KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA KDRT DI DAL

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
DI DALAM SASTRA INDONESIA
Resti Nurfaidah, S.S.
Balai Bahasa Bandung
Jalan Sumbawa Nomor 11, Bandung, 40113
Pos-el: goresan_penaku@yahoo.com
Abstract:
The violence on the household cannot be said as a new phenomenon. Some part of the
people in the country said that it is an old culture as the man with his bad attitude doing
criminalities to his family or other people that stay together in the same place. The
violence has been so long chosen by the writers as their topic. Trough some characters on
the source of the data, we can find that there are so many things behind the bad attitudes.
So many things that makes someone throw her/his morality away to do the violence to
other people.
Keywords: kekerasan, KDRT
1. Pendahuluan
Kasus kekerasan dalam rumah tangga atau lebih dikenal dengan singkatan KDRT
tersebut pada beberapa tahun ini banyak yang mencuat ke permukaan dan menelan
korban yang jumlahnya tidak sedikit. Sebenarnya, KDRT bukan merupakan kasus baru di
dalam kehidupan manusia, melainkan merupakan kasus klasik yang hampir terjadi dalam
setiap generasi manusia. Firaun sang penguasa Mesir tidak segan-segan menghukum dan

mengeksekusi istrinya, Asiah, dan pelayan setia istrinya, Maesaroh, hanya karena kedua
wanita itu teguh menjaga keimanannya terhadap Allah swt. Beberapa penguasa Romawi
juga melakukan kekerasan terhadap keluarganya demi mewujudkan ambisinya itu. Salah
seorang pangeran di negara Eropa Timur tega menyingkirkan istrinya yang sedang hamil
tua, mendorongnya ke jurang, agar ia bebas melakukan kebiasaan buruk seksualnya.
Salah seorang pemikir Prancis terkenal tega membuang kelima anak-anaknya hanya
karena tidak menginginkan keributan di rumahnya.

Di Indonesia, kekerasan dalam rumah tangga, terutama terhadap kaum
perempuan, bukan lagi hal baru. Bahkan, perlakuan kasar kaum lelaki di suatu daerah
tertentu, sudah menjadi semacam “budaya” dalam lingkungan keluarga. Sejumlah
media pun menyajikan berbagai kasus penganiayaan dan perkosaan dalam keluarga.
Ironisnya, tindakan kekerasan tersebut kebanyakan masih ditutupi-tutupi, karena
selain dianggap sebagai wilayah pribadi yang tak boleh dicampuri orang lain, juga
lebih dipandang sebagai aib, sehingga dinilai tabu untuk dibuka ke umum (Rustam,
2005:16).
Dewasa ini banyak anak atau istri yang menjadi korban kekerasan, baik yang
dilakukan oleh suami atau anggota keluarganya yang lain. Beberapa bulan yang lalu,
sebuah acara kriminal menayangkan seorang anak remaja yang tega menyiksa ibunya
dengan balok kayu hingga tewas karena tidak diberi uang untuk membeli obat terlarang.

Pada stasiun televisi yang lain, acara serupa juga menayangkan prahara rumah tangga
pasangan suami-istri yang sama-sama berprofesi sebagai aparat militer. Seorang suami

1

tega membunuh istrinya yang berpangkat lebih tinggi hanya karena ia merasa dilecehkan
oleh sang istri. Padahal, istrinya selama ini sempat mengeluh bahwa suaminya kerapkali
cemburu dan menyiksa dirinya, serta menaruh tuduhan yang tidak benar. Masih banyak
pula kisah selebritis tragis yang mendapat perlakuan keras dari pasangannya, misalnya,
salah seorang artis senior yang juga berprofesi sebagai seorang rohaniwan mendapat
perilaku buruk dari suaminya. Peristiwa itu terjadi di depan orang banyak dan juga anakanaknya dari perkawinan mereka terdahulu. Akhirnya, perkawinan itu pun terpaksa
diakhiri.
KDRT akan berbuntut panjang pada segala hal. Selain menimbulkan korban luka,
hal itu juga tidak jarang menelan korban jiwa. Kasus Arie Hanggara yang tewas di tangan
ibu tirinya merupakan salah satu contoh korban KDRT. Kasus itu merupakan kunci dari
kasus serupa yang satu per satu terungkap ke permukaan. Sejak kasus Arie Hanggara itu,
semakin banyak kasus KDRT yang terungkap dan para pelaku telah mendapatkan
ganjarannya.
Kasus KDRT tersebut banyak memberikan inspirasi kepada para sastrawan untuk
mengangkat tema serupa ke dalam karya sastranya dan menampilkan peristiwa

mengerikan tersebut melalui perilaku sejumlah tokoh. Karya sastra merupakan suatu
produk dari refleksi atau mirror image dari kehidupan manusia yang mengalami
peristiwa-peristiwa serupa (Adi, 2001:88). KDRT dalam sastra Indonesia menunjukkan
bahwa peristiwa tersebut juga hamper senantiasa hadir di dalam kehidupan manusia.
Tulisan ini akan memaparkan KDRT yang terdapat di dalam beberapa karya sastra
Indonesia, di antaranya (1) novel Nyai Dasima: Tragedi Wanita Asal Desa Kuripan,
Keluarga Permana, dan Adam Hawa, (2) cerpen Keping Kasih Terakhir dan Bahagia
Mutiara, dan (3) cerbung 2 x 24 Jam. Selain paparan tadi, penulis juga ingin
mendeskripsikan latar belakang terjadinya KDRT tersebut berikut hal-hal yang terjadi
akibat peristiwa itu.

2. Kekerasan dalam Rumah Tangga di dalam Sastra Indonesia
Analisis tentang KDRT di dalam sastra Indonesia tersebut penulis awali dengan
KDRT dalam novel Nyai Dasima. Setelah itu, secara berturut-turut, analisis dilakukan
terhadap KDRT dalam novel Keluarga Permana, dan Adam Hawa, cerpen Keping Kasih
Terakhir dan Bahagia Mutiara, serta (3) cerbung 2 x 24 Jam.

2.1 KDRT dalam Novel Nyai Dasima: Tragedi Wanita Asal Desa Kuripan
KDRT dalam Novel Nyai Dasima: Tragedi Wanita Asal Desa Kuripan terdapat
pada segmen kehidupan Dasima bersama Bang Samiun. Setelah memutuskan berpisah

dengan Edward William, Dasima menikah dengan Bang Samiun dan ditempatkan dalam
satu rumah bersama istri tuanya, Hayati, dan ibu kandungnya, Wak Saleha.
Semula Dasima mengharapkan bahwa perkawinan yang kedua ini hidupnya akan
jauh lebih baik dan tenteram. Ia merasa jenuh hidup sebagai pasangan bangsa Eropa. Hal
itu terungkap dalam kutipan “curhat” Dasima kepada Mak Buyung berikut.

