
didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai
kedewasaannya, mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah,

khalifah di muka bumi, sebagai makhluk sosial dan sebagai individu
yang sanggup berdiri sendiri.4 Jadi pendidik merupakan istilah lain yang
dipergunakan untuk menunjuk makna guru.
Kata pendidik berasal dari didik, artinya memelihara, merawat
dan memberi latihan agar seseorang memiliki ilmu pengetahuan seperti
yang diharapkan (tentang sopan santun, akal budi, akhlak, dan
sebagainya) selanjutnya dengan menambahkan awalan pe- hingga
menjadi pendidik, artinya orang yang mendidik. Dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia, pendidik artinya orang yang mendidik.5
Secara etimologi dalam bahasa Inggris ada beberapa kata yang
berdekatan arti pendidik seperti kata teacher artinya pengajar dan tutor
yang berarti guru pribadi, dipusat-pusat pelatihan disebut sebagai trainer
atau instruktur. Demikian pula dalam bahasa Arab seperti kata almu’alim (guru), murabbi (mendidik), mudarris (pengajar) dan uztadz.
Secara terminology beberapa pakar pendidikan berpendapat, Menurut
Ahmad Tafsir, bahwa pendidik dalam Islam adalah orang yang
bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan upaya

4

Nur Ubiyati, Ilmu Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hlm. 71

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1991), hlm. 250.
5

3

mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif
(rasa), kognitif (cipta), maupun psikomotorik (karsa).6
Sedangkan Abdul Mujib mengemukakan bahwa pendidik adalah
bapak rohani (spiritual father) bagi peserta didik, yang memberikan
santapan jiwa dengan ilmu, pembinaan akhlak mulia, dan meluruskan
prilakunya yang buruk.7 Pendidik dapat pula berarti orang yang
bertanggung jawab terhadap perkembangan dan kematangan aspek
rohani dan jasmani anak.8 Secara umum dijelaskan pula oleh Prof. Dr.
Maragustam Siregar, yakni orang yang memberikan ilmu pengetahuan,
pengalaman, keterampilan dan lain-lain baik di lingkungan keluarga,
masyarakat maupun di sekolah.9
Pendidik dalam Islam ialah siapa saja yang bertanggung-jawab
terhadap perkembangan anak didik. Dalam Islam, orang yang paling
bertanggung-jawab adalah orangtua (ayah dan ibu) anak didik.

Tanggung jawab itu disebabkan oleh dua hal yaitu pertama, karena
kodrat yaitu karena orangtua ditakdirkan menjadi orangtua anaknya, dan
karena itu ia ditakdirkan pula bertanggung-jawab mendidik anaknya.
Kedua,

karena

kepentingan

kedua

orangtua

yaitu

orangtua

berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya.10
Dalam


konteks

pendidikan

Islam,

banyak

istilah

yang

dipergunakan untuk menunjuk makna guru. Setidaknya ada enam istilah
dalam Islam yang semakna dengan makna guru, sebagaimana dikutip
Muhaimin dari beberapa sumber.11 Enam istilah tersebut adalah ustadz,
mu’allim, murabbiy, mursyid, mudarris dan mu’addib. Masing-masing

6

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,

1992), hlm. 74-75.
7
Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 88.
8
Ramayulis dan Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan
dan Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), hlm. 139.
9
Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga, 2010), hlm. 169.
10
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : Remaja
Rosdakarya, 1994), hlm. 74.
11
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya,
2002), hlm. 209.

4

istilah

tersebut


mempunyai

makna

yang

spesifik

yang

dapat

membedakan dengan yang lainnya.
-

Ustadz mempunyai makna seorang yang mengajarkan, al-Mu’allim.12
Sedang dalam realitas kehidupan di Timur Tengah sebenarnya
ustadz dipergunakan untuk menunjuk seorang professor atau guru
besar. Dalam konteks keindonesiaan, ustadz dimaknai sebagai guru

agama, guru besar laki-laki,13 juga diartikan sebagai sapaan terhadap
seseorang.

-

Mu’allim menurut bahasa berasal dari ‘allama mempunyai makna
ja’alahu ya’lamuha.14 Istilah ini berasal dari ‘allama merupakan fi’il
mazid dari ‘alima yang bermakna ‘arafahu au tayaqqona
(mengetahui dan meyakininya). Maka mu’allim berarti orang yang
mengajarkan. Muallim dalam konteks keindonesiaan juga dimaknai
sebagai ahli agama, atau guru agama, juga diartikan sebagai
penunjuk jalan dipergunakan biasanya dalam dunia pelayaran.15 Dua
makna tersebut apabila digabungkan mengandung makna, bahwa
mu’allim adalah seorang ahli agama, guru agama yang berfungsi
menunjukkan jalan kehidupan duniawi ini.

-

Murabbiy berasal dari kalimat raba; nasya’a dengan makna tumbuh
atau berkembang.16 Istilah ini berasal dari rabbay merupakan fi’il
mazid dari raba yang berarti tumbuh, berkembang. Maka murabbiy
berarti orang yang menumbuhkan atau mengembangkan. Istilah ini
jarang dipergunakan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Sedang
istilah lebih banyak dipergunakan dalam konteks pendidikan
ketimbang istilah yang lain.

