T2 752014007 BAB III

(1)

1 BAB III

TEMUAN PENELITIAN

Dalam bab ini saya akan membahas temuan hasil penelitian terkait studi kasus kedukaan X mahasiswi Fakultas Teologi UKSW pasca kematian kedua orang tua. Mengawali deskripsi hasil penelitian ini, saya terlebih dahulu akan menguraikan lokasi penelitian dan identitas dari para partisipan.

3.1 Lokasi Penelitian dan Identitas Partisipan

Penelitian ini dilakukan di Kampus UKSW Jalan Diponegoro No. 52-60 dan Asrama Mahasiswa UKSW Jalan Kartini 11a Salatiga.Mengingat partisipan merupakan mahasiswi Fakultas Teologi UKSW, maka lokasi penelitian lebih intent

difokuskan pada lingkungan sosial dimana partisipan berada. Dalam penelitian ini saya melibatkan empat orang partisipan yakni X sebagai partisipan utama yang mengalami kehilangan kedua orang tua karena kematian dan tiga orang sahabat terdekat X yakni NP, MMB dan MES. Ada pun identitas para partisipan sebagai berikut:

Tabel1. Identitas Partisipan Utama Penelitian

Identitas Partisipan utama penelitian

Nama X


(2)

2

Umur 19 tahun

Pekerjaan Mahasiswi

Tabel 2. Identitas Partisipan Penunjang Penelitian

Identitas Partisipan 1 Partisipan 2 Partisipan 3

Nama N.P M.M.B M.E.S

Jenis kelamin Perempuan Perempuan Perempuan

Umur 18 tahun 19 tahun 19 tahun

Pekerjaan Mahasiswi Mahasiswi Mahasiswi

Status Sahabat dari X Sahabat dari X Sahabat dari X

3.2 Kehilangan yang dialami X karena Kematian Kedua Orang Tua.

X merupakan anak bungsu dari empat bersaudara. Ayahnya adalah seorang pendeta yang melayani di daerah asalnya dan ibunya ialah seorang perawat. Dalam keluarga X, kedua orang tuanya selalu menanamkan kemandirian bagi anak-anaknya dan tidak memaksakan keinginan atau kemauan mereka bagi anak-anak. Bagi X, ajaran dan didikan seperti inilah yang membuat dirinya begitu kuat dalam menerima kematian kedua orang tua.1 Saat ini X menjadi salah satu mahasiswi Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana dan berdomisili di Asrama Mahasiswa UKSW Jln. Kartini 11a Salatiga. Peristiwa kematian kedua orang tua yang dialami oleh X diawali

1


(3)

3

dengan kabar kematian sang ayah yang diterima oleh X via telepon dari pihak keluarga. Ayah X meninggal pada tanggal 18 Maret tahun 2015 pukul 01.00 WITA, sehingga X diminta pulang ke daerah asal, karena sang ayah direncanakan akan dimakamkan pada tanggal 20 Maret tahun 2015 pukul 13.00 WITA. Sebelum acara pemakaman sang ayah hendak dilaksanakan, tepat pukul 08.00 WITA sang ibu meninggal dunia tanpa menunjukkan gejala-gejala sakit tertentu.2 Kedukaan yang dialami oleh X sebagai akibat dari kehilangan karena kematian kedua orang tua dapat disebut sebagai kedukaan yang bertumpuk. Disebut kedukaan bertumpuk karena belum terselesaikannya kedukaan karena kematian sang ayah, namun telah muncul lagi kedukaan karena kematian sang ibu. Peristiwa kehilangan yang dialami oleh X menurut saya merupakan salah satu bentuk kehilangan yang jarang terjadi. Peristiwa kehilangan yang tidak biasa seperti ini akan memungkinkan munculnya kedukaan yang beragam dari X. Kedukaan yang beragam meliputi munculnya gejala-gejala atau respon yang beragam, serta beragamnya tahapan-tahapan yang akan dilalui oleh seorang penduka.