2

“Lalu ame siape nyang Nyai bosenin.”
“Saya bosen kepada kehidupan ini.” (ND, 2000:72)
Dasima merasa tidak nyaman hidup di samping suami Inggrisnya itu, terutama
jika harus mendampingi pasangannya itu dalam pesta jamuan relasi suaminya. Sindiran
dan gunjingan ia dengar sendiri terutama dari bibir para nyonya asing itu. Semula ia
masih dapat menahan diri, tetapi lama-kelamaan ia tidak mampu juga. Hal itu
diungkapkannya kepada Williams.
“Mula-mula saya kuat menghadapi tertawaan atau sindiran mereka. Setelah
lama, saya tidak kuat. Maka satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri saya
adalah saya minta lepas dari tangan Tuan Williams. […]” (ND, 2000:84)
Pada saat yang bersamaan, ia sudah tertarik kepada juragan kusir delman yang
sudah beristri tetapi tidak beranak, Bang Samiun. Mak Buyung yang sudah kaya

pengalaman hidup itu dapat dengan mudah mendeteksi hal itu seperti yang terungkap
dalam kutipan berikut.
Mak Buyung bernapas panjang.
“Nyai makin ketarik ame Miun, ye?”
“Entahlah, Mak Buyung.” (ND, 2000:76)
Bang Samiun yang cowok matre itu juga sangat mendambakan Dasima dan ia
ingin mendapatkan wanita itu dengan segala cara, termasuk menempuh jalur mistis.
Melalui bantuan Mak Buyung, Bang Samiun seakan mendapatkan jalan yang lebar untuk
mendekati dan menarik Dasima dari rumah itu. Berbagai informasi tentang Dasima selalu
ia dapatkan dengan mudah dari mulut nenek tua itu. Ia memerintahkan kepada Mak
Buyung untuk menabur pelet sang dukun pada makanan dan minuman sang pujaan.
Terlebih setelah mantra dari dukun itu ternyata mujarab ketika tidak lama kemudian
setelah makan makanan itu, terjadi pertengkaran sengit antara Dasima dan suami
Eropanya itu. Dasima yang telah tertutup mata dan hatinya itu bersikeras untuk
meninggalkan kehidupan mewah di rumah itu dan kembali ke asalnya, “dunia slam”
(dunia orang pribumi).
Sayangnya hati Nyai Dasima sudah bulat. Tidak perlu lagi dibicarakan, katanya.
Keputusannya mau hidup kembali dengan sesame orang Slam yang sebangsa.
Yang tidak membeda-bedakan. Yang tidak pernah menggunjingkan sambil
menghina. Dia akan puas hidup di tengah orang-orang yang tinggal di kampung

padat tepi Sungai Ciliwung itu.(ND, 2000:98)
Tidak lama setelah hengkangnya dia dari rumahnya itu, Dasima menikah dengan
Bang Samiun. Ia tinggal serumah dengan istri tuanya, Hayati, dan mertuanya, Wak
Saleha. Hanya sekejap keramahan yang ia terima dari penghuni rumah itu. Selebihnya
merupakan neraka bagi Dasima. Ia tidak ubahnya sebagai pelayan dan sapi perahan yang
bekerja selama hampir 24 jam dalam sehari.
Bahkan, Nyai Dasima merasa seperti diuji dengan teramat berat. Dia belum
sempat mandi sudah harus menyelesaikan pakaian-pakaian kotor suaminya yang
menumpuk untuk dicuci di sumur.
Dia pula yang harus membersihkan piring-piring dan gelas yang dipakai
semalam serta menyeterika pakaian-pakaian Bang Samiun. Sejak pagi-pagi

3

sekali, dia harus mulai menyalakan tungku dapur. Sementara itu, orang-orang
serumah, termasuk Hayati, masih tidur pulas.
Dia menimba pula berkali-kali. Ketika pertama kalinya dilakukan tangannya
kelu. Jari-jarinya lecet. Ketika malam tiba, seluruh persendiannya sakit-sakit.
Toh diteruskan lagi esok harinya. Biarpun sakit dipaksakannya juga. Suara
timba berderit-derit. Pekerjaan itu dikerjakan oleh jongos atau tukang kebunnya

dulu ketika masih berada di Pejambon. Kini ia sendiri yang melakukannya.
(ND, 2000:103—104)
Cacian dan makian setiap saat ia terima terutama dari madu dan ibu mertuanya
yang tidak pernah merasa puas dengan hasil kerja sang nyai.
Kalau pulang mereka lalu marah-marah. Ada saja pekerjaan saingannya yang
dicela, dicerca, dan dimaki Hayati. Emaknya tidak mau ketinggalan
menunjukkan kenyinyirannya. (ND, 2000:109)
Bukan hanya penderitaan fisik yang ia terima dari penghuni rumah itu, melainkan
pula penderitaan psikis. Dasima tidak diperbolehkan untuk keluar dari rumah itu karena
pintu-pintunya terkunci rapat jika seisi rumah pergi. Ia dibiarkan dalam keadaan lapar dan
pekerjaan rumah yang setumpuk nyaris tanpa jeda.
Lumrahlah Nyai Dasima bertambah kecewa dan sedih menghadapi kenyataan
yang bertolak belakang. Dia amat kelelahan. Laparnya juga menjadi-jadi. Sering
perutnya berbunyi dan tidak seorang pun di rumah kampung Kwitang itu yang
mendengar. Pernah juga terniat pada diri Nyai Dasima untuk lari dan pergi jauh
dari rumah terkutuk milik Bang Samiun itu. Tetapi apa dayanya. Pintu depan
dan pintu belakang rumah itu dikunci dari luar. Nyai Dasima yang di dalam
tidak bisa berbuat apa-apa kecuali memberesi persiapan makanan di dapur atau
mengisi bak mandi dengan menimba air dari ember. (ND, 2000:109)
Tekanan demi tekanan mendorong Dasima untuk memutuskan keinginan bercerai

dari juragan delman itu. Ia pun menuntut harta yang telah diambil darinya.
“Jangan berpura-pura lagi kepadaku. Sebelum pergi, aku minta cerai dulu.
Kembalikan barang dan uangku. Yang sudah terlanjur Abang belanjakan tidak
apa-apa. Tetapi sisanya yang masih sangat banyak, serahkan kembali kepadaku.
Aku tidak main-main. Aku bisa melaporkan kepada opas. Sebelumnya aku
menghubungi Tuan Williams. Aku yakin dia akan menolongku. (ND, 2000:116)
Bang Samiun yang merasa kebingungan akhirnya menempuh jalan yang keji. Ia
meminta bantuan Bang Puase untuk menghabisi nyawa Dasima. Rencana pembunuhan itu
sangat rapi hingga Dasima tidak menaruh curiga kepada suaminya. Namun, kian lama
hatinya bertanya-tanya setelah melihat perbedaan sikap Hayati dan Wak Saleha malam
itu.
Lama-lama, dia jadi curiga. Dia bisa menembak tingkah emaknya dan Hayati
yang agak aneh. Sikap mereka tidak seramah seperti saat pergi ke laut dua hari
yang lalu. Ada apa sebenarnya? Dijebakkah Nyai Dasima? (ND, 2000:131)
Di tengah perjalanan menuju tempat pertunjukkan, Bang Puase menghadang
rombongan itu. Tiga serangkai, Bang Samiun, Hayati, dan Wak Saleha pura-pura terkejut
dan tidak memberikan pertolongan. Mak Buyung dan Kuntum, pembantu baru di rumah

4


Bang Samiun, terpaku diam. Kejadian itu begitu cepat, secepat Bang Puase melempar
jenazah Dasima ke Sungai Ciliwung. Pelaku pembunuhan sadis itu menyangka bahwa
mayat Dasima tidak akan pernah ditemukan karena habis dimakan binatang-binatang
yang ada di sungai itu.
Seluruh tubuh Mak Buyung gemetaran melihat adegan berikutnya. Begitu
cepat. Bang Puase melemparkan korbannya ke Sungai Ciliwung yang sedang
deras-derasnya, setelah terlebih dulu mencopoti barang-barang perhiasannya
satu per satu, termasuk juga kunci-kunci yang tergantung pada setagennya.
Barang-barang itu dimasukkan ke dalam saku celana dan buntelan sarungnya.
Sambil menceburkan korban dia mengharapkan agar kura-kura, biawak, ular,
dan buaya dan binatang-binatang buas lainnya di sungai itu melumat-lumat
tubuh Nyai Dasima. (ND, 2000:132)
Namun, ibarat pepatah yang berbunyi sedalam-dalamnya dosa dikubur lama
kelamaan ia akan muncul ke permukaan. Mayat Dasima tidak hancur, tetapi utuh
tersangkut akar pohon di rumah Pejambon dan diketemukan oleh tukang kebun di rumah
itu. Meskipun begitu kasus itu masih tertutup misteri selama beberapa waktu hingga
akhirnya pasukan opas mendapat laporan dari dua saksi mata. Dalam waktu singkat para
pelaku pun ditangkap dan dijebloskan ke dalam bui.
Seperti Bang Puase, kedua tangan Bang Samiun diborgol. Habislah riwaytnya
sebagai juragan delman. Dia terlibat langsung dalam pembunuhan Nyai Dasima

