PERBANDINGAN KINERJA SISTEM HIBRID DENGA

PERBANDINGAN KINERJA SISTEM HIBRID DENGAN KONVENSIONAL PADA STRUKTUR PILAR PRACETAK GUIDEWAY MONOREL TUGAS AKHIR

Karya tulis sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Sarjana dari Institut Teknologi Bandung

Oleh BRYAN MUSTIKA SURYAWIDJAJA NIM : 150 11 108 PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2015

ABSTRAK PERBANDINGAN KINERJA SISTEM HIBRID DENGAN KONVENSIONAL PADA STRUKTUR PILAR PRACETAK GUIDEWAY MONOREL

Oleh Bryan Mustika Suryawidjaja

NIM : 150 11 108 (Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Program Studi Teknik Sipil)

Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi yang berkembang pesat setiap tahunnya. Hal tersebut membuat konstruksi infrastruktur di kota besar Indonesia dituntut cepat, efisien, perawatan yang mudah, dan masa layan yang tinggi. Sedangkan, konstruksi infrastruktur seperti jembatan perkotaan tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut karena persyaratan detailing yang ketat untuk menahan beban gempa Indonesia. Oleh karena itu, beton pracetak segmental menjadi pilihan konstruksi masa depan Indonesia.

Beton pracetak segmental dengan sistem konvensional memiliki masalah utama, yaitu disipasi energi tidak sebaik beton pengecoran cast-in-situ (Hewes and Priestley, 2002) dan permasalahan sambungan pada daerah join tempat disipasi energi gempa. Sistem hybrid dikembangkan untuk mengatasi permasalahan sistem konvensional. Selain itu, sistem hybrid memiliki model histeretik yang unik, yaitu model flag shape. Secara nyata, model histeretik direpresentasikan oleh sifat self centering saat terjadi rocking mechanism pada daerah join. Hasilnya, residual deformation pada sistem hybrid lebih kecil dibandingkan sistem konvensional.

Model yang digunakan dalam analisis adalah struktur jembatan guideway monorel. Hasil analisis pushover dan Non-Linier Time History (NLTH) membuktikan bahwa level kinerja sistem hybrid dan sistem konvensional adalah sama. Sedangkan, untuk residual deformation sistem hybrid untuk arah memanjang sekitar empat kali lebih rendah dibandingkan sistem konvensional dan arah transversal sekitar tujuh kali lebih rendah. Kata kunci: jembatan guideway monorel, sistem hybrid dan konvensional, self-centering, residual deformation

ABSTRACT PERFORMANCE COMPARISON OF HYBRID AND CONVENTIONAL SYSTEM IN PRECAST GUIDEWAY MONORAIL PIER STRUCTURE

Presented by Bryan Mustika Suryawidjaja

NIM : 150 11 108 (Faculty of Civil and Environment Engineering, Civil Engineering)

Indonesia is one of the countries in the world with a rapidly growing economy annually. It comes to the consequences that construction activity in major cities of Indonesia should be fast, efficient, easy maintenance and have a long service cycle. However, the existing construction of vital infrastructure such as city bridges do not meet those criteria because of the complicated detailing requirement to withstand earthquake forces. Therefore, segmental precast concrete is being an option for the future of construction in Indonesia.

Segmental precast concrete of conventional system has two major problem which are its energy dissipation is not as good as cast-in-situ method (Hewes and Priestley, 2002) and connection problem at the join area where the earthquake’s energy is dissipated. Hybrid system was developed to solve the problems of conventional system. It also has a unique hysteretic models, namely flag shape. Significantly, hysteretic model is represented by self centering behavior when rocking mechanism of pier joint area occured. As a result, residual deformation of hybrid system is smaller than conventional system.

The guideway monorail bridge is the model that will be used for the analysis. The results of pushover and Non-Linear Time History (NLTH) analysis indicate that performance level for hybrid and conventional system is similar. Whereas, residual deformation of hybrid system for longitudinal direction is about four times lower than conventional system and seven times lower for transversal direction. Keywords: bridge monorail guideway, and a conventional hybrid systems, self-centering, residual deformation

PERBANDINGAN KINERJA SISTEM HIBRID DENGAN KONVENSIONAL PADA STRUKTUR PILAR PRACETAK GUIDEWAY MONOREL TUGAS AKHIR

Oleh

Pas Foto

2 x 3 cm

BRYAN MUSTIKA SURYAWIJAYA NIM : 150 11 108

Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung

Menyetujui Pembimbing Tugas Akhir, Bandung,19 Juni 2015

Prof. Ir. Iswandi Imran, MAS.c., Ph.D.

NIP. 196312061996031001 Mengetahui,

KK Rekayasa Struktur Program Teknik Sipil Koordinator Tugas Akhir

Ketua,

Ir. Made Suarjana, M.S.c., Ph.D. Ir. Made Suarjana, M.S.c., Ph.D.

NIP. 196111231987031002 NIP. 196111231987031002

PEDOMAN PENGGUNAAN TUGAS AKHIR

Tugas Akhir yang tidak dipublikasikan terdaftar dan tersedia di Perpustakaan Institut Teknologi Bandung, dan terbuka untuk umum dengan ketentuan bahwa hak cipta ada pada pengarang dengan mengikuti aturan HaKI yang berlaku di Institut Teknologi Bandung. Referensi kepustakaan diperkenankan dicatat, tetapi pengutipan atau peringkasan hanya dapat dilakukan seijin pengarang dan harus disertai dengan kebiasaan ilmiah untuk menyebutkan sumbernya. Memperbanyak atau menerbitkan sebagian atau seluruh Tugas Akhir haruslah seijin Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung.

Didedikasikan untuk keluarga dan orang-orang yang mendukung dan mengasihi, Nurnawati Lie yang memberikan dukungan moral dan materil, Bambang Mustika Suryawidjaja,, Jane Stephanie Suryawijaya dan James Mustika Suryawijaya

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan penyertaan-Nya selama penulis menyelesaikan karya tulis “Perbandingan Kinerja Sistem Hibrid Dengan

Konvensional pada Struktur Pilar Pracetak Guideway M onorel”. Tugas akhir ini diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana dari Institut Teknologi Bandung. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan karya tulis ini, antara lain:

1. Kedua orangtua, yaitu Bambang Mustika Suryawidjaja dan Nurnawati Lie, serta kedua adik, yaitu Jane Stephanie Suryawijaya dan James Mustika Suryawijaya, yang telah mendoakan, mendukung, dan membantu penulis;

2. Prof. Ir. Iswandi Imran, MAS.c., Ph.D., selaku dosen pembimbing tugas akhir. Terima kasih atas ilmu, pembelajaran, dan pengalaman selama ini;

3. Ir. Indra Djati Sidi, MSc, Ph.D. dan Dr-Ing. Ediansjah Zulkifli, ST., MT. yang telah berkenan menjadi dosen penguji seminar dan sidang tugas akhir;

4. Gabriella Amperianto, Brenda Gusanto, Gabriel Steven, Frans Tandeas, Jessen Purwa Harianto, Klara Karlina, Claudia Calista, Yoshiana Maria, Liana Wiryawan, Elizabeth Amanda, Jonathan Budianto, William Tasdir, Ivan Gunardi, Kevin Metthew, Kevin Andrea, dan Ryan Hardika sebagai sahabat yang telah memberikan semangat, kekuatan, bantuan, dan berbagi suka-duka. I LOVE YOU.

