KEDUDUKAN KESULTANAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DALAM NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA.

(1)

KEDUDUKAN KESULTANAN DAERAH ISTIMEWA

YOGJAKARTA DALAM SISTEM NEGARA KESATUAN

REPUBLIK INDONESIA

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Hukum Tata Negara

Oleh

MAS’UDI

NIM: F1.22.14.121

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Kedudukan Daerah Istimewa Yogyakarta telah diterima sebagai suatu realita dalam tata kehidupan pemerintahan Indonesia dengan kedudukan yang sangat kokoh, karena ditopang dengan landasan yang sangat kuat baik landasan historis, kultural, politis maupun yuridis. Dalam struktur Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan daerah istimewa yang setingkat dengan daerah provinsi. Secara historis, berdirinya Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan wujud integrasi antara dua kerajaan di Yogyakarta yaitu Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman dengan Negara Kesatuan RI berdasarkan kesepahaman antara Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII di satu pihak dengan Presiden Soekarno di pihak lain. Daerah Istimewa Yogyakarta yang terbentuk dari gabungan 2 (dua) kerajaan di Yogyakarta itu keberadaanya secara konstitusional dijamin dalam UUD 1945 Pasal 18 dan Penjelasannya yang secara tegas menyatakan sebagai berikut.

Pasal 18

Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa.

Penjelasan Pasal 18 :

I. Oleh karena Negara Indonesia itu suatu “eenheidsstaat”, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat “staat” juga. Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek dan locale rechtsgemeenschaapen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang- undang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan


(11)

2

daerah oleh karena di daerah-pun, pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.

II. Dalam territoir Negara Indonesia terdapat ± 250 “Zelfbesturende

lanschappen” dan “Volksgemeens-chappen” seperti desa di Jawa dan

Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.

Pengintegrasian Kasultanan Yogyakarta dan Puro Pakualaman ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi Daerah istimewa Yogyakarta membawa konsekuensi betapapun menyandang status sebagai daerah istimewa, namun kedudukannya tetap merupakan sub-ordinat atau bagian dari Negara Republik Indonesia. Secara teoretik, dalam konsep negara kesatuan (unitary state) pemberian status istimewa atau khusus kepada suatu wilayah negara tidak sampai pada menempatkan wilayah (daerah) itu menjadi bagian wilayah negara yang bersifat negara, seperti negara bagian pada konsep negara federal (federal state). Dibentuknya daerah-daerah khusus atau istimewa dalam bingkai konsep negara kesatuan secara praksis memunculkan keaneka-ragaman pola penyelenggaraan pemerintahan daerah, serta lahir daerah-daerah dengan kewenangan pemerintahan yang sangat luas (apalagi jika berlaku pula prinsip otonomi seluas-luasnya) seperti Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar NRI 1945, sehingga mengesankan terjadinya praktek bernegara dalam negara. Oleh karena itu, mengangkat masalah eksistensi dan pembentukan daerah-daerah yang bersifat khusus atau istimewa, terutama pemebentukan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam hubungannya dengan penerapan konsepsi negara kesatuan menurut Undang-Undang Dasar 1945 menjadi materi yang menarik untuk dikaji dan didalami.


(12)

3

Menurut Lay, dkk1 pada tataran yuridis formal, geneologis predikat keistimewaan Yogyakarta dapat dirujuk pada Amanat Sri Paduka Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono IX dan Amanat Sri Paduka Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII. Kedua amanat tersebut dapat dipreskripsikan sebagai novum hukum yang menyatakan bahwa status Yogyakarta, dalam ranah yuridis formal, telah mengalami perubahan dari sebuah daerah Zelfbesturende Landschappen atau Daerah Swapraja menjadi sebuah daerah yang bersifat istimewa di dalam teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara lebih generik, keistimewaan Yogyakarta memiliki akar yang kuat dalam konstitusi. Pasal 18B ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 menegaskan, “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-undang.”

Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar NRI 1945 sebagai pijakan konstitusional pembentukan daerah khusus dan /atau istimewa, oleh beberapa pengamat ketatanegaraan dipandang sebagai ketentuan yang bertentangan dengan konsep negara kesatuan yang merupakan salah satu asas pokok ketatanegaraan Republik Indonesia. Prasodjo berpendapat seperti dikutip Hendratno2 bahwa “Pasal 18B ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 yang menyebutkan negara mengakui keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kesamaan dengan konsep diversity in unity (keragaman dalam kesatuan) dalam sistem federal. Pemberian status otonomi khusus maupun 1

Lay, Cornelius, dkk, Keistimewaan Yogyakarta, Naskah Akademik Rancangan Undang Unadng Keistimewaan Yoyakarta, Monograph on Politic and Government, Vo. 2 No. 1, JIP FISIPOL UGM dan Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Yogyakarta,(2008), 24.

2

Hendratno,, Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme, Graha Ilmu dan Universitas Pancasia Press, (2009), 238.


(13)

4

status keistimewaan terhadap daerah-daerah seperti Aceh, Papua dan Daerah Istimewa Yogyakarta dianggap lebih mengarah pada model bentuk susunan negara federal yang berarti bertentangan dengan konsep negara kesatuan sebagaimana dianut UUD NRI 1945. Dimungkinkannya penyelenggaraan pemerintahan daerah (menurut peraturan perundang-undangan) secara tidak linier dan tidak seragam, sehingga setiap daerah bebas berkembang secara berbeda sesuai dengan potensi dan karakteristik masing- masing merupakan argumentasi untuk menyatakan bahwa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia telah dipraktekkan pemerintahan yang federalistis.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 saat proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paku Alam VIII langsung mendukung pembentukan Negara Republik Indonesia. Yogyakarta secara langsung mengirimkan kawat dukungan proklamasi negara Republik Indonesia kepada Soekarno- Hatta sebagai presiden dan wakil presiden negara baru “Republik Indonesia”.3 Dukungan kawat ini mendorong Presiden memberikan piagam penetapan kepada Yogyakarta sebagai bagian dari wilayah Republik Indonesia. Hal itu diperkuat dengan dikeluarkannya amanat secara bersamaan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII yang tertanggal 5 September 1945 yang menyatakan bahwa Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat dan Negeri Paku Alaman yang bersifat kerajaan sebagai Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia.4

Berdasarkan amanat 5 September 1945 dalam sejarahnya status istimewa bukan karena hadiah dari pemerintah RI. Merujuk pada pasal 18

3

Kumpulan Berita tahun 1945-1950. 78. 4

Amanat 5 September 1945


(14)

5

UUD 1945 yang isinya mengakui dan menghormati kenyataan historis dari setiap daerah yang bersifat istimewa, mendorong Yogyakarta berani mengutarakan minatnya untuk bergabung dengan RI tetapi dengan syarat tetap mempertahankan “susunan asli” pola pemerintahannya.

