MAKALAH Kekerasan Dalam Rumah Tangga (1)
MAKALAH
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Dosen pengampu : Yoseph Purwadi, SH.,M.Hum
Disusun Oleh :
KELOMPOK 8
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Oulyvia Marita
Rara Suci Rhamadhan
Rika Nilamsari
Riska Ayu Pratiwi
Rizky Zulfiana
Sari Malak Hanifah
(46/S16A)
(47/S16A)
(48/S16A)
(49/S16A)
(50/S16A)
(51/S16A)
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA
TAHUN AJARAN 2016/2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
berkat limpahan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyusun
makalah ini tepat pada waktunya.Makalah ini membahas kekerasan dalam rumah
tangga.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan
dan hambatan akan tetapi dengan berbagai bantuan dari pihak tantangan itu bisa
teratasi.Olehnya itu,penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat
balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
baik dari bentuk penyusunan maupun materinya kritik konstruktif dari pembaca
sangat penulis harapkan untuk penyempurnakan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita
sekalian.
Surakarta,23 September 2016
Penyusun
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar........................................................................................................i
Daftar isi................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Tujuan........................................................................................................2
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga............................................3
B. Bentuk-Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga.....................................4
C. Faktor-faktor penyebab Kekerasan dalam Rumah
Tangga........................6
D. Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah
Tangga..........................7
E. Perlindungan
bagi
Korban
KDRT............................................................8
F. Sudut pandang
pancasila..........................................................................1
2
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan..............................................................................................14
B. Saran........................................................................................................15
C. Daftar Pustaka..........................................................................................16
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak asasi merupakan hal yang sangat sensitif dalam
kehidupan manusia. Hampir diseluruh negara memiliki peraturan
tersendiri dalam melindungi HAM. Akan tetapi sering kali HAM
tersebut masih dipandang sebelah mata apalagi menyangkut
perbedaan gender antara pria dan wanita. Wanita sering kali
dianggap lebih rendah dibandingkan pria, sehingga sering kali
bermunculan kasus pelanggaran hak asasi manusia, khususnya
wanita dalam pelanggaran kekerasan dalam rumah tangga.
Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang
berperan
dan
berpengaruh
sangat
besar
terhadap
perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian setiap
anggota keluarga. Sebuah keluarga disebut harmonis apabila
seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai dengan
tidak adanya konflik, ketegangan, kekecewaan dan kepuasan
terhadap keadaan (fisik, mental, emosi dan sosial) seluruh
anggota keluarga. Keluarga disebut diharmonis apabila terjadi
sebaliknya.
Setiap
keluarga
masalahnya
masing-masing.
memiliki
cara
Apabila
untuk
menyelesaikan
masalah
diselesaikan
secara baik dan sehat maka setiap anggota keluarga akan
mendapatkan pelajaran yang berharga yaitu menyadari dan
mengerti perasaan, kepribadian dan pengendalian emosi tiap
anggota keluarga sehingga terwujudlah kebahagiaan dalam
keluarga. Penyelesaian konflik secara sehat terjadi bila masingmasing anggota keluarga tidak mengedepankan kepentingan
pribadi, mencari akar permasalahan dan membuat solusi yang
sama-sama
menguntungkan
anggota
keluarga
melalui
komunikasi yang baik dan lancar. Disisi lain, apabila konflik
diselesaikan secara tidak sehat maka konflik akan semakin sering
terjadi dalam keluarga.
1
B. TUJUAN
Tujuan dari rumusan masalah di atas yaitu
1. Menjelaskan yang dimaksud dengan Kekerasan dalam
Rumah Tangga.
2. Menjelaskan apa saja bentuk-bentuk Kekerasan dalam
Rumah Tangga.
3. Menjelaskan faktor-faktor penyebab Kekerasan dalam
Rumah Tangga.
4. Menjelaskan cara penanggulangan Kekerasan dalam
Rumah Tangga.
5. Menjelaskan perlindungan bagi korban KDRT.
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang
dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga, memiliki arti setiap perbuatan
terhadap
seseorang
terutama
perempuan,
yang
berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis,
ancaman
dan/atau
untuk
penelantaran
melakukan
rumah
perbuatan,
tangga
termasuk
pemaksaan,
atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga.
Masalah
kekerasan
dalam
rumah
tangga
telah
mendapatkan perlindungan hukum dalam Undang-undang Nomor
23 tahun 2004 yang antara lain menegaskan bahwa:
a. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa
aman dan bebes dari segala bentuk
kekerasan sesuai
dengan falsafah Pancasila dan Undang-undang Republik
Indonesia tahun 1945.
b. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama Kekerasan
dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi
manusia, dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan
serta bentuk deskriminasi yang harus dihapus.
c. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang
kebanyakan adalah perempuan, hal itu harus mendapatkan
perlindungan
dari
Negara
dan/atau
masyarakat
agar
terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman
kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan
derajat dan martabat kemanusiaan.
d. Bahwa
berdasarkan
pertimbangan
sebagai
dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu dibentuk
Undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga.
3
Tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri
sebenarnya merupakan unsur yang berat dalam tindak pidana,
dasar hukumnya adalah KUHP (kitab undang-undang hukum
pidana) pasal 356 yang secara garis besar isi pasal yang
berbunyi:
“Barang
siapa
yang
melakukan
penganiayaan
terhadap ayah, ibu, isteri atau anak diancam hukuman pidana”
B. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak
kekerasan
terhadap
istri
dalam
rumah
tangga
dibedakan
kedalam 4 (empat) macam :
1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa
sakit, jatuh sakit atau luka berat. Prilaku kekerasan yang
termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar,
memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang,
menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan
sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilurbilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.
2. Kekerasan psikologis / emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan
yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan /
atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara
emosional
adalah
penghinaan,
komentar-komentar
yang
menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari
dunia luar, mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana
memaksakan kehendak.
3. Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan)
istri dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan
seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan
kepuasan pihak istri.
4
Kekerasan seksual berat, berupa:
Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba,
menyentuh
organ
seksual,
mencium
secara
paksa,
merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa
muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.
Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban
atau pada saat korban tidak menghendaki.
Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai,
merendahkan dan atau menyakitkan.
Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk
tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu.
Terjadinya
hubungan
memanfaatkan
posisi
seksual
dimana
ketergantungan
korban
pelaku
yang
seharusnya dilindungi.
Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau
tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka,atau
cedera.
Kekerasan Seksual Ringan, berupa pelecehan seksual
secara verbal seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan,
ejekan dan julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi
wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta
perhatian
seksual
yang
tidak
dikehendaki
korban
bersifat
melecehkan dan atau menghina korban. Melakukan repitisi
kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis
kekerasan seksual berat.
4. Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup
rumah
tangganya,
padahal
menurut
hukum
yang
berlaku
baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib
memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada
orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak
memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri.
5
Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi,
manipulasi dan pengendalian lewat sarana ekonomi berupa:
Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk
pelacuran.
Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan
korban, merampas dan atau memanipulasi harta benda
korban.
Kekerasan Ekonomi Ringan, berupa melakukan upaya-
upaya sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak
berdaya
secara
ekonomi
atau
tidak
terpenuhi
kebutuhan
dasarnya.
C. Faktor-faktor penyebab Kekerasan dalam Rumah
Tangga.
Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam
konteks struktur masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (marital violence)
sebagai berikut:
1. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki
dianggap
sebagai
superioritas
sumber
dibandingkan dengan wanita, sehingga mampu
daya
mengatur dan
mengendalikan wanita.
2. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk
bekerja mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap
suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri
mengalami tindakan kekerasan.
3. Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban
sebagai pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan
terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga
tejadi kekerasan dalam rumah tangga.
4. Wanita sebagai anak-anak
Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum,
mengakibatkan
kele-luasaan
laki-laki
untuk
mengatur
mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita.
dan
Laki-laki
merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang
bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi
tertib.
6
5. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki
Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang
mengalami
kekerasan
oleh
suaminya,
diterima
sebagai
pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering
ditunda atau ditutup.
Alasan yang lazim dikemukakan oleh
penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami
melakukan
kekerasan
sepanjang
bertindak
dalam
konteks
harmoni keluarga.
D. Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Untuk menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah
Tangga, diperlukan cara-cara penanggulangan Kekerasan dalam
Rumah Tangga, antara lain:
1) Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan
berpegang
teguh
pada
agama
sehingga
dapat
menyelesaikan permasalahan dengan kesabaran.
2) Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah
keluarga, serta dapat saling mengahargai setiap pendapat
yang ada.
3) Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan
istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan
harmonis.
4) Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai
dan sebagainya antar anggota keluarga. Sehingga rumah
tangga dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah
ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk
melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka
yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih
dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan.
5) Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun
keuangan yang ada dalam keluarga, sehingga seorang istri
dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang minim,
sehingga
kekurangan ekonomi
dalam keluarga
dapat
diatasi dengan baik.
7
E. Perlindungan bagi Korban KDRT
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dulu dianggap
mitos dan persoalan pribadi (private), kini menjadi fakta dan
relita dalam kehidupan rumah tangga. Dengan berlakunya
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) maka persoalan
KDRT ini menjadi domain publik. Sebagian besar korban KDRT
adalah kaum perempuan dan pelakunya adalah suami, walaupun
ada juga korban justru sebaliknya, atau orang-orang yang
tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku atau korban
KDRT
adalah
orang
yang
mempunyai
hubungan
darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami,
dan anak bahkan pembatu rumah tangga, tinggal di rumah ini.
Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban karena
terpaut dengan struktur budaya, agama dan sistem hukum yang
belum
dipahami.
Padahal
perlindungan
oleh
negara
dan
masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman terhadap
korban serta menindak pelakunya.
UU PKDRT secara substanstif memperluas institusi dan
lembaga pemberi perlindungan agar mudah diakses oleh korban
KDRT, yaitu pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian,
kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya,baik perlindungan
sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Di sini
terlihat, bahwa institusi dan lembaga pemberi perlindungan itu
tidak terbatas hanya lembaga penegak hukum, tetapi termasuk
juga lembaga sosial bahkan disebutkan pihak lainnya.
Peran pihak lainnya lebih bersifat individual. Peran itu
diperlukan karena luasnya ruang dan gerak tindak KDRT,
sementara
institusi
dan
lembaga
resmi
yang
menangani
perlindungan korban KDRT sangatlah terbatas. Pihak lainnya itu
adalah setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui
terjadinya
tindak
KDRT.
Mereka
diwajibkan
mengupayakan
pencegahan, perlindungan, pertolongan darurat serta membantu
pengajuan permohonan penetapan perlindungan baik langsung
maupun melalui institusi dan lembaga resmi yang ada.
8
Dilihat dari stelsel hukum pidana, tindak KDRT ini adalah
tindak kekerasan sebagaimana diatur dalam Kitab UndangUndang
Hukum
Pidana
(KUHP)
yakni
tindak
pidana
penganiayaan, kesusilaan, serta penelantaran orang yang
perlu diberi nafkah dan kehidupan. Lalu mengapa masih
diperlukan UU PKDRT?
Memang, tindak kekerasan yang diatur dalam PKDRT ini
mempunyai sifat khas/spesifik, misalnya peristiwa itu terjadi di
dalam rumah tangga, korban dan pelakunya terikat hubungan
kekerasan
atau
hubungan
hukum
tertentu
lainnya,
serta
berpotensi dilakukan secara berulang (pengulangan) dengan
penyebab (causa) yang lebih kompleks dari tindak kekerasan
pada umumnya. Itu sebabnya, tindak kekerasan ini lebih
merupakan persoalan sosial yang tidak hanya dilihat dari
perspektif hukum. Penyelesaiannya harus dilakukan secara
komprehensif,
melalui
proses
sosial,
hukum,
psikologi,
kesehatan, dan agama, dengan melibatkan berbagai disiplin,
lintas institusi dan lembaga.