dan dikenai hukuman sepuluh tahun.
Wak Saleha dan Hayati juga tersangkut perkara kriminal yang menghebohkan
itu. Karena perempuan, tidak bisa melarikan diri dan bersembunyi seperti
kebanyakan lelaki. Mereka pun mendapatkan ganjaran setimpal dengan
perbuatannya. Masing-masing mendapatkan ganjaran tiga tahun penjara. […]
Lantaran Mak buyung pula maka Nyai Dasima kahirnya pergi meninggalkan
rumahnya di Pejambon dan kawin dengan lelaki yang tidak bertanggung jawab.
Secara tidak langsung, Mak Buyung juga punya hubungan criminal dengan
Bang Puase. Atas perbuatannya itu, Mak Buyung tidak luput dikurung di dalam
bui enam bulan. (ND, 2000:141-142)
KDRT dalam novel tersebut merupakan kekerasan dalam bentuk fisik, yang selain
menimbulkan penderitaan fisik korban juga mengakibatkan penderitaan psikis. Korban
kekerasan dalam novel tersebut adalah Dasima sedangkan para pelaku tindak
kekerasannya adalah orang yang tinggal di dalam rumah itu, termasuk suaminya.
Berkaitan dengan penderitaan fisik, Dasima kerapkali menerima perlakuan kasar
dari seisi rumah itu dan dibiarkan menderita kelaparan. Tubuhnya susut seketika.
Sementara itu, penderitaan psikis yang ia derita berupa pengurungan. Dasima dilarang
pergi ke luar rumah dan semua pintu terkunci rapat. Selain itu, ia tidak diberi jeda untuk
beristirahat atau sekedar mengisi perutnya. Akibatnya, Dasima pun tertekan dan
mendorong tekadnya untuk menyatakan perceraiannya kepada suaminya serta menuntut

harta bendanya. Konspirasi pun terjadi di antara penghuni rumah dan seorang pembunuh
bayaran. Penghuni rumah yang telah banyak memakai harta Dasima tentu tidak akan
sanggup mengganti barang-barang mahal itu dan tidak mau menyerahkan kembali harta
Dasima yang telah menempel di dinding dan lantai rumah itu. Untuk mempertahankan
hartanya itu, mereka sepakat menempuh jalan pintas untuk menyingkirkan Dasima.

5

Akhirnya, Dasima pun harus kehilangan nyawanya dan menjadi korban dari konspirasi
tragis itu.
2.2 KDRT dalam Novel Keluarga Permana
KDRT dalam Novel Keluarga Permana diawali dengan pemecatan Permana dari
kantornya yang berbuntut panjang. Pemecatan itu mengakibatkan perubahan drastis pada
diri Permana. Ia merasa hina dengan keadaannya sekarang, tidak bekerja dan hanya
menjadi penunggu rumah. Ia merasa malu jika berhadapan dengan tetangga dan keluarga
dari kedua belah pihak karena ia kini tidak memiliki jabatan apa pun. Ia merasa malu
kepada Saleha, istrinya, yang kini harus menanggung beban keluarga seorang diri.
Rasa malu, kecewa, dan gengsi yang berlebihan akhirnya bertumpuk tanpa dicari
jalan keluarnya. Persoalan demi persoalan yang kian menumpuk itu membuat Permana
mengalami depresi akut. Ia tidak mampu lagi melihat kenyataan yang ada. Rasa takut
kehilangan dan gengsi yang berlebihan kepada Saleha membuatnya menaruh rasa
cemburu kepada wanita itu. Sebagai seorang sekretaris perusahaan, tentu Saleha kerapkali
bersama dengan atasannya. Kedekatan mereka memicu rasa cemburu di dalam diri
Permana. Terlebih pada suatu hari, Permana menyaksikan istrinya menumpang mobil
atasannya itu. Permana tidak mengetahui bahwa atasan istrinya hanya ingin mengajaknya
pulang bersama, tidak lebih dari itu, dan ia tidak memiliki maksud lain. Saleha yang
masih diselimuti kelelahan yang luar biasa itu didampratnya. Pertengkaran pun tidak
terelakkan. Bukan sekali dua kali jika Permana melakukan tindak kekerasan kepada
istrinya. Caci maki dan tamparan menjadi makanan Saleha sehari-hari.
Selain kepada istrinya, masih ada korban lainnya yang juga tidak berdaya di
tangan Permana, yaitu Ida, anaknya sendiri. Ida kerapkali menerima perilaku buruk sang
ayah, tendangan, pukulan cambuk, tamparan, laksana budak yang lemah.
Plang! Tangan bapak Ida menyambar pipi Ida. Gadis itu menangis.mengaduh.
tak tahu lagi Ida berapa keras ia menyuarakan kesedihannya. Ia lari ke kamar.
Tak dikiranya ayahnya akan mengikutinya. Tahu-tahu ayahnya sudah ada di
pintu kamar dengan rotan di tangan. […]
Rotan melayang dengan seketika, mencambuk tangan ida. Lalu, mencambuk
kakinya. Sebelah kiri. Lalu yang sebelah kanan. Dengan tak ada belas kasihan
sedikit pun. Ida lari dari kamarnya. Dan masih terngiang di telinganya kata-kata
ayahnya yang mengancam, “Ayo, laporkan semua ini pada ibumu! Dan awas
kalau kau tak segera melaporkan kepadaku di mana ibumu. Cari sepat di mana
dia. Cari!” (KP, 1978:25)
Sejak perubahan perilaku sang ayah, Ida tidak pernah mencicipi nikmatnya hidup
di usia remaja. Kehidupannya lebih sebagai burung di dalam sangkar emas. Ia tidak
diizinkan keluar rumah kecuali pada jam sekolah! Selebihnya, tidak sama sekali!
Benar, rumah ini adalah penjara baginya. Cuma waktu sekolah saja Ida bisa
meninggalkan tempat itu. Sesudah itu pintu di depan itu seperti dikunci mati.
(KP, 1978:53)
Bagi para penghuni rumah itu, bangunan yang lumayan kokoh itu laksana neraka
jahanam. Tidak ada ketenangan dan kedamaian yang hadir di sudut rumah. Terlebih,
keluarga itu tidak pernah mendapatkan siraman rohani. Mereka hanya mendapatkan cap

