PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP tata FISIOLOGI

PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP FISIOLOGI TERNAK

ASMA BIO KIMESTRI
14/373531/PPT/00865

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2014

PENDAHULUAN
Faktor lingkungan yang berpengaruh langsung pada kehidupan ternak
adalah iklim. Iklim merupakan faktor yang menentukan ciri khas dari seekor
ternak. Ternak yang hidup di daerah yang beriklim tropis berbeda dengan ternak
yang hidup di daerah subtropis. Namun hal tersebut dapat diatasi misalnya di
beberapa negara tropis, Air Condition (AC) digunakan dalam beternak
untuk mengendalikan atau menyesuaikan suhu di lingkungan sekitar ternak yang
berasal dari daerah subtropis, sehingga ternak tersebut dapat berproduksi
dengan normal.
Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk membahas lebih lanjut
tentang iklim yang merupakan hal terpenting dalam penentuan kerja status
fisiologi dari ternak terutama pada produktivitasnya. Manfaat dari penyusunan

makalah ini adalah pembaca dapat memahami pengaruh iklim dan unsur-unsur
lain seperti suhu dan kelembaban yang dapat mempengaruhi fisiologis tern

PEMBAHASAN
Iklim
Iklim merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh langsung
terhadap ternak juga berpengaruh tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap
faktor lingkungan yang lain. Selain itu berbeda dengan faktor lingkungan yang
lain seperti pakan dan kesehatan, iklim tidak dapat diatur atau dikuasai
sepenuhnya oleh manusia. Untuk memperoleh produktivitas ternak yang efisien,
manusia harus “menyesuaikan“ dengan iklim setempat. Iklim yang cocok untuk
daerah peternakan adalah pada klimat semi-arid. Daerah dengan klimat ini
ditandai dengan kondisi musim yang ekstrim, dengan curah hujan rendah secara
relatif dan musim kering yang panjang. Fluktuasi temperatur diavual dan musim
sangat besar, lengas udara sepanjang tahun kebanyakan sangat rendah dan
terdapat intensitas radiasi solar yang tinggi karena atmosfir yang kering dan langit
yang cerah. Meskipun curah hujan keseluruhan berkisar antara 254 sampai 508
mm, hujan dapat turun lebih lebatt meskipun kejadian itu sangat jarang. Iklim
yang ada diberbagai daerah tidaklah sama, melainkan bervariasi tergantung dari
faktor-faktor yang tak dapat dikendalikan (tetap) seperti altitude (letak daerah dari

ekuator, distribusi daratan dan air, tanah dan topografinya) dan latitude
(ketinggian tempat) dan faktor-faktor tidak tetap (variabel) seperti aliran air laut,
angin, curah hujan, drainase dan vegetasi.
Temperatur Lingkungan
Lingkungan dapat diklasifikasikan dalam dua komponen, yaitu :
(1) Abiotik : semua faktor fisik dan kimia

(2) Biotik : semua interaksi di antara (perwujudan) makanan, air, predasi,
penyakit serta interaksi sosial dan seksual.

Faktor lingkungan abiotik adalah faktor yang paling berperan dalam
menyebabkan

stres

fisiologis (Yousefdalam Sientje, 2003).. Komponen

lingkungan abiotik utama yang pengaruhnya nyata terhadap ternak adalah
temperatur, kelembaban (Yousef ; Chantalakhana dan Skunmun dalam Sientje,
2003), curah hujan, angin dan radiasi matahari (Yousef ; Cole and Brander dalam