5. Ray Grimaldi Erwin, Joseph Christian, Nicho Liang, Ravend Tandera, Leonardo Hendriono, dan Afrizal Dwi Putranto sebagai teman satu bimbingan yang telah memberikan bantuan moral, ilmu, tenaga, dan materil selama tugas akhir.

6. Keluarga Mahasiswa Cina Sipil 2011 sebagai tempat untuk melepas penat tugas akhir.

7. SIPIL ITB (angkatan 2009, 2010, 2011, 2012, dan 2013) dan orang-orang lain yang turut membantu, baik secara langsung maupun tidak, dalam proses penyusunan karya tulis ini.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ini tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu, penulis menerima kritik dan saran yang membangun sebagai pembelajaran di masa depan. Karya tulis ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk mahasiswa Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung dan pembaca pada umumnya.

Bandung, 19 Juni 2015

Penulis

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A : Detailing Pilar Sistem Konvensional ............................................. xix

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara dengan aktivitas gempa yang tinggi. Hal ini disebabkan lokasi Indonesia yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik utama, yaitu lempeng Eurasia, Indo-Australia, Pasifik dan Philipine. Akibatnya, pada proses pembangunan infrastruktur di Indonesia, khususnya pada wilayah kategori desain seismik D, E, dan F, menjadi lebih rumit dan diawasi dengan ketat oleh institusi negara. Tingkat desain dengan kerumitan yang tinggi membuat periode konstruksi lebih panjang. Akan tetapi, wilayah-wilayah dengan aktivitas perekonomian yang padat, seperti perkotaan besar, bandara, pelabuhan, dan lain-lain, periode konstruksi harus seminimal mungkin agar aktivitas perekonomian tidak mengalami gangguan yang signifikan.

Gambar I. 1 Peta tektonik Indonesia

Pada tahun 2009, Pemerintah mencanangkan program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang berdampak pada pembangunan infrastruktur dalam skala besar merata di seluruh wilayah Indonesia. Salah satu infrastrukturnya adalah jembatan. Pada saat ini, sistem pilar (pier) jembatan dengan menggunakan tendon prategang tanpa lekatan (unbonded prestressed system) dengan post-tensioned menyedot perhatian berbagai peneliti maupun komunitas rekayasawan jembatan di dunia. Sistem ini dapat mempercepat proses konstruksi, mengurangi biaya pemeliharaan dan dampak lingkungan, meningkatkan keselamatan kerja, dan menjaga kualitas konstruksi (Kwan dan Billing, 2003 ; TRB 2003). Sistem ini umumnya diterapkan pada badan pilar jembatan segmental (prefabricated bridge atau segmental bridge column)

Filosofi untuk pendesainan struktur jembatan pada daerah rawan gempa adalah daerah join antara bagian bawah pilar dan muka fondasi menjadi daerah plastis yang diharapkan menjadi tempat disipasi energi gempa. Akibatnya, daerah join tersebut akan menjadi daerah kritis yang mengalami gaya dalam lebih besar dari daerah lain. Awalnya, perkembangan desain pilar jembatan konvensional hanya menggandalkan tulangan baja saja. Akan tetapi, desain tersebut apabila diimplementasikan pada beton segmental atau precast, sistem tidak memiliki kemampuan disipasi energi sebaik pilar konvensional dengan pengecoran monolit di tempat atau cast-in-situ (Chang et al., 2002 ; Hewes dan Priestley, 2002). Hal ini dikarenakan kecenderungan daerah join pada beton segmental lebih mudah terbuka saat mengalami gempa utama (main shock). Hal ini menyebabkan bertambahnya beban pada tulangan baja yang berdampak pada plastifikasi tulangan baja tidak terkontrol sehingga kekakuan sistem berkurang drastis.

Sistem hybrid menjadi trobosan untuk mengatasi masalah pada pilar jembatan segmental. Sistem hybrid merupakan sistem kombinasi tendon post-tensioned tanpa lekatan (unbonded post-tensioned tendons) dan reinforcement steel (tulangan baja dengan mutu fy=400 MPa) pada daerah join antara bagian bawah pilar dan muka fondasi. Sistem hybrid diperkenalkan pertama kali oleh Stone et al. (1995). Gaya yang Sistem hybrid menjadi trobosan untuk mengatasi masalah pada pilar jembatan segmental. Sistem hybrid merupakan sistem kombinasi tendon post-tensioned tanpa lekatan (unbonded post-tensioned tendons) dan reinforcement steel (tulangan baja dengan mutu fy=400 MPa) pada daerah join antara bagian bawah pilar dan muka fondasi. Sistem hybrid diperkenalkan pertama kali oleh Stone et al. (1995). Gaya yang

Pilar jembatan yang menggunakan sistem segmental akan mengalami mekanisme goyang (rocking mechanism), khususnya pada daerah join. Untuk mengatasi mekanisme goyang, dilakukan metode controlled rocking, yaitu pilar jembatan disengaja untuk mengalami deformasi (retak) akibat lentur dengan nilai tertentu pada daerah join antara bawah pilar dan muka fondasi. Selama tendon tanpa lekatan dipasang sepanjang pilar jembatan, tidak akan terjadi konsentrasi penambahan tegangan dan regangan secara teratur pada daerah join yang retak. Selain itu, pada sistem ini, tendon prategang didesain tidak boleh mengalami kelelehan sedangkan baja tulangan harus didesain leleh saat terjadi gempa utama (ACI ITG-5.2-09). Kelelehan tulangan merupakan komponen utama dalam mendisipasi energi gempa. Sedangkan, bila tendon prategang mengalami regangan inelastik (tendon leleh) maka sifat-sifat yang dihasilkan tendon prategang (self-centering, gaya tekan akibat tendon, dan lain- lain) akan hilang. Oleh karena itu, pemberian gaya prategang awal sangat berpengaruh dengan beberapa alasan.

Pertama, kemampuan untuk mentransfer gaya geser ke sepanjang muka segmen pilar bergantung pada gaya jepit yang diakomodasi oleh tendon prategang. Kekakuan pilar jembatan bergantung pada gaya tendon prategang dan tidak akan berkurang secara drastis apabila gaya tendon prategang relatif tetap. Kedua, kemampuan self-centering diakomodasi oleh tendon prategang. Apabila gaya tendon dijaga selama dan setelah gaya gempa terjadi maka pilar jembatan akan kembali ke posisi semula.