-

Mursyid juga merupakan salah satu istilah yang dipergunakan untuk
menyebut guru dalam pendidikan Islam. Istilah ini lebih banyak

12

Louis Ma’luf, Al Munjid fi al Lughat wal Ilm, (Beirut: Darul Masyriq, 1986), hlm. 10
WJS Purwodarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Departemen Pendidikan
Nasional Indonesia, 2002), hlm. 1255
14
Louis Ma’luf,, hlm. 526
15
WJS Purwodarminto, hlm. 756
16
Louis Ma’luf, hlm. 247
13

5

dipergunakan dalam dunia toriqot. Sebagaimana dipergunakan Imam
Syafi’i ketika meminta nasehat kepada gurunya, beliau berkata
sebagai berikut: “Saya mengadu kepada Imam Waki’ tentang
jeleknya hafalan saya, beliau memberi nasehat untuk meninggalkan
segala maksiat dan memberi tahu bahwa ilmu itu adalah cahaya dan
cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang berma’siyat.”
Mursyid merupakan isim fa’il dari arsyada yang mempunyai makna
memberi petunjuk.17 Arsyada merupakan fi’il mazid dari rasyada
dengan tambahan hamzah di depan yang berarti memberi petunjuk,
nasehat. Maka mursyid berarti orang yang memberikan petunjuk atau
nasehat. Istilah ini dalam konteks keindonesiaan diartikan sebagai
orang yang menunjukkan jalan yang benar, guru agama, atau orang
yang baik hidupnya, yang berbakti kepada Tuhan.18
-

Mudarris berasal dari kata darasa dengan makna aqbala alaih wa
yahfadhuhu (menghadap sesuatu dan menjaganya).19

-

Mu’addib merupakan isim fa’il dari addaba yang merupakan fi’il
mazid (kata kerja tambahan) dari aduba. Ditambahkan tasydid di
tengah sehingga menjadi addaba dengan makna hadzabahu wa
radha akhlaqahu (mendidiknya dan melatih akhlaknya).20

b. Makna Guru dalam Pendidikan Islam
Menurut Ahmad D Marimba mengartikan pendidik sebagai orang
yang memikul tanggung jawab untuk mendidik, yaitu manusia dewasa
yang karena hak dan kewajibannya bertanggung jawab tentang
pendidikan siterdidik.21
Hakekat pendidik sebagai manusia yang memahami ilmu
pengetahuan sudah barang tentu dan menjadi sebuah kewajiban baginya
untuk mentransferkan ilmu itu kepada orang lain demi kemaslahatan
17

Louis Ma’luf, hlm. 261
WJS Purwodarminto, hlm. 765
19
Louis Ma’luf, hlm. 211
20
Louis Ma’luf, hlm. 5
21
Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: N.V. Alma’arif, 1980),
18

hal. 37

6

ummat. Hakekat pendidik−guru di tegaskan dalam Al-Qur’an surat AlAlaq ayat 1-5 yaitu:
          
   
   

    
Artinya:
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah,
dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia)
dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya. (Q.S. Al-‘Alaq: 1-5)22
Dalam Al-Qur’an hakekat guru adalah Allah Swt, namun tidak
berarti manusia di dunia ini tidak mempunyai tugas sebagai khalifah
dimuka bumi ini, tugas manusia salah satunya adalah mengajarkan ilmu
yang telah diperolehnya kepada orang lain, dengan kata lain dia sebagai
seorang guru.23
Jika di tinjau secara umum pendidik dalam pendidikan Islam
kaitannya lebih luas dari pada pendidik dalam pendidikan non-Islam,
adapun pendidik dalam pendidikan Islam yaitu:
1. Allah Swt.
Dari berbagai ayat al-Qur’an yang membicarakan tentang
kedudukan Allah sebagai pendidik dapat dipahami dalam firman-firman
yang di turunkan-Nya kepada Nabi Muhammad Saw. Beberapa firman
Allah seperti:
a. Surah Al-Fatihah ayat 1,

    
Artinya:

22

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT. Sygma Examedia
Arkamlema, 2009), hlm. 597
23
Ahmad Zuhdi, Profil Guru dalam Pendidikan Islam Menurut K.H. Hasyim Asy’ari:
Telaah Kitab Adab al-Alim wa al-Muta’allim, (Yogyakarta: Tesis Program Pascasarjana UIN
Sunan Kalijaga, 2004), hlm. 19

7

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang.
b. Surah an-Nahl ayat 89,

      
   
Artinya:
...dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar
gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (Q.S. An-Nahl: 89)
Berdasarkan ayat di atas dapat dipahami bahwa Allah Swt
sebagai pendidik bagi manusia. Ramayulis dan Syamsul Nizar mengutip
al-Razi, yang membuat perbandingan antara Allah Swt sebagai pendidik
dan manusia sebagai pendidik sangatlah berbeda, Allah Swt sebagai
pendidik mengetahui segala kebutuhan orang yang dididiknya, sebab Dia
adalah Zat Pencipta. Perhatian Allah Swt tidak terbatas hanya terhadap
kelompok manusia saja, tetapi memperhatikan dan mendidik seluruh
alam.24 Allah Swt sebagai pendidik untuk alam yang di dalamnya ada
unsur manusia dan makhluk lainnya meliputi aspek yang maha luas
sebagai bentuk kekuasaan-Nya, kendati manusia dididik secara tidak
langsung maka seyogyanyalah manusia sebagai makhluk yang
mempunyai akal memaknai dan mengambil pelajaran terhadap tandatanda alam sebagai ciptaan dan

kekuasaan Allah Swt, ilmu yang

diajarkan oleh Allah Swt kepada manusia berupa kitab suci yang yang
diwahyukan kepada Nabi, khususnya Nabi Muhammad Saw yang
membawa kitab suci Al-Qur’an merupakan tiada bandingan untuk
mengukur kemampuan

manusia dalam menciptakan sesuatu sebagai

24

Perbedaan ini juga dapat dilihat dari aspek proses pengajaran. Allah Swt memberikan
bimbingan kepada manusia secara tidak langsung. Allah Swt mendidik manusia melalui wahyu
yang disampaikan kepada manusia dengan perantaraan malaikat Jibril menyampaikan pula kepada
Nabi Saw, dan Nabi membimbing umatnya dengan perantaraan wahyu. Ramayulis dan Syamsul
Nizar. Filsafat, hlm. 145

8

hasil karyanya, karena disisi lain Al-Qur’an berfungsi memberi petunjuk
jalan yang paling lurus (Q.S.Al -Isra’[17]:9)25
2. Rasulullah Saw.
Kedudukan Rasulullah

Saw sebagai

pendidik di tunjuk

langsung oleh Allah SWT, sebagai teladan bagi ummat dan rahmat
bagi seluruh alam. Dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Ahmad
yang berbunyi:

