Kajian Penyusunan Data Base Penataan Daerah Di Kabupaten Bandung.

(1)

LAPORAN PENELITIAN

KAJIAN PENYUSUNAN DATA BASE

PENATAAN DAERAH

DI KABUPATEN BANDUNG

Oleh:

Dr. A. Widanarto., Drs. M.Si

UNIVERSITAS PADJADJARAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN


(2)

(3)

i ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Kajian Penyusunan Data Base Penataan Daerah di Kabupaten Bandung, dilatarbelakangi oleh pengkajian potensi daerah dalam rangka mengukur dan mengevaluasi variabel atau kriteria potensi daerah yang dipersyaratkan untuk mengetahui kemungkinan penataan wilayah di Kabupaten Bandung.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk menentukan pilihan terbaik bagi Pengembangan dan Penataan Kewilayahan di Kabupaten Bandung. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tingkat kemampuan daerah dalam mengimplementasikan otonomi daerah, dan untuk mengetahui kemungkinan pengembangan dan penataan seluruh wilayah di Kabupaten Bandung untuk dilakukan pengembangan dan penataan di tingkat kecamatan. Penelitian ini merupakan aplikasi model pengukuran dan evaluasi terhadap kemampuan potensi yang akan mendiskripsikan dan mengeksplanasikan tingkat kekuatan atau pengaruh variabel yang diamati terhadap keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan, untuk meningkatkan penyelenggaraan pelayanan umum, pembangunan dan demokratisasi.

Melalui pendekatan ini dapat diketahui secara obyektif dan mendalam tingkat kemampuan potensi yang dimiliki kecamatan dalam penyelanggaraan pemerintahan melalui pengukuran terhadap indikator dan sub indikator dari berbagai variabel yaitu: demografi, orbitasi, pendidikan kesehatan, prasarana ibadah, sarana olah raga, transportasi, komunikasi, penerangan umum, kesadaran politik, keamanan dan ketertiban masyarakat, pertanian, perikanan, peternakan, ketenagakerjaan, sosial budaya, ekonomi masyarakat, sosial masyarakat, dan aspek pemerintahan.

Data primer dan sekunder diambil dari 31 (tigapuluh satu) kecamatan di Kabupaten Bandung, berupa data kualitatif dan data kuantitatif. Suatu kecamatan dapat dimekarkan jika kecamatan memiliki potensi dalam interval tinggi (1.008 ≤ TS < 1.680). Dapat dimekarkan dengan syarat jika potensinya dalam interval (644 ≤ TS < 1.008), dan dinyatakan tidak lulus atau ditolak untuk dimekarkan jika masing-masing kecamatan hanya mencapai total skor kurang dari 644.

Hasil penilaian dan pengukuran terhadap potensi kecamatan di Kabupaten Bandung dapat dijelaskan sebagai berikut : Skoring data sekunder monografi desa terhadap 31 kecamatan yang akan dimekarkan diperoleh hasil bahwa terdapat 14 (empat belas) kecamatan dalam kategori layak dimekarkan yaitu, kecamatan: Rancabali, Pangalengan, Pacet, Cicalengka, Nagreg, Rancaekek, Majalaya, Ciparay, Baleendah, Margaasih, Margahayu, Dayeuhkolot, Bojongsoang, dan Cileunyi.


(4)

ii

ABSTRACT

The title of this research was A Study of the Creation of a Database for an Arrangement of Localities in Bandung District. Its background was a study of local potentials in attempt to measure and evaluate the variables or criteria of the local potentials required to know a possible arrangement of localities in Bandung District.

The research results were expectedly useful as a material in determining the best choice for the Regional Development and Arrangement in Bandung District. The objective of the research was to obtain a description on the capacity of localities in implementing regional autonomy, and to know the possibility of development and arranging the whole localities in Bandung District to perform development and arrangement in kecamatan (sub district) level. The research was an application of measurement and evaluation models to the capacity of the potentials that describe and explain the strength level or effect of the observed variables on the success of governmental implementation, in order to enhance the implementation of public services, development, and democratization.

By the approach, it could be found out objectively and deeply the capacity of the potensials that the sub-distric possess in implementing governance by measuring the indicators and sub-indicators of some variables, namely: demography,orbitation, health education, religious facility, sport facility, transportation, communication, public lighting, political awareness, security and social order, agriculture, fishoing, husbandry, labor, social-cultural, community economy, social community, and administrative aspects.

Both primary and secondary data were obtained from 31 (thirty one) sub- districs in Bandung District, in form of qualitative and quantitative data . A sub- district might be split if it owns potentials at a high interval (1.008< TS< 1.680). It might be split on condition that its potentials were at an interval of (644< TS< 1.008), and decided as fail or rejected to be split if a sub-district achieved a total score of less than 644.

The evaluation and measurement results of the potentials of sub-district in Bandung District could be explained as follows: The scoring of village monographic secondary data on the 31 sub-districs to be split produced a result that there were 14 (fourteen) sub-districts falling into a category of being feasible to split, namely: Rancabali, Pangalengan, Pacet, Cicalengka, Nagreg, Rancaekek, Majalaya, Ciparay, Baleendah, Margaasih, Margahayu, Dayeuhkolot, Bojongsoang, and Cilaunyi.


(5)

iii

KATA PENGANTAR

Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagaimana telah diganti oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa Otonomi Daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Tujuan otonomi daerah sebagaimana dimuat dalam undang-undang tersebut antara lain adalah untuk peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Salah satu cara mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat adalah dengan membuat pusat-pusat pelayanan di tingkat kecamatan yang di dahului dengan pemecahan beberapa kecamatan, agar daya jangkau pelayanannya menjadi optimal. Di Kabupaten Bandung ada keinginan untuk melakukan pemekaran kecamatan dengan maksud meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Adapun Kajian Penyusunan Database Penataan Daerah yang dilakukan di Kabupaten Bandung meliputi 31 (tiga puluh satu) kecamatan.

Penyusunan Database Penataan Daerah yang dilakukan dalam bentuk pemekaran kecamatan dengan harapan rentang kendali pemerintahan akan menjadi lebih optimal dan institusi pelayanan menjadi lebih dekat dengan masyarakat, terjaminnya rasa ketenteraman dan ketertiban, dan mampu mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemekaran kecamatan diharapkan akan berdampak positif bagi peningkatan dan pemerataan pembangunan serta pelayanan umum.

Hasil laporan akhir ini pada dasarnya masih sangat jauh dari harapan dan kami mengharapkan masukan dari kawan-kawan. Oleh karena itu pada tempatnyalah apabila kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang


(6)

iv

telah membantu kajian ini dari awal sampai akhir. Ucapan terima kasih dan penghargaan saya sampaikan kepada :

1. Bupati Bandung beserta jajarannya yang telah memberikan kepercayaan untuk menyelenggarakan penelitian ini;

2. Para Camat dan Perangkat Kecamatan se-KabupatenBandung. 3. Para surveyor.

Disadari bawah laporan akhir penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan dan banyak kekurangan. Saran dan masukan yang bersifat membangun saya terima untuk perbaikan.

Semoga rekomendasi hasil penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi Pemerintah Kabupaten Bandung dalam upaya peningkatan dan pemerataan pembangunan dan pelayanan umum kepada masyarakat

Bandung, April 2014. Peneliti,


(7)

v DAFTAR ISI

ABSTRAK... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Penelitian... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 7

1.3 Manfaat danTujuan Penelitian ... 8

1.4 Kerangka Pemikiran ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 14

2.1. Perubahan Paradigma tentang Kecamatan Menurut UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004 ... 14

2.1.1. Perubahan Paradigma tentang Kecamatan Menurut UU No. 22/1999 ... 14

2.1.2. Perubahan Paradigma tentang Kecamatan Menurut UU No. 32/2004 ... 16

2.2. Teori tentang Rentang Kendali Dalam Organisasi ... 19

2.2.1. Definisi Azas Rentang Kendali Dalam Organisasi ... 19

2.2.2. Penerapan Rentang Kendali Dalam Manajemen ... 22

2.2.3. Memahami Hubungan Antara Rentang Kendali Dengan Efektivitas Manajemen Pemerintahan Kecamatan Melalui Pendekatan Sistem ... 23

2.3. Teori Tentang Pemberian Pelayanan Umum ... 26


(8)

vi

2.5. Organisasi Kecamatan ... 33

2.6. Tugas dan Wewenang Camat ... 38

2.7. Pendelegasian dan Penarikan Kewenangan ... 42

BAB III METODE PENELITIAN ... 50

3.1 Pendekatan Penelitian ... 50

3.2 Populasi dan Sampel ... 50

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 51

3.4 Operasionalisasi Variabel ... 51

3.5 Teknik Pengolahan Data ... 54

3.6 Waktu dan Tempat Penelitian ... 59

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 60

4.1 Potensi Wilayah Kecamatan di Kabupaten Bandung ... 60

4.1.1 Potensi Wilayah Kecamatan Ciwidey Kabupaten Bandung 60 4.1.2 Potensi Wilayah Kecamatan Rancabali Kab. Bandung... 64