Bagaimanakah bentuk dan cara perlindungan itu, serta
bagaimanakah hubungan masing-masing institusi dan lembaga
pemberi
perlindungan
itu
secara
konkret
dan
faktual
di
lapangan? Itulah pokok persoalan yang perlu dibahas lebih lanjut.
Yang lebih penting lagi adalah bagaimana persoalan itu
dipahami oleh masyarakat luas sehingga cita-cita yang hendak
dicapai oleh legislator yang terkandung dalam UU PKDRT dapat
terwujud sesuai harapan.
Bentuk perlindungan Korban KDRT atau bahkan lembaga
pemberi
perlindungan
bagaimana
itu
sendiri
belum
tentu
memahami
perlindungan
itu didapatkan dan bagaimana diberikan. Bagi korban yang
status soseknya lebih tinggi atau institusi dan lembaga yang
tugas dan fungsinya selaku penegak hukum, tentu persoalan
mendapatkan dan atau memberikan perlindungan itu bukanlah
masalah. Tetapi bagi institusi dan lembaga di luar itu, perlu
mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang cukup serta
akreditasi selaku institusi dan lembaga pemberi perlindungan
terhadap korban KDRT.
UU PKDRT secara selektif membedakan fungsi
perlindungan dengan fungsi pelayanan.
9
Artinya tidak semua institusi dan lembaga itu dapat
memberikan perlindungan apalagi melakukan tindakan hukum
dalam rangka pemberian sanksi kepada pelaku. Perlindungan
oleh institusi dan lembaga non-penegak hukum lebih bersifat
pemberian pelayanan konsultasi, mediasi, pendampingan dan
rehabilitasi. Artinya tidak sampai kepada litigasi. Tetapi walaupun
demikian,
peran
masing-masing
institusi
dan
lembaga
itu
sangatlah penting dalam upaya mencegah dan menghapus
tindak KDRT.
Selain itu, UU PKDRT juga membagi perlindungan itu
menjadi perlindungan yang bersifat sementara dan perlindungan
dengan penetapan pengadilan serta pelayanan. Perlindungan
dan pelayanan diberikan oleh institusi dan lembaga sesuai tugas
dan fungsinya masing-masing:
a) Perlindungan
oleh
kepolisian
berupa
perlindungan
sementara yang diberikan paling lama 7 (tujuh) hari, dan
dalam waktu 1 X 24 jam sejak memberikan perlindungan,
kepolisian
wajib
meminta
surat
penetapan
perintah
perlindungan dari pengadilan. Perlindungan sementara
oleh kepolisian ini dapat dilakukan bekerja sama dengan
tenaga
kesehatan,
sosial,
relawan
pendamping
dan
pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Pelayanan
terhadap korban KDRT ini harus menggunakan ruang
pelayanan khusus di kantor kepolisian dengan sistem dan
mekanisme kerja sama program pelayanan yang mudah
diakses oleh korban.Pemerintah dan masyarakat perlu
segera
membangun
rumah
aman
(shelter)
untuk
menampung, melayani dan mengisolasi korban dari pelaku
KDRT. Sejalan dengan itu, kepolisian sesuai tugas dan
kewenangannya
dapat
melakukan
penyelidikan,
penangkapan dan penahanan dengan bukti permulaan
yang cukup dan disertai dengan perintah penahanan
terhadap pelaku KDRT. Bahkan kepolisian dapat melakukan
penangkapan
dan
penahanan
tanpa
surat
perintah
terhadap pelanggaran perintah perlindungan, artinya surat
penangkapan dan penahanan itu dapat diberikan setelah 1
X 24 jam.
10
b) Perlindungan
oleh
advokat
diberikan
dalam
bentuk
konsultasi hukum, melakukan mediasi dan negosiasi di
antara pihak termasuk keluarga korban dan keluarga
pelaku (mediasi), dan mendampingi korban di tingkat
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang
pengadilan (litigasi), melakukan koordinasi dengan sesama
penegak
hukum,
relawan
pendamping,
dan
pekerja
sosial(kerja sama dan kemitraan).
c) Perlindungan dengan penetapan pengadilan dikeluarkan
dalam
bentuk
perintah
perlindungan
yang
diberikan
selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang. Pengadilan
dapat
melakukan
penahanan
dengan
surat
perintah
penahanan terhadap pelaku KDRT selama 30 (tiga puluh)
hari apabila pelaku tersebut melakukan pelanggaran atas
pernyataan
yang
ditandatanganinya
mengenai
kesanggupan untuk memenuhi perintah perlindungan dari
pengadilan.
Pengadilan
juga
dapat
memberikan
perlindungan tambahan atas pertimbangan bahaya yang
mungkin timbul terhadap korban.
d) Pelayanan
tenaga
kesehatan
penting
sekali
artinya
terutama dalam upaya pemberian sanksi terhadap pelaku
KDRT.
Tenaga
kesehatan
sesuai
profesinya
wajib
memberikan laporan tertulis hasil pemeriksaan medis dan
membuat visum et repertum atas permintaan penyidik
kepolisian atau membuat surat keterangan medis lainnya
yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti.
e) Pelayanan pekerja sosial diberikan dalam bentuk konseling
untuk menguatkan dan memberi rasa aman bagi korban,
memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk
mendapatkan
perlindungan,
serta
mengantarkan
koordinasi dengan institusi dan lembaga terkait.
f) Pelayanan relawan pendamping diberikan kepada korban
mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan seorang
atau beberapa relawan pendamping, mendampingi korban
memaparkan secara objektif tindak KDRT yang dialaminya
pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan
pengadilan, mendengarkan dan memberikan penguatan
secara psikologis dan fisik kepada korban.
11
g) Pelayanan
oleh
pembimbing
rohani
diberikan
untuk
memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban dan
memberikan penguatan iman dan takwa kepada korban.
Bentuk
perlindungan
dan
pelayanan
ini
masih
besifat
normatif, belum implementatif dan teknis oparasional yang
mudah dipahami, mampu dijalankan dan diakses oleh korban
KDRT. Adalah tugas pemerintah untuk merumuskan kembali pola
dan strategi pelaksanaan perlindungan dan pelayanan dan
mensosialisasikan
kebijakan
itu
di
lapangan.