‫عن ابي هريرة رضي الللله عنلله قللال قللال رسللول الللله‬
َ ْ ‫صلى الله عليه وسلم اِنَمللا بلعِثْت ِللتَممللا مك َللارم‬
‫ق‬
َ ِ
َ َ ِ
‫ل‬
َ
ِ َ ‫الخْل‬
)‫(رواه احمد‬
Artinya:
“Dari

Abu

Hurairah

r.a,

Rasulullah

Saw

bersabda,

“Sesungguhnya saya diutus (kepada manusia hanyalah) untuk
menyempurnakan akhlak.” (HR. Ahmad).
Rasulullah Saw dari potret sejarahnya dikenal sebagai manusia
yang paling berakhlak dan dipatuhi sehingga dalam masa kehidupannya
sukses mendidik generasi-generasi Islam. Sebagai

seorang pendidik

ummat manusia yang mengajarkan agama Islam dan ketauhidan serta
etika berkehidupan, Rasulullah Saw memiliki kepribadian dan akhlak
yang sangat mulia, yang pantas di jadikan teladan bagi seluruh ummat
manusia, hal tersebut senantiasa tercermin dalam kehidupannya.
3. Orang Tua.
Selain pendidik (guru), yang paling berperan penting yaitu orang
tua. Orang tua sebagai pembimbing dalam lingkungan

keluarga di

sebabkan karena secara alami anak-anak pada masa awal kehidupannya
berada di tengah-tengah ayah dan ibunya.26 Menurut Hasan Basri dan
Beni Ahmad Saebani, tanggung jawab terbesar pendidikan Islam
menurut ajaran Islam dipikul oleh orang tua anak, karena orang tualah
25
26

Departemen Agama RI, Al-Qur’an, hlm. 283.
Ramayulis dan Syamsul Nizar, Filsafat, hlm.148

9

bagi anak.27 Menurut

yang menentukan pola pembinaan pertama

J.I.G.M Drost, orang tualah yang pertama-tama mengajarkan kepada
anak

pengetahuan

akan

Allah,

pengalaman

tentang

pergaulan

manusiawi, dan kewajiban memperkembangkan tanggung jawab
terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain.28 Orang tua yang
merupakan titik dan pemeran awal dalam

membimbing, mengasuh,

memberikan perhatian, kasih sayang, dan memotivasi sehingga anak
didik dapat mencapai kesuksesan dalam belajar. Kesuksesan seorang
anak kandung adalah merupakan cerminan atas kesuksesan orang tua.
Kendati orang tua memiliki peranan dan tanggung jawab utama dalam
proses pengembangan potensi anak didik, namun memiliki waktu yang
terbatas hal ini disebabkan misalnya dengan kesibukan kerja, tingkat
efektivitas dan efeisiensi pendidikan tidak akan baik jika hanya dikelolah
secara alamiah.29
Dalam agama Islam orang yang paling bertanggung jawab
terhadap perkembangan anak didik adalah orang tua yaitu bapak dan ibu,
sebagaimana dikatakan dalam al-Qur’an surat al-Tahrim: 6 berikut ini.

     
     
        
 
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,
keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan. (QS. At-Tahrim: 6)30
27

Hasan Basri dan Beni Ahmad Saebani, Ilmu Pendidikan Islam (Jilid II), (Bandung:
Pustaka setia, 2010), hlm. 84
28
J.I.G.M Drost, Sekolah: Mengajar atau Mendidik?, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm.
32
29
Abdul Mujib. Ilmu, hlm. 88
30
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Pelita II, 1979), hlm. 951

10

Secara kodrati, anak memerlukan pendidikan atau bimbingan
dari orang dewasa. Dasar kodrati ini dapat dimengerti dari kebutuhankebutuhan dasar yang dimiliki oleh setiap anak yang hidup didunia ini.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:

‫مامن مولللود ا يولللد على الفطللرة فللأبواه يهودانلله او‬
)‫ينصرانه او يمجسانه (رواهل مسلم‬
Artinya:
“Tiadalah seorang yang dilahirkan melainkan menurut fitrahnya,
maka kedua orang tuanyalah yang me-Yahudikannya atau meNasranikannya atau me-Majusikannya.” (HR. Muslim).31
Dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam mencapai tujuan
pendidikan yang efektif dan efisien maka diperlukan mitra yang
mendasar antara orang tua dan pendidik. Orang tua yang merupakan
penanggung jawab dalam perkembangan anak karena adanya hubungan
pertalian darah secara langsung sehingga mempunyai tanggung jawab
terhadap masa depan anaknya demikian pula pendidik yaitu orang yang
berkompeten untuk melaksanakan tugas mendidik, memberi pengajaran
dan pendidikan kepada anak sesuai dengan kurikulum. Kerja sama yang
terjalin bagus akan memberikan kemudahan untuk mencari solusi dan
menyamakan langkah dalam membimbing anak didik. Sedangkan dalam
keluarga, orang yang paling bertanggung jawab adalah ayah. Karena
ayah merupakan kepala keluarga yang memimpin ibu, anak-anak, dan
pelayan.32 Seperti yang telah dicontohkan oleh Allah Swt dalam alQur’an melalui tauladan seorang ayah yang bernama Luqman dalam
mendidik anak-anaknya untuk beribadah kepada Allah dengan ikhlas.
Selain itu juga melarang untuk menyekutukan-Nya, serta terus

31
Sayud Ahmad Al Hasyimi, Terjemah Mukhtarul Hadits, Perty : Mahmud Zaini,
(Jakarta: Bulan Bintang, tt.), hlm. 428
32
Adnan Hasan Shalih Baharits, Mendidik Anak Laki-laki, (Jakarta: Gema Insani, 2007),
hlm. 13

11

memotivasi anaknya untuk senantiasa berbuat baik, amar ma’ruf nahi
munkar, bersabar dalam berdakwah, dan untuk selalu berbuat kebaikan.33
4. Guru
Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa salah satu
pendidik yang memiliki peranan yang sangat penting yaitu guru setelah
orang tua. Dalam Undang-Undang tentang Guru dan Dosen pasal 1 ayat
1 disebutkan guru adalah pendidik professional .34 Sedangkan dalam
Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan
Nasional pasal 1 ayat 6 disebut sebagai pendidik adalah tenaga
kependidikan. Guru adalah suri teladan kedua setelah orang tua.35
Menurut Saiful

