MAKALAH DAN SEBUAH WACANA REFORMASI KEP

“MAKALAH DAN SEBUAH WACANA”
REFORMASI KEPOLISIAN SEBAGAI LEMBAGA DEMOKRATIS DAN
REFORMIS YANG MELAYANI MASYARAKAT

OLEH
INDRI ASTUTI
(indriast41@gmail.com, 2016)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Politeia berasal dari kata"polis", yang lebih kurang dapat diterjemahkan dengan
kata "kota", atau lebih tepatnya "negara-kota". Untuk mencerminkan makna ini, banyak
bahasa menerjemahkan Politeia sebagai Negara (bahasa Inggris: The State, termasuk
bahasa Belanda De staat , dan bahasa Jerman (Der Staat ). Konsep politeia dalam
bahasYunani kuno dianggap sebagai suatu cara hidup. Jadi, pada kenyataannya
terjemahan yang lebih tepat mestinya adalah 'bagaimana cara kita hidup sebagai
masyarakat. Menurut Aristoteles politeia merupakan bentuk pemerintahan yang paling
baik. Hal ini disebabkan karena dalam politeia setiap individu berkuasa atas sesamanya
dan begitu juga sebaliknya. Dengan kata lain kekuasaan pemerintahan tersebut berada

ditangan khalayak umum. Yang membedakan Politeia dengan demokrasi adalah
karenaPoliteia merupakan bentuk demokrasi yang lebih moderat yang dalam hal
kebebsannyadi ikat oleh konstitusi yang menjadi acuan dari pelaksanaan sistem Yunani.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Polisi adalah badan pemerintah yang
bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum atau anggota badan pemerintah
(pegawai negara yang bertugas menjaga keamanan dsb). Dalam Almanak Seperempat
Abad Polri tahun 1945 – 1970, yang dimaksud Polisi ialah segenap organ pemerintah
yang ditugaskan mengawasi, yang jika perlu menggunakan paksaan, supaya yang
diperintah menjalankan dan tidak melakukan larangan-larangan pemerintah. Negara
1

Indonesia menggunakan istilah “POLISI” yang berasal dari proses indonesianisasi dari
istilah Belanda “POLITIE”. Dalam rangka Catur Praja dari Van Vollenhoven, istilah
“polisi” terbagi dalam : Bestuur (eksekutif), Politie (polisi), Rechtspraak (yudikatif),
Regeling (legislatif). Istilah Polisi menurut Raymond B. Fosdick adalah sebagai kekuatan
utama untuk melindungi individu – individu dalam hak – hak hukum mereka.
Menurut

Steinmetz


bahwa

:

untuk

mengatur

keamanan

,pemerintah

mengeluarkan beberapa peraturan . Bagi mereka yang tidak menurutinya akan dihukum
dan diberi nasehat . Untuk melaksanakan peraturan tersebut , pemerintah mengangkat
beberapa pegawai untuk menjaga keamanan dan ketertiban umun , untuk melindungi
penduduk dan harta bendanya serta intuk menjalankan peraturan – peraturan yang
diadakan oleh pemerintah . Mereka yang diberi tugas tersebut disebut pegawai Polisi.
Dari arti istilah Polisi tersebut diatas, bila diinterpretasikan maka pengertian Polisi
sebagai organ dalam melaksanakan tugas organ Polisi serta dilaksanakan oleh pejabat
Polisi sebagai manusia dalam melaksanakan peraturan hukum baik sebagai hukum

formal maupun sebagai hukum materil untuk mewujudkan tujuan organ Polisi yang
melaksanakan fungsi pemerintahan.
Kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia akan mencakup tataran
represif, preventif dan preemtif. Tataran represif adalah dimana pada waktu
melaksanakan tugas dan kewenanganya

selalu mengutamakan azas legalitas , hal ini

dilakukan dalam rangka penegakan hukum, tataran preventif dan preemtif adalah dimana
dalam melaksanakan tugas dan kewenanganya selalu mengutamakan azas preventif, azas
partisipatif (memberikan kesempatan terhadap peran serta masyarakat dalam
pelaksanaan tugasnya) , dan azas subsidiaritas (azas yang mewajibkan Polri melakukan
tindakan yang perlu sebelum instansi tekhnis yang berwenang hadir di tempat kejadian
dan selanjutnya menyerahkan kepada istansi yang berwenang ).
Polisi sebagai sebuah lembaga yang dilingkupi oleh berbagai kebutuhan sosial
masyarakat, tentu diharapkan responsif bahkan proaktif, terhadap perkembangan yang
senantiasa terjadi pada setiap segi kehidupan sosial yang melingkupinya. Dengan kata
lain, polisi memiliki hubungan dengan masyarakatnya tidak hanya sebagai penegak
hukum (positif), namun dalam menjalankan tugas penegakan hukum maupun (terutama)
(preventif & Preemtif) ketertiban, polisi memiliki posisi sosiologis yang memberikan

kebebasan sekaligus membatasinya. (Zakarias Poerba-2003). Dalam konteks yang
sedemikian itu, maka polisi dapat dikatakan mempunyai posisi secara sosiologis di
2

dalam berinteraksi dengan masyarakat .

