POLA PERILAKU BERSELISIK (GROOMING BEHAVIOUR) MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis, RAFFLES 1821) DI SUAKA MARGASATWA PALIYAN, GUNUNG KIDUL, YOGYAKARTA.
POLA PERILAKU BERSELISIK (GROOMING BEHAVIOUR) MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis, RAFFLES 1821)
DI SUAKA MARGASATWA PALIYAN, GUNUNG KIDUL, YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna
Memperoleh Gelar Sarjana Biologi
Oleh
Moh Galang Eko Wibowo 12308144006
PROGRAM STUDI BIOLOGI JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
(2)
(3)
(4)
(5)
MOTTO
Life is so hard. It is even harder when you are stupid
(6)
PERSEMBAHAN
Dengan mengucap syukur Alhamdulillah, saya persembahkan karya sederhana ini untuk orang-orang tersayang
1. Ibu Retno Handayani, Bapak Jajang Syamsu, Adik Undang Adhyono Mahmud, Bibi Diah Rahmawati terima kasih atas doa, semangat, dan inspirasinya selama penyusunan tugas akhir skripsi ini dilakukan.
2. Pembimbing saya yaitu Ibu Sukarni Hidayati, M. Si. dan Bapak Sukiya, M. Si. yang selalu sabar selama penyusunan karya ini.
(7)
POLA PERILAKU BERSELISIK (GROOMING BEHAVIOUR) MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis, RAFFLES 1821)
DI SUAKA MARGASATWA PALIYAN, GUNUNG KIDUL, YOGYAKARTA
Oleh
Moh Galang Eko Wibowo NIM 12308144006
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui pola perilaku grooming monyet ekor panjang di Suaka Margasatwa Paliyan, (2) mengetahui waktu dan frekuensi perilaku grooming monyet ekor panjang di Suaka Margasatwa Paliyan, (3) mengetahui perbandingan perilaku autogrooming dan allogrooming monyet ekor panjang di Suaka Margasatwa Paliyan.
Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain deskriptif eksploratif dengan metode ad-libitum dan scan sampling. Pengambilan data dilakukan dengan 2 metode agar data yang didapat akurat. Metode ad-libitum adalah pencatatan perilaku sebanyak mungkin dari anggota kelompok yang teramati. Metode scan sampling adalah mencatat perilaku individu yang pertama kali terlihat pada suatu interval waktu. Scan menunjukan banyaknya data dari perilaku yang teramati dalam suatu interval waktu. Interval waktu yang digunakan adalah satu menit.
Hasi penelitian menunjukkan bahwa: (1) Pada monyet ekor panjang dewasa membentuk pola perilaku terlihat pada pagi dan sore hari baik autogrooming maupun allogrooming. Monyet ekor panjang juvenil terlihat lebih banyak pola perilaku pada allogrooming. Monyet ekor panjang infant terlihat pola perilaku allogrooming terjadi pengulangan aktivitas namun berbeda waktu. (2) Perilaku grooming yaitu autogrooming dan allogrooming lebih sering dilakukan pada pagi hari (pukul 06.00-11.00) dan sore hari (pukul 15.01-17.00). Perilaku autogrooming lebih sering dilakukan oleh betina dewasa, sedangkan perilaku allogrooming lebih sering dilakukan oleh induk betina dan anak. Betina dewasa lebih sering menjadi pelaku selisik dan juvenil sebagai penerima selisik. Monyet dewasa lebih lama dalam melakukan autogrooming dan allogrooming. Ranting pohon lebih sering dijadikan lokasi grooming dengan sesekali di bawah pohon. Posisi memunggungi dan berhadapan lebih sering terlihat pada perilaku allogrooming. Posisi duduk sebagai posisi yang terlihat ketika terjadi perilaku autogrooming. (3) Perilaku allogrooming durasinya lebih panjang dan juga frekuensinya lebih tinggi dibandingkan autogrooming.
Kata kunci: Grooming, Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis), Autogrooming, Allogrooming, Pola Perilaku.
(8)
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia-Nya serta sholawat dan salam kepada nabi Muhammad SAW. Atas rahmatnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang disusun sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Biologi di Universitas Negeri Yogyakarta dengan baik. Penulis menyadari perlu bantuan dari berbagai pihak dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Paidi, M. Si., Kajurdik Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta.
2. Ibu Sukarni Hidayati, M. Si., sebagai pembimbing utama tugas akhir skripsi yamg telah memberikan pengarahan, saran serta sabar dalam memberikan bimbingannya.
3. Bapak Sukiya, M. Si. sebagai pembimbing pendamping tugas akhir skripsi yang telah memberikan aspirasinya dalam membantu menyelesaikan skripsi.
4. Bapak Prof. Dr. IGP Suryadarma, selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan pengarahan, aspirasi dan bantuannya selama masa kuliah.
5. Ibu Ir. Ammy Nurwati, MM., Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Yogyakarta yang telah mengijinkan penulis untuk melakukan penelitian tugas akhir skripsi di Suaka Margasatwa.
(9)
6. Bapak Joko Priyono, SP., Kepala Seksi Konservasi Wilayah II yang telah memberikan saran dan masukan dalam proses penyusunan skripsi dengan baik.
7. Ibu N Wisudhaningrum, S. Hut, M. Sc., pembimbing lapangan yang telah memberikan masukan dan mendampingi dalam penelitian skripsi dengan baik.
8. Bapak Widodo, Kepala Resort Suaka Margasatwa Paliyan yang telah meluangkan waktu dan tenaga untuk membantu, memfasilitasi dalam penelitian tugas akhir.
9. Segenap dosen Biologi FMIPA UNY yang dengan senang hati memberikan ilmunya selama masa kuliah.
10.Ibu Retno Handayani, Bapak Jajang Syamsu, Adik Undang Adhyono Mahmud, Bibi Diah Rahmawati terima kasih atas doa, semangat, dan inspirasinya selama penyusunan tugas akhir skripsi ini dilakukan. 11.Ahmad Arifandy Hidayat, S. Si., selaku tim penelitian monyet ekor
panjang, terima kasih atas kerja sama dan bantuannya dalam melakukan penelitian dan penyusunan skripsi ini sehingga berjalan menyenangkan. 12.Wahyu Nuryadi Harsono, S. Si., Setyo Sulistyono, Anton Pandapotan,
terima kasih atas bantuan dalam pengambilan data sehingga penelitian dapat berjalan dengan mudah dan menyenangkan.
13.Tea Assidiq, Syaifudin Al Fajri, terima kasih atas bantuan dalam kehidupan sehari-hari serta dalam menghiburnya.
(10)
14.Teman-teman SBS yang selalu menghibur dan membantu dalam membuat suasana gembira.
15.Teman-teman Biologi Swadana 2012 yang selalu membuat kehidupan berwarna dalam empat tahun masa kuliah.
16.Semua pihak yang telah membantu namun tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam karya ini, maka dari itu perlu adanya saran yang dapat membantu penulis. Semoga semua bantuan dapat dibalas dengan pahala yang setimpal. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi saya dan pembaca.
Yogyakarta, 1 Desember 2016
(11)
DAFTAR TABEL
COVER ... i
PERSETUJUAN ... ii
PERNYATAAN ... iii
PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK. ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 3
C. Pembatasan Masalah ... 4
D. Rumusan Masalah ... 5
E. Tujuan ... 5
F. Manfaat ... 5
G. Batasan Operasional ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7
A. Kajian Teori ... 7
1. Deskripsi Monyet Ekor Panjang ... 7
2. Deskripsi Perilaku ... 13
3. Perilaku Monyet Ekor Panjang ... 14
(12)
5. Deskripsi Suaka Margasatwa ... 25
B. Kerangka Berpikir ... 26
BAB III METODE PENELITIAN ... 29
A. Desain Penelitian ... 29
B. Waktu dan Tempat Penlitian ... 29
C. Alat dan Bahan Penelitian ... 30
D. Sampel Penelitian... 30
E. Jenis Data yang Dihimpun ... 30
F. Metode Pengumpulan Data ... 31
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33
A. Hasil Penelitian ... 33
1. Jumlah Waktu dan Frekuensi Grooming Monyet Ekor Panjang ... 33
2. Perbandingan Waktu Grooming pada Pagi, Siang, Sore Hari ... 38
3. Perbandingan Perilaku Autogrooming dan Allogrooming ... 39
B. Pembahasan... 41
1. Jumlah waktu dan Frekuensi Grooming Monyet Ekor Panjang ... 41
2. Perbandingan Waktu Grooming pada Pagi, Siang, Sore Hari ... 53
3. Perbandingan Perilaku Autogrooming dan Allogrooming ... 54
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 56
A. Kesimpulan ... 56
B. Saran ... 57
DAFTAR PUSTAKA ... 58
(13)
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Perilaku Autogrooming pada Jantan Dewasa dan Betina Dewasa ... 33
Tabel 2. Perilaku Allogrooming pada Monyet Ekor Panjang Dewasa ... 34
Tabel 3. Perilaku Autogrooming Juvenil ... 35
Tabel 4. Perilaku Allogrooming Juvenil ... 36
Tabel 5. Perilaku Allogrooming Infant ... 37
Tabel 6. Persentase Autogrooming dan Allogrooming pada Pagi, Siang, dan Sore Hari ... 38
(14)
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Peta distribusi menurut IUCN ... 8
Gambar 2. Bagan group living species ... 17
Gambar 3. Model Seyfarth ... 19
Gambar 4. Model Henzi dan Barret ... 20
Gambar 5. Faktor-Faktor Penyebab Grooming ... 23
Gambar 6. Perbedaan antara Scratch reflex, Grooming, Social grooming ... 25
Gambar 7. Alur Kerangka Pikir ... 28
Gambar 8. Peta Kawasan Suaka Margasatwa Paliyan ... 29
Gambar 9. Pengumpulan Data ... 32
Gambar 10. Persentase Frekuensi Autogrooming pada Jantan Dewasa dan Betina Dewasa ... 33
Gambar 11.Pola Perilaku Autogrooming pada Jantan Dewasa dan Betina Dewasa 34 Gambar 12. Frekuensi Monyet Ekor Panjang Dewasa ... 34
Gambar 13.Pola Perilaku Allogrooming Monyet Ekor Panjang Dewasa ... 35
Gambar 14.Pola Perilaku Autogrooming Juvenil ... 35
Gambar 15.Frekuensi Allogrooming pada Juvenil ... 36
Gambar 16.Pola Perilaku Allogrooming pada Juvenil ... 37
Gambar 17.Pola Perilaku Allogrooming Monyet Ekor Panjang Infant ... 37
Gambar 18.Pola Perilaku Allogrooming Monyet Ekor Panjang ... 38
Gambar 19.Persentase Autogrooming dan Allogrooming pada Pagi, Siang, dan Sore Hari ... 39
Gambar 20.Perbandingan Perilaku Autogrooming dan Allogrooming ... 40
Gambar 21.Monyet Ekor Panjang Betina Dewasa Melakukan Autogrooming di Pohon Flamboyan (Delonix regia) ... 42
(15)
Gambar 22.Monyet Ekor Panjang Jantan Dewasa Melakukan Autogrooming ... 43 Gambar 23.Perilaku Allogrooming Monyet Ekor Panjang Betina Dewasa terhadap
Jantan Dewasa pada Pohon Flamboyan (Delonix regia) ... 46 Gambar 24. Contoh Allogrooming Monyet Ekor Panjang Betina Dewasa terhadap
Jantan Dewasa ... 47 Gambar 25.Monyet Ekor Panjang Betina Dewasa Melakukan Allogrooming
terhadap Juvenil... 49 Gambar 26. Contoh Monyet Ekor Panjang Betina Dewasa melakukan
Allogrooming terhadap Juvenil ... 50 Gambar 27.Monyet Ekor Panjang Betina Dewasa Melakukan Allogrooming
(16)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Dokumentasi ... 57 Lampiran 2. Rekapitulasi Data ... 62
(17)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Paliyan merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada kecamatan Paliyan, terdapat Suaka Margasatwa. Suaka Margasatwa adalah suatu tempat yang digunakan untuk pengadaan konservasi hewan. Suaka Margasatwa Paliyan memiliki ciri khas ekosistem yang unik ditinjau dari aspek fisik dan biotiknya. Letaknya yang berada di kawasan karst Gunung Sewu menyebabkan kondisi ekosistem Suaka Margasatwa Paliyan sangat spesifik. Kawasan karst Gunung Sewu menjadi spesifik karena daerah tersebut sangat tidak menguntungkan bagi kebanyakan tumbuhan. Terlihat dari kondisi tanah yang tipis, unsur hara yang terbatas, air yang sangat terbatas, cuaca yang kurang bersahabat, kondisi panas terutaman pada musim kemarau. Tumbuhan yang hidup dikawasan ini tentunya akan mengalami proses adaptasi terhadap lingkungan. (Ibnu Maryanto, 2006: 106). Hal ini berdampak pada perilaku adaptasi tiap jenis satwa yang ada di Kawasan Suaka Margasatwa Paliyan menjadi lebih spesifik, sehingga tidak setiap jenis satwa mampu hidup pada kondisi ekosistem yang ada di kawasan Suaka Margasatwa Paliyan. Salah satu satwa yang dapat ditemukan di kawasan Suaka Margasatwa Paliyan adalah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).