6

sebagai keluarga muslim turunan. Tiada pernah ada upaya untuk mendalami agama demi
memperkuat fondasi rumah itu. Keimanan yang rapuh dan masalah yang kian bertumpuk
membuat setiap anggota keluarga itu saling membuat jarak yang lebar. Kebersamaan
mereka tinggal cangkang telurnya saja, sementara isinya lenyap entah ke mana.
Situasi rumah yang sudah tidak sehat aspek lahir dan batin menjadikan
penghuninya yang mendapatkan masalah merasa sumpek. Rumah yang seharusnya
menjadi baiti jannati atau surga bagi pemiliknya tidak mampu dijadikan sebagai tempat
pemecahan masalah dan musyawarah. Yang tinggal di rumah itu kini hanyalah intimidasi,
kecemburuan, sikap emosional, pasrah tanpa ada usaha, terutama pada diri sang kepala
keluarga (Permana). Permana sebagai kepala keluarga seharusnya dapat menjadi
sandaran bagi anggota keluarganya. Saleha, istrinya, memerlukan tempat untuk
mencurahkan isi hati, sedangkan Ida memerlukan tempat untuk berlindung. Namun,
mereka tidak menemukan pelabuhan hati yang damai pada diri Permana. Bagi ibu dan
anak itu, Permana tidak ubahnya menjadi sosok yang paling menakutkan dan mengerikan.
Musyawarah yang mereka lakukan hampir selalu berakhir dengan makian dan siksaan.
Permana telah melakukan kesalahan fatal dalam mengelola rumah tangganya. Ia
memilih jalan kekerasan untuk menyelesaikan masalah rumah tangganya. Ia laksana
seorang algojo yang selalu siap siaga dengan berbagai senjata di tangannya. Setiap saat
anak atau istrinya dapat menjadi korban kekejamannya, meskipun hanya untuk soal
sepele.
Kekejaman Permana berawal dari rasa frustasinya yang berlebihan akibat
pemecatan yang dilakukan bosnya. Permana yang merasa kecewa karena kesalahannya
hanya sedikit bila dibandingkan dengan kesalahan pihak lain yang terlibat dalam kasus
suap di perusahaannya. Ia merasa kecewa karena orang yang seharusnya dijadikan
sebagai tersangka kasus itu justru bebas berkeliaran. Rasa kecewa, malu, dan gengsi
berbaur menjadi satu. Hal itulah yang membuat Permana menjadi gelap mata. Persoalan
sedikit saja dapat menyinggung perasaannya dan meninggikan emosinya. Mental dan
keimanan yang rapuh sangat mendukung perubahan perilaku yang drastis itu.
Kekejaman Permana semakin menjadi-jadi ketika ia bersama Saleha sepakat
untuk menggugurkan janin di dalam kandungan Ida. Kehamilan Ida terjadi di luar
pernikahan. Hal itu menjadi aib besar bagi keluarga Permana. Permana tidak
menginginkan tetangga atau kerabatnya menggunjingkan keluarganya hanya karena
kehamilan yang tidak diharapkannya itu. Ida sebenarnya tidak menghendaki keputusan
kedua orang tuanya itu. Ia memimpikan bayi yang dikandungnya lahir dan dibesarkan
dengan tangannya sendiri. Namun, Ida tetap pada peranannya sebagai makhluk yang
lemah. Ia tidak berdaya ketika menghadapi vonis yang dijatuhkan oleh kedua orang
tuanya. Janin Ida hancur karena obat yang ia minum. Obat dari dukun aborsi itu rupanya
selain menghancurkan janin juga merusak organ reproduksinya. Ida mengalami infeksi
hebat.
Ida yang lemah akhirnya harus menjalani serangkaian perawatan medis.
Kondisinya belum pulih benar ketika dalam waktu dekat ia berhasil menunjukkan sedikit
keperkasaannya. Kali ini ia mampu mengalahkan kedua orang tuanya. Ida dapat
mewujudkan keinginannya untuk menikah dengan lelaki pujaannya, Sumarto. Sumartolah
yang telah menodainya. Lelaki yang sempat terusir dari rumah itu, hadir kembali di dalam
kehidupannya untuk menunjukkan tanggung jawabnya dengan menikahi gadis yang ia
cintai. Namun, hal itu ia lakukan dengan satu syarat. Ia tidak bersedia pindah keyakinan.
Sumarto dan Ida berbeda keyakinan, Sumarto beragama Katolik dan Ida beragama Islam.

7

Ida yang telah berada di puncak kejenuhannya tinggal di dalam sangkar besi, bersikeras
untuk menikahi pemuda itu meskipun harus meninggalkan keyakinannya.
Keperkasaan Permana tampaknya telah layu ketika ia menghadapi upacara
perkawinan dan pemakaman anaknya yang mengundang pro dan kontra itu. Meskipun
para kerabat merasa gemas dan kecewa melihat sikap Permana dan Saleha yang
membiarkan anaknya murtad, tetapi Permana tidak menunjukkan sikap emosionalnya itu.
Ia dan Saleha hanya pasrah dan mengalah.
2.3 KDRT dalam Novel Adam Hawa
KDRT yang terdapat di dalam novel Adam Hawa tampak pada (1) perilaku Adam
kepada Maia, (2) perilaku Maia kepada Idris, (3) perilaku Adam kepada Khabil, (4)
perilaku Adam kepada Munah, dan (5) perilaku Marfu’ah kepada Adam.
2.3.1 Perilaku Adam kepada Maia
Perilaku Adam kepada Maia lebih pada pemaksaan kehendak dirinya dan tidak
membebaskan Maia untuk menikmati kehidupan di Taman Eden, termasuk dalam hal
bercinta. Adam yang selalu tergila-gila kepada Maia, perempuan yang pertama kali
ditemuinya di taman itu, hingga ia tidak merelakan tubuh makhluk yang sangat menggoda
itu rusak diterpa sinar matahari dan debu. Selain itu, Adam merasa takut jika pada suatu
hari ia kehilangan Maia. Oleh karena itu, Adam memutuskan untuk mengurung Maia di
dalam Rumah Batu.
Karena ingin memelihara kulit itu, Maia si Perempuan dilarang Adam untuk
keluar dari pintu seditiga Rumah BAtu yang selalu ditutupnya rapat ketika ia
akan keluar. Adam sadar betul, tubuh halus itu bisa hangus dan kasar seperti ini
tak lain karena ulah matahati. Maka jadilah hari-hari Maia si Perempuan hanya
di rumah. Ia telah menjadi perempuan pertama yang hidup di belakang matahari
lelaki Adam (AH, 2005:43)
Dikurung sekian lama di dalam Rumah Batu membuat Maia dilanda rasa bosan
yang luar biasa, meskipun Adam selalu bersedia memenuhi segala kebutuhannya.
Walau wajahnya sangat pucat karena selalu berada di balik tudung matahari,
matanya masih tampak tegas dan bersitkan suatu rencana akibat desakan
kebosanan berada terus-menerus dalam sekapan di Rumah Batu. Adam memang
memenuhi segala kebutuhan makanan Maia. (AH, 2005:43)
Ditambah lagi dengan penolakan terhadap keinginan Maia untuk melakukan
variasi dalam bercinta dengan sang Adam. Seraya menunjukkan otoritasnya, Adam
menolak dengan keras keinginan Maia itu. Di dalam kesehariannya, Maia tidak diberi
kesempatan untuk menyampaikan pendapat atau keinginannya. Maia harus menurut
perintah Adam karena Adam merasa dirinya sebagai Putera Tuhan yang memiliki otoritas
di tempat itu. Hal itu membuat ambisi Maia untuk melarikan diri dari Adam semakin
kencang. Ia pun nekad melawan sang pejantan itu dan melarikan diri dari Rumah Batu itu.
Perjuangan Maia membuahkan hasil. Ia berhasil melarikan diri dari kungkungan
sang penyekap dan meninggalkan pejantan yang wajahnya berlumurkan darah itu di
penjara yang disebut Rumah Batu.