3.3 Respon X terhadap Peristiwa Kehilangan

Akibat dari kehilangan karena kematian kedua orang tua, X mengalami kedukaan sebagai respon terhadap kehilangan yang dialami. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan saya terhadap X, N.P, M.M.B dan M.E.S, ditemukan

2Hasil wawancara dengan X


(4)

4

beberapa gejala kedukaan yang diperlihatkan oleh X sebagai respon terhadap peristiwa kehilangan karena kematian kedua orang tua antara lain:

3.3.1 Fisik

Secara fisik, X mengalami dua gejala sebagai respon dari kehilangan yang diakibatkan karena kematian kedua orang tua yaitu menangis dan hiperaktif. Gejala awal yang diperlihatkan X terhadap peristiwa kehilangan yang dialaminya ialah menangis. Menurut X, dirinya tidak mampu membendung air matanya mendengar kabar kematian sang ayah, disusul dengan kematian sang ibu.3 Penuturan X ini dibenarkan pula oleh ketiga partisipan lainnya, yakni bahwa kabar kematian yang diterima oleh X membuat dirinya terkejut dan menangis.4 Di sisi lain, X sempat dilarang oleh ibunya untuk menangis ketika kematian sang ayah.

Berdasarkan temuan di atas dapat disimpulkan bahwa, gejala menangis yang diperlihatkan oleh X merupakan gejala universal yang akan dialami oleh setiap penduka. Hal ini disebabkan karena setiap penduka yang mengalami kehilangan sering tidak memiliki banyak kata-kata untuk diucapkan atau dirangkai untuk mengukapkan kesedihannya, sehingga sering berujung pada tangisan. Betapa pun kuatnya seorang penduka ketika mengalami kehilangan orang-orang terkasih, pasti sulit dalam menahan air mata. Hal ini pula yang menurut saya dialami oleh X ketika menghadapi peristiwa kehilangan yang disebabkan karena kematian kedua orang tua.

3

Hasil wawancara dengan X, 4 Desember 2015, pukul 10.00 WIB.

4


(5)

5

Gejala kedua yang diperlihatkan X ialah hiperaktif. Pasca kematian kedua orang tua, X memperoleh beasiswa imbalan kerja dari pihak Universitas Kristen Satya Wacana. Demi memenuhi persyaratan beasiswa yang sementara diperoleh, X harus bekerja ekstra, lantas mengesampingkan kondisi tubuhnya.5 Selain aktif bekerja, dalam proses perkuliahan X juga memperlihatkan semangat yang begitu tinggi untuk terus belajar, serta tekun mngikuti kegiatan ekstrakurikuler yang dilaksanakan di Fakultas Teologi UKSW.6 Berdasarkan temuan ini menurut saya, kehilangan yang dialami oleh X berdampak bagi peningkatan aktivitas keseharian X.

3.3.2 Mental

Secara mental, X mengalami kesulitan menerima kematian kedua orang tuanya, sebab menurut X semasa hidup hubungan X dan kedua orang tuanya terjalin begitu baik.7 Sejalan dengan penuturan X, menurut sahabatnya N.P, sebagai anak bungsu di dalam keluarga, X dikenal sebagai anak kesayangan dari sang ayah, sehingga berita kematian sang ayah disusul dengan kematian sang ibu sempat membuat X mengalami kesulitan menerima kematian kedua orang tuanya.8 Kedekatan yang terjalin antara X dan kedua orang tua berimbas pada sering dimimpikannya kedua orang tua. Pasca kematian kedua orang tua, dalam tidurnya X sering bermimpi

5

Hasil wawancara dengan M.E.S. 6Hasil wawancara dengan N.P.

7

Hasil wawancara dengan X, 4 Desember 2015.