Bahri

Djamarah bahwa guru adalah orang yang

memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik.36 Guru sejatinya
adalah seorang pribadi yang harus serba bisa dan serba tahu 37 serta
mampu mentransferkan kebiasaan dan pengetahuan pada muridnya
dengan cara yang sesuai dengan perkembangan dan potensi anak didik.
Guru yang bekerja sebagai

tenaga pengajar adalah elemen yang

terpenting dan ikut bertanggung jawab dalam proses pendewasaan bagi
anak didik tersebut.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa guru
dapat diartikan sebagai sosok yang mempunyai kewenangan dan
bertanggung jawab sepenuhnya di kelas atau di sekolah untuk
mengembangkan segenap potensi peserta didik yang dimiliki sehingga
mampu mandiri dan mengembangkan nilai kepribadian sesuai ajaran
Islam, dengan demikian tujuan akhirnya adalah kedewasaan dan
kesadaran untuk melaksanakan tugasnya sebagai khalifah dan hamba
Allah Swt. Oleh karena itu, setiap guru

hendaknya mempunyai

kepribadian yang akan dicontoh dan di teladani oleh anak didik, baik
33

Adnan Hasan Shalih Baharits, hlm. 60
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dalam pdf, (Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4586), hlm. 2
35
Maragustam, Filsafat, hlm. 170
36
Saiful Bahri Djamarah, Guru., hlm.31
37
Peran dan Fungsi Guru dalam website, http://edukasi.kompasiana.com /2012/07/18/.
Diakses, 19 July 2012 | 02:14
34

12

secara sengaja maupun tidak. Sudah barang tentu, pekerjaan sebagai
guru tidak sama dengan pekerjaan apapun, di luar itu pengetahuan dan
keterampilan yang akan diajarkan.38 Keahlian sebagai guru atau pendidik
dalam Islam tidak hanya sekedar memiliki kemampuan mentransfer
pengetahuan

kepada peserta didik sebagaimana yang terjadi pada

umumnya, namun diperlukan syarat dan kepribadian yang ketat serta
memadai untuk menjadi seorang guru atau pendidik dalam Islam.
Menurut Prof. Dr. H. Maragustam Siregar, yang mengutip alAbrasyi bahwa syarat menjadi guru ialah zuhud (tidak terlalu suka
kehidupan dunia), suci, ikhlas dalam bekerja, lemah lembut, tenang,
sopan dan suka pemaaf, menjadi bapak sebelum dia menjadi guru,
mengerti tabiat, kecenderungan, kebiasaan, perasaan dan pikiran peserta
didiknya agar tidak salah arah dalam peserta didikan, bersih fisik dan
jiwa dari dosa besar dan kesalahan, jauh dari sifat

mencari nama,

dengki, permusuhan, dan sifat-sifat tercelah lainnya. 39 Jika menjelaskan
pendidik dalam prinsip keguruan, guru ini
bidang tugas dan pekerjaan, maka variabel

selalu dikaitkan dengan
yang melekat adalah

lembaga pendidikan−sekolah. Dan ini juga menunjukkan bahwa
pendidik merupakan profesi atau keahlian tertentu yang melekat dan
sebagai gelar pada diri seseorang yang tugasnya adalah mendidik atau
memberikan pendidikan.
Tugas sebagai seorang guru yang harus dilaksanakan bagi anak
didiknya semestinya merupakan tugas kombinasi dari tugas murabbiy,
mu’allim, mursyid, mu’adib dan mudarris. Hal ini sesuai dengan
pendapat Imam Al Ghozali dalam “ihya ulumuddin” (55-58). Beliau
mengatakan seorang guru sebaiknya memperhatikan beberapa tugas
antara lain :
-

Mengasihi anak didiknya seperti halnya mengasihi anaknya sendiri
dalam upaya menyelamatkan anak didik dari api neraka.

38

Ahmad Farid, Etika Guru dalam Pendidikan Islam, Telaah Terhadap Hadits Larangan
Menerima Upah Bagi Guru, (Yogyakarta:Tesis UIN Sunan Kalijaga, 2004), hlm.15
39
Maragustam, Filsafat.,

13

-

Tidak menuntut bayaran, ucapan terima kasih atas ilmu yang
diajarkannya kepada anak didiknya kecuali hanya mengharap ridlo
Allah.

-

Memberi nasehat kepada anak didiknya untuk menuntut ilmu secara
bertahap dari ‘ilmu jaliy menuju ‘ilmu khofiy, sesuai dengan prinsip
kemudahan.

-

Memberi nasehat anak didik yang jelek akhlaknya dengan bahasa
yang halus, jika memungkinkan dan penuh kasih sayang.

-

Memberi nasehat kepada anak didiknya untuk mempelajari ilmuilmu lain, tanpa menjelek-jelekkan suatu ilmu atas ilmu lain.

-

Mengajarkan ilmu kepada anak didiknya sesuai dengan kadar
kemampuan anak didiknya.

-

Mengajarkan ilmu-ilmu yang bersifat sederhana bagi siswa yang
kemampuannya terbatas.

-

Sebaiknya seorang guru mengamalkan ilmu yang telah diajarkannya
bagi anak didiknya.40

-

Mempelajari hidup psikologis murid-muridnya.

-

Guru hendaknya mampu mengamalkan ilmunya, agar ucapannya
tidak mendustai perbuatannya.
Al-Ghazali menghendaki agar guru menjadi contoh teladan yang

baik bagi murid-muridnya. Dalam kaitan ini firman Allah dalam surat alBaqarah ayat yang tegas menyatakan sebagai berikut:
       
    
Artinya:
“Apakah kamu memerintah manusia dngan perbuatan baik sedang
kamu lupa terhadap dirimu sendiri.” (Q.S. Al-Baqarah, 44).41

40

Ali Al-Jumbulati, Abdul Futuh At-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam,
(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1990), hlm. 137-139
41
Departemen Agama, hlm. 16

14

Disamping itu mereka melupakan arti syair yang mengatakan:
“Janganlah engkau melarang orang lain berbuat akhlak jelek
sedangkan kamu sendiri melakukannya.”
Dalam salah satu penjelasannya Imam Al Ghozali mengatakan
sebagai berikut:
“Mengasihi anak didiknya dengan memperlakukan mereka sebagai
anaknya sendiri, Rasulullah saw bersabda, “sesungguhnya saya bagi
kamu semua seperti bapak terhadap anaknya”, dan dengan tujuan
menyelamatkan mereka dari api neraka, dan hal ini lebih penting dari
penyelamatan orang tua atas anaknya dari api duniawi, oleh sebab itu
haknya guru itu lebih utama dari hak kedua orang tua”.
c. Kedudukan Guru dalam Pandangan Islam
Dalam proses pendidikan (belajar-mengajar), pendidik memiliki
peran

kunci

dalam

menentukan

kualitas

pembelajaran.

