PERLUASAN DAN KEBERLANJUTAN FENOMENA DIG

PERLUASAN DAN KEBERLANJUTAN FENOMENA DIGLOSSIA DI DAERAH
PERKOTAAN DI PROVINSI LAMPUNG1
Meutia Rachmatia2
Kristian Adi Putra3

ABSTRAK

Melalui pendekatan microethnographic, penelitian ini menggunakan data survey dan
wawancara dengan remaja dan orangtua, serta observasi dan dokumentasi penggunaan
bahasa di ranah tinggi dan rendah di Kotabumi, salah satu kota di Provinsi Lampung yang
mayoritas penduduknya adalah suku Lampung. Hasil dari penelitian ini menunjukkan (1)
terjadinya perluasan fenomena diglossia dari Bahasa Lampung ke Bahasa Indonesia di
ranah rendah dan tinggi penggunaan bahasa di Kotabumi, (2) adanya gejala homogenisasi
bahasa dan budaya dalam masyarakat karena arus modernisasi dan kontak langsung setiap
harinya dengan pendatang dari berbagai macam suku dan daerah yang tidak berbahasa
Lampung dari luar Kotabumi, dan (3) frekuensi dan kemampuan berbahasa Lampung
remaja di Kotabumi secara umum tergolong rendah, sehingga berpotensi mengalami
situasi yang sama seperti di Bandar Lampung.
Kata Kunci: Bahasa Indonesia, Bahasa Lampung, Kotabumi, Perluasan Diglossia

PENDAHULUAN

Fenomena pergeseran pilihan bahasa (diglossia) di Bandar Lampung yang dikemukakan
oleh Gunarwan pada tahun 1994 terindikasi mengalami perluasan didaerah perkotaan lain
di Lampung. Gunarwan (1994) mengungkapkan bahwa pergeseran ini terjadi di kalangan
remaja dalam rentang usia 20 tahun kebawah pada tingkat rumah di keluarga-keluarga
penutur asli Bahasa Lampung di Bandar Lampung, dimana mereka lebih memilih
menggunakan Bahasa Indonesia daripada bahasa Lampung ketika berkomunikasi dengan
orangtuanya. Penelitian Katubi (2006) selanjutnya mengonfirmasi temuan ini, di mana
diglossia juga mulai terjadi di daerah-daerah yang populasinya masih di dominasi oleh
Makalah disampaikan pada seminar “Kebijakan Bahasa Pascaorba: Sebuah Penguatan
Identitas?” yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan-LIPI
pada tanggal 4-5 Agustus 2015 di Jakarta.
1

2

Mahasiswa Program Magister Pendidikan Bahasa, Universitas Sriwijaya, Indonesia meutiarachmatia92@gmail.com
3
Mahasiswa Program Doktoral Second Language Acquisition and Teaching, the University of
Arizona, AmerikaSerikat – kristianadiputra@email.arizona.edu


1

penutur asli Lampung. Putra (2015) secara spesifik mengemukakan tiga alasan
berlanjutnya fenomena diglossia ini: (1) perluasan daerah perkotaan, (2) kebijakan bahasa
yang membatasi ranah penggunaan bahasa daerah, dan (3) adanya pergeseran ideologi
bahasa dan budaya dalam masyarakat suku Lampung.

Salah satu daerah yang populasinya masih didominasi penutur asli Lampung ialah daerah
Kotabumi, Lampung Utara. Kotabumi adalah kabupaten yang dulunya merupakan
kabupaten kota terbesar di provinsi Lampung. Sebelum adanya perluasaan dan pemekaran
daerah di provinsi Lampung, daerah Kotabumi merupakan daerah kabupaten kota yang
meliputi Kabupaten Lampung Utarasendiri, Kabupaten Way Kanan, Kabupaten Lampung
Barat (yang melahirkan Kabupaten Pesisir Barat), dan Kabupaten Tulang Bawang (yang
melahirkan Kabupaten Tulang Bawang Barat dan Kabupaten Mesuji).Di Kotabumi masih
didapati penggunaan bahasa Lampung di beberapa kampung Lampung di daerah ini.
Kabupaten kota yang sebagian pendudukLampungnya menggunakan dialek Nyow atau
dialek O dan dialek Api atau dialek A ini mempunyai 23 kecamatan yang ditinggali oleh
sekitar 602.727 jiwa. Meskipun daerah ini di dominasi oleh penutur asli Lampung, gejala
perluasan fenomena tersebut ditemukan disini.