8

2.3.2 Perilaku Maia Kepada Idris
Selama beberapa lama Maia terus berjalan hingga ia bertemu dengan Idris di yang
sedang duduk di bawah sebuah pohon rindang. Sejak pertemuan dengan lelaki
penggembala itu, Maia telah menaruh harapan agar lelaki itu mau menanamkan benihnya
di dalam rahimnya. Ia berdoa kepada Tuhan agar harapannya itu dapat dikabulkan seperti
yang terungkap dalam kutipan doa Maia berikut.
“Tuhan dengarkan doaku. Semoga lelaki ini mau menanamkan benihnya
kepadaku. Demi dendam ini maulah kau, lelaki. Demi dendam ini, setubuhi aku
sepuasmu hingga bunting dan kelak akan kunamai anak itu Ijajil. Ia yang akan
membelah dada Adam dan membawakanku empedu perutnya untuk gantikan
empeduku yang luka nanah bertahun-tahun karena perbuatannya. Ijajil, anakku,
akan mengoyaknya. Lunasi dendam ibunya. (AH, 2005:80)
Wanita itu berambisi agar pembunuhan sang Adam terjadi secara “manis”. Ia telah
merencanakan agar yang membalaskan dendam bukan dirinya, melainkan keturunannya.
Ia akan mendidik keturunannya itu sebagai seorang pembunuh berdarah dingin dan hanya
membenci satu nama, yaitu Adam.
Idris merupakan “adik” Adam yang terusir dari Rumah Batu sang kakak. Lalu, ia
mendirikan rumah yang serupa itu. Maia sempat bertanya-tanya dalam hatinya apakah
ada hubungan tertentu antara Idris dan Adam setelah melihat bentuk rumah yang hampir
sama itu. Kelak ia pun mengetahui hal itu.
Mengapa rumah hunian Idris ini sama persis dengan rumah Batu Adam? Punya
hubungan apakah kedua lelaki ini? Ataukah lelaki ini didikan Adam juga? (AH,
2005:81)
Keinginan Maia untuk mendapatkan keturunan dari Idris pun terpenuhi. Hanya
saja, ia sempat merasa kecewa dengan jenis kelamin bayi yang dilahirkannya itu. Semula
ia mengharapkan kehadiran seorang anak lelaki. Namun, Maia harus menerima kenyataan
bahwa bayinya berkelamin perempuan.
“Tak apa. Tak mengapa bila kau bukan lelaki yang akan pecundangi banyak
permpuan dan lelaki, yang sekaligus habisi riwayat Adam. Tak mengapa,
Anakku.” (AH, 2005:88)
Maia pun mengubah strategi pembalasan dendamnya. Dibuatnya sebuah
perjanjian yang kelak merugikan sebelah pihak, yaitu Idris. Setelah kelahiran anaknya itu,
Maia tidak lagi membutuhkan Idris dan lebih berkonsentrasi pada pelaksanaan
rencananya itu. Maia tidak menginginkan Idris merusak rencananya itu. Selain itu, ia
merasa khawatir jika Idris akan tergoda oleh anaknya, Marfu’ah, yang tumbuh sangat
sempurna itu. Disodorkannya sebuah perjanjian yang mengerikan kepada lelaki penurut
itu. Demi Maia, Idris menyanggupi perjanjian itu. Isi dari perjanjian itu terungkap dalam
kutipan berikut ini.
Perjanjian itu berbunyi bahwa Idris tak akan masuk rumah Batu untuk
mengganggu atau menyetubuhi Maia ketika anak yang dikandung Maia sudah
lahir. (AH, 2005:93)

9

Perjanjian terakhir itu adalah bahwa daging tunjang Idris yang terbiasa menegak
bila melihat Maia ngangkang itu harus dirubuhkan kalau ternyata anak yang
lahir adalah perempuan (AH, 2005:93)
Sejak perjanjian itu disanggupi, posisi Idris tidak lebih sebagai seorang pelayan
yang selalu bersedia untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan sang majikan. Ia hanya
diperbolehkan memasuki rumah batu itu pada waktu makan dan hanya beberapa saat saja.
Selebihnya ia banyak berdiam di bangunan lain yang didirikannya.
Satu-satunya jatah untuk masuk Rumah Batu hanyalah saat makan, dan itu pun
hanya sebentar. Selain itu, Idris bertugas menjadi pelayan ibu dan anak itu
kelak, dan sediakan segala makanan buat mereka setiap harinya. (AH, 2005:93)
Idris menepati janjinya untuk memenuhi perjanjian yang terakhir itu, yaitu
bersedia dikebiri oleh Maia. Pelaksanaan eksekusi pengebirian terhadap Idris terungkap
secara gamblang dalam kutipan berikut ini.
Dua pukulan pertama Maia menumbuk bagian ujung daging itu. Ini membuat
dunia sekitar Idris berguncang hebat. Seluruh sarafnya menegang, seluruh
ototnya menyembul seperti pahatan lukisan di dinding Rumah Batu. Empat
patok kayu yang mengekang tangan dan kakinya bisa tercabut jika saja tak
ditanam dalam-dalam akibat tarikan kekuatan Idris yang tiba-tiba saja
melimpah. Tapi itu hanya sekejap sebab setelah itu Idris merasa darahnya tibatiba berhenti. Dirasainya semua pergelangan tulang kaki, terutama sekali
kakinya, seperti diperosotkan begitu saja, dan seketika rasa sakit itu bergerak
cepat hingga ke ubun-ubun. Bila saja matanya tak dibebat, mungkin mata itu
akan meloncat keluar. Bila saja mulutnya tak disumpal, mungkin mulut itu akan
robek. Maia butuh enam pukulan untuk remukkan kejantanan Idris. Hanya
pukulan pertama Maia sajalah yang dirasakan Idris, sebab setelah itu ia sudah
tak sadarkan diri. (AH, 2005:96)
Usai pelaksanaan eksekusi tersebut, Maia semakin leluasa melakukan rencananya
untuk membalaskan dendam kepada lelaki jantan yang menyekapnya dan memerkosanya
itu.
2.3.3 Perilaku Adam kepada Khabil
Sejak kelahiran kedua anak kembarnya, Khabil dan Munah, hubungan Adam
dengan mereka sudah renggang. Entah mengapa Adam merasa kesulitan untuk merasa
dekat dengan kedua anaknya itu.
Adam merasa sulit membina hubungan dengan keduanya, sementara mereka
akan mencium kaki Hawa dengan syahdunya, dengan sangat khidmatnya. (AH,
2005:109)
Hingga pada suatu hari, setelah si kembar telah beranjak dewasa, Adam dengan
keras menegaskan kepada keluarganya bahwa kini Khabil telah dewasa. Namun, pemuda
yang baru matang itu belum dapat dikatakan sebagai seorang dewasa jika belum
melaksanakan perjalanan di luar Rumah Batu selama enam purnama.