Sientje, 2003).
Temperatur lingkungan adalah ukuran dari intensitas panas dalam unit standar dan
biasanya diekspresikan dalam skala derajat celsius (Yousef dalam Sientje,
2003). Secara umum, temperatur udara adalah faktor bioklimat tunggal yang
penting dalam lingkungan fisik ternak. Supaya ternak dapat hidup nyaman dan
proses fisiologi dapat berfungsi normal, dibutuhkan temperatur lingkungan yang
sesuai. Banyak species ternak membutuhkan temperatur nyaman 13 – 18 oC
(Chantalakhana dan Skunmun, dalam Sientje, 2003) atau Temperature Humidity
Index (THI) < 72 (Davidson, et al. dalam Sientje, 2003).
Setiap hewan mempunyai kisaran temperatur lingkungan yang paling sesuai yang
disebut Comfort Zone. Temperatur lingkungan yang paling sesuai bagi kehidupan
ternak di daerah tropik adalah 10°C-27°C (50°F-80°F). Sedangkan keadaan
lingkungan yang ideal untuk ternak di daerah sub tropis (sapi perah) adalah pada
temperatur antara 30°F-60°F dan dengan kelembaban rendah. Selain itu, sapi FH
maupun PFH memerlukan persyaratan iklim dengan ketinggian tempat ± 1000 m
dari permukaan laut, suhu berkisar antara 15°- 21°C dan kelembaban udaranya

diatas 55 persen. Kenaikan temperatur udara di atas 60°F relatif mempunyai
sedikit efek terhadap produksi.
KelembabanLingkungan

Kelembaban adalah jumlah uap air dalam udara. Kelembaban udara penting,
karena mempengaruhi kecepatan kehilangan panas dari ternak. Kelembaban dapat
menjadi kontrol dari evaporasi kehilangan panas melalui kulit dan saluran
pernafasan (Chantalakhana dan Skunmun dalam Sientje, 2003).
Kelembaban biasanya diekspresikan sebagai kelembaban relatif (Relative
Humidity = RH) dalam persentase yaitu ratio dari mol persen fraksi uap air dalam
volume udara terhadap mol persen fraksi kejenuhan udara pada temperatur dan
tekanan yang sama (Yousef dalam Sientje, 2003). Pada saat kelembaban tinggi,
evaporasi terjadi secara lambat, kehilangan panas terbatas dan dengan demikian
mempengaruhi keseimbangan termal ternak(Chantalakhana dan Skunmun dalam
Sientje, 2003)..
Iklim di indonesia adalah Super Humid atau panas basah yaitu klimat yang
ditandai dengan panas yang konstan, hujan dan kelembaban yang terus menerus.
Temperatur udara berkisar antara 21.11°C-37.77°C dengan kelembaban relatir 55100 persen. Suhu dan kelembaban udara yang tinggi akan menyebabkan stress
pada ternak sehingga suhu tubuh, respirasi dan denyut jantung meningkat, serta
konsumsi pakan menurun, akhirnya menyebabkan produktivitas ternak rendah.
Selain itu berbeda dengan factor lingkungan yang lain seperti pakan dan
kesehatan, maka iklim tidak dapat diatur atau dikuasai sepenuhnya oleh manusia.
Curah Hujan


Selama musim hujan, rata-rata temperatur udara lebih rendah, sedangkan
kelembaban tinggi dibanding pada musim panas. Jumlah dan pola curah hujan
adalah faktor penting untuk produksi tanaman dan dapat dimanfaatkan untuk
suplai makanan bagi ternak.
Curah hujan bersama temperatur dan kelembaban berhubungan dengan masalah
penyakit ternak serta parasit internal dan eksternal. Curah hujan dan angin juga
dapat menjadi petunjuk orientasi perkandangan ternak(Chantalakhana dan
Skunmun dalam Sientje, 2003)..
Angin
Menurut Yousef dalam Sientje (2003) angin diturunkan oleh pola tekanan yang
luas dalam atmosfir yang berhubungan dengan sumber panas atau daerah panas
dan dingin pada atmosfir. Kecepatan angin selalu diukur pada ketinggian tempat
ternak berada. Hal ini penting karena transfer panas melalui konveksi dan
evaporasi di antara ternak dan lingkungannya dipengaruhi oleh kecepatan angin.

Radiasi Matahari
Menurut Yousef dalam Sientje (2003), Radiasi matahari dalam suatu lingkungan
berasal dari dua sumber utama :
(1) Temperatur matahari yang tinggi
(2) Radiasi termal dari tanah, pohon, awan dan atmosfir

Petunjuk variasi dan kecepatan radiasi matahari, penting untuk mendesain
perkandangan ternak, karena dapat mempengaruhi proses fisiologi ternak (Cole
and Brander, dalam Sientje, 2003).

