BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kanker Ovarium - Evaluasi Penggunaan Indeks Resiko Keganasan pada Penapisan Neoplasma Ovarium sebelum Operasi di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kanker Ovarium
Tumor ovarium merupakan neoplasma yang berasal dari jaringan ovarium,yang mempunyai bentuk dan sifat yang berbeda dari jaringan asalnya. Kanker ovarium biasanya bersifat asimtomatik hingga pasien-pasien seringkali baru didiagnosis pada stadium lanjut dan telah terjadi metastasis. Sekitar lebih dari dua per tiga kasus kanker ovarium didiagnosa pada stadium lanjut. Kanker ovarium di antara kanker ginekologi lainnya mempunyai rasio fatalitas terhadap kasus yang tinggi. Risiko seorang wanita untuk menderita kanker ovarium sepanjang hidup adalah sekitar 1.4% dan risiko kematian karena kanker
10,11 ovarium sepanjang hidup hampir mencapai 1%.
Tumor ovarium epithelial meliputi lebih dari 60% neoplasma ovarium dan lebih dari 90% dari tumor ovarium ganas. Neoplasma epitelial berasal dari permukaan sel mesotel dan terdiri dari beberapa tipe. Kistadenokarsinoma serosum ovarium merupakan tumor ovarium ganas yang sering ditemui, meliputi sekitar 75-80% dari seluruh kanker ovarium epitel. Neoplasma ini ditemukan bilateral pada 40-60% kasus, dan 85% berkaitan dengan penyebaran ekstraovarium pada saat didiagnosis. Lebih dari 50% tumor
11 ovarium serosum membesar dengan diameter mencapai 15 cm.
2.2 Klasifikasi kanker ovarium
2.2.1. Histopatologik
Kanker ovarium dibagi menjadi 4 jenis berdasarkan jaringan asalnya, yaitu epithelium carcinoma, germ cell carcinoma, sex cord-stromal carcinoma, dan metastasis dari tempat lain. Epithelium carcinoma merupakan jenis yang terbanyak sekitar 90% dari kanker ovarium. Di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, dari semua kanker epitel tersebut, jenis serosum (44%) paling sering endometrioid (10,26%), clear cell (5,13%) dan mixed epthelial tumor
10,12
(0,85%). Kanker yang bermetastasis ke ovarium kebanyakan berasal dari
12 uterus, tuba fallopii, ovarium kontralateral atau peritoneum pelvis.
Kanker ovarium dapat menyebar melalui penyebaran lokal, invasi limfatik, implantasi intraperitoneal, penyabaran hematogen atau penyebaran melalui diafragma. Penyebaran intrapeitoneal adalah yang paling banyak
12 terjadi, sedangkan penyebaran hematogen paling jarang terjadi.
16 Gambar 2.1. Klasifikasi kanker ovarium berdasarkan histopatologi.
2.3 Etiologi dan Patogenesis
Penelitian tentang etiologi kanker ovarium sebagian besar masih merupakan hipotesa yang belum teruji secara epidemiologis dan belum dapat dinyatakan sebagai penyebab pasti terjadinya kanker ovarium tersebut. Hipotesis yang diduga sebagai penyebab terjadinya kanker ovarium adalah:
1. Teori inflamasi, teori ini menduga karsinogenesis terjadi akibat inflamasi seperti PID.
2. Teori Incessant ovulation, menyatakan trauma berulang selama ovulasi mengakibatkan pajanan epitel permukaan ovarium dapat mengakibatkan terjadinya proses malignansi pada ovarium.
14.
3. Teori gonadotropin, diduga kadar gonadotropin yang tinggi berkaitan dengan lonjakan yang terjadi selama proses ovulasi dan hilangnya gonadal negative feedback pada menopause dan kegagalan ovarium prematur dapat memegang peranan penting dalam perkembangan dan progresi kanker ovarium
14
4. Genetika, kanker ovarium pada keluarga dikaitkan dengan mutasi BRCA1, BRCA2 atau syndroma mismatch DNA repair gen human nonpoposis colon cancer (HNPCC, Lynch type II). Juga dilaporkan terdapat hubungan antara kanker ovarium dengan Li-Fraumini sindrom yang terjadi karena mutase P53.