Monyet ekor panjang di kawasan Suaka Margasatwa Paliyan merupakan satwa khas di Suaka Margasatwa Paliyan. Monyet ekor panjang
(18)
termasuk dalam ordo primata. Salah satu ciri khas primata adalah kehidupan sosialnya. Kehidupan sosial primata sangat unik karena terdapat hirarki dalam suatu kelompok yang berpengaruh terhadap perilaku individu di kelompok tersebut. Selain itu, primata juga memiliki bentuk perilaku sosial yang unik yaitu perilaku grooming. Perilaku grooming terjadi sebagai penanda bahwa monyet ekor panjang merupakan hewan sosial. Grooming adalah kegiatan mencari dan mengambil kotoran atau parasit pada permukaan kulit dan rambut (Smuts, et al., 1987: 3). Masyarakat sering menyebut grooming tersebut dengan istilah “mencari kutu”. Grooming terbagi menjadi dua yaitu autogrooming dan allogrooming. Autogrooming yaitu grooming yang dilakukan secara individu (tanpa adanya partner). Sedangkan allogrooming yaitu grooming yang dilakukan dengan berpasangan (dengan adanya partner) (Khrisna, 2006: 1). Allogrooming biasanya dilakukan oleh minimal dua individu yang mempunyai peran berbeda. Peran tersebut yaitu penerima grooming (groomee) dan pemberi grooming (groomer). Pada saat melakukan grooming, monyet ekor panjang menggunakan mulut, tangan dan kakinya untuk mencari dan mengambil kotoran atau parasit pada tubuhnya. Bagi primata perilaku grooming merupakan salah satu bentuk komunikasi dengan menggunakan sentuhan (Napier dan Napier, 1985: 60). Pada genus Macaca, grooming mempunyai fungsi untuk memperkuat hubungan antar individu pada suatu kelompok serta meredakan ketegangan ketika terjadi konflik diantara individu pada suatu kelompok (Matheson dan Bernstein, 2000).
(19)
Menurut Khana dan Yadav (2005: 57) perilaku pada primata diakibatkan adanya rangsangan yang datang berupa internal atau eksternal dengan cara tertentu. Lebih jauh dijelaskan bahwa habitat monyet yang sering bersentuhan dengan manusia (semi range) berpengaruh terhadap perilaku monyet. Keadaan ini dapat berpengaruh terhadap perilaku hewan tersebut, terutama aktivitas (perilaku) hariannya (Budayasih, 1993: 87). Suaka Margasatwa Paliyan yang merupakan kawasan perlindungan satwa liar merupakan tempat yang masih alami dan relatif lebih sedikit aktivitas manusia didalamnya. Kondisi ini memungkinkan monyet ekor panjang hidup dalam keadaan yang masih alami. Namun demikian, belum adanya penelitian tentang pola perilaku grooming di Suaka Margasatwa Paliyan. Pola perilaku grooming di Suaka Margasatwa Paliyan dapat memberikan gambaran bagaimana perilaku monyet ekor panjang di alam liar. Penelitian ini menjadi penting untuk mengetahui hubungan perilaku grooming dengan perilaku lainnya mendukung keberhasilan kegiatan konservasi.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut:
1.Pola perilaku grooming monyet ekor panjang di Suaka Margasatwa Paliyan perlu diketahui karena berkaitan dengan perilaku sosial monyet ekor panjang.
(20)
2.Waktu yang diperlukan pada perilaku grooming monyet ekor panjang di Suaka Margasatwa Paliyan diperlukan karena untuk mengetahui pola perilaku monyet ekor panjang.
3.Frekuensi perilaku grooming monyet ekor panjang di Suaka Margasatwa Paliyan perlu diketahui untuk mengetahui pola perilaku monyet ekor panjang.
4.Perbandingan perilaku autogrooming dan allogrooming monyet ekor panjang di Suaka Margasatwa Paliyan perlu diketahui untuk mengetahui seberapa besar intensitas kedua perilaku tersebut.
Perilaku grooming juga mempengaruhi dalam perilaku agonistik, baik support agonistik yaitu meredakan ketegangan diantara monyet ekor panjang.
C. Pembatasan Masalah
1.Pola perilaku monyet ekor panjang dalam penelitian ini tidak dibedakan antara dekat dengan pemukiman atau jauh dari pemukiman.
2.Pola perilaku grooming hanya didasarkan pada hasil observasi saat dilakukan penelitian tanpa mengkaji hirarki sosial dan membedakan kelompok monyet ekor panjang yang ditemukan.
3.Waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah waktu yang dimulai dari peneliti menemukan perilaku grooming hingga akhir perilaku grooming.
(21)
D. Rumusan Masalah
1.Seperti apa pola perilaku grooming monyet ekor panjang di Suaka Margasatwa Paliyan?
2.Berapa waktu dan frekuensi perilaku grooming monyet ekor panjang di Suaka Margasatwa Paliyan?
3.Seperti apa perbandingan perilaku autogrooming dan allogrooming monyet ekor panjang di Suaka Margasatwa Paliyan?
E. Tujuan
1.Mengetahui pola perilaku grooming monyet ekor panjang di Suaka Margasatwa Paliyan.
2.Mengetahui waktu dan frekuensi perilaku grooming monyet ekor panjang di Suaka Margasatwa Paliyan.
3.Mengetahui perbandingan perilaku autogrooming dan allogrooming monyet ekor panjang di Suaka Margasatwa Paliyan.
F. Manfaat
1. Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan dalam menyusun penelitian pengembangannya.
2. Bagi masyarakat dan instansi terkait penelitian dapat dijadikan sebagai pertimbangan kebijakan dalam kegiatan konservasi di Suaka Margasatwa Paliyan.
(22)
G. Batasan Operasional
1.Pola menurut KBBI adalah bentuk (struktur) yang tetap. Perilaku menurut KBBI adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. Pola perilaku adalah suatu bentuk perilaku yang tetap. Pola perilaku berselisik pada monyet ekor panjang dapat terbentuk setelah adanya perilaku yang terlihat lebih dari satu kali. Pola perilaku berselisik monyet ekor panjang di Suaka Margasatwa Paliyan dapat membantu dalam mempelajari beberapa hal yang berhubungan dengan perilaku berselisik.
2.Selisik (grooming) menurut KBBI adalah menyingkap-nyingkap (rambut, bulu) untuk mencari kutu; mengutui. Perilaku berselisik merupakan perilaku membersihkan diri dari kotoran. Perilaku berselisik monyet ekor panjang terdiri dari autogrooming dan allogrooming. Autogrooming adalah perilaku berselisik yang dilakukan secara mandiri. Allogrooming adalah perilaku berselisik yang dilakukan dengan berpasangan. Perilaku berselisik monyet ekor panjang di Suaka Margasatwa Paliyan diteliti karena ekosistem yang unik yaitu hutan berbatuan karst.
3.Frekuensi menurut KBBI adalah jumlah siklus suatu peristiwa per detik. Frekuensi dan waktu berselisik monyet ekor panjang di Suaka Margasatwa Paliyan terdiri dari autogrooming dan allogrooming. Frekuensi dan waktu pada allogrooming lebih tinggi dibandingkan dengan autogrooming. Allogrooming dipengaruhi dengan besarnya kelompok. Autogrooming dipengaruhi oleh kebutuhan dirinya sendiri.
(23)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1.Deskripsi Monyet Ekor Panjang
a. Klasifikasi dan penyebaran monyet ekor panjang
Monyet ekor panjang adalah anggota suku Cercopithecoidae dari ordo Primata. Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) mempunyai distribusi luas meliputi daratan utama dan pulau-pulau di Asia Tenggara di posisi 21o lintang utara sampai dengan 10o lintang selatan dan dari 92o sampai 126o bujur timur. Istilah dalam bahasa Inggris yaitu crab-eating, cynomolgous, kra dan longtail macaque (Fooden, 1995: 1). Menurut Nowak (1991: 400) sebarannya meliputi bagian selatan dari Burma, Thailand, Indocina, Semenanjung Malaya, Kepulauan Nicobar, Sumatra Jawa, Kalimantan, Filipina, dan pulau-pulau kecil di Nusa Tenggara sampai ke Timor. Di Papua dan beberapa pulau lain di sekitarnya monyet ekor panjang merupakan jenis yang diintroduksi dan termasuk sebagai jenis asing (eksotik) yang invasif. Macaca fascicularis dapat bertahan hidup di beragam habitat tropis. Hal ini didukung oleh fakta bahwa monyet ekor panjang dapat beradaptasi di berbagai tipe habitat, meliputi pantai, hutan rawa, hutan hujan dataran rendah sampai ke hutan pegunungan. (Kemp dan Burnett, 2003: 13).