Gambar I. 2 Skema pilar jembatan (Haitham Mohamed, 2010)

Pada tugas akhir ini akan berfokus pada pendesainan pilar pracetak guideway sistem hybrid terhadap beban monorel APMS yang berlokasi di Bandara Soekarno- Hatta, Tangerang. Struktur ini berfungsi sebagai fasilitas angkutan internal bandara untuk perpindahan orang dari satu terminal ke terminal lainnya. Selanjutnya, desain tersebut akan dilakukan analisis statik dan dinamik terhadap beban seismik untuk mengetahui perilaku pilar pracetak guideway sistem hybrid. Hasil analisis tersebut akan dibandingkan dengan hasil analisis pilar dengan sistem konvensional yang menggunakan perkuatan tulangan baja saja.

I.2 Tujuan

Tujuan tugas akhir ini adalah, sebagai berikut:

a. Melakukan pendesain tendon tanpa lekatan dan baja tulangan pada pilar pracetak sistem hybrid yang optimal terhadap beban monorel dan gempa yang berada di kawasan Bandara Soekarno-Hatta a. Melakukan pendesain tendon tanpa lekatan dan baja tulangan pada pilar pracetak sistem hybrid yang optimal terhadap beban monorel dan gempa yang berada di kawasan Bandara Soekarno-Hatta

c. Membandingkan hasil desain dan analisis (contoh : perilaku, level kinerja, dan lain- lain) pilar pracetak sistem hybrid dengan sistem konvensional yang menggunakan perkuatan tulangan baja.

I.3 Rumusan Masalah

Permasalahan yang melatar-belakangi penulisan tugas akhir ini antara lain:

1. Bagaimana konsep utama dalam mendesain pilar pracetak sistem hybrid di daerah rawan gempa?

2. Apa saja parameter desain yang perlu diperhatikan dalam perencanaan pilar pracetak sistem hybrid di daerah rawan gempa?

3. Apa kelebihan dan kekurangan dalam penggunaan sistem hybrid pada pilar pracetak guideway monorel bila terkena beban gempa?

4. Bagaimana cara mendesain pilar pracetak sistem hybrid pada daerah rawan gempa?

5. Bagaimana level kinerja dan perilaku pilar pracetak sistem hybrid saat menahan beban gempa?

6. Kenapa sistem hybrid diyakini dapat menggantikan sistem konvensional pada daerah rawan gempa?

I.4 Ruang Lingkup

Ruang lingkup pada tugas akhir ini adalah, sebagai berikut:

1. Dimensi (badan, guideway beam, pier head, dan lain-lain) dan sistem struktur guideway monorel diambil dari spesifikasi yang sudah ada

2. Struktur guideway monorel berfungsi sebagai angkutan internal Bandara Soekarno- Hatta, Tangerang yang melayani perpindahan orang dari satu terminal ke terminal lainnya

3. Pembebanan struktur guideway monorel mengacu pada ACI 343.1R-12 dan SNI 2833-2013. Kelas situs pada lokasi Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang diasumsikan SE (tanah lunak)

4. Jenis struktur jembatan guideway monorel adalah integrated and continuous span (sistem portal) dimana tendon prategang menyatukan lima bentang. Jarak antar pilar adalah 20 meter

5. Lintasan jembatan yang didesain dan dianalisis hanya bagian lintasan yang lurus dan bertipe single pier

6. Lingkup peninjauan studi hanya sebatas tendon tanpa lekatan dan tulangan baja pada pilar struktur jembatan guideway monorel (Substructure).

I.5 Metodologi Pembahasan

Metodologi pembahasan pada tugas akhir ini adalah, antara lain:

1. Pemilihan topik tugas akhir Topik tugas akhir ini dipilih karena sistem hybrid pada pilar guideway monorel dapat dikategorikan sebagai sistem yang masih baru di Indonesia. Sedangkan, sudah banyak penelitian yang meyakinkan bahwa sistem ini memiliki berbagai keuntungan untuk diterapkan pada daerah rawan gempa, seperti Indonesia. Penggunaan sistem ini menjadi salah satu alternatif untuk menjawab permasalahan periode konstruksi yang panjang dan kerusakan akibat regangan sisa yang besar pada pilar guideway monorel.

2. Penentuan parameter desain Penentuan beban hidup merupakan salah satu parameter yang penting dalam desain. Beban pada struktur guideway monorel berkaitan dengan fungsi struktur tersebut. Dalam hal ini, beban yang diperhitungkan adalah beban monorail pada lintasan lurus. Besarnya beban gempa juga harus diperhitungkan agar desain yang dilakukan dapat menahan base shear yang terjadi. Selain beban, penentuan besar bukaan pada daerah join antara bawah pilar dan muka fondasi serta gaya jacking 2. Penentuan parameter desain Penentuan beban hidup merupakan salah satu parameter yang penting dalam desain. Beban pada struktur guideway monorel berkaitan dengan fungsi struktur tersebut. Dalam hal ini, beban yang diperhitungkan adalah beban monorail pada lintasan lurus. Besarnya beban gempa juga harus diperhitungkan agar desain yang dilakukan dapat menahan base shear yang terjadi. Selain beban, penentuan besar bukaan pada daerah join antara bawah pilar dan muka fondasi serta gaya jacking

3. Kajian literatur terkait topik tugas akhir Literatur yang digunakan dalam pengerjaan tugas akhir ini berkaitan dengan desain dan analisis pilar pracetak dengan sistem hybrid. Perilaku pilar pracetak menyerupai dinding geser (shearwall) sehingga terdapat beberapa literatur dinding geser dengan tendon tanpa lekatan yang digunakan sebagai referensi.

4. Perencanaan dan pemodelan struktur Pemodelan struktur guideway monorel menggunakan program MIDAS/Civil 2011. Struktur guideway monorel dimodelkan berbentuk portal lintasan lurus lima bentang dengan panjang per bentang sebesar 20 meter. Dalam pemodelan ini, beban yang diperhitungkan adalah beban gempa dan beban monorel. Beban monorail pada lintasan lurus meliputi berat monorail saat terisi penuh, faktor kejut, beban rem, beban angin, dan lain-lain.

5. Analisis kinerja struktur Struktur jembatan guideway monorel yang sudah didesain dengan beban-beban

rencana, akan dianalisis dengan pushover sehingga dapat diketahui kinerjanya. Bila terjadi beban ultimate, diharapkan struktur jembatan guideway monorel berada pada kinerja immediate occupancy (IO) atau Life Safety (LS). Selain analisis non- linier statik, dilakukan juga analisis non-linier dinamik menggunakan analisis non- linier time-history (NLTHA). NLTHA diharapkan dapat memberikan hasil analisis tambahan yang menjadi keterbatasan pada analisis pushover, seperti perilaku sistem struktur pada saat terjadi beban bolak-balik. Hasil yang didapat dari NLTHA dapat menghasilkan perilaku sistem hybrid yang terjadi pada struktur jembatan guideway monorel sehingga efek self-centering dapat terlihat.