4.1.3Potensi Wilayah Kecamatan Pasirjambu K. Bandung.... 66

4.1.4 Potensi Wilayah Kecamatan Cimaung Kab. Bandung... 69

4.1.5 Potensi Wilayah Kecamatan Pangalengan Kb. Bandung 72

4.1.6 Potensi Wilayah Kecamatan Kertasari Kab. Bandung .. 75

4.1.7 Potensi Wilayah Kecamatan Pacet Kabupaten Bandung 78

4.1.8 Potensi Wilayah Kecamatan Ibun Kabupaten Bandung.. 81

4.1.9 Potensi Wilayah Kecamatan Paseh Kabupaten Bandung 84

4.1.10 Potensi Wilayah Kecamatan Cikancung Kab. Bandung 87

4.1.11 Potensi Wilayah Kecamatan Cicalengka Kab.Bandung 90

4.1.12 Potensi Wilayah Kecamatan Nagreg Kab. Bandung ... 93

4.1.13 Potensi Wilayah Kecamatan Rancaekek K Bandung .. 96

4.1.14 Potensi Wilayah Kecamatan Majalaya Kb. Bandung... 98

4.1.15 Potensi Wilayah Kecamatan Solokanjeruk K Bandung 101


(9)

vii

4.1.17 Potensi Wilayah Kecamatan Baleendah Kab. Bandung... 107

4.1.18 Potensi Wilayah Kecamatan Arjasari Kab. Bandung ... 110

4.1.19 Potensi Wilayah Kecamatan Banjaran Kab. Bandung... 114

4.1.20 Potensi Wilayah Kecamatan Cangkuang Kab. Bandung... 117

4.1.21 Potensi Wilayah Kecamatan Pamengpeuk Kab. Bandung... 120

4.1.22 Potensi Wilayah Kecamatan Katapang Kab. Bandung... 123

4.1.23 Potensi Wilayah Kecamatan Soreang Kab. Bandung ... 126

4.1.24 Potensi Wilayah Kecamatan Kutawaringin Kab. Bandung... 128

4.1.25 Potensi Wilayah Kecamatan Margaasih Kab. Bandung... 131

4.1.26 Potensi Wilayah Kecamatan Margahayu Kab. Bandung... 135

4.1.27 Potensi Wilayah Kecamatan Dayeuhkolot Kab. Bandung ... 137

4.1.28 Potensi Wilayah Kecamatan Bojongsoang Kab. Bandung.... 140

4.1.29 Potensi Wilayah Kecamatan Cileunyi Kab. Bandung... 144

4.1.30 Potensi Wilayah Kecamatan Cilengkrang K Bandung... 146

4.1.31 Potensi Wilayah Kecamatan Cimenyan Kab Bandung... 149

4.2. Pemetaan Kecamatan di Kabupaten Bandung ... 154

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 158

5.1. Kesimpulan ... 158

5.2. Saran ... 158

DAFTAR PUSTAKA... 160


(10)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Nilai Maksimum dan Nilai Minimum Variabel/kriteria ... 56 Tabel 3.2. Variabel /Kriteria di atas rata-rata dengan skor 3,6 dengan

kategori potensi cukup ... 57 Tabel 3.3. Kategori dan PilihanTindakan ... 58

Tabel 4.1. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Ciwidey

Kabupaten Bandung ... 60 Tabel 4.2. Prioritas Potensi Kecamatan Ciwidey Kabupaten Bandung .. 63

Tabel 4.3. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Rancabali

Kabupaten Bandung ... 64 Tabel 4.4. Prioritas Potensi Kecamatan Rancabali Kabupaten Bandung 66

Tabel 4.5. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Pasirjambu

Kabupaten Bandung ... 67

Tabel 4.6. Prioritas Potensi Kecamatan Pasirjambu Kabupaten Bandung 69

Tabel 4.7. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Cimaung

Kabupaten Bandung ... 70 Tabel 4.8. Prioritas Potensi Kecamatan Cimaung Kabupaten Bandung . 72

Tabel 4.9. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Pangalengan

Kabupaten Bandung ... 73

Tabel 4.10. Prioritas Potensi Kecamatan Pangalengan Kabupaten

Bandung ... 75

Tabel 4.11. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Kertasari

Kabupaten Bandung ... 76 Tabel 4.12. Prioritas Potensi Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung . 78 Tabel 4.13. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Pacet Kabupaten

Bandung ... 79 Tabel 4.14. Prioritas Potensi Kecamatan Pacet Kabupaten Bandung ... 81 Tabel 4.15. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Ibun Kabupaten

Bandung ... 82 Tabel 4.16. Prioritas Potensi Kecamatan Ibun Kabupaten Bandung ... 83 Tabel 4.17. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Paseh Kabupaten

Bandung ... 84 Tabel 4.18. Prioritas Potensi Kecamatan Paseh Kabupaten Bandung ... 86

Tabel 4.19. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Cikancung

Kabupaten Bandung ... 87


(11)

ix

Tabel 4.21. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Cicalengka

Kabupaten Bandung ... 90

Tabel 4.22. Prioritas Potensi Kecamatan Cicalengka Kabupaten Bandung 92

Tabel 4.23. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Nagreg Kabupaten Bandung ... 93 Tabel 4.24. Prioritas Potensi Kecamatan Nagreg Kabupaten Bandung .... 95

Tabel 4.25. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Rancaekek

Kabupaten Bandung ... 96

Tabel 4.26. Prioritas Potensi Kecamatan Rancaekek Kabupaten Bandung 98

Tabel 4.27. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Majalaya

Kabupaten Bandung ... 99 Tabel 4.28. Prioritas Potensi Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung . 101 Tabel 4.29. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Solokanjeruk

Kabupaten Bandung ... 102

Tabel 4.30. Prioritas Potensi Kecamatan Solokanjeruk Kabupaten

Bandung ... 104 Tabel 4.31. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Ciparay Kabupaten

Bandung ... 105 Tabel 4.32. Prioritas Potensi Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung ... 107

Tabel 4.33. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Baleendah

Kabupaten Bandung ... 108

Tabel 4.34. Prioritas Potensi Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung 109

Tabel 4.35. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Arjasari

Kabupaten Bandung ... 111 Tabel 4.36. Prioritas Potensi Kecamatan Arjasari Kabupaten Bandung ... 113

Tabel 4.37. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Banjaran

Kabupaten Bandung ... 114 Tabel 4.38. Prioritas Potensi Kecamatan Banjaran Kabupaten Bandung . 116

Tabel 4.39. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Cangkuang

Kabupaten Bandung ... 117

Tabel 4.40. Prioritas Potensi Kecamatan Cangkuang Kabupaten Bandung 119

Tabel 4.41. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Pamengpeuk

Kabupaten Bandung ... 120

Tabel 4.42. Prioritas Potensi Kecamatan Pamengpeuk Kabupaten

Bandung ... 122

Tabel 4.43. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Katapang

Kabupaten Bandung ... 123 Tabel 4.44. Prioritas Potensi Kecamatan Katapang Kabupaten Bandung 125


(12)

x

Tabel 4.45. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Soreang

Kabupaten Bandung ... 126 Tabel 4.46. Prioritas Potensi Kecamatan Soreang Kabupaten Bandung... 128 Tabel 4.47. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Kutawaringin

Kabupaten Bandung ... 129

Tabel 4.48. Prioritas Potensi Kecamatan Kutawaringin Kabupaten

Bandung ... 131

Tabel 4.49. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Margaasih

Kabupaten Bandung ... 132

Tabel 4.50. Prioritas Potensi Kecamatan Margaasih Kabupaten Bandung 134

Tabel 4.51. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Margahayu

Kabupaten Bandung ... 135

Tabel 4.52. Prioritas Potensi Kecamatan Margahayu Kabupaten Bandung 137

Tabel 4.53. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Dayeuhkolot

Kabupaten Bandung ... 138

Tabel 4.54. Prioritas Potensi Kecamatan Dayeuhkolot Kabupaten

Bandung ... 140

Tabel 4.55. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Bojongsoang

Kabupaten Bandung ... 141

Tabel 4.56. Prioritas Potensi Kecamatan Bojongsoang Kabupaten

Bandung ... 143

Tabel 4.57. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Cileunyi

Kabupaten Bandung ... 144 Tabel 4.58. Prioritas Potensi Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung .. 146

Tabel 4.59. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Cilengkrang

Kabupaten Bandung ... 147

Tabel 4.60. Prioritas Potensi Kecamatan Cilengkrang Kabupaten

Bandung ... 149

Tabel 4.61. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Cimenyan

Kabupaten Bandung ... 150 Tabel 4.62. Prioritas Potensi Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung 152

Tabel 4.63. Rangkuman Potensi Wilayah Kecamatan di Kabupaten

Bandung ... 153 Tabel 4.64. Pemetaan Wilayah Kecamatan di Kabupaten Bandung ... 154 Tabel 4.65. Perbandingan Potensi Wilayah Kecamatan di Kabupaten


(13)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Masyarakat memerlukan pemerintah karena banyak bagian penting dari kebutuhannya yang tidak dapat dipenuhi oleh organisasi lain seperti organisasi swasta profit maupun organisasi non profit. Organisasi swasta profit akan gagal memenuhi kebutuhan masyarakat menyangkut eksternalitas dan barang publik. Begitu pula halnya dengan organisasi swasta non profit hanya mampu memberikan pelayanan dalam skala kecil dan sederhana, serta terbatas pada lapisan masyarakat tertentu.

Organisasi pemerintah selain memiliki misi menyelenggarakan pelayanan publik, juga memiliki misi lainnya, seperti fungsi pengaturan kehidupan masyarakat, baik menyangkut pengaturan persaingan maupun pengaturan terhadap perlindungan masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat Rasyid (dalam Widodo, 2001:269) yang menyatakan bahwa :

Pemerintah tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi

untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang

memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya demi mencapai tujuan bersama. Karenanya birokrasi publik berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan layanan publik yang baik dan profesional. Pandangan umum mengakui bahwa pemerintahan yang sentralistik semakin kurang populer, karena ketidakmampuannya untuk memahami secara tepat nilai-nilai daerah atau sentimen aspirasi lokal. Alasannya, warga masyarakat akan lebih aman dan tentram dengan pemerintah daerah yang lebih dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun psikologis. Dewasa ini dampak dari globalisasi telah merubah lingkungan kehidupan manusia dari berbagai aspek, masyarakat semakin cerdas dan kritis terhadap segala perubahan yang terjadi. Kondisi ini pada gilirannya menuntut pemerintah dapat menjalankan fungsinya sebagai pelayan masyarakat (Public Service) dapat dilaksanakan secara responsif dan aspiratif.

Pemerintah dimaksud adalah pemerintah daerah (local government) yang menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa “Pemerintah


(14)

daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah”. Pemerintah daerah inilah yang diberi kewenangan untuk melaksanakan otonomi daerah. Hal ini sejalan dengan pendapat Common, Flynn and Melon (1992:139) yang menyatakan Bahwa “…… one of It’s main recommendations was to give much greater autonomy to managers at the local level”. Namun kedekatan posisi saja belumlah menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat, karena yang lebih penting adanya hal dan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus kebutuhan masyarakatnya.

Menurut Rasyid (1997), salah satu cara untuk mendekatkan pemerintah kepada masyarakat adalah dengan menerapkan kebijakan desentralisasi, sedangkan Riwu Kaho (1988) menyatakan bahwa “sebagai akibat dari pelaksanaan desentralisasi timbullah daerah otonom”

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, bahwa daerah otonom adalah “kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ndraha (2001) menyebutkan bahwa ada lima posisi daerah yaitu : (1) sebagai masyarakat hukum, (2) sebagai unit usaha ekonomi, (3) sebagai suatu lingkungan budaya, (4) sebagai satuan lingkungan, dan (5) sebagai subsistem politik.