(24)
Berikut adalah peta distribusi menurut IUCN
Gambar 1. Peta distribusi monyet ekor panjang menurut IUCN (Sumber: www.iucnredlist.org)
b. Morfologi monyet ekor panjang
Ciri-ciri umum monyet ekor panjang adalah sebagai berikut: panjang tubuh dewasa berkisar antara 400-500 mm, dengan panjang ekor berkisar 400-500 mm, panjang telapak kaki belakang berkisar antar 120-140 mm sedangkan tengkoraknya memiliki ukuran sekitar
(25)
120 mm dengan panjang telinga 3-3,33 mm dan mempunyai berat tubuh 3-6,5 kg (Suprijatna, 2000: 72).
Monyet ekor panjang dalam hidupnya melewati fase pergantian warna tubuh, yaitu fase bayi dengan warna tubuh oranye dan fase dewasa dengan warna tubuh yang coklat keabu-abuan dan kemerah-merahan. Rambut kepala tumbuh ke arah belakang, kadang-kadang membentuk jambul dan rambut yang terdapat pada pipi menjurai di mukanya. Bagian mata selalu ada kulit yang tidak memiliki rambut berbentuk seperti segitiga (Carter, 1978: 78).
Perbedaan antara jantan dan betina, secara morfologis terletak pada perkembangan alat kelamin sekunder. Kelompok umur pada monyet dibedakan berdasarkan ukuran tubuh dan aktifitas hariannya. Pada jantan dewasa (Adult male) mempunyai ukuran tubuh relatif besar sekitar 5-9 kg, tegap dan kuat serta lebih agresif dan lincah. Bagian dada yang lebar mengecil pada bagian pinggang, bulu pada bagian muka lebih panjang daripada individu betina. Jantan dewasa memiliki penis yang kecil dengan scrotum yang berbentuk tombol bundar. Betina dewasa (adult female) memiliki ukuran tubuh 50-75% dari ukuran jantan dewasa yaitu sekitar 3-6 kg. Kelenjar mammae berkembang dengan baik serta perilaku yang lebih tenang. Individu pradewasa mempunyai ukuran tubuh yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan individu dewasa dengan warna tubuh yang lebih kecoklat-coklatan dan belum mempunyai rambut yang
(26)
berbentuk jambul pada kepalanya. Individu yang tergolong anak (juvenil) mempunyai ukuran tubuh lebih kecil daripada individu pradewasa, sudah lepas dari induknya (bergerak secara independent), dan biasanya mempunyai perilaku bermain yang lebih menonjol dari individu kelompok umur lainnya. Individu yang masih bayi berwarna oranye terlihat jelas berada di dalam gendongan betina dewasa ataupun menggelantung pada perut (Napier dan Napier, 1985: 98).
Salah satu ciri khas monyet ini adalah bantalan keras dari kulit tebal pada pantat yang disesuaikan terhadap lamanya waktu tidur di dahan pohon. Bantalan yang disebut kapal pantat ini melekat langsung pada bagian bawah pinggul, maka tidak ada urat syaraf atau pembuluh darah yang terhimpit, sehingga tungkai monyet ini tidak akan “kesemutan” bila berat badannya menekan bantalan tadi. (Eimerl dan DeVore, 1978: 115).
Cara bergerak Monyet Ekor Panjang pada umumnya adalah quadropedal (bergerak dengan menggunakan keempat anggota badan). Pergerakan juga dilakukan dengan cara melompat, memanjat, bipedalisme (gerakan dengan menggunakan dua kaki), dan brakiasi (gerakan dengan dua tangan untuk menggantung). Bipedalisme biasa terjadi saat tangan memegang makanan, oleh karena itu monyet ekor panjang dapat bergerak bebas di permukaan tanah maupun di pepohonan. Proporsi waktu yang digunakan untuk
(27)
aktifitas di permukaan tanah dan pepohonan bervariasi.dalam dan antar kelompok (Napier dan Napier, 1985: 120).
c. Habitat dan kebiasaan makan monyet ekor panjang
Monyet ini hidup pada hutan primer dan sekunder mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi sekitar 1000 meter diatas permukaan laut. Pada dataran tinggi, jenis monyet ini biasanya dijumpai di daerah pertumbuhan sekunder atau pada daerah-daerah perkebunan penduduk, seringkali juga ditemukan di hutan bakau sampai ke hutan dekat perkampungan (Suprijatna, 2000: 73). Monyet ini bersifat diurnal yang artinya mulai beraktifitas ketika matahari terbit hingga matahari tenggelam, seringkali pada siang hari, monyet ini istirahat dan bermain bagi anak-anaknya. Monyet ekor panjang dalam memilih pohon tidur, monyet ekor panjang lebih menyukai pohon yang tumbuh di sekitar tepian sungai dengan tidur berkelompok pada satu pohon atau pohon lain yang berdekatan (Suprijatna, 2000: 74).
Ketika mendapat ancaman dari luar, biasanya monyet ini mengeluarkan suara yang keras dan melengking (onomatopoeic). Untuk mendeteksi keberadaan kelompok biasanya dikeluarkan suara “krra!” dan ketika melalukan perjalanan, kelompok ini lebih berisik dibandingkan lutung dengan daun-daun dan ranting yang diinjak (Suprijatna, 2000: 74).
(28)
d. Makanan monyet ekor panjang
Monyet ekor panjang memakan segala jenis makanan (omnivora), namun komposisinya mengandung lebih banyak buah-buahan (60%), selebihnya berupa bunga, daun muda, biji, umbi. Monyet yang hidup di rawa-rawa kadang-kadang turun ke tanah pada air surut dan berjalan menelusuri sungai guna mencari serangga. Monyet yang hidup di daerah bakau atau pesisir, sering dijumpai memakan kepiting atau jenis moluska lainnya sehingga sering disebut “Monyet Pemakan Kepiting” (Suprijatna, 2000: 73). e. Kelompok sosial monyet ekor panjang
Monyet ekor panjang hidup dalam kelompok, terdiri dari banyak jantan dan betina dewasa. Jumlah individu setiap kelompok berbeda. Jumlah monyet ekor panjang di hutan bakau umumnya berjumlah antara 10-20 ekor, sedangkan pada hutan primer bisa mencapai 20-30 ekor. Namun, hutan sekunder yang pernah diteliti, jumlah anggota kelompok mencapai 30-50 ekor. Besar kecilnya kelompok ditentukan oleh ada tidaknya pemangsa atau kelimpahan sumber pakan di alam. Jantan muda kadang-kadang hidup soliter atau membentuk kelompok kecil dengan jantan muda lain. Didalam kelompok, komposisi jantan dan betina berimbang dan hanya pada saat habitatnya terganggu jumlah jantan dalam kelompok berkurang. Kompetisi antar jantan sering terlihat di dalam kelompok, sedangkan bentuk kerja sama dengan saling mencari kutu juga dilakukan pada
(29)
siang hari. Perkelahian antar kelompok sering terjadi. Namun, bila jumlah pakan yang tersedia banyak, terjadi pula penggabungan kelompok. Masa hamil primata ini antara 160-170 hari, jarak kelahiran sekitar 13 bulan dan monyet ini dapat bertahan hidup hingga 37 tahun (Suprijatna, 2000: 73).
f. Daerah jelajah monyet ekor panjang
Genus Macaca umumnya dapat memanjat dan loncat sejauh 5 meter. Jenis monyet ekor panjang juga dapat berenang dengan baik. Jelajah hariannya dapat mencapai lebih dari 1500 meter dan daerah jelajahnya bervariasi mulai dari 10-80 hektar di daerah hutan primer, dan 125 hektar pada hutan bakau.
g. Status konservasi monyet ekor panjang
Menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources), monyet ekor panjang masuk dalam kategori Least Concern sedangkan menurut CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) satwa ini masuk dalam kategori Appendix II dimana artinya spesies ini dapat dimanfaatkan dan diperdagangkan sejauh merupakan hasil penangkaran (Soehartono dan Mardiastuti, 2002: 38).
2.Deskripsi Perilaku
Kajian tentang perilaku suatu makhluk hidup sejak zaman dahulu sudah dipelajari. Ini terlihat dari beberapa peneliti yang mengamati suatu
(30)
makhluk hidup di daerah tertentu. Perilaku tersebut sangatlah khas antara satu jenis dengan jenis lainnya. Perilaku ini merupakan suatu kebiasaan yang bersifat turun temurun dan juga hasil adaptif generasi sebelumnya. Perilaku adalah kebiasaan-kebiasaan aktif maupun pasif daripada suatu makhluk hidup pada waktu-waktu tertentu seperti, membuat sarang, mencari makan, kawin dan lain-lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. Perilaku adalah bertindak, bereaksi, atau berfungsi dalam suatu cara tertentu sebagai respons terhadap beberapa stimulus (rangsangan) (Anna Rahmawati, 2014: 1).
3.Perilaku Monyet Ekor Panjang
Perilaku merupakan ekspresi hewan yang disebabkan oleh berbagai faktor, baik dari dalam tubuh maupun dari luar tubuh. Perilaku dapat disebabkan oleh faktor yang mempengaruhinya antara lain faktor eksogenus, endogenus, pengalaman dan fisiologis (Sari, 2004: 15). Perilaku tersebut perlu diamati agar dapat diketahui reaksi hewan atas suatu perubahan atau tekanan dari lingkungan (Bennet, et al., 1995).
Pijoh (2006: 12) menyatakan bahwa mengklasifikan perilaku harian monyet di alam sebagai berikut:
a. Makan: perilaku yang meliputi proses pengumpulan pakan sampai mengunyah dan dilakukan pada pohon yang sama.
b. Mencari makan: perilaku yang meliputi pergerakan diantara sumber makanan, biasanya di antara pohon.
(31)
c. Istirahat: perilaku tidak melakukan apapun atau berbaring.
d. Berkelahi: perilaku ini ditandai dengan ancaman mimik muka atau gerakan badan, menyerang, memburu dan baku hantam.
e. Merawat diri: perilaku mencari kotoran dari tubuh sendiri maupun dari tubuh individu lain yang sejenis.
f. Kawin: hubungan seksual yang dimulai dari pengejaran terhadap betina dan diakhiri dengan turunnya pejantan dari betina setelah kopulasi.
g. Bermain: perilaku bermain antar individu, terutama anak monyet.
4.Pengertian Grooming
Grooming merupakan salah satu perilaku sosial dalam bentuk sentuhan yang umum dilakukan dalam kelompok primata. Perilaku ini dilakukan dengan tujuan untuk merawat dan mencari kutu di semua rambutnya (Kartikasari, 1986: 20). Perilaku grooming terbagi menjadi dua yaitu allogrooming (grooming yang dilakukan secara berpasangan atau dilakukan dengan individu lain), dan autogrooming (grooming yang dilakukan sendiri atau tidak berpasangan). Allogrooming yang dilakukan secara berpasangan diasumsikan sebagai perilaku kooperatif bergabung yang akan menghasilkan keuntungan bagi kedua pihak. Allogrooming juga merupakan satu cara untuk mempererat hubungan antar individu (Raharjo, 2008: 38). Monyet ekor panjang yang melakukan grooming akan membersihkan telinga, leher, bahu, punggung dan pantat dari pasangannya dengan menggunakan jari-jari tangan, kaki, gigi dan lidah.