Yakni

menunjukkan cara mendapatkan pengetahuan (cognitive), sikap dan nilai
(affektif), dan keterampilan (psikomotor). Dengan kata lain tugas dan
peran pendidik yang utama terletak pada aspek pembelajaran.
Pembelajaran merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan.
Singkatnya, dapat dikatakan bahwa kualitas pendidikan sangat
dipengaruhi oleh kualitas pendidiknya.42
Salah satu hal yang menarik pada ajaran Islam ialah penghargaan
Islam yang sangat tinggi terhadap guru. Begitu tingginya penghargaan
itu sehingga menempatkan kedudukan guru setingkat di bawah
kedudukan nabi dan rasul. Mengapa demikian? Karena guru selalu
terkait dengan ilmu (pengetahuan), sedangkan Islam sangat menghargai
pengetahuan.
Sebenarnya tingginya kedudukan guru dalam Islam merupakan
realisasi ajaran Islam itu sendiri. Islam memuliakan pengetahuan,
pengetahuan itu didapat dari belajar dan mengajar, yang belajar adalah
calon guru, dan yang mengajar adalah guru. Maka, tidak boleh tidak,
42

A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN-Malang Press,
2008), hlm. 67

15

Islam

pasti

memuliakan

guu.

Tak

terbayangkan

terjadinya

perkembangan pengetahuan tanpa adanya orang yang belajar dan
mengajar, tidak terbayangkan adanya belajar dan mengajar tanpa adanya
guru. Karena Islam adalah agama, maka pandangan tentang guru,
kedudukan guru, tidak terlepas dari nilai-nilai kelangitan.43
Ada penyebab khas mengapa orang Islam amat menghargai guru,
yaitu pandangan bahwa ilmu (pengetahuan) itu semuanya bersumber
pada Tuhan:

...‫متَنَا‬
‫عل ْ َل‬
َِ
ْ َ ‫ما ع َل‬
َ َ ِ ‫م لَنَا ا‬
“Tidak ada pengetahuan yang kami miliki kecuali yang Engkau
ajarkan kepada kami”
Ilmu datang dari Allah. Pandangan yang menembus langit ini
tidak boleh tidak telah melahirkan sikap pada orang Islam bahwa ilmu
tidak terpisah dari guru, maka kedudukan guru amat tinggi dalam
Islam.44

43
44

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, hlm. 76
Ibid., hlm. 77

16

2. Pengertian istilah dan makna murid dalam pendidikan Islami
a. Pengertian Murid
Pengertian Siswa / Murid / Peserta Didik. Di dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Pengertian murid berarti orang (anak yang sedang
berguru (belajar, bersekolah).45 Sedangkan menurut Prof. Dr. Shafique
Ali Khan, pengertian siswa adalah orang yang datang ke suatu lembaga
untuk memperoleh atau mempelajari beberapa tipe pendidikan. Seorang
pelajar adalah orang yang mempelajari ilmu pengetahuan berapa pun
usianya, dari mana pun, siapa pun, dalam bentuk apa pun, dengan biaya
apa pun untuk meningkatkan intelek dan moralnya dalam rangka
mengembangkan dan membersihkan jiwanya dan mengikuti jalan
kebaikan.46
Secara etimologi peserta didik adalah anak didik yang mendapat
pengajaran ilmu. Secara terminologi peserta didik adalah anak didik atau
individu yang mengalami perubahan, perkembangan sehingga masih
memerlukan bimbingan dan arahan dalam membentuk kepribadian serta
sebagai bagian dari struktural proses pendidikan. Dengan kata lain
peserta didik adalah seorang individu yang tengah mengalami fase
perkembangan atau pertumbuhan baik dari segi fisik dan mental maupun
fikiran.
Murid atau anak didik adalah salah satu komponen manusiawi
yang menempati posisi sentral dalam proses belajar-mengajar. Di dalam
proses belajar-mengajar, murid sebagai pihak yang ingin meraih citacita, memiliki tujuan dan kemudian ingin mencapainya secara optimal.
Murid akan menjadi faktor penentu, sehingga dapat mempengaruhi
segala sesuatu yang diperlukan untuk mencapai tujuan belajarnya.
Murid atau anak adalah pribadi yang “unik” yang mempunyai
potensi dan mengalami proses berkembang. Dalam proses berkembang
45
Dep. Pend. Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1990), hlm. 601.
46
Shafique Ali Khan, Filsafat Pendidikan Al-Ghazali, (Bandung: Pustaka Setia, 2005),
hlm. 62