8


(6)

6

bertemu dengan kedua orang tuanya.9 Ada pun beberapa temuan yang diperoleh sebagai berikut:

Papa saya rindu, kenapa papa? kenapa saat saya rindu seperti ini Papa datang dalam saya punya mimpi siang begini peluk saya saat saya menangis dan dalam Papa punya pelukan baru saya sadar kalau Papa Mama sudah tidak ada, Telalu sakit, kenapa saya sadar seperti ini dalam tangis dan tidak ada Papa Mama.10

Terima kasih Tuhan sudah menghadirkan Papa untuk saya peluk meski hanya dalam mimpi. Setidaknya saya masih ketemu Papa, masih menangis di Papa punya pelukan, dan Papa selalu membuat saya sadar kalau tidak ada orang yang bisa seperti Papa untuk saya. Terima kasih Papa, selalu jadi orang terbaik meski dunia kita telah berbeda. I miss and love you father Mother.11

Papa Mama hadir lagi. Terima kasih telah hadir walau hanya dalam mimpi, setidaknya di awal bulan keluarga saya masih merasakan kehadiran Papa Mama. Meski selalu tersadar dalam tangis saat menyadari Papa Mama tak di sampingku lagi. Terlalu indah semua cerita kita, darah yang mengalir di tubuh ini selalu mengingatkan bahwa selalu ada Papa Mama di hidupku.12

Hai Papa Mama.Apa kabar kalian? Aku cuma rindu. Itu saja13

Berdasarkan temuan di atas saya menyimpulkan bahwa, secara mental X mengalami dua gejala sebagai bukti kedukaan dari kehilangan yang dialami yaitu merasa sedih dan rindu akan seseorang atau sesuatu yang hilang. Kedua gejala yang dialami X terjadi secara bersamaan sebagai respon dari kehilangan yang dialami. Gejala-gejala yang dialami oleh X lantas memberi gambaran bagi saya bahwa salah

9Hasil pengamatan akun facebook X.

10

Hasil pengamatan akun facebook X, diposting tanggal 19 September 2015, 14.12 WIB. 11

Hasil pengamatan akun facebook X, diposting tanggal 19 September 2015, pukul 14.51WIB.

12Hasil pengamatan akun facebook X, diposting tanggal 2 Oktober 2015, pukul 4.46 WIB. 13


(7)

7

satu elemen yang sangat menyedihkan dari anak-anak yang kehilangan orang tua karena kematian ialah kemampuan untuk mempertahankan kenangan jangka panjang. Saat kenangan indah bersama orang tua hilang secara tragis, tidak semua anak lantas dapat menyesuaikan dirinya, sehingga hal inilah yang kemudian menurut saya dialami pula oleh X pasca kematian kedua orang tuanya.

3.3.3 Sosial

Secara sosial, seorang penduka akan cenderung mengurung diri atau menutup diri terhadap lingkungan sekitar pasca mengalami kehilangan, namun hal ini tidak terjadi pada X. Menurut X, dua hari setelah pemakaman kedua orang tua, X diminta untuk kembali ke Salatiga oleh pihak keluarga. Hal ini dilakukan oleh pihak keluarga agar X tidak larut dalam kesedihannya bila tetap tinggal di rumahnya. Sekembalinya Salatiga, aktivitas sebagai mahasiswi Fakultas Teologi UKSW kembali dijalani seperti semula. Lingkungan asrama, kampus dan sahabat-sahabat X juga memberikan dukungan yang positif terhadap peristiwa kehilangan yang dihadapi oleh X.14 Sejalan dengan itu menurut M.E.S, dahulunya X adalah anak yang jarang bergaul di lingkungan kampusnya dan dikenal introvert. Semenjak kematian kedua orang tuanya, X kini lebih banyak bergaul dan peduli dengan teman-temannya yang lain.15 Berdasarkan temuan ini menurut saya, peristiwa kehilangan yang dialami oleh X berdampak terhadap perilaku X dengan lingkungan sosialnya.

14

Hasil wawancara dengan X.