13,14,15
2.4. Diagnosis Kanker Ovarium
Tumor ovarium secara klinis direpresentasikan sebagai massa di adneksa yang meliputi sejumlah kondisi baik jinak maupun ganas. Prosedur diagnostik preoperatif yang dapat membedakan apakah neoplasma ovarium bersifat jinak atau ganas dapat membantu dalam merencanakan penatalaksanaan yang optimal.
13 Diagnosis kanker ovarium memerlukan tindakan laparotomi eksplorasi.
12,13
Dugaan keganasan preoperatif dapat menjadi panduan ahli ginekologi untuk melakukan rujukan ke bagian onkologi ginekologi untuk penatalaksanaan yang tepat dan pembedahan yang optimal.
13
2.5. Skirining Pada kanker Ovarium
Beberapa metode diagnostik untuk mendiagnosis tumor ovarium telah dilaporkan, seperti ultrasonografi abdominal dan transvaginal, ultrasonografi tiga dimensi, ultrasonografi color Doppler dan petanda tumor. Bagaimanapun, signifikansi yang lebih baik dalam membedakan tumor ovarium jinak dan
13 ganas.
Metode diagnostik preoperatif yang baik adalah yang memiliki sensitivitas tinggi (kemungkinan hasil tes positif pada individual yang memiliki penyakit tersebut) dan spesifisitas tinggi (kemungkinan hasil tes negatif pada individu
14 yang tidak memiliki penyakit tersebut).
memberikan hasil yang memuaskan. Pada umumnya diagnosa keganasan diperoleh dari penemuan massa pelvis pada pemeriksaan rutin yang selanjutnya diikuti pembedahan. Namun penemuan pada stadium I secara konvensional hanya sekitar 20%. Berikut adalah pendekatan telah dievaluasi untuk mendeteksi pada skrining kanker ovarium:
2.5.1. Ultrasound
Ultrasonografi transvaginal telah terbukti lebih unggul dibandingkan transabdominal dalam mendeteksi massa panggul. Pada studi yang dilakukan pada 66.620 wanita, dilakukan operasi terhadap 565 pasien untuk mendeteksi 45 kanker ovarium. Dinyatakan sensitifitas pada stadium awal 78%, namun spesifitas pada stadium awal hanya 10%. Penambahan penggunaan doppler ultrasound menunjukkan hasil yang tidak konsisten antara sebagian besar penelitian, walaupun penggunaan 3D dopler menunjukkan hasil peningkatan
15,16 sensifitas dan spesfitas.
2.5.2. Cancer Antigen 125 (Ca 125)
Adalah suatu hibridoma, merupakan determnan antigen yang digambarkan oleh monoklonal antibodi dan mempunyai berat molekul >200 kD,
15,16 berbentuk glikoprotein.
Ca 125 dihasilkan oleh epitel kanker ovarium, namun secara alami kadar Ca 125 dapat juga ditemukan pada kasus inflamasi atau iritasi pada jaringan kavum abdomen. Pada kondisi endometriosis, kelainan hepar seperti sirosisi hepatis dan hepatitis, penyakit radang panggul dan pangkreas dapat
15,16 Ca 125 meningkat pada 50%-60% pasien kanker epitel stadium I dan 90% pada kanker ovarium stadium II. Kadar Ca 125 saja tanpa kurang adekuat untuk dijadikan skrining kanker ovarium pada populasi dengan resiko sedang dan rendah, namun spesifitas akan meningkat jika pemeriksaan diikuti dengan
15 ultrasonografi.
HE4 merupakan protein yang terdiri dari gugus asam dengan inti 4- disulfida (whey acidic four-disulfide core/WFDC) yang bersifat tripsin-inhibitor. HE-4 pertama kali diidentifikasi dari epitel duktus epididimis pria bagian distal yang merupakan protease inhibitor yang terlibat dalam proses pematangan
19,20 sperma.
