BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Parsons: Teori Tindakan Sosial - Perilaku Pemilih Etnis Karo Dalam Pemilihan Bupati Kabupaten Karo Periode 2010-2015

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Parsons: Teori Tindakan Sosial

  Tindakan sosial menekankan pada orientasi subjektif yang mengendalikan pilihan-pilihan individu. Pilihan-pilihan ini secara normatif diatur atau dikendalikan oleh nilai atau standar normatif bersama. Hal ini berlaku untuk tujuan-tujuan yang ditentukan individu serta alat-alat yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan itu juga dalam memenuhi kebutuhan fisik yang mendasar ada pengaturan normatifnya (Doyle Paul Johnson 1986: 113).

  Prinsip-prinsip dasar ini bersifat universal dan mengendalikan semua tipe perilaku manusia tanpa memandang konteks budaya tetentu. Untuk mencapai tujuan ini penting untuk membentuk suatu strategi dalam mengidentifikasi elemen-elemen dasar yang membentuk gejala dan untuk mengembangkan seperangkat kategori dan untuk membahas tipe-tipe kasus yang berbeda khususnya elemen-elemen dasar apa saja yang terdapat, orientasi apa yang berbeda yang dapat ditujukan dengan strategi ini., bagaimana orientasi subjektif yang terdapat pada individu berbeda, cocok satu sama lain atau menghasilkan tindakan yang saling tergantung yang membentuk suatu sistem sosial

  Untuk menjawab ini Parsons membuat sistem klasifikasi yang paling banyak dikenal atau sering dikutip adalah variabel berpola (pattern variables).

  Dalam konteks kerangka pilihan Parsons, variabel-variabel ini dilihat lebih umum sifatnya. Dalam kerangka umum itu orientasi orang yang bertindak terdiri dari dua (2) elemen dasar yaitu:

1. Orientasi motivasional

  Orientasi ini menunjuk pada keinginan individu yang bertindak untuk memperbesar kepuasaan dan mengurangi kekecewaan.

  Orientasi ini terdiri dari 3 dimensi yaitu: a.

  Dimensi Kognitif yaitu menunjuk pada pengetahuan orang bertindak mengenai situasinya khususnya dihubungkan pada kebutuhan dan tujuan pribadi. Dimensi ini mencerminkan kemampuan dasar manusia untuk membedakan antara rangsangan- rangsangan yang berbeda dan membuat generalisasi dengan satu rangsangan dengan rangsangan lainnya.

  b.

  Dimensi katektif atau emosional yaitu menunjuk pada reaksi katektif atau emosional dan orang yang bertindak terhadap situasi atau berbagai aspek didalamnya. Ini juga mencerminkan kebutuhan dan tujuan individu. Umumnya, orang memiliki suatu reaksi emosional positif terhadap elemen-elemen dalam lingkungan itu yang memberikan kepuasan atau dapat digunakan sebagai alat dalam mencapai tujuan, dan reaksi yang negatif terhadap aspek- aspek dalam lingkungan itu yang mengecewakan.

  c.

  Dimensi evaluatif yaitu menunjuk pada dasar pilihan sesorang antara orientasi kognitif atau katektif secara alternatif. Evaluatif ada karena individu selalu memiliki banyak kebutuhan dan tujuan. Untuk itu kemungkinan banyak individu reaksi katektif maka kriteria yang digunakan individu untuk memilih dari alternatif ini merupakan dimensi alternatif.

2. Orientasi nilai

  Orientasi ini menunjuk pada standar-standar normatif yang mengendalikan pilihan-pilihan individu (alat dan tujuan) dan prioritas sehubungan dengan adanya kebutuhan dan tujuan-tujuan yang berbeda. Orientasi ini terdiri dari 3 dimensi yaitu: a.

  Dimensi kognitif yaitu menunjuk pada standar-standar yang digunakan dalam menerima atau menolak berbagai interoretasi kognitif mengenai situasi.

  b.

  Dimensi apresiatif yaitu menunjuk pada standar yang tercakup pada pengungkapan perasaan atau keterlibatan emosi atau afektif.

  c.