15


(8)

8 3.3.4 Spiritual

Pada perisitiwa kehilangan yang dialami, X sempat mempertanyakan mengapa peristiwa kematian kedua orang tua terjadi kepadanya, namun dibesarkan oleh orang tua (ayah) yang berprofesi sebagai pendeta, menjadikan X bertumbuh sebagai anak yang memiliki keyakinan yang sungguh terhadap Tuhannya, hal ini terlihat ketika X diperhadapkan dengan peristiwa kehilangan yang disebabkan karena kematian kedua orang tua, X memiliki pemahaman bahwa:

“Kematian merupakan akhir dari sebuah kehidupan yang ditentukan langsung oleh sang pemilik kehidupan dan manusia tidak memiliki kuasa untuk mengatur, namun cukup menerima saja.”16

Berdasarkan pemahaman X di atas menurut saya, dalam kekalutan karena mengalami kehilangan tidak semua penduka akan hilang kepercayaannya kepada Tuhan. Sebaliknya pengalaman kehilangan dapat menjadikan penduka lebih dekat dengan Tuhan.

3.4 Tahap-Tahap Kedukaan yang dialami oleh X

Selain memaparkan tentang gejala-gejala kedukaan yang dialami oleh X sebagai bukti terhadap kedukaannya, saya juga melakukan penelitian dengan bertolak dari teori Westberg tentang 10 tahapan kedukaan.17 Tahapan-tahapan kedukaan ini akan memberikan gambaran tentang bagaimana X menjalani kedukaannya pasca kematian kedua orang tua. Menurut Westberg terdapat 10 tahapan yang akan dilalui

16

Hasil wawancara dengan X.

17


(9)

9

oleh seorang penduka, namun berdasarkan temuan di lapangan hanya delapan tahapan kedukaan yang dilalui oleh X antara lain shock atau terkejut, mengungkapkan emosi, munculnya gejala-gejala fisik, depresi dan sangat kesepian, perasaan bersalah, kembali ke kebiasaan awal, berpengharapan, menerima kenyataan.

1. Tahapan pertama: Shock

Temuan di lapangan menunjukkan bahwa X mengalami shock pertama kali mendengar kabar kematian sang ayah yang kemudian disusul dengan kematian sang ibu. X merasa terkejut karena sang ayah ataupun sang ibu tidak menujukkan gejala-gejala sakit apapun sebelum kematian mereka. Menurut X, beberapa jam sebelum ayahnya meninggal, sang ayah sempat menelepon X untuk meminta maaf, namun hal ini tidak disadari oleh X sebagai tanda dari kematian sang ayah, sehingga kematian sang ayah dan ibu yang terjadi dalam tenggang waktu yang dekat, membuat X dan keluarganya merasakan kehilangan yang mendalam.18 Peristiwa yang dialami X memberi gambaran bahwa kematian orang tua secara mendadak umumnya akan menimbulkan konsekuensi besar terhadap perkembangan seorang anak yang ditinggalkan, karena anak belum siap ditinggalkan orang tua yang begitu tiba-tiba dan anak akan merasa kesulitan sepeninggal orang tuanya.

2. Tahapan kedua: mengungkapkan emosi

Dalam kasus kehilangan yang disebabkan karena kematian kedua orang tua, X mengaku lebih banyak mengungkapkan emosinya dengan menangis. X dikenal

18


(10)

10

sebagai anak yang introvert terhadap sesuatu yang dirasakan, sehingga menangis menjadi pilihan dalam mengungkapkan emosi. Selain menangis, menurut sahabat-sahabatnya cara X mengungkapkan emosi dapat pula diamati lewat media sosial. Akun facebook dari X sering dijadikan tempat bagi X untuk mengungkapkan emosinya.19 Berdasarkan fakta di atas, saya menyimpulkan bahwa ketika seseorang berada dalam stage yang diwarnai dengan kesedihan atau perasaan tidak nyaman, orang tersebut akan cenderung memiliki “sensitifitas” yang lebih tinggi atau memiliki “daya magnet” yang membuat berbagai emosi negatif dan perasaan tidak nyaman lainnya dapat muncul dari sebelumnya.

3. Tahapan ketiga: merasa depresi dan sangat kesepian

Hari-hari hidup yang dilalui tanpa kedua orang tua, membuat X kini merasa kesepian. Menurut X, semasa hidup kedua orang tuanya sering menelepon dan menanyakan kabar tentang dirinya, namun kini hubungan yang tejalin begitu intent

tidak lagi dirasakannya.