Dengan demikian akan semakin tepat bila desentralisasi tersebut diselenggarakan oleh daerah sehingga masyarakat akan lebih dekat dengan pemerintah yang akan sering terjadi kontak baik secara fisik maupun psikologis. Daerah yang wilayahnya terlalu luas akan menyulitkan jangkauan pemerintah untuk melayani masyarakatnya, daerah yang demikianlah yang perlu ditata (pemekaran) menjadi beberapa daerah sehingga rentang kendali menjadi semakin dekat dan pelayanan kepada masyarakat menjadi terjangkau, karena rentang kendali dan proporsi perlakuan dan tindakan pelayanan yang tidak seimbang adalah embrio awal untuk pembentukan suatu daerah otonom baru bukanlah karena nuansa politis.


(15)

3

Konsekuensi dari penataan (pemekaran) daerah secara praktis akan terjadi perubahan struktur organisasi pemerintahan, perubahan luas wilayah yang diikuti dengan perubahan batas-batas wilayah dan perubahan jumlah penduduk. Perubahan ini akan berimplikasi terhadap perubahan-perubahan lain yang lebih esensial, khususnya dalam upaya pemberian pelayanan kepada masyarakat.

Penataan (Pemekaran dan Penggabungan) daerah dalam hal ini dapat dipandang sebagai upaya pengembangan organisasi untuk menghadapi berbagai tantangan perkembangan jaman dan tuntutan pelayanan dari masyarakat minimal optimal terhadap pelayanan kebutuhan dasar manusia (basic Need) seperti pendidikan dan kesehatan. Organisasinya diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan melakukan perubahan-perubahan berencana yang selanjutnya dapat menjamin optimalisasi dan efektifitas pelaksanaan fungsi pemerintahan. Sebagaimana dijelaskan oleh Sadu Wasistiono (2001) bahwa tujuan organisasi pemerintahan daerah dibentuk adalah (1) untuk melayani kepentingan masyarakat sebagai warga yang berposisi sebagai konsumen (Customer) dan pemegang saham (stakeholders) dan (2) adanya misi tertentu yang harus dijalankan dalam rangka pencapaian tujuan, bukan hanya sekedar menjalankan perundang-undangan.

Perubahan struktur organisasi dan rentang wilayah provinsi yang diikuti dengan pengurangan jumlah kabupaten/kota, kecamatan, dan kelurahan akan berimplikasi terhadap perubahan rentang kendali pimpinan organisasi. Rentang pengawasan yang dilaksanakan aparat akan lebih sempit dibanding sebelum penataan (pemekaran), sehingga aparat mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk memberikan perhatian dan pengendalian terhadap sumber daya manusia dan sumber daya alam diwilayahnya. Pada hakekatnya pelayanan kepada masyarakat tidaklah semata-mata aktivitas pemerintah. Keberhasilan jalannya pemerintahan dan pembangunan justru memerlukan keterlibatan masyarakat. Begitu pula keberhasilan penataan (pemekaran) daerah juga perlu didukung oleh masyarakat termasuk pengawasan yang dijalankan masyarakat yang disebut pengawasan sosial. Ramses (2003) mengatakan bahwa “pemekaran wilayah atau tepatnya membagi suatu daerah otonom menjadi beberapa daerah, bertujuan untuk


(16)

mendekatkan dan mengoptimalkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, mempercepat pertumbuhan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Partisipasi masyarakat akan meningkat karena akses yang lebih terbuka serta pengawasan yang lebih efektif karena wilayah pengawasan relatif lebih sempit”.

Perubahan luas wilayah atau batas-batas daerah membawa konsekuensi terhadap jangkauan komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat karena peluang terjadinya gangguan pada saluran komunikasi dapat diperkecil. Dengan semakin dekatnya jarak antara wilayah provinsi dengan kabupaten maupun provinsi dengan kecamatan dan provinsi dengan kelurahan maka informasi dari provinsi akan cepat sampai kepada masyarakat baik di kabupaten, kecamatan maupun desa/kelurahan.

Struktur dan luas wilayah yang lebih sempit berimplikasi juga pada aktifitas koordinasi struktur dengan unit organisasi yang ramping sesuai dengan prinsip “ramping struktur kaya fungsi” dengan demikian koordinasi yang dilakukan akan lebih mudah. Menurut Kristiadi (dalam Lotulung, 1994) bahwa keuntungan organisasi ramping antara lain : (1) pelayanan kepada masyarakat akan menjadi lebih baik karena prosedur lebih pendek dan pengambilan keputusan lebih cepat, (2) komunikasi antar tingkatan manajemen menjadi lebih lancar, dan (3) koordinasi akan menjadi lebih lancar.

Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka dimensi utama yang menjelaskan efektif tidaknya penataan (pemekaran) daerah adalah pengawasan, komunikasi, dan koordinasi yang kesemuanya turut menentukan terhadap tingkat pelayanan masyarakat. Semakin jauh penduduk dari pusat pemerintahan, semakin kecil memperoleh sentuhan pelayanan. Permintaan terhadap pelayanan semakin meningkat menuntut pusat-pusat pemerintahan memperluas daerah layanannya. Akan tetapi pusat-pusat pelayanan memiliki keterbatasan (radius) jangkauan, sehingga diperlukan pusat-pusat pelayanan lain yang dapat memenuhi kebutuhan pelayanan masyarakat. Dengan demikian dengan adanya penataan (pemekaran) daerah berarti menambah pusat-pusat pemerintahan sehingga pelayanan dapat


(17)

5

menjangkau wilayah-wilayah pemukiman yang sebelumnya terpencil dan pelayanan pemerintah dapat tersentuh secara merata ke seluruh masyarakat yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pemerintah telah menetapkan kebijakan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Bab I Pasal 1 huruf 5 dikemukakan bahwa “Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Implementasi kebijakan desentralisasi berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 telah berlangsung sejak Januari 2001, hingga saat ini hampir 6 (enam) tahun (setelah dikeluarkannya Undang-undang nomor 32 Tahun 2004), telah banyak ditetapkan berbagai undang-undang tentang penataan daerah (baik pemekaran/pembentukan provinsi, kabupaten dan kota).

Dalam perjalanan implementasi kebijakan otonomi daerah sejak dikelurakannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 hingga digantinya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, telah banyak dilakukan pembentukan daerah otonom baru. Hal ini dapat dimaklumi karena pemekaran/pembentukan daerah dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan organisasi pemerintah kepada masyarakat. Melalui pemekaran/pembentukan daerah diharapkan tujuan kebijakan otonomi daerah seperti peningkatan pelayanan, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat dapat terwujud.

Adanya aspirasi yang berkembang yang menghendaki dilakukannya pengembangan dan penataan daerah di Kabupaten Bandung perlu mendapat respon dari berbagai pihak terutama dari jajaran DPRD Kabupaten sebagai wakil rakyat dan pemerintah daerah. Hal ini seiring dengan penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 bahwa penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat khususnya membuka isolasi wilayah adminsitrasi Kabupaten Bandung sebagai


(18)

satu kesatuan masyarakat hukum, unit usaha ekonomi, lingkungan budaya, satuan lingkungan, dan sebagai subsistem politik dari Provinsi Jawa Barat.

Persoalannya apakah aspirasi yang muncul ini dapat menjamin peningkatan pelayanan umum dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat di Kabupaten Bandung dan sekitarnya. Untuk kepentingan tersebut perlu terlebih dahulu dilakukan pengkajian terhadap potensi dan masalah yang ada di Provinsi Jawa Barat Khususnya di Kabupaten Bandung, sekaligus menggali aspirasi masyarakat.

Pengkajian kemungkinan pengembangan dan penataan kewilayahan (Daerah otonom) di Provinsi Jawa Barat khususnya pengembangan dan penataan kewilayahan Kabupaten Bandung sejalan dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 4 ayat (3) yang menyebutkan bahwa “pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih”. Salah satu prosedur pembentukan/pemekaran daerah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 jo. PP Nomor 78 Tahun 2007 bahwa ada kemauan politik dari pemerintahan daerah dan masyarakat yang bersangkutan.

Di samping itu pengkajian ini juga dimaksudkan untuk memenuhi syarat lainnya, seperti tersebut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 jo PP Nomor 78 Tahun 2007 bahwa pemekaran daerah dapat dilakukan berdasarkan kriteria kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah. Dalam penjelasan peraturan pemerintah dimaksud disebutkan pula bahwa pembentukan, pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah otonom memerlukan penilaian dengan menggunakan indikator yang tersedia.

Sehubungan dengan hal di atas, diperlukan pengkajian potensi daerah dalam rangka mengukur dan mengevaluasi variabel atau kriteria potensi daerah yang dipersyaratkan untuk mengetahui kemungkinan penataan wilayah di Provinsi Jawa Barat khususnya Kabupaten Bandung melalui penelitian mendalam terhadap “Kajian Penyusunan Data Base Penataan Daerah Kabupaten Bandung”


(19)

7

1.2. Perumusan Masalah

Penataan/Pembentukan suatu daerah otonom setidaknya harus memenuhi syarat administrasi, teknis dan fisik kewilayahan. Syarat administrasi untuk provinsi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan Gubernur, serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Sedangkan syarat administrasi untuk kabupaten/kota meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/ kota dan bupati/walikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri.

Adapun syarat teknis meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan keamanan dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, sedangkan syarat fisik meliputi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan kabupaten dan 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan.

Selain itu, dalam penjelasan Pasal 4 ayat (4) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa pemekaran suatu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan, untuk provinsi adalah 10 tahun, kabupaten/kota 7 tahun sedang kecamatan 5 tahun.

Dalam konteks upaya pengembangan dan penataan wilayah di Provinsi Jawa Barat khususnya Kabupaten Bandung, permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah potensi wilayah kecamatan di Kabupaten Bandung dalam mengimplementasikan otonomi daerah ?

2. Bagaimana pemetaan kecamatan di Kabupaten Bandung, sebagai peluang untuk pemekaran kecamatan ?

Masalah penelitian dibatasi dengan fokus Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 jo PP Nomor 78 Tahun 2007 berupa pengukuran dan penilaian


(20)

terhadap variabel yang merupakan persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran daerah, meliputi kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk/kependudukan, luas wilayah dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah seperti faktor keamanan, ketersediaan sarana pemerintahan, dan rentang kendali.

1.3. Manfaat dan Tujuan Kegiatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan acuan bagi DPRD dan Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung untuk menentukan pilihan terbaik bagi Pengembangan dan Penataan Kewilayahan di Kabupaten Bandung.