  Dimensi moral yaitu menunjuk pada standar-standar abstrak yang digunakan unyuk menilai tipe-tipe tindakan alternatif menurut implikasinya terhadap sistem itu secara keseluruhan baik individual maupun sosial dimana tindakan itu berakar.

  Orientasi nilai keseluruhan mempengaruhi dimensi evaluatif dalam orientasi motivasional. Ketiga dimensi orientasi nilai itu mencerminkan pola-pola budaya yang diresapi individu. Dimensi-dimensi ini dapat juga digunakan untuk mengklasifikasikan aspek-aspek sistem budaya yang berbeda. Singkatnya, dimensi kognitif berhubungan dengan sistem kepercayaan budaya, dimensi apresiatif dengan sistem budaya yang berhubungan dengan simbolisme ekspresif, dan dimensi moral berhubungan dengan sistem budaya dalam orientasi nilai (Doyle Paul Johnson 1986: 113-115).

  Dalam kerangka umum ini, variabel-variabel berpola itu memperlihatkan lima pilihan dikotomi yang harus diambil seorang secara eksplisit atau implisit dalam menghadapi orang lain dalam situasi sosial apa saja. Pilihan-pilihan itu antara lain yaitu: 1. Afektivitas versus netralitas afektif.

  Ini merupakan dilema mengenai apakah mencari atau mengharapkan kepuasaan emosional dari orang lain atau tidak, dalam suatu situasi sosial. Pilihan yang jatuh ke afektivitas akan berarti bahwa orang- orang yang terlibat itu akan berhubungan satu sama lain secara emosional, dan saling memberikan kepuasan secara langsung.

  2. Orientasi diri versus orientasi kolektif Dilema ini berhubungan dengan kepentingan yang harus diutamakan.

  Orientasi diri akan berarti bahwa kepentingan pribadi orang itu sendirilah yang mendapat prioritas, sedangkan orientasi kolektif akan berarti bahwa kepentingan orang lain atau kolektivitas secara keseluruhan yang harus diprioritaskan. Artinya dimensi moral kolektiflah yang diutamakan.

  3. Universalisme versus partikularisme Dilema ini berhubungan dengan ruang lingkup dari standar-standar normatif yang mengatur suatu hubungan sosial. Pola universalistik mencakup standar-standar yang diterapkan untuk semua orang lain yang dapat diklasifikasikan bersama menurut kategori-kategori yang sudah dibatasi secara impersonal. Sebaliknya, pola partikularistik mencakup standar-standar yang didasarkan pada suatu hubungan tertentu yang terdapat pada kedua pihak. Hubungan tertentu itu seperti kelompok, suku, agama ,dan sebagainya.

  4. Askripsi versus prestasi Parsons melihat variabel ini (dan yang berikutnya) berbeda dengan ketiga variabel sebelumnya dalam hal di mana yang diperlihatkan adalah persepsi orang yang bertindak atau klasifikasi orang lain dan bukan orientasi pribadinya. Intinya, orang lain dapat dilihat dan dinilai menurut siapa mereka atau apa yang mereka buat. Dalam askripsi, orang lain diperlakukan menurut mutu atau sifatnya yang khusus yang membatasi keterlibatannya dalam suatu hubungan sosial. Para anggota keluarga misalnya, diperlakukan lain dari orang lain hanya karena keanggotaannya dalam keluarga itu. Sama halnya sifat-sifat atau mutu askriptif seperti latar belakang etnis atau rasialmungkin dipertimbangkan sebagai dasar penilaian perbedaan itu. Sebaliknya, pola prestasi menekankan pada penampilan atau kemampuan yang nyata.

  5. Spesifitas versus kekaburan Seperti variabel diatas, variabel ini juga dilihat Parsons dalam hubungannya dengan persepsi orang lain. Pada dasarnya, variabel ini berhubungan dengan ruang linhgkup keterlibatan seseorang dengan orang lain. Kalau kewajiban timbal-balik itu terbatas dan dibatasi dengan tepat, pola ini bersifat spesifik. Sebaliknya, kalau kepuasan yang diterima atau diberikan kepada orang lain amat luas sifatnya, pola itu bersifat kabur atau tidak menentu.