Lingkungan termal adalah ruang empat dimensi yang sesuai ditempati ternak..
Mamalia dapat bertahan hidup dan berkembang pada suatu lingkungan termal
yang tidak disukai, tergantung pada kemampuan ternak itu sendiri dalam
menggunakan mekanisme fisiologis dan tingkah laku secara efisien untuk
mempertahankan keseimbangan panas di antara tubuhnya dan lingkungan
(Yousef, dalam Sientje, 2003).
Produksi panas, Kehilangan Panas, dan Daya Tahan Panas
Mamalia termasuk di dalamnya sapi perah, temperatur tubuhnya dikontrol pada
level konstan. Hal itu dilakukan dengan termoregulasi. Kondisi khusus ini disebut
homoitermis, untuk memelihara proses fisiologis tubuh agar tetap optimum
(Sturkie, dalam

Sientje,

2003).


Homoitermis

dapat

terjaga

dikarenakan

keseimbangan sensitif di antara produksi panas (Heat Production = HP) dan
kehilangan panas (Heat Loss = HL).
Produksi panas tubuh ternak diukur dengan kalorimetri langsung dan tidak
langsung. Sedangkan kehilangan panas diketahui melalui kehilangan non
evaporasi dan evaporasi (Yousef dalam Sientje, 2003).
Penerapan ternak di daerah yang iklimnya sesuai akan menunjang dihasilkannya
produksi secara optimal. Salah satu unsur penentu iklim adalah suhu lingkungan.
Bagi sapi potong yang mempunyai suhu tubuh optimum 38.33°C, suhu
lingkungan 25°C dapat menyebabkan peningkatan rata pernafasan, suhu rektal
dan pengeluaran keringat, yang semuanya merupakan manifestasi tubuh untuk
mempertahankan diri dari cekaman panas. Semakin banyak jumlah keringat yang
dikeluarkan, hewan makin tidak tahan terhadap cekaman panas.

Menghitung RH-Tbk-Tbb

Kelembaban udara ditentukan oleh jumlah uap air yang terkandung di dalam
udara. Total massa uap air per satuan volume udara disebut sebagai kelembaban
absolut (absolute humidity, umumnya dinyatakan dalam satuan kg/m3).
Perbandingan antara massa uap air dengan massa udara lembab dalam satuan
volume udara tertentu disebut sebagai kelembaban spesifik (spesifik humidity,
umumnya dinyatakan dalam satuan g/kg). Massa udara lembab adalah tital massa
dari seluruh gas-gas atmosfer yang terkandung, termasuk uap air, jika massa uap
air tidak diikutkan, maka disebut sebagai massa udara kering (dry air). Data
klimatologi untuk kelembaban udara yang umum dilaporkan adalah kelembaban
relatif (relative humidity, disingkat RH). Kelembaban relatif adalah perbandingan
antara tekanan uap air aktual (yang terukur) dengan tekanan uap air pada kondisi
jenuh.

Umumnya

dinyatakan

dalam


persen. RH

=

[PA/Pg]

x

100%

Di mana: PA = tekanan uap air actual Pg = tekanan uap air pada kondisi jenuh
Fisiologis Ternak
Fisiologis ternak meliputi suhu tubuh, respirasi dan denyut jantung. Suhu tubuh
hewan homeotermi merupakan hasil keseimbangan dari panas yang diterima dan
dikeluarkan oleh tubuh. Dalam keadaan normal suhu tubuh ternak sejenis dapat
bervariasi karena adanya perbedaan umur, jenis kelamin, iklim, panjang hari, suhu
lingkungan, aktivitas, pakan, aktivitas pencernaan dan jumlah air yang
diminum. Suhu normal adalah panas tubuh dalam zone thermoneutral pada
aktivitas tubuh terendah. Variasi normal suhu tubuh akan berkurang bila

mekanisme thermoregulasi telah bekerja sempurna dan hewan telah dewasa. Salah
satu cara untuk memperoleh gambaran suhu tubuh adalah dengan melihat suhu
rectal dengan pertimbangan bahwa rectal merupakan tempat pengukuran terbaik