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk Mengetahui gambaran tingkat kemampuan daerah Khususnya Kabupaten Bandung dalam mengimplementasikan otonomi daerah;

2. Untuk Mengetahui kemungkinan pengembangan dan penataan seluruh wilayah di Kabupaten Bandung untuk dilakukan pengembangan dan penataan di tingkat Kecamatan (pemekaran Kecamatan);

1.4. Kerangka Pemikiran

Penelitian penataan dan pengembangan Kabupaten Bandung akan dibagi secara bertahap sesuai kerangka pemikiran sebagai berikut :

1. Pengembangan dan penataan di tingkat Desa (Pemekaran Desa)

Tujuan Kebijakan otonomi daerah sebagaimana dimuat dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokratisasi, keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.


(21)

9

Sejalan dengan itu, maka otonomi daerah ditempatkan secara utuh pada daerah kabupaten/kota, dan pemberian kewenangan otonomi kepada daerah kabupaten/kota didasarkan kepada asas desentralisasi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.

Tercapainya tujuan kebijakan otonomi daerah, sangat ditentukan oleh tingkat kemampuan desa/kelurahan sebagai unit pemerintahan terkecil dan terdekat dengan masyarakat dalam pemberian pelayanan umum, penyelenggaraan pembangunan dan peningkatan demokratisasi.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa desa dapat dibentuk di wilayah kecamatan dengan perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah. PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa lebih lanjut menetapkan bahwa pembentukan desa baru wajib memperhatikan jumlah penduduk, luas wilayah, sosial budaya, potensi kelurahan, sarana dan prasarana pemerintahan. PP tersebut diperjelas dengan Permendagri yang mengatur tentang Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Desa.

Ketentuan tersebut membuka peluang untuk membentuk desa baru dengan cara pemecahan desa sepanjang ada aspirasi masyarakat dan pembentukan desa dapat memenuhi tujuan berupa terciptanya efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan umum, pembangunan dan demokratisasi pada unit pemerintahan terkecil.

Untuk memenuhi tujuan tersebut, maka diperlukan pengukuran dan penilaian terhadap potensi desa yang dimiliki dan dapat digunakan untuk menjadi dasar layak tidaknya pembentukan desa baru.

Hasil pengukuran memperhatikan faktor utama yang terdiri dari akumulasi jumlah penduduk dan jumlah kepala keluarga dan faktor pendukung yang merupakan jumlah skor tertentu dari tingkat kemampuan potensi yang merupakan dasar penilaian apakah suatu desa layak atau tidak untuk dipecah. Penilaian tingkat kemampuan potensi dalam rangka pemecahan Desa adalah penilaian terhadap potensi desa induk dan rencana pembentukan desa. Hasil penilaian dapat dikategorikan ke dalam 3 (tiga) tingkatan hasil penilaian, yaitu


(22)

lulus/layak, lulus bersyarat/cukup layak dan tidak lulus/tidak layak. Hasil penilaian yang merupakan rekomendasi kebijakan adalah sebagai berikut :

1) Jika calon desa induk dan calon desa pemecahan memenuhi syarat menurut faktor utama dan lulus/layak menurut faktor pendukung, maka pilihan tindakan yang diambil adalah diusulkan pemecahan desa atau pembentukan desa baru;

2) Jika calon desa induk dan calon desa pemecahan memenuhi syarat menurut faktor utama dan lulus bersyarat/cukup layak atau tidak lulus/tidak layak menurut faktor pendukung, maka pilihan tindakan yang diambil adalah diusulkan pemecahan desa atau pembentukan desa baru, diikuti dengan pengembangan potensinya menuju lulus/layak dalam jangka waktu tertentu;

3) Jika salah satu calon desa induk dan calon desa pemecahan tidak memenuhi syarat menurut faktor utama dan lulus/layak, lulus bersyarat/cukup layak atau tidak lulus/tidak layak menurut faktor pendukung, maka tidak dapat diusulkan pemecahan desa atau pembentukan desa baru.

2. Pengembangan dan penataan di tingkat Kecamatan (Pemekaran Kecamatan)

Tujuan Perbaikan otonomi daerah sebagaimana dimuat dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kehidupan demokratisasi, keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan menurut UU No. 32 Tahun 2004, tujuannya adalah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat.

Sejalan dengan itu, maka otonomi daerah ditempatkan secara utuh pada Daerah Kabupaten/Kota, dan pemberian kewenangan otonomi kepada Daerah


(23)

11

Kabupaten/Kota didasarkan kepada asas desentralisasi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.

Tercapainya tujuan otonomi daerah, sangat ditentukan oleh tingkat kemampuan wilayah kerja kecamatan sebagai salah satu unit pemerintahan terdekat dengan masyarakat dalam pemberian pelayanan umum, penyelenggaraan pembangunan dan peningkatan demokratisasi. Pemekaran kecamatan bertujuan untuk menciptakan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan umum, pembangunan dan demokratisasi. Untuk memenuhi tujuan tersebut, maka diperlukan pengukuran dan penilaian terhadap potensi kecamatan yang dimiliki dan dapat digunakan untuk menjadi dasar layak tidaknya pemekaran kecamatan.

Adapun potensi yang dianggap reliabel dalam rangka pemekaran kecamatan dapat diukur dan dinilai pada 19 (sembilan belas) variabel penelitian antara lain demografi, orbitrasi, pendidikan, kesehatan, keagamaan, sarana olah raga, transportasi, komunikasi, penerangan umum, politik, kamtibmas, pertanian, perikanan, peternakan, kehutanan, pertambangan, ketenagakerjaan, sosial budaya, ekonomi masyarakat, kondisi sosial masyarakat dan aspek pemerintahan.

Hasil pengukuran adalah jumlah skor tertentu dari tingkat kemampuan potensi yang merupakan dasar penilaian apakah suatu kecamatan layak atau tidak untuk dimekarkan. Penilaian tingkat kemampuan potensi dalam rangka pemekaran kecamatan adalah penilaian terhadap potensi kecamatan induk dan kecamatan rencana pemekaran. Hasil penilaian potensi dapat dikategorikan ke dalam 3 (tiga) tingkatan hasil penilaian, yaitu tinggi, cukup, dan rendah.

Hasil penilaian yang merupakan rekomendasi kebijakan adalah sebagai berikut :

1. Jika kecamatan induk dan kecamatan yang akan dibentuk potensinya tinggi, maka pilihan tindakan yang diambil adalah mengusulkan pemekaran kecamatan;

2. Jika kecamatan induk dan kecamatan yang akan dibentuk potensinya Cukup, maka pilihan tindakan yang diambil adalah melakukan pemekaran kemudian diikuti dengan pengembangan potensi dalam jangka waktu tertentu misalnya


(24)

minimal 3 atau 5 tahun untuk dievaluasi. Jika tidak memenuhi persyaratan dalam waktu tersebut, maka dapat diusulkan untuk digabung kembali dengan kecamatan induk;

3. Jika kedua unit pemerintahan atau salah satu unit pemerintahan dimaksud potensinya rendah, maka pilihan tindakan yang diambil adalah menunda pemekaran kecamatan. Bagi kecamatan yang potensinya rendah disarankan untuk melakukan pembinaan potensi menuju kategori cukup, dan setelah potensinya cukup diadakan pengembangan potensi hingga layak untuk diadakan pemekaran kecamatan. Namun, bila potensi kecamatan sangat rendah maka tidak dapat dilakukan pemekaran kecamatan.

Selain itu, pembentukan kecamatan juga harus memperhatikan aspirasi masyarakat yang berkembang. Jika hasil survey menunjukkan lebih dari 50% masyarakat menghendaki pembentukan kecamatan baru, maka pemekaran dapat dilakukan. Demikian juga, bila hasil survey tentang pelayanan kepada masyarakat menunjukkan lebih dari 50% menjawab bahwa pelayanan kepada masyarakat buruk atau rendah, maka pemekaran kecamatan dapat dilakukan.

Jika dicermati pola pengembangan kewilayahan di atas, tampaknya untuk mendukung terwujudnya good governance (kepemerintahan yang baik) perlu dilakukan kajian yang bersifat strategis yaitu Kajian Penyusunan Data Base Penataan Daerah Kabupaten Bandung.


(25)

13

Bagan 1.

Kerangka Pemikiran

Tahap I

Pengembangan dan Penataan wilayah di Tingkat Desa/Kelurahan

Pemekaran Desa/Kelurahan

Aspiran Masyarakat

Potensi Wilayah

Tingkat pelayaanan

dan ketersediaan

layanan

Tahap II

Pengembangan dan Penataan wilayah di Tingkat Kecamatan

Pemekaran Kecamatan

Aspiran Masyarakat

Potensi Wilayah

Tingkat pelayaanan

dan ketersediaan

layanan

Peningkatan kesejahteraan


(26)

(27)

14 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Perubahan Paradigma tentang Kecamatan Menurut Undang–Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang – undang Nomor 32 Tahun 2004 2.1.1. Perubahan Paradigma tentang Kecamatan Menurut Undang

undang Nomor 22 Tahun 1999

Kehadiran Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah menawarkan perubahan yang signifikan dalam sejarah pemerintahan daerah di Indonesia. Dikatakan demikian karena undang-undang tersebut merupakan “kontra-konsep” terhadap undang-undang yang lama karena adanya perbedaan filosofi serta paradigma yang mendasarinya. Secara garis besar menurut Sadu Wasistiono (2005:4) perubahan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

a. Dari filosofi “keseragaman” berubah menjadi filosofi “keanekaragaman dalam kesatuan. Berdasarkan filosofi ini, daerah diberi kebebasan yang luas untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat.

b. Dari paradigma administratif yang mengutamakan daya guna dan hasil guna pemerintahan menjadi paradigma demokratisasi, partisipasi masyarakat serta pelayanan.

c. Tugas utama pemerintah daerah yang semula sebagai promotor pembangunan berubah menjadi pelayan masyarakat.

d. Dari dominasi eksekutif (executive heavy) berubah ke arah dominasi legislative (legislative heavy).

e. Pola otonomi yang digunakan adalah a-simetris, menggantikan pola otonomi simetris.

f. Pengaturan terhadap desa yang terbatas, menggantikan pengaturan yang luas dan seragam secara nasional.


(28)

g. Penggunaan pendekatan “besaran dan isi otonomi” (size and content approach) dalam pembagian daerah otonom, menggantikan pendekatan berjenjang (level approach).

Berbagai perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana dikemukakan di atas, mencakup pula perubahan mengenai kedudukan kecamatan dan camat. Dalam Pasal 1 huruf (m) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dinyatakan bahwa : “Kecamatan adalah wilayah kerja Camat sebagai perangkat Daerah Kabupaten dan Daerah Kota”. Pasal tersebut menunjukkan adanya dua perubahan penting yaitu sebagai berikut :

1) Kecamatan bukan lagi wilayah administrasi pemerintahan seperti pada masa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, melainkan wilayah kerja. Sebagai wilayah kerja, kecamatan bukan lagi wilayah kekuasaan dari camat tetapi areal tempat camat bekerja.