Hal yang memberi kebebasan dan sekaligus

keterikatan secara hukum dan sosiologis, dalam ia melakukan fungsinya. Dalam konteks
menatap posisi polisi dalam berbagai jenis interaksi sosial yang memberikan
keterbatasan dan kebebasan, penulis menyebutnya sebagai koordinat sosial/sosiologis
polisi.
Dengan demikian sangat-lah tidak mencukupi, bila tugas dan fungsi polisi
hanya dipahami secara ideal atau formal saja. Walaupun secara juridis formal ditentukan
bahwa tugas dan fungsi polisi ditetapkan sesuai dengan undang-undang yang dibuat
secara konstitusional. Namun apabila hal itu dikaitklan dengan dengan proses kehidupan
sosial, maka akan tampak bahwa fungsi dan peran yang dapat dan mungkin dijalankan
secara nyata di dalam masyarakat, akan sangat dipengaruhi oleh tingkat pemenuhan
kebutuhan organisasi, yang dikaitkan dan dihadapkan kepada harapan-harapan yang ada
dalam masyarakat.

Sejarah mencatat waktu Presiden Soekarno menyatakan akan membentuk ABRI
yang terdiri dari Angkatan Perang dan Angkatan Kepolisian, R.S. Soekanto
menyampaikan keberatannya dengan alasan untuk menjaga profesionalisme kepolisian.
Pada tanggal 15 Desember 1959 R.S. Soekanto mengundurkan diri setelah menjabat
Kapolri/Menteri Muda Kepolisian, sehingga berakhirlah karier Bapak Kepolisian RI
tersebut sejak 29 September 1945 hingga 15 Desember 1959. Dengan Tap MPRS No. II
dan III tahun 1960 dinyatakan bahwa ABRI terdiri atas Angkatan Perang dan Polisi
Negara. Berdasarkan Keppres No. 21/1960 sebutan Menteri Muda Kepolisian ditiadakan
dan selanjutnya disebut Menteri Kepolisian Negara bersama Angkatan Perang lainnya
dan dimasukkan dalam bidang keamanan nasional. Tanggal 19 Juni 1961, DPR-GR
mengesahkan UU Pokok kepolisian No. 13/1961. Dalam UU ini dinyatakan bahwa
kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI yang sama sederajat dengan TNI AD,
AL, dan AU. Dengan Keppres No. 94/1962, Menteri Kapolri, Menteri/KASAD,
Menteri/KASAL, Menteri/KSAU, Menteri/Jaksa Agung, Menteri Urusan Veteran
dikoordinasikan oleh Wakil Menteri Pertama bidang pertahanan keamanan. Dengan
Keppres No. 134/1962 menteri diganti menjadi Menteri/Kepala Staf Angkatan
Kepolisian

(Menkasak).


Kemudian

Sebutan

Menkasak

diganti

lagi

menjadi

Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak) dan langsung bertanggung jawab
kepada presiden sebagai kepala pemerintahan negara. Dengan Keppres No. 290/1964
kedudukan, tugas, dan tanggung jawab Polri ditentukan sebagai berikut:
3

1. Alat Negara Penegak Hukum.
2. Koordinator Polsus.
3. Ikut serta dalam pertahanan.

4. Pembinaan Kamtibmas.
5. Kekaryaan.
6. Sebagai alat revolusi.
Mengingat sejarah bahwa Kepolisian Indonesia pernah difungsikan sebagai alat
kekuatan negara dan bersifat militeristik, maka dalam pandangan masyarakat umum pun
polisi adalah bagian dari militer yang masih bersifat otoriter dan ditakuti. Untuk merubah
pandangan amsyarakat dan menyelaraskannya dengan tujuan bahwa polisi sipil sebagai
tujuan dari pemolisian Indonesia bukan merupakan hal yang mudah, perlu usaha yang
keras dari pihak kepolisian untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa pihak
kepolisian sudah melakukan reformasi dan siap untuk melakukan pelayanan kepada
masyarakat. Polisi sebagai sebuah lembaga yang dilingkupi oleh berbagai kebutuhan
sosial msyarakatnya, tentu diharapkan responsif bahkan proaktif terhadap perkembangan
permasalahan yang senantiasa terjadi pada setiap sisi kehidupan masyarakat. Dengan
kata lain polisi tidak hanya berperan sebagai penegak hukum untuk menjaga keamanan
dan ketertiban masyarakat, tetapi juga mempunyai posisi sosiologis yang memberikan
kebebasan sekaligus membatasinya.

