LAPORAN PRAKTIKUM X DAN KARIOTIPE.docx

LAPORAN PRAKTIKUM
GENETIKA

PERCOBAAN VI
KARIOTIPE

NAMA

: FATIMAH KHURNIAWANTY M.

NIM

: H411 16 025

HARI/TANGGAL PERCOBAAN : RABU/22 MARET 2017
KELOMPOK

: II (DUA)

ASISTEN


: IAN IMANUEL FIDHATAMI S.Si

LABORATORIUM GENETIKA
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
Banyak peneliti, bahkan sebelum abad ini untuk menetapkan jumlah
kromosom manusia, tetapi penyelidikan-penyelidikan tersebut terhambat karena
teknik yang belum memadai. Tjio dan Levan pada tahun 1956 memperkenalkan
metode yang memungkinkan mereka menunjukkan dengan sangat jelas bahwa
kromosom diploid manusia adalah 46. Metode yang mereka pakai sekarang
dipergunakan secara luas di semua laboratorium genetika (Agus, dkk., 2013).
Didalam nukleus kebanyakan makhluk terdapat benda-benda halus

berbentuk lurus seperti batang atau bengkok dan terdiri dari zat yang mudah
mengikat warna. Benda-benda itu dinamakan kromosom dan zat yang
menyusunnya disebut kromatin (Suryo, 2011).
Biasanya kita beranggapan bahwa suatu kelas fenotip itu selalu mudah
dibedakan dari kelas fenotip yang lain. Misalnya, bunga suatu tanaman ada yang
merah dan ada yang putih, warna kulit orang ada yang hitam dan ada yang putih,
tubuh orang ada yang tinggi dan ada yang pendek. Akan tetapi bila diperhatikan
dengan baik, dalam kenyataannya kelas fenotip tadi tidak dapat dibedakan
semudah itu. Sebabnya karena seringkali masih dapat diketahui adanya beberapa
variasi di dalam suatu kelas fenotip. Misalnya saja, bunga merah muda. Kulit
hitam pada orang ada yang hitam sekali, hitam biasa, sawo matang. Tubuh orang
ada yang tinggi sekali, tinggi dan sedang (Suryo, 2011).

Dalam mengikuti prinsip-prinsip keturunan, banyak yang beranggapan
bahwa keadaan bahan genetik adalah konstan selama pengamatan. Anggapan ini
menyebabkan mudahnya mengikuti berbagai hukum keturunan tanpa mengingat
adanya kemungkinan terjadinya perubahan selama suatu eksperimen berlangsung.
Akan tetapi sesungguhnya dapat terjadi perubahan pada bahan genetik yang
menyebabkan abnormalitas (Suryo, 2011).
Berdasarkan hal diatas maka dilakukan percobaan ini untuk mengetahui

susunan kromosom manusia dalam bentuk kariotipe dan mengenal serta
memahami kelainan-kelainan yang di jumpai dalam penyusunan kariotipe.
I.2 Tujuan Percobaan
Tujuan percobaan mengenai Kariotipe, yaitu:
1. Menyusun kromosom manusia dalam bentuk kariotipe.
2. Mengenal kelainan-kelainan yang di jumpai pada kariotipe tersebut.
1.3 Waktu dan Tempat Percobaan
Percobaan ini dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 22 Maret 2017 pukul
14.00-17.00 WITA. Bertempat di Laboratorium Genetika, Departemen Biologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Hasanuddin.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Kromosom
II.1.1 Pengertian Kromosom
Kromosom adalah struktur nukleoprotein yang membawa informasi
genetik. Struktur ini terletak di dalam inti sel dan berkumpul membentuk genom.
Pada organisme terdapat dua macam kromosom, yaitu kromosom seks (gonosom)
yang menentukan jenis kelamin dan kromosom tubuh (autosom) yang tidak

