Niat Zakat Fitrah Untuk Diri Sendiri

PENGANTAR HISTORIOGRAFI

Untuk Lingkungan

Sendiri

BAB I SEJARAH DAN HISTORIOGRAFI

1. Pengertian Sejarah

Betapa telah banyak diungkapkan kata mutiara yang berhubungan de- ngan sejarah, seperti “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” atau “belajarlah dari sejarah”. Bahkan seorang filsuf pun mengatakan bahwa “Sejarah merupakan proses penghamparan dari cita-cita kemanusiaan yang tertinggi”. Di balik ungkapan tersebut, timbullah suatu pertanyaan, apakah sejarah itu? Apakah sejarah mengandung makna sedalam makna yang terkandung dalam kata-kata

mutiara itu? 1 Untuk dapat menjawab pertanyaan itu, pertama-tama yang perlu dilakukan oleh kita adalah membuat suatu batasan sehingga jawaban atas pertanyaan itu akan memiliki kejelasan dan kepastian. Sejarah menyangkut tentang masa lampau merupakan kesepakatan yang begitu mendasar sehingga tidak ada orang yang memperdebatkannya lagi. Akan tetapi, kita perlu melakukan pembatasan terhadap masa lampau itu sendiri, karena betapa luasnya hari lampau itu: mulai satu detik yang lalu sampai entah di mana.

Pembatasan pertama adalah menyangkut tentang dimensi waktu: sejak kapan dan sampai apabila? Pertanyaan sejak kapan, melahirkan konsensus bahwa masa lampau dianggap sebagai sejarah ketika di suatu masyarakat telah ditemukan

1 Uraian mengenai pengertian sejarah disunting dari tulisan Taufik Abdullah yang berjudul “Sejarah dan Historiografi” sebagai bagian pendahuluan dari buku Taufik Abdullah dan

Abdurrahman Surjomihardjo (eds.). 1985. Ilmu Sejarah dan Historiografi; Arah dan Perspektif. Jakarta: Gramedia. Hlm. ix-xxiv. Suntingan ini kemudian diberi tambahan dengan menyisipkan beberapa pendapat para ahli mengenai sejarah dan hal-hal yang terkait dengan sejarah.

bukti-bukti tertulis. Konsensus ini membawa dampak bahwa sebelum bukti-bukti tertulis itu ditemukan, zaman itu dinamai masa prasejarah dengan bukti-bukti yang ditemukan berupa benda. Selain kedua masa itu, dikenal juga masa mitologis yang hanya riil dalam mitologi. Tingkat kesadaran historitas dari masa ini dapat

dirasakan, tetapi tidak bisa dibuktikan. Dengan perkataan lain, mitos 2 menjadi substansi dari sejarah pada masa mitologis.

Pertanyaan sampai apabila tidak terkait dengan materi yang dibicarakan, tetapi lebih berhubungan dengan pendekatan yang digunakan. Pendekatan yang dimaksud adalah pemilihan peristiwa di masa lampau yang memiliki relevansi dengan penelitian sejarah yang sedang dilakukan. Artinya, kejadian kemarin bisa dianggap sebagai bagian dari penelitian sejarah, apabila kejadian itu dilihat dari perspektif proses yang sedang berjalan. Pembatasan waktu pun berkaitan dengan penggalan-penggalan waktu yang kemudian lebih dikenal dengan periodisasi. Periodisasi merupakan suatu kesatuan tertentu yang telah ditentukan secara

2 Mitos berasal dari bahasa Yunani ‘mythos’ yang berarti dongeng. Mitos menceritakan masa lalu dengan waktu yang tidak jelas dan kejadian yang tidak masuk akal untuk masyarakat pada masa

sekarang. Mitos bersama dengan nyanyian, mantra, syair, dan pepatah dinamakan sebagai tradisi lisan dan bisa menjadi sejarah apabila ditemukan sumber sejarah lain sebagai sumber pembanding (Kuntowijoyo. 2001. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Hlm. 8). Lebih lanjut dikatakan oleh van Peursen bahwa mitos merupakan sebuah cerita yang memberika pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Inti dari cerita itu adalah berbagai lambang yang mencetuskan pengalaman manusia purba antara lain: kebaikan dan kejahatan; hidup dan kematian; dosa dan penyucian; perkawinan dan kesuburan; serta dunia dan akhirat. Mitos bukan hanya sebuah cerita belaka, melainkan suatu cerita yang memilki fungsi. Pertama, menyadarkan manusia bahwa terdapat kekuatan-kekuatan ajaib. Tidak ada kepastian mengenai kekuatan itu, tetapi membantu manusia untuk menghayati dan menerima kekuatan tersebut sebagai sesuatu yang mempengaruhi dan menguasai alam dan masyarakatnya. Kedua, mitos memberikan jaminan bagi masa kini. Pada musim tanam padi, misalnya, cerita-cerita tentang kesuburan selalu dinyanyikan, siang dan malam; seperti yang dilakukan oleh para dewa zaman dahulu kala. Ketiga, sumber pengetahuan manusia tentang dunia. Mitos memberikan pengetahuan kepada manusi tentang terjadinya alam (kosmogoni) atau tentang para dewa dan hubungannya dengan manusia (teogoni). Lebih lanjut lihat C. A. van Peursen. 1988. Strategi Kebudayaan . Terj. Dick Hartoko. Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 34-54 sekarang. Mitos bersama dengan nyanyian, mantra, syair, dan pepatah dinamakan sebagai tradisi lisan dan bisa menjadi sejarah apabila ditemukan sumber sejarah lain sebagai sumber pembanding (Kuntowijoyo. 2001. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Hlm. 8). Lebih lanjut dikatakan oleh van Peursen bahwa mitos merupakan sebuah cerita yang memberika pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Inti dari cerita itu adalah berbagai lambang yang mencetuskan pengalaman manusia purba antara lain: kebaikan dan kejahatan; hidup dan kematian; dosa dan penyucian; perkawinan dan kesuburan; serta dunia dan akhirat. Mitos bukan hanya sebuah cerita belaka, melainkan suatu cerita yang memilki fungsi. Pertama, menyadarkan manusia bahwa terdapat kekuatan-kekuatan ajaib. Tidak ada kepastian mengenai kekuatan itu, tetapi membantu manusia untuk menghayati dan menerima kekuatan tersebut sebagai sesuatu yang mempengaruhi dan menguasai alam dan masyarakatnya. Kedua, mitos memberikan jaminan bagi masa kini. Pada musim tanam padi, misalnya, cerita-cerita tentang kesuburan selalu dinyanyikan, siang dan malam; seperti yang dilakukan oleh para dewa zaman dahulu kala. Ketiga, sumber pengetahuan manusia tentang dunia. Mitos memberikan pengetahuan kepada manusi tentang terjadinya alam (kosmogoni) atau tentang para dewa dan hubungannya dengan manusia (teogoni). Lebih lanjut lihat C. A. van Peursen. 1988. Strategi Kebudayaan . Terj. Dick Hartoko. Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 34-54