  Dalam suatu hubungan yang bersifat spesifik, kewajiban untuk membuktikan akan ada pada orang yang memberi tuntutan pada orang lain untuk membenarkan tuntutan itu, sedangkan dalam hubungan yang ditandai oleh kekaburan, kewajiban untuk membuktikan akan ada pada orang kepada siapa tuntutan itu dijatuhkan untuk menjelaskan mengapa tuntutan itu tidak terpenuhi (Doyle Paul Johnson 1986:116- 119).

2.2 Konsep Perilaku Pemilih

  Perilaku pemilih memiliki hubungan erat dengan pemilih itu sendiri dalam menjatuhkan pilihan politiknya. Ada 5 pendekatan yang digunakan untuk melihat perilaku pemilih yaitu : 1.

  Pendekatan Struktural Pendekatan struktural melihat kegiatan memilih sebagai produk dari konteks struktur yang lebih luas, seperti struktur sosial, sistem partai, sistem pemilihan umum, permasalahan, dan program yang ditonjolkan oleh setiap partai. Struktur sosial yang menjadi sumber kemajemukan politik dapat berupa kelas sosial atau perbedaan-perbedaan antara majikan dan pekerja, agama, perbedaan kota dan desa, dan bahasa dan nasionalisme. Jumlah partai, basis sosial sistem partai dan program- program yang ditonjolkan mungkin berbeda dari suatu negara ke negara lain karena perbedaan struktur sosial tersebut.

  2. Pendekatan Sosiologis Pendekatan sosilogis cenderung menempatkan kegiatan memilih dalam kaitan dengan konteks sosial. Kongkretnya, pilihan seseorang dalam pemilihan umum dipengaruhi latar belakang demografi dan sosial ekonomi, seperti jenis kelamin, tempat tinggal (kota-desa), pekerjaan, pendidikan, kelas, pendapatan, dan agama.

  3. Pendekatan Ekologis Pendekatan ekologis hanya relevan apabila dalam suatu daerah pemilihan terdapat perbedaan karakteristik pemilih berdasarkan unit teritorial, seperti desa, kelurahan, kecamatan, dan kabupaten. Pendekatan ekologis ini penting sekali digunakan karena karakteristik data hasil pemilihan umum untuk tingkat provinsi berbeda dengan karakteristik data kebupaten, atau karakteristik data kabupaten berbeda dengan karakteristik data tingkat kecamatan.

  4. Pendekatan Psikologi Sosial Salah satu konsep psikologi sosial yang digunakan untuk menjelaskan perilaku untuk memilih pada pemilihan umum berupa identifikasi partai.

  Konsep ini merujuk pada persepsi pemilih atas partai-partai yang ada atau keterikatan emosional pemilih terhadap partai tertentu. Kongkretnya, partai yang secara emosional dirasakan sangat dekat dengannya merupakan partai yang selalu dipilih tanpa terpengaruh oleh faktor-faktor lain.

5. Pendekatan Rasional

  Pendekatan rasional melihat kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi untung dan rugi. Yang dipertimbangkan tidak hanya “ongkos” memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan, tetapi juga perbedaan dari alternatif berupa pilihan yang ada.

  Pertimbangan ini digunakan pemilih dan kandidat yang hendak mencalonkan diri untuk terpilih sebagai wakil rakyat atau penjabat pemerintah. Bagi pemilih pertimbangan untuk dan rugi digunakan untuk membuat keputusan tentang partai atau kandidat yang dipilih, terutama untuk membuat keputusan apakah ikut memilih atau tidak ikut memilih.

