KURIKULUM YANG IDEAL BAGI SEKOLAH DAN MA (1)

KURIKULUM YANG IDEAL BAGI SEKOLAH DAN MADRASAH
MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran PAI
Dosen Pengampu : Dr. Abdul Rahman, M. Ag.

Oleh :
1. Abdul Ghofur

(1600118020)

2. Ahmad Dhiyauddin

(1600118022)

3. Umi Hanik

(1600118040)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
TAHUN 2018

KURIKULUM YANG IDEAL BAGI SEKOLAH DAN MADRASAH

A. PENDAHULUAN
Pendidikan, terlebih yang bersifat formal, merupakan suatu proses yang tak dapat
dipisahkan dengan kurikulum. Kurikulum merupakan unsur penting yang akan turut
menentukan berhasil atau tidaknya suatu proses pendidikan. Lembaga pendidikan umum yang
memberikan porsi sangat minim terhadap materi pelajaran agama akan menghasilkan produk
pendidikan yang juga kering terhadap pengetahuan agama. Demikian pula dengan lembaga
pendidikan agama semacam "pesantren yang kurang memberikan porsi secara memadai
terhadap pengetahuan umum kepada anak didiknya, maka juga akan melahirkan produkproduk pendidikan yang miskin pengetahuan umum yang sesungguhnya sangat dibutuhkan
bagi kesejahteraan manusia. Manusia memerlukan kesejahteraan lahir dan batin, moril dan
materiil, serta dunia dan

akherat. Kesemuanya itu hanya akan dapat dicapai dengan

penguasaan dan pengamalan secara seimbang terhadap pengetahuan agama dan umum.


Pengalaman dan pengetahuan dapat diperoleh dan ditumbuhkembangkan dengan
kurikulum yang ideal dan relevan. Kurikulum senantiasa dijadikan pedoman dalam
menentukan arah pendidikan di sekolah maupun madrasah. Salah satu faktor keberhasilan
dalam proses kegiatan belajar mengajar adalah ketersediaannya kurikulum yang disusun
disatuan pendidikan. Keberadaan kurikulum mempunyai arti penting sebagai rencana
pembelajaran sesuai dengan jenjang pendidikannya dengan tujuan agar proses kegiatan
belajar bisa sesuai, terarah, terukur dan output (keluaran) dari lembaga pendidikan
tersebut sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan.
Mengingat begitu berat dan kompleksnya persoalan-persoalan yang dihadapi di dunia
pendidikan utamanya pendidikan nasional, maka reformasi pendidikan menjadi satu hal yang
sangat penting. Reformasi pendidikan tidak bisa dilakukan secara parsial, tetapi harus bersifat
komprehensif dan menyeluruh baik pada tingkat konsep maupun penyelenggaraan. Salah satu
unsur yang harus direformasi adalah kurikulum yang mengarah pada konstruksi kurikulum
yang ideal. Mengapa kurikulum ideal kemudian menjadi penting untuk mendapatkan perhatian
dari pada pengelola lembaga pendidikan? Semua pengelola masalah pendidikan tahu betul
bahwa kurikulum merupakan suatu faktor penting yang turut menentukan berhasil atau
tidaknya suatu usaha pendidikan dalam mencapai tujuan-tujuannya. Kesanggupan lembaga
pendidikan memproduk manusia-manusia utuh dalam arti yang seluas-luasnya akan selalu
terkait dengan sistem pembelajaran yang ditawarkan serta tancangan pelajaran yang dapat
memenuhi kebutuhan anak didik, dan tentunya didukung oleh sumber daya manusia yang

memadai.

1

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Kurikulum yang Ideal di Sekolah?
2. Bagaimana Kurikulum yang Ideal di Madrasah?
3. Bagaimana Kurikulum yang Ideal bagi Keduanya (Sekolah dan Madrasah)

C. PEMBAHASAN
1. Kurikulum yang Ideal di Sekolah
Kurikulum merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan pendidikan,
sekaligus merupakan pedoman dalam pelaksanaan pembelajaran pada semua jenis dan
jenjang pendidikan. Kurikulum harus sesuai dengan falsafah dan dasar negara, yaitu
Pancasila dan UUD 1945 yang menggambarkan pandangan hidup suatu bangsa. Tujuan
dan pola kehidupan suatu negara banyak ditentukan oleh sistem kurikulum yang
digunakannya, mulai dari kurikulum taman kanak-kanak sampai dengan kurikulum
perguruan tinggi. Jika terjadi perubahan sistem ketatanegaraan, maka dapat berakibat
pada perubahan sistem pemerintahan dan sistem pendidikan, bahkan sistem kurikulum
yang berlaku.1