Persoalan mendesak yang dihadapi masyarakat Yogyakarta saat ini adalah instrumen hukum yang legitiemite untuk memaknai Keistimewaan Yogyakarta khususnya terkait persoalan pengisian Gubernur dan Wakil Gubernur. Undang-Undang Nomor 3 tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta menimbulkan masalah setelah adanya perubahan (amandemen) UUD 1945 dan berlakunya Undang Nomor 9 Tahun 2015 perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Di Indonesia diberlakukan dua otonomi daerah, yaitu otonomi daerah dan otonomi khusus. Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi Derah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan otonomi khusus secara politis dapat diartikan ada perlakuan khusus bagi wilyah atau bangsa. Secara politis otonomi khusus biasanya diberikan kalau ada Negara yang didirikan dengan berbagai macam suku bangsa dengan latar belakang sejarah, politik, atau hukumnya. Daerah yang diberikan otonomi khusus adalah DKI Jakarta, Provinsi Papua, Provinsi Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta ( DIY ).5

5

. http://inginbegini-inginbegitu.blogspot.com2013/01/otonomi daerah dan otonomi khusus.html, diakses pada tanggal 21 Maret 2014 pukul 13.00 WIB


(15)

6

Lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan pasca reformasi kurang responsifnya terhadap realitas sosial politik baik di tingkat lokal maupun nasional. Tuntutan reformasi dan demokratisasi menginginkan adanya pemilihan secara langsung untuk jabatan Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota berimbas dengan mekanisme pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di Yogyakarta. Keistimewaan Yogyakarta memberikan hak untuk dilestarikan namun di sisi lain alasan juridis konstitusional adalah kesadaran the Founding Fathers untuk memberikan dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Sebagai sumber hukum tertinggi, Pasal 18 UUD 1945, dan juga Pasal 18B (UUD 1945 hasil amandemen), ... dengan menghormati hak-hak asal-usul daerah yang bersifat istimewa. Secara semangat zaman, jaminan Keistimewaan dalam UUD 1945 diberikan bukan merupakan bentuk hutang budi politik atau kompensasi atas penggabungan dirinya pada NKRI, melainkan murni pengakuan dan penghormatan yang obyektif dan autentik.

Pernyataan Sri Sultan HB IX dan Paku Alam VIII terjadi setelah pengesahan UUD 1945 oleh PPKI, tanggal 18 Agustus 1945. Jaminan Keistimewaan secara berkesinambungan diatur dalam berbagai peraturan perundangan secara konsisten, baik pada masa Orde Lama, pemerintahan Orde Baru, dan juga Orde Reformasi.

Pengaturan Keistimewaan berada pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 18 tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tetang Pemerintahan di Daerah, Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,


(16)

7

dan terakhir Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Melihat begitu pentingnya pemimpin dalam sebuah daerah, maka untuk mendapatkan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai dengan yang diamanatkan oleh masyarakat maka dibuat ketentuan-ketentuan mengenai tatacara Pemilihan, Pengesahan Pengengkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah yang diatur dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah, berupa peraturan dan perundang-perundangan negara sebagai pedoman dan landasan adil dalam mewujudkan kemashlahatan ummat.6

Berkaitan dengan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.7 Itulah merupakan agenda pemerintah untuk masyarakat daerah untuk menentukan pemempinnya sendiri.

Mayoritas ulama juga mengatakan bahwa mengangkat seorang pemimpin untuk mengurus umatnya hukumnya wajib. Kewajiban itu bersandar atas beberapa alasan. Satu, konsensus sahabat atas adanya figur seorang pemimpin, sehingga para sahabat mendahulukan pembaitan Abu Bakar atas pemakaman Rasulullah SAW. Dua, bahwa menegakkan hukuman dan benteng kekuasaan adalah wajib, dan jika ada suatu perkara tidak akan sempurna kecuali dengan 6

J. Suyuti Pulungan, Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah dan pemikiran Cet. III (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm.28.

7

http://kpu.selumakab.go.id/publikasi/uu-no-8-th-2015-perubahan-atas-undang-undang-nomor


(17)

8

sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib. Tiga, bahwa dalam kepemimpinan akan menarik kemanfaatan dan menolak kerusakan, dan ini hukumnya wajib berdasarkan dalil ijma.8

Namun seiring berkembangnya zaman, Pemilihan kepala daerah diadakan selalu punya dampak kepada khalifah di muka bumi seperti perpecahan. Padahal manusia diciptakan Allah SWT untuk menjadi khalifah dimuka bumi, yaitu menjadi wakil Allah untuk memakmurkan bumi dan alam semesta karena manusia telah dibekali dengan semua karakteristik mental-spiritual dan materiil untuk memungkinkan hidup dan mengemban misi-Nya secara efektif.9

Menumbuhkan kesadaran untuk memelihara persaudaraan serta menjauhkan diri dari prepecahan, merupakan realisasi pengakuan bahwa hakikatnya kedudukan manusia dalah sama di hadapan Allah SWT. Sama-sama mengemban amanat Allah sesuai dengan bidang tugas dan pekerjaan masing-masing.10

Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk mengangkat tema mengenai Kedudukan Kesultanan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesi. Oleh karena itu penelitian ini akan membahas implikasi Kedudukan Kesultanan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kajian ini diharapkan dapat memetakan posisi kesultanan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ditinjau dari perspektif ketatanegaraan Indonesia..

8

Abdul Wahhab Khallaf, Politik Hukum Islam, Cet. II (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), hlm. 9

Tim Penulis P3EI (Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam), Ekonomi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. 62.

10

Muhammad Al Ghazali, Akhlak Seorang Muslim, (Semarang: Wicaksana, 1986), hlm. 339.


(18)

9

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat diidentifikasi beberapa masalah yang timbul diantaranya adalah adanya benturan antara maklumat 5 September 1945 sebagai landasan Kesultanan di Yogyakarta dengan Undang Nomor 9 Tahun 2015 perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemilihan Kepala Daerah secara langsung dengan penetapan atau pengangkatan Sultan Yogyakarta sebagai Kepala Daerah di Yogyakarta yang dilakukan dengan cara turun-temurun.

Setelah menerima Piagam 19 Agustus 1945 dari Presiden Sukarno, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan KGPAA Paku Alam VIII, memutuskan untuk menanggapi sikap penghargaan dari Presiden Sukarno dengan mengeluarkan amanat 5 September 1945, sebagai bukti pernyataan yang sah bahwa daerah yang saat itu masih terdiri dari Kesultanan Ngayogyakarta dan Paku Alaman kini telah menjadi bagian dari Republik Indonesia dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta. Di sini berarti Negara Kesatuan Republik Indonesia menerima bahwasanya Gubernur DIY dipilih melalui keturunan tidak melalui pemilihan kepala daerah (pilkada).

C.Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan di atas, penulis merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana Kedudukan Kesultanan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia?

2. Bagaimana Kedudukan Kesultanan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam Perspektif Islam?


(19)

10

D.Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah dan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui Kedudukan Kesultanan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia?

2. Untuk mengetahui hal tersebut dilihat dari Kedudukan Kesultanan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam Perspektif Islam?

E.Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih ilmu pengetahuan terhadap perkembangan Hukum Tata Negara, khususnya tentang:

a. Untuk mengetahui Kedudukan Kesultanan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia? b. Untuk mengetahui hal tersebut dilihat dari Kedudukan Kesultanan

Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam Perspektif Islam?

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan atau sumbangan pemikiran terkait Eksistensi kesultanan DIY dalam Sistem Negara Kesatuan RI serta masukan kepada seluruh aparat pemerintah agar selalu memperhatikan aspek landasan hukum yang telah disepakati oleh pemerntah yang


(20)

11

terdahulu yang nantinya akan membawa dampak besar bagi negara dan bangsa Indonesia.