2.3 Konsep Etnisitas

2.3.1 Pengertian Etnik

  Menurut Ariyuno Sunoyo dalam Kamus Antropologi, bahwa: “Etnis adalah suatu kesatuan budaya dan teritorial yang tersusun rapi dan dapat digambarkan ke dalam suatu peta etnografi”.(Ariyono Sunoyo: 1985). Setiap kelompok memiliki batasan-batasan yang jelas untuk memisahkan antara satu kelompok etnis dengan etnis lainnya. Menurut Koentjaraningrat, konsep yang tercakup dalam istilah etnis adalah golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan, sedangkan kesadaran dan identitas seringkali dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga.( Koentjaranigrat 1982:58). Suku bangsa yang sering disebut etnik atau golongan etnik mempunyai tanda-tanda atau ciri-ciri karekteristiknya. Ciri-ciri tersebut terdiri dari: ( Payung Bangun 1998:63)

  a. Memiliki wilayah sendiri

  b. Mempunyai struktur politik sendiri berupa tata pemerintahan dan pengaturan kekuasaan yang ada c. Adanya bahasa sendiri yang menjadi alat komunikasi dalam interaksi

  d. Mempunyai seni sendiri (seni tari lengkap dengan alat-alatnya, cerita rakyat, seni ragam hias dengan pola khas tersendiri) e. Seni dan teknologi arsitektur serta penataan pemukiman

  f. Sistem filsafat sendiri yang menjadi landasan pandangan, sikap dan tindakan g. Mempunyai sistem religi (kepercayaan, agama) sendiri.

  Etnisitas secara substansial bukan sesuatu yang ada dengan sendirinya tetapi keberadaannya terjadi secara bertahap. Etnisitas adalah sebuah proses kesadaran yang kemudian membedakan kelompok kita dengan mereka. Basis sebuah etnisitas adalah berupa aspek kesamaan dan kemiripan dari berbagai unsur kebudayaan yang dimiliki, seperti misalnya adanya kesamaan dan kemiripan dari berbagai unsur kebudayaan yang dimiliki, ada kesamaan struktural sosial, bahasa, upacara adat, akar keturunan, dan sebagainya. Berbagai ciri kesamaan tersebut, dalam kehidupan sehari-hari tidak begitu berperan dan dianggap biasa. Dalam kaitannya, etnisitas menjadi persyaratan utama bagi munculnya strategi politik dalam membedakan “kita” dengan “mereka”.

2.3.2 Etnis Karo

  Etnis Karo merupakan etnis yang mendiami dan penuh dengan perhias

  Kehidupan kelompok etnis Karo tidak terlepas dari kebudayaannya sebab, kebudayaan ada karena ada masyarakat pendukungnya. Sebagai masyarakat yang terisolir dipedalaman dataran tinggi karo dan sekitarnya, ternyata sebagai sebuah komunitas disana terbentuk juga sebuah budaya yang menjadi patron bagi masyarakat Karo dalam berhubungan dengan sang pencipta alam berserta lainnya dan khususnya hubungan antara masyarakat didalamnya. Kesemuaan pola hubungan tersebut dalam sebuah aturan tidak tertulis yang mengatur disebut dengan budaya. Aspek budaya yang dimana menurut Singarimbun merupakan identitas masyarakat Karo ada 4 yang meliputi yaitu Merga, Bahasa, Kesenian dan adat istiadat.

  Merga adalah identitas masyarkat Karo yang unik. Bagi orang Karo merga

  adalah hal yang paling utama dalam identitasnya (Sarjani Tarigan: 16). Dalam setiap perkenalan dalam masyarakat Karo terlebih dahulu ditanyakan adalah merga. Merga berasal dari kata meherga berarti mahal. Mahal dalam konteks budaya Karo berarti penting. Setelah ditanyakan merga kemudian ditanyakan

  

bere-bere (merga = untuk perempuan disebut beru) yang dibawa ibunya. Setelah merga dan bere-bere ditanyakan didapatkan identitas melalui terombo atau silsilah, selanjutnya masuk kepada tema pembicaraan berikutnya. Melalui merga maka masyarakat Karo dapat membuat rakut sitelu atau daliken sitelu, tutur siwaluh dalam kehidupan sehari-hari. Ada 5 merga dalam orang Karo yaitu

  Ginting, Karo-Karo, Perangin-angin, Tarigan dan Sembiring.