waktu atau periode yang dibuat oleh sejarawan. 3 Sampai di sini, kita bisa merumuskan pengertian sejarah sebagai peris-

tiwa yang terjadi di masa lampau. Akan tetapi, apa saja yang dimaksud dengan peristiwa itu? Apakah semua peristiwa, yang penting terjadi di masa lampau, itu termasuk sejarah? Ternyata tidak, karena kecenderungan umum menyatakan bahwa hanya tindakan dan perilaku manusia yang menjadi pusat perhatian sejarah. Tindakan dan perilaku merupakan suatu kesengajaan yang dilakukan oleh manu- sia. Oleh karena itu, perhatian sejarah bukan terhadap “peristiwa”, melainkan ter- hadap suatu perbuatan atau tindakan yaitu “peristiwa yang disengaja”. Di luar itu, seperti peristiwa alam, dipandang sebagai peristiwa yang berfungsi sebagai salah satu kekuatan yang bisa ikut mempengaruhi “peristiwa yang disengaja” itu.

Pertanyaan lain muncul, apakah semua tindakan dan perilaku manusia di masa lampau itu merupakan peristiwa sejarah? Jika jawabannya “ya”, maka seja- rah belumlah memiliki batasan yang sesungguhnya. Menghadirkan kembali setiap tindakan dan perilaku manusia di masa lampau secara mendetail tidaklah mungkin dilakukan, kecuali terjadi di alam mimpi. Mengapa demikian? Di mana pun tidak

3 Ada empat hal yang terjadi dalam waktu, yaitu: pertama, perkembangan yang terjadi apabila secara berturut-turut masyarakat bergerak dari bentuk masyarakat sederhana ke arah masyarakat

yang lebih kompleks; kedua, kesinambungan terjadi apabila lembaga-lembaga lama diadopsi oleh masyarakat baru; ketiga, pengulangan terjadi apabila peristiwa yang pernah terjadi di masa lampau terjadi lagi; dan keempat, perubahan terjadi apabila masyarakat mengalami pergeseran yang terjadi secara besar-besaran dan dalam waktu yang relatif singkat (Kuntowijoyo. Ibid. Hlm. 14-16).

akan ada catatan, ingatan, atau benda yang sanggup merekam setiap detail dari tindakan dan perilaku manusia di masa lampau. Jadi, kalau total history dalam arti di atas, tidakah mungkin dilakukan oleh sejarawan sekaliber apapun. Selain itu, tempat pun menjadi salah satu batasan dalam melakukan penelitian sejarah. Dari batasan sederhana yang telah dilakukan, secara praktis dan metodologis, sejarah dapat diartikan sebagai tindakan manusia dalam jangka waktu tertentu di masa lampau yang dilakukan di tempat tertentu.

Bisakah kita mengerjakan penelitian sejarah dengan batasan seperti itu? Ternyata tidak karena tidak semua peristiwa yang terjadi masa lampau bisa diang- gap sebagai sejarah. Peristiwa-peristiwa itu barulah kepingan-kepingan yang bisa dipertimbangkan untuk menjadi bagian dari sejarah. Kepingan-kepingan itu baru dikatakan sebagai sejarah apabila terkait atau dikaitkan dalam suatu konteks histo- ris yang menjadi perhatian si sejarawan. Untuk itu sejarawan memerlukan seleksi karena tidak semua kepingan itu bisa dimasukkan ke dalam “konteks historis”.

Untuk lulus seleksi, kepingan-kepingan itu harus “penting” dan “berkaitan”. Untuk bisa menerapkan kriteria penting dan berkaitan terhadap ke- pingan-kepingan tersebut, terlebih dahulu sejarawan harus merumuskan perta- nyaan pokok. Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan pokok itulah, si seja- rawan akan memperoleh ukuran penting tidaknya atau berkaitan tidaknya kepi- ngan-kepingan dari peristiwa di masa lampau itu. Kepingan yang terpilih itulah yang kemudian disebut dengan istilah fakta sejarah. Fakta sejarah ditemukan si sejarawan melalui proses penelitian. Tugas terakhir dari sejarawan adalah penuli- Untuk lulus seleksi, kepingan-kepingan itu harus “penting” dan “berkaitan”. Untuk bisa menerapkan kriteria penting dan berkaitan terhadap ke- pingan-kepingan tersebut, terlebih dahulu sejarawan harus merumuskan perta- nyaan pokok. Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan pokok itulah, si seja- rawan akan memperoleh ukuran penting tidaknya atau berkaitan tidaknya kepi- ngan-kepingan dari peristiwa di masa lampau itu. Kepingan yang terpilih itulah yang kemudian disebut dengan istilah fakta sejarah. Fakta sejarah ditemukan si sejarawan melalui proses penelitian. Tugas terakhir dari sejarawan adalah penuli-

siapa, di mana, dan apabila, tetapi juga bagaimana serta mengapa dan apa ja-

dinya. Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan elementer adalah fakta sejarah sebagai unsur yang memungkinkan adanya sejarah. Sementara itu, jawaban terha- dap pertanyaan bagaimana adalah sebuah rekonstruksi yang berupaya untuk menjadikan semua unsur itu terkait dalam suatu deskripsi yang disebut sejarah. Biasanya disebut juga keterangan historis (historical explanation) dan membutuh- kan wawasan serta penguasaan teori dari si sejarawan. Jawaban atas pertanyaan mengapa dan apa jadinya akan menyangkut masalah kausalitas dan merupakan puncak yang bisa diharapkan dari suatu studi sejarah yang biasa disebut sebagai studi sejarah kritis.

Puncak dari studi sejarah adalah penulisan karena apa yang dituliskan itulah sejarah, yaitu histoire-recité ‘sejarah sebagaimana ia dikisahkan’ yang mencoba untuk menangkap dan memahami histoire-realité ‘sejarah sebagaimana ia terjadi’. Histoire-recité itulah yang disebut sebagai historiografi. Pada awal perkembangannya, historiografi dibuat secara naratif karena terkaitan dengan anggapan bahwa cara penyajian dari fakta sejarah adalah unsur seni. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan seorang teoretisi mengatakan bahwa sejarah nothing but a story . Dalam perkembangan selanjutnya, cara penyajian seperti itu menjadi usang seiring dengan semakin berkembangnya sejarah sebagai ilmu yang berim- Puncak dari studi sejarah adalah penulisan karena apa yang dituliskan itulah sejarah, yaitu histoire-recité ‘sejarah sebagaimana ia dikisahkan’ yang mencoba untuk menangkap dan memahami histoire-realité ‘sejarah sebagaimana ia terjadi’. Histoire-recité itulah yang disebut sebagai historiografi. Pada awal perkembangannya, historiografi dibuat secara naratif karena terkaitan dengan anggapan bahwa cara penyajian dari fakta sejarah adalah unsur seni. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan seorang teoretisi mengatakan bahwa sejarah nothing but a story . Dalam perkembangan selanjutnya, cara penyajian seperti itu menjadi usang seiring dengan semakin berkembangnya sejarah sebagai ilmu yang berim-