2) Camat adalah perangkat Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, bukan lagi kepala wilayah administrasi pemerintahan seperti masa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974. Konsekuensi logisnya, camat bukan lagi penguasa tunggal yang berfungsi sebagai administrator pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.

Perubahan tersebut diatur lebih tegas di dalam pasal 66 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999. Pada ayat (1) disebutkan bahwa : “Kecamatan merupakan perangkat Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang dipimpin oleh Kepala Kecamatan”. Pada ayat (2) dikemukakan pula bahwa : “Kepala Kecamatan disebut Camat”.

Di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, diatur pula tentang Kecamatan. Pada Pasal 120 ayat (2) dikemukakan bahwa : “ Perangkat Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan”.

Perubahan kedudukan kecamatan dan kedudukan camat membawa dampak pada kewenangan yang dijalankan oleh camat. Karena bukan lagi kepala wilayah, camat tidak memiliki kewenangan atributif sebagaimana diatur pada pasal 80 dan 81 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, kecuali diatur lebih lanjut


(29)

16

dalam peraturan perundang-undangan lainnya di luar undang-undang. Di dalam Pasal 66 ayat (4) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dikemukakan bahwa : “Camat menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/ Walikota”, artinya kewenangan yang dijalankan oleh camat merupakan kewenangan delegatif yang diberikan oleh Bupati/Walikota. Delegasi kewenangan tersebut dari pejabat (Bupati/Walikota) kepada pejabat (Camat). Luas atau terbatasnya delegasi kewenangan dari Bupati/Walikota kepada camat sangat bergantung pada keinginan politis dari Bupati/ Walikota bersangkutan.

2.1.2. Perubahan Paradigma tentang Kecamatan Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 ternyata tidak berusia panjang. Setelah dijadikan hukum positif selama lima tahun, undang-undang tersebut diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Secara esensi menurut Sadu Wasistiono, perubahan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 antara lain : 1. Menggunakan filosofi keanekaragaman dalam kesatuan.

2. Paradigma politik yang digunakan adalah dalam rangka demokratisasi, pemerataan dan keadilan.

3. Penambahan paradigma ekonomi dengan menekankan pada daya saing daerah dalam menghadapi persaingan global melalui pemberdayaan masyarakat. 4. Penambahan paradigma administrasi dengan menekankan pada perlunya

efektivitas dan efisiensi.

5. Memberi tekanan pada pelayanan masyarakat sebagai fokus utama untuk mencapai hasil berupa kesejahteraan rakyat.

6. Prinsip otonomi yang digunakan adalah otonomi yang seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab dengan memperhatikan keseimbangan hubungan antar pemerintahan. Digunakan prinsip desentralisasi berkesimbangan.


(30)

7. Perubahan pendekatan kewenangan menjadi pendekatan urusan pemerintahan dalam pengalokasian kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

Sedangkan esensi perubahan pada kecamatan, kelurahan dan desa dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Pengaturan Mengenai Kecamatan

Perubahan pengaturan mengenai kecamatan berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Kecamatan secara eksplisit dinyatakan sebagai perangkat daerah Kabupaten/Kota.

b. Kecamatan dipimpin oleh Camat yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang Bupati/Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah.

c. Camat juga menyelenggarakan tugas umum pemerintahan, meliputi : 1). mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat;

2). mengkoordinasikan upaya penyelenggaraan ketentraman dan

ketertiban umum;

3) mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan;

4) mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum;

5) mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan;

6) membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan. 7) melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup

tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan.

d. Camat diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota dari PNS yang menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


(31)

18

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa kecamatan lebih banyak menjalankan fungsi mengkoordinasikan berbagai kegiatan yang ada di kecamatan, selain menjalankan fungsi - fungsi operasional yang didelegasikan oleh Bupati/Walikota kepada Camat.

2. Pengaturan Mengenai Kelurahan

Perubahan pengaturan mengenai kelurahan berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Lurah memperoleh pelimpahan wewenang dari Bupati/Walikota;

b. Lurah mempunyai tugas lainnya, selain yang berasal dari pelimpahan wewenang Bupati/Walikota, meliputi :

1) pelaksanaan kegiatan pemerintahan kelurahan ; 2) pemberdayaan masyarakat ;

3) pelayanan masyarakat ;

4) penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum ; dan 5) pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum.

c. Lurah diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Camat dari PNS yang menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

d. Dalam melaksanakan tugasnya, Lurah bertanggung jawab kepada Bupati/ Walikota melalui Camat.

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa Kelurahan lebih banyak menjalankan fungsi pelaksanaan yang bersifat operasional, dengan kewenangan yang didelegasikan secara langsung dari Bupati/Walikota tanpa melalui Camat (seperti pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999).

3. Pengaturan Mengenai Desa

Perubahan pengaturan mengenai desa berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut :


(32)

a. Desa di Kabupaten/Kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi Kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah Desa bersama Badan Permusyawaratan Desa yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

b. Sekretaris Desa diisi dari PNS yang memenuhi persyaratan

Pengangkatannya dilakukan secara bertahap

c. Kepala Desa dipilih secara langsung oleh dan dari penduduk Desa, dengan suara terbanyak (simple majority).

d. Pemilihan Kepala Desa dapat menggunakan hukum adat setempat, sepanjang hukum adat tersebut masih berlaku.

e. Masa jabatan Kepala Desa adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

f. Badan Perwakilan Desa (BPD) diganti dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dengan fungsi menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa, serta menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.

g. Pendapatan Desa yang penting adalah bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota serta bagian dari dana perimbangan keuangan Pusat dan Daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota, bukan hanya sekedar bantuan seperti yang diatur di dalam UU Nomor 22 Tahun 1999.

2.2. Teori tentang Rentang Kendali dalam Organisasi 2.2.1. Definisi Asas Rentang Kendali dalam Organisasi

Rentang kendali merupakan salah satu asas yang diperlukan untuk menjalankan organisasi. Untuk memberikan kesamaan pandangan mengenai pengertian rentang kendali, perlu terlebih dahulu dikemukakan beberapa definisi.

Fred Luthhans (1981:452) mendefinisikan ”rentang kendali sebagai jumlah bawahan yang secara langsung melapor kepada atasan”. Luthans tidak memberikan batasan mengenai berapa jumlah optimal dari bawahan yang melapor kepada pimpinan tersebut.


(33)

20

Chris Argyris (1960:13) menulis bahwa prinsip pengendalian menyatakan bahwa efisiensi administrasi dapat ditingkatkan dengan membatasi rentang kendali dari seorang pimpinan dengan membatasi rentang kendali dari seorang pimpinan dengan tidak lebih dari lima atau enam bawahan yang bekerja secara berkait.

Dengan demikian dapat diartikan bahwa rentang kendali atau rentang manajemen adalah jumlah bawahan yang secara langsung bertanggungjawab kepada seorang atasan tertentu.

Mengenai batasan luasnya rentang kendali dalam suatu organisasi ternyata terdapat perbedaan pendapat para ahli. Barkdull (Stoner, 1986a:355) tidak memberikan batasan yang pasti mengenai luasnya rentang kendali yang optimal, tetapi menyebutkan adanya tujuh faktor yang dipandang mempengaruhi rentang manajemen yaitu :

1. kesamaan fungsi yang disupervisi;

2. jarak geografis dan fungsi yang disupervisi; 3. kerumitan fungsi yang disupervisi;

4. arahan dan pengendalian yang diperlukan bawahan; 5. koordinasi yang diperlukan supervisor;

6. perencanaan yang diperlukan supervisor; 7. bantuan organisasi yang diterima supervisor.

Berbeda dengan pendapat di atas, Pfiffner dan Sherwood (1961:315) secara jelas mengemukakan bahwa jumlah orang-orang yang diawasi berkembang antara 12 sampai 20 orang. Tetapi kepemimpinan eksekutif akan berjalan lebih baik dengan kelompok yang lebih kecil.

Sedangkan Pariata Westra dan kawan-kawan (1977:315) menyebutkan bahwa rentang kontrol untuk satuan utama berkisar antara 3-10 orang bawahan sedangkan untuk satuan lanjutan berkisar antara 10-20 orang bawahan.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa cukup sulit untuk menentukan secara tepat mengenai berapa banyak dan luasnya rentang kendali


(34)

yang harus dijalankan oleh seorang manajer. Untuk itu Herbert A. Simon (Pfiffner & Sherwood, 1961:154-155) mengungkapkan mengenai rentang kendali:

a. Pertama, tidak ada seorangpun yang secara nyata mengetahui dengan tepat jumlah orang-orang yang dapat dikendalikan;

b. Kedua, kesemuanya bergantung pada beberapa faktor seperti kepribadian dari eksekutifnya, rutinitas dari berbagai sifat pekerjaan, tingkatan penyebaran geografis, perlunya segera suatu keputusan diambil dan tipe dari program yang diadministrasikan, yang kesemuanya merupakan faktor-faktor utama yang penting untuk mendefinisikan hubungan pengendalian.

Untuk mempermudah menentukan luasnya rentang kendali yang dapat dijalankan oleh manajer, Karen dan Levhari (Stoner; 1986a:357-358) juga memberikan pedoman. Pedoman tersebut mencakup faktor-faktor yang berkaitan dengan situasi, bawahan dan manajer yaitu sebagai berikut :

1. Faktor-faktor yang berkaitan dengan situasi, rentang manajemen yang sesuai relatif dapat luas apabila :

- pekerjaan cukup rutin; - operasi cukup stabil; - pekerjaan bawahan sama;

- pada umumnya bawahan dapat bekerja secara mandiri;

- prosedur dan metoda telah ditetapkan dengan baik dan telah diformalkan; - pekerjaan tidak membutuhkan pengendalian atau supervisi yang tinggi. 2. Faktor-faktor yang berkaitan dengan bawahan, rentang yang sesuai dapat luas

apabila :

- bawahan cukup terlatih baik dalam melaksanakan pekerjaan;

- bawahan tidak menyukai supervisi yang ketat dalam melaksanakan pekerjaannya.


(35)

22

3. Faktor-faktor yang berkaitan dengan manajer, rentang manajemen yang sesuai relatif dapat luas apabila :

- manajer cukup terlatih dengan baik dan sangat mampu;

- manajer menerima bantuan dalam melaksanakan aktivitas supervisinya; - manajer tidak banyak memiliki aktivitas tambahan yang non-supervisi; - manajer lebih menyukai gaya supervisi yang cukup longgar daripada

supervisi yang ketat.