Dari 23 kecamatan di Kotabumi, menurut pengamatan penulis, terdapat beberapa
kecamatan yang masih banyak ditemukan penutur bahasa Lampung seperti di kecamatan
Abung Kunang, Abung Pekurun, Abung surakarta (dialek O) dan Sungkai Utara, Muara
Sungkai (dialek A). Seperti yang diungkapkan oleh Hadikusuma (1997), dialek A
digunakan oleh orang-orang Belalau, Peminggir Teluk Semangka dan Teluk Lampung,
Tulang Bawang Ulu (Way Kanan/ Sungkai), Komering, Krui, Melinting, dan Pubiyan;
dialek O digunakan oleh orang-orang Abung dan Tulang Bawang (Menggala).Meskipun
demikian penggunaan bahasa Lampung tersebut akan jarang sekali ditemui ketika sudah
berada di pusat kota Kotabumi. Hal ini yang menyebabkan adanya indikasi perluasan
fenomena diglosssia di daerah Kotabumi.

Penelitian ini dimaksudkan membuktikan adanya keberlanjutan dan perluasan fenomena
dilossia di daerah perkotaan di luar Bandar Lampung seperti yang sudah dipaparkan
diatas, sehingga dapat dijadikan acuan dan pemetaan pembuatan rekomendasi kebijakan
revitalisasi bahasa Lampung yang terencana, terukur, dan terimplementasi dengan lebih
baik di daerah-daerah dengan karakteristik serupa.

2

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan microethnographic dan analisis
kualitatif deskriptif. Data survei, wawancara, observasi, dan dokumentasi penggunaan
bahasadigunakan sebagai acuan analisis. Survei penggunaan bahasa diberikan kepada 100
siswa dari 4 sekolah yang berbeda pada jenjang SMP-SMA dan 50 orangtua dalam
rentang usia diatas 30 tahun. Wawancara juga dilakukan kepada 5 orang siswa sekolah
dan 5 orangtua di lingkungan daerah Kotabumi. Observasi dilakukan di beberapa
lingkungan di Kotabumi, seperti di lingkungan rumah, lingkungan sekitar rumah, pasar
tradisional, rumah ibadah, sekolah, kantor pemerintahan, mall, cafe, dan tempat umum
lainnya yang ada di Kotabumi. Dokumentasi juga dikumpulkan guna memperkuat hasil
penelitian ini. Bentuk survei yang digunakan dalam penelitian ini meliputi frekuensi
penggunaan bahasa, kemampuan berbahasa, dan tempat penggunaan bahasa.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Secara umum, terdapat tiga kesimpulan dalam penelitian ini. Pertama, pola diglossia yang
terjadi di Kotabumi menyerupai seperti yang sebelumnya di temukan di Bandar
Lampung, di mana penggunaan Bahasa Indonesia lebih mendominasi di bandingkan
bahasa daerah baik di ranah rendah maupun tinggi. Dari 100 siswa SMP dan SMA dan 50
orangtua yang berpartisipasi dalam survei, Bahasa Indonesia di gunakan setiap hari oleh
hampir semua peserta (lihat tabel 1 dan 2). Sementara penggunaan bahasa daerah
tergolong rendah dan mayoritas dalam kategori kadang-kadang dan jarang. Hal ini

mengindikasikan pilihan penggunaan Bahasa Indonesia di semua ranah oleh semua
partisipan, menggeser bahasa daerah, meskipun mereka memiliki kemampuan
menggunakannya, seperti terlihat misalkan di data Bahasa Jawa, Bahasa Palembang, dan
Bahasa Lampung.

Tabel 1. Frekuensi Penggunaan Bahasa Siswa SMP dan SMA di Kotabumi

3

Tabel 2. Frekuensi Penggunaan Bahasa Orangtua di Kotabumi

Data ini terkonfirmasi dengan data observasi di tempat-tempat umum di daerah
Kotabumi, sekolah, kantor pemerintahan, dan juga rumah penduduk. Seperti halnya di
Bandar Lampung (Guarwan, 1994; Hasan, 2009), orangtua dalam keluarga penutur asli
Bahasa Lampung di Kotabumi juga mulai menggunakan Bahasa Indonesia di rumah
ketika berkomunikasi dengan anak-anak mereka. Sementara di luar rumah, penggunaan
Bahasa Lampung mulai jarang terlihat, kecuali di daerah pedesaan di pinggiran Kotabumi
atau ketika ada pertemuan keluarga. Orang-orang tua terkadang terlihat masih
berkomunikasi satu sama lain dengan Bahasa Lampung di lingkungan sekitar rumah atau
rumah ibadah, tetapi ketika mereka berkomunikasi dengan anak-anak, mereka akan

kembali memilih menggunakan Bahasa Indonesia.