Tanpa
upaya
sungguh-sungguh dari pemerintah dan semua pihak, maka akan
sangat sulit dan mustahil dapat mencegah apalagi menghapus
tindak KDRT di muka bumi Indonesia ini, karena berbagai faktor
pemicu terjadinya KDRT di negeri ini amatlah subur.
Bahwa anggapan orang terjadinya KDRT merupakan akibat dari
suatu sebab konvensional seperti disharmonisasi dari tekanan
sosial ekonomi yang rendah, perangai dan tabiat pelaku yang
kasar, serta gagal dalam karier dan pekerjaan ternyata tidaklah
sepenuhnya benar, karena KDRT justru acapkali dilakukan oleh
mereka yang kondisi sosial ekonominya baik, sukses karier dan
pekerjaannya, bahkan berpendidikan tinggi.
KDRT merupakan multi persoalan, termasuk persoalan sosial,
ekonomi, budaya, hukum, agama dan hak asasi manusia. Upaya
menghapus KDRT di muka bumi Indonesia adalah perjuangan
panjang bangsa ini, khususnya kaum perempuan yang rentan
menjadi korban KDRT. Upaya sungguh-sungguh itu diharapkan
dapat mempengaruhi struktur dan karakteristik multi persoalan
tadi menjadi nilai yang diyakini benar dan dapat memberi rasa
aman, tenteram, adil dan bermartabat bagi keluarga dan bangsa
Indonesia.
F. Sudut pandang pancasila
Pancasila sebagai Dasar Negara telah jelas mengatakan bahwa segala
tindak kekerasan adalah dilarang karena bertentangan dengan sila pancasila.
Terutama pada sila kedua, yaitu “ Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Adapun
maksud yang terkait dalam masalah yang kami angkat adalah setiap manusia baik
laki-laki maupun perempuan tidak boleh menjadi obyek kekerasan dengan alasan
apapun dan bagaimanpun.
12
Dalam sila kedua terdapat pokok-pokok pikiran antara lain ; menempatkan
manusia sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk Tuhan, menjunjung tinggi
kemerdekaan sebagai hak segala bangsa, dan mewujudkan keadilan dan
peradaban yang tidak lemah. Sehingga dengan demikian, tindakan kekerasan
dalam rumah tangga merupakan tindakan yang menyimpang dari pancasila.
13
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perlindungan wanita dalam konteks KDRT ternyata sangat
penting untuk diperhatikan, mengingat kasus seperti ini sangat
banyak di Indonesia. KDRT merupakan suatu tindak pelanggaran
Hak Asasi Manusia.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) jika dilihat sudut
pandangnya dari pancasila sudah sangat jelas merupakan
tindakan yang tidak sesuai terutama dengan sila ke-2, yaitu
“kemanusiaan yang adil dan beradab”. Beberapa uraian dari sila
ini yang sangat bertentangan dengan tindak kekerasan terutama
KDRT adalah saling mencintai sesama manusia, menjunjung
tinggi nilai kemanusiaan, dan tidak semena-mena terhadap
orang lain.
Berdasarkan peristiwa tersebut dapat disimpulkan bahwa
implementasi Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang
PKDRT tidak berjalan efektif. Karena dalam penerapannya masih
banyak kasus yang tidak diselesaikan lewat jalur hukum dan
terhenti pada pihak kepolisian saja sehingga menghambat
kinerja Undang-Undang PKDRT. Oleh karena itu dibutuhkan
kerjasama
mendukung
dari
berbagai
implementasi
lembaga
yang
undang-undang
berwenang
KDRT
agar
dapat
bisa
meminimalisir terjadinya tindak pidana KDRT.
CONTOH KASUS
Contoh kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga yang kami
ambil adalah Kekerasan dalam Rumah Tangga yang dialami oleh
Cici Paramida. Dimana dalam kasus KDRTnya ini, wajah Cici
Paramida babak belur akibat peristiwa penabarakan yang diduga
dilakukan suaminya, Suhaebi. Peristiwa itu sendiri berawal ketika
Cici yang mencurigai suaminya membawa perempuan lain
mencoba mengejar mobil suaminya hingga ke kawasan puncak,
Kabupaten Bogor. Saat kedua mobil tiba di kawasan Gang
Semen, Jalan Raya Puncak, Cisarua, mobil Cici menyalip.
14
Cici kemudian turun dari mobil. “Saat dia mau mendekati
mobil itu, tiba-tiba mobil digas sehingga menyerempet Cici.
Akibatnya Cici Paramida tampak terluka di bagian wajah dan
lengan seperti bekas tersenggol. Kemudian atas Kekerasan yang
dilakukan oleh Suhebi, Cici melaporkan tindakan kekerasan itu
polisi.
Dari contoh kasus diatas kita dapat menarik kesimpulan
bahwa seorang suami seharusnya menjaga kepercayaan yang
diberikan oleh istrinya. Suatu hubungan akan berjalan harmonis
apabila sebuah pasangan dilandasi dengan percaya kepada
pasangannya. Namun kejadian ini tidak akan terjadi apabila sang
istri menanyaka secara baik-baik kepada suaminya. Apakah
benar ia bersama perempuan lain atau hanya sekedar rekan
kerjanya.
B.
SARAN
Demikian yang dapat kami jelaskan semoga bemanfaat
bagi pembaca dan dalam makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan-kekurangan
oleh
karena
itu
kami
menerima saran dan kritik yang sifatnya membangun.
senantiasa
15
DAFTAR PUSTAKA
Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis,
Semarang, Suryandaru utama.
Fakih, Mansour, 1998, Diskriminasi dan Beban Kerja Perempuan:
Perspektif Gender, Yogyakarta: CIDESINDO.
Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1991, Politik Hukum Menuju Satu
Sistem Hukum Nasional , Bandung: Alumni.
Otje Salman, Anton F. Susanto, Beberapa Asoek Sosiologi Hukum,
Bandung, Alumni.