Melihat hubungan kerja antara Camat dengan pemerintahan Desa/ Kelurahan yang ada diwilayahnya maka rentang kendali yang dilaksanakan oleh Camat adalah rentang kendali ke luar.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi luasnya rentang kendali keluar yaitu :

a. kepribadian pemimpinnya;

b. jenis pekerjaan organisasi bawahan; c. keadaan geografis;

d. jarak antara kecamatan dengan desa-desa yang dibina; e. Sarana dan prasarana transportasi serta komunikasi.

2.2.2. Penerapan Rentang Kendali di Dalam Manajemen

Meskipun merupakan asas yang diperlukan untuk menjalankan organisasi, dalam kegiatan manajemen rentang kendali kurang memperoleh perhatian yang memadai. Padahal menurut Stoner (1986 : 350), ada dua alasan utama mengenai pemilihan rentang manajemen merupakan hal yang penting : Pertama, rentang manajemen mempengaruhi pendayagunaan manajer secara efisien dan prestasi yang efektif dari bawahan mereka. Rentang yang terlalu luas dapat berarti bahwa manajer yang bersangkutan terlalu memaksakan diri mereka sendiri dan karenanya bawahan mereka menerima pedoman dan kontrol yang terlalu sedikit. Rentang kendali yang terlalu sempit dapat berarti bahwa manajer kurang didayagunakan. Kedua, ada hubungan antara rentang manajemen dengan struktur organisasi.


(36)

Selain pendapat di atas, ada berbagai alasan lain yang menunjukkan bahwa asas rentang kendali semakin diperlukan, terlebih lagi pada manajemen wilayah seperti yang dijalankan oleh para Camat. Alasan-alasan tersebut antara lain :

a. Bahwa organisasi ibarat organisme yang hidup dan berkembang. Pertumbuhan dapat bersifat horizontal yaitu melebar dengan cara menambah bagian-bagian ataupun berkembang secara vertikal yaitu dengan menambah jenjang atau adanya cabang-cabang diluar organisasi inti.

b. Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan organisasi diperlukan lebih banyak orang yang dipercaya untuk mengawasi bagian – bagian ataupun cabang-cabang organisasi yang ada, sebab kemampuan seorang manajer untuk mengawasi bawahannya relatif terbatas.

c. Adanya kecenderungan untuk mengadakan desentralisasi di dalam organisasi. Hal ini disebabkan oleh semakin kompleksnya tujuan yang harus dicapai ataupun semakin besarnya ukuran organisasi. John Naisbitt (1982) dalam bukunya ”Megatrends” juga menyebutkan adanya kecenderungan perubahan orientasi dari sentralisasi ke arah desentralisasi.

d. Dihubungkan dengan pokok pembahasan, maka terdapat kecenderungan perkembangan jumlah organisasi pemerintah Desa sebagai subsistem organisasi pemerintah Kecamatan akibatnya adanya pemecahan Desa ataupun pembentukan Desa baru. Pemecahan Desa terutama disebabkan oleh bertambahnya jumlah penduduk serta semakin kompleksnya tugas-tugas-tugas yang harus ditangani oleh pemerintah Desa.

Rentang kendali Camat terhadap desa-desa/kelurahan yang ada dibawahnya apabila bisa dioptimalkan maka dapat meningkatkan efektivitas manajemen pemerintahan Kecamatan.

2.2.3. Memahami Hubungan antara Rentang Kendali dengan Efektivitas Manajemen Pemerintahan Kecamatan Melalui Pendekatan Sistem

Dari berbagai uraian sebagaimana telah dikemukakan pada bagian sebelumnya dapat diketahui bahwa berbicara mengenai efektivitas berarti


(37)

24

berbicara mengenai hubungan antara sasaran yang telah ditetapkan dengan hasil dicapai. Cara berpikir yang paling tepat untuk memahami hubungan tersebut adalah memalui pendekatan sistem.

Berbagai pendapat mengenai sistem dan model berpikir sistem telah dikembangkan para ahli. Bertalanffy (Suriasumantri; 1981:10) misalnya mengemukakan bahwa sistem terbuka dapat ditandai dengan beberapa sifat sebagai berikut :

1. Sistem itu mempunyai tujuan;

2. Suatu sistem merupakan suatu keseluruhan yang bulat dan utuh; 3. Sistem itu memiliki sifat terbuka;

4. Satu sistem mempunyai atau melakukan kegiatan transformasi; 5. Dalam sistem terdapat saling kaitan;

6. Sistem mempunyai mekanisme kontrol.

Untuk menyederhanakan uraian mengenai pengertian sistem sehingga lebih mudah dipahami, maka sistem dapat digambarkan dalam berbagai model. Dihubungkan dengan pokok pembahasan mengenai pemahaman hubungan antara rentang kendali dengan efektivitas manajemen pemerintahan kecamatan, maka model sistem tersebut dapat digambarkan kembali secara lengkap sebagai berikut :


(38)

GAMBAR 2.1

MODEL PENDEKATAN SISTEM

Pendekatan sistem di atas sejalan dengan hakekat pengendalian. Menurut Anthony, Dearden dan Bedford (1985:4) bahwa pengendalian adalah mengarahkan seperangkat variabel (mesin, manusia, peralatan) kearah tercapainya sasaran atau tujuan. Dalam suatu sistem, variabel tersebut menrupakan unsur masukan dan sasaran merupakan untuk keluaran, sedangkan pengendalian termasuk kedalam unsur proses. Oleh Anthony dan kawan-kawan (1985:4) juga ditegaskan bahwa pengendalian adalah cara-cara untuk memastikan bahwa anggota organisasi akan melakukan apa yang seharusnya dilakukan.

Dalam memahami hubungan antara rentang kendali dengan efektivitas manajemen pemerintahan kecamatan diperlukan pendekatan sistem, sebab menurut Winardi (1987:63) di dalam manajemen modern, pendekatan sistem merupakan suatu ”conditio sine quanon”. Kecamatan dan Desa adalah salah satu bentuk organisasi pemerintahan dengan manajemen modern sehingga memerlukan pendekatan dan cara berpikir sistem.

Dari diagram di atas, secara teoritis dapat diketahui bahwa keluaran suatu organisasi pemerintahan baik berupa pelayanan kepada masyarakat ataupun pencapaian sasaran kegiatan akan ditentukan oleh unsur masukan dan proses. Melalui penelitian, secara faktual akan dilihat mengenai seberapa jauh hubungan

Balikan : Tanggapan dari masyarakat

Masukan - Bahan/ peralatan - Orang - Dana - Rencana kegiatan Proses Prinsip-prinsip manajemen : rentang kendali Keluaran - Pelayanan kepada masyarakat - Pencapaian sasaran kegiatan Nilai Jual Nilai jual dari pelayaan yang diberikan kepada masyarakat Dampak Dampak terhadap pelayanan dan pencapaian sasaran Manfaat Manfaat dari pelayanan dan pencapaian sasaran


(39)

26

antara perubahan proses terhadap keluaran. Perubahan proses berupa optimalisasi rentang kendali camat terhadap desa bawahan.

Agar dapat diperoleh gambaran yang nyata mengenai hubungan tersebut, maka untuk unsur masukan, unsur umpan balik maupun unsur lingkungan digunakan asumsi bahwa kualitas dan kuantitas unsur-unsur tersebut relatif sama. Oleh karena itu diperlukan lokasi penelitian sama yang memenuhi asumsi tersebut.

Dengan lokasi penelitian yang sama diharapkan tersedianya lingkungan politik dan ekonomi yang sama pula baik di lingkungan regional maupun di tingkat lokal.

Umpan balik berupa tanggapan dari masyarakat menurut pendapat Anthony dan Herzlinger (1980), kurang berpengaruh terhadap proses organisasi nirlaba, terlebih lagi jika sumber dananya tidak langsung berasal dari masyarakat.

2.3. Teori Tentang Pemberian Pelayanan Umum

Wujud yang paling nyata dari tugas, kegiatan atau fungsi yang dialaksanakan oleh suatu sistem pemerintahan adalah pelayanan masyarakat. Keseluruhan aspek pemerintahan negara yang meliputi aspek kelembagaan, ketatalaksanaan dan sumber daya manusia, senantiasa mengarah kepada upaya peningkatan efisiensi dan profesionalisme fungsi pelayanan. Tugas umum pemerintahan dan pembangunan memiliki pengertian yang saling memperkuat karena pelayanan kepada masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya merupakan hakekat dati tugas umum pemerintahan itu sendiri.

Menelusuri lebih jauh makna pelayanan, sebenarnya secara umum istilah ini sering dipergunakan oleh berbagai pihak dengan istilah-istilah lain, misalnya pelayanan publik, pelayanan masyarakat, pelayanan pemerintah, pelayanan umum, pelayanan sipil dan lain sebagainya. Paham demokrasi yang sekarang ini dianut pemerintah mempunyai konsekuensi bahwa pemerintah itu milik masyarakat, sehingga lebih banyak memberi wewenang kepada masyarakat daripada terus-menerus melayani masyarakat. Aparat pemerintah sebagai unsur


(40)

pemerintah (melayani) terkait langsung dengan pelayanan kepada masyarakat sebagai unsur-unsur yang terlibat dalam kegiatan pelayanan.

Pengertian pelayanan umum menurut Sadu Wasistiono (2001:51), mengemukakan bahwa: ”Pelayanan umum adalah pemberian jasa baik oleh pemerintah, pihak swasta, atas nama pemerintah maupun pihak swasta kepada masyarakat, dengan atau tanpa pembayaran guna memenuhi kebutuhan atau kepentingan masyarakat.” Seiring dengan peningkatan kebutuhan masyarakat, maka pelayanan yang diberikan oleh pemerintah tidak hanya berfungsi sebagai pemenuhan tuntutan dan kebutuhan akan barang dan jasa publik semata, tetapi juga harus memperhatikan kualitas pelayanan yang diberikan. Sebab masyarakat akan mempertanyakan apakah barang dan jasa publik yang diberikan pemerintah dapat memberikan rasa puas atau hanya memenuhi kewajiban pemerintah semata, lebih dari itu pemberian pelayanan yang berkualitas dan dapat memuaskan masyarakat. Oleh karenanya fungsi pelayanan pemerintah selalu berkaitan dengan kepentingan umum dan bukan dikonsepsikan untuk orang perorangan.