menentukan jenis kelamin. Kromosom memiliki dua fungsi utama, yakni untuk
memastikan DNA terpisah dalam porsi yang sama pada setiap pembelahan sel dan
untuk menjaga integritas dan ketepatan replikasi genom pada setiap siklus sel.
Elemen yang bertanggung jawab terhadap proses ini adalah sentromer, telomer,
dan unit replikasi (Saskaprabawanta, 2010).
Kromosom ialah struktur pembawa gen yang mirip benang yang terdapat di
dalam nukleus. Masing-masing kromosom terdiri atas molekul DNA yang sangat
panjang dan protein terkaitnya (Fitriyah, 2010).
Kromosom adalah struktur dalam sel yang mengandung infomasi genetik.
Citra kromosom saat sel dalam fase metafase berguna untuk mendiagnosis
kelainan genetik dan mendeteksi kemungkinan timbulnya kanker. Analisa citra
kromosom dilakukan oleh seorang ahli sitogenetik untuk mendeteksi adanya
kerusakan kromosom baik secara jumlah maupun struktur. Kromosom manusia
normal terdiri dari 22 pasang kromosom autosom dan sepasang kromosom
gonosom, baik XX maupun XY (Ramadhani, dkk, 2011).

II.1.2 Struktur Kromosom
Kromosom dibentuk dari DNA yang berikatan dengan beberapa protein
histon. Dari ikatan ini dihasilkan nukleosom, yang memiliki ukuran panjang
sekitar 10 nm. Kemudian nukleosom akan membentuk lilitan-lilitan yang sangat

banyak yang menjadi penyusun dari kromatid (lengan kromosom), satu lengan
kromosom ini kira-kira memiliki lebar 700 nm. Berikut adalah penjelasan dari
bagian-bagian kromosom (Saskaprabawanta, 2010):
a. Kromatid. Kromatid merupakan bagian lengan kromosom yang terikat satu
sama lainnya, 2 kromatid kembar ini diikat oleh sentromer. Nama jamak dari
kromatid adalah kromonema. Kromonema biasanya terlihat pada pembelahan
sel masa profase dan kadang-kadang interfase.
b. Sentromer. Sentromer merupakan struktur yang sangat penting, di bagian inilah
lengan

kromosom (kromatid)

saling

melekat

satu

sama


lain

pada

masing-masing bagian kutub pembelahan. Bagian dari kromosom yang
melekat pada sentromer dikenal dengan istilah ‘kinetokor’.
c. Lekukan kedua. Lekukan kedua dapat mempunyai peranan, yaitu menjadi
tempat terbentuknya nucleolus dan karena itu disebut juga pengatur nucleolus
(“nucleolar organizer”).
d. Kromomer. Kromomer adalah struktur berbentuk manik-manik yang
merupakan akumulasi dari materi kromatid yang kadang-kadang terlihat pada
pembelahan masa interfase. Pada kromosom yang telah mengalami
pembelahan berkali-kali, biasanya kromomer ini sangat jelas terlihat.
e. Telomer. Telomer adalah bagian berisi DNA pada kromosom, fungsinya untuk
menjaga stabilitas ujung kromosom agar DNA nya tidak terurai.

f. Satelit, ialah bagian yang merupakan tambahan pada ujung kromosom. Tidak
setiap kromosom memiliki satelit. Kromosom yang memiliki satelit dinamakan
satelit kromosom.


Gambar II. 1 Struktur Kromosom
II.1.3 Tipe Kromosom
Berdasarkan letak sentromer dapat dibedakan beberapa bentuk kromosom,
yaitu (Suryo, 2011):
a. Metasenris, apabila sentromer terletak median (kira-kira ditengah
kromosom), sehingga kromosom terbagi menjadi dua lengan sama panjang
dan mempunyai bentuk seperti huruf V.
b. Submetasentris, apabila sentromer terletak submedian (ke arah salah satu
ujung kromosom), sehingga kromosom terbagi menjadi dua lengan tidak
sama panjang dan mempunyai bentuk seperti huruf J.
c. Akrosentris, apabila sentromer terletak subterminal (di dekat ujung
kromosom), sehingga kromosom tidak membengkok melainkan tetap lurus
seperti batang. Satu lengan kromosom sangat pendek, sedangkan lengan
lainnya sangat panjang.

d. Telosentris, apabila sentromer terletak di ujung kromosom, sehingga
kromosom hanya terdiri dari sebuah lengan saja dan berbentuk lurus seperti
batang. Kromosom manusia tidak ada yang telosentris.