dan dapat mewakili suhu tubuh secara keseluruhan sehingga dapat disebut sebagai
suhu tubuh. Respirasi adalah proses pertukaran gas sebagai suatu rangkaian
kegiatan fisik dan kimis dalam tubuh organisme dalam lingkungan sekitarnya.
Oksigen diambil dari udara sebagai bahan yang dibutuhkan jaringan tubuh dalam
proses metabolisme. Frekuensi respirasi bervariasi tergantung antara lain dari
besar badan, umur, aktivitas tubuh, kelelahan dan penuh tidaknya rumen.
Kecepatan respirasi meningkat sebanding dengan meningkatnya suhu lingkungan.
Meningkatnya frekuensi respirasi menunjukkan meningkatnya mekanisme tubuh
untuk

mempertahankan

Kelembaban udara

yang


keseimbangan
tinggi

fisiologik

disertai

suhu

dalam

tubuh

hewan.

udara

yang

tinggi

menyebabkan meningkatnya frekuensi respirasi. Frekuensi denyut nadi dapat
dideteksi melalui denyut jantung yang dirambatakan pada dinding rongga dada
atau pada pembuluh nadinya. Frekuensi denyut nadi bervariasi tergantung dari
jenis hewan, umur, kesehatan dan suhu lingkungan. Disebutkan pula bahwa
hewan muda mempunyai denyut nadi yang lebih frekuen daripada hewan tua.
Pada suhu lingkungan tinggi, denyut nadi meningkat. Peningkatan ini
berhubungan dengan peningkatan respirasi yang menyebabkan meningkatnya
aktivitas otot-otot respirasi, sehingga dibutuhkan darah lebih banyak untuk
mensuplai O2 dan nutrient melalui peningkatan aliran darah dengan jalan
peningkatan denyut nadi. Bila terjadi cekaman panas akibat temperatur
lingkungan yang tinggi maka frekuensi pulsus ternak akan meningkat, hal ini
berhubungan dengan peningkatan frekuensi respirasi yang menyebabkan
meningkatnya aktivitas otot-otot respirasi, sehingga memepercepat pemompaan
darah ke permukaan tubuh dan selanjutnya akan terjadi pelepasan panas tubuh.

Frekuensi Pulsus sapi dalam keadaan normal adalah 54-84 kali per menit atau 4060 kali per menit dan sapi muda 80-90 kali per menit.
Zona Temperatur Netral
Zona temperatur netral atau zona termonetral (ZTN) adalah zona yang relatif
terbatas dari temperatur lingkungan yang efektif dalam memproduksi panas
minimal dari ternak (Curtis dalam Sientje, 2003). ZTN disebut juga profil
termonetral atau zona nyaman atau zona termopreferendum (Yousef dalam
Sientje, 2003). Pada zona ini, tidak ada perubahan dalam produksi panas dan
temperatur tubuh dapat dikontrol oleh adanya perubahan kecil dalam konduksi
ternak melalui variasi tubuh, aliran darah dari pusat ke periferi atau peningkatan
keringat (Sturkiedalam Sientje, 2003).
Pada temperatur di bawah ZTN, ternak akan meminimalkan semua jalur
pengeluaran panas dan meningkatkan produksi panas. Pada temperatur di atas
ZTN ternak akan memaksimalkan pengeluaran panas (Yousef dalam Sientje,
2003).
Stres
Stres adalah respon fisiologi, biokimia dan tingkah laku ternak terhadap variasi
faktor fisik, kimia dan biologis lingkungan (Yousef dalam Sientje, 2003). Dengan
kata lain, stres terjadi apabila terjadi perubahan lingkungan yang ekstrim, seperti
peningkatan temperatur lingkungan atau ketika toleransi ternak terhadap
lingkungan menjadi rendah (Curtis dalam Sientje, 2003). Stres panas terjadi
apabila temperatur lingkungan berubah menjadi lebih tinggi di atas ZTN (upper
critical temperature). Pada kondisi ini, toleransi ternak terhadap lingkungan
menjadi