Di ranah tinggi penggunaan bahasa, misalnya di sekolah dan kantor pemerintahan,
Bahasa Indonesia juga terlihat mendominasi. Selain karena pergeseran ideologi bahasa
penduduk asli, pendatang dari daerah-daerah lain di Kotabumi juga ikut mempengaruhi
pilihan bahasa ini. Beberapa partisipan mengungkapkan bahwa Bahasa Indonesia
menjembatani komunikasi antara penduduk asli dan pendatang, terutama yang berbeda
suku dan bahasa. Sementara di pasar-pasar tradisional, di karenakan banyaknya pedagang
yang berbahasa Jawa, penduduk asli banyak yang memilih menggunakan Bahasa Jawa
saat transaksi. Situasi ini menyebabkan anak-anak di Kotabumi tidak lagi menemukan
tempat untuk mendengarkan dan menggunakan Bahasa Lampung.

Kedua, simbol identitas kedaerahan di Kotabumi tidak lagi tampak dalam bentuk
penggunaan bahasa, tetapi dalam simbol-simbol misalkan siger dan ukiran-ukiran
Lampung di tempat umum (lihat gambar 1 dan 2), dan aksen berbicara. Di banyak tempat
umum, misalnya Islamic Center, papan pengumuman, dan nama jalan, banyak di temukan

4

penggunaan aksara Lampung dan gambar siger yang khas menandakan budaya daerah

Lampung.

Gambar 1. Nama Jalan Beraksara Lampung

Gambar 2. Pengumuman di Kampus

Beberapa partisipan siswa SMP dan SMA mengungkapkan bahwa penanda antara
pendatang atau penduduk Kotabumi dari suku lain dengan penduduk asli bersuku
Lampung adalah aksen berbicaranya. Ketika mereka mendengar seseorang berbicara,
mereka akan mengetahui dari suku mana orang tersebut berasal. Akan tetapi, aksen
Bahasa Lampung tidak kemudian berarti bahwa siswa-siswi SMP dan SMA tersebut bisa
berbahasa Lampung, karena aksen tersebut terbentuk dari komunikasi sehari-hari di
dalam keluarga sejak kecil. Ketika mereka berada di Kotabumi, aksen tersebut tidak
menjadi permasalahan, karena mayoritas teman-teman sebayanya memiliki aksen yang
sama. Tetapi ketika berada di Bandar Lampung, partisipan siswa-siswi SMP dan SMA
dari Kotabumi mengungkapkan bahwa mereka ingin sebisa mungkin tidak terdengar
aksennya ketika berbicara, karena tidak mau di jadikan topik “bully” dengan saudara atau
teman sebaya di Bandar Lampung. Hal ini mengindikasikan bahwa secara umum sudah
mulai ada ketidaknyamanan di antara para siswa-siswi SMP dan SMA untuk
menunjukkan identitas kedaerahannya ketika berada di luar daerah Kotabumi.


Ketiga, terdapat kecenderungan bahwa orangtua di Kotabumi memiliki kemampuan
berbicara dalam Bahasa Lampung yang baik, tetapi memiliki kemampuan membaca dan
menulis aksara Lampung yang rendah. Sementara siswa-siswi SMP dan SMA memiliki
kemampuan membaca dan menulis cukup baik, tetapi kurang bisa berbicara dalam
Bahasa

Lampung.

Hal

ini

mengindikasikan

pengaruh

frekuensi

kesempatan


mendengarkan dan menggunakan Bahasa Lampung lisan yang relatif kurang di antara
para siswa dan hasil pembelajaran muatan lokal Bahasa Lampung 2 jam pelajaran dari
kelas 4 SD sampai dengan 9 SMP yang memfokuskan pada baca tulis aksara Lampung.

5

Di sisi lain, orangtua memiliki kesempatan menggunakan Bahasa Lampung lisan secara
aktif dengan orangtuanya dari kecil, tetapi tidak pernah belajar aksara Lampung tulisan
secara formal.