Gambar II. 2 Tipe Kromosom


II.1.4 Jumlah Kromosom
Setiap manusia normal mempunyai 46 kromosom (diploid, 23 pasang
kromosom). Dua puluh dua pasang kromosom adalah kromosom autosom yang
mengkode karakteristik manusia secara umum serta sifat-sifat spesifik, misalnya
warna mata, bentuk rambut, dan lain sebagainya dan satu pasang kromosom adalah
kromosom seks, yang terdiri dari dua jenis yangberbeda secara genetis. Laki-laki
secara genetik memiliki satu kromosom X dan satu Y (46,XY), perempuan secara
genetik memiliki dua kromosom X, (46,XX) (Widhiatmoko dan Suyanto, 2013).
Akibat meiosis selama gametosis, semua pasangan kromosom terpisah
sehingga setiap sel anakhanya memiliki satu anggota dari setiap pasangan,
termasuk pasangan kromosom seks. Setiap sperma atau ovum menerima hanya
satu anggota dari tiap-tiap pasangan kromosom. Apabila pasangan kromosom seks
XY berpisah selama pembentukan sperma akan menerima kromosom X dan
separuh lainnya kromosom Y. Sebaliknya, selama oogenesis, setiap ovum

menerima sebuah kromosom X karena pemisahan kromosom XX hanya
menghasilkan kromosom X (Widhiatmoko dan Suyanto, 2013).
II.2 Konsep Penetuan Jenis Kelamin
Jenis kelamin individu ditentukan oleh kombinasi kromosom seks. Saat

pembuahan, kombinasi sperma yang mengandung X dengan ovum yang
mengandung X menghasilkan perempuangenetik, XX, sementara penyatuan
sperma yang membawa kromosom Y dengan ovum pembawa kromosom X
menghasilkan laki-laki genetik, XY. Dengan demikian penentuan jenis kelamin
(sex determination) secara genetik ditentukan pada saat konsepsi dan bergantung
pada jenis kromosom seksapa yang terkandung di dalam sperma yang membuahi
(Widhiatmoko dan Suyanto, 2013).
II.3 Kelainan Kromosom
Kelainan kromosom yang diderita dapat berupa kelainan jumlah atau
kelainan struktur kromosom. Kelainan jumlah dapat berupa hilang atau
bertambahnya satu kromosom. Misalnya monosomi, trisomi, triploidi. Sedangkan
kelainan struktur dapat terjadi dikarenakan delesi, duplikasi, translokasi, inversi,
ring. Selain kelainan struktur dan jumlah, keadaan mosaik juga merupakan salah
satu jenis kelainan kromosom. Kelainan kromosom ini dapat diturunkan dari orang
tua ataupun terjadi secara de novo dan berkontribusi besar terhadap terjadinya
cacat lahir pada bayi (Alresna, 2009).
Kelainan kromosom yang seimbang biasanya tidak memiliki efek terhadap
fenotip sehingga tidak muncul tampilan dismorfik pada seseorang, namun pada
kelainan kromosom autosom yang tidak seimbang dapat menyebabkan kongenital
malformasi (dismorfik) yang multiple, dan kebanyakan berhubungan dengan