Pada dasarnya, para sejarawan sepakat dengan pendapat Taufik Abdullah bahwa sejarah merupakan usaha rekonstruksi terhadap peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Rekonstruksi merupakan upaya yang disengaja oleh manusia sehingga peristiwa yang terjadi di masa lampau tidak secara otomatis menjadi sebuah sejarah, entah sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Dalam bahasa Indonesia, kata sejarah diyakini diambil dari bahasa Arab ‘syajarah’ yang berarti

pohon atau silsilah. Maknanya tertuju pada makna padanan tarikh, 4 termasuk kemudian padanan pengertian babad, mitos, legenda, dan lain-lain. 5 Dalam kitabnya yang berjudul al-Muqaddimah, Ibn Khaldun mendefinisikan sejarah sebagai catatan umat manusia atau peradaban dunia; tentang perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat; tentang revolusi; tentang kerajaan dan negara; serta berbagai perubahan lainnya yang terjadi di

masyarakat. 6 Bagi Ibn Khaldun, sejarah memiliki dua aspek, yakni aspek lahir dan aspek batin. Secara lahiriyah, sejarah memiliki arti seperti yang diungkapkan di

atas. Sementara secara batiniah, sejarah merupakan suatu tinjauan, pengkajian,

4 Tarikh dalam bahasa Arab berasal dari akar kata arrakha yang berarti menulis atau mencatat atau catatan tentang waktu serta peristiwa. Lihat Misri A. Muchsin. 2002. Filsafat Sejarah dalam

Islam . Yogyakarta: Ar-Ruzz. Hlm. 17-22. 5 Lihat lebih lanjut Sidi Gazalba. 1981. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Bhratara. Hlm. 11;

Hariyono. 1995. Mempelajari Sejarah secara Efektif. Jakarta: Pustaka Jaya. Hlm. 51. 6 Ibn Khaldun. 1986. Mukaddimah. Terj. Ahmadie Thoha. Jakarta: Pustaka Firdaus. Hlm. 12-13.

Lihat juga Misri A. Muchsin. op. cit. Hlm. 19-20.

dan analisis tentang berbagai kejadian beserta elemen-elemennya; ilmu yang mendalam tentang berbagai peristiwa dan kausalitasnya. Pengertian sejarah secara

batiniah inilah yang menjadi ruang lingkup filsafat sejarah Ibn Khaldun. 7 Ada juga yang mendefinisikan sejarah sebagai peristiwa masa lampau

yang tidak hanya sekadar memberi informasi tentang terjadinya peristiwa itu, tetapi juga memberi interpretasi atas peristiwa yang terjadi dengan melihat pada

hukum sebab akibat. 8 Dengan demikian, suatu peristiwa akan mengakibatkan peristiwa lain dan rangkaian dari peristiwa itulah yang disebut dengan sejarah.

Jadi di sini kronologi dari peristiwa merupakan inti dari sejarah karena sejarah merupakan ilmu yang meneliti tentang kronologi dari suatu peristiwa dengan memperhatikan aspek kausalitasnya. Mohammad Ali mengemukakan bahwa sejarah meliputi tiga makna, yaitu (1) sejumlah perubahan, kejadian, dan peristiwa secara riil di lingkungan suatu masyarakat; (2) cerita tentang sejumlah perubahan, kejadian, dan peristiwa secara riil di lingkungan suatu masyarakat tersebut; dan (3) ilmu yang bertugas meneliti sejumlah perubahan, kejadian, dan peristiwa

secara riil di lingkungan suatu masyarakat tersebut. 9

2. Sistematika Disiplin Ilmu Sejarah

Taufik Abdullah dan Abdurrahman Surjomihardjo membagi ilmu sejarah ke dalam beberapa bidang penelitian. Pertama, filsafat sejarah yang merujuk

7 Zainab al-Khudari. 1987. Filsafat Sejarah Ibn Khaldun. Terj. Ahmad Rofi’ Utsmani. Bandung: Pustaka Salman. Hlm. 44-45.

8 Nouruzzaman Shiddiqie. 1983. Pengantar Sejarah Muslim. Yogyakarta: Nurcahaya. Hlm. 5. 9 Mohammad Ali. 1963. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Jakarta: Bhratara. Hlm. 7-8.

pada dua jenis penyelidikan yang berbeda, yakni filsafat sejarah spekulatif dan filsafat sejarah formal atau kritis. Jenis filsafat pertama menunjuk pada usaha untuk memberikan keterangan atau tafsiran yang luas mengenai seluruh proses sejarah. Penyelidikannya dipusatkan pada beberapa pertanyaan: apa arti (makna; tujuan) sejarah? Atau hukum mana yang mengatur perkembangan dan perubahan dalam sejarah? Jenis filsafat ini dikembangkan oleh, antara lain Vico, Herder, Hegel, Comte, Marx, Buckle, Arnold Toynbee, dan Pitrim Sorokim. Hasilnya, sejarah bergerak mengikuti pola garis lurus tunggal menuju satu tujuan yang digerakkan oleh pertentangan kelas (Marx) atau sejarah terjadi karena mengikuti putaran-putaran perubahan yang tetap dan selalu kembali (Spengler dan Toynbee), atau ada juga menggabungkan kedua pola itu.

Jenis filsafat kedua dapatlah disebut sebagai filsafat sejarah kritis yang membaha bukan jalannya berbagai peristiwa sejarah, melainkan hakikat sejarah dipandang sebagai suatu disiplin dan cabang pengetahuan yang khusus. Penyeli- dikannya difokuskan pada tujuan penelitian sejarah, cara sejarawan menggambar- kan dan mengklasifikasikan bahan yang mereka pergunakan, cara mereka membe- rikan penjelasan, dan hubungan penelitian mereka dengan dispilin pengetahuan lainnya. Jadi, pemikirannya bersifat epistemologi dan konseptual.