(32)
Perilaku saling merawat ini merupakan salah satu bentuk yang menunjukan persahabatan dalam kelompok (Napier dan Napier, 1985: 79). Perilaku berselisik pada genus Macaca berfungsi untuk memperkuat hubungan antar individu dalam satu kelompok serta meredakan ketegangan pada saat terjadi konflik di antara individu dalam kelompok (Matheson dan Bernstein, 2000: 177).
Fungsi utama grooming yaitu fungsi higienis dan fungsi sosial. Fungsi higienis yaitu membersihkan ektoparasit dari badan untuk menghindari penyakit. Fungsi sosial yaitu memelihara hubungan dalam kelompok. Pada grooming dijelaskan tentang pola yang berbeda yang diamati pada skala global, dimana sebagian besar perbedaan antar kelompok dalam ukuran kelompok dan dalam sistem sosial serta pada skala yang lebih spesifik, menjelaskan faktor utama yang mempengaruhi distribusi grooming antar individu (Marina, 2015: 1). Grooming didasari oleh dua faktor kelompok, yaitu faktor antar kelompok dan faktor intra kelompok.
a. Faktor antar kelompok
Faktor antar kelompok terdiri atas dua sub faktor yaitu besarnya ukuran kelompok dan sistem sosial. Besarnya ukuran kelompok primata yang terdiri dari kelompok besar membutuhkan mekanisme (seperti sosial grooming) yang memungkinkan mereka untuk mempertahankan struktur sosial dan kohesi kelompok. Ada tiga jenis organisasi sosial pada
(33)
primate: soliter, hidup berpasangan dan berkelompok. Sistem sosial berkelompok juga dapat dibagi menjadi empat kelompok, dibedakan dalam jumlah jantan dan persebaran betina:
Gambar 2. Bagan group living species (Sumber: UAB) Sistem sosial berkelompok dibedakan dalam jumlah jantan dan persebaran betina. Jumlah jantan dibagi menjadi dua yaitu kelompok pejantan tunggal dan banyak kelompok jantan. Persebaran betina dibagi menjadi dua yaitu female resident groups dan female transfer groups. Female resident groups maksudnya adalah kelompok betina yang lahir dan besar pada kelompok tersebut. Female transfer groups maksudnya adalah kelompok betina yang pindah dari suatu kelompok karena suatu hal.
Untuk mengetahui bagaimana kehadiran jantan yang memberikan efek terhadap kebiasaan betina dan bagaimana tingkat variasinya diantara perbedaan organisasi sosial,
(34)
beberapa peneliti mengukur tingkat timbal balik grooming diantara para betina dan berikut adalah hasilnya:
1) Tingginya tingkat grooming reciprocation diantara spesies betina asal → ikatan lebih kuat pada spesies tersebut pada grup asal.
2) Timbal balik grooming berkurang dengan berkurangnya sex ratio diantara spesies asal → pejantan memainkan peran dimana betina berkompetisi mendapatkannya.
3) Terdapat grooming reciprocation lebih pada single male daripada multi male groups → kompetisi diantara betina lebih kuat pada multi male groups. (Marina, 2015: 1)
b.Faktor intra kelompok
Terdapat dua model utama yang menjelaskan fitur esensial daripada grooming networks diantara monyet betina:
(35)
Gambar 3. Model Seyfarth (Sumber: UAB) Keterangan: HR: High Ranking; MR: Middle
Ranking; LR: Low ranking; : kompetisi dalam melakukan grooming; : Grooming
Betina menerima manfaat dari interaksi disebabkan pembersihan ektoparasit dan juga adanya akibat support in an aggresive coalition. Secara tidak langsung high ranking animals lebih atraktif daripada low ranking females dan juga mereka dapat memberi coalitionary support yang lebih baik, itulah sebabnya betina berkompetisi. Adanya kompetisi menyebabkan betina hanya akan grooming pada ranking females yang dekat. Model tersebut memprediksi bahwa grooming ditujukan directed up pada hirarki, tetapi karena adanya kompetisi menyebabkan betina menghabiskan waktu groomingnya pada individu yang rankingnya berdekatan.
(36)
2) Model Henzi dan Barret
Gambar 4. Model Henzi dan Barret (Sumber: Marina, 2015)
Keterangan: AR: Adjacently Ranking females; HR: High Ranking females; MR: Middle Ranking females; LR: Low ranking females; : kompetisi dalam melakukan grooming; : Grooming
Low ranking females memberikan grooming pada high ranking females untuk mendapatkan manfaat terkait rankingnya pada kelompoknya seperti toleransi atau coalitionary support (interchange traders) (Marina, 2015: 1).
Grooming pada monyet ekor panjang dapat berfungsi sebagai mata uang, berupa timbal balik langsung maupun tidak langsung. Timbal balik tidak langsung seperti menaikan ranking pada hirarki. Bentuk timbal balik secara langsung, seperti berkurangnya sifat agresif, berbagi sumber daya, atau mendapatkan pendamping ketika konflik terjadi. Ikatan sosial antara grooming individual juga salah satu bentuk timbal balik secara langsung (Ventura, et al., 2006: 1138).
(37)
Hubungan timbal balik dapat berfungsi berbeda pada allogrooming yang terjadi pada lower ranked dan higher ranked individu. Ini menunjukan bahwa lower ranked individu lebih banyak memberikan grooming pada higher ranked individu daripada individu dengan rank yang sama atau lebih rendah. Ketika lower ranked individu memberikan grooming pada higher ranked individu, umumnya akan mendapatkan proteksi dan dapat diterima oleh kelompok sosialnya serta dipandang lebih. Dari beberapa respon bermanfaat tersebut bagaimanapun akan meningkatkan kebugaran pemberi grooming (Thierry, 1990: 11).
Primata juga dapat membuat suara yang berbeda-beda untuk mengindikasikan mereka ingin memberikan grooming atau menerima grooming, jadi individu dapat mengkomunikasikan keinginan dan niat mereka. Sebuah studi pada betina monyet Jepang (Macaca fuscata) mengindikasikan bahwa groomig individu menggunakan postur “memohon” untuk memberitahu penerima bahwa waktunya si pemberi mendapatkan grooming. Komunikasi tersebut efektif untuk kegiatan tersebut (Muroyama, 1991: 161).
Hipotesis lain yang menjelaskan tentang “truly altruistic” dimana tidak memberikan manfaat besar yang diharapkan daripada harga yang dibayarkan pada pemberi grooming. Mengacu pada hipotesis ini, kebiasaan grooming dipilih berdasarkan kekerabatan. Ini berarti dimana allogrooming mungkin tidak memberikan manfaat kebugaran pada individu, tetapi akan memberikan manfaat kebugaran pada keluarganya
(38)
(Schino, 2007: 115). Dimana anggota keluarga hubungannya lebih erat, mereka membagi gen-gen lebih dengan lainnya dan karenannya menambah kebugaran dengan lainnya. Kebugaran yang dimaksud yaitu dengan kebersihan badan dapat membuat individu menjadi lebih sehat.
Menurut Fabrizio (2011, 11) Pola pergerakan grooming dikendalikan oleh setidaknya dua mekanisme: di satu sisi dipengaruhi oleh beberapa hormon, disisi lain dihasilkan oleh beberapa daerah tertentu dari otak
Hormon yang paling efektif yang menginduksi perilaku grooming adalah adrenokortikotropik hormon (ACTH). Namun, perlu dicatat bahwa peptida lainnya telah ditemukan pada perilaku grooming, seperti vasopressin, oksitosin, prolactin, substansi P, bombesin, somatostatin, thyrotropin – releasing hormon, corticotrophin - releasing factor. ACTH dimediasi oleh opioid endogen, dapat dicegah dengan antagonis nalaxone opioid, disamping itu, dopamin, asam gamma-aminobutyric (GABA), dan serotonin telah ditemukan untuk membantu ACTH, yang menunjukkan kompleksitas tinggi pada kontrol endokrin pada perilaku grooming.
(39)
Gambar 5. Faktor-Faktor Penyebab Grooming. ACTH: hormon adrenokortikotropik. TRH: thyrotropin-releasing
hormone. CRF: corticotrophin-releasing factor.
(Sumber: Fabrizio, 2011)
ACTH disekresi di hipofisis anterior dalam menanggapi hormon corticotropin-releasing dari hipotalamus. corticotropin-releasing hormone disekresi dalam menanggapi berbagai jenis stres. Oksitosin adalah neuropeptide yang diproduksi di hipotalamus dan disekresikan oleh kelenjar hipofisis. Oksitosin dilepaskan selama seks, melahirkan dan menyusui untuk membantu fungsi reproduksi. Neuropeptida ini memberikan beberapa efek psikologis, mempengaruhi perilaku sosial dan emosi. Oksitosin memiliki anti-kecemasan (anxiolytic) efek dan dapat meningkatkan keterikatan romantis dan empati. Prolaktin disekresikan oleh kelenjar hipofisis. Kadar prolaktin berbeda-beda sepanjang hari.
(40)
Kadar tertinggi terjadi pada saat tidur dan tak lama setelah bangun. Kadar prolaktin juga lebih tinggi selama masa stres fisik atau emosional. TRH diproduksi di hipotalamus. TRH mengurangi kecemasan dan sebagai antidepressant.
Berbeda dengan refleks menggaruk dan autogrooming, yang membutuhkan rangkaian saraf di sumsum tulang belakang dan di batang otak, allogrooming terkait erat dengan interaksi sosial, fungsi kompleks yang memerlukan integrasi kompleks di korteks serebral. Volume neokorteks relatif dalam primata sebenarnya berkorelasi dengan beberapa indeks perilaku kompleksitas sosial. Pada gambar (A) rangkaian saraf di sumsum tulang belakang menjamin integrasi sensorik-motorik sederhana pada refleks awal. Pada gambar (B) terpusat (subkortikal) yang dihasilkan perilaku grooming ditujukan untuk perawatan tubuh sendiri. Pada gambar (C) Neokorteks, bersama-sama dengan beberapa hormon, seperti oxytocin (Oxy) dan vasopressin (Va), opioid endogen (EO), dan gen Hoxb8, sangat penting untuk menghasilkan sosial grooming, dimana perilaku grooming terhadap anggota lain dari kelompok sosial.
(41)
Gambar 6. Perbedaan antara Scratch reflex, Grooming, Social grooming. (Sumber: Fabrizio, 2011)
5.Deskripsi Suaka Margasatwa
Kawasan Suaka Alam adalah hutan yang dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah penyangga kehidupan. Termasuk dalam kategori kawasan ini ialah Cagar Alam dan Suaka Margasatwa. Kedua kawasan ini dijaga ketat sehingga, keaslian alamnya tetap terjaga tanpa adanya unsur campur tangan manusia. Kawasan ini hanya diperuntukkan bagi keperluan ilmu pengetahuan dan pendidikan. Saat ini terdapat 245 unit Cagar Alam Darat dengan total luas 3.957.691,66 hektar, dan 5 unit Cagar Alam perairan dengan luas sekitar 152.610 hektar; sedangkan Suaka Margasatwa darat sebanyak 71 unit dengan luas 5.024.138,29 hektar serta 4 unit Suaka Margasatwa perairan dengan luas sekitar 5.588,25 hektar. (Statistik Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2014: 152).