17

itu anak atau murid membutuhkan bantuan yang sifat dan coraknya tidak
ditentukan oleh guru tetapi oleh anak itu sendiri, dalam suatu kehidupan
bersama dengan individu-individu yang lain.47
Berdasarkan hal tersebut secara singkat dapat dikatakan bahwa
setiap peserta didik memiliki eksistensi atau kehadiran dalam sebuah
lingkungan, seperti halnya sekolah, keluarga, pesantren bahkan dalam
lingkungan masyarakat. Dalam proses ini peserta didik akan banyak
sekali menerima bantuan yang mungkin tidak disadarinya, sebagai
contoh seorang peserta didik mendapatkan buku pelajaran tertentu yang
ia beli dari sebuah toko buku. Dapat anda bayangkan betapa banyak hal
yang telah dilakukan orang lain dalam proses pembuatan dan
pendistribusian buku tersebut, mulai dari pengetikan, penyetakan, hingga
penjualan.
Dengan diakuinya keberadaan seorang peserta didik dalam
konteks kehadiran dan keindividuannya, maka tugas dari seorang
pendidik adalah memberikan bantuan, arahan dan bimbingan kepada
peserta didik menuju kesempurnaan atau kedewasaannya sesuai dengan
kedewasaannya. Dalam konteks ini seorang pendidik harus mengetahuai
ciri-ciri dari peserta didik tersebut.
1) Ciri-ciri peserta didik:
a) kelemahan dan ketakberdayaannya
b) berkemauan keras untuk berkembang
c) ingin menjadi diri sendiri (memperoleh kemampuan).48
2) Kriteria peserta didik:
Deskripsi kriteria peserta didik menurut Syamsul nizar, yaitu:
a. peserta didik bukanlah miniatur orang dewasa tetapi memiliki
dunianya sendiri
b. peserta didik memiliki periodasi perkembangan dan pertumbuhan
47
Zakiah Daradjat, dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1995), hlm. 268.
48
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, Cet. II, (Jakarta: PT Rineka Cipta,
2006), hlm. 40

18

c. peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan
individu baik disebabkan oleh faktor bawaan maupun lingkungan
dimana ia berada.
d. peserta didik merupakan dua unsur utama jasmani dan rohani,
unsur jasmani memiliki daya fisik, dan unsur rohani memiliki
daya akal hati nurani dan nafsu
e. peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi atau fitrah
yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.49
3. Peran Guru di era teknologi informasi
Guru di era global adalah guru yang mempunyai tugas memberikan
pendidikan bermutu secara profesional. Begitu juga sekarang dengan bangsa
kita, yang sedang menyiapkan diri untuk memiliki sumber daya manusia
(SDM) yang berkualitas. Cirinya yaitu memiliki kemampuan dalam
menguasai keahlian dalam suatu bidang yang berkaitan dengan iptek (ilmu
pengetahuan dan teknologi), mampu bekerja secara professional dengan
orientasi mutu dan keunggulan, dan dapat menghasilkan karya-karya unggul
yang mampu bersaing secara global sebagai hasil dari keahlian. Sebagai
tenaga pendidikan, guru profesional tidak lepas dari pencitraan yang
diberikan dari orang lain.
Dalam kehidupan bermasyarakat di era global ini, guru di satu sisi
diharapkan lebih bermoral dan berakhlak daripada masyarakat umum, tetapi
di sisi lain muncul problem baru sebagai tantangan manakala guru tidak
memiliki kemampuan materi untuk memiliki segala akses dan jaringan
informasi seperti TV, buku-buku, majalah, koran, dan internet untuk
meningkatkan profesionalnya sekaligus memperkaya informasi mengenai
perkembangan pengetahuan dan berbagai dinamika kehidupan global,
sehingga sangat sulit dibayangkan guru dapat tampil lebih professional dan
memiliki tanggungjawab oral profesi sebagai konsekuensinya di era global
ini.50
49

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), hlm. 77
Noviana Tri Lestari, “Peran Guru dalam Era Globalisasi”, dalam
http://m.kompasiana.com/post/edukasi/2012/06/21/peran-guru-dalam-era-globalisasi/, di Upload:
50

19

Menghadapi tantangan yang demikian, diperlukan guru yang benarbenar profesional. Dalam konteks ini Makagiansar menawarkan kompetensi
yang harus dimiliki oleh seorang guru guna menghadapi era global, yaitu:
1) Kemampuan antisipasi
Seorang pendidik harus mampu mengantisipasi dan mencegah terjadinya
masalah baik dalam proses pembelajaran maupun diluar pembelajaran.
2) Kemampuan mengenali dan mengatasi masalah
Seorang pendidik perlu melakukan pendekatan terhadap peserta didiknya
untuk dapat mengenali dan mengidentifikasi masalah yang dihadapi
peserta didiknya.
3) Kemampuan mengakomodasi
Seorang pendidik harus mampu mengakomodasi perbedaan 51 yang
terdapat pada peserta didiknya.
4) Kemampuan melakukan reorientasi
Pendidik harus mampu melakukan reorientasi, yaitu meninjau kembali
suatu wawasan dan menentukan dan membuat peserta didiknya yakin
dan termotivasi untuk mencapai tujuan tersebut.
5) Kompetensi generic (generic competences)
Kemampuan ini harus dimiliki seorang pendidik yang didalamnya
mencakup strategi kognitif, dan dapat pula dikenal dengan sebutan
kemampuan kunci-kunci, inti (core skill), essensial, dan dasar.
6) Keterampilan mengatur diri (managing self skills)
Mendorong diri sendiri untuk mau mengatur semua unsur kemampuan
pribadi, mengendalikan kemauan untuk mencapai hal-hal yang baik, dan
mengembangkan berbagai segi dari kehidupan pribadi agar lebih
sempurna.
7) Keterampilan berkomunikasi (communicating skills)
Untuk mampu membina hubungan yang sehat dimana saja, di
lingkungan sosial, sekolah, usaha dan perkantoran, atau dimana saja.
21 June 2012| 02:05 WIB, di unduh: 15 Oktober 2013| 17:44 WIB.
51
Perbedaan disini dapat berupa kebutuhan antara satu individu dengan individu lain,
dalam kaitannya dengan masalah pembelajaran.