1.2. POKOK PERMASALAHAN
Sesuai dengan fungsi kepolisian bahwa polisi bertugas untuk memelihara
keamanan dan ketertiban yamh berbeda fungsi dengan zaman dulu, masih ada keraguan

masyarakat dalam mencermati arah reformasi kepolisian sejalan dengan konsep “Polisi
Sipil” (Kepolisian dalam negara demokrasi). Seperti tidak dipahami isu itu sebagaimana
mestinya. Polisi sipil didikotomikan dengan polisi militer, sehingga proses pemisahan
Polri dan TNI dipandang sebagai wujud akhir pembentukan polisi sipil. Pada hal polisi
sipil merupakan suatu konsep, bukan institusi. Sebagai suatu konsep, polisi sipil
mensyaratkan sejumlah faktor sebagai indikator yang tidak mungkin bisa ditemukan
dalam negara otoriter yang acapkali dipandang sebagai Police State. Sehingga perlu
penjelasan yang pasti mengenai :
a. Apakah yang dimaksud dengan polisi sipil sebagai tujuan pemolisian Indonesia ?
b. Faktor apa saja yang menjadi kendala dalam pencapaian tujuan tersebut ?
4

BAB II
KAJIAN KEPUSTAKAAN

2.1. Telaah Artikel Jurnal Ilmiah
1. Profesionalisme Polisi dalam penegakan hukum, oleh Agus Raharjo dan Angkasa,
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, September 2011.
Dalam jurnal ilmiah ini diterangkan bahwa hukum memberi wewenang
kepada Polisi ntuk menegakkan hukum denga berbagai cara dari cara preemtif

sampai represif berupa pemaksaan dan penindakan. Tindakan polisi mesti selalu
mengandung kebenaran hukum, ukannya hukum dijadikan pembenaran. Tindakan
kepolisian/ merekayasa hukum bagi tindakan kepolisian, hal ini dapat terjadi
penyesatan hukum. Disebutkan juga bahwa profesi adalah suatu Moral
Community (Masyarakat Moral) yang memiliki cita-cita bersama. Peran polisi
membentuk identitas, yaitu sebagai The Legalistic abusive officer, yaitu polisi
yang menyadari perannya sebagai penjaga, pelindung masyarakat. Akan tetapi
dalam penelitian ini disebutkan pula bahwa terdapat keraguan amsyarakat
mengenai peran polisi sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, artinya peran
dan tujuan polisi sipil belum tercapai. Masyarakat berharap bahwa polisi tidak
hanya menggunakan kekerasan (hard skill) akan tetapi juga menggunakan soft
skill (Komunikasi) dalam rangka pelayanan kepada masyarakat. Dalam penelitian
jurnal ilmiah ini diambil dua kesimpulan bahwa polisi masih menggunakan
kekerasan dalam penyidikan terutama penggunakan kekerasan hukum. Yang
kedua adalah upaya menciptakan polisi yang profesional harus dimulai dari awal
rekruitmen untuk membangun intensitas dan standart yang tinggi dalam pola
pelayanan kepada masyarakat dan mewujudkan tujuan perpolisian sipil dalam
kepolisian Indonesia.
2. Penegakan Hukum Oleh Kepolisian melalui pendekatan Restorative Justice dalam
Sistem Hukum Nasional, oleh Yunan Hilmi, Badan Pembinaan Hukum nasional,