F. Kerangka Teoritik

1. Bentuk Negara

Dalam kajian ilmu negara dan hukum tata negara dapat dibedakan antara bentuk negara, bentuk pemerintahan, dan sistem pemerintahan. Bagir Manan mengartikan bentuk negara menyangkut kerangka bagian luar organisasi negara yang dibedakan antara bentuk negara kesatuan dan bentuk negara federal. Sedangkan bentuk pemerintahan berkaitan dengan bagian dalam, yaitu bentuk pemerintahan negara yang dapat dibedakan antara pemerintahan republik dan pemerintahan kerajaan.11 Sementara Samidjo mengartikan bentuk negara sebagai gambaran mengenai susunan atau organisasi negara secara keseluruhan mengenai struktur negara yang meliputi segenap unsur-unsurnya seperti daerah, bangsa dan pemerintahannya.12 Antara bentuk pemerintahan dengan sistem pemerintahan, keduanya memiliki hubungan kuat misalnya bentuk pemerintahan republik memiliki sistem pemerintahan presidensial, sedangkan bentuk pemerintahan kerajaan memiliki sistem pemerintahan monarki. Namun demikian korelasi ini tidak terdapat pada hubungan antara bentuk negara dengan sistem pemerintahan, karena dapat saja ditemukan baik bentuk negara kesatuan, federal maupun konfederasi, ketiganya menggunakan sistem pemerintahan presidensil.

Bentuk negara yang terpenting dan banyak dianut berbagai negara di dunia, dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu :

1. Negara Kesatuan

11

Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, (Yogyakarta: FH-UII Press, 2003), 1. 12

Samidjo, Ilmu Negara, (Jakarta: Armico, 1986), 62.


(21)

12

Adalah negara yang kekuasaan untuk mengurus seluruh pemerintahan ada di tangan pemerintah pusat atau negara yang pemerintah pusatnya memegang atau mengendalikan kedaulatan sepenuhnya baik kedalam maupun keluar. Negara kesatuan memiliki ciri–ciri yaitu:

a. Memiiki satu UUD b. Satu kepala negara, c. Satu kabinet, d. Satu parlemen.

Jika dilihat dari jenisnya, negara kesatuan dibagi ke dalam 2 (dua) macam yaitu:

a. Negara kesatuan sistem Sentralisasi. b. Negara kesatuan sistem Desentralisasi.

Negara Kesatuan Sistem Sentralisasi adalah negara kesatuan yang semua urusan pemerintahannya diatur dan diurus oleh pemerintah pusat, sedangkan daerah hanya tinggal melaksanakan saja semua kebijaksanaan yang ditetapkan pemerintah pusat.

Contoh : Jerman pada masa Hitler.

Kebaikan/kelebihan negara kesatuan sistem sentralisasi :

1. Adanya keseragaman (uniform) peraturan di seluruh wilayah negara. 2. Adanya kesederhanaan hukum.

3. Semua pendapatan negara baik yang diperoleh daerah maupun pusat dapat digunakan oleh pemerintah pusat untuk kepentingan seluruh wilayah. Kelemahan/Keburukan negara kesatuan sistem sentralisasi :

1. Pekerjaan pemerintah pusat menumpuk, sehingga banyak persoalan yang tidak dapat diselesaikan dengan segera.


(22)

13

2. Peraturan yang dibuat pemerintah pusat belum tentu semuanya sesuai bagi daerah karena setiap daerah memiliki situasi dan kondisi yang berbeda– beda.

3. Keputusan pemerintah pusat sering terlambat.

4. Demokrasi tidak berkembang ke daerah–daerah karena rakyat daerah tidak diberi kesempatan memikirkan dan memajukan daerahnya sendiri.

Negara Kesatuan sistem Desentralisasi adalah negara kesatuan yang semua urusan pemerintahannya tidak diurus sepenuhnya oleh pemerintah pusat, melainkan sebagian urusan pemerintahannya didelegasikan atau diberikan kepada daerah–daerah untuk menjadi urusan rumah tangga daerah masing–masing. Dalam negara kesatuan sistem desentralisasi daerah berstatus sebagai daerah otonom. Contoh Indonesia berdasarkan ketentuan pasal 18 UUD 1945 menganut sistem desentralisasi.

Kebaikan negara kesatuan sistem desentralisasi : 1. Tugas pemerintah pusat menjadi ringan.

2. Daerah dapat mengatur daerahnya dengan sebaik–baiknya sesuai dengan kondisi dan situasi masing–masing.

3. Demokrasi dapat berkembang ke daerah–daerah.

4. Peraturan yang dibuat pemerintah daerah akan sesuai dengan kondisi daerahnya.

5. Pembangunan di daerah akan berkembang.

6. Partisipasi dan tanggung jawab rakyat terhadap daerahnya akan meningkat.

Kelemahan negara kesatuan sistem desentralisasi :

1. Peraturan daerah di seluruh wilayah negara tidak seragam.

2. Timbulnya peraturan daerah yang bermacam–macam, sehingga sulit untuk dipelajari.

Negara Serikat adalah suatu negara yang terdiri dari beberapa negara bagian dengan pemerintah pusat (federal) yang menyelenggarakan kedaulatan


(23)

14

keluar, sedangkan kedaulatan kedalam tetap ada pada pemerintah negara bagian. Dalam negara serikat ada dua macam Pemerintahan yaitu :

1. Pemerintah Federal :

Biasanya pemerintah federal mengurusi hal–hal yang berhubungan dengan hubungan luar negeri, keuangan, pertahanan negara dan pengadilan.

2. Pemerintah negara bagian: di dalam negara serikat, setiap negara bagian diperkenankan memiliki Undang–Undang Dasar, Kepala negara, Parlemen dan Kabinet sendiri.Contoh negara serikat : AS, Australia, Kanada, Swiss, Indonesia masa KRIS 1949.

Persamaan antara negara kesatuan sistem desentralisasi dengan negara serikat :13 1. Keduanya pemerintah pusatnya sama–sama memegang kedaulatan keluar. 2. Daerah–daerah bagiannya sama–sama mempunyai hak otonom.

Di samping bentuk negara tersebut di atas, dalam sejarah ketatanegaraan juga terdapat bentuk–bentuk kenegaraan. Bentuk kenegaraan yang pernah ada antara lain

1. Serikat Negara (Konfederasi) adalah perserikatan beberapa negara yang merdeka dan berdaulat penuh baik kedalam maupun keluar. Pada umumnya Konfederasi dibentuk berdasarkan perjanjian untuk mengadakan kerjasama dalam bidang tertentu, misalnya penyelenggaraan politik luar negeri, pertahanan keamanan bersama. Konfederasi bukanlah merupakan negara dalam pengertian hukum internasional, karena negara–negara anggotanya secara masing–masing tetap mempertahankan kedudukan nya secara internasional. Contoh konfederasi yang bias kita saksikan saat ini adalah Persekutuan Amerika Utara (1776 – 1787).

13

Blog Media Belajar PKn,


(24)

15

Konfederasi (Serikat Negara) dengan Negara Serikat mempunyai perbedaan yang prinsipil yaitu :

No Konfederasi Negara serikat

1 Kedaulatan tetap dipegang oleh masing–masing negara anggota.

Kedaulatan ada pada negara federal. 2 Keputusan yang diambil konfederasi

tidak dapat langsung mengikat kepada warga negara dari negara– negara ang–gota.

Keputusan yang diambil pemerintah federal dapat langsung mengikat kepada warga negara dari negara– negara bagian.

3 Negara–negara anggota dapat memisah kan diri.

Negara–negara bagian tidak boleh me–misahkan diri dari negara serikat.