HE-4 diekspresikan juga di jaringan normal termasuk epitel traktus reproduksi. Peningkatan kadar HE4 dalam satuan picomole (pM) dapat ditemukan pada tumor jinak ginekologi lainnya, tumor paru dan jaringan normal dengan kadar HE-4 yang bervariasi 0 sampai lebih dari 500 pM (Tabel 2.3). Pada kanker ovarium, HE4 diover-ekspresikan 93% pada epitel tumor ovarium s erous. wanita sehat 94,4% menunjukkan kadar HE4 <150 pM
21,22
Beberapa studi yang telah menggunakan HE4 sebagai tumor marker untuk menapis tumor ovarium epitel jinak dan ganas menunjukkan nilai cut off point yang berbeda. Studi oleh Moore et al (2009) memperoleh nilai cut off point HE4 sebesar 70 pM dengan sensitivitas 79,6% dan spesifisitas 66%. Pada tahun 2010, Kettlety et al di Swedia menggunakan cut off point HE4 140 pM dengan sensitivitas 98,1% dan spesifisitas 48,8%. Studi oleh Mulawardhana P di Surabaya (2011) menggunakan cut off point HE4 150pM menunjukkan sensitivitas 76,47 % dan spesifisitas 80%. Studi oleh Ali A dan Sarah D di Medan (2012) memperoleh cut off point HE4 66,5 pM dengan
23 sensitivitas 75% dan spesifisitas 75%.
2.5.4. Risk of Ovarian Malignancy Algorithm (ROMA)
Suatu penemuan baru novelty oleh Moore et al., tahun 2009, berupa alat diagnostik yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya yaitu risk of ovarian
malignancy algorithm (ROMA) yang efektif digunakan untuk mendeteksi risiko
keganasan kanker ovarium saat stadium awal berdasarkan status menopause
18,24 pre atau post menopause.
Saat ini, upaya untuk membedakan tumor ovarium epitel jinak dan ganas cukup menjadi tantangan bagi para peneliti dan klinisi. Hal ini berhubungan dengan penanganan yang akan diberikan serta prognosis pasien dengan kanker ovarium. Risiko keganasan sebelumnya berupa risk of
malignancy index (RMI) (Jacob et al, 1990) dinilai dengan menggunakan
kombinasi pemeriksaan ultrasonografi dan kadar antigen kanker CA-125 memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih rendah dibandingkan ROMA
18
(Tabel 2.2)
Tabel 2.2. Area under curve (AUC), sensitivitas dan spesifisitas ROMA dan RMI (cut off 200) sebagai alat diagnostik tumor ovarium epitelAdapun ROMA menggunakan serum antigen kanker CA-125 yang dikombinasikan dengan human epididymis protein-4 (HE-4). Alat diagnostik ini baru-baru ini juga diteliti oleh Van Gorp et al., pada tahun 2010 digunakan sebagai alat skrining pada tumor ovarium epitel, hasilnya ROMA mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi dibandingkan RMI dengan nilai
18,25 cut off 200(Tabel 2.2).
.
2.6. Indeks Risiko Keganasan pada Kanker Ovarium
Jacobs et al, 1990, mengemukakan suatu Indeks Risiko Kegananasan (IRK) berdasarkan kadar CA 125 serum, status menopause dan temuan USG, jinak dan ganas. Karakteristik USG yang digunakan adalah berdasarkn adanya (a) kista multilokuler, (b) massa solid (c) metastasis (d) asites (e) lesi bilateral. Massa yang simpel (U=0); massa semi komplek (U=1); massa komplek (U=3) untuk nilai dari USG. IRK dihitung dengan penambahan skor ‘1’ untuk status premenopause dan skor ‘3’ untuk status menopause (M), dikalikan skor dari USG dan nilai absolut dari kadar CA 125: U x M x CA 125. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, beliau memperoleh nilai titik potong skor IRK 200. Hasil tersebut dibandingkan dengan pemeriksaan baku emas pemeriksaan
7 histopatologi mempunyai sensitivitas dan spesifisitas 85,4% dan 96,9%.