6. Kesimpulan Ringkasan hasil akhir dari analisis pushover dan NLTHA dapat menjawab tujuan-

tujuan yang sudah didefinisikan disebelumnya.

Pemilihan Perencanaan

dan

Analisis

Topik Kinerja Pemodelan

Struktur

Struktur

Penentuan Parameter

Kajian Literatur

Kesimpulan

Desain

Gambar I. 3 Diagram alir metodologi penulisan tugas akhir

I.6 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada proposal tugas akhir ini adalah, sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Menguraikan latar belakang, tujuan yang ingin dicapai, rumusan masalah, ruang

lingkup, metodologi pembahasan, dan sistematika penulisan proposal tugas akhir.

BAB II KAJIAN LITERATUR Menjelaskan perkembangan keilmuan mengenai topik yang diangkat, terutama

berkaitan dengan perencanaan dan analisis pilar jembatan sistem hybrid, meliputi konsep, kriteria, dan perilaku terhadap beban gempa. Selain itu, terdapat juga penjelasan singkat mengenai parameter-parameter yang diperhatikan dalam menganalisis sistem struktur.

BAB III METODOLOGI PENULISAN Memaparkan tahap-tahap prosedur studi yang dilakukan selama tugas akhir ini. Selain

tahapan, terdapat juga penjelasan dari tahapan dan proses yang dilakukan serta parameter yang didapatkan pada tahap tersebut. Pada bab ini juga di bahas metode analisis yang digunakan pada tugas akhir ini.

BAB IV PEMODELAN STRUKTUR Memaparkan perencanaan dan pemodelan struktur jembatan guideway monorel,

termasuk pembebanan dan hal-hal yang perlu diperhatikan selama pemodelan dilakukan. Pada bab ini juga dipaparkan pemodelan dari sendi plastis kedua sistem yang digunakan sebagai input dalam program MIDAS CIVIL 2011. Selain itu, terdapat juga berbagai peraturan yang digunakan sebagai acuan desain dan pemodelan.

BAB V HASIL PERHITUNGAN Memaparkan hasil perhitungan dari pemodelan struktur jembatan guideway monorel

dan model sendi plastis. Hasil perhitungan dari pemodelan struktur jembatan guideway monorel adalah periode, modal participation masses, defleksi guideway beam, tegangan beton pada guideway beam, detailing, dan pengecekan efek P- ∆. Sedangkan, hasil perhitungan dari model sendi plastis adalah tegangan dan regangan material dan properti sendi plastis.

BAB VI ANALISIS DAN PEMBAHASAN Menguraikan hasil analisis dan pembahasan dari dua macam analisis yang dilakukan.

Analisis yang pertama adalah analisis statik non-linier (pushover) dan yang kedua adalah analisis dinamik non-linier (Non-Linier Time History atau NLTHA). Fokus pembahasan pada analisis pushover adalah daktilitas, kapasitas drift, overstrength, level kinerja struktur dan lain-lain. Sedangkan untuk NLTHA, fokus pembahasan adalah perilaku struktur yang dihasilkan dari model histeretik yang di-input ke dalam program MIDAS CIVIL 2011. Pada NLTHA juga dibahas mengenai perbandingan level kinerja struktur dan sifat self-centering dari sistem hybrid.

BAB VII PENUTUP Memaparkan simpulan dan saran dari pengerjaan tugas akhir sesuai dengan tujuan yang

telah diharapkan.

BAB II KAJIAN LITERATUR

II.1. Perkembangan Keilmuan Pilar Jembatan Terhadap Beban Gempa

Pilar jembatan merupakan bagian dari struktur bawah jembatan (substructure). Fungsinya adalah memikul seluruh beban struktur atas dan beban lain yang ditimbulkan oleh tekanan tanah, aliran air dan hanyutan, tumbukan, gesekan pada tumpuan, dan lain-lain. Selanjutnya, beban dari struktur bawah jembatan akan disalurkan ke fondasi lalu ke tanah dasar. Bagian-bagian pilar jembatan adalah kepala pilar (pier-head), pilar (pier), konsol pendek untuk jacking (corbel), dan tumpuan (bearing). Bentuk pilar jembatan dapat berupa dinding, pilar, atau portal.

Seiring dengan kebutuhan proses konstruksi yang singkat, sistem konstruksi jembatan banyak dikembangkan. Berbagai percobaan eksperimental dan studi analitikal dilakukan untuk menyempurnakan sistem pilar jembatan pracetak. Alasannya, sistem pracetak menjadi terobosan masa depan yang dapat mengatasi masalah konstruksi. Berikut adalah contoh jembatan yang menggunakan pilar pracetak.

Gambar II. 1 Jalan Layang Louetta, Houston, Texas dengan sistem post-tensioned

Hewes dan Priestly (2001) melakukan percobaan eksperimental dengan empat buah beton pracetak skala besar untuk pilar jembatan. Tendon post-tensioned tanpa lekatan diangkur dari fondasi pilar jembatan sampai sambungan cap-beam pada kepala pilar. Model eksperimental ini dibebani dengan beban seismik. Hasilnya tidak terjadi slip antara segmen pracetak dan regangan sisa yang minimum.

Mandawe et al. (2002) melakukan percobaan untuk mengetahui perilaku siklik pada enam buah pilar dengan sambungan cap-beam yang tidak terdapat tendon post- tensioned . Sambungan tersebut dipasang tulangan baja dilapisi epoksi yang di-grout ke dalam duct. Penelitian ini menghasilkan bahwa sambungan tulangan baja dapat digunakan untuk pilar jembatan pracetak pada daerah rawan gempa. Akan tetapi, kerusakan akibat tarik yang berat pada daerah sendi plastis.

Sakai dan Mahin (2004) serta Kwan dan Billington (2003) melakukan studi analitikal pilar jembatan pracetak dengan berbagai proporsi tulangan baja dan tendon prategang tanpa lekatan. Hasilnya, bila proporsi tendon prategang bertambah, maka disipasi energi dan regangan sisa akan berkurang.

Billington dan Yoon (2004) mengusulkan untuk menggunakan material ductile fiber-reinforced cement-based composite (DRFCC) untuk pilar jembatan pracetak pada daerah join dimana plastifikasi atau perilaku inelastik terjadi. Berdasarkan eksperimental, DRFCC dapat menghasilkan tambahan energi disipasi, tetapi meningkatkan regangan sisa.

II.1.1. Perilaku Pilar Jembatan Monolit dan Pracetak Terhadap Beban Lateral

Pada perkembangan awal, pilar jembatan didesain monolit dengan tulangan baja sebagai perkuatan utama. Dampaknya, pemilihan lokasi terjadinya perilaku inelastik sangat penting. Umumnya, lokasi terjadinya perilaku inelastik pada pilar jembatan akan terbentuk sendi plastis. Tulangan baja leleh dan regangan plastis beton bekerja bersama-sama menghasilkan disipasi energi gempa. Deformasi material tersebut yang menyebabkan rotasi dan perpindahan di pilar bagian atas.