retardasi mental. Tampilan dismorfik yang muncul tersebut merupakan kelainan
yang disebabkan karena embriogenesis yang abnormal (Alresna, 2009).
III.3.1 Perubahan Struktur Kromosom
Disebabkan karena kesalahan ketika proses penyatuan yang tejadi pada
crossing over pada meiosis I. Beberapa perubahan struktur kromosom, yaitu
(Alresna, 2009):
1) Translokasi (t): berpindahnya materi kromosom antara kromosom yang satu
dengan lainnya. Pertukaran ini biasanya tidak disertai dengan hilangnya DNA
sehingga disebut balanced translocation, dimana secaraklinis individu tersebut
terlihat normal. Namun pada pembawa kromosom translokasi seimbang akan
memberikan keturunan dengan translokasi tidak seimbang yang sangat
memungkinkan juga disertai hilangnya DNA. Translokasi reciprocal terjadi
akibat kerusakan pada minimal 2 kromosom dengan pertukaran pada masigmasing segmen kromosom untuk membentuk kromosom derivative yang baru,
dan biasanya jumlah kromosom tetap 46. Translokasi robertsonian adalah tipe
khusus dari translokasi reciprocal dimana kerusakan kromosom terjadi pada
atau dekat dengan sentromer dari dua kromosom akrosentrik. Sehingga
kemudian terjadi fusi antara masing-masing lengan panjang kromosom
(centric fusion). Lengan pendek masing-masing kromosom hilang, sehingga
jumlah kromosom berkurang menjadi 45.

2) Delesi (del): hilangnya bagian dari sebuah kromosom dan berakibat
padamosomi untuk segment kromosom tersebut. Delesi dapat terjadi pada 2
level, delesi kromosom yang luas yang dapat dilihat dengan menggunakan
mikroskop. Sedangkan mikro delesi yang bersifat sub mikroskopik dapat
diidentifikasi

dengan

menggunakan

pemeriksaan

flourescent

in

situhybridization (FISH) dan pemeriksaan molekuler antara lain menggunakan
analisis Multiplex Ligation Dependent-Probe Amplification (MLPA).
3) Insersi: terjadi karena segmen dari salah satu kromosom dimasukkan ke dalam
kromosom yang lain.
4) Duplikasi (dup): adanya dua salinan salah satu segmen kromosom pada satu
kromosom.
5) Inversi (inv): terjadi akibat adanya dua patahan pada satu kromosom yang
kemudian patahan tersebut memutar terbalik 180 atau bertukar posisi. Inversi
parasentrik bila patahan ini pada salah satu lengan dan tak termasuk
sentromernya. Inversi perisentrik bila patahan pada salah satu tepi dari
sentromer.
6) Isokromosom (i): terjadinya delesi pada salah satu lengan digantikan oleh
duplikasi dari lengan yang lain, sehingga biasanya lengan panjang atau lengan
pendek menjadi identik.
III.3.2 Perubahan Jumlah Kromosom
Di antara variasi kromosom yang paling mudah diamati ialah biasanya
yang menyangkut jumlah kromosom. Dapat dibedakan 2 tipe, yaitu euploidi ialah
bila variasinya menyangkut seluruh set kromosom dan aneuploidi ialah bila
variasinya menyangkut hanya kromosom-kromosom tunggal didalam suatu set
kromosom.

Berikut

ini

penjelasan

mengenai

euploidi

dan

aneuploidi

(Suryo, 2011):
a. Euploidi
Individu euploid ditandai dengan dimilikinya set kromosom yang lengkap.
Euploidi dibedakan menjadi beberapa variasi, yaitu:

1. Monoploidi, merupakan individu yang memiliki satu genom (n).
monoploidi jarang terdapat pada hewan, kecuali lebah madu jantan karena
secara partenogenesis. Pada tumbuh-tumbuhan sering dijumpai (misalnya
pada ganggang, cendawan, lumut). Pada spesies hewan diploid, individu
monoploid biasanya tumbuh abnormal dan embrionya jarang mencapai
stadium dewasa.
2. Poliploidi, merupakan individu yang memiliki tiga atau lebih banyak set
kromosom yang lengkap. Namun pada manusia yang memilki lengkap
poliploidinya secara keseluruhan tidak ditemukan. Beberapa kasus
diketahui tetapi selalu mengalami keguguran spontan atau lahir-mati. Ada
yang pernah dijumpai tetapi hanya hidup beberapa jam saja.
b. Aneuploidi
Individu aneuploidi memilki kekurangan atau kelebihan kromosom
dibandingkan dengan jumlah kromosom diploid dari individu itu.
aneuploidi terjadi karena adanya nondisjunction pada waktu pembentukan
gamet-gamet. Aneuploidi terdiri atas:
a. Monosomi terjadi karena individu kekurangan sebuah kromosom X jika
dituliskan formulanya 2n-1. Monosomi terdapat pada sindrom Turner
dimana penderita kekurangan sebuah kromosom sehingga penderita
memiliki formula kromosom 45, X.
b. Trisomi terjadi karena individu tersebut mempunyai kelebihan sebuah
kromosom jika dibandingkan dengan individu disomi /diploid (2n+1).
Individu ini akan membentuk 2 macam gamet, yaitu gamet n dan
gament n+1. Dalam trisomi terbagi menjadi trisomi untuk kromosom
kelaminyaitu, sindrom Klinefelter dengan rumus formula 47, XXY,

sindrom Triple-X (47,XXX), dan pria XYY. Sedangkan trisomi untuk
kromosom tubuh yaitu, sindrom Down (47,XY,+21).
II.4 Kariotipe
II.4.1 Pengertian Kariotipe
Kariotipe ialah metode atau cara untuk pengorganisasian kromosom suatu
sel dalam kaitanya dengan jumlah, ukuran dan jenis. Kariotipe bermanfaat untuk
mengidentifikasi abnormalitas tertentu dari kromosom. Teknisi medis biasanya
mempersiapkan kariotipe dengan menggunakan komponen darah berupa Leukosit
(sel darahputih) (Fitriyah, 2010).
II.4.2 Cara Pembuatan Kariotipe
Penemuan penting dan sangat populer saat ini ialah dengan pembuatan
kultur jaringan. Mula-mula diambil 5 cc darah vena. Sel-sel darah dipisahkan,
kemudian

dibubuhkan

pada

medium

kultur

yang

mengandung

zat

phytohaemagglutinin (PHA). Zat ini didapat dari ekstrak biji kacang merah
Pheseolus vulgaris dan mempunyai fungsi sangat penting, yaitu (a) menyebabkan
sel-sel darah merah menggumpal sehingga mudah memisahkannya dari sel-sel
darah putih; (b) memacu sel-sel darah putih untuk membelah. Kemudian sel-sel
lekosit dipelihara dalam keadaan steril pada temperature 37C untuk kira-kira 3
hari. Dalam waktu ini sel-sel membelah dan dibubuhkan zat kolkhisin sedikit.
Kolkhisin adalah suatu alkaloida yang didapatkan dari umbi tanaman
Colchicumautumnale, yang mempunyai pengaruh unik, yaitu meniadakan
pembentukan gelendong inti dan menghentikan pembelahan mitosis pada stadium
metaphase, ialah pada saatnya kromosom mengalami kontraksi maksimal dan
nampak paling jelas. Kira-kira satu jam kemudian, ditambahkan larutan hipotonik
salin, sehingga sel-sel membesar dan kromosom-kromosom menyebar letaknya.

Akibatnya kromosom-kromosom dapat di hitung dan dapat dibedakan satu dengan
lainnya (Suryo, 2011).
Langkah berikutnya ialah memotret kromosom-kromosomyang letaknya
sudah tersebar itu dengan sebuah kamera yang dipasang pada mikroskop
(Suryo, 2011).
Kemudian tiap-tiap kromosom pada foto itu digunting, diatur dalam
pasangan-pasangan mulai dari yang paling besar ke yang paling kecil, sehingga
didapatkan 22 pasang autosom dan sepasang kromosom kelamin. Pengaturan
kromosom secara standar berdasarkan panjang, jumlah serta bentuk kromosom
dari sel somatis suatu individu dinamkan kariotipe (Suryo, 2011).