  Bahasa dan aksara Karo merupakan karya budaya yang memiliki budaya

  yang tidak ternilai harganya. Suku Karo memiliki aksara, berarti leluhur Karo dulunya sudah pandai baca-tulis alias tidak buta huruf. Menurut Profesor Hendry Guntur Tarigan bahwa Bahasa Karo adalah bahasa tertua kedua di Indonesia setelah Bahasa Kawi ( Sansekerta/Jawa Kuno).

  Kesenian Karo adalah kesenian tradisional yang terdiri dari Gendang dan pakaian adat, bersamaan hadirnya orang Karo. Acara gendang ini ditampilkan dalam setiap acara adat, seperti adat perkawinan, kematian, dan mengket rumah. Gendang Karo terdiri dari gong, penganak, kecapi, serune surdam. Sedangkan pakaian adat karo terdiri dari uis nipes, beka buluh, sertali, rudang-rudang, gelang sarong, uis arinteneng, uis emas-emas, ragi jenggi dan tapak gajah, kelam-kelam, anting kodang-kodang.

  Sedangkan adat istiadat yang paling melekat dalam orang karo adalah adanya pertama, rakut sitelu atau daliken sitelu (artinya secara metaforik adalah tungku nan tiga), yang berarti ikatan yang tiga. Arti rakut sitelu tersebut adalah sangkep nggeluh (kelengkapan hidup) bagi orang Karo. Rakut sitelu atau daliken sitelu terdiri dari tiga puhak yaitu kalimbubu, senina (sembuyak) dan anak beru. Rakut sitelu atau daliken sitelu ini berfungsi sebagai musyawarah adat dan kerjasama didalam keluarga. Kalimbubu merupakan sebagai tempat meminta dan tempat bertanya, selalu diperlukan restunya dalam adat dan penghormatan dalam musyawarah adat. Senina merupakan sukut yang punya pesta. Dan anak beru merupakan pekerja dalam pesta, yakni yang mengetahui keadaan senina dan kalimbubu, dan menjaga jangan sampai ada yang rusak dalam peradatan. (Sarjani Tarigan: 6-7). Kedua, tutur siwaluh yang artinya konsep kekerabatan masyarakat Karo, yang berhubungan dengan penuturan, terdiri dari delapan golongan yaitu :

  1 Puang kalimbubu, yaitu kalimbubu dari kalimbubu seseorang.

  .

  2 Kalimbubu, yaitu kelompok pemberi isteri kepada keluarga tertentu

  3 Senina, yaitu mereka yang bersadara karena mempunyai merga dan sub merga yang sama.

  4 Sembuyak, secara harfiah se artinya satu dan mbuyak artinya kandungan, jadi artinya adalah orang-orang yang lahir dari kandungan atau rahim yang sama. Namun dalam masyarakat Karo istilah ini digunakan untuk senina yang berlainan submerga juga, dalam bahasa Karo disebut sindauh

  ipedeher (yang jauh menjadi dekat).

  5 Sipemeren, yaitu orang-orang yang ibu-ibu mereka bersaudara kandung.

  Bagian ini didukung lagi oleh pihak siparibanen, yaitu orang-orang yang mempunyai isteri yang bersaudara.

  6 Senina Sepengalon atau Sendalanen, yaitu orang yang bersaudara karena mempunyai anak-anak yang memperisteri dari beru yang sama.

  7 Anak beru, berarti pihak yang mengambil isteri dari suatu keluarga tertentu untuk diperistri. Anak beru dapat terjadi secara langsung karena mengawini wanita keluarga tertentu, dan secara tidak langsung melalui perantaraan orang lain, seperti anak beru menteri dan anak beru singikuri.

  Anak beru ini terdiri lagi atas: 1.

  Anak beru tua, adalah anak beru dalam satu keluarga turun temurun. Paling tidak tiga generasi telah mengambil isteri dari keluarga tertentu (kalimbubunya). Anak beru tua adalah anak beru yang utama, karena tanpa kehadirannya dalam suatu upacara adat yang dibuat oleh pihak kalimbubunya, maka upacara tersebut tidak dapat dimulai.