Menurut Effat Syarqawi, filsafat sejarah lahir karena kecenderungan manusia untuk memikirkan dan mengamati peristiwa sejarah yang ada dan yang

terjadi di lingkungan sekitarnya. 10 Filsafat sejarah bukanlah penggabungan dua

10 Effat Syarqawi. 1986. Filsafat Kebudayaan Islam. Bandung: Pustaka Salman. Hlm. 112-113.

kata “filsafat” dan “sejarah”, melainkan sebagai suatu istilah yang memiliki wa- wasan pembahasan, metode, paradigma, atau perspektif tersendiri. W. H. Walsh mendefinisikan filsafat sejarah sebagai suatu kajian mendalam mengenai sejarah

sehingga dapat diketahui segala sesuatu yang berkaitan dengan sejarah itu. 11 Sejalan dengan Walsh, Zainab al-Hudhairi menegaskan bahwa filsafat sejarah

adalah suatu tinjauan terhadap berbagai peristiwa historis secara filosofis untuk mengetahui berbagai faktor esensial yang mengendalikan peristiwa itu. Selanjutnya, hendak diungkapkan pula suatu hukum umum yang tetap dengan mengarahkan pada perkembangan berbagai bangsa dan negara dalam suatu zaman

atau generasi. 12 Kedua, sejarah dan ilmu-ilmu sosial, seperti yang dikatakan oleh Peter Laslett, merupakan metode baru untuk mempelajari sejarah dari berbagai bidang dengan tujuan untuk memenuhi kriteria ilmu-ilmu sosial sehingga para ilmuwan sosial dapat memberikan penjelasan terhadap fenemona sosial di masa lampau. Di lain pihak, untuk dapat memenuhi kiteria itu, para sejarawan mempergunakan berbagai konsep dan teori sosial, tentunya yang relevan dengan pokok perta- nyaannya, sehingga peristiwa sejarah di masa lampau dapat diberi penjelasan se- cara analitis.

Ketiga, sejarah masyarakat yang juga disebut dengan istilah sejarah so- sial. Secara teoretis, tipe sejarah ini merupakan suatu studi tentang struktur dan proses tindakan manusia yang terjadi dalam konteks sosio-kultural pada masa

11 W. H. Walsh. 1950. An Introduction to Philosophy of History. Inggris: The MicMillan. Hlm. 12. 12 Zainab al-Khudari. op. cit. Hlm. 54.

lampau yang tercatat. Sejarah sosial dipelopori oleh Herodotus yang melaporkan adat istiadat orang-orang Skyth dan Tacitus yang melukiskan lembaga-lembaga suku-suku Jerman. Semenjak itu, para sejarawan telah menuliskan berbagai risa- lah yang dikenal sebagai varian dari sejarah sosial. Tokoh terpenting, di antaranya adalah Voltaire dan Julius Mose. The Age of Louis XIV karya Voltaire (1751) di- pandang sebagai karya yang mendorong perkembangan bagi studi sejarah sosial yang diperkuat oleh Osnabruckische Geschichte (1768) karya Julius Mose. Ke- duanya merupakan karya yang membahas berbagai segi dari kehidupan dan kebu- dayaan suatu masyarakat.

Karya tersebut kemudian melahirkan aliran kulturgeschichte sebagai se- jarah sosial. Gagasan dasarnya adalah setiap masyarakat mempunyai satu kesa- tuan yang pokok yang diresapi oleh suatu watak dan senantiasa melewati beberapa taha dalam proses pertumbuhannya. Gagasan ini mendapat dukungan luas dari ali- ran ideologi sepanjang abad ke-18. Herder melalui karyanya berjudul Outlines of Philosophy of the History of Man (1784-1791) menyatakan bahwa bangsa-bangsa tertentu memiliki ciri-ciri psikologis tertentu yang menghasilkan perangkat ben- tuk-bentuk sosial dan kultural yang unik. Demikian juga dengan Turgot dalam On the Progres of the Human Mind (1750) yang menegaskan bahwa sejarah merupa- kan proses yang akumulatif dan setiap tahap merupakan pendahuluan bagi tahap berikutnya. Romantisme Herder dan Torgot ini kemudian melebur ke dalam Idea- lisme Fichte, Schelling, dan Hegel yang pada awal abad ke-19 memberikan du- kungan serupa terhadap aliran kulturgeschichte.

Lamprecht dipandang sebagai wakil aliran positivsme dari kulturge- schichte melalui karyanya Deustche Geschichte (1891-1909) yang menggambar- kan perubahan sosial dan budaya dalam urutan enam periode sejarah Jerman. Ia mengatakan bahwa ilmu sejarah yang dapat dipercaya dapat diciptakan dengan studi yang tekun dengan cara menentukan hukum-hukum yang menguasai proses historis. Untuk dapat mewujudkan itu, penerapan metodologi ilmu-ilmu sosial terhadap keseluruhan perilaku manusia mutlak diharuskan.

Ada juga aliran dari sejarah sosial yang tidak skematis yaitu suatu studi yang bertujuan hendak menggambarkan kehidupan masyarakat seperti yang dila- kukan oleh Sir Albert Richardson (1931), Sir Arthur Bryant (1935), dan Robert Allen (1933). Keanekaragaman merupakan salah satu ciri dari sejarah sosial yang tidak skematis ini dengan penggambaran yang bersifat deskriptif.

Suatu pemikiran kesejarahan yang memadukan antara kulturgeschichte dan sejarah sosial yang tidak skematis dilahirkan oleh March Bloc dan Lucien Fibvre. Mereka berpikiran bahwa sejarah merupakan rekonstruksi masa lampau yang menyangkut lingkungan fisik, mental, dan normatif sehingga sejarah akan lebih bersifat ilmiah. Feudal Society karya Bloch merupakan bentuk dari pemiki- ran seperti itu. Ia menciptakan suatu sintesis bahwa bahan-bahan terdahulu baik yang bersifat arkeologis, kartografis, linguistis, maupun folkloris lebih dapat di- percaya daripada bahan-bahan yang bersifat dokumenter. Bahan-bahan itu dapat memberikan pengertian dasar untuk dapat merekonstruksi masa lampau. Untuk dapat menyebarkan gagasannya ini, Bloch kemudian mendirikan Annales Suatu pemikiran kesejarahan yang memadukan antara kulturgeschichte dan sejarah sosial yang tidak skematis dilahirkan oleh March Bloc dan Lucien Fibvre. Mereka berpikiran bahwa sejarah merupakan rekonstruksi masa lampau yang menyangkut lingkungan fisik, mental, dan normatif sehingga sejarah akan lebih bersifat ilmiah. Feudal Society karya Bloch merupakan bentuk dari pemiki- ran seperti itu. Ia menciptakan suatu sintesis bahwa bahan-bahan terdahulu baik yang bersifat arkeologis, kartografis, linguistis, maupun folkloris lebih dapat di- percaya daripada bahan-bahan yang bersifat dokumenter. Bahan-bahan itu dapat memberikan pengertian dasar untuk dapat merekonstruksi masa lampau. Untuk dapat menyebarkan gagasannya ini, Bloch kemudian mendirikan Annales

Keempat, sejarah ekonomi yang secara garis besar memberikan perha- tian pada kegiatan ekonomi di masa lampau. Kegiatan-kegiatan itu meliputi: per- tumbuhan, kemandekan, atau kemorosatan ekonomi; kemakmuran kelompok-ke- lompok individu searah dengan perubahan ekonomi; dan hubungan timbal balik antara organisasi ekonomi dan kegiatannya. Meskipun demikian, masalah besar dalam sejarah ekonomi menitikberatkan pada dua kategori: (1) keseluruhan per- tumbuhan ekonomi sepanjang waktu dan faktor-faktor yang mempengaruhi per- tumbuhan itu; dan (2) distribusi pendapatan dalam ekonomi tersebut bagi arah pertumbuhan atau kemunduran. Sejarah ekonomi agak berbeda dengan studi seja- rah umumnya, karena penggunaan metode kuantitatif sistematis yang sepadan dengan bukti-bukti yang terkumpul.

Pada awal perkembangannya, bidang kajian sejarah ekonomi dilakukan oleh para penulis yang dididik sebagai sejarawan. Akan tetapi, setelah PD II ber- akhir, penulisan sejarah ekonomi mulai dilakukan oleh para sarjana ekonomi. Per- geseran ini didorong oleh beberapa faktor, yaitu (1) tumbuhnya minat para ahli ekonomi dalam studi pembangunan ekonomi; (2) para ahli ekonomi semakin teliti dalam menguji hipotesisnya; dan (3) mengembangkan volume informasi kuanti- taif tentang masa lampau. Para sejarawan ekonomi memberikan penjelasan kuan- titatif terhadap gejala-gejala ekonomi di masa lampau, dengan menggunakan me- tode kuantitaif seperti yang biasa mereka lakukan. Untuk memperoleh penjelasan Pada awal perkembangannya, bidang kajian sejarah ekonomi dilakukan oleh para penulis yang dididik sebagai sejarawan. Akan tetapi, setelah PD II ber- akhir, penulisan sejarah ekonomi mulai dilakukan oleh para sarjana ekonomi. Per- geseran ini didorong oleh beberapa faktor, yaitu (1) tumbuhnya minat para ahli ekonomi dalam studi pembangunan ekonomi; (2) para ahli ekonomi semakin teliti dalam menguji hipotesisnya; dan (3) mengembangkan volume informasi kuanti- taif tentang masa lampau. Para sejarawan ekonomi memberikan penjelasan kuan- titatif terhadap gejala-gejala ekonomi di masa lampau, dengan menggunakan me- tode kuantitaif seperti yang biasa mereka lakukan. Untuk memperoleh penjelasan

Kelima, sejarah perusahaan dalam arti yang luas mencakup semua akti- vitas para pengusaha di masa lampau. Asumsi utama dari bidang kajian ini adalah orang suka pada suatu kebebasan berkehendak sehingga keputusan pribadinya akan mempengaruhi terhadap jalannya kejadian-kejadian bersejarah. Hal tersebut pada akhirnya akan berpengaruh pula pada arus perubahan ekonomi dan sosial di berbagai tempat di dunia.

Dalam sejarah perusahaan, perubahan dipandang bersifat kontinyu dan saling berhubungan, jumlah yang tidak tetap, dan tiada pernah berakhir sebagai inisiaif manusia. Meotodologi yang dipakai tidaklah berbeda dengan disiplin in- duknya yaitu sejarah ekonomi. Dalam proses penelitiannya, para sejarawan peru- sahaan acapkali menggunakan bahan-bahan dari sosiologi, antropologi, dan psi- kologi untuk menjawab data yang diajukan oleh para sejarawan perusahaan. Se- mentara itu, bidang penelitian sejarah perusahaan meliputi pengusaha sebagai in- dividu, berbagai hubungan kerja dalam rangka menciptakan keuntungan ekonomi, peralatan dan lembaga-lembaga perusahaan, dan interaksi para pengusaha dengan lingkungan sekitarnya.

Keenam, sejarah intelektual yang mencoba merekonstruksi data-data yang ditinggalkan dalam aktivitas berpikir manusia di masa lampau. 13 Bahan-ba-

han yang dipakai untuk merekonstruksi pemikiran manusia di masa lampau adalah

13 Di Amerika, istilah yang sering dipergunakan adalah sejarah kebudayaan (cultural history) atau ide-ide sosial (social ideas) seperti yang sering dipakai oleh Guide to Historical Literature

terbitan American Historical Association. Di Barat, istilah yang dipakai adalah sejarah ide-ide.

karya para filsuf, seniman, penulis, dan ilmuwan yang tercatat dalam karya me- reka, dan dalam sejarah khusus dari disiplin spesifik seperti: filsafat kesusastraan, agama, ilmu pengetahuan, dan kesenian. Tujuan utama dari sejarah intelektual adalah mencoba untuk mencari kembali dan mengerti penyebaran karya pemim- pin-pemimpin kebudayaan (baca: ide mereka) pada masyarakat tertentu. Semen- tara itu, dalam arti sempit sejarah intelektual berusaha untuk menceritakan siapa yang menghasilkan pemikiran dan bagaimana pengaruhnya di masyarakat.

Setidak-tidaknya ada tiga tipe sejarah intelektual. Ketiganya tidaklah berdiri secara penuh, karena setiap karya dapat menyentuh ketiga tipe itu. Tipe pertama adalah upaya mengembangkan fakta tentang siapa menulis apa dan bi- lama, dalam bentuk apa dipublikasikan, dan juga sejauh mana media budaya dipa- kai untuk keperluan propaganda. Charles H. Haskins menulis karya sejarah inte- lektual dalam esseinya The Renaissance of the Twelfth Century (1927) dan Studies in Medieval Culture (1929). Tipe kedua adalah sejarah intelektual yang mengha- dapkan sejarawan pada bagaimana hubungan dari kartografi ide-ide. Tipe ini di Amerika Srikat dikenal dengan nama Sejarah Pemikiran yang mencoba mengana- lisis elemen-elemen yang terpilih dari pengelompokan ide (cluster idea menurut istilah Arthur O. Lovejoy). Salah satu pengelompok ide itu adalah hierarki dari unsur yang hidup, yang saling berhubungan dari sentient (mempunyai rasa) sam- pai pada makhluk yang hidup tinggi dan paling baik perkembangannya. Tipe ke- tiga merupakan studi hubungan antara apa yang dikatakan orang dan apa yang di- lakukannya.

Ketujuh, sejarah kebudayaan merupakan bagian dari sejarah umum me- ngenai perkembangan historis bangsa-bangsa yang belum mengenal tulisan pada waktu sekarang dan masa lampau. Dengan demikian, terdapat perbedaan prinsip antara sejarawan profesional dan sejarawan kebudayaan. Sejarawan kebudayaan mencoba untuk merekonstruksi perkembangan bangsa-bangsa yang belum mengenal tulisan sehingga mengandalkan bukti-bukti tertulis serta menggunakan metode yang berdasarkan dugaan (conjectural). Para etnolog dan arkeolog meru- pakan sejarawan kebudayaan yang memiliki otoritas di bidang sejarah kebu- dayaan, seperti yang dikatakan oleh E. Bersntein. Walaupun demikian, perbedaan tersebut bukanlah pada jenis, melainkan pada tingkatan dalam melakukan penjela- san data.