(42)
Menurut UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. Suaka margasatwa yang ada di Yogyakarta sendiri terdiri dua suaka margasatwa, yaitu suaka margasatwa Paliyan dan suaka margasatwa Sermo. Suaka margasatwa Sermo berada di daerah Sermo, Kulon Progo. Suaka margasatwa Paliyan berada di daerah Paliyan, Gunung Kidul. Suaka Margasatwa Paliyan ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 171/Kpts-II/2000 tentang penunjukan kawasan hutan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kawasan ini merupakan alih fungsi dari kawasan hutan produksi pada petak 136 sampai dengan petak 141 berada di wilayah BDH Paliyan dengan luas total 434,60 ha. Suaka Margasatwa Paliyan dengan luas total 434,60 hektar berada di wilayah Kecamatan Paliyan dan Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul. Topografi kawasan berupa perbukitan karst dengan lapisan tanah yang tipis, memiliki kelerengan diatas 40 % serta pada ketinggian antar 100 – 300 m dpl. Letak Suaka Margasatwa Paliyan sendiri berada pada petak 136 s/d 141 yang dulunya merupakan wilayah pangkuan hutan produksi dari Dinas Kehutanan Propinsi D.I Yogyakarta (tepatnya masuk wilayah Resort Polisi Hutan (RPH) Paliyan yang tergabung dalam Bagian Daerah Hutan (BDH).
(43)
B. Kerangka Berpikir
Suaka Margasatwa Paliyan memiliki banyak satwa didalamnya seperti monyet ekor panjang, elang ular bido, cicak batu dan lain lain. Satwa khas dari suaka margasatwa paliyan adalah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).
Perilaku grooming merupakan perilaku sosial dari primata, yang dalam hal ini monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) merupakan perilaku yang unik untuk diteliti. Perilaku grooming dapat diteliti dengan mengacu individu yang terlibat, waktu perilaku grooming, dimana tempat terjadinya perilaku grooming, serta posisi saat sedang melakukan grooming. Pola perilaku grooming juga dapat terbentuk setelah adanya penelitian terhadap individu yang terlibat. Perbandingan autogrooming dan allogrooming dapat digunakan untuk menentukan besar kecilnya kelompok. Perilaku grooming juga dapat digunakan untuk melihat seperti apa hirarki sosial.
(44)
(45)
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain Deskriptif eksploratif dimana penelitian ini dilakukan dengan metode eksploratif yang kemudian dideskriptifkan didalam sebuah laporan.
B. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan 1 bulan, pada bulan Mei 2016. Tempat dilakukannya penelitian di Suaka Margasatwa Paliyan, Gunung Kidul, Yogyakarta. Topografi kawasan Suaka Margasatwa Paliyan berupa perbukitan karst dengan lapisan tanah yang tipis, memiliki kelerengan diatas 40 % serta pada ketinggian antar 100 – 300 m dpl. Lokasi pengamatan monyet ekor panjang berada pada selatan dan timur kawasan, berada pada petak 141 dan 139. Kawasan ini dipilih karena aksesnya dapat dijangkau oleh peneliti sehingga dapat memudahkan peneliti untuk mengamati perilaku grooming monyet ekor panjang.
Gambar 8. Peta Kawasan Suaka Margasatwa Paliyan (Sumber: BKSDA Yogyakarta, 2005)
(46)
A. Alat dan Bahan Penelitian
Peralatan dan bahan yang digunakan untuk penelitian terdiri atas: alat tulis, clipboard, binokuler, kamera, counter, GPS (Global Positioning System).
B. Sampel Penelitian
Pada penelitian ini berupa kelompok monyet ekor panjang, pemilihan sampel dilakukan secara purposive sampling, dimana pemilihan berdasarkan kondisi habitat, pohon tidur, klimatik, jumlah anggota dalam kelompok.
C. Jenis Data yang Dihimpun
Jenis data yang dikumpulkan yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh melalui pengamatan langsung pada beberapa kelompok monyet ekor panjang yang terlihat pada stasiun pengamatan 1 dan 2 dari pukul 06.00 sampai dengan 17.00 dan akan berhenti bila kondisi tidak mendukung seperti hujan atau monyet berada pada tempat yang sulit diamati. Data sekunder merupakan data pelengkap dan diperoleh melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut: wawancara pada masyarakat di sekitar hutan dan pihak polisi hutan resort Paliyan, mempelajari literature sebelumnya yang telah dilaksanakan Suaka Margasatwa Paliyan serta literature yang berkaitan dengan data yang diperlukan. Berikut data primer yang akan diteliti meliputi:
(47)
Data primer berupa:
1. Perilaku grooming pada jantan dewasa dan betina dewasa 2. Perilaku grooming pada juvenile
3. Perilaku grooming pada infant
4. Perilaku grooming pada pagi, siang dan sore hari
5. Perbandingan perilaku autogrooming dan allogrooming
Data sekunder berupa keadaan cuaca secara umum dan topografi.
D. Metode Pengumpulan Data
Pengamatan kelompok dilakukan dengan mengikuti kelompok dari pagi (pukul 06.00) sampai dengan sore (pukul 17.00). Pengamatan lebih sering dilakukan di tempat yang sering disinggahi dari satu kelompok. Pengamatan berhenti apabila monyet berada pada tempat yang sulit diamati atau keadaan alam yang buruk seperti hujan.
Pengambilan data dilakukan dengan metode ad-libitum dan scan sampling. Pengambilan data dilakukan dengan 2 metode agar data yang didapat akurat. Metode ad-libitum adalah pencatatan perilaku sebanyak mungkin dari anggota kelompok yang teramati. Metode scan sampling adalah mencatat perilaku individu yang pertama kali terlihat pada suatu interval waktu. Scan menunjukan banyaknya data dari perilaku yang teramati dalam suatu interval waktu. Interval waktu yang digunakan adalah satu menit. Kedua metode tersebut digunakan secara bersamaan dalam satu waktu dikarenakan keterbatasan waktu penelitian.
(48)
(49)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1.Jumlah Waktu dan Frekuensi Grooming Monyet Ekor Panjang
Pelaku pada perilaku grooming monyet ekor panjang adalah Jantan Dewasa (JD), Betina Dewasa (BD), Juvenil (J), dan Infant (I). Banyaknya frekuensi merupakan banyaknya individu yang terlihat melakukan grooming. Pola perilaku autogrooming tidak terbentuk dikarenakan infant tidak terlihat melakukan autogrooming.
a. Perilaku Autogrooming pada Jantan Dewasa dan Betina Dewasa Tabel 1. Perilaku Autogrooming pada Jantan Dewasa dan Betina
Dewasa
Jenis Kelamin Frekuensi Rentang waktu (menit)
Jantan Dewasa 1 1-5
Betina Dewasa 3 1-4
Berikut merupakan persentase frekuensi autogrooming pada jantan dewasa dan betina dewasa
Gambar 10. Persentase Frekuensi Autogrooming pada Jantan Dewasa dan Betina Dewasa
(50)
Berikut merupakan pola perilaku autogrooming pada jantan dewasa dan betina dewasa
Gambar 11. Pola Perilaku Autogrooming pada Jantan Dewasa dan Betina Dewasa
b. Perilaku Allogrooming pada Monyet Ekor Panjang Dewasa
Tabel 2. Perilaku Allogrooming pada Monyet Ekor Panjang Dewasa Pelaku
Frekuensi Rentang Waktu (menit) Groomer Groomee
BD JD 3 1-15
JD BD 2 1-4
BD BD 5 1-5
Berikut adalah frekuensi monyet ekor panjang dewasa
(51)
Berikut adalah Pola Perilaku Allogrooming Monyet Ekor Panjang Dewasa
Gambar 13. Pola Perilaku Allogrooming Monyet Ekor Panjang Dewasa
c. Perilaku Autogrooming pada Juvenil Tabel 3. Perilaku Autogrooming Juvenil
Pelaku Frekuensi Rentang Waktu
(menit)
Juvenil 2 1-15
(52)
d. Perilaku Allogrooming pada Juvenil
Tabel 4. Perilaku Allogrooming pada Juvenil
Pelaku
Frekuensi Rentang Waktu (menit) Groomer Groomee
BD J 7 1-15
J BD 1 2-3
Dibawah ini merupakan frekuensi allogrooming pada juvenil
(53)
Gambar 16. Pola Perilaku Allogrooming pada Juvenil e. Perilaku Allogrooming pada Infant
Tabel 5. Perilaku Allogrooming Infant Pelaku
Frekuensi Rentang Waktu (menit) Groomer Groomee
BD I 2 1-5
Berikut adalah Pola Perilaku Allogrooming Monyet Ekor Panjang Infant
Gambar 17. Pola Perilaku Allogrooming Monyet Ekor Panjang Infant
(54)
Berikut adalah pola perilaku allogrooming monyet ekor panjang
Gambar 18. Pola Perilaku Allogrooming Monyet Ekor Panjang
2.Perbandingan Waktu Grooming pada Pagi, Siang, Sore Hari
Perbandingan waktu grooming pada pagi, siang, sore hari tidak dibedakan antara monyet ekor panjang jantan dewasa, betina dewasa, juvenil serta infant karena data yang diperoleh terlalu sedikit untuk dibentuk pola perilaku.
Tabel 6. Persentase Autogrooming dan Allogrooming pada Pagi, Siang, dan Sore Hari
Waktu Persentase (%)
Autogrooming Allogrooming
Pagi 17 45
Siang 17 10
Sore 67 45
Total 100 100
Berikut adalah persentase autogrooming dan allogrooming pada pagi, siang, dan sore hari
(55)
Gambar 19. Persentase Autogrooming dan Allogrooming pada Pagi, Siang, dan Sore Hari
3.Perbandingan Perilaku Autogrooming dan Allogrooming
Perbandingan perilaku autogrooming dan allogrooming tidak dibedakan antara monyet ekor panjang jantan dewasa, betina dewasa, juvenil dan infant karena data yang diperoleh terlalu sedikit untuk dibentuk pola perilaku. Persentase Autogrooming dan Allogrooming merupakan persentase total dari perilaku tersebut.