Bangun tidur ingin telepon Papa... Kebiasaan yang sulit dilupakan. Ya ampun. Sekarang nomornya Papa milikmu sayang.20

Kasih sayang dan perhatian yang selama ini diterima oleh X pun tidak lagi diperoleh karena kematian kedua orang tua.21 Pasca kematian kedua orang tua,

19Hasil wawancara dengan ketiga partisipan penunjang.

20

Hasil pengamatan akun facebook X, diposting tanggal 3 Oktober 2015, pukul 17.58 WIB.

21


(11)

11

kakak X yang kini lebih berperan dalam menjaga X, namun menurut X frekuensinya jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya.

Menurut M.E.S pasca kematian kedua orang tua, X terkadang sedih dan mulai membandingkan dirinya dengan teman-teman yang lain dengan berkata “teman-teman

omong orang tua, lalu saya?”.22

Menurut saya, perilaku X pada tahapan ini memberi gambaran bahwa kesedihan yang muncul akibat rasa kehilangan yang begitu besar, cenderung membuat individu tidak mampu untuk menerima kenyataan tersebut. Perasaan kesepian dan sedih yang diperlihatkan X merupakan manifestasi dari pengalaman subjektif X saat harus menghadapi kenyataan bahwa ikatan emosional yang penting baginya kini telah berakhir.

4. Tahapan keempat: munculnya gejala-gejala fisik

Sejalan dengan berakhirnya proses pemakaman, menurut X gejala-gejala fisik yang sempat dialami intensitasnya mulai menurun dan beberapa hilang dengan sendirinya, namun salah satu gejala fisik yang masih bertahan ialah mati rasa.23 Penuturan X ini dibenarkan pula oleh ketiga sahabatnya yang lain.24 Berdasarkan temuan ini menurut saya, gejala-gejala fisik yang dialami masing-masing penduka berbeda-beda. Gejala-gejala fisik pada beberapa penduka cenderung dialami cepat, namun beberapa gejala pada penduka akan dialami dalam tenggang waktu yang cukup lama.

22

Hasil wawancara dengan M.E.S.

23

Hasil wawancara dengan X.

24


(12)

12

5. Tahapan kelima: panik

Perilaku panikjuga tidak dialami oleh X dalam peristiwa kehilangan yang dialaminya,25 sehingga menurut saya perilaku panik tidak mutlak dialami oleh setiap penduka yang mengalami kehilangan karena kematian.

6. Tahapan keenam: perasaan bersalah

Sebagai seorang anak yang sedang merantau untuk menuntut ilmu, X memiliki keinginan untuk membanggakan kedua orang tuanya, namun sebelum keinginannya tercapai kedua orang tuanya telah tiada. Menurut X:

“Saya pikir bila papa mati masih ada mama, tapi ternyata mama juga pergi. Kalau seperti ini mau apalagi”.

Hal inilah yang kemudian menimbulkan perasaan bersalah dalam diri X, sehingga pasca kematian kedua orang tuanya, X lebih tekun mengikuti proses kuliah. Penuturan X ini di dukung dengan hasil wawancara dengan N.P, menurut N.P, X kini lebih bersemangat dalam berkuliah, karena X ingin membuktikan kepada papa dan mamanya bahwa dirinya dapat sukses tanpa kedua orang tua. Pada tahapan ini terlihat bahwa X berupaya semaksimaul mungkin untuk membahagiakan kedua orang tua yang telah tiada. Upaya yang dilakukan oleh X cukup beralasan, mengingat bahwa sebagai seorang anak, X memiliki tanggung jawab untuk membahagiakan kedua orang tua.

25


(13)

13

7. Tahapan ketujuh: permusuhan dan kebencian

Dalam kasus kehilangan yang disebabkan karena kematian kedua orang tua, X tidak menunjukkan perilaku permusuhan atau kebencian terhadap siapa pun. Menurut X, pada awal kehilangan dirinya sempat mempertanyakan mengapa kedua orang tuanya diambil secara bersamaan, namun setelah acara pemakaman X mulai meyakini bahwa peristiwa kehilangan kedua orang tua yang dirinya hadapi merupakan jalan Tuhan.