16
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Dosen pengampu : Yoseph Purwadi, SH.,M.Hum
Disusun Oleh :
KELOMPOK 8
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Oulyvia Marita
Rara Suci Rhamadhan
Rika Nilamsari
Riska Ayu Pratiwi
Rizky Zulfiana
Sari Malak Hanifah
(46/S16A)
(47/S16A)
(48/S16A)
(49/S16A)
(50/S16A)
(51/S16A)
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA
TAHUN AJARAN 2016/2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
berkat limpahan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyusun
makalah ini tepat pada waktunya.Makalah ini membahas kekerasan dalam rumah
tangga.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan
dan hambatan akan tetapi dengan berbagai bantuan dari pihak tantangan itu bisa
teratasi.Olehnya itu,penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat
balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
baik dari bentuk penyusunan maupun materinya kritik konstruktif dari pembaca
sangat penulis harapkan untuk penyempurnakan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita
sekalian.
Surakarta,23 September 2016
Penyusun
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar........................................................................................................i
Daftar isi................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Tujuan........................................................................................................2
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga............................................3
B. Bentuk-Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga.....................................4
C. Faktor-faktor penyebab Kekerasan dalam Rumah
Tangga........................6
D. Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah
Tangga..........................7
E. Perlindungan
bagi
Korban
KDRT............................................................8
F. Sudut pandang
pancasila..........................................................................1
2
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan..............................................................................................14
B. Saran........................................................................................................15
C. Daftar Pustaka..........................................................................................16
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak asasi merupakan hal yang sangat sensitif dalam
kehidupan manusia. Hampir diseluruh negara memiliki peraturan
tersendiri dalam melindungi HAM. Akan tetapi sering kali HAM
tersebut masih dipandang sebelah mata apalagi menyangkut
perbedaan gender antara pria dan wanita. Wanita sering kali
dianggap lebih rendah dibandingkan pria, sehingga sering kali
bermunculan kasus pelanggaran hak asasi manusia, khususnya
wanita dalam pelanggaran kekerasan dalam rumah tangga.
Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang
berperan
dan
berpengaruh
sangat
besar
terhadap
perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian setiap
anggota keluarga. Sebuah keluarga disebut harmonis apabila
seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai dengan
tidak adanya konflik, ketegangan, kekecewaan dan kepuasan
terhadap keadaan (fisik, mental, emosi dan sosial) seluruh
anggota keluarga. Keluarga disebut diharmonis apabila terjadi
sebaliknya.
Setiap
keluarga
masalahnya
masing-masing.
memiliki
cara
Apabila
untuk
menyelesaikan
masalah
diselesaikan
secara baik dan sehat maka setiap anggota keluarga akan
mendapatkan pelajaran yang berharga yaitu menyadari dan
mengerti perasaan, kepribadian dan pengendalian emosi tiap
anggota keluarga sehingga terwujudlah kebahagiaan dalam
keluarga. Penyelesaian konflik secara sehat terjadi bila masingmasing anggota keluarga tidak mengedepankan kepentingan
pribadi, mencari akar permasalahan dan membuat solusi yang
sama-sama
menguntungkan
anggota
keluarga
melalui
komunikasi yang baik dan lancar. Disisi lain, apabila konflik
diselesaikan secara tidak sehat maka konflik akan semakin sering
terjadi dalam keluarga.
1
B. TUJUAN
Tujuan dari rumusan masalah di atas yaitu
1. Menjelaskan yang dimaksud dengan Kekerasan dalam
Rumah Tangga.
2. Menjelaskan apa saja bentuk-bentuk Kekerasan dalam
Rumah Tangga.
3. Menjelaskan faktor-faktor penyebab Kekerasan dalam
Rumah Tangga.
4. Menjelaskan cara penanggulangan Kekerasan dalam
Rumah Tangga.
5. Menjelaskan perlindungan bagi korban KDRT.
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang
dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga, memiliki arti setiap perbuatan
terhadap
seseorang
terutama
perempuan,
yang
berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis,
ancaman
dan/atau
untuk
penelantaran
melakukan
rumah
perbuatan,
tangga
termasuk
pemaksaan,
atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga.
Masalah
kekerasan
dalam
rumah
tangga
telah
mendapatkan perlindungan hukum dalam Undang-undang Nomor
23 tahun 2004 yang antara lain menegaskan bahwa:
a. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa
aman dan bebes dari segala bentuk
kekerasan sesuai
dengan falsafah Pancasila dan Undang-undang Republik
Indonesia tahun 1945.
b. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama Kekerasan
dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi
manusia, dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan
serta bentuk deskriminasi yang harus dihapus.
c. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang
kebanyakan adalah perempuan, hal itu harus mendapatkan
perlindungan
dari
Negara
dan/atau
masyarakat
agar
terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman
kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan
derajat dan martabat kemanusiaan.
d. Bahwa
berdasarkan
pertimbangan
sebagai
dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu dibentuk
Undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga.
3
Tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri
sebenarnya merupakan unsur yang berat dalam tindak pidana,
dasar hukumnya adalah KUHP (kitab undang-undang hukum
pidana) pasal 356 yang secara garis besar isi pasal yang
berbunyi:
“Barang
siapa
yang
melakukan
penganiayaan
terhadap ayah, ibu, isteri atau anak diancam hukuman pidana”
B. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak
kekerasan
terhadap
istri
dalam
rumah
tangga
dibedakan
kedalam 4 (empat) macam :
1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa
sakit, jatuh sakit atau luka berat. Prilaku kekerasan yang
termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar,
memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang,
menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan
sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilurbilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.
2. Kekerasan psikologis / emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan
yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan /
atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara
emosional
adalah
penghinaan,
komentar-komentar
yang
menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari
dunia luar, mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana
memaksakan kehendak.
3. Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan)
istri dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan
seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan
kepuasan pihak istri.
4
Kekerasan seksual berat, berupa:
Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba,
menyentuh
organ
seksual,
mencium
secara
paksa,
merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa
muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.
Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban
atau pada saat korban tidak menghendaki.
Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai,
merendahkan dan atau menyakitkan.
Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk
tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu.
Terjadinya
hubungan
memanfaatkan
posisi
seksual
dimana
ketergantungan
korban
pelaku
yang
seharusnya dilindungi.
Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau
tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka,atau
cedera.
Kekerasan Seksual Ringan, berupa pelecehan seksual
secara verbal seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan,
ejekan dan julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi
wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta
perhatian
seksual
yang
tidak
dikehendaki
korban
bersifat
melecehkan dan atau menghina korban. Melakukan repitisi
kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis
kekerasan seksual berat.
4. Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup
rumah
tangganya,
padahal
menurut
hukum
yang
berlaku
baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib
memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada
orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak
memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri.
5
Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi,
manipulasi dan pengendalian lewat sarana ekonomi berupa:
Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk
pelacuran.
Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan
korban, merampas dan atau memanipulasi harta benda
korban.
Kekerasan Ekonomi Ringan, berupa melakukan upaya-
upaya sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak
berdaya
secara
ekonomi
atau
tidak
terpenuhi
kebutuhan
dasarnya.
C. Faktor-faktor penyebab Kekerasan dalam Rumah
Tangga.
Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam
konteks struktur masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (marital violence)
sebagai berikut:
1. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki
dianggap
sebagai
superioritas
sumber
dibandingkan dengan wanita, sehingga mampu
daya
mengatur dan
mengendalikan wanita.
2. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk
bekerja mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap
suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri
mengalami tindakan kekerasan.
3. Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban
sebagai pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan
terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga
tejadi kekerasan dalam rumah tangga.
4. Wanita sebagai anak-anak
Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum,
mengakibatkan
kele-luasaan
laki-laki
untuk
mengatur
mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita.
dan
Laki-laki
merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang
bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi
tertib.
6
5. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki
Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang
mengalami
kekerasan
oleh
suaminya,
diterima
sebagai
pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering
ditunda atau ditutup.
Alasan yang lazim dikemukakan oleh
penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami
melakukan
kekerasan
sepanjang
bertindak
dalam
konteks
harmoni keluarga.
D. Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Untuk menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah
Tangga, diperlukan cara-cara penanggulangan Kekerasan dalam
Rumah Tangga, antara lain:
1) Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan
berpegang
teguh
pada
agama
sehingga
dapat
menyelesaikan permasalahan dengan kesabaran.
2) Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah
keluarga, serta dapat saling mengahargai setiap pendapat
yang ada.
3) Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan
istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan
harmonis.
4) Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai
dan sebagainya antar anggota keluarga. Sehingga rumah
tangga dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah
ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk
melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka
yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih
dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan.
5) Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun
keuangan yang ada dalam keluarga, sehingga seorang istri
dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang minim,
sehingga
kekurangan ekonomi
dalam keluarga
dapat
diatasi dengan baik.
7
E. Perlindungan bagi Korban KDRT
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dulu dianggap
mitos dan persoalan pribadi (private), kini menjadi fakta dan
relita dalam kehidupan rumah tangga. Dengan berlakunya
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) maka persoalan
KDRT ini menjadi domain publik. Sebagian besar korban KDRT
adalah kaum perempuan dan pelakunya adalah suami, walaupun
ada juga korban justru sebaliknya, atau orang-orang yang
tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku atau korban
KDRT
adalah
orang
yang
mempunyai
hubungan
darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami,
dan anak bahkan pembatu rumah tangga, tinggal di rumah ini.
Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban karena
terpaut dengan struktur budaya, agama dan sistem hukum yang
belum
dipahami.
Padahal
perlindungan
oleh
negara
dan
masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman terhadap
korban serta menindak pelakunya.
UU PKDRT secara substanstif memperluas institusi dan
lembaga pemberi perlindungan agar mudah diakses oleh korban
KDRT, yaitu pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian,
kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya,baik perlindungan
sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Di sini
terlihat, bahwa institusi dan lembaga pemberi perlindungan itu
tidak terbatas hanya lembaga penegak hukum, tetapi termasuk
juga lembaga sosial bahkan disebutkan pihak lainnya.
Peran pihak lainnya lebih bersifat individual. Peran itu
diperlukan karena luasnya ruang dan gerak tindak KDRT,
sementara
institusi
dan
lembaga
resmi
yang
menangani
perlindungan korban KDRT sangatlah terbatas. Pihak lainnya itu
adalah setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui
terjadinya
tindak
KDRT.
Mereka
diwajibkan
mengupayakan
pencegahan, perlindungan, pertolongan darurat serta membantu
pengajuan permohonan penetapan perlindungan baik langsung
maupun melalui institusi dan lembaga resmi yang ada.
8
Dilihat dari stelsel hukum pidana, tindak KDRT ini adalah
tindak kekerasan sebagaimana diatur dalam Kitab UndangUndang
Hukum
Pidana
(KUHP)
yakni
tindak
pidana
penganiayaan, kesusilaan, serta penelantaran orang yang
perlu diberi nafkah dan kehidupan. Lalu mengapa masih
diperlukan UU PKDRT?
Memang, tindak kekerasan yang diatur dalam PKDRT ini
mempunyai sifat khas/spesifik, misalnya peristiwa itu terjadi di
dalam rumah tangga, korban dan pelakunya terikat hubungan
kekerasan
atau
hubungan
hukum
tertentu
lainnya,
serta
berpotensi dilakukan secara berulang (pengulangan) dengan
penyebab (causa) yang lebih kompleks dari tindak kekerasan
pada umumnya. Itu sebabnya, tindak kekerasan ini lebih
merupakan persoalan sosial yang tidak hanya dilihat dari
perspektif hukum. Penyelesaiannya harus dilakukan secara
komprehensif,
melalui
proses
sosial,
hukum,
psikologi,
kesehatan, dan agama, dengan melibatkan berbagai disiplin,
lintas institusi dan lembaga.