Tabel 7. Perbandingan Frekuensi, Waktu Autogrooming dan Allogrooming
Jenis Selisik Frekuensi % Waktu Total
(menit)
Autogrooming 6 14 12
Allogrooming 36 86 119
(56)
Berikut adalah tabel perbandingan perilaku autogrooming dan allogrooming
(57)
B. Pembahasan
1. Jumlah Waktu dan Frekuensi Grooming Monyet Ekor Panjang
Grooming merupakan salah satu perilaku sosial dalam bentuk sentuhan yang umum dilakukan dalam kelompok primata. Grooming sendiri dibagi menjadi dua yaitu autogrooming dan allogrooming. Autogrooming adalah perilaku menelisik yang dilakukan sendiri atau tanpa adanya partner grooming. Allogrooming adalah perilaku menelisik secara berpasangan atau dilakukan dengan individu lain. Menurut Entang dan Randall (2016: 31), tingkah laku menelisik memiliki manfaat yang sangat penting: 1) membersihkan rambut dari kotoran, kutu, atau parasit di tubuh individu yang ditelisik, 2) memperkuat ikatan antara individu, khususnya pelaku grooming, 3) menurunkan ketegangan, kegelisahan dan stres, serta 4) berperan dalam rekonsiliasi setelah terjadinya perkelahian antara individu.
a. Perilaku Autogrooming pada Jantan Dewasa dan Betina Dewasa
Data yang diperoleh bahwa jantan dewasa melakukan autogrooming sebanyak 1 kali dengan rentang waktu 1-5 menit. Betina dewasa melakukan autogrooming sebanyak 3 kali dengan rentang waktu 1-4 menit. Data tersebut terlihat bahwa jantan dewasa lebih sedikit melakukan autogrooming dibandingkan dengan dengan betina dewasa. Hal ini disebabkan karena banyaknya perilaku yang dilakukan betina dewasa seperti bergerak, makan, berpindah tempat, mengasuh anak dan koalisi lebih tinggi dibandingkan dengan jantan dewasa. Akibat dari banyaknya perilaku yang dilakukan betina dewasa
(58)
dibandingkan dengan jantan dewasa, maka banyaknya kotoran pada tubuhnya juga lebih banyak dibandingkan jantan dewasa. Matheson dan Berstein (Khrisna, 2006: 4) mengatakan “Macaca arctoides betina frekuensi autogrooming sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan
jantan”. Perilaku autogrooming juga dilakukan di sela-sela istirahat. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Erie dkk. (2011: 193) bahwa sambil istirahat monyet ekor panjang menggerak-gerakan tubuhnya, mengutui dirinya sendiri dan sambil membersihkan badannya. Semua perilaku autogrooming dilakukan dengan posisi duduk. Posisi ini digunakan karena hampir seluruh anggota tubuh dapat terjangkau untuk di selisik. Berikut adalah gambar monyet ekor panjang melakukan autogrooming
Gambar 21. Monyet Ekor Panjang Betina Dewasa Melakukan Autogrooming di Pohon Flamboyan (Delonix regia) (Dokumentasi: Fandy, 2016)
(59)
Gambar 22. Monyet Ekor Panjang Jantan Dewasa Melakukan Autogrooming (Dokumentasi: Fandy, 2016)
b. Perilaku Allogrooming pada Monyet Ekor Panjang Dewasa
Data yang di peroleh bahwa pelaku groomer BD berpasangan dengan groomee JD melakukan sebanyak 3 kali dengan rentang waktu 1-15 menit. Pada pelaku groomer JD berpasangan dengan groomee BD melakukan sebanyak 2 kali dengan rentang waktu 1-4 menit. Lalu pada pelaku groomer BD berpasangan dengan groomee BD melakukan sebanyak 5 kali dengan rentang waktu 1-5 menit. Tingkah laku menelisik individu lain dilakukan oleh satu individu terhadap individu lain dengan tahapan menyentuh, memeriksa dan membersihkan bagian tubuhnya (Entang dan Randall, 2016: 31). Data tersebut terlihat bahwa jantan dewasa lebih sedikit melakukan perilaku allogrooming dibandingkan dengan betina dewasa. Hal tersebut juga dikemukakan
(60)
oleh Entang dan Randall (2016: 31) bahwa tingkah laku grooming sangat jarang ditemukan pada jantan dewasa. Betina dewasa terlihat lebih banyak melakukan grooming dengan juvenil atau infant dibandingkan dengan betina dewasa atau jantan dewasa. Hubungan kekerabatan antaran induk dan anak menyebabkan frekuensi allogrooming di antara mereka lebih tinggi. Hal tersebut sesuai dengan yang dikatakan oleh Shumaker dan Beck (2003: 78), bahwa individu yang sering terlibat dalam tingkah laku menelisik adalah induk dan anak yang masih kecil atau antara juvenil dan dewasa. Santi dkk. (2013: 4) mengatakan “Ikatan sosial yang kuat pada betina meningkatkan frekuensi grooming mereka”. Hal tersebut terjadi karena umumnya betina tidak bermigrasi meninggalkan kelompok kecuali terdapat konflik besar dalam kelompok dan sumber makanan yang menipis (Cooper dan Bernstein, 2000: 76). Ikatan sosial yang kuat tersebut artinya terjadi pada betina karena sejak lahir hingga mati tinggal pada satu kelompok. Berbeda dengan jantan dimana menurut Van Hooff (1990: 100) monyet-monyet jantan yang telah dewasa sering meninggalkan kelompok untuk bergabung dengan kelompok lain atau untuk mencari betina dewasa lain yang akhirnya dapat membentuk kelompok baru. Perilaku allogrooming yang melibatkan jantan dewasa dengan betina dewasa diduga dilakukan sebagai bagian daripada perilaku pendekatan sebelum melakukan perkawinan dengan tujuan untuk saling membersihkan diri seperti yang juga pernah diungkapkan
(61)
oleh Charles dan Dominique (Santi, dkk., 2013: 2). Hal itu sesuai dengan yang dikatakan Santi, dkk (2013: 2) bahwa seringkali terlihat setelah grooming jantan dan betina melakukan perkawinan. Dari lampiran tabel data pengamatan terdapat perilaku allogrooming yang dilakukan dengan interval waktu yang lebih lama daripada yang lainnya yaitu 15 menit. Hal tersebut diduga karena perilaku allogrooming terjadi setelah adanya kopulasi. Menurut Erie, dkk. (2011: 193) bahwa lamanya grooming paling lama terjadi apabila jantan dewasa sehabis kopulasi dengan betina dewasa. Apabila berhasil kopulasi betina dewasa akan membersihkan badan jantan dewasa baru kemudian badannya sendiri dibersihkan. Namun peneliti tidak melihat perilaku autogrooming dari betina yang telah kopulasi tersebut dikarenakan betina tersebut langsung pindah dari tempat asal kopulasi sehingga peneliti tidak dapat mengamatinya. Terlebih jantan dewasa tersebut memiliki bentuk tubuh yang lebih besar dan lebih dominan dari jantan dewasa lainnya. Jantan dewasa tersebut diduga merupakan alfa dari kelompok tersebut. Jantan dominan menjadi pemimpin kelompok (Karimullah, 2011: 26). Menurut Azhari, dkk. (2012: 39-47) bahwa aktivitas grooming teramati beberapa kali dilakukan juga oleh jantan dominan beberapa saat sebelum maupun setelah melakukan kopulasi dengan betina. Perilaku allogrooming tersebut dimulai dengan posisi jantan dewasa yang memunggungi betina dewasa kemudian jantan dewasa tersebut merubah posisinya menjadi berhadapan dengan betina
(62)
dewasa tersebut dan perilaku tersebut dilakukan di ranting pohon. Jantan alfa memiliki dominansi yang signifikan dalam perilaku agresi, perilaku seksual, menggoyangkan pohon, pergerakan, menerima selisik, agonistik dan perlindungan terhadap kelompok dibandingkan pejantan lainnya (Adimas, 2014: 1). Berikut adalah perilaku allogrooming betina dewasa terhadap jantan dewasa
Gambar 23. Perilaku Allogrooming Monyet Ekor Panjang Betina Dewasa terhadap Jantan Dewasa pada Pohon Flamboyan (Delonix regia) (Dokumentasi: Fandy, 2016)
(63)
Gambar 24. Contoh Allogrooming Monyet Ekor Panjang Betina Dewasa terhadap Jantan Dewasa (Sumber: alamy.com) b. Perilaku Autogrooming pada Juvenil
Data yang diperoleh bahwa juvenil melakukan autogrooming sebanyak 2 kali dengan rentang waktu 1-15 menit. Data tersebut terlihat bahwa juvenil lebih sedikit melakukan autogrooming. Hal tersebut dikarenakan juvenil lebih sering menggunakannya untuk bermain. Ini sesuai dengan Mori (1975: 50) yang mengatakan bahwa Macaca fuscata dewasa lebih aktif melakukan perilaku grooming sedangkan juvenil lebih aktif bermain. Juvenil terlihat melakukan autogrooming ketika selesai bermain.
(64)
c. Perilaku Allogrooming pada Juvenil
Data yang diperoleh bahwa pelaku groomer BD berpasangan dengan groomee J melakukan sebanyak 7 kali dengan rentang waktu 1-15 menit. Pelaku groomer J berpasangan dengan groomee BD melakukan sebanyak 1 kali dengan rentang waktu 2-3 menit. Data tersebut terlihat bahwa perilaku allogrooming pada monyet dewasa lebih tinggi dengan interval waktu yang lebih lama. Ini dikarenakan perilaku tersebut terjadi antara ikatan yang kuat sesama betina. Berdasarkan lampiran tabel data pengamatan terlihat bahwa individu yang melibatkan perilaku antara monyet dewasa dalam hal ini betina dewasa dengan juvenil, maka frekuensi betina dewasa sebagai groomer lebih banyak dibandingkan frekuensi betina dewasa sebagai groomee. Juvenil lebih banyak berperan sebagai groomee. Monyet dewasa lebih sering menjadi pelaku selisik sedangkan juvenil dan bayi lebih sering menjadi penerima selisik (Nakamichi dan Shizawa, 2003: 76). Sebagian besar kegiatan autogrooming maupun allogrooming juvenil dilakukan disela-sela waktu bermain. Santi, dkk (2013: 4) grooming yang melibatkan individu betina juvenil, jantan juvenil ataupun infat lebih sering terlihat dilakukan disela-sela waktu bermain. Pada beberapa perilaku allogrooming terlihat lebih dari dua individu, dimana dua individu menelisik satu individu. Tingkah laku menelisik umumnya dilakukan oleh dua ekor satwa, tetapi kadang ditemui tingkah laku
(65)
menelisik melibatkan tiga ekor satwa (Entang dan Randall, 2016: 31). Berikut adalah perilaku allogrooming monyet ekor panjang betina dewasa terhadap juvenil
Gambar 25. Monyet ekor panjang betina dewasa melakukan allogrooming terhadap juvenil (Dokumentasi: fandy, 2016)
(66)
Gambar 26. Contoh Monyet Ekor Panjang Betina Dewasa melakukan Allogrooming terhadap Juvenil (Sumber: arkive.org) d. Perilaku Allogrooming pada Infant
Data yang diperoleh bahwa pelaku groomer BD berpasangan dengan groomee I melakukan sebanyak 2 kali dengan rentang waktu 1-5 menit Sedangkan pada infant tidak ada perilaku autogrooming. Tingkah laku yang dihasilkan dari proses belajar adalah tingkah laku yang terbentuk dengan cara mempelajarinya dari induk, individu lain, maupun dari pengalaman yang terjadi seiring berkembangnya umur satwa tersebut (Entang dan Randall, 2016: 22). Tingkah laku grooming
(67)
merupakan tingkah laku yang dihasilkan dari proses belajar. Ini terjadi karena tingkah laku grooming perlu melihat individu yang lebih dewasa bagaimana cara menelisik dengan tahapan-tahapan serta fungsinya. Perilaku allogrooming terihat bahwa infant hanya berperan sebagai groomee saja. Hal ini sesuai dengan Nakamichi dan Shizawa (2003: 77) monyet dewasa lebih sering menjadi pelaku selisik sedangkan juvenil dan bayi lebih sering menjadi penerima selisik. Santi, dkk (2013: 4) mengatakan bahwa grooming yang melibatkan individu betina juvenil, jantan juvenil ataupun infat lebih sering terlihat dilakukan disela-sela waktu bermain. Beberapa infant yang sudah mulai melakukan perilaku bermain walaupun frekuensinya lebih sedikit dibandingkan juvenil, disela-sela waktu tersebut monyet dewasa dalam hal ini induk betina melakukan grooming terhadap infantnya. Berikut adalah perilaku monyet ekor panjang betina dewasa terhadap juvenil
(68)
Gambar 27. Monyet Ekor Panjang Betina Dewasa Melakukan Allogrooming terhadap Infant (Dokumentasi: Fandy, 2016)
Pola Perilaku pada monyet ekor panjang terjadi pada allogrooming monyet dewasa saja karena pada juvenil tidak terdapat pengulangan perilaku serta pada infant tidak terdapat aktivitas. Pola perilaku autogrooming terjadi pada monyet ekor panjang dewasa dan juvenil. Pada monyet ekor panjang dewasa yaitu pada jantan dewasa terlihat 1 kali pada pukul 15.45. pada betina dewasa terlihat 1 kali pada pukul 16.00 dan 2 kali pada pukul 15.45. Pada juvenil terlihat hanya 1 kali yaitu pukul 08.45. Tidak terlihat pola perilaku pada infant karena grooming merupakan perilaku yang dihasilkan dari proses belajar. Pola perilaku allogrooming terlihat bahwa monyet ekor panjang terlihat pada waktu tertentu serta frekuensi yang berbeda-beda. Pada monyet ekor panjang dewasa terlihat
(69)
pada pukul 09.30; 10.00; 10.45; 11.30; 16.15 masing-masing sebanyak 1 kali, pada pukul 10.15 sebanyak 2 kali, pada pukul 16.00 sebanyak 3 kali. Pada monyet ekor panjang juvenil terlihat pada pukul 09.00; 09.15; 10.00; 10.45 masing masing sebanyak 1 kali, pada pukul 16.00 sebanyak 4 kali. Pada monyet ekor panjang infant pukul 11.15 dan 16.00 masing-masing sebanyak 1 kali. Terlihat pola bahwa tidak semua waktu terdapat aktivitas grooming, hanya pada waktu-waktu tertentu terdapat aktivitas grooming. Perilaku grooming terjadi di sela-sela istirahat pada dewasa dan juga disela-sela waktu bermain pada juvenil dan infant.