Agustus 2013.
Dalam jurnal ilmiah ini dijelaskan bahwa sistem peradilan pidana harus
mempromosikan keadilan, akan tetapi salah jika ukuran keberhasilan adalah
menjatuhkan tersangka ke meja peradilan. Hukum tidak hanya sekedar
memberikan keadilan akan tetapi juga menegakkan ketertiban dan keadilan dalam
5

masyarakat. Restorative justice adalah suatu proses penyelesaian masalah pidana
di luar sistem peradilan pidana (tanpa melalui meja pengadilan) yaitu dapat
diselesaikan dengan asas kekeluargaan yang melibatkan semua unsur yaitu
keluarga

korban,

keluarga

tersangka,

tokoh


masyarakat,

pembimbing

kemasyarakatan dan pekerja sosial serta pihak penegak hukum yang terlibat.
Restorative justice merupakan wujud manivestasi dari sistem perpolisian
sipil yang menajadi tujuan kepolisian Indonsia, dengan Restorative justice
masyarakat tidak perlu bertmu dengan sistem pengadilan yang selama ini
diangggap menyeramkan oleh sebagian besar masyarakat umum. Selain itu fungsi
polisi sebagai pengayom dan pelindung masyarakat dapat terlihat karena dalam
penggunaan sistem Restorative justice masyarakat merasa terlindungi. Tujuan
akhir dari Restorative justice

adalah mengintegrasikan kembali masyarakat

kedalam sistem amsyarakat yang baik, hal ini tentu sanagat sesuai dengan tujuan
perpolisian sipil yang digaungkan kepolisian Indonesia. Sealin itu juga dapat
mengembalikan pemulihan hubungan sosial antar stake holder. Akan tetapi dalam
pelaksanaan hendaknya ada kordinasi dan kesamaan persepsi antar polisi yang
satu dengan polisi yang lain agar sistem ini berjalan beriringan dan dapat
membantu mewujudkan tujuan polisi sebagai polisi sipil dalam perpolisian
Indonesia.

2.2. Kerangka Teori
Ciri utama dalam penegakan hukum adalah adanya kebebasan untuk mengambil
keputusan. Penegakan hukum itu sendiri sebenarnya tidak lain adalah pembuatan
keputusan. Oleh Karena itu polisi harus menempatkan dirinya di garis depan dalam
pengambilan keputusan, mereka mempunyai kedudukan penting dalam proses
kriminalisasi, baik karena inisiatif (peran penting intelijen kepolisian) ataupun karena
laporan dari masyarakat. Polisi sebagai sebuah lembaga yang dilingkupi oleh berbagai
kebutuhan sosial masyarakat, tentu diharapkan responsif bahkan proaktif, terhadap
perkembangan yang senantiasa terjadi pada setiap segi kehidupan sosial yang
melingkupinya. Dengan kata lain, polisi memiliki hubungan dengan masyarakatnya
tidak hanya sebagai penegak hukum (positif), namun dalam menjalankan tugas
penegakan hukum maupun ketertiban, polisi memiliki posisi sosiologis yang
memberikan kebebasan sekaligus membatasinya. Dengan kata lain, institusi sosial
6

adalah merupakan suatu sistem tata-kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada
aktivitas untuk memenuhi lingkup kebutuhan-kebutuhan khusus dalam kehidupan
masyarakat. Jadi, institusi sosial mengandung pula pengertian-pengertian yang abstrak
tentang adanya norma-norma dan peraturan tertentu, yang menjadi ciri dari institusi
sosial tersebut. (
Fungsi dan kedudukan polisi tidak dapat ditetapkan secara sepihak saja olehnya
sendiri, melainkan ditentukan oleh realitas tuntutan kebutuhan masyarakatnya. Jadi,
polisi selalu dihadapkan kepada harapan-harapan yang tumbuh pada masyarakatnya
(expected reaction). Karena itu lah institusi polisi sebagaimana kebanyakan institusi
sosial lainnya tidaklah dapat bersifat eksklusif dan tertutup terhadap lingkungannya.
Suasana saling ketergantungan antara polisi dan lingkungan masyarakatnya,
menyebabkan polisi tidak selalu mampu mengendalikan lingkungannya,

seturut

rencana dan program yang dibuat oleh polisi itu sendiri. Oleh karena itu, yang mungkin
dilakukan oleh polisi, adalah menyiapkan beberapa alternatif pemecahan, yang secara
tentatif boleh dianggap cukup ekuivalen secara fungsional, dan pada waktu yang tepat
ditentukan mana yang mendapat prioritas, karena secara fungsional juga dinilai lebih
berbobot.
Oleh karena itu, pranata dan organisasi yang didesain di dalam institusi polisi,
adalah untuk mengantisipasi perubahan yang pasti terjadi, dengan memperkirakan
berbagai kemungkinan alternatif cara dan metodenya; dan hal ini merupakan tuntutan
yang bersifat conditio sine qua non. Setiap organisasi harus mampu bertahan dalam
berbagai permasalahan yang kontradiktif yang terjadi dalam institusi itu, karena ia tidak
mungkin mencegah timbulnya masalah-masalah baru, yang dapat datang dari dalam
dirinya sendiri ataupun yang datang dari lingkungannya. Polisi tidak dapat beroperasi
dan berfungsi menurut kebutuhannya sendiri saja, melainkan polisi juga ditata dan
didisiplinkan dalam beroperasi dan berfungsi, oleh harapan-harapan (expectation) serta
kebutuhan-kebutuhan masyarakat dimana ia berada. Berikut adalah alur ideal yang
ahrus dilaksanakan oleh seorang polisi dalam melaksakan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka mewujudkan tujuan perpolisian sipil dalam kepolisian
Indonesia.