4 Hubungan antar negara anggota diatur melalui perjanjian.

Hubungan antar negara bagian diatur dengan undang–undang dasar. 5 Tidak ada negara diatas negara Terdapat negara dalam negara.

Pada zaman Yunani Kuno, konsepsi tentang bentuk negara lebih mengutamakan peninjauan secara ideal. Konsepsi ini tidak terlepas dari hasil pemikiran Plato melalui bukunya yang berjudul Politeia, di mana ajaran Plato tentang negara didasarkan pada aliran filsafat idealisme. Buku tersebut mengurai tentang konsep negara sempurna (ideal state) yang berbentuk ide-ide atau cita-cita. Catatannya, Plato membagi dua dunia, yakni dunia ide, cita atau pikiran yang merupakan kenyataan sejati dan dunia alam yang bersifat materiil dan fana yang bersifat palsu. Untuk mencapai tatanan negara yang sempurna, maka dunia alam harus disamakan dengan dunia ide, yakni negara yang memenuhi tiga jenis ide, ide tentang kebenaran, keindahan atau seni (estetika) dan kesusilaan (etika).14

Berangkat dari teori tersebut, Plato mengemukakan lima macam bentuk negara yang sesuai dengan sifat-sifat tertentu yang ada pada jiwa manusia, di

14

Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), 160.


(25)

16

antaranya pertama, aristokrasi, pemerintahan negara dipimpin oleh aristokrat (cendekiawan) yang sesuai dengan pikiran keadilan. Kedua, timokrasi, pemerintahan negara dipimpin oleh orang-orang yang ingin mencapai kemasyhuran dan kehormatan. Ketiga, oligarkhi, pemerintahan negara dipimpin oleh golongan hartawan atau segelintir orang. Bentuk ini kemudian mendapatkan perlawanan dari rakyat jelata yang kemudian melahirkan bentuk keempat, yakni demokrasi, di mana pemerintahan negara dipegang oleh rakyat, namun karena salah dalam menggunakan bentuk ini, justru kekacauan dan anarkhi yang terjadi. Kelima, tirani, di mana pemerintahan negara dipegang oleh penguasa yang bertindak sewenang-wenang. Bentuk ini adalah bentuk negara yang paling jauh dari cita-cita tentang keadilan.15

Konsepsi bentuk negara yang dibangun Plato, kemudian dipertegas oleh Aristoteles yang membagi bentuk negara ke dalam dua bentuk, yakni ideal dan pemerosotan . Ajaran Aristoteles ini sering disebut sebagai teori revolusi, di mana dari beragam bentuk negara tidaklah berdiri sendiri, akan tetapi mempunyai hubungan antara bentuk yang satu dengan yang lainnya (cyclus). Teori siklus ini digambarkan Aristoteles sebagai berikut: sejatinya Monarkhi adalah bentuk yang ideal namun karena ada penyelewengan, kemudian merosot menjadi tirani, dari tirani kemudian muncul bentuk lagi, bentuk ideal yang disebut dengan aristokrasi, dari aristokrasi merosot lagi menjadi oligarkhi/plutokrasi. Dari oligarkhi/plutokrasi kemudian menjadi bentuk yang ideal lagi, yakni politeia dan

15

Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, 160.


(26)

17

merosot lagi menjadi demokrasi. Dari demokrasi kemudian kembali lagi ke monarkhi.16

Pada akhir abad pertengahan sampai modern, konsepsi mengenai bentuk negara dikenal dalam dua bentuk, yaitu negara kerajaan (monarkhi) dan negara republik. Nicolo Machiaveli menyebutkan bahwa jika suatu negara bukan negara republik (republica) tentulah kerajaan (principal). Menurutnya negara adalah arti

genus, sedangkan republik dan kerajaan adalah spesies.17 Sementara dalam

bukunya yang berjudul, Allgemeine Staatslebre, Jellinek memberikan para meter untuk membedakan antara bentuk monarkhi dan republik yakni dengan melihat cara pembentukan kemauan negara (staats will). Apalagi terjadinya pembentukan kemauan bernegara semata-mata secara psikologis atau secara alamiah, maka yang terjadi dalam jiwa atau badan seseorang adalah akan tampak sebagai kemauan seseorang atau individu, sehingga melahirkan bentuk negara monarkhi. Demikian sebaliknya apabila pembentukan kemauan bernegara terjadi secara yuridis atau dibuat atas kemauan orang banyak atau suatu dewan, maka bentuk negara yang dilahirkan adalah republik.18

Berbeda dengan Machiaveli, Leon Duguit justru menyatakan tidak setuju terhadap penggunaan staatswill sebagai parameter untuk mengklasifikasikan bentuk negara. Leon Duguit menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Traite de

16

Monarkhi adalah pemerintahan oleh satu orang guna kepentingan seluruh rakyat. Tirani adalah pemerintahan oleh satu orang untuk kepentingan sendiri. Aristokrasi adalah pemerintahan oleh sekelompok orang yaitu para cebdekiawan guna kepentingan seluruh rakyat. Oligarkhi adalah pemerintahan oleh sekelompok orang guna kepentingan kelompok orang guna kepentingan kelompoknya sendiri. Plutokrasi adalah pemerintahan oleh sekelompok orang kaya guna kepentingan orang-orang kaya. Politea adalah suatu pemerintahan oleh seluruh orang guna kepentingan seluruh rakyat, dan demokrasi adalah pemerintahan dari orang-orang yang tidak tahu sama sekali soal-soal pemerintahan. Lihat Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, 161-163.

17

Azhary, Ilmu Negara: Pembahasan Buku Prof. Kranenburg, (Jakarta: Fakultas Hukum UI, 1974), 49.

18

Azhary, Ilmu Negara: Pembahasan Buku Prof. Kranenburg, 49-50.


(27)

18

Droit Constitutionel, bahwa untuk menentukan bentuk sebuah negara apakah negara tersebut monarkhi atau republik ialah dengan cara melihat mekanisme penunjukan atau pengangkatan kepala negaranya. Jika kepala negara diangkat berdasarkan garis keturunan, maka negara tersebut adalah monarkhi, sedangkan jika kepala negara diangkat bukan atas dasar keturunan, maka negara tersebut berbentuk republik.19 Parameter yang dibuat Duguit ini dalam pandangan Kranenburg juga dinilai lebih realistis, hanya saja dalam bentuk-bentuk tertentu masih ada pengecualian atau ketidakcocokan. Seperti Kerajaan Polandia, meskipun bentuk negranya adalah monarkhi, namun raja diangkat bukan atas dasar keturunan, melainkan melalui mekanisme pemilihan.

Pendapat serupa juga dikemukakan Otto Koellreuter yang sependapat dengan Duguit dalam hal pembagian bentuk negara, baik monarkhi maupun republik. Otto memberikan tambahan terhadap bentuk negara selain monarkhi dan republik, yakni autoritaren fuhrerstaat.20 Sebagai seorang fasis Jerman, Otto berpendapat bahwa dalam bentuk negara monarkhi, suatu negara diperintah oleh suatu dinasti, di mana kepala negaranya diangkat secara turun-temurun. Menurutnya bahwa dasar dari negara monarkhi adalah ketidaksamaan, di mana tidak semua orang dapat memiliki kesempatan untuk menjadi kepala negara. Sebaliknya, dalam bentuk negara republik dasarnya adalah asas kesamaan karena kepala negaranya diangkat berdasarkan kemauan orang banyak dan setiap orang memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk dapat dipilih menjadi kepala negara.

