HUBUNGAN GURU DAN MURID DALAM PENDIDIKAN

HUBUNGAN GURU DAN MURID DALAM PENDIDIKAN PERENNIALISME
Oleh: Theresia C. Rahayu

Abstrak
Istilah “perenialisme” berasal dari bahasa latin, yaitu akar dari kata perenis atau perenial
(bahasa inggris) yang berarti tumbuh terus melalui waktu, hidup terus dari waktu ke waktu atau
abadi. Maka, pandangan ini selalu memercayai mengenai adanya nilai-nilai, norma-norma yang
bersifat abadi dalam kehidupan ini. Atas dasar tersebut, ia memandang bahwa pola perkebngan
kebudayaan sepanjang zaman merupakan suatu pengulangan dari apa yang ada sebelumnya jadi
perenialisme sering disebut sebagai dengan istilah “tradisionalisme”.
Dalam pendidikan, perenialisme memiliki pandangan yang anti-modernistik yang telah
menjauh dari tradisi (kebiasaan-kebiasaan yang telah teruji ketangguhannya) dan terlalu
mengedepankan

logika dan rasio modernistik dibanding sumber pengetahuan lainnya serta

terlalu memandang sesuatu secara materialistik. Perenialisme pun kemudian dianggap mampu
untuk mengatasi kekacauan dalam dunia pendidikan. Perenialisme pun juga berpendapat bahwa
tidak ada satu pun yang lebih bermanfaat daripada kepastian tujuan pendidikan serta kestabilan
dalam perilaku mendidik.
Dapat dikatakan bahwa perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali.

Dengan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi
pandangan hidup yang kuat, kukuh, dan ideal pada masa kuno juga pada abad pertengahan.
Dengan demikian, dikatakan bahwa tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang
nili-nilai kebenaran yang pasti, absolut, dan abadi yang terdapat dalam kebudayaan masa lampau
yang dipandang sebagai kebudayaan ideal tersebut.

A. Pendahuluan
Secara umum pada era kekinian, pendidikan merupakan sebuah cara bagi sebagian orang
untuk mengembangkan potensi yang ada pada dirinya. Dalam beberapa jenis pendidikan,
sertifikat atau ijazah merupakan salah satu bukti bagi sebagian orang bahwa mereka telah
mendapatkan pendidikan tertentu. Meskipun demikian, pendidikan merupakan hal yang lebih
luas daripada apa yang tertulis di atas sebuah kertas, menurut Ki Hajar Dewantoro sebagai Bapak
Pendidikan Indonesia, pendidikan diartikan sebagai upaya untuk menuntun setiap anak menjadi
manusia yang tumbuh dan berkembang baik sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat agar tercapai kebahagiaan.
Seiring waktu, pendidikan yang diterapkan pun semakin beragam sesuai dengan kehendak,
keinginan, bahkan bakat seseorang. Teknologi semakin berkembang, begitu juga dengan tekanan
terhadap manusia yang semakin menumpuk, menjadi latar belakang berdirinya sebuah
pemahaman baru tentang pendidikan yaitu pendidikan haruslah kembali sesuai dengan dasarnya.
Perennialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan

ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio kultural. Oleh karena itu
perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan
kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh,
kuat dan teruji.
Pendidikan dalam bahasa Yunani berasal dari kata paedagogic yaitu ilmu menuntun anak.
Orang Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun,
tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman
melihat pendidikan sebagai Erziehung yang setara dengan educare, yakni : membangkitkan

kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan atau potensi anak. Dalam bahasa Jawa,
pendidikan berarti panggulawentah (pengolahan), mengolah, mengubah kejiwaan, mematangkan
perasaan, pikiran, kemauan dan watak, mengubah kepribadian sang anak. Seorang tenaga
pendidik memiliki pengaruh kepada perkembangan seorang yang dididik, sekecil a[a[un,
sekalipun hanya pengamat maupun pengawas perkembangan seseorang. Berdasarkan asumsi ini,
penulis mencoba untuk menggali bagaimana relasi antara guru dan murid dalam pendidikan
perennialisme.
B. Relasi Guru-Murid dalam Pendidikan Perennialisme
1. Pendidikan Perennialisme
Perennialisme merupakan suatu aliran dalam filsafat pendidikan yang lahir pada abad ke20. Perennialisme lahir dari suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perennialisme
menentang pandangan progresivisme yang menekan perubahan dan suatu yang baru.

Perennialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, terutama
dalam kehidupan moral, intelektual, dan sosikultural.
Solusi yang ditawarkan kaum perenialis adalah jalan mundur ke belakang dengan
mengunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup
yang kukuh, kuat pada zaman kuno dan pertengahan. Peradaban- kuno (yunani purba) dan abad
pertengahaan sebagai dasar budaya bangsa- bangsa di dunia dari masa ke masa dari abad ke abad
(sa’dullah , 2009: 151 ).
Pendukung filsafat perennialisme adalah Robert Maynard Hutchins dan Mortimer Adler.
Hutchins (1963) mengembangkan sutu kurikulum berdasarkan penelitian terhadap Great Books
(buku besar bersejarah) dan pembahasaan buku-buku klasik. Perenialis mengunakan prinsipprinsip yang dikemukakan Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas. Pandangan-pandangan Plato

dan Aristoteles mewakili peradaban Yunani Kuno serta ajaran Thomas Aquinas dari abad
pertengahan. Filsafat perennialisme terkenal dengan bahasa latinnya Philoshopia perenis. Pendiri
utama dari aliran filsafat ini adalah Aristoteles sendiri, kemudian didukung dan dilanjutkan oleh
Thomas Aquinas sebagai pemburu dan reformer utama dalam abad ke-13.
Filsafat pendidikan perennialisme mempunyai empat prinsip dalam pembelajaran secara
umum yang mesti dimiliki manusia, yaitu kebenaran yang bersifat universal dan tidak tergantung
pada tempat, waktu ,dan orang, pendidikan yang baik melibatkan pencarian pemahaman atas
kebenaran, kebenaran dapat ditemukan dalam karya-karya agung, dan pendidikan adalah
kegiatan liberal untuk mengembangkan nalar beberapa pandangan tokoh perennialisme terhadap

pendidikan. Tujuan dari filsafat pendidikan perennialisme adalah pelatihan intelektual secara
cermat untuk melatih pikiran, dan latihan karakter sebagai cara mengembangkan manusia secara
spiritual.
2. Relasi Guru-Murid
Dalam pendidikan perennialisme, petugas utama pendidikan adalah guru, di mana bertugas
memberikan pendidikan dan pengajaran (pengetahuan) kepada anak didik. Faktor keberhasilan
anak dalam akalnya adalah guru. Menurut pendidikan perennialisme, guru mempunyai peran
yang dominan dalam penyelengaraan kegiatan belajar-mengajar di dalam kelas, sehingga guru
hendaknya adalah orang yang menguasai cabang ilmu, yang bertugas membimbing diskusi yang
akan memudahkan siswa dalam menyimpulkan kebenaran yang tepat tanpa cela dan dipandang
sebagai orang yang memiliki otoritas dalam suatu bidang pengetahuan dan kehliannya tidak
diragukan.

Murid dalam aliran perennialisme merupakan mahkluk yang di bimbing oleh prinsipprinsip pertama, kebenaran-kebenaran abadi, pikiran mengangkat dunia biologis. Hakikat
pendidikan adalah upaya proses transformasi pengetahuan dan nilai pada subyek didik.
Mencangkup totalitas aspek kemanusiaan, kesadaran, sikap dan tindakan kritis, terhadap
fenomena yang terjadi di sekitarnya. Pendidikan bertujuan mencapai tujuan kepribadian manusia
yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional,
perasaan dan indera, karena itu pendidikan harus mencangkup pertumbuhan manusia dalam
segala aspeknya.

Tuntutan tertinggi dalam belajar menurut perennialisme, adalah latihan dan disiplin mental.
Menurut perennialisme latihan dan pembinaan berpikir adalah salah satu kewajiban tertinggi
dalam belajar, karena program pada umumnya dipusatkan kepada kemampuan berpikir. Asas
berpikir dan kemerdekaan harus menjadi tujuan utama pendidikan, otoritas berfikir harus
disempurnakan sesempurna mungkin, dan makna pendidikan hendaknya membantu manusia
untuk dirinya sendiri yang membedakanya dari mahkluk yang lain. Fungsi belajar harus
diabdikan bagi tujuan itu, yaitu aktualisasi diri manusia sebagai mahkluk rasional yang bersifat
merdeka.
Bagaimana tugas berat ini dapat dilaksanakan yakni belajar supaya mampu berfikir,
perenialisme tetap percaya dengan asas pembentukan kebiasaan dalam permulaan pendidikan
anak. Kecakapan membaca, menulis, dan menghitung merupakan landasan dasar. Berdasarkan
pentahapan itu, maka learning to reason menjadi tujuan pokok pendidikan tinggi. Belajar untuk
mampu berfikir bukanlah semata-mata tujuan kebajikan moral dan kebajikan intelektual dalam
rangka aktua;itas sebagai filosofis, belajar untuk berfikir pula guna untuk memenuhi fungsi
practical philoshopy baik etika , sosial politik , ilmu dan seni.

C. Penutup
Perennialisme merupakan suatu aliran dalam filsafat pendidikan yang lahir pada abad ke20. Perennialisme lahir dari suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Solusi yang ditawarkan
kaum perenialis adalah jalan mundur ke belakang dengan mengunakan kembali nilai-nilai atau
prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh.

Guru mempunyai peranan dominan dalam penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar di
kelas. Guru hendaknya orang yang menguasai suatu cabang ilmu, seorang guru yang ahli (a
master teacher) bertugas membimbing diskusi yang akan memudahkan siswa menyimpulkan
kebenaran-kebenaran yang tepat, dan wataknya tanpa cela. Guru dipandang sebagai orang yang
memiliki otoritas dalam suatu bidang pengetahuan dan keahliannya tifdak diragukan.
Murid dalam aliran perenialisme merupakan makhluk yang dibimbing oleh prinsipprinsip pertama, kebenaran-kebenaran abadi, pikiran mengangkat dunia biologis. Hakikat
pendidikan upaya proses transformasi pengetahuan dan nilai kepada subyek didik, mencakup
totalitas aspek kemanusiaan, kesadaran, sikap dan tindakan kritis terhadap seluruh fenomena
yang terjadi di sekitarnya.

Referensi:
Abidin, Zainal. 2011. Pengantar Filsafat Barat. Jakarta: Rajawali Pers.
Abin Syamsuddin M.. 2000. Psikologi Kependidikan Dalam Peserta Didik. Bandung: Remaja.
Drs, Amsal Amri. 2009. Studi Filsafat Pendidikan. Banda Aceh: Yayasan Pena.
Mudyahardjo, Redjo. 2002. Pengantar Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sugihartono, Dkk. 2007 Pendidikan Murid Pembelajaran Di Sekolah. Yogyakarta: UNY Press
Suriasumantri. 2003 Sebuah Profesi Guru Dalam Belajar Dan Etika. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.