Bagaimanakah bentuk dan cara perlindungan itu, serta
bagaimanakah hubungan masing-masing institusi dan lembaga
pemberi
perlindungan
itu
secara
konkret
dan
faktual
di
lapangan? Itulah pokok persoalan yang perlu dibahas lebih lanjut.
Yang lebih penting lagi adalah bagaimana persoalan itu
dipahami oleh masyarakat luas sehingga cita-cita yang hendak
dicapai oleh legislator yang terkandung dalam UU PKDRT dapat
terwujud sesuai harapan.
Bentuk perlindungan Korban KDRT atau bahkan lembaga
pemberi
perlindungan
bagaimana
itu
sendiri
belum
tentu
memahami
perlindungan
itu didapatkan dan bagaimana diberikan. Bagi korban yang
status soseknya lebih tinggi atau institusi dan lembaga yang
tugas dan fungsinya selaku penegak hukum, tentu persoalan
mendapatkan dan atau memberikan perlindungan itu bukanlah
masalah. Tetapi bagi institusi dan lembaga di luar itu, perlu
mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang cukup serta
akreditasi selaku institusi dan lembaga pemberi perlindungan
terhadap korban KDRT.
UU PKDRT secara selektif membedakan fungsi
perlindungan dengan fungsi pelayanan.
9
Artinya tidak semua institusi dan lembaga itu dapat
memberikan perlindungan apalagi melakukan tindakan hukum
dalam rangka pemberian sanksi kepada pelaku. Perlindungan
oleh institusi dan lembaga non-penegak hukum lebih bersifat
pemberian pelayanan konsultasi, mediasi, pendampingan dan
rehabilitasi. Artinya tidak sampai kepada litigasi. Tetapi walaupun
demikian,
peran
masing-masing
institusi
dan
lembaga
itu
sangatlah penting dalam upaya mencegah dan menghapus
tindak KDRT.
Selain itu, UU PKDRT juga membagi perlindungan itu
menjadi perlindungan yang bersifat sementara dan perlindungan
dengan penetapan pengadilan serta pelayanan. Perlindungan
dan pelayanan diberikan oleh institusi dan lembaga sesuai tugas
dan fungsinya masing-masing:
a) Perlindungan
oleh
kepolisian
berupa
perlindungan
sementara yang diberikan paling lama 7 (tujuh) hari, dan
dalam waktu 1 X 24 jam sejak memberikan perlindungan,
kepolisian
wajib
meminta
surat
penetapan
perintah
perlindungan dari pengadilan. Perlindungan sementara
oleh kepolisian ini dapat dilakukan bekerja sama dengan
tenaga
kesehatan,
sosial,
relawan
pendamping
dan
pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Pelayanan
terhadap korban KDRT ini harus menggunakan ruang
pelayanan khusus di kantor kepolisian dengan sistem dan
mekanisme kerja sama program pelayanan yang mudah
diakses oleh korban.Pemerintah dan masyarakat perlu
segera
membangun
rumah
aman
(shelter)
untuk
menampung, melayani dan mengisolasi korban dari pelaku
KDRT. Sejalan dengan itu, kepolisian sesuai tugas dan
kewenangannya
dapat
melakukan
penyelidikan,
penangkapan dan penahanan dengan bukti permulaan
yang cukup dan disertai dengan perintah penahanan
terhadap pelaku KDRT. Bahkan kepolisian dapat melakukan
penangkapan
dan
penahanan
tanpa
surat
perintah
terhadap pelanggaran perintah perlindungan, artinya surat
penangkapan dan penahanan itu dapat diberikan setelah 1
X 24 jam.
10
b) Perlindungan
oleh
advokat
diberikan
dalam
bentuk
konsultasi hukum, melakukan mediasi dan negosiasi di
antara pihak termasuk keluarga korban dan keluarga
pelaku (mediasi), dan mendampingi korban di tingkat
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang
pengadilan (litigasi), melakukan koordinasi dengan sesama
penegak
hukum,
relawan
pendamping,
dan
pekerja
sosial(kerja sama dan kemitraan).
c) Perlindungan dengan penetapan pengadilan dikeluarkan
dalam
bentuk
perintah
perlindungan
yang
diberikan
selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang. Pengadilan
dapat
melakukan
penahanan
dengan
surat
perintah
penahanan terhadap pelaku KDRT selama 30 (tiga puluh)
hari apabila pelaku tersebut melakukan pelanggaran atas
pernyataan
yang
ditandatanganinya
mengenai
kesanggupan untuk memenuhi perintah perlindungan dari
pengadilan.
Pengadilan
juga
dapat
memberikan
perlindungan tambahan atas pertimbangan bahaya yang
mungkin timbul terhadap korban.
d) Pelayanan
tenaga
kesehatan
penting
sekali
artinya
terutama dalam upaya pemberian sanksi terhadap pelaku
KDRT.
Tenaga
kesehatan
sesuai
profesinya
wajib
memberikan laporan tertulis hasil pemeriksaan medis dan
membuat visum et repertum atas permintaan penyidik
kepolisian atau membuat surat keterangan medis lainnya
yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti.
e) Pelayanan pekerja sosial diberikan dalam bentuk konseling
untuk menguatkan dan memberi rasa aman bagi korban,
memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk
mendapatkan
perlindungan,
serta
mengantarkan
koordinasi dengan institusi dan lembaga terkait.
f) Pelayanan relawan pendamping diberikan kepada korban
mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan seorang
atau beberapa relawan pendamping, mendampingi korban
memaparkan secara objektif tindak KDRT yang dialaminya
pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan
pengadilan, mendengarkan dan memberikan penguatan
secara psikologis dan fisik kepada korban.
11
g) Pelayanan
oleh
pembimbing
rohani
diberikan
untuk
memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban dan
memberikan penguatan iman dan takwa kepada korban.
Bentuk
perlindungan
dan
pelayanan
ini
masih
besifat
normatif, belum implementatif dan teknis oparasional yang
mudah dipahami, mampu dijalankan dan diakses oleh korban
KDRT. Adalah tugas pemerintah untuk merumuskan kembali pola
dan strategi pelaksanaan perlindungan dan pelayanan dan
mensosialisasikan
kebijakan
itu
di
lapangan.