10

Dengan penuh ancaman ia katakan kepada ketiganya bahwa Khabil telah
dewasa, dan ia tak mungkin bisa disebut dewasa bila tak berjalan enam purnama
lamanya pulang balik. (AH, 2005:110)
Khabil berang mendengar perintah sang ayah, demikian pula dengan Munah.
Perintah tolol itu dianggap si kembar sebagai sarana untuk perpisahan mereka. Perang
tatapan mata pun terjadi di antara ketiganya, Adam, Khabil, dan Munah. Melihat tatapan
anaknya yang begitu menusuk ke dalam hatinya, Adam menegur dengan keras agar
Khabil tidak menatap dirinya seperti itu. Namun, Khabil tidak mau mengalah. Ia semakin
menunjukkan keberaniannya, hingga akhirnya mendorong anaknya untuk bertarung di
luar rumah.
Adam menunjuk dengan tegas ke muka Khabil dan berkata dengan penuh
murka, “ bila kau tak sepakat dengan perintahku, mari keluar. Kita bertarung.
Bila kau menang, aku akan keluar dari rumah ini untuk selama-lamanya. Tapi
bila kau kalah, kau harus mengikuti semua perintahku dan tunduk!” (AH,
2005:111)
Munah yang ingin membantu Khabil terpaksa mengurungkan niatnya karena
ditahan oleh sang ibu. Pertarungan yang tidak seimbang itu dimenangkan oleh Adam.
Khabil akhirnya hengkang dari tempat itu.
Dan memang hanya dalam beberapa gerakan saja, delapan kali kepalan tangan
Adam menghancurkan muka Khabil. Tak hanya bonyok, Khabil pun bersimbah
darah sebelum ambruk menyerah. (AH, 2005:112)
2.3.4 Perilaku Adam Kepada Munah
Adam bukan hanya membenci dan mengutuk Khabil, melainkan pula Munah. Ia
sangat membenci anak perempuan satu-satunya itu, terutama setelah Munah mematahkan
salah satu sayap enggan kesayangan ayahnya. Dendam di dalam diri Adam sudah tidak
tertahankan lagi. Siksaan demi siksaan dilayangkan ayah yang sudah gelap mata itu
kepada putri semata wayangnya itu.
Tangan kanan Adam langsung menjambak rambut Munah. Anak itu tersungkur
dan melolong keras, sementara adam berdiri berkacak di depannya. Belum
sempat Munah bangun, kaki kiri Adam sudah bersarang di perutnya. Serta merta
tangisnya melolong. Kalap, tangan Adam tak sudah-sudah menjambak rambut
Munah dan menamparnya berkali-kali. Saat Munah tergeletak, kaki Adam
sangat terlatih menghajar brutal tubuh anak malang itu. “Rasakan ini, anak
terkutuk! Kau rusak enggang kesayanganku, anak gila!” (AH, 2005:120)
Kebencian Munah kepada sang ayah semakin menjadi-jadi, ditambah lagi dengan
kerinduannya kepada sang kekasih yang tidak lain adalah saudara kembarnya sendiri,
Khabil, yang tidak kunjung menemuinya. Gadis yang malang itu akhirnya menderita
hilang ingatan dalam penantiannya. Adam semakin tidak memedulikan anaknya yang
malang itu.
Sementara Adam tak memedulikannya sama sekali. (AH, 2005:117)

11

Kekejaman Adam tidak berhenti sampai di situ. Kepergian Khabil membuka
peluang baginya untuk membunuh Munah. Diincarnya anaknya itu yang pada saat itu
sedang berjalan di bawah pohon Khuldi. Lalu, ia menyergapnya dan berhasil
menyingkirkan Munah dengan cara membunuhnya.
Di siang hari yang panas, dua hari sebelum bertemu dengan Marfu’ah, Adam
melihat Munah berjalan sendirian menuju pohon khuldi. Dengan keahlian
pemburu tak terkalahkan, di rimbunan perdu, Adam menyergap Munah dari
belakang yang menurutnya telah kehilangan ingatan lantaran tujuh purnama
ditinggalkan kembarannya, Khabail. Hanya sekali banting, Munah terpelanting
dan saat itulah dua tangan kekar adam menggenggam penuh leher Munah.
Hanya beberapa saat Munah menggelepar tahankan maut sebelum terdiam
dengan mata membelalak dan lidah menjulur dan air ludah menetes-netes. (AH,
2005:157—158)
2.3.5 Perilaku Marfu’ah Kepada Adam
Marfu’ah yang telah tumbuh menjadi gadis matang itu tiba pada hari yang telah
ditentukan oleh sang ibu untuk melaksanakan rencanannya. Dibekalinya Marfu’ah dengan
sebilah batu tajam yang terselip di balik bajunya. Marfu’ah berjalan terus hingga tiba di
bawah rimbunan sebuah pohon Khuldi menanti Adam.
Rencana pun berjalan lancar. Marfu’ah berhasil menaklukan sang Adam. Ketika
sedang bercinta itu, Marfu’ah menggunakan senjata itu dan mengoyak luka yang
menganga tepat di ulu hati sang pejantan. Adam yang tidak pernah menduga akan
terjadinya peristiwa itu, merasa terkejut melihat luka dan darah yang memuncrat dari
dadanya itu.
Bersegeralah Adam bangun begitu melihat aliran darah itu makin lama makin
deras serupa anak sungai, hingga disaksikannya sendiri lambungnya sudah
berlubang. (AH, 2005:162)
Menjelang ajal menjemput Adam, Marfu’ah membuka kedoknya. Ia mengatakan
siapa dirinya sebenarnya dan siapa dalang dari peristiwa itu.
“Akulah putrinya. Putri Maia, si Perempuan. Dan diajarkannya kepadaku sejak
aku dalam rahimnya siapa engkau ini, dan seperti apa rupa keberengsekanmu
serta bagaimana cara terbaik menyelesaikanmu. Kau tahu kenapa ibuku
melakukan ini semua? Ha ha ha ha, disebabkan karena kau putera Tuhan; karena
putra Tuhan sepertimu tak lain adalah lelaki pemerkosa. Karena putera Tuhan itu
pemerkosa, maka putera Tuhan itu harus dihabisi. Di tanganku, dendam itu
diselipkannya. Dan aku sudah jalankan semua itu dengan baik. Ha ha ha ha ha
ha.” (AH, 2005:164)
Berdasarkan pada kelima uraian KDRT dalam novel Adam Hawa tadi bahwa
novel tersebut sarat dengan unsur-unsur kekerasan. Adam yang mengakui bahwa dirinya
merupakan putera Tuhan melakukan tindakan kekerasan terutama kepada kedua anak
kembarnya. Hal itu dilakukan Adam karena rasa iri dan rasa kehilangan kasih sayang dari
Hawa,
istrinya.
Hawa
yang
merasakan
perubahan
perilaku
Adam hanya dapat bersikap pasrah dan lebih mencurahkan perhatiannya kepada kedua
anaknya itu.

12

Sejak janin kembarnya masih bersemayam di dalam rahim istrinya, Adam telah
dapat merasakan bahwa bakal anaknya itu akan membawa bencana karena Hawa telah
memakan buah terlarang, buah khuldi, saat kehamilannya itu. Ketika kedua anaknya itu
tumbuh semakin besar, sikap antipati Adam kepada mereka tidak berubah bahkan
semakin menjadi-jadi. Perlakuan sang ayah semakin kasar hingga akhirnya kedua buah
hatinya itu menaruh dendam yang tiada tertahankan di dalam kalbunya. Khabil dan
Munah berani membalas tatapan tajam dan hardikkan sang ayah dengan balasan yang
serupa. Pada suatu kesempatan hal itu mendorong Adam melontarkan tantangan kepada
Khabil untuk bertarung. Khabil tidak menolak tawaran itu. Keduanya bertarung dengan
sengit. Lawan yang tidak seimbang bagi Khabil membuahkan kekalahan baginya.
Sesuai dengan perjanjian di antara ayah dan anak itu, pihak yang kalah harus
meninggalkan Rumah Batu. Khabil yang kalah tarung itu akhirnya memutuskan untuk
hengkang dari keluarganya. Munah merasa keberatan dengan kepergian saudara
kembarnya sekaligus kekasihnya itu hingga ia terhanyut dalam penantian yang panjang
dan penuh duka. Puncak dari penantiannya itu, ia didera hilang ingatan.
Kepergian Khabil merupakan rencana pertama Adam yang telah berhasil dilalui.
Dengan kepergian anak lelakinya itu, peluang bagi Adam untuk menyingkirkan anak
gadisnya semakin terbuka lebar. Eksekusi pun dilakukan pada waktu yang tepat ketika
Munah sedang berjalan-jalan di bawah pohon khuldi. Munah pun menghembuskan
napasnya di tangan sang ayah. Jasadnya digantung di salah satu dahan pohon khuldi
sebagai peringatan bagi para pelanggar perintah putera Tuhan.
Selain Adam, masih ada pihak lain yang melakukan kekerasan terhadap orang
terdekat dalam hidupnya, yaitu Maia. Melalui perjanjian kejam yang dibuatnya sebelum
kelahiran hasil hubungannya dengan Idris, Maia menginginkan agar Idris bersedia
dikebiri. Idris yang selalu menuruti semua kemauan Maia menyanggupi dan memenuhi
janjinya itu. Eksekusi bagi Idris dilakukan sendiri oleh Maia. Ia berhasil menghancurkan
kejantanan Idris dengan cara yang sangat keji.
Dari kelima butir uraian tentang KDRT dalam novel Adam Hawa merupakan
tindak kekerasan fisik dan psikis. Dendam Maia terpupuk subur setelah ia mengalami
pelecehan seksual dan penyekapan sekian lama oleh Adam, sedangkan lelaki pejantan
perdana itu seolah tidak pernah mau memahami keinginan pasangannya itu. Dendam
serupa juga terpupuk dalam hati Khabil, anak kandung Adam, sebagai akibat perlakuan
buruk Adam kepada anaknya itu. Perilaku sadis Maia terhadap Idris lebih diakibatkan
pada ketakutan wanita cantik itu terhadap pasangannya jika suatu saat lelaki itu akan
tergoda kepada Marfu’ah, buah hati mereka. Sementara itu, kematian Munah lebih
disebabkan dendam Adam kepada anak perempuan semata wayangnya karena telah
mematahkan sayap hewan kesayangannya itu, sedangkan kematian Adam lebih
disebabkan oleh buah pendidikan yang sesat (salah asuh) Maia terhadap Marfu’ah.
2.4 KDRT dalam Cerpen Keping-Keping Terakhir
Bentuk KDRT yang terdapat di dalam cerpen Keping-Keping Terakhir adalah
kekerasan fisik dan psikis, terutama yang dilakukan oleh para ibu. Nenek Saras dulu
berlaku kurang adil kepada salah seorang anaknya yang kelak menjadi ibunya Saras.
Kehamilannya yang ketiga saat itu bersamaan dengan peristiwa perselingkuhan suaminya,
kakeknya Saras, seperti yang terungkap dalam kutipan berikut.