2. Perbandingan Waktu Grooming pada Pagi, Siang, Sore Hari
Autogrooming dan allogrooming dicatat dalam tiga pembagian waktu yaitu pagi hari (pukul 06.00 – 11.00), siang hari (pukul 11.01 – 15.00) dan sore hari (pukul 15.01 – 17.00) semua waktu tersebut dalam waktu indonesia barat. Data yang diperoleh yaitu pada pagi hari perilaku autogrooming yaitu 17% dan allogrooming yaitu 45%. Pada siang hari perilaku autogrooming yaitu 17% dan allogrooming yaitu 10%. Pada sore hari perilaku autogrooming yaitu 67% dan allogrooming yaitu 45%. Tingkah laku grooming hampir dilakukan sehari penuh yaitu sejak pagi hari hingga sore hari, biasanya dilakukan sambil istirahat (Erie, dkk., 2011: 193). Banyak perilaku grooming yang terlihat di sela-sela istirahat dan waktu bermain. Perilaku autogrooming tertinggi yaitu pada sore hari sementara perilaku allogrooming tertinggi pada pagi dan sore hari. Berdasarkan data tersebut menurut Cooper dan Bernstein (2000: 78)
(70)
mengemukakan frekuensi selisik tertinggi Macaca assamensis terjadi pada pagi hari. Pada siang hari terlihat sedikitnya perilaku grooming. Ini karena pada siang hari cuaca sangat panas serta monyet ekor panjang yang masuk ke dalam hutan sehingga sulit dijangkau oleh peneliti. Menurut Khrisna (2006: 4) pada penelitiannya mengemukakan bahwa autogrooming paling banyak dilakukan pada sore hari sementara allogrooming paling banyak dilakukan pada pagi hari. Ini diduga karena pada sore hari dengan banyaknya kegiatan sehari penuh menyebabkan masing-masing individu sibuk dengan membersihkan dirinya sendiri dibanding untuk membantu individu lain untuk melakukan allogrooming sedangkan pada pagi hari terlihat lebih banyak melakukan allogrooming dikarenakan pada pagi hari terlihat banyak juvenil menjadi partnernya, ini sebagai bentuk kekerabatan dan kasih sayang antara induk dan anaknya. Kedua waktu tersebut digunakan sebagai sarana membersihkan diri dari kotoran yang menempel.
3.Perbandingan Perilaku Autogrooming dan Allogrooming
Data tersebut terlihat yaitu terlihat perilaku autogrooming sebanyak 6 kali dengan waktu total 12 menit. Sedangkan perilaku allogrooming terlihat 36 kali dengan waktu total 119 menit. Data tersebut terlihat perbedaan antara autogrooming dengan allogrooming. Kegiatan allogrooming terlihat lebih banyak yaitu antara induk dengan anaknya. Hal ini sesuai dengan Shumaker dan Beck (2003: 78), individu yang sering terlibat dalam tingkah laku menelisik adalah induk dan anak yang masih kecil atau antara juvenil dan dewasa. Zamma (2002: 45)
(71)
mengemukakan Macaca fuscata mempunyai persentase autogrooming kecil dari seluruh perilaku. Hal tersebut sesuai dengan data yang diperoleh yaitu perilaku allogrooming lebih banyak dan lebih lama dibandingkan perilaku autogrooming.
Perilaku grooming dilakukan secara tertentu dan tidak acak. Ini dimaksudkan bahwa perilaku grooming dilakukan pada bagian tertentu tubuhnya. Menurut Koichiro Zamma (2002: 48) bahwa Macaca fuscata melakukan grooming tidak secara acak, melainkan berdasarkan banyaknya kotoran dan parasit berada. Bagian luar tubuh merupakan yang paling banyak dibandingkan bagian dalam tubuh dikarenakan bagian tersebut sering terpapar oleh kegiatan perilaku. Banyaknya telor kutu yaitu pada lengan bagian luar serta bagian punggung atas lebih sering dikenai allogrooming. Bagian luar kaki lebih sering dikenai autogrooming.
Peneliti tidak menemukan adanya agresi, baik agresi dari jantan dewasa maupun betina dewasa. Adanya agresi dapat mempengaruhi perilaku grooming. Grooming dapat menurunkan tingkat agresi. Grooming dapat ditukar dengan toleransi, dimana adanya agresi pada suatu partner (Henzi dan Barret, 1999: 89).
(72)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1.Pola perilaku berselisik monyet ekor panjang dewasa terbentuk yaitu banyak terlihat pada pagi dan sore hari baik autogrooming maupun allogrooming. Monyet ekor panjang juvenil hanya terlihat pola perilaku pada allogrooming yang terjadi pada pagi dan sore hari dikarenakan pada autogrooming tidak terlihat pengulangan kejadian sehingga tidak dapat dibentuk polanya. Pada monyet ekor panjang infant terlihat pola perilaku allogrooming terjadi pengulangan aktivitas namun berbeda waktu. Pada perilaku autogrooming tidak terlihat adanya aktivitas tersebut.
2.Perilaku grooming yaitu autogrooming dan allogrooming lebih sering dilakukan pada pagi hari (pukul 06.00-11.00) dan sore hari (pukul 15.01-17.00). Perilaku autogrooming lebih sering dilakukan oleh betina dewasa. Perilaku allogrooming lebih sering dilakukan oleh pasangan induk dan anak. Perilaku autogrooming lebih sering terlihat dengan dua individu yang terlibat grooming dengan sesekali terlihat tiga individu yang terlibat grooming. Betina dewasa lebih sering menjadi pelaku selisik (groomer) dan juvenil sebagai penerima selisik (groomee). Monyet dewasa lebih lama dalam melakukan autogrooming dan allogrooming. Ranting pohon lebih sering dijadikan lokasi grooming dengan sesekali di bawah pohon. Posisi memunggungi dan berhadapan lebih sering terlihat ketika terjadi perilaku allogrooming serta pernah terlihat posisi telentang dengan tiga individu yang terlibat. Posisi duduk
(73)
sebagai posisi yang terlihat ketika terjadi perilaku autogrooming. Monyet ekor panjang di Suaka Margasatwa Paliyan lebih sering terlihat melakukan perilaku allogrooming dibandingkan autogrooming.
3.Perilaku allogrooming durasinya lebih panjang dan juga frekuensinya lebih tinggi dibandingkan autogrooming. Banyaknya individu yang terlibat dan juga besarnya kelompok mempengaruhi tingginya frekuensi serta panjangnya durasi perilaku allogrooming.
B. Saran
1.Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang penelitian grooming dengan karakterisasi masing-masing individu monyet ekor panjang agar pendataan semakin mudah dan juga hubungannya dengan perilaku agonistik.
2.Perlu adanya peralatan yang mendukung dapat membantu memudahkan pengamatan.
(74)
(75)
DAFTAR PUSTAKA
Adimas, B. 2014. Hierarki Jantan Dewasa pada Dua Kelompok Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Situs Ciung Wanara Karangkamulyan, Ciamis. Skripsi. Bogor: Departemen Biologi FMIPA IPB.
Alamy.com. 2016. Macaca fascicularis grooming. Diakses dari http://www.alamy.com pada tanggal 26 Desember 2016, pukul 20.09 WIB.
Alikodra, H.S. 1990. Dasar-dasar Pembinaan Margasatwa. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Ariyantina, Novia. 2014. Analisis Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Desa Kibang Pacing Kecamatan Menggala Timur, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung. Skripsi. Bandar Lampung: Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.
Arkive.org. 2016. Macaca fascicularis grooming. Diakses dari http://www.arkive.org pada tanggal 27 Desember 2016, pukul 21.09 WIB.
B. Thierry, C. Gauthier and P. Peignot. 1990. Social Grooming in Tonkean Macaques (Macaca tonkeana). International Journal of Primatology. Iiol. 11, No. 4.
Bennet, B. T., Abee C. R., Henrickson, R. 1995. Nonhuman Primates in Biomedical Research. New York: Academic Press.
Benedetti, F. 2011. The Patient’s Brain The Neuroscience behind The Doctor -Patient Relationship. New York: Oxford University Press Inc.
Bismark, M. 1984. Biologi dan Konservasi Primata di Indonesia. Bogor: Fakultas Pascasarjana IPB.
BKSDA Yogyakarta. 2014. SM Paliyan. Diakses dari http://www.bksdadiy.dephut.go.id/halaman/2014/22/SM_Paliyan.html. pada tanggal 25 Maret 2016, pukul 00.18 WIB.
Carter, W.V. 1978. Mamalia Darat Indonesia. Jakarta: Intermasa.