Ndraha (2000:21a), menunjukkan hubungan pemerintah (governance relations), yaitu hubungan yang terjadi antara yang diperintah dengan pemerintah satu terhadap yang lain pada satu posisi dan peran. Dalam kaitan itu, kualitas pelayanan menjadi gejala atau masalah yang sering mewarnai interaksi tersebut. Untuk itu pemerintah bukan lagi penentu kualitas pelayanan, akan tetapi masyarakat sebagai pelanggan kebutuhan dan kepentingan yang ditawarkan pemerintah. Pelangganlah yang paling tahu mana yang baik untuk kehidupannya. Seperti dikemukakan Couper (dalam Osborne dan Gaebler, 1992:166), bahwa “Quality is determined only by costumers”. Dalam kaitan itu, Couper (dalam Osborne dan Gaebler, 1992: 169,172), dikatakan pemerintah perlu: Getting close to the costumer, because the costumer are the most important people for an organization”.

Dengan demikian baik buruknya produk layanan masyarakat yang diberikan, lebih banyak bergantung pada sejauh mana tanggapan atau kepuasan penerima pelayanan.

Kecamatan dan juga organisasi perangkat daerah lainnya, diarahkan untuk menjadi organisasi yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat. Untuk mengetahui tingkat kepuasan masyarakat yang dilayaninya,


(41)

28

diperlukan survey secara periodik melalui suatu alat ukur yang baku. Berkaitan dengan hal tersebut, pada bulan Pebruari 2004, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara telah mengeluarkan Keputusan Nomor Kep/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah sebagai berikut:

1. Prosedur pelayanan yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan;

2. Persyaratan pelayanan yaitu persyaratan teknis dan administratif yang diperlukan untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanannya; 3. Kejelasan petugas pelayanan yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang

memberikan pelayanan (nama, jabatan serta kewenangan dan

tanggungjawabnya);

4. Kedisiplinan petugas pelayanan yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan pelayanan terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan yang berlaku;

5. Tanggung jawab petugas pelayanan yaitu kejelasan wewenang dan tanggung jawab petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan;

6. Kemampuan petugas pelayanan yaitu tingkat keahlian dan keterampilan yang dimiliki petugas dalam memberikan/menyelesaikan pelayanan kepada masyarakat;

7. Kecepatan pelayanan yaitu target waktu pelayanan dapat diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan oleh unit penyelenggaran pelayanan;

8. Keadilan mendapatkan pelayanan yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak membedakan golongan/status masyarakat yang dilayani;

9. Kesopanan dan keramahan petugas yaitu sikap dan perilaku petugas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan ramah serta saling menghargai dan menghormati;

10.Kewajaran biaya pelayanan yaitu keterjangkauan masyarakat terhadap besarnya biaya yang ditetapkan oleh unit pelayanan;

11.Kepastian biaya pelayanan yaitu kesesuaian antara biaya yang dibayarkan dengan biaya yang telah ditetapkan;


(42)

12.Kepastian jadual pelayanan yaitu pelaksanaan waktu pelayanan, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan;

13.Kenyamanan lingkungan yaitu kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang bersih, rapi dan teratur sehingga dapat memberikan rasa nyaman kepada penerima pelayanan;

14.Keamanan pelayanan yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan unit penyelenggara pelayanan ataupun sarana yang digunakan, sehingga masyarakat merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan terhadap resiko-resiko yang diakibatkan dari pelaksanaan pelayanan.

2.4. Kebijakan tentang Pemekaran Kecamatan

Pada masa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, mengingat kecamatan adalah wilayah administrasi pemerintahan dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi, pembentukan kecamatan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri. Pada masa Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, pembentukan kecamatan cukup dilakukan dengan Peraturan Daerah (lihat Pasal 66 ayat 6 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999).

Perubahan yang menyangkut tentang kebijakan pemekatan kecamatan dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Pembentukan Kecamatan

Dalam Pasal 126 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dikemukakan bahwa : “Kecamatan dibentuk di wilayah Kabupaten/Kota dengan Peraturan Daerah berpedoman pada Peraturan Pemerintah”. Pada Pasal 4 ayat (4) undang-undang tersebut dikemukakan bahwa pemekaran suatu daerah dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan. Penjelasan Pasal 4 ayat (4) menyebutkan bahwa batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan suatu kecamatan dapat dimekarkan adalah 5 (lima) tahun.

Kecamatan dalam suatu kabupaten/kota yang jumlahnya cukup banyak pada umumnya dikelola secara seragam, dalam arti mempunyai besaran organisasi, anggaran, personil serta logistik yang serba seragam. Padahal beban pekerjaan dan tanggung jawab untuk masing-masing jelas berbeda-beda. Agar


(43)

30

TK = f (JP, LW, JK/D,STK, KP, KW, PPK)

diperoleh gambaran yang realistis, logis dan rasional sehingga dapat diukur kinerjanya secara obyektif, diperlukan langkah membuat tipologi. Sekurang-kurangnya ada 7 (tujuh) variabel yang dapat digunakan untuk menentukan tipologi kecamatan yakni :

1) jumlah penduduk; 2) luas wilayah;

3) jumlah kelurahan/desa diwilayahnya; 4) sarana transportasi dan komunikasi;

5) kawasan potensial yang dapat dikembangkan ; 6) karakteristik wilayah ;

7) pola pendelegasian kewenangan.

Secara sederhana pembuatan tipologi kecamatan dapat dirumuskan sebagai berikut :

Tipologi kecamatan sebaiknya dibuat menurut ukuran kabupaten/kota masing-masing, tidak dibuat seragam secara nasional, karena tidak akan menggambarkan bobot pekerjaan yang sebenarnya. Masing-masing variabel diberi bobot menurut tingkat kepentingannya di kabupaten/kota. Matriks pembuatan tipologi dapat digambarkan sebagai berikut :

a. Bobot kewenangan diberi skor kecil apabila kewenangan yang didelegasikan kepada Camat dari Bupati/Walikota sifatnya seragam;

b. Bobot jumlah penduduk diberi bobot rendah atau tinggi, tergantung pada keadaan masing-masing Kabupaten/Kota, apabila jumlahnya banyak seperti di daerah perkotaan, berarti bobotnya besar.

c. Bobot luas wilayah juga ditentukan menurut karakteristik setempat. Untuk daerah perkotaan, bobot luas wilayah mungkin kecil, sedangkan untuk Kabupaten, bobot luas wilayah ini menjadi besar.

d. Bobot jumlah Desa atau Kelurahan ditentukan sendiri oleh masing-masing Kabupaten/Kota. Apabila variasi antar kecamatan relatif kecil, bobotnya juga kecil, begitu sebaliknya.


(44)

e. Bobot sarana transportasi dan komunikasi juga ditentukan menurut karakteristik Kabupaten/Kota bersangkutan. Bagi daerah dengan kualitas transportasi terbatas, maka bobot untuk variabel ini lebih besar dibanding variabel lain.

f. Bobot kawasan potensial yang ada di Kabupaten/Kota ditentukan sendiri sesuai karakteristiknya, semakin luas kawasan potensial dalam satu kecamatan berarti bobotnya semakin tinggi.

g. Bobot karakteristik wilayah dilihat dari bentuk geografi dan topografinya. Apabila sangat bervariasi terdiri dari daratan dan kepulauan serta bergunung-gunung, berarti bobotnya semakin tinggi.

Berdasarkan perhitungan bobot tersebut dapat dibuat tipologi kecamatan A, B, dan C. Tipologi ini berguna untuk menentukan besarnya dana, jumlah, personil, logistik serta susunan organisasi sebuah kecamatan. Secara logis dapat dikatakan bahwa kecamatan tipe A memiliki bobot pekerjaan yang lebih berat sehingga wajar kalau memperoleh dukungan anggaran, personil, logistik serta organisasi yang lebih besar dibandingkan tipe B maupun tipe C. Tipologi ini sekaligus juga dapat digunakan untuk jenjang karier PNS yang ditugaskan sebagai Camat. Camat pemula sebaiknya ditempatkan di kecamatan tipe C, kemudian naik ke tipe B dan selanjutnya ke tipe A.

Dalam pemekaran kecamatan disamping melihat aspek tipologi sebagaimana tersebut di atas, sebaiknya perlu diidentifikasi karakateristik lingkungan kecamatan, mengingat Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menggunakan filosofi “Keanekaragaman Dalam Kesatuan”. Keanekaragaman tersebut sampai pula pada tingkatan kecamatan. Artinya delegasi kewenangan kepada camat di dalam suatu Kabupaten/Kota juga tidak harus seragam, melainkan disesuaikan dengan karakteristik lingkungan kecamatan bersangkutan. Pendelegasian kewenangan yang seragam sebaiknya diberikan hanya pada kecamatan di daerah perkotaan yang jumlah kecamatannya relatif terbatas serta karakteristik wilayah, kegiatan perekonomian dan penduduknya relatif homogen. Untuk kepentingan identifikasi kewenangan pemerintahan dari Bupati/ Walikota yang dapat didelegasikan kepada camat, perlu dilakukan identifikasi


(45)

32

karakteristik lingkungan kecamatan. Secara garis besar, lingkungan kecamatan dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu:

1) lingkungan perdesaan ; 2) lingkungan perkotaan.

Lingkungan perdesaan itu sendiri masih dapat dibagi-bagi menjadi : a) lingkungan persawahan ;

b) lingkungan perkebunan ; c) lingkungan pertambangan; d) lingkungan perhutanan; e) lingkungan perikanan;

Sedangkan lingkungan perkotaan dapat dibagi-bagi menjadi: a) lingkungan perumahan;

b) lingkungan perindustrian; c) lingkungan pariwisata.

Kota-kota kecamatan di wilayah kabupaten selama ini seperti daerah tidak bertuan. Kepentingan masyarakat kota tersebut seperti kebersihan, pengendalian lingkungan, perparkiran, tata ruang kota, utilitas kota dan lain sebagainya sepertinya tidak ada yang menangani secara sungguh-sungguh. Oleh pemerintah kabupaten, masalah-masalah seperti itu dianggap terlampau kecil, sedangkan bagi masyarakat kota hal tersebut merupakan kebutuhan dasar.

Agar kepentingan masyarakat kota-kota kecil dalam kabupaten dapat terlayani dengan optimal, akan lebih baik apabila kewenangan pengelolaan kota semacam itu didelegasikan kepada camat. Jadi untuk kecamatan perkotaan, camat diangkat pula sebagai manajer kota. Pendelegasian ini hanya berlaku untuk camat perkotaan di wilayah kabupaten, tidak berlaku untuk seluruh camat.

Identifikasi karakteristik kecamatan dapat dilihat dari mayoritas aktivitas ekonomi, mayoritas jenis mata pencarian penduduk serta karakteristik wilayahnya.