20

8) Kemampuan mengelola orang dan tugas (ability of managing people and
tasks)
Untuk mampu mengelola peserta didiknya sekaligus tugas keguruannya
agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
9) Kemampuan mobilisasi pengembangan dan perubahan (mobilizing
innovation and change)
Guru berfungsi melakukan kegiatan kreatif, menemukan strategi,
metode, cara-cara, atau konsep-konsep yang baru dalam pengajaran agar
pembelajaran bermakna dan melahirkan pendidikan yang berkualitas.
Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta semangat
kompetetif juga merupakan hal penting bagi guru-guru yang profesional
karena diharapkan mereka dapat membawa peserta didik mengarungi dunia
ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sangat kompetitif. Di era global,
karakteristik guru harus jelas dan tegas dipertahankan, antara lain:
a) Memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi yang mumpuni52
b) Memiliki kepribadian yang kuat dan baik
c) Memiliki keterampilan membangkitkan minat peserta didik dalam
bidang IPTEK
Setidaknya ada empat prasyarat bagi seorang guru agar dapat bekerja
profesional, yaitu:
1) Kemampuan guru mengolah/ menyiasati kurikulum
2) Kemampuan guru mengaitkan materi kurikulum dengan lingkungan
3) Kemampuan guru memotivasi siswa untuk belajar sendiri
4) Kemampuan guru untuk mengintegrasikan berbagai mata pelajaran
menjadi kesatuan konsep yang utuh (perlu adanya pembelajaran
terpadu).53
4. Sikap dan perilaku murid dalam pendidikan Islami
a. Sikap murid
52

Mumpuni; mampu melaksanakan tugas dengan baik (tanpa bantuan dari orang lain);
menguasai keahlian (kecakapan, keterampilan) tinggi. “Kamus Besar Bahasa Indonesi (KBBI);
Kamus Versi Online/daring (dalam jaringan)”, dalam http://kbbi.web.id/mumpuni, diakses:
15/10/2013| 19:53 WIB
53
Ibid.

21

Secara historis istilah “sikap” (attitude) digunakan pertama kali oleh
Herbert Spencer di tahun 1862 yang pada saat itu diartikan sebagai status
mental seseorang. Di masa-masa awal itu pula penggunaan konsep sikap
yang sering dikaitkan dengan konsep mengenai posisi tubuh seseorang. 54
Dalam konteks sikap ini menurut Stephen R. Covey (1989) ada tiga teori
determinisme yang diterima secara luas, baik sendiri-sendiri maupun
kombinasi, untuk menjelaskan sikap manusia yaitu:
1) Determinisme genetic (genetic determinisme);
2) Determinisme psikis (psycic determinisme); dan
3) Determinisme lingkungan (environmental determenisme)
Determinisme genetic (genetic determinisme) berpendapat bahwa
sikap individu ditirukan oleh sikap kakek neneknya, itulah sebabnya
seseorang

memiliki

sikap

dan

tabiat

seperti

nenek

moyangnya.

Determinisme psikis (psycic determinisme) berpendapat bahwa sikap
merupakan dari hasil perlakuan, pola asuh, atau pendidikan orang tua yang
diberikan kepada anaknya. Determinisme lingkungan (environmental
determenisme) berpendapat bahwa perkembangan sikap seseorang sangat
dipengaruhi oleh lingkungan individu itu tinggal dan bagaimana lingkungan
memperlakukan individu tersebut. Bagaimana atasan memperlakukan kita,
sebagaimana pasangan kita situasi ekonomi atau kebijakan-kebijakan
pemerintah semuanya membentuk sikap individu.55

54
Saifuddin Azwar, Sikap Manusia Teori Dan Pengukurannya, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003), hlm. 3-4
55
Ali Muhammad, Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta: PT. Bumi
Aksara, 2004), hlm. 142

22

b. Perilaku Murid (Peserta didik)
Bimo Walgito mengartikan perilaku sebagai aktivitas-aktivitas
individu dalam artian segala sesuatu yang dikerjakan oleh individu.56 Selain
itu Moekijat juga berpendapat bahwa perilaku pada dasarnya ditunjukkan
untuk mencapai sebuah tujuan. Sedangkan dalam tujuan tertentu tidak selalu
diikuti secara sadar oleh seseorang individu.57 Sebelum dikemukakan
tentang perilaku atau kode etik murid, terlebih dahulu perlu dipahami
definisi murid dalam pendidikan Islam.
Murid, siswa, atau peserta didik dalam bahasa Arab dikenal dengan
tiga istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan pada anak didik. Tiga
istilah tersebut adalah murid yang secara harfiah berarti orang yang
menginginkan atau membutuhkan sesuatu, tilmidz (jamaknya) talmidz yang
berarti murid, thalib al-ilmi yang menuntut ilmu, pelajar atau mahasiswa.58
Ketiga istilah tersebut mengacu pada seorang yang menempuh pendidikan.
Perbedaan terletak kepada penggunaannya. Berdasarkan pengertian tersebut
maka anak didik dapat dicirikan sebagai seorang yang tengah memerlukan
pengetahuan atau ilmu, bimbingan dan pengarahan.59
Dalam paradigma pendidikan Islam, murid atau juga dinamakan
dengan peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki
sejumlah potensi dasar (fitrah) yang perlu dikembangkan. 60 Peserta didik
merupakan “Raw Material” (bahan mentah) dalam proses transformasi
dalam pendidikan.61 Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha
mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia
pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu.62 Peserta didik sebagai
komponen yang tidak dapat terlepas dari sistem pendidikan sehingga dapat

56

Bimo Walgito, Psikologi Sosial, (Yogyakarta: Andi Yogyakarta, 2003), hlm. 13
Moekijat, Dasar-Dasar Motivasi, (Bandung: CV. Pionir Jaya, 2002), hlm. 14
58
Abudinata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Medika Pertama, 2005), hlm. 131
59
Ibid., hlm. 132
60
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2011), hlm. 119
61
Ramayulis dan Syamsul Nizar . Filsafat... hlm.169
62
Pasal 1 ayat 4, Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
57