Sementara itu Azyumardi Azra dalam bukunya Paradigma Baru Pendidikan
Nasional juga memberikan pandangannya tentang kurikulum dalam pengertian yang tidak
jauh berbeda, yakni sejumlah pengalaman pendidikan ditempuh peserta didik dengan
bimbingan sekolah untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan sekolah masing-masing.2
Dari definisi tersebut di atas dapat dipahami bahwa kurikulum memiliki beberapa
unsur pokok diantaranya :

a. Tujuan yang ingin dicapai oleh pendidikan itu, atau dengan kata lain, manusia macam
apa yang ingin dibentuk melalui kurikulum itu

b. Pengetahuan

(knowledge),

informasi-infromasi,

data,

aktivitas-aktivitas,


serta

pengalaman-pengalaman dari mana terbentuk kurikulum itu. Bagian inilah yang biasa
disebut mata pelajaran, dan bagian ini pula yang dimasukkan dalam syllabus.

c. Metode dan cara-cara yang dipakai oleh para guru untuk mengajar dan mendorong anak
didik untuk belajar serta membawa mereka ke arah yang dikehendaki oleh kurikulum

1

Zainal Arifin, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012),

hlm. 1.
2

Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan National (Rekonstruksi dan Demokratisasi), (Jakarta :
Buku Kompas, 2002), hlm. 97

2


d. Metode dan cara memberikan penilaian yang dipergunakan untuk mengukur dan menilai
kurikulum dan hasil proses pendidikan yang direncanakan dalam kurikulum, seperti
tujuan tri wulan, ujian semester gasal dan semester genap pada pendidikan tingkat tinggi
dan seterusnya.
Singkatnya kurikulum itu mengandung tujuan-tujuan, isi atau mata pelajaran, metode
mengajar dan metode penilaian. Namun demikian kesimpulan ini sama sekali tidak
bermaksud menyederhanakan persoalan, sebab berbicara tentang tujuan-tujuan pendidikan
maka bermacam-macam madzab falsafah pendidikan juga harus dipahami. Seperti
rasionalismenya Plato, Aristoteles, Descartes, Imperismenya John Locke, yang terkenal
dengan kertas putih (tabula rasa), progresivismenya John Dewey dan Iain-lain.3
Konsep para ahli Barat tentang pengetahuan semuanya berkisar pada pengetahuan
yang dicari dengan akal (acquired) tidak memberi tempat kepada wahyu Tuhan
(revelation) sebagai sumber pengetahuan. Di sinilah letak perbedaan antara falsafah Barat

dan falsafah Islam tentang ilmu pengetahuan, yang tentu akan membawa perbedaan pula
dalam menghasilkan produk-produk pendidikan.
Dalam konteks di sekolah, kaitannya dengan kurikulum adalah, bahwasanya
kurikulum itu terdiri dari pengalaman belajar yang akan dianalisis dan dipelajari oleh
siswa, di mana pengalaman itu berbentuk masalah-masalah yang harus dipecahkan oleh
siswa. Masalah-masalah tersebut dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok yaitu:

a. Pengelompokan anak,
b. Perbedaan kecakapan intelektual,
c. Perbedaan kesehatan dan kekuatan,
d. Masalah sernangat dan motivasi,
e. Masalah daya tarik,
f. Masalah keindahan,
g. Masalah penampilan,
h. Masalah kepekaan,
i.

Masalah kemampuan,

j.

Masalah kebutuhan.4
Latar belakang siswa yang berbeda-beda akan menimbulkan tingkah laku yang

berbeda pula. Sebagai contoh : untuk mempelajari keterlambatan membaca, seseorang
memerlukan hipotesa tentang kemungkinan-kemungkinan apa yang menjadi penyebab
keterlambatan tersebut. Setelah diketahui maka faktor-faktor itu perlu diuji sebelum

3

Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Husna, 1987), hlm. 304,
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Traiftsi dan Modernisasi M.enuju Milenium Bora, (Jakarta : PT.
Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 32.
4

3

dipastikan apa yang harus dilakukan dalam program membaca.5 Hal itu perlu dilakukan
karena kemampuan pendidik untuk mengetahui keberagaman anak didik dari berbagai segi
akan sangat membantu keberhasilan pengoperasionalan kurikulum secara keseluruhan.