(46)

Berdasarkan karakteristik lingkungan kecamatan, dapat disusun matriks pendelegasian sebagian kewenangan dari Bupati/Walikota kepada camat sesuai dengan situasi dan kondisi nyata di lapangan. Dengan cara demikian camat diharapkan akan dapat memberikan pelayanan optimal kepada masyarakat, karena kewenangan yang didelegasikan kepadanya sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

2.5. Organisasi Kecamatan

Untuk dapat menjalankan sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota yang didelegasikan kepadanya, Camat memerlukan dukungan organisasi. Di dalam PP Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, dibedakan antara Sekretariat Daerah sebagai unsur pembantu pimpinan, Dinas Daerah sebagai unsur pelaksana serta Badan dan atau Kantor sebagai unsur penunjang.

Sekretariat Daerah sebagai unsur pembantu pimpinan mempunyai fungsi : 1) pengkoordinasian perumusan kebijakan;

2) penyelenggaraan administrasi pemerintahan;

3) pengelolaan sumber daya aparatur, keuangan, prasarana dan sarana;

4) pelaksanaan tugas lain yang diberikan Kepala Daerah sesuai tugas dan fungsinya.

Dinas Daerah sebagai unsur pelaksana mempunyai fungsi : 1) perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya; 2) pemberian perijinan dan pelaksanaan pelayanan umum;

3) pembinaan pelaksanaan tugas sesuai dengan lingkup tugasnya. Badan dan atau Kantor sebagai unsur penunjang mempunyai fungsi :

1) perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya; 2) penunjang penyelenggaraan pemerintahan daerah.

PP Nomor 8 Tahun 2003 tidak secara eksplisit menyebutkan kedudukan kecamatan dan kelurahan, apakah sebagai unsur staf, unsur pelaksana ataukah unsur penunjang. Tetapi apabila dilihat dari karakteristik pekerjaan yang dijalankan oleh Camat yang bersifat operasional yakni melayani masyarakat


(1)

Tabel 4.65

Perbandingan Potensi Wilayah Kecamatan di Kabupaten Bandung

TOTAL

SKOR SELISIH PERSENTASE

JUMLAH

NOMINATIF

NO KECAMATAN DESA KECAMATAN

1 Ciwidey 7 808 65 9 1

2 Rancabali 5 1018 275 37 2

3 Pasirjambu 10 894 151 20 1

4 Cimaung 10 803 60 8 1

5 Pangalengan 13 1223 480 65 2

6 Kertasari 7 743 0 0 1

7 Pacet 13 1117 374 50 2

8 Ibun 12 969 226 30 1

9 Paseh 12 1005 262 35 1

10 Cikancung 9 993 250 34 1

11 Cicalengka 12 1029 286 38 2

12 Nagreg 6 1029 286 38 2

13 Rancaekek 13 1180 437 59 2

14 Majalaya 11 1071 328 44 2

15 Solokanjeruk 7 928 185 25 1

16 Ciparay 14 1146 403 54 2

17 Baleendah 8 1095 352 47 2

18 Arjasari 11 881 138 19 1

19 Banjaran 11 1000 257 35 1

20 Cangkuang 7 819 76 10 1

21 Pamengpeuk 6 811 68 9 1

22 Katapang 7 950 207 28 1

23 Soreang 10 862 119 16 1

24 Kutawaringin 11 872 129 17 1

25 Margaasih 6 1018 275 37 2

26 Margahayu 5 1022 279 38 2

27 Dayeuhkolot 6 1017 274 37 2

28 Bojongsoang 6 1044 301 41 2

29 Cileunyi 6 1054 311 42 2

30 Cilengkrang 6 812 69 9 1

31 Cimenyan 9 853 110 15 1

Jumlah Pemekaran 45


(2)

157

Kecamatan yang memiliki potensi sama dengan atau lebih besar dari potensi wilayah kecamatan terkecil sebesar 30%, maka dapat dikatakan kecamatan itu memiliki potensi yang besar untuk dimekarkan. Berdasarkan tabel 4.65 diperoleh hasil dari jumlah kecamatan yang ada sebanyak 31 (tiga puluh satu) kecamatan menjadi 45 (empat puluh lima) kecamatan nominatif apabila dimekarkan. Kecamatan yang layak dan berpotensi lebih baik untuk dimekarkan adalah Kecamatan Rancabali, Pangalengan, Pacet, Cicalengka, Nagreg, Rancaekek, Majalaya, Ciparay, Baleendah, Margaasih, Margahayu, Dayeuhkolot, Bojongsoang, dan Cileunyi. Dari 14 (empat belas) kecamatan yang layak dimekarkan dibentuk masing-masing kecamatan induk dan kecamatan hasil pemekaran, sehingga jumlah kecamatan yang layak dimekarkan dari 31 menjadi 45 kecamatan.


(3)

158 5.1. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian pada penjelasan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Pemekaran Kecamatan di Kabupaten Bandung didasarkan pada tingkat kemampuan atau potensi masing-masing kecamatan melalui pengukuran dan penilaian variabel utama dan variabel pendukung. Adapun 19 (sembilan belas) variabel penelitian yaitu demografi, orbitasi, pendidikan, kesehatan, prasarana ibadah, sarana olah raga, transportasi, komunikasi, penerangan umum, kesadaran politik, keamanan dan ketertiban masyarakat, pertanian, perikanan, peternakan, ketenagakerjaan, sosial budaya, ekonomi masyarakat, sosial masyarakat, dan aspek pemerintahan.

Suatu kecamatan dapat dimekarkan jika kecamatan memiliki potensi dalam interval tinggi (1.008 ≤ TS < 1.680). Dapat dimekarkan dengan syarat jika potensinya dalam interval (644 ≤ TS < 1.008), dan dinyatakan tidak lulus atau ditolak untuk dimekarkan jika masing-masing kecamatan hanya mencapai total skor kurang dari 644.

2. Hasil penilaian dan pengukuran terhadap potensi kecamatan di Kabupaten Bandung dapat dijelaskan sebagai berikut :

Skoring data sekunder monografi desa terhadap 31 kecamatan yang akan dimekarkan diperoleh hasil bahwa terdapat 14 (empat belas) kecamatan dalam kategori layak dimekarkan yaitu kecamatan Rancabali, Pangalengan, Pacet, Cicalengka, Nagreg, Rancaekek, Majalaya, Ciparay, Baleendah, Margaasih, Margahayu, Dayeuhkolot, Bojongsoang, dan Cileunyi.

5.2. SARAN

Untuk menjamin keberhasilan implementasi penataan dan pengembangan kewilayahan dapat dilihat dari kemampuan pemerintah dari tingkat yang terendah


(4)

159

hingga yang tertinggi dalam menyelenggarakan pelayanan, pemerintahan dan pembangunan secara efektif dan efisien dapat disusun rekomendasi sebagai berikut :

1. Mengingat ada tiga alternatif yang disodorkan, diharapkan adanya pola pengembangan yang berkelanjutan.

Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten/kota, perlu kiranya dibentuk pola pelimpahan sebagian kewenangan dari Bupati di Kabupaten Bandung dikarenakan medan yang sangat berat.

2. Menyusun desain organisasi kecamatan menurut potensi dan karakteristik kecamatan (tipologi kecamatan) serta pola dan sifat kewenangan camat yang dilimpahkan dari Bupati;


(5)

160 A. BUKU

Anthony, Robert N ; John Dearden ; Northon M. Bedford ; 1985, Sistem Pengendalian Manajemen ; terjemahan ; edisi ke-5 Penerbit Erlangga, Jakarta.

Anthony, Robert N and Regma E. Herzlinger;1980, Management Control in

Nonprofit Organizations ; Revised Edition ; Richard D. Irwin, Inc.

Homewood, Illinois.

Arifin, Tatang .M ; 1984, Pokok-pokok Teori Sistem, Penerbit Rajawali, Jakarta. Argyris, Chris, 1960, Understanding Organizational Behaviour, The Dorsey

Press, Inc. Homewood Illinois.

Herbert, Theodore .T, 1976, Organizational Behaviour Readings and Cases, Macmillan Publishing Co. Inc, Newyork.

Koontz, Harold, Cyril O’Donnell and Heinz Weihrich, 1980. Management. Seventh Edition. McGraw-Hill International Book Company, Japan. Luthans, Fred; Organizational Behaviour, 1981, Third Edition, McGraw Hill

International Book Company, Tokyo.

Naisbitt, John, 1984, Megatrends-The New Directions Tranforming Our Lives, Future Macdonald & Co, London & Sydney.

Pariata Wastra, dkk, 1977, Ensiklopedi Administrasi, Penerbit Gunung Agung, Jakarta.

Pfiffner, John .M and Frank .P. Sheerwood, 1960, Administrative Organization, Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs, NJ.

Portner, Donald .E and Philip B. Apllewhite; 1961, Studies in Organizational

Behaviour and Management, International Texbook Company,

Newyork.

Sadu Wasistiono, dkk, penyunting, 2002. Menata Ulang Kelembagaan Kecamatan. Pusat Kajian Pemerintahan STPDN. Penerbit PT Citra Pindo, Bandung.,

---, 2003. Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Edisi Ketiga. Penerbit Fokusmedia, Bandung.


(6)

161

---, 2003. Kapita Selekta Manajemen Pemerintahan Daerah. Edisi Revisi. Penerbit Fokusmedia, Bandung.

---, 2004. Modul Optimalisasi Peran dan Fungsi Kecamatan dalam Rangka Meningkatkan Pelayanan Kepada Masyarakat, Bahan Penataran Bagi Camat Seluruh Indonesia, Badan Diklat, Jakarta.

Stoner, James. A.F, 1986a, terjemahan jilid I, Penerbit Erlangga, Jakarta. ---,1986b, terjemahan jilid II, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Suriasumantri, Yuyun S, System Thinking, 1981, Penerbit Bina Cipta, Bandung. Terry, George R, 1960. Principles of Management. Thrid Edition. Richard D.

Irwin Inc. Homewood Illinois.

Westra, Pariata; Sutarto dan Ibnu Syamsi, editor, 1977. Ensiklopedi Administrasi. Penerbit Gunung Agung, Jakarta, 1977.

Winardi, 1987, Pengantar Ilmu Manajemen, (Suatu Pendekatan Sistem), Penerbit Nova, Bandung.

B. PERATURAN

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagaiaman telah diperbarui dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Pedoman Organisasi

Perangkat Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Penataan Daerah Otonom. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2007 tentang Kecamatan.

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan.

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja.

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 158 Tahun 2004 tentang Pedoman Organisasi Kecamatan.

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor KEP/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks