PEDAGANG KAKI LIMA DAN INTERRELASI AKTOR

PROCEEDING TANTANGAN BARU PEMBANGUNAN DAN PELEMBAGAAN KEBIJAKAN SOSIAL DI INDONESIA

Hak Cipta  Drs. Cornelius J. Paat, Msi.; Dr. Antonius Purwanto, MA.; Lidya Kandowangko, MA., 2016

Hak Terbit pada UMM Press Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang

Jl. Raya Tlogomas No. 246 Malang 65144 Telepon (0341) 464318 Psw. 140 Fax. (0341) 460435 E-mail: ummpress@gmail.com http://ummpress.umm.ac.id Anggota APPTI (Asosiasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia)

Cetakan Pertama, April 2016 ISBN : 978-979-796-177-0

xiv; 1055 hlm.; 21 x 29,7 cm Setting & Layout : Septian R.

Design Cover : A.H. Riyantono Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak

karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari penerbit. Pengutipan harap menyebutkan sumbernya.

Sanksi Pelanggaran pasal 72: Undang-undang No. 19 Tahun 2002, Tentang Hak Cipta: 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (Satu Juta Rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (Lima Miliar Rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Assalamualaikum Wr. Wb Salam Sejahtera buat kita semua, Syalom,

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, Kongres APSSI II dan KNS IV dapat dilaksanakan dan mempercayakan kami Jurusan Sosiologi FISIP UNSRAT sebagai tuan rumah. Kongres APSSI II dan KNS IV ini diikuti oleh peserta yang berasal dari seluruh Universitas yang memiliki program studi sosiologi, baik dosen, peneliti, mahasiswa dan pemerhati sosial. Seluruh rangkaian acara yang ada menuntun kita untuk mempererat hubungan pengurus dan anggota APSSI beserta pengajar-pengajar Sosiologi. Kita juga bersama-sama telah memilih struktur kepengurusan yang baru untuk membawa APSSI lebih maju. Untuk menciptakan konsolidasi organisasi dan mengembangkan jaringan program studi.

Tema acara kita yang mengenai Tantangan Baru Pembangunan dan Pelembagaan Kebijakan Sosial di Indonesia adalah persoalan menarik. Pembangunan berlangsung cepat dan tak terbendung. Mengapa kita perlu membahas ini sebagai persoalan ? Kita dapat saksikan bagaimana pembangunan membawa perubahan besar untuk masyarakat. Pembangunan maritim, pertambangan dan pariwisata sedang digalangkan. Namun, pembangunan akhir-akhir ini seringkali kurang memperhatikan pelestarian lingkungan. Air dan udara yang bersih kian susah didapatkan karena polusi dan kurang pepohonan sebagai penghasil oksigen dan penyimpan air. Timbulnya kemiskinan disaat pembangunan tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat dan hanya menguntungkan segelintir pihak. Pembangunan mengubah gaya hidup masyarakat juga membawa arus persoalan yang baru.

Maka, kita butuh terlembagakan kebijakan sosial yang mampu meminimalisir dampak buruk pembangunan bagi masyarakat. Pemerintah, stakeholder, yang terlibat ditantang bukan hanya menjalankan pembangunan tetapi merumuskan kebijakan yang dapat menjamin kesejahteraan rakyat. Oleh karenanya, kebijakan mengenai jaminan sosial, kesehatan, pendidikan dan proteksi terhadap anak-anak dan kelompok marjinal dikaji dalam penelitian sosial.

Makalah-makalah ilmiah yang disajikan menunjukkan cairnya perspektif sosiologi yang dapat kita aplikasikan untuk menjawab kompleksitas pembangunan dan mengarahkan Makalah-makalah ilmiah yang disajikan menunjukkan cairnya perspektif sosiologi yang dapat kita aplikasikan untuk menjawab kompleksitas pembangunan dan mengarahkan

Tentunya acara Kongres APSSI II dan KNS IV ini dapat menjadi wadah bagi kita semua untuk bertukar pikiran dan berbagi pengalaman demi mengembangkan Program Studi Sosiologi dan aplikasinya dalam kehidupan bermasyarakat. Kebersamaan yang kita jalin semoga dapat memajukan program studi sosiologi dan jaringan yang terbentuk dapat meningkatkan kualitas sumberdaya di bidang sosiologi. Karena bila ada kebersamaan dan kuatnya jaringan kita bisa saling membantu dalam mentransfer ilmu yang kita miliki, saling memberdayakan, saling menguatkan sesama program studi maupun dosen dan mahasiswa. Acara ini semoga dapat menyatukan visi dan persepsi sesama anggota APSSI agar dapat berjalan bersama menjawab kebutuhan program studi, baik kepentingan akademis dan pengabdian masyarakat. Terima kasih!

Manado, 22 Mei 2015 Ketua Panitia Kongres APSSI II dan KNS IV Manado

Drs. Jefry C. Paat, MSi

Kata Sambutan ............................................... .... i Daftar Isi

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iii

SUBTEMA PEMBANGUNAN

Konsep dan Teori Kontemporer tentang Pembangunan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

1. Gated Communities: Penanda Segregasi Sosial Masyarakat Urban Yogyakarta Derajad S. Widhyharto . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2

2. Media dan Keamanan Pangan Indonesia: Studi Sosiologi Selera Ikma Citra

3. Keterbukaan Informasi Publik dan Pembangunan Perdamaian di Aceh Afrizal Tjoetra

4. Transformasi Sosiokultural Studi Berbasis Pemetaan Isu Mutakhir Sosiologi Andi Tenri, Andi Asrina

Pembangunan yang Berkeadilan dan Ramah Lingkungan

1. Pembangunan Berbasis Agama (Gagasan Mewujudkan Pembangunan Yang Berkeadilan Dan Ramah Lingkungan) Jamaluddin Hos . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 92

2. CSR: Upaya Mewujudkan Pembangunan yang Berkeadilan dan Ramah Lingkungan (Studi di PT. Antam Pongkor) Sigit Pranawa

3. Pemberdayaan Masyarakat Lokal Berbasis Social Forestry untuk Pengembangan Konservasi Lingkungan dan Ekowisata Hutan Fitri Ramdhani Harahap . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 116

4. Kinerja Pemerintah Kota Manado Dalam Melaksanakan Program Pembangunan Berbasis Lingkungan – Mapaluse Femmy C. M. Tasik

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 130 Potensi dan Tantangan Pembangunan Maritim di Indonesia . . . . . . . . . . . . . . . . . 144

1. Pembangunan Masyarakat Maritim (Dialektika Modernitas dan Lokalitas)

Kelangsungan Pelayaran Tradisional Tasrifin Tahara . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

3. Peluang dan Hambatan Pengembangan Maritim Di Kota Bengkulu; Diantara Potensi SDA dan Etos Kerja Masyarakat Lesti Heriyanti

4. Modal Sosial Perempuan Sulawesi Utara Sebagai Modal Sosial Di Pintu Gerbang Asia Pasifik Charles R.Ngangi

5. Memperkokoh Identitas Keindonesiaan Melalui Ketahanan Budaya Masyarakat Perbatasan Di Bibir Pasifik Studi Kasus Pada Kabupaten Talaud Maria Heny Pratiknjo

Lokalitas dan Pembangunan Alternatif Berorientasi Partisipasi Warga

1. Community Development Sebagai Jalan Menuju Pembangunan Berkelanjutan: Studi Kasus Praktek Community Development oleh Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK) di Kec. Kokonao, Kab. Mimika, Prov. Papua Yusdam Arrang Bua

2. Lokalitas dan Ikatan Sosial pada Masyarakat Desa Labuku Syamsul Bachri, Andi Burchanuddin, Abdul Malik Iskandar, Harifuddin

3. Penguatan Ideologi Kebangsaan Berbasis Pengembangan Potensi Masyarakat Grass-Root di Kota Surakarta Bagus Haryono, Ahmad Zuber

4. Mekanisme Bekerjanya Modal Sosial Terhadap Perubahan Aktivitas Mata Pencaharian Sebagai Sistem Penghidupan (Livelihood) Pasca Timah (Studi Terhadap Masyarakat Desa Delas, Kecamatan Air Gegas, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung) Herdiyanti

5. Keberadaan Pangan Lokal dalam Tradisi Nyumbang di Pedesaan Jawa

Internasional dan Nasional untuk Pengentasan Kemiskinan Indraddin

7. Penguatan Identitas Masyarakat Lokal (Indigeneous People), Melawan Korporasi dan Menyelamatkan Lingkungan Syafruddin

8. Selamatan Dusun: Peneguhan Komunitas sebagai Subjek (Studi di Dusun Babatan, Desa Tegalgondo, Kec. Karangploso, Kab. Malang, Jawa Timur) Muhammad Hayat

9. Pembangunan Masyarakat melalui Model Pemberdayaan Masyarakat dan Pendidikan Politik Partisipatif-Integratif berbasis Potensi Lokal Vina Salviana

10. Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Menangani Dan Mengentaskan Kemiskinan Di Jawa Timur Peran Komunitas Dan Lembaga Non-Pemerintah Dalam Program Pengentasan Kemiskinan Di Kab. Bojonegoro, Kab. Pacitan dan Kab. Probolinggo Martinus Legowo

11. Membangun Kemandirian Masyarakat Petani Padi Pada Kawasan Agropolitan Dumoga Provinsi Sulawesi Utara Dalam Menunjang Percepatan Swa Sembada Pangan Nasional Wehelmina Rumawas

Kemiskinan, Kerentanan dan Ketidakadilan Baru dalam Pembangunan

1. Kerentanan Masyarakat di Periphery Perbatasan Laut Indonesia: Pemetaan Pembangunan di Kelurahan Pemping Kota Batam Siti Arieta

2. Kemiskinan Struktural Sektor Informal Perkotaan di Makassar (Wajah Buram Pembangunan Perkotaan yang Berkeadilan) Syaifullah Canggara

3. Kerentanan Komunitas Nelayan dalam Konteks Perubahan Iklim: Studi Kasus di Pulau Ambon, Maluku

Rinaldi Ekaputra, Wahyu Pramono, Bob Alfiandi, Merry Anda Yanto . . . . . . . . . . 458

5. Hubungan Dialektika Antara Orang Miskin Dengan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur Sugeng Harianto

Pembangunan Pariwisata Menuju Pemberdayaan Sosial Ekonomi

1. Perencanaan Partisipatif Dalam Pengembangan Desa Wisata di Desa Jayagiri Kecamatan Lembang Bintarsih Sekarningrum, Desi Yunita

2. Pedagang Kaki Lima dan Inter-relasi Aktor-Aktor Pariwisata Maksud Hakim, Rosmawati, Rasyidah Zainuddin, Harifuddin Halim, Rivai Mana . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

3. Model Pembangunan Desa Wisata Berbasis Pemberdayaan Masyarakat Tachya Muhammad, Wahyu Gunawan, Budi Sutrisno . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

4. Pembangunan Sosial dengan Metode Jejaring Kolegial dalam Membangun Kampung Wisata Pasir Ipis Lembang Jawa Barat Wahyu Gunawan, Ari Ganjar Herdiansah

5. Pengembangan Ekowisata Berbasis Modal Sosial (Konsep dan Aplikasinya bagi Penguatan Ekonomi Masyarakat Lombok Barat) Sukardi, Wildan, M. Zulfikar Syuaib

6. Upaya Pengembangan Wisata Sangiran dalam Pemberdayaan Sosial Ekonomi Sudaru Murti

7. Perencanaan Strategis Pengembangan Pariwisata Kota Manado Very Y. Londa

SUBTEMA KEBIJAKAN SOSIAL Konsep dan Perspektif Jaminan dan Perlindungan Sosial

1. Meneropong Perlindungan Hukum dari Kacamata Kebijakan Sosial (Studi Terhadap Penghukuman Perempuan Pelaku Pembunuhan) Vinita Susanti

2. Peran Konsulat Jenderal RI di Hongkong dalam Upaya Meningkatkan

Perdebatan Populisme, Prorakyat dan Kebijakan Sosial

1. Pengembangan Kewirausahaan Sosial untuk Pemberdayaan Masyarakat Abdi Rahmat

2. Kajian Sosiologis tentang Interaksi Sosial dan Struktur Sosial terhadap Naskah Drama Indonesia, Studi Kasus pada Naskah Drama “Maaf-Maaf-Maaf” Parwitaningsih

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 635 Model Pendekatan Tanggung Jawab Sosial Negara dan Partisipasi Warga . . . . . 654

1. Antara Partisipasi Warga dan “Federasi-Kampung”: Dilema Kepemimpinan Kepala Desa di Tasikmalaya Jawa Barat Asep Suryana

2. Profesionalisme Petugas Pelayanan Publik Sudirah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 677

3. Pengaruh Corporate Social Responsibility (CSR) PT. Perama Swara Tour dan Travel terhadap Kesejahteraan Masyarakat Denpasar Selatan Heri Wahyudi

Tantangan dan Model Pelembagaan Kebijakan Jaminan Sosial

1. Motif Berperilaku Kepala Desa pada Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Kabupaten Minahasa Selatan Shirley Y. V. I. Goni

2. Dilema Pemenuhan Jaminan Sosial dan Peran Modal Sosial di Daerah Bencana, Studi Kasus: Desa Balerante (Klaten, Jawa Tengah) dan Desa Glagaharjo (Sleman, DIY) Suryo Adi Pramono

3. Pondok Baremoh dan Payung Ceper (Studi tentang Perubahan Makna Konsep Perilaku Menyimpang di Provinsi Sumatera Barat) Dwiyanti Hanandini, Nini Anggraini, Indraddin, Wahyu Pramono, Machdaliza

Ansar Arifin, Syamsu Kamaruddin ............................... 770

2. Kesehatan Reproduksi Perempuan dalam Keluarga Nelayan (Studi terhadap Pengetahuan, Kesadaran, Prilaku dan Akses Istri Nelayan terhadap Kesehatan Reproduksi serta Partisipasi Suami) Fachrina, Maihasni

3. Kepuasan Mahasiswa dalam Tutorial Online Bambang Prasetyo

4. Korelasi Bantuan Belajar Tutorial Online pada Nilai Ujian Akhir Semester Mahasiswa Universitas Terbuka (Studi Kasus pada Mata Kuliah Logika di Masa Ujian 2013) Haryanto . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 804

5. Peranan Komunikasi Keluarga dalam Keberhasilan Belajar Siswa SMP di Kota Manado Elfie Mingkid

6. Implementasi Kebijakan Pendidikan Dasar di Kabupaten Kepulauan Talaud Provinsi Sulawesi Utara Very Y. Londa, Shirley Y.V.I. Goni

Perlindungan Sosial Anak-Anak dan Kelompok Marginal

1. Corporate Social Responsibility (CSR) untuk Mewujudkan Kota Layak Anak (KLA) di Surakarta Jawa Tengah Eva Agustinawati, Diffah Hanim, Insiwi Febriary Setiasih

2. Pendidikan Inklusi: Perlindungan Sosial Anak Berkebutuhan Khusus Bastiana . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

3. Pembangunan dan Pemenuhan Hak Anak Miskin di Kabupaten Sragen Thomas Aquinas Gutama, Siany Indria Liestyasari, Sumardiyono

4. Model Pencegahan dan Penanggulangan Masalah Perdagangan Wanita (Trafficking) di Kecamatan Jagoi babang Kab. Bengkayang, Prov. Kalimantan Barat Herlan, H. Mochtaria M. Noh

5. Koran yang Menindas: Studi Eksploitasi Pekerja Anak Penjual Koran di

6. Pelacuran Anak di Kepri Marisa Elsera

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 923

7. Pemberdayaan Penyandang Disabilitas di Daerah Istimewa Yogyakarta Imma Indra Dewi, W, Victoria Sundari Handoko

..................... 939

8. Pemenuhan Hak Anak Sebagai Bentuk Perlindungan Sosial dan Pemberdayaan Terhadap Anak (Studi pada Anak Jalanan di Surabaya) Fakhriyatul Ainiyah

.......................................... 962

9. Orang Tua Ideal Masa Kini (Studi Keharmonisan Orang Tua – Anak Pada Empat Etnik di Makassar) Maria E. Pandu . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 986

PENUTUP

Ucapan Terima Kasih . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1055 Dokumentasi

PEMBANGUNAN PARIWISATA MENUJU PEMBERDAYAAN SOSIAL EKONOMI

PEDAGANG KAKI LIMA DAN INTERRELASI AKTOR-AKTOR PARIWISATA

Maksud Hakim 1 ;

2 3 4 Rosmawati 5 ; Rasyidah Zainuddin ; Harifuddin Halim ; Rivai Mana

1 STIE YAPTI Jeneponto; 2 Universitas Tadulako Palu; 3 STIKES Megarezky Makassar;

4,5 UVRI Makassar

e-mail: 1 Maksudhakim811@yahoo.com; 2 rosma_tadulako@yahoo.co.id; 3 georgiana.aan07@gmail.com;

4 athena_lord73@yahoo.com; rivaimana@gmail.com.

ABSTRAK

Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan salah satu entitas sosial atau komponen yang penting dalam roda pembangunan. Meskipun kesan ‘disepelekan’ banyak melekat pada entitas Pedagang Kaki Lima (PKL) tetapi justru ia ‘tidak bisa disepelekan’ oleh siapapun terutama para pemutus kebijakan sosial.

Tulisan ini mengungkapkan betapa pentingnya eksistensi Pedagang Kaki Lima (PKL) dalam menggerakan roda perekonomian masyarakat secara khusus. Pada aspek lain, eksistensi Pedagang Kaki Lima (PKL) menjadi salah satu ‘struktur’ utama berlangsungnya sebuah sistem pembangunan terutama ‘kepariwisataan’. Pada bidang ini, Pedagang Kaki Lima (PKL) menjadi bagian utama yang eksistensinya harus ‘ada’. Sebuah tempat wisata yang ‘menarik’ hati pengunjung bila kebutuhan dasar mereka tersedia di tempat tersebut. Pada konteks inilah eksistensi Pedagang Kaki Lima (PKL) menjadi sangat dibutuhkan.

Dalam tulisan ini, Pedagang Kaki Lima (PKL) yang dimaksud adalah mereka yang berjualan di sepanjang jalan pinggiran pantai Losari di kota Makassar. Beragam usaha yang mereka lakukan seperti: asongan, jualan minuman, jualan bakso mie, jualan pisang bakar, jualan mainan, jualan seafood.

Di balik semua itu, berbagai masalah juga melingkupi Pedagang Kaki Lima (PKL) yang hendak berjualan di lokasi wisata pantai Losari tersebut. Seorang PKL harus memiliki ‘izin’ resmi dari pemerintah kota. Dalam konteks ini seorang PKL harus berhadapan dengan sistem ‘birokrasi’ formal yang menyita waktu. Selain itu, aspek informal juga turut mengkondisikan PKL, misalnya adanya ‘preman’ bayangan yang mengklaim dirinya sebagai ‘petugas keamanan’ tidak resmi. Mereka ini biasanya memberi jaminan keamanan kepada para PKL. Mereka ini juga sering berprofesi sebagai tukang parkir. Konsekuensinya adalah para PKL harus menyetor ‘uang keamanan’ sebagai bentuk ‘resiprositas’ interaksi atas kebutuhan timbal-balik mereka yang saling menguntungkan.

Berdasarkan uraian di atas, terlihat betapa kompleksnya aspek pariwisata seperti di pantai Losari. Lokasi tersebut bisa menjadi ‘ruang spasial’ yang bernilai ‘komersial’ tinggi. Di dalam ruang pariwisata tersebut semua aspek ‘berkepentingan’ secara langsung dan tidak langsung dan sifatnya saling bersinergi (interrelasi). Katakunci: Pedagang Kaki Lima – Pariwisata – Pantai Losari – Interrelasi.

A. Pendahuluan

Keberhasilan usaha para PKL ditentukan oleh tindakan-tindakan ekonomi yang merupakan tindakan sosial. Dengan kata lain, perilaku para aktor ekonomi dilantaskan pada norma/nilai yang diinternalisasinya melalui sosialisasi. Pada kondisi ini, aktor cenderung kompromis dan taat terhadap aturan-aturan sosial yang berlaku. Walaupun perlu dipertanyakan apakah aktor hanya bersifat pasif, namun pemikiran ini setidaknya menunjukkan bahwa tindakan aktor belum tentu diorientasikan pada tujuan-tujuan ekonomi/nasional. Tujuan ekonomi ini bisa diperkirakan terkait dengan hubungan sosial yang terjalin antar si pedagang kaki lima dengan aktor-aktor lainnya (misalnya pemasok dan pelanggang lainnya). Dalam konteks pertukaran ini, harapan antara pihak-pihak yang saling berinteraksi menjadi menarik untuk diungkap, termasuk bentuk hubungan sosial dan sumbernya.

Menurut Weber, tindakan ekonomi dapat dipandang sebagai tindakan sosial selama tindakan tersebut memperhatikan tingkah laku orang lain. Hal ini memberi perhatian dan dilakukan secara sosial dalam berbagai cara. Dalam istilah Granovevetter, pada dasarnya tindakan aktor melekat ke dalam hubungan sosial yang berjalan, oleh sebab itu aktor perlu mendefinisikan situasi sosialnya lebih dahulu sebelum menanggapi orang lain. Pendapat ini mendukung gagasan Weber, bahwa tindakan ekomoni tidak hanya dipandang sebagai tindakan stimulus-responn yang sederhana, akan tetapi juga merupakan proses yang dilakukan individu dalam proses hubungan sosial yang sedang berlangsung. Artinya tindakan ekonomi disituasikan secara sosial, melekat dengan jaringan-jaringan yang ada. Akibatnya tindakan ekonomi terkait dengan jaringan sosial. Melalui pendekatan jaringan sosial akan tergali pola-pola dan sumber- sumber hubungan sosial di berbagai dimensi dalam mekanisme proses aktivitasnya (Damsar, 1997:30).

Perkembangan dan aktivitas PKL di Makassar terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan, akibatnya pemerintah harus mengambil suatu kebijakan. Tindakan pengambilan kebijakan ini karena terkait dengan banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh pedagang kaki lima. Kegiatan pedagang kaki lima sering sering dianggap sangat mengganggu ketertiban lain, seperti lalu lintas, keindahan kota, serta mengakibatkan maraknya kekerasan dan keributan.

Berdasarkan uraian tersebut, mereka yang tergolong dalam kategori PKL sangat banyak. Mereka tumbuh tanpa terencana dan memiliki keragaman dalam bentuk maupun jasa Berdasarkan uraian tersebut, mereka yang tergolong dalam kategori PKL sangat banyak. Mereka tumbuh tanpa terencana dan memiliki keragaman dalam bentuk maupun jasa

B. Asal-Usul Pedagang Kaki Lima (PKL)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996:395), istilah kaki lima adalah lantai yang diberi atap sebagai penghubung rumah dengan rumah, arti yang kedua adalah lantai (tangga) di muka pintu atau di tepi jalan. Arti yang kedua ini lebih cenderung diperuntukkan bagi bagian depan bangunan rumah toko, dimana di jaman silam telah terjadi kesepakatan antar perencana kota bahwa bagian depan (serambi) dari toko lebarnya harus sekitar lima kaki dan diwajibkan dijadikan suatu jalur dimana pejalan kaki dapat melintas. Namun ruang selebar kira-kira lima kaki itu tidak lagi berfungsi sebagai jalur lintas bagi pejalan kaki, melainkan telah berubah fungsi menjadi area tempat jualan barang-barang pedagang kecil, maka dari situlah istilah pedagang kaki lima dimasyarakatkan.

Perkembangan selanjutnya, pedagang kaki lima (PKL), ialah pedagang yang menjual barang dagangannya di pinggir jalan atau di dalam usahanya menggunakan sarana dan perlengkapan yang mudah dibongkar pasang atau dipindahkan serta memempergunakan bagian jalan (trotoar), tempat-tempat yang tidak diperuntukkan bagi tempat untuk berusaha atau tempat lain yang bukan miliknya. Dengan demikian, secara etimologi PKL adalah orang yang berdagang atau penyalur barang dan jasa. Pedagang adalah orang yang melakukan kegiatan perdagangan sehari-hari sebagai mata pencaharian. Damsar (1997:106) mendefinisikan pedagang sebagai berikut: “Pedagang adalah orang atau instansi yang memperjual belikan produk atau barang kepada konsumen baik secara langsung maupun tidak langsung”.

Manning dan Effendi (1991), menjelaskan makna PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan demikian karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga "kaki" gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Saat ini istilah PKL juga digunakan untuk pedagang di jalanan pada umumnya. Pedagang kaki lima seringkali didefinisikan sebagai suatu usaha yang memerlukan modal relatif sedikit, berusaha dalam bidang Manning dan Effendi (1991), menjelaskan makna PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan demikian karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga "kaki" gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Saat ini istilah PKL juga digunakan untuk pedagang di jalanan pada umumnya. Pedagang kaki lima seringkali didefinisikan sebagai suatu usaha yang memerlukan modal relatif sedikit, berusaha dalam bidang

Pedagang kaki lima menurut An-nat (1993) bahwa istilah pedagang kaki lima merupakan peninggalan dari zaman penjajahan Inggris. Istilah ini diambil dari ukuran lebar trotoar yang waktu dihitung dengan feet (kaki) yaitu kurang lebih 31 cm lebih sedikit, sedang lebar trotoar pada waktu itu adalah lima kaki atau sekitar 1,5 meter lebih sedikit. Jadi orang berjualan di atas trotoar kemudian disebut pedagang kaki lima (PKL). Sedangkan Karafir (1977:4) mengemukakan bahwa PKL adalah mereka yang berusaha di tempat-tempat umum tanpa adanya izin dari pemerintah. Bromley (Manning, 1991:228) menyatakan bahwa: “Pedagang kaki lima adalah suatu pekerjaan yang paling nyata dan penting dikebanyakan kota di Afrika, Asia, Timur Tengah, atau Amerika Latin.

Berdasarkan penjelasan dan beberapa pengertian tentang pedagang kaki lima, maka dapat dipahami bahwa pedagang kaki lima adalah salah satu jenis pekerjaan di sektor informal yang mempunyai tempat kerja yang tidak menetap. Dengan kata lain, mereka berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain sepangjang hari. PKL banyak dijumpai di semua sektor kota, terutama di tempat-tempat pemberhentian sepanjang jalur bus, sekitar stadion dan pusat-pusat hiburan lainnya yang dapat menarik sejumlah besar penduduk untuk membeli.

Istilah PKL seperti dijelaskan Kuncoro (2008) merupakan peninggalan zaman penjajahan Inggris. Istilah ini diambil dari ukuran trotoar yang pada saat itu dihitung dari sebutan feet (kaki), kira-kira sama dengan 31 cm lebih sedikit. Dan lebar trotoar yang biasanya digunakan oleh para pedagang waktu kira-kira 5 kaki (1.5 meter) sehingga para pedagang yang berdagang di pinggir jalan disebut dengan pedagang kaki lima. Akhirnya istilah ini kemudian menjdi sebutan bagi setiap pedagang yang menjajakan barang-barang dagangannya di pinggir jalan.

Kuncoro (2008) mengkategorikan Pedagang Kaki Lima sebagai berikut: (1) Kelompok PKL adalah pedagang yang kadang-kadang berarti produsen sekaligus penjual (misalnya pedagang makanan dan minuman yang dimasak sendiri). (2) Peralatan PKL memberikan konotasi bahwa, sebagian besar mereka menjajakan barang-barang dagangannya pada tikar dan lokasinya di pinggir jalan atau dibagian depan toko yang dianggap strategis. (3) PKL mayoritas bermodalkan kecil, bahkan tidak jarang mereka hanya merupakan alat bagi pemilik modal dengan mendapatkan sekedar komisi sebagai imbalan jerih payahnya. (4) Umumnya kelompok Pedagang Kaki Lima ini merupakan kelompok marjinal, bahkan ada pula yang tergolong pada kelompok sub marjinal. (5) Umumnya kualitas barang yang diperdagangkan merupakan barang- barang cacat dengan harga yang jauh lebih murah. (6) Omsetnya tidak besar. (7) Para pembelinya berdaya beli rendah (lower income pockets). (8) Kurang atau jarang PKL berhasil secara ekonomi sehingga dapat memasuki dunia usaha dalam perdagangan yang sukses. (9) Pada umumnya usaha ini merupakan family enterprise, atau malah one man enterprise. (10) Barang- barang yang ditawarkan biasanya tidak standar, dari shifting jenis barang yang diperdagangkan seringkali terjadi. (11) Tawar menawar antarpenjual dan pembeli merupakan ciri khas usaha para PKL. (12) Terdapat jiwa kewirausahaan yang kuat.

C. Interrelasi PKL dengan Aktor-Aktor Pariwisata

1. Interrelasi Asosiatif

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa, ada dua jenis interrelasi sosial yang dikembangkan dalam membahas aktivitas PKL di Pantai Losari, yaitu “asosiatif” dan “disosiatif”. Interrelasi sosial dalam tulisan ini adalah interrelasi sosial antara PKL dan pihak- pihak terkait, dalam hal ini komunikasi atau hubungan antara PKL dengan pengelola pantai Losari (Petugas Dinas Kebersihan dan Tata Kota, Satpol PP, dan pihak swasta yang peduli atas nasib PKL di kawasan pantai Losari.

Interaksi sosial dilihat dari aktivitas usaha, ruang aktivitas serta kebijakan pemerintah perlu memahami situasi sosial yang terjadi di kawasan tersebut karena PKL sebagai warga yang kurang mampu harus diberi ruang untuk mencari nafkah bagi kelangsungan hidup keluarganya. Oleh karena itu, bagian ini akan dibahas interaksi sosial asosiatif, interaksi sosial disosiatif, dan bentuk interaksi sosial yang dikembangkan PKL bersama pihak terkait di pantai Lokasi kota

Makassar. Di samping itu, interaksi mutualisme antara sektor informal khususnya PKL dan pihak terkait termasuk sektor formal telah menunjukkan adanya bentuk interaksi mutualisme. Interaksi mutualisme selain dampak negatif, sektor informal terutama PKL memiliki banyak manfaat bagi kehidupan perkotaan, yaitu adanya ketergantungan pegawai sektor formal dengan dagangan dan jasa dari sektor informal. Hal ini seperti terlihat aktivitas PKL di kawasan pantai Losari dan sekitarnya.

Dalam interaksi antara PKL dengan pihak terkait bentuk mutualismenya antara lain dapat dilihat dalam cara mendapatkan dagangan PKL, yaitu apakah berasal dari pertokoan sekitar kawasan serta pertukaran pemenuhan kebutuhan keduanya. Lokasi aktivitas yang sama juga dapat menarik lebih banyak pembeli dan pengunjung pantai Losari, sehingga peluang untuk pemasaran lebih terbuka. Di samping itu, interaksi sosial parasialisme adalah bentuk interaksi yang hanya menguntungkan salah satu pihak saja. Penelitian ini menggambarkan hubungan sektor informal (PKL) dengan pihak terkait (pengelola pantai Losari, pengunjung atau pembeli, dan masyarakat di kawasan pantai Losari sebagai bentuk hubungan yang subordinatif. Hubungan seperti ini didasarkan pada prinsip pertukaran yang tidak adil, sehingga mendorong pihak lain untuk cenderung melakukan eksploitasi terhadap lainnya (PKL penjual pisang epe, penjual buah, dll).

Interrelasi sosial antara PKL dengan pihak-pihak terkait dalam melakukan komunikasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka akan tercipta suatu kondisi yang harmonis antara PKL dengan pihak-pihak terkait. Ada hal yang menarik berkaitan dengan aktivitas PKL di pantai Losari mengingat area ini sekarang telah menjadi ruang publik yang ramai dikunjungi, sehingga pihak pengelola harus mampu menjaga ketertiban, keamanan, dan kebersihan di kawasan pantai Losari.

Menurut Soekanto (2001) dasar dari terjadinya interaksi sosial adalah kontak dan komunikasi sosial yang didefinisikan sebagai pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama serta menyatakan bahwa interaksi sosial adalah dasar dari proses-proses sosial. Pandangan tersebut di atas, sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa interaksi sosial antara PKL dengan pihak-pihak terkait di pantai Losari yang menunjuk pada hubungan-hubungan sosial yang dinamis. Secara garis besar bentuk-bentuk interaksi sosial para PKL, pembeli atau pengunjung, dan pengelola adalah:

Inetraksi sosial asosiatif, dimana dalam penelitian ini interaksi sosial antar-PKL dengan pihak pembeli (pengunjung pantai Losari), dan pengelola, meliputi:

1) Kerjasama, yaitu di pantai Losari adanya interaksi antara PKL dengan pembeli yang merupakan aksi yang di lakukan PKL dengan memasarkan dagangan atau jualannya kepada pengunjung. Misalnya, pembeli atau pengunjung yang melewati pantai Losari, para PKL menawarkan “Mari bu, singgah, lihat-lihat, boleh bu, dll. Kemudian reaksinya adalah pembeli atau pengunjung mendekati dan menghampiri si penjual (PKL) karena yang ingin di cari kebetulan ada.

2) Akomodasi, yakni di dalam kehidupan perbedaan agama pasti terjadi aksi nya ketika bulan ramadhan tiba seluruh umat islam menjalankan ibadah puasa dan reaksi nya terdapat toleransi dari agama lain dengan menghindari makan di tempat terbuka. Demikian halnya, bentuk interaksi sosial para PKL di pantai Losari, tidak melakukan aktivitas di siang hari karena pada umumnya PKL di kawasan pantai Losari adalah beragama Islam, seperti yang dijelaskan oleh salah satu informan PKL (Haliman, 45 tahun).

3) Asimilasi, yaitu dalam melakukan aktivitas di pantai Losari antara PKL yang satu dengan PKL yang lain (misalnya PKL penjual pisang epe dengan PKL penjual buah, jus, makanan, dan lain-lain tidak saling mengenal dan memiliki karakter yang berbeda; kemudian sering bertemu dan melakukan aktivitas dagangan di kawasan pantai Losari, sehingga terjadi aksi dimana antara PKL saling mengenal satu sama lain dan mengetahui karakter masing-masing, serta timbul reaksinya mengalami perubahan karena perbedaan karakter dalam hal perlakukan dan sikap terhadap pengelola pantai Losari, sehingga PKL dilarang melakukan aktivitas di kawasan pantai Losari.

Interrelasi sosial PKL di pantai Losari sebagai ruang publik yang menjadi kebanggaan masyarakat kota Makassar harus dipelihara dan dibina bersama (termasuk para PKL), sehingga bentuk interrelasi asosiatif, adalah:

a) Kerjasama, berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa kerjasama dapat timbul karena adanya orientasi perorangan terhadap kelompoknya sendiri. Dalam hal ini, individu-individu sesama PKL melakukan komunikasi dan hubungan kerjasama baik perorangan maupun kelompok adalah bentuk interaksi sosial yang utama. Tanpa adanya kerjasama, maka sangat susah untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Kerjasama adalah proses saling mendekati dan a) Kerjasama, berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa kerjasama dapat timbul karena adanya orientasi perorangan terhadap kelompoknya sendiri. Dalam hal ini, individu-individu sesama PKL melakukan komunikasi dan hubungan kerjasama baik perorangan maupun kelompok adalah bentuk interaksi sosial yang utama. Tanpa adanya kerjasama, maka sangat susah untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Kerjasama adalah proses saling mendekati dan

b) Akomodasi, adalah usaha-usaha yang dilakukan PKL dan pihak-pihak lain yang saling terkait untuk meredakan atau menyelesaikan suatu perbedaan (pertentangan). Akomodasi dapat terlaksana dengan tujuan tercapainya kestabilan dan keharmonisan dalam kehidupan. Demikian akomodasi PKL sebenarnya merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan (PKL) oleh pengelola pantai Losari, terutama Satpol PP yang sering melakukan penertiban aktivitas PKL di kawasan pantai Losari dengan melakukan tindak kekerasan terhadap PKL. Artinya, akomodasi merupakan bentuk penyelesaian tanpa mengorbankan salah satu pihak. Adakalanya, pertentangan yang terjadi sulit diatasi sehingga membutuhkan pihak ketiga sebagai perantara. Misalnya, DPRD sebagai wakil rakyat atau lembaga-lembaga masyarakat (swasta) yang memiliki kepedulian terhadap nasib masyarakat termasuk PKL.

c) Asimilasi, adalah suatu bentuk proses sosial yang ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan antara orang-orang atau kelompok manusia. Seperti halnya PKL, mereka tidak lagi merasa sebagai individu atau kelompok PKL yang berbeda sebab mereka lebih mengutamakan kepentingan dan tujuan yang ingin dicapai bersama, yaitu mencari nafkah dan reski yang halal. Apabila antara PKL dan masyarakat (pembeli atau pengunjung), serta pemerintah (pengelola pantai Losari dan Satpol PP) telah melakukan asimilasi, batas antara ruang publik yang dapat dimanfaatkan PKL untuk berdagang menyadari akan hak dan kewajiban untuk menjaga keamanan dan kebersihan, sehingga akan tercipta suasana keharmonisan di kawasan pantai Losari.

Proses asimilasi timbul bila terdapat hal-hal berikut: (1) Kelompok-kelompok manusia (PKL) yang berbeda kebudayaan; (2) Individu sebagai PKL atau kelompok itu saling bergaul secara langsung dan intensif untuk jangka waktu lama; (3) Kebudayaan dan karakteristik dari Proses asimilasi timbul bila terdapat hal-hal berikut: (1) Kelompok-kelompok manusia (PKL) yang berbeda kebudayaan; (2) Individu sebagai PKL atau kelompok itu saling bergaul secara langsung dan intensif untuk jangka waktu lama; (3) Kebudayaan dan karakteristik dari

Dalam hal interrelasi sosial atau interaksi aktivitas antar-PKL pada ruang publik, proses dan bentuk-bentuk interaksi di atas mungkin sekali terjadi. Dalam hal ini kemungkinan bentuk interaksi yang terjadi yaitu kerjasama (mutualisme), persaingan (kompetisi), pertentangan (konflik), dan persesuaian (akomodasi) atau parasialisme yaitu interaksi sosial yang hanya menguntungkan salah satu pihak saja. Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa dalam melihat bentuk interaksi antar-PKL dan pihak-pihak terkait, selain dilihat dari aktivitas PKL di ruang publik dan kebijakan pemerintah tentang penggunaan kawasan pantai Losari.

Bentuk interaksi sosial para PKL yang bersifat asosiatif, yaitu kerjasama yang saling menguntungkan. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya bentuk interaksi sosial asosiatif antara PKL dengan pihak pengelola pantai Losari, seperti kerjasama. Hal ini sejalan dengan pandangan Paulus Wirutomo (dalam Rachbini dan Hamid, 1994), mengatakan adanya ketergantungan pegawai sektor formal kepada dagangan dan jasa dari sektor informal (PKL) di kawasan pantai Losari dan sekitarnya, dimana sejumlah pegawai atau karyawan bergaji rendah membeli makanan dan minuman dijual oleh PKL.

Para PKL khususnya penjual makanan dan minuman di kawasan pantai Losari (di luar area anjungan) Bahari, dimana para pembeli (pelanggan) yang memiliki latar belakang bervariasi dan pada umumnya adalah pegawai dan karyawan berpenghasilan rendah dengan berbagai tujuan, ada yang sekedar membeli makanan atau minuman dan langsung kembali ke ternpat kerja (RS Stella Maris, kantor pemerintah, dan kantor swasta) di sekitar kawasan pantai Losari dan ada yang tinggal ngobrol bersama pelanggan sambil menikmati makanan dan minuman.

Selanjutnya bentuk kerjasama, komunikasi, dan interaksi sosial antar PKL dengan pemasok barang dagangan seperti: pisang, makanan, minuman, kemasan bermerk, dan rokok, sejauh ini sesuai dengan fakta, data dan informasi yang diperoleh sangat lancar dimana pemasok Selanjutnya bentuk kerjasama, komunikasi, dan interaksi sosial antar PKL dengan pemasok barang dagangan seperti: pisang, makanan, minuman, kemasan bermerk, dan rokok, sejauh ini sesuai dengan fakta, data dan informasi yang diperoleh sangat lancar dimana pemasok

Kardus yang dipakai menjual di sini, pada umumnya bantuan gratis dari sponsor produk rokok (sebagai kelompok binaan usaha kecil menengah), disini saya juga diberi modal produk rokoknya untuk menjualkan yang setiap tiga hari dikontrol basil penjualannya. Dengan syarat saya menjual produk rokoknya harus tampak dominan dilihat oleh konsumen, meskipun menjual produk rokok lain. Sedangkan untuk jenis minuman kemasan maupun vocer sehrier, juga demikian sama dengan sponsor produk rokok, seperti menitip untuk menjualkan.