Indeks resiko keganasan tersebut ternyata masih kurang memuaskan, sehingga Tingulstad et al pada tahun 1996 melakukan analisa ulang dan mengemukakan indeks risiko keganasan yang dikenal dengan IRK 2 dan tahun 1999 dimodifikasi kembali menjadi IRK 3. Perbedaan di antara ketiga IRK tersebut terletak pada perbedaan skor hasil pemeriksaan ultrasonografi dengan karakteristik yang sama dan skor status menopause. Berdasarkan hasil penelitian Tingulstad, diperoleh titik potong terbaik pada skor IRK 2 dan IRK 3 tersebut pada skor 200. Pada IRK 2 ditemukan sensifitas dan spesifitas 79,9% dan 79,6%, sedangkan IRK 3 ditemukan sensitifitas dan spesifitas 71% dan
15 92%.
15 Tabel 2.3. Perbedaan IRK 1,2 dan 3
M U Status Menopause Skor Ultrasonografi
IRK 1 M = 1, jika belum menopause U = 0, jika karakteristik (-) M = 3, jika sudah menopause U = 1, jika ada 1 karakteristik
U = 3, jika ada ≥2 karakteristik
IRK 2 M = 1, jika belum menopause U = 1, jika ada ≤1 karakteristik M = 4, jika sudah menopause U = 4, jika ada
≥2 karakteristik
IRK 3 M = 1, jika belum menopause U = 1, jika ada ≤1 karakteristik
M = 3, jika sudah menopause U = 3, jika ada ≥2 karakteristik
Indeks Resiko Keganasan 1,2 dan 3 tersebut dipakai dengan rumus:
Yamamoto et al. pada tahun 2009 mengembangkan IRK terbaru dengan menambahkan parameter ukuran tumor (S), yang dinamakan IRK 4. Indeks
9 Resiko Keganasan menurut Yamamoto et al. dihitung berdasarkan rumus:
IRK = U x M x Serum CA125 x S U: Hasil pemeriksaan ultrasonografi (USG)
dengan karakteristik sebagai berikut :
- Kista ovarium multilokuler
- Komponen solid pada tumor ovarium
- Lesi bilateral
- Asites • Adanya bukti metastase intraabdomen
Nilai U = 1, jika dijumpai ≤ 1 karakteristik USG. Nilai U = 4, jika dijumpai > 2 dari karakteristik USG.
M: Status Menopause Nilai M = 1, jika premenopause.
Nilai M = 4, jika pascamenopause.
S: Ukuran Tumor (diameter tunggal yang terbesar) Nilai S = 1, jika ukuran tumor < 7 cm.
Nilai S = 2, jika ukuran tumor > 7 cm.
Serum CA 125: kadar serum antigen kanker CA 125 yang diukur dengan metode immunoassay dalam satuan U/ml.
Yamamoto et al. (2009) dalam penelitian tentang keempat versi IRK mendapatkan bahwa akurasi IRK 4 lebih baik dibandingkan IRK 1, IRK 2 dan IRK 3, dengan sensitivitas 86,8%, spesifisitas 91%, nilai praduga
9 positif 63,5%, nilai praduga negatif 97,5%, dan akurasi 90,4%.
Penelitian yang dilakukan oleh Park et al (2012) terhadap 541 pasien, dengan mengevaluasi keempat IRK tersebut menemukan bahwa ROC membedakan tumor ganas dan jinak preoperasi (0,9233, 0,9132, 0,9151 dan 0,9263). Namun jika dibandingkan dengan pemeriksaan tunggal (Ca 125, status menopause dan USG) secara terpisah akan memiliki
5 perbedaan signifikansi yang bermakna.
Penelitian oleh Joshimin Foead (2010) terhadap 50 pasien, yang dilakukan di RS H. Adam Malik Medan dengan menggunakan IRK 3, menemukan titik Potong terbaik pada skor IRK 275, dengan sensifitas 78,6 dan spesifitas 91,3%, Penelitian lain yang dilakukan oleh Meity Elvina (2013) terhadap 56 orang pasien, yang juga dilakukan di RS H. Adam Malik Medan menggunakan IRK 3, menemukan titik potong 201, dengan
17,18 sensifitas dan spesifitas 71,4% dan 72,1%.
2.7. Kerangka Konsep Neoplasma ovarium Kadar CA 125 ROMA HE - 4
IRK 1,2,3, atau USG
4 SUSPEK GANAS ATAU SUSPEK JINAK LAPARATOMI HISTOPATOLOGI DEFINITIF JINAK DEFINITIF GANAS