7

Sumber

:

https://jurnalsrigunting.wordpress.com/2012/09/12/lay-out-nkp-polri-kritis-danberwawasan-keilmuan/

Gambar 2.1.

BAB III
ANALISIS

Dalam beberapa kejadian penanganan kasus yang terjadi, dapat ditunjukkan pula
bahwa polisi masih berperan antogonis. Hal ini dapat dilihat bahwa polisi masih hanya
mempunyai panggilan dalam hal penegakan hukum saja, polisi hanya menegakkan dan
menerapkan hukum. Polisi hanya berusaha membuktikan bahwa perintah hukum telah
dijalankan maka selesai dan semurnalah sudah tugasnya. Dalam peran antagonis polisi
senantiasa beralasan minimnya personil serta kurangnya fasilitas sehingga publik akan
berpendapat bahwa polisi hanya bertugas untuk melawan kejahatan dan hanya mengawasi
masyarakat secara ketat dan melakukan penangkapan ketika orang bersalah.
Hal tersebut akan berbanding terbalik dengan harapan masyarakat yang
menginginkan bahwa sosok polisi yang ideal adalah polisi yang cocok dengan masyarakat
dan selalu terbuka terhadap dinamika sosial masyarakat yang ada. Polisi yang modern dan
demokratis adalah polisi sipil dengan birokrasi yang modern dengan sistem yang impersonal
dan selalu memahami corak masyarakat dan kebudayaannya. Polisi dianggap baik, akan
tetapi polisi juga berpotensi menjadi musuh/jahat seperti yang terjadi di bebrapa kejadian
seperti yang terjadi di Aceh Singkil. Dalam bentrokan yang terjadi, pada awalnya masyarakat
8

yang dihadang oleh polisi justru terus menyerang. Bagi massa polisi bertindak sebagai musuh
yang menghalangi jalan mereka. Karena ada niat dan kesempatan, mereka selalu ada
kekurangan seperti personil dan lain-lain seperti telah diuraikan diatas. Seharusnya polisi
harus melihat masalah yang terjadi di Aceh Singkil dari posisi rakyat, apakah rakyat sudah
merasa nyaman ketika ada polisi ? dan apakah polisi sudah menajdi pengayom masyarakat
sehingga tidak perlu terjadi bentrokan ? dan apakah polisi sudah menjadi pelindung rakyat
ketika bentrokan terjadi ataukah hanya bersifat sebagai pemersatu. Tugas utama polisi adalah
1. Penegakan hukum
2. Penegakan ketertiban
3. Pengaturan dan penjagaan
4. Pembinaan dan pelayanan
Dalam pelaksanaan tugas perpolisian tidak ada yang mutlak, polisi hars selalu
mempertimbangkan mana yang harus didahulukan. Dalam kasus pembakaran dan bentrokan
yang terjadi Aceh Singkil, seharusnya polisi bersikap protagonis. Saya sangat setuju bahwa
untuk menjadi professional adalah dengan memahami corak masyarakat dan kebudayaannya.
Jika polisi dekat masyarakat, maka fungsi perlindungan , pengayoman dan pelayanan yang
diharapkan akan terwujud dan maslaah yang besar akan mudah terselesaikan. Sebelum
terjadinya bentrokan, warga dan pemerintah daerah setempat harus melaksanakan
musyawarah dan koordinasi sehingga masyarakat sudah berusaha meminialisir terjadinya
konflik lanjutan. Akan tetapi ketika konflik tidak terhindarkan lagi, berarti perlu adanya peran
dari seluruh unsur termasuk keprofesionalitas polisi sebagai mediator dan pengayom
masyarakat. Masyarakat, pemerintah daerah, TNI, Polri duduk satu tempat untuk
menyelesaikan segala persoalan yang ada. Jika fungsi ini sudah berjalan, maka kemungkinan
besar tidak akan timbul bentrokan. Pada intinya dengan adanya dinamika yang ada di
masyarakat yang terus berubah-ubah, polisi dituntut untuk menjadi polisi yang protagonis
yang selau terbuka terhadap perubahan yang terjadi dalam amsyarakat.
Hampir semua pekerjaan secara khusus menyimpan kesempatan unik bagi perilaku
pathologis, baik sistem formal maupun informal yang cenderung untuk mendorong dan
memudahkan terwujudnya struktur kesempatan. Integritas polisi dapat menjadi jendela kaca
dalam menilai sebuah pemerintahan. Integritas dilapangan merupakan gambaran dari sistem
kepolisian secara meyeluruh. Penyimpangan kepolisian pada umunya adalah untuk
memudahkan