8. Tahapan kedelapan: kembali ke kebiasaan awal

Dua hari setelah acara pemakaman sang ayah dan ibu, X diminta oleh pihak keluarga untuk kembali ke Salatiga. Setibanya di Salatiga, X langsung beraktivitas seperti semula.

“Dua hari setelah pemakaman, saya langsung balik ke sini. Sampe disini saya langsung kuliah seperti biasa. Di asrama juga hidup biasa-biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa. Sudah itu saja”

Aktivitas sebagai seorang mahasiswi kembali dilakukan oleh X pasca kematian kedua orang tuanya.26 Penuturan X ini dibenarkan oleh ketiga partisipan lainnya yakni bahwa sesampainya di Salatiga, X langsung beraktivitas seperti biasanya.27 Berdasarkan fakta ini dapat disimpulkan bahwa kemampuan X untuk bersosialisasi kembali dengan lingkungan pasca mengalami kehilangan bukanlah persoalan mudah, namun pilihan X untuk kembali ke kebiasaan awal memberi gambaran bahwa X mulai menyadari

26

Hasil wawancara dengan X.

27


(14)

14

kehilangan yang dihadapi dan perlahan mulai menata kehidupannya pasca kematian kedua orang tua.

9. Tahapan kesembilan: berpengharapan

Dalam kasus kehilangan yang disebabkan karena kematian, X tetap memiliki pengharapan bahwa “kehidupan ini milik Tuhan dan manusia tidak dapat menambah

sejengkal pun hidupnya”.28

Menurut saya, pemahaman X ini mengindikasikan bahwa dalam kedukaan seorang penduka masih tetap memiliki pengharapan kepada Tuhan.

10. Tahapan kesepuluh: menerima kenyataan

Seiring berjalannya waktu, intensitas kesulitan dalam menerima kematian kedua orang tua berkurang. Menurut X “tidak ada gunanya larut dalam kesedihan,

karena kematian merupakan jalan Tuhan”.29

Pada tahapan ini jelas menunjukkan bahwa X sudah dapat mengakui kehilangan yang terjadi, berusaha melalui kekacauan emosional yang selama ini dialami, menyesuaikan diri dengan kondisi tanpa kehadiran orang tua dan melepaskan ikatan dengan orang tua, sehingga menerima bahwa kematian telah terjadi menjadi dasar bagi penyembuhan X.

28Hasil wawancara dengan X.

29


(1)

9 oleh seorang penduka, namun berdasarkan temuan di lapangan hanya delapan tahapan kedukaan yang dilalui oleh X antara lain shock atau terkejut, mengungkapkan emosi, munculnya gejala-gejala fisik, depresi dan sangat kesepian, perasaan bersalah, kembali ke kebiasaan awal, berpengharapan, menerima kenyataan.

1. Tahapan pertama: Shock

Temuan di lapangan menunjukkan bahwa X mengalami shock pertama kali mendengar kabar kematian sang ayah yang kemudian disusul dengan kematian sang ibu. X merasa terkejut karena sang ayah ataupun sang ibu tidak menujukkan gejala-gejala sakit apapun sebelum kematian mereka. Menurut X, beberapa jam sebelum ayahnya meninggal, sang ayah sempat menelepon X untuk meminta maaf, namun hal ini tidak disadari oleh X sebagai tanda dari kematian sang ayah, sehingga kematian sang ayah dan ibu yang terjadi dalam tenggang waktu yang dekat, membuat X dan keluarganya merasakan kehilangan yang mendalam.18 Peristiwa yang dialami X memberi gambaran bahwa kematian orang tua secara mendadak umumnya akan menimbulkan konsekuensi besar terhadap perkembangan seorang anak yang ditinggalkan, karena anak belum siap ditinggalkan orang tua yang begitu tiba-tiba dan anak akan merasa kesulitan sepeninggal orang tuanya.