  Anak beru tua juga berfungsi sebagai anak beru singerana (sebagai pembicara), karena fungsinya dalam upacara adat sebagai pembicara dan pemimpin keluarga dalam keluarga kalimbubu dalam konteks upacara adat.

  2. Anak beru cekoh baka tutup, yaitu anak beru yang secara langsung dapat mengetahui segala sesuatu di dalam keluarga kalimbubunya. Anak beru sekoh baka tutup adalah anak saudara perempuan dari seorang kepala keluarga.

  Misalnya Si A seorang laki-laki, mempunyai saudara perempuan Si B, maka anak Si B adalah anak beru cekoh baka tutup dari Si A. Dalam panggilan sehari-hari anak beru disebut juga bere bere mama.

  8 Anak beru menteri yaitu anak berunya anak beru. Asal kata menteri adalah dari kata menteri yang berarti meluruskan. Jadi anak beru menteri mempunyai pengertian yang lebih luas sebagai petunjuk, mengawasi serta membantu tugas kalimbubunya dalam suatu kewajiban dalam upacara adat. Ada pula yang disebut anak beru singkuri, yaitu anak berunya anak beru menteri. Anak beru ini mempersiapkan hidangan dalam konteks upacara adat.

  1. Konsep Pilkada Pilkada merupakaoleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat untuk itu. Pilkada ini merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Ada lima pertimbangan penting penyelenggaraan pilkada langsung bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.

  2. Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepada desa selama ini telah dilakukan secara langsung.

  3. Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945.

  Seperti telah diamanatkan pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubenur, Bupati dan Walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupatenm dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan, dan pemberhentian Kepala Daerah dan wakil kepala daerah.

  4. Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat (civic education). Ia menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya.

5. Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah.

  Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal dihasilkan dalam pilkada langsung 2005, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan.

  6. Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, stock kepemimpinan nasional amat terbatas. Dari jumlah penduduk yang lebih dari 200 juta, jumlah pemimpin yang kita miliki hanya beberapa.

Dokumen yang terkait

Perilaku Pemilih Etnis Karo Dalam Pemilihan Bupati Kabupaten Karo Periode 2010-2015

4 65 219

Etnisitas dan Perilaku Pemilih (Studi Kasus: Persepsi Dan Preferensi Masyarakat Etnis Batak Toba Pada Pemilihan Kepala Daerah Langsung Kabupaten Karo Tahun 2010)

4 116 113

Perilaku Pemilih Dalam Pemilukada (Studi Kasus: Etnis Karo Di Desa Ketaren, Kecamatan Kabanjahe, Kabupaten Karo 2010).

1 37 112

Media Massa Dan Tindakan Memilih ( Studi Deskriptif Peran Media Massa Terhadap Tindakan Memilih Masyarakat Dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Karo Periode 2010-2015 Di Desa Ketaren Kecamatan Kabanjahe)

1 59 118

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Arsitektur Karo 2.1.1 Pola Perkampungan - Transformasi Bentuk Arsitektural pada Rumah Tinggal Suku Karo

1 9 39

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Gambaran Coping Stress Penyintas Dalam Menghadapi Bencana Erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo

0 0 18

BAB II Deskripsi Lokasi Penelitian 2.1 Kondisi Geopolitik Masyarakat Kabupaten Karo 2.1.1 Letak Geografis Kabupaten Karo - Strategi Pemenangan Partai Demokrat Dalam Pemilu Legislatif Kabupaten Karo Tahun 2014

0 0 31

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Dampak - Dampak Bencana Pasca Meletusnya Gunung Sinabung Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Bekerah Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo

0 2 40

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Potensi Ekspor Hasil-Hasil Pertanian Di Kabupaten Karo

0 0 16

Perilaku Pemilih Etnis Karo Dalam Pemilihan Bupati Kabupaten Karo Periode 2010-2015

0 0 14