Gambar II. 2 Ilustrasi perilaku sambungan dengan tulangan baja (Heiber et al., 2005)

Gambar II. 3 Perilaku histeretik untuk sistem monolit tulangan baja (Guerra et al.)

Berbeda untuk pilar jembatan pracetak (precast), deformasi pada pilar tidak hanya disebabkan deformasi plastis pada daerah join di dasar pilar. Akan tetapi, deformasi disebabkan oleh rotasi keseluruhan segmen pilar terhadap dasarnya. Perilaku pada pilar pracetak menyerupai fondasi goyang (rocking foundation), yaitu fondasi akan terangkat dari tanah ketika momen tahanan dari gravitasi sudah terlampaui oleh beban. Prinsipnya, beban vertikal (berat sendiri pilar dan beban lain di atas pilar jembatan) yang terjadi pada pilar jembatan akan menghasilkan momen tahanan terhadap beban lateral sehingga mencegah pilar jembatan guling. Akan tetapi pada kenyataannya, beban vertikal tidak dapat menghasilkan momen tahanan yang cukup untuk menahan beban lateral yang dihasilkan oleh gempa, maka tendon prategang adalah salah satu solusinya. Gaya tekan yang dihasilkan dari tendon prategang akan Berbeda untuk pilar jembatan pracetak (precast), deformasi pada pilar tidak hanya disebabkan deformasi plastis pada daerah join di dasar pilar. Akan tetapi, deformasi disebabkan oleh rotasi keseluruhan segmen pilar terhadap dasarnya. Perilaku pada pilar pracetak menyerupai fondasi goyang (rocking foundation), yaitu fondasi akan terangkat dari tanah ketika momen tahanan dari gravitasi sudah terlampaui oleh beban. Prinsipnya, beban vertikal (berat sendiri pilar dan beban lain di atas pilar jembatan) yang terjadi pada pilar jembatan akan menghasilkan momen tahanan terhadap beban lateral sehingga mencegah pilar jembatan guling. Akan tetapi pada kenyataannya, beban vertikal tidak dapat menghasilkan momen tahanan yang cukup untuk menahan beban lateral yang dihasilkan oleh gempa, maka tendon prategang adalah salah satu solusinya. Gaya tekan yang dihasilkan dari tendon prategang akan

Gambar II. 4 Perilaku pilar jembatan pracetak terhadap beban lateral (Hewes and Priestly, 2002)

Ide dari penggunaan pilar jembatan sistem hybrid pada pilar pracetak dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar II. 5 Konsep sistem hybrid (Guerra et al.)

Sistem hybrid diharapkan dapat menjadi solusi atas berbagai kendala-kendala dalam penerapan pilar pracetak di daerah seismik. Berikut adalah perilaku dari pilar pracetak sistem hybrid.

Gambar II. 6 Perilaku histeretik sistem hybrid (Guerra et al.)

Selain itu, terdapat juga mekanisme yang dihindari dalam pendesainan pilar pracetak sistem hybrid pada saat terjadi beban seismik, sebagai berikut.

Gambar II. 7 Mekanisme yang dihindari dalam pendesainan sistem hybrid

II.1.2. Contoh Desain Pilar Jembatan Sistem Hybrid

Hieber et al. (2005) mengusulkan desain antara pilar jembatan pracetak dan cap- beam dengan sistem hybrid. Tendon prategang dan tulangan baja diangkur dari fondasi pilar sampai kepala pilar dan berada di tengah sumbu netral pilar. Sistem ini juga dapat diaplikasikan pada fondasi yang dicor ditempat. Berikut adalah sketsa desainnya.

Gambar II. 8 Contoh desain tampak pilar jembatan sistem hybrid (Hieber et al., 2005)

Pilar Jembatan pracetak didesain dapat bergoyang saat terjadi gempa. Rotasi pilar akibat perpindahan lateral relatif antara cap-beam dan fondasi yang mengakomodasi terbentuknya bukaan pada muka atas dan bawah pilar. Selama beban gempa terjadi, disipasi energi terjadi akibat perilaku histeretik dari tulangan baja. Tendon prategang tanpa lekatan didesain tidak mengalami kelelehan selama gempa terjadi. Tendon prategang tanpa lekatan tidak mengalami kelelehan dikarenakan kenaikan regangan, selama pilar bergoyang, didistribusikan keseluruh panjang tendon. Oleh karena tetap elastik, tendon prategang tidak menghasilkan disipasi energi, tetapi menghasilkan sifat self-centering . Sifat ini yang menyebabkan sistem hybrid memiliki regangan sisa yang kecil setelah gempa terjadi.

Tulangan baja perlu diberikan panjang penyaluran agar tidak patah akibat regangan yang besar pada bukaan daerah join. Berikut merupakan ilustrasi sambungan pada daerah join bawah pilar. Satu hal yang tidak kalah penting adalah proteksi tendon prategang terhadap korosi. Korosi dapat menyebabkan kehilangan gaya prategang sehingga menyebabkan kehilangan sifat self-centering. Akibatnya, regangan yang lebih besar akan terjadi pada tulangan baja.

Gambar II. 9 Ilustrasi perilaku sambungan dengan tulangan baja dan tendon prategang tanpa lekatan

(Heiber et al., 2005)

Berikut contoh metode konstruksi untuk pilar jembatan sistem hybrid:

1). Buat fondasi bor dengan sistem cor

3). Sambungkan pilar jembatan ditempat dengan metode konvensional

2). Posisikan pilar jembatan pracetak

dan sambungkan ke fondasi

dan kepala pilar

4). Tempatkan girder diatas

6). Buat dek jembatan diatas kepala pilar

5). Cor diafragma jembatan (sisakan

bagian atas diafragma) dan jacking tendon

girder

7). Cor sisa diafragma jembatan

8). Lakukan Finishing jembatan

Gambar II. 10 Metode konstruksi pilar jembatan dengan tendon tanpa lekatan post-tensioned

II.2. Konsep Desain Pilar Jembatan Sistem Hybrid

II.2.1. Konsep Desain Jembatan Seismik Berbasis Kinerja (PBSD)

Dalam pendesainan jembatan di daerah seismik, AASHTO membagi dua buah metode desain yaitu desain berbasis kekuatan (force-based method) dan berbasis perpindahan (displacement-based method). Desain berbasisi kekuatan (AASHTO LRFD) merupakan suatu metode desain gempa yang didasarkan pada gaya yang dikenakan pada struktur. Desain berbasis perpindahan (AASHTO SGS) merupakan suatu metode perencanaan gempa untuk menentukan kekuatan sendi plastis yang dibutuhkan dalam memenuhi syarat batas kinerja dengan mengetahui batas regangan dan pergeseran horizontal (Ellys Lim, 2012).