23

dikatakan bahwa peserta didik merupakan obyek pendidikan tersebut. 63
Secara sederhana

pendidik dapat didefinisikan sebagai anak yang belum

memiliki kedewasaan dan memerlukan orang lain untuk mendidiknya
sehingga menjadi individu yang dewasa, memiliki jiwa spiritual, aktifitas
dan kreatifitas sendiri.
Dalam upaya mencapai tujuan pendidikan Islam pendidik hendaknya
memahami potensi, dimensi dan kebutuhan peserta didik. Demikian pula
peserta didik hendaknya di tuntut memiliki dan menanamkan sifat-sifat yang
baik dalam diri dan kepribadiannya.
Imam al-Gazali merumuskan sebelas kode etik yang harus dimiliki
oleh peserta didik yaitu:
a. Belajar dengan nilai ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah Swt.
Sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik di tuntut untuk
menyucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercelah
dan mengisi dengan akhlak yang terpuji.
b. Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah
ukhrawi. Artinya belajar tak semata-mata untuk mendapatkan pekerjaan,
tetapi belajar ingin berjihad melawan kebodohan demi

tercapainya

derajat kemanusiaan yang tinggi baik dihadapan manusia dan Allah Swt.
c. Bersikap tawadhu (rendah hati) dengan cara menanggalkan kepentingan
pribadi untuk kepentingan pendidikannya sekalipun ia cerdas.
d. Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran,
sehingga ia terfokus dan dapat memperoleh satu kompetensi yang utuh
dan mendalam dalam belajar.
e. Mempelajari ilmu yang terpuji, baik ilmu umum maupun ilmu agama
f. Belajar dengan bertahap dan berjenjang.
g. Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang
lainnya.
63
Peserta didik merupakan individu yang belum dewasa. Anak kandung adalah
peserta didik dalam keluarga, murid adalah peserta didik di sekolah, anak-anak penduduk adalah
peserta didik masyarakat sekitarnya dan ummat beragama menjadi peserta didik ruhaniawan
dalam suatu agama. Abdul Mujib. Ilmu, hlm.103

24

h. Memahami nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
i. Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
j. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan yaitu ilmu
yang dapat membahagiakan serta memberi keselamatan dunia akhirat.
k. Harus tunduk dan patuh pada nasehat pendidik sebagaimana tunduknya
orang sakit terhadap dokternya, mengikuti segala prosedur dan metode
mazhab yang dianjurkan pendidik pada umumnya.64
Selain kode etik diatas, Abudin Nata juga menambahkan bahwa
dalam menerima ilmu, anak didik harus mempunyai beberapa akhlak
sebagai berikut:
a. Anak didik harus bersih hatinya dari kotoran dan penyakit jiwa sebelum
ia menuntut ilmu.
b. Seorang anak didik harus mempunyai tujuan dalam menuntut ilmu.
c. Seorang pelajar harus tabah dalam menuntut ilmu.65
Uraian kode etik peserta didik tersebut adalah bertujuan sebagai
standar tingkah laku yang dapat dijadikan pedoman bagi peserta didik dalam
belajar, disisi lain berkaitan pula dengan etika peserta didik dalam
hubungannya dengan sesama peserta didik.
Dari kode etik pendidik dan peserta didik tersebut di atas
keterkaitannya yaitu bahwa anak didik merupakan individu yang akan
dipenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan, sikap dan tingkah lakunya,
sedangkan pendidik adalah individu yang akan memenuhi kebutuhan tadi,
akan tetapi dalam proses kehidupan dan pendidikan secara umum, batas
antara keduanya sangat sulit ditentukan, karena adanya saling mengisi dan
saling membantu, saling meniru dan ditiru, saling memberi dan menerima
informasi yang dihasilkan, akibat dari komunikasi yang dimulai dari
kepekaan indra, pikiran, daya apresiasi dan keterampilan untuk melakukan

64
Siti Maulidah, “Kode Etik Peserta Didik dalam Belajar”, dalam Website
http://hadyamaulida.blogspot.com/2009/12/kode-etik-peserta-didik-dalam-belajar.html, upload,
Rabu, 16 Desember 2009, di unduh, Jum’at 11 Oktober 2013; 10:59 Wib
65
Abudinata, hlm. 134

25

sesuatu yang mendorong internaslisasi dan individualisasi pada diri individu
sendiri.66
III. PENUTUP
Seorang guru memang sudah sepatutnya tidak hanya menjadi sebagai
pengajar saja, lebih dari itu, sebagai seorang guru kepada murid atau anak
didiknya harus bisa menjadi manusia yang mumpuni dalam segala hal, karena
selain sebagai pengajar, seorang guru juga harus menjadi pendidik,
pembimbing, penasehat, pemerhati, pengayom, dan yang tidak kalah penting
adalah guru sebagai seorang suri tauladan dan juga sebagai orang tua bagi si
anak didiknya. Oleh sebab itu, sebagai guru, perilaku, tutur kata, perbuatan dan
semua aktivitas yang dilakukan dirinya haruslah baik dan sesuai dengan ajaran
Islam, baik dilingkungan sekolah maupun diluar lingkungan sekolah. Seorang
guru tidaklah boleh berpura-pura dalam bersikap, karena dibelakang guru, ada
anak didik yang selalu menjadi pemerhati kepada gurunya.
Seorang guru haruslah merupakan suri tauladan yang baik sekaligus
sebagai sumber inspirasi dan motivasi bagi anak didiknya, sehingga kreatifitas
dan dorongan untuk semakin lebih maju selalu tumbuh dalam jiwa anak didik.
Semangat yang selalu tumbuh dengan bimbingan dari guru yang memiliki suri
tauladan yang baik serta selalu profesional dalam mendidik anak didiknya akan
membuahkan hasil yang memuaskan tentunya. Lebih-lebih dijaman sekarang
yang serba canggih, dimana IPTEK sudah tidak asing lagi di didengar, sudah
barang tentu guru yang profesional akan semakin dibutuhkan. Tidak hanya
dalam pengajaran ataupun pendidikannya saja yang harus profesional, lebih dari
itu, seorang guru sekarang harus mampu menguasai kemampuan sesuai dengan
permintaan dan perkembagan jaman. Sehingga pengajaran yang dilakukan
selalu bermakna dan melahirkan anak didik yang selalu berkualitas sesuai
permintaan jaman serta menjadi anak-anak yang mencapai rahmatan lil ‘alamin.

66

Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (Kajian Filosofis dan
Kerangka Dasar Operasionalisasinya), (ttp.Trigenda Karya,1993), hlm. 181

26

DAFTAR PUSTAKA

Abudinata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Medika Pertama, 2005)
Ahmadi, A. dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, Cet. II, (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2006)
Al-Hasyimi, S.A., Terjemah Mukhtarul Hadits, Perty : Mahmud Zaini, (Jakarta:
Bulan B