BAB III
METODE PERCOBAAN

III.1 Alat dan Bahan
III.1.1 Alat
Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah alat tulis menulis, gunting
dan lem kertas.
III.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah kertas HVS dan
gambar-gambat kromosom manusia (fotocopy).
III.2 Cara Kerja
Cara kerja pada percobaan ini adalah sebagai berikut:
1. Difotocopy gambar-gambar kromosom manusia.
2. Digunting gambar-gambar kromosom normal dan abnormal dan buat
kariotipenya.
3. Disusun kariotipe pada kromosom normal dari kiri ke kanan dengan urutan dari
yang terbesar hingga yang terkecil.
4. Ditentukan jenis kelamin pada kromosom abnormal penderita.
5. Ditentukan pada kromosom berapa terjadi perubahan genetik.
6. Ditentukan nama kelainan genetik yang di derita dari individu yang memiliki
fotocopy kromosom abnormal tersebut.

IV.2 Pembahasan
Di dalam nukleus kebanyakan makhluk terdapat benda-benda halus
berbentuk lurus seperti batang atau bengkok dan terdiri dari zat yang mudah
mengikat warna. Benda-benda itu dinamakan kromosom dan zat yang
menyusunnya disebut kromatin. Kromosom manusia berrjumlah 23 pasang
mengandung ribuan gen yangmerupakan suatu rantai pendek dari DNA yang
membawa kode informasi genetik tertentu dan spesifik.
Setiap manusia normal mempunyai 46 kromosom (diploid, 23 pasang
kromosom). Dua puluh dua pasang kromosom adalah kromosom autosom yang
mengkode karakteristik manusia secara umum serta sifat-sifat spesifik, misalnya
warna mata, bentuk rambut, dan lain sebagainya dan satu pasang kromosom adalah
kromosom seks, yang terdiri dari dua jenis yang berbeda secara genetis.
a. Kariotipe I laki-laki normal secara genetik memiliki satu kromosom X dan satu
Y (46,XY).
b. Kariotipe II perempuan normal secara genetik memiliki dua kromosom X,
(46,XX).
c. Kariotipe III Sindrom Down yang merupakan salah satu abnormalitas keadaan
kongenital (sejak lahir) akibat kelainan pada kromosom. Sindrom bermaksud
kumpulan ciri-ciri pada individu yang dikenal pasti wujud pada masa yang
sama. Kongenital pula bermaksud sesuatu yang wujud sewaktu lahir dan tidak
diperoleh selepas kelahiran. Keadaan ini sudah diketahui sejak tahun 1866
apabila Dr. John Langdon Haydon Down (1828-1896) dari Britain telah
menghasilkan sebuah makalah yang menghuraikan fitur yang sama dimiliki
oleh sekumpulan kanak-kanak cacat mental dan didapati amat berbeza dengan
kumpulan kanak-kanak cacat mental yang lain di Earlswook Asylum, Surrey,

England. Kumpulan ini dinamakan sebagai sebagai "Mongoloid' atau
"Mongoloism"kerana penderitanya mempunyai gejala klinikal yang khas, iaitu
wajahnya seperti bangsa Mongol dengan mata yang sepet membujur ke atas
(Langdon:1866). Pada tahun 1959, Dr. Jerome Lejeune dan Patricia Jacobs,
berbangsa Perancis telah menemui bahawa Sindrom Down terjadi disebabkan
oleh ketaknormalan kromosom. Tidak lama kemudian muncul pula penemuan
bahawa kromosom 21 mempunyai hubungan dengan punca berlakunya
Sindrom Down . Oleh itu, muncullah istilah saintifik "Trisomy 21". Pada tahun
1960-an, penyelidik dari Asia membantah penggunaan istilah "Mongoloid' atau
"Mongoloism"karena mereka berpandangan istilah tersebut bersifat keetnikan.
Akibat