2. Tahapan kedua: mengungkapkan emosi

Dalam kasus kehilangan yang disebabkan karena kematian kedua orang tua, X mengaku lebih banyak mengungkapkan emosinya dengan menangis. X dikenal

18


(2)

10 sebagai anak yang introvert terhadap sesuatu yang dirasakan, sehingga menangis menjadi pilihan dalam mengungkapkan emosi. Selain menangis, menurut sahabat-sahabatnya cara X mengungkapkan emosi dapat pula diamati lewat media sosial. Akun facebook dari X sering dijadikan tempat bagi X untuk mengungkapkan emosinya.19 Berdasarkan fakta di atas, saya menyimpulkan bahwa ketika seseorang berada dalam stage yang diwarnai dengan kesedihan atau perasaan tidak nyaman, orang tersebut akan cenderung memiliki “sensitifitas” yang lebih tinggi atau memiliki “daya magnet” yang membuat berbagai emosi negatif dan perasaan tidak nyaman lainnya dapat muncul dari sebelumnya.

3. Tahapan ketiga: merasa depresi dan sangat kesepian

Hari-hari hidup yang dilalui tanpa kedua orang tua, membuat X kini merasa kesepian. Menurut X, semasa hidup kedua orang tuanya sering menelepon dan menanyakan kabar tentang dirinya, namun kini hubungan yang tejalin begitu intent

tidak lagi dirasakannya.

Bangun tidur ingin telepon Papa... Kebiasaan yang sulit dilupakan. Ya ampun.

Sekarang nomornya Papa milikmu sayang.20

Kasih sayang dan perhatian yang selama ini diterima oleh X pun tidak lagi diperoleh karena kematian kedua orang tua.21 Pasca kematian kedua orang tua,

19Hasil wawancara dengan ketiga partisipan penunjang. 20

Hasil pengamatan akun facebook X, diposting tanggal 3 Oktober 2015, pukul 17.58 WIB.

21


(3)

11 kakak X yang kini lebih berperan dalam menjaga X, namun menurut X frekuensinya jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya.

Menurut M.E.S pasca kematian kedua orang tua, X terkadang sedih dan mulai membandingkan dirinya dengan teman-teman yang lain dengan berkata “teman-teman omong orang tua, lalu saya?”.22

Menurut saya, perilaku X pada tahapan ini memberi gambaran bahwa kesedihan yang muncul akibat rasa kehilangan yang begitu besar, cenderung membuat individu tidak mampu untuk menerima kenyataan tersebut. Perasaan kesepian dan sedih yang diperlihatkan X merupakan manifestasi dari pengalaman subjektif X saat harus menghadapi kenyataan bahwa ikatan emosional yang penting baginya kini telah berakhir.

4. Tahapan keempat: munculnya gejala-gejala fisik

Sejalan dengan berakhirnya proses pemakaman, menurut X gejala-gejala fisik yang sempat dialami intensitasnya mulai menurun dan beberapa hilang dengan sendirinya, namun salah satu gejala fisik yang masih bertahan ialah mati rasa.23 Penuturan X ini dibenarkan pula oleh ketiga sahabatnya yang lain.24 Berdasarkan temuan ini menurut saya, gejala-gejala fisik yang dialami masing-masing penduka berbeda-beda. Gejala-gejala fisik pada beberapa penduka cenderung dialami cepat, namun beberapa gejala pada penduka akan dialami dalam tenggang waktu yang cukup lama.

22

Hasil wawancara dengan M.E.S.

23

Hasil wawancara dengan X.

24


(4)

12 5. Tahapan kelima: panik

Perilaku panikjuga tidak dialami oleh X dalam peristiwa kehilangan yang dialaminya,25 sehingga menurut saya perilaku panik tidak mutlak dialami oleh setiap penduka yang mengalami kehilangan karena kematian.

6. Tahapan keenam: perasaan bersalah

Sebagai seorang anak yang sedang merantau untuk menuntut ilmu, X memiliki keinginan untuk membanggakan kedua orang tuanya, namun sebelum keinginannya tercapai kedua orang tuanya telah tiada. Menurut X:

“Saya pikir bila papa mati masih ada mama, tapi ternyata mama juga pergi. Kalau seperti ini mau apalagi”.

Hal inilah yang kemudian menimbulkan perasaan bersalah dalam diri X, sehingga pasca kematian kedua orang tuanya, X lebih tekun mengikuti proses kuliah. Penuturan X ini di dukung dengan hasil wawancara dengan N.P, menurut N.P, X kini lebih bersemangat dalam berkuliah, karena X ingin membuktikan kepada papa dan mamanya bahwa dirinya dapat sukses tanpa kedua orang tua. Pada tahapan ini terlihat bahwa X berupaya semaksimaul mungkin untuk membahagiakan kedua orang tua yang telah tiada. Upaya yang dilakukan oleh X cukup beralasan, mengingat bahwa sebagai seorang anak, X memiliki tanggung jawab untuk membahagiakan kedua orang tua.

25


(5)

13 7. Tahapan ketujuh: permusuhan dan kebencian

Dalam kasus kehilangan yang disebabkan karena kematian kedua orang tua, X tidak menunjukkan perilaku permusuhan atau kebencian terhadap siapa pun. Menurut X, pada awal kehilangan dirinya sempat mempertanyakan mengapa kedua orang tuanya diambil secara bersamaan, namun setelah acara pemakaman X mulai meyakini bahwa peristiwa kehilangan kedua orang tua yang dirinya hadapi merupakan jalan Tuhan.

8. Tahapan kedelapan: kembali ke kebiasaan awal

Dua hari setelah acara pemakaman sang ayah dan ibu, X diminta oleh pihak keluarga untuk kembali ke Salatiga. Setibanya di Salatiga, X langsung beraktivitas seperti semula.

“Dua hari setelah pemakaman, saya langsung balik ke sini. Sampe disini saya langsung kuliah seperti biasa. Di asrama juga hidup biasa-biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa. Sudah itu saja”

Aktivitas sebagai seorang mahasiswi kembali dilakukan oleh X pasca kematian kedua orang tuanya.26 Penuturan X ini dibenarkan oleh ketiga partisipan lainnya yakni bahwa sesampainya di Salatiga, X langsung beraktivitas seperti biasanya.27 Berdasarkan fakta ini dapat disimpulkan bahwa kemampuan X untuk bersosialisasi kembali dengan lingkungan pasca mengalami kehilangan bukanlah persoalan mudah, namun pilihan X untuk kembali ke kebiasaan awal memberi gambaran bahwa X mulai menyadari

26

Hasil wawancara dengan X.

27


(6)

14 kehilangan yang dihadapi dan perlahan mulai menata kehidupannya pasca kematian kedua orang tua.

9. Tahapan kesembilan: berpengharapan

Dalam kasus kehilangan yang disebabkan karena kematian, X tetap memiliki pengharapan bahwa “kehidupan ini milik Tuhan dan manusia tidak dapat menambah sejengkal pun hidupnya”.28

Menurut saya, pemahaman X ini mengindikasikan bahwa dalam kedukaan seorang penduka masih tetap memiliki pengharapan kepada Tuhan.

10. Tahapan kesepuluh: menerima kenyataan

Seiring berjalannya waktu, intensitas kesulitan dalam menerima kematian kedua orang tua berkurang. Menurut X “tidak ada gunanya larut dalam kesedihan, karena kematian merupakan jalan Tuhan”.29

Pada tahapan ini jelas menunjukkan bahwa X sudah dapat mengakui kehilangan yang terjadi, berusaha melalui kekacauan emosional yang selama ini dialami, menyesuaikan diri dengan kondisi tanpa kehadiran orang tua dan melepaskan ikatan dengan orang tua, sehingga menerima bahwa kematian telah terjadi menjadi dasar bagi penyembuhan X.

28Hasil wawancara dengan X.

29