Untuk melakukan penjelasan terhadap perkembangan kebudayaan, seja- rawan kebudayaan akan menggunakan metode khusus. Penerapan metode khusus itu sangat berkaitan dengan sejumlah bahan yang dipergunakan oleh para sejara- wan kebudayaan, seperti bukti lisan, arkeologi, distribusi ciri-ciri, linguistik kom- parartif, kesimpulan-kesimpulan nonlinguistik, kontak kebudayaan, rekonstruksi sistem-sistem sosial, sejarah biologi, dan pembiasaan dengan cara-cara hidup yang teratur. Dengan menerapkan metode khusus ini, para sejarawan kebudayaan me- miliki optimisme tinggi untuk merekonstruksi kebudayaan masyarakat yang be- lum mengenal tulisan.

Kedelapan, sejarah etnis merupakan disiplin ilmu sejarah yang mencoba untuk merekonstruksi sejarah suku-suku pribumi sebelum dan sesudah ada Kedelapan, sejarah etnis merupakan disiplin ilmu sejarah yang mencoba untuk merekonstruksi sejarah suku-suku pribumi sebelum dan sesudah ada

Sejarah etnis berbeda dengan karya-karya sejarawan kolonial. Sejarawan etnis biasanya memiliki pengalaman lapangan yang menambah pengetahuannya dalam merekonstruksi masyarakat tersebut. Sejarawan etnis cenderung berpikir dalam kerangka sistematis dan fungsional serta tidak dalam kerangka kebetulan dan keadaan-keadaan tertentu. Mereka mencoba melihat peristiwa sejarah dari su- dut pandang pribumi dan tidak dari sudut pandang penguasa Barat.

3. Retorika Sejarah

Dalam tulisannya yang “Retorika Sejarah”, pembahasan yang dilakukan oleh Hexter meninjau aspek retorika dari sebuah historiografi. 14 Penggunaan ba-

hasa dalam historiografi, jelas berbeda dengan yang diterapkan oleh para ilmuwan ilmu alam maupun ilmu sosial. Dalam historiografi, suatu retorika yang lebih ba-

14 Oleh Hexter, historiografi diartikan sebagai kemahiran menulis sejarah dan sejarah itu sendiri diartikan sebagai studi masa lampau sebagai disiplin yang sistematik dan tidak dipergunakan

untuk menunjuk masa lampau itu sendiri. Sementara itu, retorika sejarah dan penulisan sejarah oleh Hexter disinonimkan dengan historiografi.

nyak menyerupai apa yang dipergunakan dalam kesusastraan tidak saja diperbo- lehkan, tetapi sewaktu-waktu perlu diterapkan.

Dalam retorika sejarah dipernyakan pula bagaimana hubungan antara yang diketahui dan bentuk penyampaiannya secara tertulis (historiografi)? Per- tama, ada konsensus di kalangan para sejarawan bahwa mereka dapat berbicara tentang “sejarawan yang lebih baik”. Artinya, mereka akan menjadi rujukan bagi para sejarawan lainnya dalam menyampaikan secara tertulis apa yang diketa- huinya. Kedua, para sejarawan menolak untuk menerapkan retorika ilmu alam. Para sejarawan dalam upaya menuliskan apa yang ia ketahui melalui usaha mem- baca dan mengkaji hal-hal yang pernah ditulis orang pada masa lampau dan me- ngenai masa lampau, dan dengan cara memperhatikan sisa-sisa dan bekas-bekas ciptaan tangan manusia. Ketiga, konfrontasi sejarawan untuk mendapat pengeta- huannya dilakukan dengan orang dan keadaan masa lampau yang bersifat tidak langsung yang ditengahi oleh peninggalan arkeologi dan dokumentasi.

Untuk menuliskan apa yang diketahuinya, sejarawan harus memiliki ke- terampilan dalam menjelaskan apa yang diketahuinya itu. Bentuk umum dari penjelasan yang selalu dipergunakan oleh para sejarawan adalah pengisahan. Pe- ngisahan ini merupakan cara umum yang dipakai oleh para sejarawan untuk men- jawab pertanyaan “bagaimana”. Dan ini berbeda dengan retorika fiktif seperti yang diterapkan oeh para penulis sastra. Imajinasi sejarawan dibatasi oleh ke- taatannya terhadap dokumen, sementara imajinasi sastrawan tidaklah terikat oleh dokumen meskipun yang ditulisnya berlatar belakang historis. Cara lain untuk Untuk menuliskan apa yang diketahuinya, sejarawan harus memiliki ke- terampilan dalam menjelaskan apa yang diketahuinya itu. Bentuk umum dari penjelasan yang selalu dipergunakan oleh para sejarawan adalah pengisahan. Pe- ngisahan ini merupakan cara umum yang dipakai oleh para sejarawan untuk men- jawab pertanyaan “bagaimana”. Dan ini berbeda dengan retorika fiktif seperti yang diterapkan oeh para penulis sastra. Imajinasi sejarawan dibatasi oleh ke- taatannya terhadap dokumen, sementara imajinasi sastrawan tidaklah terikat oleh dokumen meskipun yang ditulisnya berlatar belakang historis. Cara lain untuk

BAB II PERKEMBANGAN HISTORIOGRAFI DI BARAT

1. Pengantar

Historiografi berasal dari bahasa Yunani yakni historia ‘penyelidikan tentang gejala alam fisik’ dan graphein ‘gambaran, tulisan, lukisan, atau uraian’. Dalam perkembangannya, kata historia cenderung dipergunakan untuk menyebut studi secara kronologis tetang tindakan manusia di masa lampau. Saat ini, historiografi mengandung dua pengertian: (1), tulisan tentang sejarah (historical writing ); dan (2) sejarah tentang penulisan sejarah (a history of historical writing). Pegertian pertama merujuk pada upaya sejarawan untuk merekonstruksi peristiwa yang terjadi di masa lampau. Barnes (1963: 3) menyebutnya sebagai rekaman tentang semua yang telah terjadi yang berada dalam kerajaan kesadaran manusia. Dengan demikian, peristiwa yang terjadi di masa lampau dikatakan sebagai peristiwa sejarah apabila terkaitan dengan tindakan yang dilakukan secara sadar oleh manusia.

Sementara itu, pengertian kedua merujuk pada upaya melihat arah perkembangan penulisan sejarah dari waktu ke waktu. Mengapa hal tersebut harus ditelaah? Penulisan sejarah mengalami tingkat perkembangan yang berbeda-beda menurut zaman, lingkungan kebudayaan, dan tempat di mana historiografi itu dihasilkan. Inti dari studi historiografi adalah mempelajari bagaimana para sejarawan menafsirkan dan menuliskan kembali fakta sejarah. E. H. Carr (1982:

30) menegaskan bahwa sejarah adalah dialog antara masa sekarang dan masa lampau. Artinya, sejarawan berhak untuk menuliskan kembali peristiwa di masa lampau sepanjang memiliki data baru, atau dilihat dari sudut pandang berbeda, atau dengan menggunakan pendekatan yang berbeda dengan tulisan sebelumnya. Ini berarti menyangkut metodologi sejarah.