daripada

bantahan

tersebut,

ahli-ahli

sains

bersetuju

untuk

menamakannya sebagai D
" own Syndrome"(Sindrom Down) nama pengkaji yang
mula-mula membuat kajian tentang kelainan tersebut.
d. Kariotipe IV merupakan kariotipe dari sindrom Klinefelter, kelainan ini terjadi
pada laki-laki yang disebabkan kelebihan kromosom seks X, laki-laki normal
memiliki kromosom seks berupa XY, sehingga penderita sindrom ini memiliki
kromosom seks XXY. Formula sindrom ini ialah 47+XXY, kelainan
kromosom ini terbentuk karena terjadi nondisjungsi meiosis (kegagalan
sepasang kromosom seks untuk memisah selama proses meiosis) selama terjadi
gametogenesis pada salah satu orang tua. Penderita sindrom ini memiliki ciriciri seperti memiliki IQ dibawah rata-rata anak normal, memiliki kepribadian
yang kikuk, pemalu, sebagian besar terjadi autisme, memiliki sifat kidal, dan
memiliki kemampuan seksual kurang aktif.
e. Kariotipe V merupakan kariotipe dari sindrom Edwards dimana pada sindrom
ini terdapat kelainan pada kromosom no.18 (trisomi 18) yang memiliki formula

47+18. Kelainan kromosom ini terjadi karena adanya nondisjungsi sebuah
gamet yaitu sperma dan sel telur diproduksi dengan tambahan salinan
kromosom 18. Para penderita sindrom ini memiliki

ciri-ciri seperti cacat

jantung struktural saat lahir, usus yang menonjol diluar tubuh, keterbelakangan
mental, kesulitan makan,dan kesulitan bernafas.
f. Kariotipe VI merupakan kariotipe dari sindrom Patau dimana pada sindrom ini
terdapat kelainan pada kromosom no.13 (trisomi 13) yang memiliki formula
47+13. Kelainan kromosom ini terbentuk karena tidak terjadi persilangan
antara kromosom saat proses meiosis. Para pernderita sindrom ini memiliki
ciri-ciri seperti memiliki jari atau kaki yang extra besar (polydactily), kaki
cacat, kepala kecil, mata kecil, cacat hidung atau bahkan tidak ada, bibir
sumbing, cacat jantung dan cacat ginjal.

BAB V
PENUTUP

V.1 Kesimpulan
Kesimpulan pada percobaan ini, yaitu praktikan telah mengetahui
penyusunan kromosom atau membuat kariotipe yang sesuai dengan tata cara
penyusunan kariotipe dan mengenal kelainan-kelainan dari susunan kromosom
tersebut.
V.2 Saran
Sebaiknya pada praktikum selanjutnya dilakukan praktikum dengan teliti
dan menjaga kebersihan laboratorium.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, R., dan Sjafaraenan. 2013. Penuntun Praktikum Genetika. Universitas
Hasanuddin. Makassar.
Alresna, F., 2009. Karakteristik Dismorfologi dan Analisis Kelainan Kromosom Pada
Siswa Retardasi Mental di SLB C/C1 Widya Bakti Seamarang.
Kedokteran. Universitas Diponegoro. Semarang.

Fitriyah., Wijayanto, A., dan Milliana, A., 2013. Petunjuk Praktikum Genetika.
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Malang.
Ramadhani, D., Lusiyanti, Y., Alatas, Z., dan Purnami, S., 2011. Semi Otomatisasi
Kariotipe Untuk Deteksi Aberasi Kromosom Akibat Paparan Radiasi.
Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir. Batan.
Saskaprabawanta, M., 2010. Intisari Materi Genetik. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Suryo, 2011. Genetika Manusia. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Widhiatmoko, B., dan Suyanto, E., 2013. Legalitas Perubahan Jenis Kelamin
Pada Penderita Ambiguos Genetalia di Indonesia. Jurnal Kedokteran
Forensik Indonesia. 5 (1): 12-14.