19

Azhary, Ilmu Negara: Pembahasan Buku Prof. Kranenburg, 51-52. 20

Azhary, Ilmu Negara: Pembahasan Buku Prof. Kranenburg, 54.


(28)

19

Menurut Otto dalam bentuk negara autoritaren fuhrerstaat, kepala negara tidak lagi diangkat atas dasar dinasti melainkan atas dasar pikiran yang dapat berkuasa yang ia sebut sebagai der gedanken der staatsautoritat. Bentuk negara seperti ini memiliki kesamaan dengan monarkhi di mana didasarkan atas asas ketidaksamaan. Perbedaannya adalah jika monarkhi berpangkal pada garis keturunan, sedangkan bentuk autoritaren fuhrerstaat berpangkal pada pikiran yang dapat menguasai negara. Otto tidak menjelaskn lebih lanjut mengapa seorang yang mempinyai pikiran yang dapat berkuasa atau der gedanken der staatsautoritat dapat diangkat menjadi kepala negara. Ia hanya mengatakan bahwa bentuk-bentuk politik dari pimpinan tertinggi negara nasional sosialis dalam banyak hal seharusnya berlainan dengan bentuk-bentuk dalam negara liberal.

Terlepas dari perbedaan di atas, dapat dikemukakan bahwa bentuk negara yang paling lazim dipraktikkan di banyak negara dari zaman dahulu hingga sekarang adalah monarkhi dan republik. Namun demikian, dalam praktiknya pada masa lalu hingga sekarang, dikenal nama lain yang serupa, yaitu bentuk negara khilafah, kekaisaran dan kesultanan. Negara khilafak pernah dipraktikkan di masa keemasam islam mulai dari Khilafah Bani Umayyah (Syiria), Khilafah Abbasiyah (Bagdad) dan Khilafah Utsmaniyah (Turki), yang menguasai hampir semenanjung Arabia dan Afrika dan sebagian Asia dan Eropa. Jepang sebelum Perang Dunia Kedua mempraktikkan bentuk negara kekaisaran. Sedangkan bentuk negara kesultanan kini dipraktikkan di Brunei Darussalam.

2. Sistem Pemerintahan.

Sistem Pemerintahan negara adalah sistem hubungan dan tata kerja antara lembaga-lembaga negara atau tiga poros kekuasaan, yakni eksekutif, legislatif,


(29)

20

dan yudikatif.21 Sistem pemerintahan berkaitan dengan mekanisme yang dilakukan pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Secara garis besar, sistem pemerintahan dibedakan dalam dua macam, yaitu sistem pemerintahan presidensil (presidenital system) dan sitem pemerintahan parlementer (parliamentary system). Sementara Sri Soemantri menyebutkan sistem ketiga, yakni sistem pemerintahan quasi (semi-presidential govermanet). Sistem pemerintahan quasi ini diartikan sebagai sistem pemerintahan yang mengandung unsur-unsur baik yang terdapat dalam sistem presidensil maupun yang terdapat dalam sistem pemerintahan parlementer.22

a. Sistem Presidensil

Sistem Presidensil merupakan sistem pemerintahan yang terpusat pada kekuasaan presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala negara. Dalam sistem ini, badan eksekutif tidak bergantung kepada badan legislatif. Kedudukan badan eksekutuif lebih kuat dalam menghadapi badan legislatif. Keberadaan sisstem presidensil dinilai Jimly Asshiddiqie ada kelebihan dan kekurangannya. Kelebihannya adalah bahwa sistem presidensil lebih menjamin stabilitas pemerintahan, sedangkan kekurangannya, sistem ini cenderung menempatkan eksekutif sebagai bagian kekuasaan yang sangat berpengaruh karena kekuasannya cukup besar. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan konstitusiona untuk mengurangi dampak negatif atau kelemahan yang dibawa sejak lahir oleh sistem ini.23

21

Moh. Mahfud M.D., Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), 74

22

Sri Soemantri, “Kedudukan, Kewenangan, dan Fungsi Komisi Yudisial dalam Sistem Ketatanegaraan RI” dalam Komisi Yudisial, Bungai Rampai; Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial RI, (Jakarta: Komisi Yudisial, 2006), 24-25.

23

Abdul Ghofar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan Negara Maju, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), 49.


(30)

21

Ada beberapa ciri dalam sistem pemerintahan presidensil, di antaranya pertama, kepala negara juga menjadi kepala pemerintahan, kedua, pemerintah tidak bertanggung jawab kepada parlemen, ketiga, menteri-menteri diangkat dan bertanggung jawab kepada presiden, keempat, posisi eksekutif dan legislatif sama-sama kuat.24 Menurut Bagir Manan, sistem pemerintahan presidensil dapat dikatakan sebagai subsistem pemerintahan republik, karena memang hanya dapat dijalankan dalam negara yang berbentuk republik.25 Ada beberapa prinsip pokok dalam sistem pemerintahan presidensil, yaitu:

(a) Terdapat pemisahan yang jelas antara kekuasaan eksekutif dan legislatif, presiden merupakan eksekutif tunggal dan kekuasaan eksekutif tidak terbagi,

(b) Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara,

(c) Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu/bawahan yang bertanggung jawab kepadanya,

(d) Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan sebaliknya,

(e) Presiden tidak dapat membubarkan parlemen, dan (f) Pemerintah bertanggung jawab langsung kepada rakyat.

Di zaman modern, Amerika Serikat merupakan contoh konkret yang menggunakan sistem pemerintahan presidensil, meskipun berbeda dengan praktik kenegaraan di Indonesia. Di Amerika, badan eksekutif terdiri dari presiden beserta menteri-menteri sebagai pembantu presiden. Presiden terpisah dari badan legislatif dan tidak boleh mempengaruhi organisasi dan penyelenggaraan pekerjaan di Kongres. Presiden tidak dapat dijatuhkan oleh Kongres. Presiden bebas memilih menteri-menteri, hanya saja pemilihan hakim agung dan duta besar harus mendapatkan persetujuan dari Kongres. Begitu pula setiap perjanjian internasional yang sudah di tandatangani oleh Presiden harus pula disetujui oleh senat.

24

Moh. Mahfud M.D., Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, 74. 25

Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, (Yogyakarta: FH-UII Press, 2003), 15-16.


(31)

22

b. Sistem Parlementer

Sistem pemerintahan parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan di mana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam sistem ini, parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri, demikian juga parlemen dapat menjatuhkan pemerintahan yaitu dengan mengeluarkan mosi tidak percaya.26 Dalam sistem parlementer, jabatan kepala pemerintahan dan kepala negara dipisahkan. Pada umumnya, jabatan kepala negara dipegang oleh presiden, raja, ratu atau sebutan lain dan jabatan kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri. Inggris, Belanda, Malaysia, dan Thailand merupakan negara-negara yang menggunakan sistem pemerintahan parlementer dengan bentuk kerajaan. Sedangkan Jerman merupakan negara republik yang menggunakan sistem parlementer dengan sebutan kanselir. Bahkan, di Jerman, India, dan Singapura perdana menteri justru lebih penting dan lebih besar kekuasaannya daripada presiden. Presiden India, Jerman, dan Singapura hanya berfungsi sebagai simbol dalam urusn-urusan yang bersifat seremonial.