Tindakan pilihan rasional dan voluntaristik, yang dilakukan sejumlah pelaku PKL sebelum menjadi urban di Makassar, merupakan suatu fakta sosial, bahwa kehidupan mereka di daerah asal (di desa) terkait dengan persoalan struktural, yaitu salah satunya kekurangan pemenuhan kebutuhan hidup rumah tangga atau keluarganya, yang identik dengan "kemiskinan alamiah". Kemiskinan alamiah di pedesaan adalah salah satu sebab, karena rninirnnya sumber daya masyarakat terhadap keterbatasan memperoleh pekerjaan dan penghasilan, serta kepemilikan lahan atau tanah pertanian di daerah asal. Hal tersebut, menjadikan semakin berat beban domestik yang haras dipikul masih jauh dari harapan untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga atau keluarganya yang identik dengan kebutuhan ekonomi.

Berdasarkan hal tersebut di atas, pada prinsipnya mereka bersikap meng-ambil posisi yang menguntungkan dirinya, maka timbul tindakan pilihan rasional dan voluntaristik (sukarela). Tindakan tersebut memutuskan migrasi ke kota sebagai urban PKL. Persepsi mereka bahwa berimigrasi ke kota sebagai urban PKL melalui aksessibilitas jaringan sosial migran terdahulu yang sukses bekerja sebagai pelaku urban PKL, dan terdorong oleh keinginan untuk memperbaiki kondisi kehidupan sosial ekonomi rumah tangga atau keluarga. Dengan harapan mudah mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga atau keluarga. Dimana akan merobah status sosial ekonomi rumah tangga dan keluarga jika memutuskan migrasi ke kota sebagai urban PKL di Makassar dibandingkan jika mereka masih tetap di daerah asal.

2. Interrelasi Disosiatif

Terdapat tiga bentuk interrelasi disosiatif, terkait dengan aktivitas PKL di pantai Losari, yaitu persaingan, kontravensi, dan pertentangan. Bentuk persaingan antar-individu atau kelompok yang terjadi dari interaksi sosial sesama PKL, misalnya persaingan antara PKL dengan pemasok barang dan atau pemilik toko di kawasan pantai Losari.

Bentuk persaingan antara pihak terkait dengan PKL khususnya di pantai Losari semakin memperkuat hasil penelitian De Soto (1989) yang menjelaskan adanya persaingan antara pedagang formal dan pedagang jalanan di Kota Lima, Peru, yaitu ketika pedagang jalanan menyamai jenis dagangannya dengan pedagang formal, sehingga para pedagang formal minta perlindungan kepada pernerintah untuk mengatur pedagang jalanan. Dari analisis persaingan di atas, nampak jelas adanya persaingan antara pertokoan dan PKL terutama dalam jenis dagangan.

Keberadaan para PKL harus diakui sebagai tindakan kelompok, karena saling berhubungan satu sama lain. Dalam hal ini, tindakan kelompok tersebut adalah perilaku PKL yang bersifat kelompok dan berlandaskan atas kepentingan kelompoknya. Tindakan Integratif, adalah tindakan individu yang diintegrasikan dengan tindakan kelompok. Dari berbagai jenis tipe tindakan sosial jika sudah saling berhubungan akan menjadi interaksi sosial. Oleh karena itu, interaksi sosial adalah hubungan timbal balik antara individu dengan individu sebagaimana halnya perlaku atau tindakan PKL di kawasan pantai losari.

Syarat-syarat interaksi sosial terhadap kontak sosial, yang dilakukan PKL di pantai losari yaitu berhubungan antar individu PKL dengan pemasok barang, masyarakat sekitar pantai losari, dan pembeli atau pengunjung. Dalam hal ini, individu PKL berkomunikasi, menyampaikan pesan dari satu pihak ke pihak yang lain sehingga terjadi saling pengertian. Selain itu, faktor- faktor yang berpengaruh terhadap interaksi sosial PKL sesuai dengan fakta yang diperoleh adalah tindakan meniru sikap perilaku orang lain yang positif maupun negatif terkait dengan pekerjaan mereka untuk memperoleh hasil yang diharapkan.

Hasil penelusuran lapangan tentang interaksi sosial antar PKL di kawasan pantai losari dan hasil analisis data menunjukkan bahwa, selain dalam interaksi tersebut menimbulkan kerjasama, persaingan, dan konflik. Bentuk konflik atau pertentangan yang pernah terjadi dalam interaksi sosial antara beberapa jenis PKL di kawasan pantai losari, yaitu PKL penjual pisang Hasil penelusuran lapangan tentang interaksi sosial antar PKL di kawasan pantai losari dan hasil analisis data menunjukkan bahwa, selain dalam interaksi tersebut menimbulkan kerjasama, persaingan, dan konflik. Bentuk konflik atau pertentangan yang pernah terjadi dalam interaksi sosial antara beberapa jenis PKL di kawasan pantai losari, yaitu PKL penjual pisang

Konflik yang sering terjadi terkait dengan interaksi sosial antar PKL dan pihak lain adalah sebatas kesalahpahaman atau ketidakpuasan yang ditimbulkan oleh pengunjung atau pembeli maupun sesama PKL, sehingga tidak menimbulkan dampak atau efek luas terhadap sektor lain maupun suasana tidak aman di kawasan pantai losari karena ketika terjadi konflik atau kesalahpahaman tersebut, langsung diselesaikan. Dengan demikian, konflik yang penulis maksud dalam penelitian ini bukan suatu proses sosial ketika individu-individu atau kelompok individu berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan dengan ancaman atau kekerasan.

Konflik yang sering terjadi antar PKL dengan pihak-pihak terkait hanya sebatas konflik non fisik sebagai akibat dari kesalahpahaman atau perbedaan pendapat yang dapat diselesaikan dengan saling pengertian dan menghormati satu sama lain. Selanjutnya interaksi antara PKL dengan lembaga pemerintah biasanya terjadi saat akan dilakukan operasi penertiban PKL yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan seperti: Kecamatan, kelurahan dan Satpol PP. Hal ini biasanya terjadi konflik yang dialami oleh PKL yang keberadaan mereka berdagang menyalahi aturan Pemerintah kota Makassar dengan payung hukum seperti: Perda No 10 tahun 1990, tentang Pembinaan PKL; SK Walikota Makassar No. 44 tahun 2002, tentang Penunjukan beberapa tempat pelataran yang dapat dan yang tidak dapat dipergunakan oleh PKL dalam wilayah kota; SK Walikota Makassar No. 651/Kep/180/2007 Kawasan Segi Empat Jalan sebagai Percontohan Kebersihan dan Penegakan Daerah.

Keberadaan PKL sering mengundang konflik pemanfaatan tata mang, karena menyebabkan kemacetan lalu-lintas, kesemerawutan kota, dan kekumuhan lingkungan. Akhirnya operasi penertiban atau penggusuran oleh aparat Pemda dalam hal ini Satpol PP biasa terjadi pada aktivitas PKL yang menempati ruas ruang jalan untuk berdagang yang tidak sesuai dengan penunjukan beberapa tempat pelataran yang dapat dan yang tidak dapat dipergunakan oleh PKL dalam wilayah kota.

Interaksi sosial antara PKL dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Lembaga Ketahanan Masyarakat (LKM), ini terjadi apabila terjadi konflik antara PKL dengan instansi pemerintah akibat adanya operasi penertiban atau penggusuran, akibat Perda yang dilanggar oleh

PKL. Peran pihak LSM atau LKM sebagai tempat mengadu untuk menjembatani mencarikan solusi kepada pemerintah kota atau wakil rakyat yang berada di DPRD kota Makassar.

Konflik atau benturan yang melibatkan antara PKL dengan petugas Satpol PP khususnya di kawasan pantai losari berbeda dengan penertiban PKL di kasawan lain dalam wilayah kota Makassar, misalnya; di kawasan Pintu I Universitas Hasanuddin beberapa waktu, begitu juga di tempat lain seperti di pasar-pasar tradisional yang sering menimbulkan bentrokan atau konflik kekerasan yang melibatkan PKL yang dianggap liar dengan petugas yang hendak menertibkan kawasan tersebut sesuai dengan kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Perda yang berlaku.

Kebijakan kota yang diberlakukan tersebut, mengancam keberadaan PKL pisang epe yang berdagang di sekitar pantai losari dan PKL yang beraktivitas di sekitar Mesjid Al-Markas, direspon dengan tindakan kolektif dalam bentuk protes atau aksi demontrasi dengan melibatkan LSM atau LKM untuk menjembatani kepada pemerintah, dengan berdemo ke Balaikota dan Gedung DPR kota Makassar untuk mencari solusi terbaik dengan keberadaannya.

Dengan demikian, pola interaksi sosial tidak sesama pedagang, yang terjadi dalam bentuk kerjasama (mutualisme) yaitu pada sektor formal dengan sektor informal (PKL) di lokasi perkantoran dan perdagangan, selanjutnya di lokasi pertokoan adanya persaingan antara pertokoan dan PKL terutama dalam jenis dagangan. Meskipun ada persaingan yang terjadi, justru keberadaan PKL di depan pertokoaan sangat membantu dalam rasa aman dan mempererat tali kekerabatan antar mereka atau senasib sama-sama mencari nafkah untuk hidup. Selanjutnya bentuk konflik yang terjadi dalam bentuk non fisik seperti: perang mulut atau omelan. Sedangkan konflik yang terjadi antar pemerintah dengan adanya operasi penertiban atau penggusuran.

Interaksi sosial (pertentangan atau konflik) antara pihak terkait dengan PKL seringkali merupakan kelanjutan dari persaingan yang tidak sehat, dalam hal ini aktivitas salah pihak mengganggu dan merugikan pihak lain sehingga terjadi perlawanan atau ancaman. Lokasi aktivitas dalam satu kawasan perdagangan berpotensi untuk menjadi penyebab konflik antara pihak terkait dengan PKL. Di samping itu, bentuk interaksi akomodatif, merupakan bentuk interaksi yang saling meredakan ketegangan yang terjadi untuk menghindari konflik.

Kebijakan pemerintah yang tidak jelas dan lemahnya penegakan hukum mengakibatkan pedagang formal cenderung “pasrah” dalam menghadapi situasi kawasan, yang dipenuhi dengan Kebijakan pemerintah yang tidak jelas dan lemahnya penegakan hukum mengakibatkan pedagang formal cenderung “pasrah” dalam menghadapi situasi kawasan, yang dipenuhi dengan

D. Pembahasan

Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan antara individu, antara kelompok maupun antara individu dengan kelompok. Interaksi terjadi terjadi apabila seorang individu melakukan tindakan, sehingga menimbulkan reaksi dari individu- individu yang lain. Dalam hal ini PKL melakukan tindakan dengan menawarkan barang dagangan (jualan) baik berupa makanan maupun minuman kepada pengunjung atau masyarakat sekitar. Hal ini karena itu interaksi terjadi dalam suatu kehidupan sosial. Interaksi pada dasarnya merupakan siklus perkembangan dari struktur sosial yang merupakan aspek dinamis dalam kehidupan sosial. Perkembangan inilah yang merupakan dinamika yang tumbuh dari pola-pola perilaku individu yang berbeda menurut situasi dan kepentingan PKL yang diwujudkan dalam proses hubungan sosial.

Hubungan-hubungan sosial yang dimaksud pada awalnya merupakan proses penyesuaian nilai-nilai sosial dalam kehidupan sosial, termasuk PKL. Kemudian meningkat menjadi semacam pergaulan yang ditandai adanya saling mengerti tentang maksud dan tujuan masing-masing pihak yang terkait, dalam ini antara PKL, masyarakat (pengunjung), pemerintah (pengelola pantai losari), dan pembeli. Oleh karena itu, sudah menjadi hukum alam dalam kehidupan individu bahwa keberadaan dirinya adalah sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Dalam hal ini, kebutuhan dasar individu adalah untuk melangsungkan kehidupannya membutuhkan makan, minum untuk menjaga kesetabilan suhu tubuhnya dan keseimbangan organ tubuh yang lain (kebutuhan biologi).

Individu membutuhkan pula perasaan tenang dari ketakutan, keterpencilan, kegelisahan, dan berbagai kebutuhan kejiwaan lainnya. Kebutuhan individu yang mendasar juga diperlukan yaitu kebutuhan untuk berhubungan dengan individu lainnya, kebutuhan meneruskan keturunan, kebutuhan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh, kebutuhan untuk belajar kebudayaan dari lingkungan agar dapat diterima atau diakui keberadaannya oleh warga masyarakat lain setempat. Dalam kehidupan masyarakat, setiap individu terikat dalam struktur- struktur sosial yang ada dalam masyarakatnya.

Masing-masing struktur sosial dapat mengatur kedudukan masing-masing anggota individu dalam kaitannya dengan kedudukan-kedudukan dari individu yang lain yang secara keseluruhannya memperhatikan corak-corak tertentu yang berada dari struktur sosial yang lain. Adanya kedudukan-kedudukan yang diatur oleh struktur sosial tersebut menuntut dan menghasilkan adanya peranan-peranan sesuai dengan kedudukan yang dimiliki individu. Sebagai makhluk sosial individu manusia dilahirkan sendiri dan memiliki ciri-ciri yang berbeda antara satu dengan lainnya. Perbedaan ini adalah keunikan dari manusia tersbut. Sebagai makhluk sosial manusia membutuhkan individu lain untuk memenuhi segala kebutuhannya, dari sinilah terbentuk kelompok yaitu khidupan bersama individu dalam suatu ikatan, dimana dalam suatu ikatan tersebut terdapat interaksi sosial dan ikatan organisasi antar masing-masing anggotanya. Dalam proses sosial, interaksi sosial merupakan sarana dalam melakukan hubungan dengan lingkungan sekitarnya.