13

Mungkin karena seperti kata Mbah Misrun, pembantu setiaku, saat mengandung
aku, Bapak selingkuh. (KKKT, 2005:68)
Bukan hanya berselingkuh, kakek Saras ternyata mengawini selingkuhannya itu.
Perselingkuhan sang kakek bermula dari kekecewaan terhadap takdir yang tidak
memberikannya seorang anak laki-laki yang dapat ia banggakan. Perkawinannya dengan
selingkuhan itu bersamaan dengan kehamilan neneknya Saras yang kelak melahirkan ibu
Saras. Untuk melampiaskan kekesalannya, nenek Saras menaruh sasaran kebenciannya
kepada janin yang ada di dalam kandungannya itu. Ia menuduh sang janin sebagai biang
keladi dari peristiwa ini.
Sakit hati Ibu pada Bapak nyata pada lebam biru bekas cubitan Ibu di sekujur
tubuhku. Kepedihan Ibu adalah umpatan, makian, jambakan, dan pukulan
untukku. Hanya aku. (KKKT, 2005:68)
Sebenarnya, nenek Saras saat itu sedang membutuhkan perhatian lebih dari
suaminya, tetapi ia sama sekali tidak mendapatkannya. Sementara itu, untuk menutupi
kesalahannya, kakek Saras berbalik menuduh istrinya bahwa janin yang ada di dalam
kandungannya bukan berasal dari benihnya. Jadilah penderitaan nenek Saras saat itu
semakin bertumpuk. Hal itu semakin menambah kebenciannya kepada sang janin yang
tidak berdosa itu.
Setelah lahir, nasib bayi itu tidak lebih baik. Ia selalu menjadi sasaran kemarahan
dan kekesalan kedua orang tuanya. Terlebih, wajah sang bayi cenderung mirip
selingkuhan sang ayah. Semakin kloplah penderitaannya. Sejak dilahirkan, bayi yang
kelak menjadi ibunya Saras itu tidak pernah merasakan kasih sayang sang ibu, bahkan,
sekedar sentuhan, pelukan, dan ciuman sayang. Hanya pengasuh setianyalah, Mbah
Misrun, yang menjadi tempat perlindungannya. Anak yang tersingkir itu tidak pernah
mengerti atas perbedaan perlakuan kedua orang tuanya. terlebih setelah kelahirannya
disusul oleh kelahiran sang adik yang ternyata seorang laki-laki. Kelahiran sang adik itu
ternyata luar biasa kuat medan magnetnya hingga sang ayah bersedia meninggalkan dan
menceraikan istri mudanya yang ternyata mandul itu.
Tapi kemudian adikku lahir. Seorang lelaki, seperti dambaan Bapak.
Kehadirannya membaut Bapak berubah. Bapak bahkan meninggalkan istri
keduanya yang ternyata tidak bias memberi keturunan. (KKKT, 2005:68)
Setelah kelahiran itu, masih ada seorang adik bungsunya yang lahir, lagi-lagi
perempuan. Meskipun demikian, kedua kakak dan kedua adiknya mendapat perhatian
yang sangat luar biasa dari ayah dan ibunya, kecuali anak ketiga, ibunya Saras. Ia tidak
ubahnya seperti seorang upik abu di tengah keluarga tirinya. Ia tidak luput dari sasaran
kemarahan ayah dan ibunya. Bahkan, sang ayah tetap mempertahankan tuduhannya
bahwa anak ketiga yang malang itu bukan darah dagingnya.
Bapak pun nampaknya masih menyangka aku bukan benihnya, entah kenapa.
(KKKT, 2005:67)
Meskipun demikian, prestasi si anak malang itu tidak pupus begitu saja. Seperti
saudara yang lainnya, ia juga dianugerahi kecerdasan yang luar biasa.
Ia terpesonan melihatku pada malam temu alumni, tiga tahun setelah aku lulus
kuliah dengan nilai cum laude. (KKKT, 2005:68)

14

Hanya saja, prestasi yang diraihnya tidak pernah mendapatkan tempat di dalam kalbu
ayah, ibu, adik, dan kakaknya. Hal ini membuatnya cukup tertekan, tetapi ia berusaha
untuk menepisnya keras-keras. Bahkan, ia tumbuh menjadi seorang gadis yang tangguh.
Namun lihatlah, aku menjadi gadis yang tangguh. Aku tidak takut kritikan pun
komentar orang. Aku sudah terbiasa disakiti. (KKKT, 2005:68)
Beruntung ia masih memiliki adik lelaki semata wayangnya yang selalu berbuat
baik kepadanya. Bukan itu saja, sang adik bahkan pada jauh-jauh hari telah meramalkan
bahwa sang kakak akan bersanding dengan seorang pangeran. Hal itu kelak terbukti.
Ia dinikahi seorang pemuda tampan dan berasal dari keluarga kaya raya. Pesta
perkawinan pun diadakan di sebuah hotel berbintang lima. Keluarga yang semula selalu
mencaci-maki dan mencibirnya kini berbalik 180 derajat. Pada pesta perkawinannya
inilah untuk pertama kalinya sang ibu memeluknya dengan penuh kasih sayang dan
linangan air mata.
Pesta pernikahanku digelar di sebuah hotel bintang lima. Seingatku, itu untuk
pertama kalinya Ibu menciumku dengan air mata berlinang, berdoa untuk
kebahagiaanku. (KKKT, 2005:68)
Namun, meskipun telah berubah, terutama setelah kelahiran Saras, jarak di antara ibu dan
nenek Saras sudah sedemikian lebar. Dendam sudah terpatri dengan rapi di dalam benak
dan kalbunya.
Gangguan psikis akibat penderitaan yang berkepanjangan itu timbul ke
permukaan tepatnya setelah kelahiran Saras. Keluarga dari pihak ibu Saras tersedot
perhatiannya kepada bayi mungil itu. Sang nenek dengan penuh kasih sayang menimang
dan mengasuh cucunya. Demikian pula dengan kakek Saras. Sang ibu tidak pernah
mengerti mengapa mereka melakukan hal itu kepada cucunya bukan kepada dia ketika
masih kecil. Sifat iri hati di dalam hati sang ibu mulai mednampakkan ledakkannya. Ia
merasa iri dengan perhatian yang sedemikian melimpah dari keluarganya termasuk sang
suami yang sangat menyayangi Saras.
Entahlah, mungkin aku iri dengan perhatian yang diberikan untuknya. (KKKT,
2005:67)
Selain itu, ia menaruh rasa iri karena Saras tampak jauh lebih cantik daripada dirinya. Ia
menaruh rasa benci kepada darah dagingnya sendiri. Jika hal itu terjadi, ia tidak segansegan melampiaskan kebenciannya itu dengan berbagai siksaan yang bertubi-tubi kepada
anak semata wayangnya.
Dan jika rasa benci itu datang aku akan menyakitinya; mencubit, memukul,
mencengkeram, atau mengurungnya di kamar mandi. (KKKT, 2005:68)
Perilaku buruk sang ibu membuat Saras juga mengalami hal yang sama dengan
apa yang dirasakan oleh ibunya dulu. Sarah merasa frustasi dengan sikap ibunya yang
tiba-tiba meledak-ledak dan selalu disertai serangkaian siksaan fisik kepadanya, tetapi
setelah itu berbalik bersikap lembut dan kembali mengajaknya bermain atau
membelikannya makanan kesukaannya. Hanya sang ayah yang menyayanginya. Namun,
kesibukan sang ayah yang tiada tara membuatnya harus berada jauh dari sisinya. Saras