Ada beberapa karakteristik sistem pemerintahan parlementer di antaranya, pertama, peran kepala negara hanya bersifat simbolis dan seremonial serta mempunyai pengaruh politik yang sangat terbatas, meskipun kepala negara tersebut mungkin saja seorang presiden, kedua, cabang kekuasaan eksekutif dipimpin seorang perdana menteri atau kanselir yang dibantu oleh kabinet yang dapat dipilih dan diberhentikan oleh parlemen, ketiga, parlemen dipilih melalui Pemilu yang waktunya bervariasi, di mana ditentukan oleh kepala negara berdasarkan masukan dari perdana menteri atau kanselir.27

26

Abdul Ghofar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia, 53. 27

Abdul Ghofar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia, 55.


(32)

23

Melihat karakteristik tersebut, maka dalam sistem pemerintahan parlementer, posisi eksekutif dalam hal ini kabinet adalah lebih rendah dari parlemen. Oleh karena posisinya yang lemah tersebut, maka untuk mengimbangi kekuasaan, kabinet dapat meminta kepada kepala negara untuk membubarkan parlemen dengan alasan parlemen dinilai tidak representatif. Jika itu yang terjadi, maka dalam waktu yang relatif singkat kabinet harus menyelenggarakan Pemilu untuk membentuk parlemen baru.28

Miriam Budiardjo dalam bukunya Dasar-Dasar Ilmu Politik menjelaskan bahwa dalam sistem parlementer terdapat beberapa pola. Dalam sistem parlementer dengan parliamentary executive, badan eksekutif dan badan legislatif bergantung satu sama lain. Kabinet sebagai bagian dari badan eksekutif merupakan pencerminan kekuatan-kekuatan politik di badan legislatif yang mendukungnya. Kabinet ini dinamakan kabinet parlementer. Pada umumnya, ada keseimbangan antara badan eksekutif dan badan legislatif. Keseimbangan ini lebih mudah tercapai jika terdapat satu partai mayoritas membentuk kabinet atas kekuatannya sendiri. Kalau tidak terdapat partai mayoritas, maka dibentuk kabinet koalisi yang berdasarkan kerja sama antara beberapa partai yang bersama-sama mencapai mayoritas dibadan legislatif. Beberapa negara, seperti Belanda dan negara-negara skandinavia pada umunya berhasil mencapai suatu keseimbangan sekalipun tidak dapat dipungkiri adanya dualisme antara pemerintah dan badan legislatif.

Dalam hal terjadinya suatu krisis karena kabinet tidak lagi memperoleh dukungan dari mayoritas badan legislatif, dibentuk kabinet ekstra parlementer, yaitu kabinet yang dibentuk tanpa formatur kabinet merasa terkuat pada konstelasi 28

Moh. Mahfud M.D., Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, 74.


(33)

24

kekuatan politik di badan legislatif. Dengan demikian, formatur kabinet memiliki peluang untuk menunjuk menteri berdasarkan keahlian yang diperlukan tanpa menghiraukan apakah dia mempunyai dukungan partai. Kalaupun ada menteri yang merupakan anggota partai, maka secara formil dia tidak mewakili partainya. Biasanya suatu kabinet ekstra parlementer memepunyai program kerja yang terbatas dan mengikat diri untuk menangguhkan pemecahan masalah-masalah yang bersifat fundamental.

Di samping itu, ada pula sistem parlementer khusus, yang memberi peluang kepada badan eksekutif untuk memainkan peranan yang dominan dan yang karena itu disebut pemerintahan kabinet (cabinet government). Sistem ini terdapat di Inggris dan India. Dalam sistem ini, hubungan antara badan eksekutuf dan badan legislatif begitu terjalin erat atau istilahnya fusion/union. Kabinet memainkan peranan yang dominan sehingga kabinet dinamakan suatu “panitia” dalam parlemen.

Douglas V. Verney seperti yang dikutip Arend Lijphart dalam Parliamentary versus Presidential Government (1952), menyimpulkan bahwa sistem parlementer merupakan sistem pemerintahan yang banyak dianut di dunia. Namun demikian, ada beberapa pokok-pokok sistem pemerintahan presidensil, yaitu:

(a) Hubungan antara lembaga parlemen dan pemerintahan tidak murni terpisahkan,

(b) Fungsi eksekutif dibagi kedalam dua bagian, yaitu kepala pemerintahan dan kepala negara,

(c) Kepala pemerintahan diangkat oleh kepala negara,

(d) Kepala pemerintahan mengangkat menteri-menteri sebagai satu kesatuan institusi yang bersifat kolektif,


(34)

25

(f) Pemerintah bertanggung jawab kepada parlemen tidak kepada rakyat pemilih karena pemerintah tidak dipilih oleh rakyat secara langsung, (g) Perdana menteri dapat memberikan pendapat kepada kepala negara

untuk membubarkan parlemen,

(h) Kedudukan parlemen lebih tinggi dari pada pemerintah, (i) Kekuasaan negara terpusat pada parlemen.

Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik dengan sistem pemererintahan presidensial di mana kepala negara dan kepala pemeintahan pemerintahan dipegang oleh satu orang yaitu presiden. Disamping itu Indonesia suatu negara yang berasaskan demokrasi langsung artinya dalam pemilihan kepala negara maupun kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat.

1. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)

Sistem Pemilu merupakan mekanisme sirkulasi kekuasaan yang teratur di dalam suatu negara. Sistem pemilu merupakan salah satu keputusan kelembagaan yang penting bagi negara-negara yang berupaya untuk menegakkan keberadaban dan kualitas sistem politik. Karena sistem pemilu akan menghasilkan logika-logika politik atas tata laksana adminitrasi, berjalannya birokrasi, hingga tumbuh dan berkembangnya civil society di dalam sistem itu selanjutnya.29 Oleh karena itu, Pemilu sarana yang efektif untuk menentukan kepemimpinan nasional dan daerah yang melibatkan seluruh warga negara.

Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah, yang kemudian disngkat menjadi Pilkada, secara langsung merupakan momentum penting bagi pembangunan sistem politik lokal ke arah yang lebih demokratis. Melalui Pilkada langsung banyak harapan yang disandarkan bagi perbaikan kesejahteraan rakyat di daerah, kepala daerah lebih dekat dengan rakyat karena mendapatkan legimitasi politik

29

Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik, sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik, (Yogyakarta : Graha Ilmu), 119.


(35)

26

langsung dari rakyat. Dalam UUD 1945 Bab VI Pemerintahan Daerah Pasal 18 (4) menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing- masing sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Tidak ada kata-kata pemilihan langsung sebagaimana dalam pasal yang mengatur tentang pemilihan presiden dan tidak ada kata-kata pemilihan kepala daerah secara tidak langsung atau melalui DPRD. Dalam Negara demokrasi perwakilan atau demokrasi tidak langsung, maka memenuhi kaidah demokratis jika pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD. Begitupun dalam Negara demokrasi langsung pemlihan kepala daerah secara langsung memenuhi kaidah demokratis sebagai bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat. Dalam Pasal 24 (1) UU No. Undang Nomor 9 Tahun 2015 perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menjelaskan bahwa setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintahan daerah yang disebut dengan Kepala daerah. Secara sistematis pemeritah pusat dan pemerintah daerah mempunyai hubungan hirarkis baik hubungan kordinasi, pengawasan dan pembinaan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 38 ayat (1) UU Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.Tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah memiliki fungsi pembinaan, pengawasan dan koordinasi urusan pemerintahan di daerah serta tugas pembantuan.