Filosofi desain metode berbasis kekuatan adalah desain elastik yang membutuhkan informasi mengenai kinerja struktur dan gaya dalam yang terjadi pada struktur saat gempa. Kekuatan desain didapatkan dari gaya dalam akibat gempa yang direduksi dengan faktor R ditambah dengan gaya dalam akibat beban non-seismik. Pada umumnya, kekuatan desain didapatkan pada lokasi terjadinya sendi plastis. AASHTO LRFD membagi tiga klasifikasi operasional untuk jembatan, yaitu critical, essential , dan other.

Pada kondisi essential, jembatan harus dapat melayani kendaraan darurat (polisi, pemadam kebakaran, dan lain-lain) walaupun terkena beban gempa ulang 1000 tahun. Pada kondisi critical, jembatan harus dapat melayani seluruh kendaraan walaupun terkena beban gempa ulang 2500 tahun. Sedangkan, untuk kondisi other, tidak diatur lebih lanjut.

Kesulitan pada metode berbasis kekuatan adalah satu nilai R tidak dapat mencerminkan kinerja daktilitas dari konfigurasi struktur tertentu. Contohnya, konfigurasi dengan dua buah pilar tulangan baja yang berbeda tingginya akan memiliki daktilitas yang berbeda. Pilar yang lebih panjang akan memiliki daktilitas yang lebih rendah. Pada kasus ini, lebih relevan untuk menggunakan metode desain berbasis perpindahan.

Metode desain berbasis perpindahan berfokus pada pengecekan kapasitas deformasi sistem dibandingkan pemilihan kekuatan leleh atau elemen pendisipasi energi. Pendesainan metode ini dilakukan trial and error dengan mengasumsikan nilai kapasitas deformasi yang ingin dicapai dan pada akhirnya akan dicek apakah struktur yang didesain mencapai kapasitas deformasi yang diasumsikan pada awal desain. Seluruh parameter desain, seperti sengkang, sudah diperhitungkan pada asumsi nilai kapasitas deformasi. Metode desain ini dapat dilakukan dengan mencari hubungan dari kurvatur elemen, kemudian rotasi elemen, dan terkahir dengan perpindahan elemen dan sistem .

Gambar II. 11 Ilustrasi tiga buah komponen penting pada metode berbasis perpindahan (NCHRP 440,

Kriteria penggolongan kinerja metode berbasis perpindahan mengacu pada CALTRANS, 2010b.

Tabel II. 1 Kriteria penggolongan kategori jembatan terhadap level kinerja jembatan

Kriteria Kinerja Seismik Berdasarkan CALTRANS (CALTRANS, 2010b) Oleh karena berbagai perbedaan antara metode desain berbasis kekuatan dan perpindahan, desain berbasis perpindahan lebih cocok diterapkan dengan metode desain berbasis kinerja untuk penyempurnaan desain. Hal ini dikarenakan pada Kriteria Kinerja Seismik Berdasarkan CALTRANS (CALTRANS, 2010b) Oleh karena berbagai perbedaan antara metode desain berbasis kekuatan dan perpindahan, desain berbasis perpindahan lebih cocok diterapkan dengan metode desain berbasis kinerja untuk penyempurnaan desain. Hal ini dikarenakan pada

Konsep desain berbasis kinerja (PBSD) adalah suatu proses yang berhubungan dengan pengambilan keputusan desain infrastruktur secara rasional dan ilmiah dengan mempertimbangkan beban seismik, perilaku, dan kerusakan potensial infrastruktur (Krawinkler dan Miranda, 2004 ; Moehle dan Deierlein, 2004). Dengan PBSD, dapat diketahui tingkat keamanan infrastruktur, kerugian ekonomi dan kerusakan infrastruktur setelah gempa terjadi.

Gambar II. 12 Kurva perpindahan terhadap base shear didapatkan dari analisis pushover (Moehle dan

Deierlein, 2004)

Berdasarkan kurva diatas, didapatkan informasi, sebagai berikut :  Ilustrasi kerusakan jembatan yang tergambar diatas kurva  Level kinerja jembatan : Fully Operational, Operational, Life Safety, dan Collapse

 Biaya perbaikan kerusakan terhadap biaya penggantian jembatan baru  Potensi gangguan keselamatan jiwa pada berbagai level kinerja jembatan  Estimasi waktu jembatan tidak dapat digunakan.

Secara singkat, PBSD dibagi menjadi empat tahap desain sederhana berdasarkan Pacific Earthquake Engineering Research Center (PEER), sebagai berikut :

1. Analisis bahaya seismik dengan memperkirakan beban seismik yang akan terjadi pada daerah akan dibangun jembatan berdasarkan pengukuran intensitas (IM).

Contohnya adalah spektra percepatan (S A )

2. Analisis struktur berdasarkan dengan perilaku struktur terhadap beban seismik yang terkait kebutuhan parameter rekayasawan (EDPs), seperti regangan, rotasi, perpindahan, drift, atau gaya dalam

3. Analisis kerusakan berdasarkan perilaku struktur terhadap pengukuran kerusakan (DMs) yang menggambarkan kondisi struktur, seperti level kinerja : Fully Operational, Operational, Life Safety, dan Collapse

4. Analisis kerugian berdasarkan kerusakan infrastruktur terhadap beberapa tipe variable keputusan (DV), seperti biaya perbaikan, tingkat gangguan keselamatan jiwa, maupun lamanya jembatan tidak dapat digunakan.

Gambar II. 13 Diagram alir PBSD

Lebih rinci, PBSD juga memiliki level kinerja jembatan (PLs) yang harus dipenuhi berdasarkan kemungkinan bahaya gempa yang akan dialami jembatan dan umur jembatan yang diinginkan (ASL). Kemungkinan bahaya gempa dibagi menjadi dua, yaitu gempa dengan periode ulang 100 tahun dan 1000 tahun.

Tabel II. 2 Minimum level kinerja untuk jembatan (FHWA, 2006)

Umur jembatan dibagi menjadi tiga kategori, yaitu :  ASL 1 : 0-15 tahun  ASL 2 : 16-50 tahun

 ASL 3 : >50 tahun Level kinerja jembatan dibagi menjadi empat kategori, yaitu :

 PL0 : No minimum, yaitu tidak ada minimum level kinerja jembatan yang diatur  PL1 : Life safety, yaitu terdapat kerusakan utama pada jembatan, operasional

jembatan terganggu, tetapi keselamatan jiwa terjamin. Terdapat kemungkinan jembatan harus diganti sesudah terjadi gempa rencana.

 PL2 : Operational, yaitu kerusakan pada jembatan minimum dan kendaraan darurat dapat melintasi jembatan setelah inspeksi dan pembersihan puing. Jembatan dapat diperbaiki dengan atau tanpa rekayasa lalu lintas.

 PL3 : Fully operational, yaitu tidak terdapat kerusakan pada jembatan dan seluruh kendaraan yang direncanakan dapat melintasi jembatan setelah inspeksi dan pembersihan puing. Jembatan dapat diperbaiki tanpa mengganggu lalu lintas.

Dalam melakukan desain terhadap level kinerja yang diinginkan, dapat melihat dengan beberapa hubungan. Salah satunya hubungan deformasi terhadap base shear

Gambar II. 14 Hubungan level kinerja dengan kurva deformasi terhadap base shear (FEMA-356)

Keterangan :  Immediate Occupancy (IO) : terdapat deformasi permanen, kerusakan yang dapat

dilihat dengan kasat mata, tetapi deformasi tidak lebih besar dari 0,67 deformasi maksimum life safety.

 Life Safety (LS) : deformasi maksimum adalah 0,75 deformasi point C.  Collapse Prevention (CP) : deformasi yang lebih besar dari deformasi point C,

tetapi tidak lebih besar dari 0,75 deformasi point E. Hubungan lainnya, level kinerja jembatan dapat diketahui dengan melihat batas-batas parameter yang terdapat pada jembatan.

Berikut adalah kriteria kerusakan berdasarkan parameter jembatan untuk mengetahui level kinerja jembatan.

Tabel II. 3 Parameter level kinerja atau desain jembatan SRPH-1 (Hose dan Seible 1999)

Tabel II. 4 Perkiraan hubungan kerusakan dan kinerja jembatan

II.2.2. Berbagai Tipe Analisis Struktur

Dalam melakukan desain menggunakan PBSD, sangat penting untuk menganalisis perilaku struktur terhadap gempa secara akurat. Pada umumnya, analisis struktur dibagi menjadi empat, sebagai berikut.

Tabel II. 5 Tipe analisis struktur

Analisis Statik Linear

Prinsip analisis ini adalah menggunakan beban ekivalen statik yang merepresentasikan distribusi gaya akibat gempa pada struktur. Analisis ini cocok digunakan untuk struktur yang sederhana dan didominasi oleh mode pertamanya. Analisis ini memprediksi perilaku elastik linear dan perilaku inelastiknya harus dianalisis terpisah. Contoh metode ini adalah dalam mendesain kinerja struktur, diperbolehkan menggunakan faktor R yang sesuai dengan kategori keutamaan jembatan untuk mereduksi kekuatan desain sehingga terjadi deformasi plastis. Analisis ini diadopsi pada metode desain berbasis kekuatan (AASHTO LRFD), hanya saja tidak cocok untuk digunakan pada PBSD.

Analisis Dinamik Linear

Prinsip analisis ini adalah penggunaan analisis respons spektra (RSA) untuk mengetahui besarnya perilaku (seperti perpindahan, momen, dan geser) berdasarkan faktor partisipasi, perilaku, dan redaman tiap mode. Pada umumnya, modal partisipasi massa pada mode satu dan dua adalah dominan (paling sedikit ±90%). Walaupun analisis ini dapat memprediksi perilaku elastik dinamik untuk struktur sederhana dan kompleks, analisis ini memiliki keterbatasan untuk memprediksi perpindahan inelastik, deformasi plastis, maupun gaya dalam ketika terjadi kelelehan dalam sistem struktur.

Analisis ini cocok untuk PBSD apabila struktur sengaja didesain elastik selama gempa terjadi. Analisis ini diadopsi pada metode desain berbasis perpindahan (AASHTO SGS).

Analisis Statik Non-Linear

Analisis ini biasanya dikenal dengan nama analisis pushover. Analisis Pushover menghasilkan kurva kapasitas yang dapat diolah untuk mengetahui kapasitas gaya dan deformasi non-linear dari struktur. Perilaku struktur juga dapat diamati dari kurva kapasitas, seperti daktilitas, koefisien modifikasi, dan over-strength. Terdapat dua tipe pushover , yaitu kontrol gaya dan kontrol perpindahan. Pada dasarnya, gaya atau perpindahan akan bertambah secara terus-menerus (monoton) sampai batas yang ingin diamati selama analisis ini. Besarnya gaya atau perpindahan yang diberikan hingga membuat struktur gagal. Selain kapasitas, analisis pushover dapat menghasilkan kinerja struktur bila terjadi gempa. Kurva kapasitas yang didapatkan diplot secara ADRS (acceleration displacement response spectra) dan dibandingkan dengan respons spektra gempa yang terjadi pada struktur. Titik perpotongan kedua kurva adalah performance point . Evaluasi kinerja dan desain struktur dapat diketahui dari hasil performance point .

Gambar II. 15 Skema penentuan performance point untuk prosedur A (ATC-40)

Gambar II. 16 Diagram alir analisis statik non-linear (FEMA 440)

Analisis statik non-linear dibagi menjadi dua, yaitu satu derajat kebebasan (SDOF) dan banyak derajat kebebasan (MDOF). Pada SDOF, terdapat dua metode, yaitu metode Analisis statik non-linear dibagi menjadi dua, yaitu satu derajat kebebasan (SDOF) dan banyak derajat kebebasan (MDOF). Pada SDOF, terdapat dua metode, yaitu metode

Analisis Dinamik Non-Linear

Analisis ini dinamakan non linier time-history, merupakan tambahan dari analisis linear responsse history dengan material dan perilaku geometri non-linear. Untuk melakukan analisis dengan hasil yang optimal, diperlukan beberapa data ground motion . Setiap ground motion mengandung komponen goyang dua arah horizontal dan komponen goyang arah vertikal. Kesulitan dalam analisis ini adalah pemilihan dan kalibrasi skala dalam memasukan gound motion (NEHRP, 2011), kalibrasi dan validasi perilaku histeretik elemen, perilaku redaman elastik (Charney, 2008), dan permasalahan komputasi (waktu proses). Pada analisis ini juga terdapat metode simplifikasi yang disebut respons spektra daktilitas konstan atau inelastik. Metode ini merupakan tambahan dari respons spektra elastik.

II.2.3. Pembebanan Monorel

Pembebanan monorel yang digunakan tugas besar ini mengacu pada ACI 343.1R-12 dan SNI 2833-2013. Beban-beban dan kombinasinya yang didefinisikan adalah, sebagai berikut :

Beban Tetap (Sustained Loads)

Beban tetap yang ditetapkan pada ACI 343.1R-12, sebagai berikut :  Beban mati, seperti berat elemen prefabrikasi, berat elemen yang dicor ditempat,

berat lintasan dan perlengkapannya (lintasan monorel, dinding penahan, panel peredam suara, dan lain-lain)

 Beban tetap lainnya, seperti beban akibat perbedaan settlement (SE), tekanan tanah (EH), efek dari gaya prategang (PS), atau kekangan struktur eksternal (ER). Selain

itu, dapat diperhitungkan juga gaya akibat buoyancy (B).