15

yang menderita laksana setangkai mawar yang sedang mekar di tengah gurun pasir yang
tidak bertepi. Ia mencari pelindung, tetapi pelindung itu jarang menhampirinya. Ia pun
menderita di tengah badai kemarau. Kelopaknya hancur dan jatuh satu per satu. Saras
hanya dapat mengungkapkan penderitaannya itu ke dalam karya-karyanya yang berupa
puisi, cerpen, atau lukisan. Ia tidak pernah mengadukan perilaku ibunya kepada sang
ayah. Kedua pembantunya juga tidak berani mengadukan hal itu kepada majikannya.
Ayah Saras, Pak Fuad, tidak pernah mengetahui penderitaan anaknya itu.
Wali kelas dan guru konseling di sekolah Saraslah yang menangkap symbol
penderitaan gadis kecil itu. Berkali-kali pihak sekolah mengirimkan surat panggilan
kepada ibunya Saras. Namun, tanggapan dari ibu Saras sungguh di luar dugaan. Ia tidak
peduli dengan surat panggilan itu. Telepon dari pihak sekolah pun kerapkali tidak
dijawabnya. Sebaliknya, ia merasa terganggu dengan surat dan dering telepon itu.
Aku mengeluh dalam hati. Tidak hanya surat-surat itu yang membuatku sebal.
Beberapa kali wali keras Saras menelpon ke rumah, atau HP. Tapi aku tak ingin
mengangkatnya. Malas. Buang-buang waktu. (KKKT, 2005:64)
Wanita itu sangat angkuh. Lebih parah lagi, ia tidak membiarkan suaminya mengetahui
pelik-pelik pendidikan sang anak. Berita dari tempat pendidikan sang anak ia tutup rapat
bagi suaminya.
Kedatangan pihak sekolah pun ia sambut dengan reaksi yang tidak
menyenangkan. Ia seakan tidak peduli dengan upaya pihak sekolah untuk memperbaiki
kondisi Saras. Wanita pengelola kafe dan butik itu seakan menutup jalan keluar yang
ditawarkan pihak sekolah, yaitu terapi bagi Saras dan sang ibu. Ia merasa tersinggung
karena merasa digurui oleh guru konseling itu.
“Oke, terima kasih,” aku menerima kartu yang ia sodorkan. “Percayalah. Saya
dan putri saya, tidak membutuhkan bantuan Anda. Saya biasa menangani
masalah saya sendiri.” (KKKT, 2005:67)
Keangkuhan ibu yang pesakitan itu mencapai puncaknya ketika ia merasa jengkel
dengan ulah putrinya yang membuat kamar tidur gadis itu berantakkan. Saras tidak
sempat membereskan kamarnya karena pada saat ia sedang bermain kemah-kemahan
dengan boneka kesayangannya, tiba-tiba terdengar bunyi dering telepon. Layaknya
seorang polisi yang sedang menginterogasi pencuri ayam, sang ibu bertanya dan memaki
anak semata wayangnya itu dengan kata-kata yang kasar. Saras berkali-kali memberikan
penjelasan dengan sebenar-benarnya seraya menahan sakit akibat deraan dari sang ibu.
Namun, ibu itu telah gelap mata. Ia seakan tidak mendengarkan penjelasan anaknya itu.
Luapan kemarahan yang dahsyat membuat perilakunya tidak terkendali. Ditendangnya
sang anak dengan sekuat tenaga hingga jatuh berguling-guling dan, akhirnya, gadis yang
tidak berdosa itu terkapar tidak berdaya di lantai bawah.
Peristiwa itu menyeret si gadis ke ruang ICU. Ia tidak sadarkan diri. Sang pelaku
tindak kekerasan kini benar-benar menyesali. Ia menyadari bahwa kini ia sangat
membutuhkan terapi dari seorang psikolog. Ia ingin menebus dosanya di tengah
kebingungannya untuk memilih kata-kata apa yang harus disampaikan kepada suaminya
yang kini masih berada di negeri matahari terbit. Terakhir, wanita itu teringat guru
konseling di sekolah anaknya dan meneleponnya. Ia ingin mengakhiri mimpi buruknya
itu dan berharap dapat menjadi seorang bidadari yang baik hati seperti yang terungkap di
dalam penggalan salah satu bait puisi yang ditulis oleh Saras.

16

Aku mau ke surga
Ketemu bidadari yang baik hati
Yang tidak suka memukuli (KKKT, 2005:66)
KDRT yang dilakukan oleh nenek kepada ibunya Saras semasa kecil dan yang
dilakukan oleh sang ibu kepada Saras merupakan pelanggaran pasal 5 yang
mengakibatkan cacat psikis dan fisik kepada korban. Ibu Saras mendapatkan keduaduanya, tetapi yang tetap melekat hingga ia dewasa adalah gangguan psikis dalam
dirinya. Hal itu terungkap dalam pertanyaan yang keluar dari kalbu Ibu Saras berikut.
Kenapa aku sering iri melihat kecantikannya, dan melihat betapa berlimpahnya
materi yang diberikan Mas Fuad untuknya? Kenapa kadang aku suka melihat air
mata yang mengalir di kedua pipi putihnya? Kenapa kadang keinginan untuk
menyakitinya begitu kuat? Kenapa aku menikmati kepedihan di matanya tatkala
kuhancurkan benda-benda kesayangannya? (KKKT, 2005:67)
Demikian pula dengan nasib Saras, gadis kecil yang menurut sang ibu juga harus dapat
merasakan penderitaan dirinya semasa kecil dulu.
Satu yang terpatri di benakku, kalau dulu aku harus menderita, Saras juga harus
merasakan apa yang pernah aku rasakan! (KKKT, 2005:68)
Bekas-bekas luka di tubuh Saras yang mencapai puncaknya dengan trauma hebat pada
otaknya menjadi bukti tindak kekerasan yang dilakukan oleh sang ibu. Akibat luka parah
yang dideritanya, Saras pun mengalami koma.
2.5 KDRT dalam Cerpen Bahagia Mutiara
KDRT dalam Cerpen Bahagia Mutiara tidak dalam bentuk kekerasan fisik
melainkan kekerasan psikis. Hal itu menimpa salah seorang teman Mutia yang bernama
Hetty. Semula Hetty menikah dengan Hari, t