Tanpa
upaya
sungguh-sungguh dari pemerintah dan semua pihak, maka akan
sangat sulit dan mustahil dapat mencegah apalagi menghapus
tindak KDRT di muka bumi Indonesia ini, karena berbagai faktor
pemicu terjadinya KDRT di negeri ini amatlah subur.
Bahwa anggapan orang terjadinya KDRT merupakan akibat dari
suatu sebab konvensional seperti disharmonisasi dari tekanan
sosial ekonomi yang rendah, perangai dan tabiat pelaku yang
kasar, serta gagal dalam karier dan pekerjaan ternyata tidaklah
sepenuhnya benar, karena KDRT justru acapkali dilakukan oleh
mereka yang kondisi sosial ekonominya baik, sukses karier dan
pekerjaannya, bahkan berpendidikan tinggi.
KDRT merupakan multi persoalan, termasuk persoalan sosial,
ekonomi, budaya, hukum, agama dan hak asasi manusia. Upaya
menghapus KDRT di muka bumi Indonesia adalah perjuangan
panjang bangsa ini, khususnya kaum perempuan yang rentan
menjadi korban KDRT. Upaya sungguh-sungguh itu diharapkan
dapat mempengaruhi struktur dan karakteristik multi persoalan
tadi menjadi nilai yang diyakini benar dan dapat memberi rasa
aman, tenteram, adil dan bermartabat bagi keluarga dan bangsa
Indonesia.
F. Sudut pandang pancasila
Pancasila sebagai Dasar Negara telah jelas mengatakan bahwa segala
tindak kekerasan adalah dilarang karena bertentangan dengan sila pancasila.
Terutama pada sila kedua, yaitu “ Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Adapun
maksud yang terkait dalam masalah yang kami angkat adalah setiap manusia baik
laki-laki maupun perempuan tidak boleh menjadi obyek kekerasan dengan alasan
apapun dan bagaimanpun.
12
Dalam sila kedua terdapat pokok-pokok pikiran antara lain ; menempatkan
manusia sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk Tuhan, menjunjung tinggi
kemerdekaan sebagai hak segala bangsa, dan mewujudkan keadilan dan
peradaban yang tidak lemah. Sehingga dengan demikian, tindakan kekerasan
dalam rumah tangga merupakan tindakan yang menyimpang dari pancasila.
13
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perlindungan wanita dalam konteks KDRT ternyata sangat
penting untuk diperhatikan, mengingat kasus seperti ini sangat
banyak di Indonesia. KDRT merupakan suatu tindak pelanggaran
Hak Asasi Manusia.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) jika dilihat sudut
pandangnya dari pancasila sudah sangat jelas merupakan
tindakan yang tidak sesuai terutama dengan sila ke-2, yaitu
“kemanusiaan yang adil dan beradab”. Beberapa uraian dari sila
ini yang sangat bertentangan dengan tindak kekerasan terutama
KDRT adalah saling mencintai sesama manusia, menjunjung
tinggi nilai kemanusiaan, dan tidak semena-mena terhadap
orang lain.
Berdasarkan peristiwa tersebut dapat disimpulkan bahwa
implementasi Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang
PKDRT tidak berjalan efektif. Karena dalam penerapannya masih
banyak kasus yang tidak diselesaikan lewat jalur hukum dan
terhenti pada pihak kepolisian saja sehingga menghambat
kinerja Undang-Undang PKDRT. Oleh karena itu dibutuhkan
kerjasama
mendukung
dari
berbagai
implementasi
lembaga
yang
undang-undang
berwenang
KDRT
agar
dapat
bisa
meminimalisir terjadinya tindak pidana KDRT.
CONTOH KASUS
Contoh kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga yang kami
ambil adalah Kekerasan dalam Rumah Tangga yang dialami oleh
Cici Paramida. Dimana dalam kasus KDRTnya ini, wajah Cici
Paramida babak belur akibat peristiwa penabarakan yang diduga
dilakukan suaminya, Suhaebi. Peristiwa itu sendiri berawal ketika
Cici yang mencurigai suaminya membawa perempuan lain
mencoba mengejar mobil suaminya hingga ke kawasan puncak,
Kabupaten Bogor. Saat kedua mobil tiba di kawasan Gang
Semen, Jalan Raya Puncak, Cisarua, mobil Cici menyalip.
14
Cici kemudian turun dari mobil. “Saat dia mau mendekati
mobil itu, tiba-tiba mobil digas sehingga menyerempet Cici.
Akibatnya Cici Paramida tampak terluka di bagian wajah dan
lengan seperti bekas tersenggol. Kemudian atas Kekerasan yang
dilakukan oleh Suhebi, Cici melaporkan tindakan kekerasan itu
polisi.
Dari contoh kasus diatas kita dapat menarik kesimpulan
bahwa seorang suami seharusnya menjaga kepercayaan yang
diberikan oleh istrinya. Suatu hubungan akan berjalan harmonis
apabila sebuah pasangan dilandasi dengan percaya kepada
pasangannya. Namun kejadian ini tidak akan terjadi apabila sang
istri menanyaka secara baik-baik kepada suaminya. Apakah
benar ia bersama perempuan lain atau hanya sekedar rekan
kerjanya.
B.
SARAN
Demikian yang dapat kami jelaskan semoga bemanfaat
bagi pembaca dan dalam makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan-kekurangan
oleh
karena
itu
kami
menerima saran dan kritik yang sifatnya membangun.
senantiasa
15
DAFTAR PUSTAKA
Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis,
Semarang, Suryandaru utama.
Fakih, Mansour, 1998, Diskriminasi dan Beban Kerja Perempuan:
Perspektif Gender, Yogyakarta: CIDESINDO.
Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1991, Politik Hukum Menuju Satu
Sistem Hukum Nasional , Bandung: Alumni.
Otje Salman, Anton F. Susanto, Beberapa Asoek Sosiologi Hukum,
Bandung, Alumni.
16