rendah

atau

menurun,

sehingga

ternak

mengalami

cekaman

(Yousef dalam Sientje, 2003). Stres panas ini akan berpengaruh terhadap
pertumbuhan, reproduksi dan laktasi sapi perah termasuk di dalamnya pengaruh
terhadap hormonal, produksi susu dan komposisi susu (Mc Dowell dalam Sientje,
2003).
Efek Terhadap Hormonal
Temperatur berhubungan dengan fungsi kelenjar endokrin. Stres panas
memberikan pengaruh yang besar terhadap sistem endokrin ternak disebabkan
perubahan dalam metabolisme (Anderson dalam Sientje, 2003).
Ternak yang mengalami stres panas akibat meningkatnya temperatur lingkungan,
fungsi kelenjar tiroidnya akan terganggu. Hal ini akan mempengaruhi selera
makan dan penampilan (MC Dowell dalam Sientje, 2003). Stres panas kronik juga
menyebabkan

penurunan

konsentrasi

growth

hormone

dan

glukokortikoid. Pengurangan konsentrasi hormon ini, berhubungan dengan
pengurangan laju metabolik selama stres panas. Selain itu, selama stres panas
konsentrasi prolaktin meningkat dan diduga meningkatkan metabolisme air dan
elektrolit. Hal ini akan mempengaruhi hormon aldosteron yang berhubungan
dengan metabolisme elektrolit tersebut. Pada ternak yang menderita stres panas,
kalium yang disekresikan melalui keringat tinggi menyebabkan pengurangan
konsentrasi aldosteron (Anderson dalam Sientje, 2003).

STRATEGI PENGURANGAN STRES PANAS
Stres panas harus ditangani dengan serius, agar tidak memberikan pengaruh
negatif yang lebih besar. Beberapa strategi yang digunakan untuk mengurangi
stres panas dan telah memberikan hasil positif adalah :

1.

Perbaikan sumber pakan/ransum, dalam hal ini keseimbangan energi,
protein, mineral dan vitamin

2.

Perbaikan genetik untuk mendapatkan breed yang tahan panas

3.

Perbaikan konstruksi kandang, pemberian naungan pohon dan
mengkontinyu kan suplai air

4.

Penggunaan naungan, penyemprotan air dan penggunaan kipas angin
serta kombinasinya

KESIMPULAN
Kesimpulan dari materi yang dibahas diatas adalah: (1)Lingkungan berpengaruh
besar terhadap sifat genetik ternak; (2) Penerapan ternak di daerah yang iklimnya
sesuai akan menunjang dihasilkannya produksi secara optimal; (3) Suhu dan
kelembaban lingkungan yang tinggi dapat menyebabkan stress terhadap ternak
sehingga fisiologis ternak tersebut meningkat dan konsumsi pakan menurun,
sehingga produktivitasnya menurun; (4) Suhu tubuh dengan suhu rektal dan suhu
kulit saling berpengaruh karena suhu tubuh di dapat dari kedua suhu tersebut; (5)
Frekuensi pernapasan berpengaruh kepada lingkungan, apabila suhu dan
kelembaban naik maka frekuensi respirasi dan denyut jantung akan meningkat; (6)
Daya tahan terhadap panas dapat dihitung dengan melihat jumlah keringat yang
diekskresikan oleh hewan atau ternak.

DAFTAR PUSTAKA
Reksohadiprojo, S. 1984. Pengantar Ilmu Peternakan Tropik. BPFE, Yogyakarta.
Sientje. 2003. Stres Panas Pada Sapi Perah Laktasi. IPB, Bogor
Soedomo Reksohadiprojo. 1984. Pengantar Ilmu Peternakan Tropik. BPFE,
Yogyakarta.
Umar Ar., dkk. 1991. Pengaruh Frekuensi Penyiraman/memandikan terhadap
status faali Sapi Perah yang dipelihara di Bertais Kabupaten Lombok
Barat. UNRAM University Press, Mataram.
Widoretno, Dyah Kusumo Utari., 1983. Cara Pengukuran Ekskresi Keringan
untuk Mengetahui Daya Tahan Panas Sapi Potong. UNPAD University Press,
Bandung.