Ada konvensi di kalangan para sejarawan bahwa batasan masa sejarah adalah ketika suatu masyarakat telah mengenal budaya menulis. Pada awal perabadan manusia, tulisan belum dikenal sebagai media komunikasi. Media utama untuk berkomunikasi adalah gambar-gamar arkais yang ditemukan di gua atau batu karang. Kurang lebih 3.000 Tahun SM, bangsa Mesir sudah mengenal

24 huruf hieroglif dan menggunakan sejumlah simbol untuk kata dan suku kata. Dalam perkembangannya, tulisan kemudian dikenal oleh hampir setiap bangsa dan menggantikan gambar sebagai media utama komunikasi antaranggota masyarakat. Dengan tulisan, mereka mengekspresikan kehidupannya, tentang apa yang dianggap baik atau buruk, tentang harapn dan keinginan, tentang kejadian yang dialaminya, dan lain-lain. Tulisan-tulisan ini kemudian menjadi dokumen sejarah yang dikaji oleh para sejarawan di masa kemudian.

Konsep lain yang harus dipahami dalam studi historiografi adalah tentang waktu. Pada awalnya, penanggalan ditentukan oleh Tuhan bukan oleh manusia karena terkait dengan penentuan hari-hari suci atau hari-hari terlarang. Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, penanggalan kemudian dipergunakan juga untuk penentuan peristiwa-peristiwa historis sekuler (Barnes, 1963: 12).

Penanggalan waktu biasa dibuat berdasarkan peredaran bulan (lunar calendar) 15 dan peredaran matahari (solar calendar). 16 Sementara itu, di Jawa dikenal pula

penanggalan Tahun Syaka yang dipertalikan dengan permulaan Zaman Aji Syaka, yaitu tahun 78 Masehi. Ciri khas dari tahun ini adalah menggunakan kombinasi antara peredaran matahari dan perdaran bulan (lunar-solar calendar). Sejak zaman Mataram, tahun Syaka diubah menjadi Tahun Jawa Islam sesuai dengan tahun hijriah.

Dengan ditemukannya penanggalan manusia telah bisa menentukan tanggal peristiwa yang terjadi. Akan tetapi, hal itu tidak mencukupi karena manusia memerlukan metode identifikasi angka-angka tahun secara berurutan. Dengan kata lain, manusia memerlukan kronologi. Bangsa Assyria mengenal bentuk kronologinya dari limmu yaitu daftar tahunan pengangkatan para pejabat kerajaan yang ditulis di atas tanah liat. Sementara itu, istilah zaman mulai dikenal sejak Raja Nabonnasar (747 SM) berkuasa di Assyiria. Kronologi yang diciptakan oleh orang-orang Romawi merupakan cikal bakal kronologi ilmiah modern yang sesungguhnya. Selain kronologi, masalah periodisasi pun sesuatu yang dibutuhkan manusia untuk menyusun peristiwa dalam deretan angka tahun.

15 Peredaran bulan merupakan kalender yang paling sederhana dan sangat primitif. Dalam perkembangannya, peredaran bulan ini dijadikan rujukan bagi penanggalan waktu di negera-

negara Islam yakni Tahun Hijriah. Nama Hijriah diambil dari peristiwa hijrahnya nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah. Dengan demikian, tahun pertama hijriah jatuh pada 15 Juli 622 Masehi.

16 Penanggalan dengan menggunakan peredaran matahari mulai dipergunakan oleh bangsa Mesr dan Meksiko. Dalam perkembangannya, penanggalan ini kemudian dijadikan sebagai kalender

modern yang kemudian disempurnakan oleh Paus Gregorius XIII tahun 1582. Tahun masehi yang dikenal oleh kita merupakan penanggalan matahari yang disempurnakan oleh Paus Gregorius XIII.

Setelah ditemukan tulisan, waktu, kronologi, dan periodisasi, manusia mulai mengekspresikan pengalamannya menjadi lebih hidup. Namun demikian, sudut pandang yang terbatas mengakibatkan adanya beragam historiografi. Pernyataan Carr bahwa sejarah adalah dialog antara masa sekarang dan masa lampau, mendorong para sejarawan untuk menuliskan sejarahnya kembali, memperkuat keberagaman historiografi. Untu memahami ini, perlu dipahami terlebih dahulu konsep dasar bagi studi historiografi, yakni kulturgebundenheit (ikatan budaya), zeitgebundenheit (ikatan zaman), dan zeitgeist (jiwa zaman). Kulturgebundenheit adalah ikatan budaya antara si penulis sejarah dan kebudayaan masyarakat di mana sejarawan dan karyanya itu dihasilkan. Zeitgebundenheit adalah ikatan antara penulis sejarah dengan zamannya yang coraknya menjadi zeitgeist yaitu sikap hidup atau orientasi pandangan hidup yang

menonjol serta mewarnai masanya. 17

2. Dari Historiografi Kuno ke Historiografi Modern 18

Perkembangan historiografi di barat, khususnya di Eropa, dibagi menjadi tiga periode, yaitu historiografi kuno, historiografi abad pertengahan, dan

19 historiografi modern. Historiografi kuno 20 dimulai ketika Herodotus menuliskan

17 Selanjutnya, Sartono Kartodirdjo memberikan contoh bahwa zeitgeist abad pertengahan bersifat mengarah terhada duna baka (jenseit ‘dunia sana’) dan zeitgeist abad modern mengarah terhaap

dunia fana (diesseitig ‘dunia sini’) Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah . Jakarta: Gramedia. Hlm. 37-38.

18 Disunting dari tulisan Nina H. Lubis. 2000. Historiografi Barat. Bandung: Satya Historika. 19 Ciri umum dari historiografi kuno adalah masih bercampurnya antara sastra, mitos, dan sejarah.

Sumber yang dipergunakan pun masih tidak dapat dibedakan antara sumber yang sejarah atau sumber yang sarat dengan legenda.

Sejarah Peperangan bangsa Persia (the History of the Persian Wars). Dalam tulisannya itu, Herodotus berusaha untuk memisahkan sastra dan mitos dari sejarah meskipun tidak sepenuhnya berhasil dilakukan oleh Herodotus. Ia secara kritis menyaring setiap laporan yang diterimanya dengan mengklasifikasikan pasti benar, mungkin benar, dan mungkin tidak benar. Untuk memastikan kemanakah laporan itu ia klasifikasikan, Herodotus selalu mengunjungi tempat terjadinya

peristiwa. 21 Jiwa zaman yang masih melingkupi lingkungan kebudayaannya pun masih mewarnai karya Herodotus. Mitos dan epik masih terdapat dalam karya

Herodotus, tetapi bukan sebagai fakta sejarah melainkan untuk menggambaran

apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh masyarakatnya. 22

Pemikiran Herodotus dilanjutkan oleh Thucydides 23 yang menulis History of the Peloponnesian War . Ia mulai memperkenalkan penulisan sejarah kontemporer, menolak tradisi oral yang sarat dengan mitos, dan menggunakan sumber yang berasal dari saksi dan pengalamannya sekaligus menguji kesaksian

20 Oleh Cicero (643 SM; Filsuf Romawi), Herodotus dianggap sebagai Bapak Sejarah karena kepeloporannya dalam penggunaan sumber untuk menuliskan sejarah. Ia hidup antara 490 SM-

425 SM. Herodotus berasal dari dari kalangan bangsawan dari Halicarnassus, sebelah barat daya Asia Kecil. Ia meninggalkan, kemungkinan di daerah Thurii, tidak lama setelah Perang Peloponennsus berakhir.

21 Beberapa daerah yang pernah dikunjunginya adalah seluruh Asia Kecil, Kepulauan Aegea, Mesir, Palestina, Thrace, Babylon, daerah Scythia di sebelah utara Laut Hitam.

22 Dalam hidupnya, ia menjadi pemberontak (secara diam-diam) terhadap tradisi lisan yang menjadi jiwa zamannya. Ia tetap mempertahankan sikapnya untuk skeptis terhadap sumber tetapi

menyampaikan hasil penelitiannya penuh dengan gaya puitis. Ia tetap menghormati Dewi Calliope (Dewi Sastra Yunani Kuno) sekaligus juga mempertahankan Dewi Cleo sebagai Dewi Sejarah Yunani Kuno.

23 Thucydides berasal dari kalangan bangsawan Tracia dan berstatus sebagai penduduk Athena yang hidup antara 456 SM – 404 SM. Ia masih memiliki hubungan kekeluargaan, ikatan

perkawinan, dengan Miltiades, pahlawan dari marathon. Sebelum menulis sejarah, ia merupakan jenderal yang memimpin pasukan di Thrace ketika Perang Peloponnesus pecah. Akan tetapi, ia segera diberhentikan sebagai dampak jatuhnya Kota Amphipolis ke tangan musuh. Sejak itulah berkelana sambil meneliti berbagai peristiwa yang kemudian ia tulis menjadi karya sejarah.

itu secara silang. Intinya, dalam menulis sejarah, Thucydides berusaha menulis secara akurat, relevan, dan mengkosentrasikan diri pada sejarah kontemporer dengan menggunakan pendekatan politik. Dengan pemikirannya itu, Thucydides dianggap sebagai sejarawan pertama yang benar-benar bersikap kritis dalam proses penulisan sejarah (Barnes, 1963: 29).

Tradisi Thucydides dilanjutkan dan dikembangkan oleh Polybius 24 . Dalam menuliskan sejarahnya, ia menggunakan berbagai sumber resmi, arsip

kerajaan, dan kesaksian. Hal ni dilakukan oleh Polybius untuk bersifat empiris dan pragmatis. Namun, karena kedekatannya dengan kalangan istana, sifat bias atau subjektif Polybius masih cukup besar. Hal tersebut terlihat dari karyanya The Histories Jilid. 6 yang menghentikan uraian sejarahnya dan menggantikan dengan uraian mengenai keerhasilan Romawi dalam menegakkan kekuasaannya.

Tradisi yang sama diperlihatkan juga oleh Julius Caesar 25 dan Titus Livius. Julius Caesar menulis sejarah secara jelas, terus terang, dan ringkas. Tidak ada kalimat hiperbola dan oratoris, sebab dalam penulisan sejarah tidak ada yang lebih dapat diterima kecuali kemurnian, kejelasan, dan keringkasan. Itu semua

24 Polybius merupakan orang Yunani dari suku Achaea yang hidup antara 198 SM – 125 SM ketika kebudayaan bangsanya memasuki fase Graeco-Roman. Ia seorang komandan kavaleri

Yunani ketika melawan Roma dalam Perang Macedonia III. Ia menjadi dekat dengan bangsawan Roma karena memiliki hubungan baik dengan keluarga Aemilius Paulus ketika dirinya ditawan oleh Roma. Ia menemani Scipio Aemilius ke Kartago dan melahirkan gagasan untuk menulis Sejarah Roma.

25 Nama lengkapnya adalah Gaius Julius Caesar yang berasal dari kalangan bangsawan golongan patricia. Ia hidup antara 101 SM – 44 SM. Ia menciptakan pasukan yang kuat dan loyal ketika

menaklukan daerah Gaul (Prancis). Keberhasilannya inilah yang menghantarkan ia menjadi Kaisar Romawi pada 45 SM sampai dibunuh pada 44 SM oleh Brutus, nama yang diserap menjadi brutal.

tercermin dari karyanya yang berjudul Commentaries on the Gallic War yang berisi perjuangannya ketika berupaya merebut daerah Gaul di Prancis.

Sementara itu, Titus Livius 26 menulis buku The History of Rome yang memiliki ketepatan dalam metodologinya. Ia lebih sering menyebut sumber

daripada penulis sejarah yang lainnya. Ia pun mencatat dan mempertanyakan bukti yang meragukan dan membuat generalisasi yang luas. Sejarah yang ditulis oleh Livius adalah sejarah Romawi. Dikatakan bahwa kebesaran, moralitas, dan kekayaan Romawi tidak dapat disaingi oleh negara manapun. Dengan jiwanya yang patriotik, ia memandang bahwa Romawi merupakan negara tanpa cela. Dengan jiwa patriotik ini, mengakibatkan dirinya tidak secara penuh bersikap objektif terhadap apa yang ia tulis, meskipun, sekali lagi, ia selalu mempertanyakan terhadap sumber yang meragukan.

Historiografi Abad Pertengahan dimulai ketika Kekaisaran Romawi mengalami keruntuhan sekitar abad ke-5 Masehi. Jiwa zaman berubah dari percaya terhadap akal menjadi percaya terhadap Tuhan. Segala aktivitas kehidupan diarahkan untuk mewujudkan Kerajaan Allah (Civitae Dei). Santo Augustine merupakan rujukan utama dalam mempelajari historiografi abad

pertengahan. 27 Sejak saat itu, penulisan sejarah cenderung tidak menggunakan

26 Titus Livius atau dikenal juga dengan nama Livy dilahirkan di Padua sekitar 59 SM. Setelah lari dari wajib militer, Livy tinggal di Roma dan mempelajari dunia sastra. Ia meninggal di Roma

sekitar 17 SM. 27 Augustine atau Augustinus dilahirkn pada 354 M dikota Tagaste, Propinsi Numidia, Afrika