Beban Sementara (Transient Loads)

 Beban hidup dan turunannya  Beban vertikal dari monorel (LL)

Beban ini diambil sesuai dengan jenis monorel yang beroperasi diatas jembatan.

 Faktor kejut (IM) Merupakan beban dinamik minimum yang diperhitungkan. Beberapa parameter

yang harus diperhitungkan, sebagai berikut. 𝑘𝑒𝑐𝑒𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑚𝑜𝑛𝑜𝑟𝑒𝑙 (𝑚 𝑠 ⁄)

l = panjang bentang, dari as ke as perletakkan, (m) M

= masa per unit panjang dari guideway, termasuk seluruh beban mati yang dipikul dan berat sendiri guideway, (kg/m) Ec = modulus elastisitas dari guideway, (Pa)

g = momen inersia dari guideway, (m ) VCF = frekuensi monorel (Vehicle Crossing Frequency), Hz

Tabel II. 6 Beban dinamik minimum (ACI 343.1R-12)

 Beban Rem (LFe dan LFn) Beban rem bekerja bersama-sama dengan LL pada semua roda dan dapat

diberikan ke depan bila terjadi pengereman atau perlambatan dan ke belakang bila terjadi percepatan.

Tabel II. 7 Beban rem (LF) (ACI 343.1R-12)

 Beban Hunting atau Nosing (HF) Monorel yang terdiri dari beberapa gerbong memiliki pergerakan yang tidak selalu menetap pada rel seperti pergerakan ular. Akibatnya, interaksi lateral antara monorel dan balok guideway menimbulkan beban hunting. Beban ini diberikan dengan arah lateral pada titik kontak antara roda-roda monorel dan guideway.

Tabel II. 8 Beban hunting (HF) (ACI 343.1R-12)

Bila beban sentrifugal dan hunting bekerja bersama-sama, maka diambil beban yang nilainya lebih besar saja. Bila jenis roda monorel yang digunakan berbahan karet, maka nilai friksi tidak perlu diperhitungkan.

 Beban angin (WL) Perencanaan beban angin untuk daerah Jakarta dan sekitarnya diambil sebesar 90

km/jam kecuali diberikan secara khusus. Berdasarkan ACI 343.1R-12, beban angin yang diberikan pada pemodelan adalah, sebagai berikut:

a. 2 Pada struktur guideway, beban angin adalah 0,4 kN/m diberikan pada sumbu netral dari struktur guideway.

b. 2 Pada monorel, beban angin adalah 0,4 kN/m diberikan pada sumbu netral dari monorel atau 1,822 m diatas struktur guideway.

 Efek Temperatur Pengaruh temperature akan mempengaruhi perubahan volume dan pergerakan pada guideway yang menyebabkan adanya beban tambahan sehingga untuk pemodelan struktur yang akan mengalami kekangan harus dikaji lebih teliti. Terdapat dua bagian yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut:

a. Kisaran Temperatur Untuk Jakarta dan sekitarnya, perbedaan temperature untuk periode ulang 75

tahun berkisar antara 23 o C sampai dengan 37 C atau dapat juga diambil ±7 C dari rata-rata temperatur 30 o C.

b. Koefisien Perbesaran Termal

Koefisien untuk setiap perubahan suhu 1

C diambil sebesar 12 × 10 ⁄ °𝐶 untuk baja dan beton.

 Rangkak Beton (CR) Rangkak merupakan fungsi kelembaban relatif, rasio volume-luas permukaan, dan lamanya pembebanan. Rangkak juga dipengaruhi oleh jumlah tulangan, besarnya gaya prategang, umur beton ketika pembebanan dimulai, dan spesifikasi beton.

Besarnya rangkak pada r-hari pembebanan dapat dihitung dengan rumus, sebagai berikut:

Dengan 𝜀 𝑖 merupakan tegangan elastik awal sedangkan 𝑘 𝑟 ,𝑘 𝑣 , dan 𝑘 𝑡 merupakan faktor koreksi terhadap kelembaban, rasio volume-luas, dan waktu yang nilainya dihitung sebagai berikut:

r v = rasio volume − luas permukaan t = waktu setelah pembebanan bekerja atau gaya prategang (hari)

H = kelembaban relatif (85%)  Susut Beton (SH)

Susut merupakan perubahan volume yang dialami beton sehingga volume beton mengecil akibat beton kehilangan kandungan air selama masa pengerasan (efek hidrasi beton). Besar susut dapat diperhitungkan dengan rumus, sebagai berikut:

Dengan 𝜀 𝑠ℎ𝑢 merupakan tegangan susut ultimate sedangkan 𝑘 𝑣 dan 𝑘 𝑡 merupakan faktor koreksi terhadap rasio volume-luas dan waktu yang nilainya dihitung sebagai berikut:

Untuk 0≤𝑟 𝑣 ≤ 300 𝑚𝑚 → 𝑘 𝑣 = [1 −

Untuk 𝑟 𝑣 > 300 𝑚𝑚 → 𝑘 𝑣 = 0,5

𝑘 𝑡 =1−𝑒 −0,1 √𝑡 𝐾𝑒𝑡𝑒𝑟𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛: r v = rasio volume − luas permukaan t = waktu setelah 𝑐𝑢𝑟𝑖𝑛𝑔 (7 hari)

H = kelembaban relatif (85%)  Beban Seismik Struktur monorel didesain untuk dapat menahan beban gempa dengan kinerja yang memuaskan. Beban seismik dalam pemodelan akan diberikan sesuai dengan SNI 2833-2013 menggunakan respons spektra.

Kombinasi Pembebanan

Kombinasi pembebanan yang digunakan adalah pada kondisi service untuk mendesain guideway beam dan ultimate untuk mendesain pilar jembatan. Kombinasi pembebanan dapat menggunakan sesuai pada peraturan atau ditentukan sesuai dengan pertimbangan dari pendesain. Pada tugas besar ini, kombinasi pembebanan berdasarkan ACI 343.1R-

12. Berikut adalah kombinasi pembebanannya.

Tabel II. 9 Kombinasi pembebanan service (atas) dan ultimate (bawah)

Group DL SDL LL+I PS LFn WS WL CF or T SH+CR Diff EQ

1 1 1 1 1 1 1 S4-1 1

Group DL* SDL LL+I PS LFe WL+ WS CL CF or T SH+C Diff EQ

1.4 1.5 1 1 U3-1

DL = beban mati HF = beban hunting Sdl

= collision force LL+I = beban hidup dan impak

= beban mati tambahan

CL

= beban temperatur PS

= susut pada beton WS = beban angin pada struktur

= efek gaya prategang

SH

= rangkak pada beton WL = beban angin pada monorel

CR

Diff = perbedaan penurunan LFn = beban rem normal

= beban gempa LFe = beban rem darurat *Pada kombinasi U3-1, beban gempa untuk arah x dan y dikombinasikan 1 untuk suatu arah dan 0.3

EQ

untuk arah lainnya, serta dikombinasikan nilai positif dan negatif.