2. Kurikulum yang Ideal di Madrasah
Pendidikan Islam selama ini kental dengan warna teologis dari pada filosofis.
Konsep, ide dan gagasan-gagasan yang dikemukakan didasarkan pada “nash” dan
sedikit diwarnai oleh “akal dependen” (qiyas) untuk dikatakan sebagai ilmu atau materi
Islam tanpa menghiraukan kaidah-kaidah keilmuannya.6. Desain kurikulumnya menjadi
terlalu abstrak, karena isi kurikulum cenderung menjadi sedemikian normatif dan
doktriner Tidak ada lagi ruang untuk mengadakan inovasi, pengayaan, kajian, tafsir,

serta berbagai usaha mengaitkan program kurikuler dengan realitas kehidupan. Bukubuku dan bahan ajar yang ditulis lebih banyak bernuasa “teologisnormatif”
Kurikulum dalam pendidikan Islam atau madrasah merupakan pemberi warna Islam
atau memasukkan unsur ajarannya pada setiap ilmu yang dipelajari dan dikaji. Berbicara
tentang Islamisasi pengetahuan tidak bisa lepas dari membicarakan kurikulum, sebab
materi atau ilmu yang diajarkan hanyalah bagian dari kurikulum itu sendiri. Sebelumnya
akan diberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan kurikulum dalam tulisan ini.
Muhammad al-Toumy dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam mengatakan bahwa :
kurikulum adalah pengalaman pendidikan, kebudayaan, sosial, olahraga dan kesenian yang
disediakan oleh sekolah dengan maksud menolong anak didik untuk berkembang secara
menyeluruh dalam segala segi dan merubah tingkah laku mereka sesuai dengan tujuan
pendidikan.7

Kurikulum dalam pengertian yang sempit merupakan seperangkat rencana dan
pengaturan tentang isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai bahan
penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar, merekomendasikan adanya 4 komponen
pokok di dalamnya, yaitu tujuan pembelajaran, isi atau materi pembelajaran, organisasi,
serta strategi pembelajaran. Sementara itu dalam pengertian luas, kurikulum merupakan
segala kegiatan yang dirancang oleh lembaga pendidikan untuk disajikan kepada
peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Pengertian kedua
5


Iskandar Wkyokusumo, Usman Mulyadi, Dasar-DasarPengembangan Kurikulum, (Jakarta : Bina
Aksara, 1988), hal. 89.
6
Sembodo Ardi Widodo, Problematika Pendidikan Islam (Suatu Tinjauan dari Aspek Epistemologi) ,
dalam Abdur Rahman Assegaf, dkk. Pendidikan Islam di Indonesia. (Yogyakarta: Suka Press, 2007), hlm. 27
7
Muhammad al-Toumy al-Syaibani, dalam Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta :
Pustaka al-Husna, 1987) hlm. 303.

4

ini menggambarkan segala bentuk aktivitas sekolah yang sekiranya mempunyai efek
bagi pengembangan peserta didik termasuk kurikulum, sehingga tidak terbatas pada
kegiatan yang terkait dengan proses belajar mengajar.8 Karena kurikulum dalam
pengertian sempit, yang terkait langsung dengan proses pembelajaran, hanyalah
merupakan salah satu dari banyak komponen yang menunjang tercapainya tujuan
pendidikan, maka faktor pendidik sebagai motivator dan dinamisator sesungguhnya
memiliki peran yang lebih penting dari sekedar rancangan kurikulum yang disusun
sedemikian rupa. Di samping itu untuk menghasilkan manusia yang sehat jasmani