Mayoritas siswa mengungkapkan bahwa meskipun Bahasa Lampung di ajarkan di
sekolah, bahasa yang di gunakan untuk mengajar Bahasa Lampung di sekolah adalah
Bahasa Indonesia. Kesempatan berlatih berbicara Bahasa Lampung terasa sangat kurang,
sehingga bagi siswa bersuku lain yang tidak menggunakan Bahasa Lampung di rumah
dan tinggal di lingkungan yang mayoritas berbahasa Indonesia di luar rumah akan tidak
mendapatkan hasil belajar bahasa yang maksimal di sekolah. Siswa-siswi yang
berpartisipasi di wawancara pada umumnya mengungkapkan bahwa kemampuan
berbahasa Lampung mereka sebatas memahami ketika orang berbicara, tetapi tidak bisa
membalasnya. Hal ini di karenakan kesempatan berlatih berbicara dalam Bahasa

Lampung masih sangat kurang, dan program muatan lokal di sekolah belum maksimal.
Selain belum di tujukan untuk membuat siswa-siswi bisa berbicara Bahasa Lampung,
tetapi bisa membaca dan menulis aksara Lampung, program ini juga belum di
koordinasikan dengan baik dengan orangtua dan komunitas di mana siswa-siswi tinggal.

KESIMPULAN
Hasil dari penelitian ini selanjutnya mempertegas situasi keterancaman Bahasa Lampung
di Provinsi Lampung. Pergeseran pilihan bahasa dalam keluarga suku Lampung juga
terjadi di Kotabumi, daerah yang mayoritas penduduknya bersuku Lampung. Anak-anak
di usia sekolah tidak lagi berbicara dalam Bahasa Lampung, karena orangtua mulai
menggunakan Bahasa Indonesia dengan anak sejak usia dini. Orangtua di rumah juga
berbicara dengan Bahasa Indonesia satu sama lain, sedangkan Bahasa Lampung di
gunakan hanya ketika ada rahasia yang tidak ingin diketahui oleh anak-anak di rumah.
Anak-anak mengakui bahwa mereka mendengar penggunaan Bahasa Lampung dalam
pertemuan keluarga oleh orangtua, tetapi ketika orangtua berkomunikasi dengan mereka,
Bahasa Indonesia akan kembali di pilih. Hal ini menyebabkan anak-anak merasa bahwa
kemampuan berbahasa Lampung tidak sebegitu perlu, terutama bila di bandingkan
dengan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.

Tidak adanya kesempatan berbahasa Lampung di rumah ini juga di temui di luar rumah,

baik di ranah rendah seperti lingkungan sekitar rumah, maupun ranah atas seperti tempat
umum, sekolah, kampus, kantor pemerintahan, dan tempat usaha. Penggunaan Bahasa

6

Indonesia terlihat dominandi semua tempat, sementara Bahasa Lampung hanya dominan
di gunakan di daerah pedesaan di luar Kotabumi. Meskipun begitu, terkadang Bahasa
Lampung masih tampak di gunakan, terutama ketika orang-orang tua bersuku Lampung
bertemu di tempat-tempat tersebut. Hal ini mengimplikasikan bahwa kebijakan baru
revitalisasi Bahasa Lampung di Kotabumi harus segera di rumuskan. Program di sekolah
harus di arahkan untuk memberikan kesempatan kepada siswa-siswi bisa berbicara dalam
Bahasa Lampung dan orangtua serta komunitas masyarakat di libatkan agar
menggunakan Bahasa Lampung dengan anak-anak mereka di rumah dan lingkungan
sekitar rumah.

REFERENSI
Gunarwan, A. (1994). „The encroachment of Indonesian upon the Home Domain of the
Lampungic Language Use: A Study of the Possibility of a Minor Language Shift.‟
Paper Presented at the Seventh International Conference on Austronesian
Linguistics, Leiden University, the Netherlands, 22-27 August 1994.
Hadikusuma, H. (1997). Bahasa Lampung. Jakarta: Fajar Agung.
Hasan, H. (2009). „Language Shift in Home Domain in Bandar Lampung.‟ Jurnal Kelasa,
3 (2), 20-30.
Katubi, O. (2006). „Lampungic Languages: Looking for New Evidence of the Possibility
of Language Shift in Lampung and the Question of its Reversal.‟ Paper Presented
at the Tenth International Conference on Austronesian Linguistics, Puerto
Princesa, Philippines, 17-20 January 2006.
Putra, K.A. (2015). „Youth Language Trajectories, Multilingualism, and Language
Endangerment.‟ Paper Presented at the Second Language Acquisition and
Teaching Roundtable 2015, the University of Arizona, the United States, 56March 2015.

7