Cooper M. A., Bernstein I. S. 2000. Social grooming in assamese macaque (Macaca assamensis). AM J Primatol 50: 77-85.
Dunbar, R. I. M. (1991). Functional significance of social grooming in primates. Folia primatol. 57, 121-131.
(76)
Entang, I dan Randall, C. K. 2016. Tingkah Laku Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Penangkaran. Bogor: IPB Press.
Erie, K. N. Swandyastuti, SNO. dan Wiryanto. 2011. Aktivitas Harian dan Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis, Raffles 1821) di Kawasan Wisata Cikakak, Wangon. Jurnal Prosiding Seminar Nasional Hari Lingkungan Hidup 2011. ISBM 978-602-19161-0-0.
Fitri, R., Rizaldi dan Novarino, W. 2013. Kepadatan populasi dan struktur kelompok simpai (Presbytis melalophos) serta jenis tumbuhan makanannya di hutan pendidikan dan penelitian biologi (HPPB) Universitas Andalas. Jurnal Biologi Universitas Andalas 2(1): 25 – 30 (ISSN : 2303-2162).
Fooden J. 1995. Systematic Review of Southeast Asian longtail macaques Macaca fascicularis (Raffles, 1821). Fieldiana 81.
Gron KJ. 2007. Primate Factsheets: Japanese macaque (Macaca fuscata)
Behavior. Diakses dari
http://pin.primate.wisc.edu/factsheets/entry/japanese_macaque/behav. pada tanggal 15 Oktober 2016, pukul 15.09 WIB
Hemelrijk, C. K. dan Luteijn, M. 1998. Philopatry, male presence and grooming reciprocation among female primates: a comparative perspective. Behavioral Ecology and Sociobiology, 42(3), 207-215.
Henzi, S. P. dan Barrett, L. 1999. The value of grooming to female primates. Primates, 40(1), 47-59.
Hilda, F. 2008. Aktivitas Makan Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Bumi Perkemahan Pramuka Cibubur, Jakarta. Skripsi. Bogor: Departemen Biologi FMIPA IPB.
Karimullah. 2011. Social organization and mating system of Macaca fascicularis (long tailed macaques). International Journal of Biology 3(2):23 – 31. Kartikasari SN. 1986. Studi populasi dan perilaku lulling (Presbytis cristata,
Raffles) di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Tesis. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Kemp NJ, John BB. 2003. A Biodiversity risk assessment of long- tailed macaques (Macaca fascicularis) in New Guinea. Final Report. Indo Pacific Conservation Alliance (IPCA) dan Universitas Cendrawasih. Khrisna, N. 2006. Aktivitas Grooming (Selisik) Monyet Ekor Panjang di Situs
Ciung Wanara, Ciamis, Jawa Barat. Skripsi. Bogor: Departemen Biologi, FMIPA IPB.
(77)
Krueger, D., Jin, L. 2008. Social Grooming in Primates. Diakses dari http://www.reed.edu/biology/professors/srenn/pages/teaching/web_2008/ dklj_site_final/adaptive.html. pada tanggal 19 April 2016, pukul 23. 05 WIB.
Lang, C. K. A. 2006. Primate Factsheets: Long-Tailed Macaque (Macaca fascicularis) Taxonomy, Morphology dan Ecology. Diakses dari http://pin.primate.wisc.edu/factsheets/long-tailed_macaque. Pada tanggal 25 Maret 2016, pukul 01.00 WIB.
Marina, S. V. 2015. Grooming among Old World monkeys: a revision of its social
role. Diakses dari
https://ddd.uab.cat/pub/tfg/2015/147440/TFG_marinasentisvila.pdf. pada tanggal 14 Mei 2016 pukul 21. 28 WIB.
Matheson MD, Bernstein IS. 2000. Grooming, social bonding, and agonostic aiding in rhesus monkey. Am J Primatol 51:177- 186.
Mori, A. 1975. Signal Found in the Grooming Interaction of Wild Japanese Monkeys of Koshima Troop. Primates 16: 107 – 140.
Muroyama, Y. 1991. Mutual reciprocity of grooming in female Japanese macaques (Macaca fuscata). Jurnal Behaviour 119: 161-170.
Nakamichi, M., Shizawa, Y. 2003. Distribution of Grooming Among Adult Female in a Large, Free-ranging Group of Japanese Macaques. Int J Primatol 24: 607-625.
Napier JR, Napier PH. 1985. The Natural History Of The Primates. London: British Museum.
Nowak R.M. 1991. Walker’s Mammals of the World.5th ed. Maryland. US: John Hopkins University Press.
Ong, P. dan Richardson, M. 2008. Macaca fascicularis. The IUCN Red List of Threatened Species 2008: e.T12551A3355536. Diakses dari http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2008.RLTS.T12551A3355536.en. Pada tanggal 28 September 2016 pukul 18.20 WIB.
Pijoh, D. 2006. Kajian Biologis Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) yang Mengalami Pengangkutan Dengan Pemberian Pakan Berbeda. Tesis. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Pramudya, A., Agus S., dan Elly L. R. 2015. Ukuran Kelompok Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Hutan Desa Cugung Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Rajabasa Lampung Selatan. Jurnal Sylva Lestari Vol. 3 No. 3, September 2015: 107 – 112.
(78)
Pusat Data dan Informasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2015. Statistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Raharjo, L. 2008. Aktivitas Seksual Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Pusat Primata Schmutzer (PPS). Skripsi. Depok: FMIPA Universitas Indonesia.
Rahmawati, Anna. 2014. Materi Kuliah Biologi Umum Perilaku Makhluk Hidup. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Biologi UNY.
Santi, N. K., Deni, S., dan Jarulis. 2013. Perilaku Grooming Macaca fascicularis, Raffles 1821 di Taman Hutan Raya Rajolelo, Bengkulu. Jurnal Ilmiah Konservasi Hayati. Vol. 9 No 02 Oktober 2013 ISSN 0216-9487. Bengkulu: Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Bengkulu.
Sari, D.P. et al. 2015. Studi Perilaku Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Taman Wisata Alam Grojogan Sewu Tawangmangu Karanganyar. Jurnal FKIP UNS (Vol 1, No 1). Hlm. 184 – 187.
Sari, N. K. 2004. Tingkah laku monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) periode pratransportasi (studi kasus di Pusat Stusi Satwa Primata, Lembaga Penelitian-IPB). Skripsi. Bogor: Program Studi Teknologi Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Schino, Gabriele. 2007. Grooming and agonistic support: a meta-analysis of primate reciprocal altruism. Jurnal Behavioral Ecology. 18(1):115-120. Seyfarth, R. M. 1977. A model of social grooming among adult female monkeys.
Journal of Theoretical Biology. 65(4), 671-698.
Shumaker, R. W. dan Beck, B. B. 2003. Primates in Question. London: The Smithsonian Answer Book.
Smuts et al. 1987. Primate Societies. USA: The University of Chicago.
Suhara. 2010. Modul Pembelajaran Ilmu Kelakuan Hewan (Animal Behaviour). Bandung: Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA UPI.
Supriatna J, Wahyono EH. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Van Hooff J. A. R. A. M. 1990. Macaques and Allies di dalam Ganelia. 2002. Interaksi Induk dan Bayi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Alam Bebas Makam Kramat Solear Kabupaten Tangerang. Skripsi. Bogor: Jurusan Biologi FMIPA IPB.
Ventura et al. 2006. Reciprocation and interchange in wild Japanese macaques: Grooming, cofeeding and agonistic support. Am J Primatol. 68: 1138-1149.
(1)
09.45 – 10.00 - - - -
10.00 – 10.15 - - - -
10.15 – 10.30 - - - -
10.30 – 10.45 - - - -
10.45 – 11.00 - - - -
11.00 – 11.15 - - - -
11.15 – 11.30 4 BD < I Ranting pohon berhadapan
11.30 – 11.45 5, 1
BD < BD
J
Ranting pohon
Membelakangi, duduk
(2)
12.15 – 12.30 - - - -
12.30 – 12.45 - - - -
12.45 – 13.00 - - - -
13.00 – 13.15 - - - -
13.15 – 13.30 - - - -
13.30 – 13.45 - - - -
13.45 – 14.00 - - - -
14.00 – 14.15 - - - -
14.15 – 14.30 - - - -
(3)
14.45 – 15.00 - - - -
15.00 – 15.15 - - - -
15.15 – 15.30 - - - -
15.30 – 15.45 - - - -
15.45 – 16.00 2, 2
JD
BD < BD
Ranting pohon,
ranting pohon
duduk, tiduran
16.00 – 16.15 1, 2
BD < J
BD < J
Ranting pohon, bawah
pohon
Membelakangi, membelakangi
16.15 – 16.30 - - - -
(4)
Keterangan: JD = Jantan Dewasa BD = Betina Dewasa J = Juvenil
I = Infant
(5)
Tabel data pengamatan Hari Saat Pengamatan Waktu Pengamatan Jumlah Individu
Pelaku Groomer Groomee
Rentang Waktu (menit)
Lokasi Posisi
1
08.45 – 09.00 1 Juvenil
2 – 15 Ranting Pohon
Duduk
09.00 – 09.15 2 Betina Dewasa Juvenil Memunggungi,
berhadapan
09.15 – 09.30 2 Betina Dewasa Juvenil Memunggungi
09.30 – 09.45 2 Betina Dewasa Jantan Dewasa Memunggungi,
berhadapan
2
15.45 – 16.00 2 Jantan Dewasa Betina Dewasa
2 – 3
Ranting pohon Dibawah
Memunggungi
1 Betina Dewasa Duduk
16.00 – 16.15 2 Betina Dewasa Juvenil Memunggungi
2 Juvenil Betina Dewasa Berhadapan
(6)
Hari Saat Pengamatan
Waktu Pengamatan
Jumlah Individu
Pelaku Groomer Groomee
Rentang Waktu (menit)
Lokasi Posisi
4
10.00 – 10.15 3
Juvenil dan
Betina Dewasa Betina Dewasa
1 – 4 Ranting pohon
Berhadapan
2 Betina Dewasa Juvenil Memunggungi
10.15 – 10.30 2 Betina Dewasa Jantan Dewasa Memunggungi
2 Jantan Dewasa Betina Dewasa Berhadapan
15.45 – 16.00 3 Betina Dewasa Duduk
Betina Dewasa Jantan Dewasa Memunggungi
16.00 – 16.15 3 Betina Dewasa Infant Memunggungi
Betina Dewasa Duduk
5
11.15 – 11.30 2 Betina Dewasa Infant
1 – 5
Ranting Pohon Dibawah
Pohon
Berhadapan
11.30 – 11.45 2 Betina Dewasa Betina Dewasa Memunggungi
1 Juvenil Duduk
15.45 – 16.00 2 Betina Dewasa Betina Dewasa Tiduran
1 Jantan Dewasa Duduk
16.00 – 16.15 2 Betina Dewasa Juvenil Memunggungi
2 Betina Dewasa Juvenil Memunggungi
Keterangan: Groomer : Pelaku yang memberikan Grooming Groomee : Pelaku yang menerima Grooming Juvenil : Anak-anak