rohani, sejahtera lahir dan batin, serta mampu memfungsikan dirinya untuk orang lain,
maka wadah pendidikan sudah seharusnya memberikan porsi yang memadai terhadap
pelajaran dan pendidikan agama. Hanya dengan itu pendidikan akan mampu
melahirkan manusia-manusia yang bermental sehat.
Kaitannya dengan falsafah pendidikan Islam, maka Islam memandang bahwa
kurikulum pendidikan merupakan alat untuk mendidik generasi muda dengan baik,
menolong mereka untuk mengembangkan bakat, kekuatan dan ketrampilan mereka yang
bermacam-macam. Selain itu juga menyiapkan mereka dalam menjalankan hak dan
kewajiban, memiliki rasa tanggung jawab baik terhadap diri, keluarga, masyarakat maupun
bangsanya upaya membentuk masa depan yang diinginkan. Oleh karena itu Islam menaruh
perhatian besar terhadap penyebaran pengajaran dan perbaikan kualitasnya dengan
senantiasa memperbaiki dan menyempurnakan serta mengadakan perubahan-perubahan
kurikulum, sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan bangsa yang senantiasa mengalami
perubahan

Melekatnya sifat atau predikat Islam, otomatis terkandung makna dan
konsekuensi logis, bahwa kurikulum pendidikan sebagai dimaksud pastilah memiliki
ciri khas, yang membedakannya dibanding jenis atau kategori yang lain. Dalam uraian
ini, identifikasi ciri khas kurikulum pendidikan Islam diikat dalam formulasi istilah
prinsip dasar, artinya sesuatu yang harus ada dan menjiwai secara kokoh seluruh
kegiatan edukatif tersebut. Landasan pijak logikanya adalah, kurikulum pendidikan
Islam harus selaras dengan prinsip dasar pendidikan Islam, sementara prinsip dasar
pendidikan Islam bersumber dari prinsip dasar ajaran Islam. Konsekuensinya, prinsip
dasar kurikulum pendidikan Islam tidak bisa lain, kecuali harus disusun berlandaskan
prinsip dasar ajaran Islam.

8

Muihaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Jogjakarta : Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 182

5

Sejumlah prinsip dasar kurikulum pendidikan Islam adalah sebagai berikut9:

pertama , berjalan sempurna dengan ajaran Islam. Ajaran Islam mengatur seluruh aspek
kehidupan manusia agar mencapai kebahagiaan hakiki dan sebaliknya terhindar dari
penderitaan abadi. Kurikulum pendidikan Islam, sebagai wahana untuk mewujudkan
idealitas tersebut, tidak mungkin eksis pada kesejatiannya sendiri, kecuali terajut dalam
jalinan sempurna dengan totalitas ajaran Islam. Pada konteks ini, tidak berlaku adagium:
dari manusia, oleh manusia dan untuk manusia, apalagi terkandung maksud untuk
sekaligus mengabaikan atau lebih-lebih mendepak posisi Tuhan dari kehidupan,
na’údzubillah . Menurut prinsip dasar ajaran Islam, hidup manusia bergantung pada Allah

swt., dan sebaliknya keMahakuasaan Allah swt tidak bergantung pada kehidupan manusia.
Mengingat aktifitas pendidikan Islam hanya mungkin berlangsung ketika manusia hidup,
padahal kehidupan manusia bergantung pada Allah swt, sang pemilik ajaran Islam, maka
konsekuensi logisnya adalah tidak mungkin ada pendidikan Islam yang prinsip dasar
kurikulumnya terlepas atau tidak terhubung sempurna dengan totalitas ajaran Islam.

Kedua , membangun keseimbangan dunia dan akhirat. Idealitas substansi
kurikulum pendidikan Islam, pada hakikatnya adalah bagaimana merancang dan
menghantarkan peserta didik untuk menggapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Keduanya diupayakan terwujud secara berimbang, sesuai dengan permohonan yang selalu
dipanjatkan kaum muslimin dalam berdoa. Kalau pada kenyataannya banyak institusi dan
aktifitas pendidikan Islam dengan kurikulum yang menghasilkan lulusan yang timpang,
dalam arti menguasai pengetahuan umum dan teknologi namun lemah di bidang ilmu dan
amaliah keagamaan, atau sebaliknya menguasai ilmu dan amaliah keagamaan namun
lemah di bidang pengetahuan umum dan teknologi, sesungguhnya terjadi akibat
keterpaksaan historis-sosiologis yang menimpa kaum muslimin di era modern, dan tidak
bersumber dari idealitas ajaran Islam. Terbukti akhir-akhir ini tumbuh dan terus
berkembang institusi pendidikan Islam yang melalui keseimbangan struktur kurikulum
berhasil melahirkan peserta didik yang kokoh iman dan taqwanya kepada Allah swt,
sekaligus hebat dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Ketiga , menempatkan pendidik dalam posisi terhormat. Prinsip dasar ini sangat
penting, mengingat sedemikian gencar pengaruh teori pendidikan Barat sekuler, yang
cenderung menempatkan pendidik sekedar berfungsi atau difungsikan sebagai fasilitator,
dalam arti orang yang kerjanya menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh peserta
9

Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2001), Cet. ke 4, hlm. 27

6

didik dalam aktifitas pendidikan. Penempatan guru, ustad atau dosen, seolah dalam fungsi
pelayan murid, siswa atau mahasiswa yang justru diangkat posisi mereka ke predikat
peserta didik, yang berarti sejajar dengan pendidik, tidak selaras dengan kedudukan hakiki
pendidik selaku pemegang mandat dari Allah swt, para Nabi, dan kalangan ulama untuk
mengajarkan kepada umat manusia kitab suci dan dasar-dasar pokok ilmu pengetahuan. Di
samping itu, juga tidak sesuai dengan marwah strategi lainnya sebagai teladan agung
(uswah hasanah) dalam kehidupan. Dengan posisi yang kokoh dan terhormat selaku
penyusun dan sekaligus pelaksana kurikulum pendidikan Islam, diharapkan tercipta
keseimbangan peran edukatif secara harmonis, tidak lagi terjadi penjungkirbalikan atau
degradasi martabat pendidik, yang berakibat negatif terhadap pembentukan akhlak atau
karakter anak muda yang memprihatinkan dewasa ini.

Keempat, memperlakukan peserta didik sebagai pusat orientasi. Walaupun teori
pendidikan modern pada umumnya menghendaki idealitas semacam itu, namun faktanya
cenderung menjadi slogan, dan tidak mudah diwujudkan dalam kenyataan. Malah
sebaliknya, betapa sering dunia kurikulum pendidikan justru terombang-ambing oleh
daftar keinginan pihak-pihak tertentu, untuk memasukkan aspek materi ini dan itu, tanpa
pencermatan secara mendalam di mana dan sejauh mana relevansinya dengan kepentingan
peserta didik. Prinsip dasar dalam penyusunan kurikulum pendidikan Islam, jelas tidak
menghendaki sikap dan langkah seperti itu, mengingat banyak sekali ayat al-Qurán dan
sunnah Nabi yang mengajarkan, bahwa putra putri kita adalah pemilik sah masa depan
mereka, sehingga tidak laik jika dunia edukatif yang begitu penting dibuat sembarangan,
dijadikan ibarat keranjang sampah atau kelinci percobaan, guna memenuhi keinginan
pihak lain yang secara hakiki belum tentu ada manfaatnya.

Kelima , bijaksana dalam menyikapi setiap perubahan. Tidak bisa disangkal, bahwa
perubahan

selalu

terjadi

dalam

realitas

kehidupan

ini,

sehingga

langkah

mengakomodasinya dalam penyusunan kurikulum pendidikan, adalah keniscayaan yang
sulit atau bahkan mustahil dihindarkan. Namun harus disadari, bahwa perubahan itu dapat
berlangsung tanpa batas dan landasan kebenaran serta manfaatnya bagi umat manusia.
Jangan sampai terjadi, hanya atas nama perubahan dan demi perubahan yang satu ke
perubahan yang lain, hidup manusia terus menerus direcoki atau digoncang, sehingga
tidak pernah menikmati ketenangan. Sementara, ajaran Islam memegang teguh, bahwa
setiap perubahan harus dikontrol oleh pertanyaan: dari mana asal gagasannya, hendak
mengarah kemana dan apa gunanya bagi kehidupan manusia di dunia maupun di akhirat?

7

Jadi manfaat perubahan itu harus tunduk pada sinar bijak ajaran Islam, dan tidak
sebaliknya justru ajaran Islam yang hanyut dalam perubahan. Atas dasar itulah, maka
prinsip dasar kurikulum pendidikan Islam adalah terbuka menerima perubahan, asal
diketahui manfaatnya bagi peserta didik dan masyarakat.