pencapaian

pekerjaan,

mendapatkan

keuntungan

pribadi

dan

untuk

meningkatkan karier secara tidak wajar. Diperlukan integritas yang tinggi, semangat
9

mengayomi dan melayani serta tidak kalah penting adalah semangat untuk mewujudkan
tujuan kepolisian Indonesia sebagai pilisi sipil yang dekat dan disegani masyarakat.

BAB IV
KESIMPULAN

Yang dimaksud polisi sipil sebagai tujuan polisi indonesia bisa djelaskan bahwa
polisi harus memiliki hubungan dengan masyarakatnya tidak hanya sebagai penegak hukum
(positif), namun dalam menjalankan tugas penegakan hukum maupun (terutama) (preventif &
Preemtif) ketertiban, polisi memiliki posisi sosiologis yang memberikan kebebasan sekaligus
membatasinya, jadi polisi benar-benar berfungsi sebagai pelindung dan pengayom
masyarakat. Akan tetapi dalam pelaksanaan di lapangan, hal ini tidak serta merta dapat
berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Terdapat faktor-faktor penghambat dalam upaya
mewujudkan polisi sipil sebagai tujuan dari polisi indonesia, yaitu antara lain :
1. Rekruitmen yang tidak sehat, sehingga banyak mengahasilkan aparat kepolisian yang
korup dan tidak berintegritas.
2. Anggapan masyarakat secara umum yang masih memandang bahwa polisi adalah
aparatur militer yang mempunyai tugas dan tanggung jawab menjaga keamanan negara,
bukan untuk melayani dan mengayomi masyarakat.
3. Tidak semua aparat kepolisian menyadari bahwa fungsi kepolisian Indonesia sudah
bergeser, dari berfungsi sebagai

penjaga keamanan negara menjadi pelindung dan

pelayan masyarakat. Sehingga banyak anggota polisi yang menyalahgunakan
wewenangnya sebagai “penguasa”.
4. Belum ada sinkronisasi antara semua unsur yang terlibat dalam mewujudkan suasa sipil
dalam perpolisian Indonesia. Baik sinkronisasi antara masyarakat dengan kepolisian,
Polisi dengan Polisi, maupun kepolisan dengan pihak terkait seperti pemerintah daerah
maupun TNI sebagai pihak-pihak yang turut serta mewujudkan keamanan dan ketertiban
dalam masyarakat.

10

DAFTAR PUSTAKA

Barents, J; 1978, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta,Erlangga
Ismail, Chaerudin; 1998, Polisi Pengayom VS Penindas, Jakarta, Jakarta Citra
Nitibaskara, Tubagus Ronny Rachman; 2001, Ketika Kejahatan Berdaulat – Sebuah
Pendekatan Kriminologi, Hukum dan Sosiologi, Jakarta, Peradaban.
Walker, Samuel; 1992, The Police in America : An Introduction, New York,
MC Graw Hill.

Jurnal /Dokumen
Jurnal Kepolisian. 2011. Agus Raharjo dan Angkasa ,.Profesionalisme Polisi dalam
penegakan hukum, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
Jurnal Kepolisian. 2013. Yunan Hilmi, Penegakan Hukum Oleh Kepolisian melalui
pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Hukum Nasional, Badan Pembinaan
Hukum nasional.
https://jurnalsrigunting.wordpress.com/2012/09/12/lay-out-nkp-polri-kritis-dan-berwawasankeilmuan/
https://id.wikipedia.org/wiki/Kepolisian_Negara_Republik_Indonesia
Bahan Perkuliahan Polisi dan Pemolisian ( Dosen : Dr. Zakarias Poerba dan Dr. Bambang
Widodo Umar)

11