Keenam, kurikulum Pendidikan Islam di Lembaga Pendidikan Islam.10 Meskipun
telah sedemikian banyak uraian seputar kurikulum pendidikan Islam, akan tetapi untuk
menampilkan struktur atau wujud konkritnya, bukanlah persoalan mudah. Sebab dalam
kenyataan riil pastilah bergantung pada jenis dan jenjang institusi serta corak kegiatan
pendidikan kaum muslimin diberbagai penjuru dunia sejak awal pertumbuhannya pada
abad pertengahan hingga di zaman modern dewasa ini. Sebagai contoh, sesuai dengan
realitas kelembagaan yang beraneka macam di Indonesia, otomatis terdapat begitu banyak
versi kurikulum pendidikan Islam di negara ini. Ada kurikulum pendidikan Islam untuk
pesantren, kurikulum pendidikan Islam untuk madrasah dari taman kanak-kanak hingga
tingkat menengah atas, kurikulum pendidikan Islam untuk sekolah umum, kurikulum
pendidikan Islam untuk perguruan tinggi umum, kurikulum pendidikan Islam untuk
perguruan tinggi keagamaan, dan lain sebagainya.
Tampaknya, kita harus berani merubah arah dan sasaran yang lebih sesuai dengan
kemajuan peradaban dan dinamika perubahan sosial budaya manusia. Syafii Ma’arif
mengatakan bahwa kita harus berani menjauhkan atau keluar dari warisan masa lampau
dengan merumuskan model pendidikan Islami yang tidak lagi terjebak dalam bentuk
kehidupan yang hanya menyelipkan ayat-ayat,11 atau hanya sekedar justifikasi ayat-ayat
al-Qur’an untuk melegitimasi persoalanpersoalan dalam proses pengajaran.
Lembaga pendidikan Islam harus berani merekonstruksi dan mengembangkan
pendidikan berbasis nilai-nilai Islami yang didasarkan pada telaah-telaah:
a. Keterpaduan fondasi filosofis dan teori yang mendasari sistem pendidikan Islam;
b. Pendidikan yang dikembangkan dan dijabarkan atas dasar asumsi-asumsi yang kokoh
dan jelas tentang;
1) Konsep dasar ketuhanan (ilahiyah);
2) Konsep dasar manusia (insaniyah), humanisme;
3) Konsep dasar tentang alam semesta atau kosmologi;
4) Konsep tentang lingkungan sosial-kultural;
10

Hamdani Ihsan, Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Cv Pustaka Setia, 2001)
Ahmad Syafii Ma’arif, Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Umat. Jurnal Pendidikan Islam,
No.2 Th. 1 Oktober 1996. (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah UII, 1996), hlm. 10
11

8

5) Konsep ilmu pengetahuan dan teknologi, yang diintegrasikan dengan al- Qur’anhadits yang dilihat secara utuh, integratif, komprehensif dan interaktif, sehingga
mampu menjawab persoalan-persoalan kehidupan manusia; dan
c. Menganalisis asumsi-asumsi masa depan yang ingin diwujudkan oleh pendidikan
Islami. Maka, untuk menganalisis asumsi-asumsi tersebut, pelaksana pendidikan harus;
1) Memiliki kemampuan untuk menganalisis pola perubahan dan kecenderungan yang
sedang berjalan;
2) Menyusun gambaran tentang dampak yang akan ditimbulkan; dan
3) Menyusun program penyesuaian diri yang akan ditempuh dalam jangka waktu
tertentu.12
Dari asumsi masa depan yang ingin diwujudkan dengan didasarkan pada nila-nilai
(values) ilahiyah, dapat dikembangkan visi dan misi pendidikan yang jelas dan terarah,
baik pada tingkat makro maupun mikro. Untuk mengembangkan visi pendidikan Islam
pada tingkat makro, diperlukan perumusan pendidikan Islam yang dapat menunjang
transformasi menuju masyarakat yang memiliki identitas berdasarkan nilai-nilai Islami,
menitikberatkan pada pembentukan ’abd atau hamba Allah, manusia yang memiliki
aktualisasi diri, kreatif, inovatif, dan keterpedulian terhadap perubahan. Sedangkan untuk
mengembangkan visi pada tingkat mikro, perumusan pendidikan Islam harus dapat
menghasilkan: (a) manusia religius ilahiyah, (b) manusia berbudaya-berperadaban, (c)
memiliki pengetahuan dan teknologi, (d) memiliki keterampilan dan profesional, (e)
memiliki integritas pribadi yang merdeka, (f) berkepribadian, bermoral dan berakhlakul
karimah, (g) memiliki sikap toleransi kemanusiaan tinggi dan menghargai hak asasi
manusia, (h) berpikir dalam konteks lokal, tapi bertindak dalam konteks global dalam
kehidupan.
Tujuan kurikulum pendidikan Islam harus didasarkan pada:
a. Prinsip menyeluruh, serasi, efisien, efektif, dan dinamis;
b. Orientasinya harus jelas, bersifat problematik, strategis, antisipatif, menyentuh aspek
praktis kebutuhan manusia;
c. Membangun dan mengembangkan masyarakat secara utuh, menyeluruh sebagai insan
kamil dalam semua aspek kehidupan yang tercermin dalam sosok manusia bertaqwa

danberiman, berpengetahuan, berketerampilan, beramal shalih, berkepribadian,

12

Muchtar Buchari, Pendidikan dalam Pembangunan, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994), hlm.

45

9

bermoral anggun dan berakhlakul karimah, dalam rangka memperoleh kesejahteraan,
kebahagian dan keselamatan dunia dan akhirat secara utuh.
3. Kurikulum yang Ideal bagi Sekolah dan Madrasah
Konsep kurikulum yang sesuai untuk diterapkan baik di sekolah maupun madrasah,
menurut Dr. Abdur Rohman, M.Ag dibagi menjadi 4.13 Yakni:
a. Kurikulum Subyek Akademik
Kurikulum ini bertujuan memberikan pengetahuan yang solid serta melatih para
siswa menggunakan ide-ide dan proses penelitian.14 Dengan pengetahuan yang
dimiliki, diharakan siswa memiliki konsep-konsep dan cara-cara yang dapat terus
dikembangkan dan bermanfaat untuk masyarakat yang lebih luas.
Metode pembelajaran yag menerapkan konsep kurikulum ini, akan didominasi
oleh ekspositori, sebagian kecil inquiri dengan pola teacher centered, yang berupaya
transfer pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai kepada anak. Ide-ide yang diebrikan
guru kemudian di elaborasi siswa sampai mereka menguasai. Konsep utama disusun
secara sistematis, dengan ilustrasi yang jelas untuk selanjutnya dikaji dan
mengeksplorasi masalah dan mencari jalan pemecahnya.
b. Kurikulum Teknologis
Kurikulum sebagai teknologi berusaha memberikan dasar ilmiah kepda proses
pembelajaran yang selama ini terlampau banyak merupakan seni (art). Hasil-hasil
teknologi baik yang berupa hardware, seperti proyektor, LCD, TV, komputer, radio,
dll maupun yang berupa software, seperti teknik penyusunan kurikulum baik secara
makro maupun mikro, ini diimplementasikan untuk kemajuan pendidikan.

15

Secara

historis, contoh penerapan software pada pembelajaran, contohnya PPSI, modul,
perintah pemrograman (programmed instruction), dll. Ini artinya, teknologi pendidikan
secara terpadu dan sistematis berkaitan erat dengan komponen-komponen kurikulum.
c. Kurikulum Humanistik
Kurikulum ini menekankan integrasi, yakni kesatuan perilaku antara kognitif,
afektif dan psikomotorik.16 Kurikulum ini menekankan keseluruhan, harus mampu
memberikan pengalaman yang menyeluruh, bukan terpenggal-penggal. Selain itu,
kurikulum ini juga menuntut hubungan yang baik antara guru dan murid. Guru harus
13

Abdul Rohman, Pengembangan Kurikulum; Teori dan Praktik, (Semarang: PT Karya Abadi Jaya,
2015), hlm. 50
14
Abdul Rohman, hlm. 51
15
Abdul Rohman, hlm. 52
16
Abdul Rohman, hlm. 54

10

mampu menciptakan hubungan yang hangat dengan murid, disamping juga sebagai
salah satu sumber belajar yang memberikan materi kepada murid dengan menggali
dari pengalaman dan pengetahuan murid serta memperlancar proses pembelajaran.
Dalam kurikulum ini, biasanya menggunakan model everyone is a teacher here atau
mengutip konsep Najelaa Shihab dengan menggunakan model semua guru semua
murid. Sehingga terjadi proses saling belajar dalam kurikulum ini.
d. Kurikulum Rekonstruksi Sosial
Kurikulum rekonstruksi sosial merupakan kurikulum yang berpusat pada problemproblem yang dihadapinya dalam sebuah masyarakat. Kurikulum ini bertujuan untuk
menghadapkan siswa pada tantangan, ancaman, hambatan-hambatan atau gangguan
yang dihadapai manusia.17 Masalah-masalah ini bersifat universal dan harus dikaji
dalam kurikulum. Pengembang kurikulum berusaha mencari keselarasan antara tujuantujuan nasional dan tujuan siswa. Guru dituntut untuk selalu berusaha membantu siswa
menemukan bakat dan kebutuhannya.

17

Abdul Rohman, hlm. 5

11

D. KESIMPULAN
Dalam konteks di sekolah, kaitannya dengan kurikulum adalah, bahwasanya kurikulum
itu terdiri dari pengalaman belajar yang akan dianalisis dan dipelajari oleh siswa, di mana
pengalaman itu berbentuk masalah-masalah yang harus dipecahkan oleh siswa. Masalahmasalah tersebut dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok yaitu: 1) Pengelompokan
anak, 2) Perbedaan kecakapan intelektual, 3) Perbedaan kesehatan dan kekuatan, 4) Masalah
sernangat dan motivasi, 5) Masalah daya tarik, 6) Masalah keindahan, 7) Masalah penampilan,
8) Masalah kepekaan, 9) Masalah kemampuan, 10) Masalah kebutuhan.

Idealnya, kurikulum di madrasah, didasarkan pada nila-nilai (values) ilahiyah, dapat
dikembangkan visi dan misi pendidikan yang jelas dan terarah, baik pada tingkat makro
maupun mikro. Untuk mengembangkan visi pendidikan Islam pada tingkat makro,
diperlukan perumusan pendidikan Islam yang dapat menunjang transformasi menuju
masyarakat yang memiliki identitas berdasarkan nilai-nilai Islami, menitikberatkan pada
pembentukan ’abd atau hamba Allah, manusia yang memiliki aktualisasi diri, kreatif,
inovatif, dan keterpedulian terhadap perubahan. Sedangkan untuk mengembangkan visi
pada tingkat mikro, perumusan pendidikan Islam harus dapat menghasilkan: (a) manusia
religius ilahiyah, (b) manusia berbudaya-berperadaban, (c) memiliki pengetahuan dan

teknologi, (d) memiliki keterampilan dan profesional, (e) memiliki integritas pribadi yang
merdeka, (f) berkepribadian, bermoral dan berakhlakul karimah, (g) memiliki sikap
toleransi kemanusiaan tinggi dan menghargai hak asasi manusia, (h) berpikir dalam
konteks lokal, tapi bertindak dalam konteks global dalam kehidupan.

12

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rohman. Pengembangan Kurikulum; Teori dan Praktik. (Semarang: PT Karya Abadi
Jaya. 2015)
Abudin Nata. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta : Logos Wacana Ilmu. 2001)
Ahmad Syafii Ma’arif Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Umat. Jurnal Pendidikan
Islam, No.2 Th. 1 Oktober 1996. (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah UII, 1996)
al-Syaibani, Muhammad al-Toumy, dalam Hasan Langgulung. Asas-asas Pendidikan Islam,
(Jakarta : Pustaka al-Husna. 1987)
Ardi Widodo, Sembodo. Problematika Pendidikan Islam (Suatu Tinjauan dari Aspek
Epistemologi). dalam Abdur Rahman Assegaf, dkk. Pendidikan Islam di Indonesia.

(Yogyakarta: Suka Press. 2007)
Azyumardi Azra. Paradigma Baru Pendidikan National (Rekonstruksi dan Demokratisasi).
(Jakarta : Buku Kompas. 2002)
----------------------. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi M.enuju Milenium Bora.
(Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu. 1999)
Hamdani Ihsan, Fuad Ihsan. Filsafat Pendidikan Islam. (Bandung : Cv Pustaka Setia. 2001)
Iskandar Wkyokusumo, Usman Mulyadi. Dasar-DasarPengembangan Kurikulum. (Jakarta :
Bina Aksara. 1988)
Langgulung, Hasan. Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Husna, 1987), hlm. 304,
Muchtar Buchari. Pendidikan dalam Pembangunan. (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
1994)
Muihaimin. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. (Jogjakarta : Pustaka Pelajar. 2003)
Zainal Arifin. Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum. (Bandung: Remaja Rosdakarya.
2012)

13