2. Implikasi Pilkada Langsung dalam Kontek Keistimewaan DIY. Penetapan adalah adalah proses yang dilalui dalam memilih Gubernur


(36)

27

adalah kepala daerah yang karena kedudukannya juga berkedudukan sebagai wakil

pemerintah, sedang wakil gubernur adalah wakil kepala daerah yang

mempunyai tugas membantu Gubernur. Daerah Istimewa Yogyakarta adalah

daerah provinsi yang mempunyai keistimewaan dalam penyelenggaraan urusan

pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.20 Pada

tanggal 4 Maret 1950 Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan

Undang-Undang Nomor 3 tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta

Amanat 5 September 1945

Dalam amanat 5 September Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII menyatakan integrasinya ke dalam Republik Indonesia dengan status istimewa. Hal ini bisa dilihat dari sisi keorganisasian keduanya memiliki struktur yang lengkap dan siap untuk menjadi bagian dari negara yang merdeka.30 Pasal 18 menjadi dasar Yogyakarta sebagai daerah yang pada prinsipnya memiliki kedudukan sebagai swapraja- swapraja yang mendapatkan jaminan konstitusional kuat untuk menjadi daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.31 Dari sekian banyak swapraja yang ada di Indonesia hanya Daerah Istimewa Yogyakarta yang mempertahankan diri sebagai daerah istimewa Rakyat Yogyakarta menghendaki agar kasultanan Yogyakarta secara positif menyatakan dengan tegas untuk memihak kepada Republik Indonesia atau bersikap ragu-ragu sambil memperhitungkan kemungkinan akan berkuasanya lagi penjajah Belanda di Indonesia.32 Pernyataan yang dikeluarkan pada tanggal 5 September 1945 yang isi lengkapnya sebagai berikut:

30

KPH MR. Soedarisman Poerwokoesoemo Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1984, 14.

31 Ibid. 32

Ibid 15


(37)

28

Kami Hamengku Buwono IX, Sultan Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat menjatakan:

1. Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.

2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami pegang seluruhnya.

3. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini. Ngajogjakarta Hadiningrat, 28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-1945

HAMENGKU BUWONO IX33

Kami Paku Alam VIII Kepala Negeri Paku Alaman, Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat menjatakan:

1. Bahwa Negeri Paku Alaman jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.

2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Paku Alaman, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Paku Alaman mulai saat ini berada ditangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja Kami pegang seluruhnya.

3. Bahwa perhubungan antara Negeri Paku Alaman dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Paku Alaman mengindahkan Amanat Kami ini.

33

Kumpulan Berita Indonesia 1945-1950.


(38)

29

Paku Alaman, 28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-1945. PAKU ALAM VIII.34

G. Telaah Pustaka

Model hubungan memang sangat menarik untuk didiskusikan di kalangan masyarakat khususnya bagi civitas akademika. Berdasarkan hal tersebut, sangatlah wajar jika banyak tulisan dalam bentuk ilmiah maupun non ilmiah yang membahas hal tersebut.

Berdasarkan kekhawatiran penulis sebagaimana yang disampaikan di atas, maka penulis melakukan penelusuran terhadap tulisan atau penelitian sebelumnya yang memiliki objek kajian yang sama, untuk menghindari asumsi plagiasi serta untuk menekankan orisinalitas dari penelitian ini.

Sebagaimana penelusuran yang penulis lakukan, terdapat beberapa penelitian yang mirip dengan tema penelitian yang diangkat oleh penulis, antara lain:

1. Tesis yang ditulis oleh Galuh Septianingrum sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar magister strata dua di UIN Sunan Ampel Surabaya dengan judul sistem demokrasi terhadap penetepan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.

2. Penelitian yang ditulis oleh Rahmiyati yang di tulis dengan judul “DEMOKRASI MONARKI DALAM PANDANGAN SIYASAH sebagai tugas akhir dalam menempuh jenjang pendidikan S2 di Institut Agama Negeri Antasari Fakultas Syari’ah Jurusan Siyasah Jinayah Banjarmasin. Isinya tentang mengkolaborasikan sistem demokrasi dengan sistem monarki. Sehingga menjadi istilah baru bagi

34 Ibid.


(39)

30

sebagian orang dengan menyebutnya sebagai Sistem Demokrasi Monarki.

3. AVATARA, e Jurnal Pendidikan Sejarah, Volume, No 2, Mei

2013, dengan judul Perubahan Status Kesultanan Yogyakarta Menjadi Daerah Istimewa Tahun 1950-1959 Tesis ini ditulis oleh Dhinta Verdiana Marshstiva Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya. Isinya tentang keunikan Yogyakarta yang membedakan dengan daerah lainnya lainnya di Indonesia.

Adapun penelitian yang penulis lakukan ini mengangkat tema “Kedudukan Kesultanan DIY dalam Sistem Negara Kesatuan RI”. Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang telah penulis sebutkan. Fokus pembahasan penelitian pertama mengenai kedudukan Sultan sebagai Raja Yogyakarta dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang telah penulis sebutkan. Fokus pembahasan

Penelitian pertama mengenai Kedudukan Kesultanan DIY dalam sistem NKRI dan mengkaji masalah tersebut dari perspektif ushul fikih dengan konsep Islam Sehingga menurut hemat penulis, penelitian ini mampu mengisi celah yang belum diisi dalam penelitian sebelumnya.

H. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis mengunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian normatif menurut Peter mahmud Marzuki adalah suatu proses


(40)

31

untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.35

Alasan penulis menggunakan penelitian hukum normatif karena untuk menghasilkan argumentasi, teori, atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dalam hal ini tentang kedudukan kesultanan DIY dalan sistem negara kesatuan RI.

Dalam kaitannya dengan penelitian normatif, penulis menggunakan beberapa pendekatan untuk menjawab permasalahan yang diteliti, yaitu: pendekatan perundang-undangan (statute approach),36 pendekatan konseptual (conceptual approach),37 dan pendekatan historis (historical approach).38

Pendekatan perundang-undangan dilakukan terhadap berbagai peraturan mengenai eksistensi kesultanan DIY, di antaranya adalah Maklumat 5 September 1945. undang No. 13 tahun 2012 tentang keistimewaan DIY, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia terutama pasal 18 tentang Pemerintahan Daerah.

Pendekatan konseptual digunakan untuk dapat memahami pandangan para ahli hukum atau konsep mengenai sistem pemerintahan , sistem pemerintahan yang berlaku di Indonesia dalam kaitannya dengan adanya monarki dalam sistem pemerintahan di negara kesatuan.

35

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2006), 35. 36

Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang atau regulasi yang berkaitan dengan isu hukum yang ditangani. Ibid, 93.

37

Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi. Ibid, 95.

38

Pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi. Ibid, 94.


(41)

32

Pendekatan historis digunakan dalam rangka memahami sejarah Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII menyatakan integrasinya ke dalam Republik Indonesia dengan status istimewa. Dari ketiga pendekatan tersebut akan dapat dipahami beberapa hal yang melatarbelakangi perumusan eksistensinya kesultanan DIY dalam sistem negara kesatuan Republik Indonesia.

Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat baik bagi setiap individu atau masyarakat, baik yang berupa perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Adapun sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, Maklumat 5 September 1945, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemilihan Kepala Daerah secara langsung dengan penetapan atau pengangkatan Sultan Yogyakarta sebagai Kepala Daerah di Yogyakarta yang dilakukan dengan cara turun-temurun.

Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan komentar para ahli hukum.39

I. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan ini dipaparkan untuk mempermudah penulisan dan pemahaman. Oleh karena itu agar lebih sistematis maka tesis ini disusun

39

Ibid., 141.


(42)

33

dalam beberapa bab, pada tiap-tiap bab terdiri dari beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:

Bab I, berisi pendahuluan yang akan mengantarkan pembaca pada latar

belakang penelitian ini, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka teoritik, telaah pustaka, metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, dan sistematika pembahasan.

Bab II, berisi kajian teori yang membahas tinjauan umum tentang

Kedudukan Sultan DIYdalam Sisten Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bab ini menjelaskan tentang sejarah Integrasinya DIY dalam negara Indonesia, mengkompromosikan landasan hukum.

Bab III, berisi tentang kajian terhadap Eksistensi Kesultanan DIY dalan

NKRI dan mengkompromosikan Undang-undang keistimewaan DIY dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

Bab IV, berisi tentang pandangan Islam terkait kesultanan DIY dan

Undang-undang yang mengatur tentang keistimewaan DIY dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia..

Bab V adalah penutup, berisi uraian singkat (kesimpulan) dari apa yang


(43)

34

BAB II

PEMBENTUKAN DIY DALAM NKRI

A.Dasar Pembentukan DIY dalam NKRI

Peran Yogyakarta dalam pergulatan politik bangsa Indonesia memang tidak dapat dipungkiri. Sejak kebangkitan nasional 20 Mei 1908 para elite-elite politik dan warga Yogyakarta memainkan peran penting bagi bangsa dan negara Indonesia. Menyadari akan pentingnya sebuah persatuan dan kesatuan dalam sebuah entitas dan identitas yang lebih luas lagi, pada proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai pemimpin keraton Ngayogyakarto Hadiningrat dan Adipati Paku Alam VIII mengirimkan surat kawat kepada Ir. Soekarno yang menyatakan dengan tegas untuk berdiri mendukung sepenuhnya kemerdekaan Republik Indonesia. Dimana kemudian pada tanggal 19 Agustus 1945 Presiden Soekarno menerbitkan Piagam Kedudukan Sultan Hamengku Buwono IX dan Adipati Paku Alam VIII yang intinya merupakan penegasan tentang status daan kedudukan keduanya sekaligus memberikan penegasan kepercayaan dari pemerintah pusat atas kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono IX dan Adipati Paku Alam VIII di wilayah masing-masing.

B.Tinjauan Historis Yuridis Pembentukan DIY.

Dalam ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 antara lain disebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Negara juga mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan


(44)

35

masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dengan ketentuan undang-undang.40 Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga digariskan bahwa, wilayah negara kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah- daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten/kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah untuk menjalankan otonomi daerah.

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Salah satu propinsi di Indonesia adalah propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan daerah otonom setingkat provinsi yang terletak di bagian selatan Pulau Jawa bagian tengah, dengan ibukota Kota Yogyakarta. DIY berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah dan Samudera Hindia, dengan luas wilayah 3.185,80 km2 atau kurang lebih 0,15% luas daratan Indonesia. Wilayah ini terdiri atas satu kota dan empat kabupaten, yaitu : 1. Kota Yogyakarta; 2. Kabupaten Sleman; 3. Kabupaten Bantul; 4. Kabupaten Gunungkidul; dan 5. Kabupaten Kulon Progo.41 Sebutan “istimewa” untuk Yogyakarta bukanlah tanpa maksud. DIY dikenal sebagai wilayah yang kaya akan potensi budaya, baik budaya bendawi yang kasat mata (tangible culture) maupun yang berwujud sistem nilai (intangible culture). Dikenal dengan berbagai predikat seperti Kota Perjuangan, Kota Pelajar, Kota Kebudayaan, Kota Pariwisata, Kota Gudeg, dan Kota Sepeda cukup menggambarkan keistimewaannya.

40

Dandi Ramdani. 2003, Otonomi Daerah Evaluasi dan Proyeksi. Jakarta: Yayasan Harkat Bangsa, .9 Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2013

41

Sumber Internet : http://dppka.jogjaprov.go.id/document/infoyogyakarta. pdf


(45)

36

Selain itu, wilayah ini juga mempunyai sejarah yang cukup panjang, bahkan sejak sebelum kemerdekaan negara Republik Indonesia (RI). Pada tahun 2012 yang lalu, tepatnya pada tanggal 30 Agustus 2012, DIY kembali memasuki babak baru dalam perjalanan sejarahnya. Pada hari itu Rancangan Undang- Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (RUUK DIY) resmi disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Undang-undang tersebut merupakan bentuk pengakuan sekaligus penghormatan negara atas satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa42 Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta disebutkan bahwa : Status istimewa yang melekat pada DIY merupakan bagian integral dalam sejarah pendirian negara-bangsa Indonesia. Pilihan dan keputusan Sultan Hamengku Buwono IX dan Adipati Paku Alam VIII untuk menjadi bagian dari Republik Indonesia, serta kontribusinya untuk melindungi simbol negara-bangsa pada masa awal kemerdekaan telah tercatat dalam sejarah Indonesia. Hal tersebut merupakan refleksi filosofis Kasultanan, Kadipaten, dan masyarakat Yogyakarta secara keseluruhan yang mengagungkan adanya kebhinnekaan dalam ketunggal-ikaan sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Masyarakat Yogyakarta yang homogen pada awal kemerdekaan meleburkan diri ke dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, baik etnik, agama maupun adat istiadat. Pilihan itu membawa masyarakat Yogyakarta menjadi

42

Jurnal hokum : Kajian Yuridis Pembentukan Pemerintah Daerah Propensi DIY berdasarkan No. 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY


(46)

37

bagian kecil dari masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, Keistimewaan DIY harus mampu membangun keharmonisan dan kohesivitas sosial yang berperikeadilan. 43

Sentralitas posisi masyarakat DIY dalam sejarah DIY sebagai satu kesatuan masyarakat yang memiliki kehendak yang luhur dalam berbangsa dan bernegara dan keberadaan Kasultanan dan Kadipaten sebagai institusi yang didedikasikan untuk rakyat merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX dan Adipati Paku Alam VIII memutuskan untuk menjadi bagian dari Indonesia. Kedua tokoh itu masing- masing secara terpisah, tetapi dengan format dan isi yang sama, mengeluarkan Maklumat pada tanggal 5 September 1945 yang kemudian dikukuhkan dengan Piagam Kedudukan Presiden Republik Indonesia tanggal 6 September 1945 menyatakan integrasi Yogyakarta ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan status daerah istimewa. Keputusan kedua tokoh tersebut memiliki arti penting bagi Indonesia karena telah memberikan wilayah dan penduduk yang nyata bagi Indonesia yang baru memproklamasikan kemerdekaannya.

Peran Yogyakarta terus berlanjut di era revolusi kemerdekaan yang diwujudkan melalui upaya Kasultanan dan Kadipaten serta rakyat Yogyakarta dalam mempertahankan, mengisi, dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.44 DIY pada saat ini dan masa yang akan datang akan terus mengalami perubahan sosial yang sangat dinamis.

Masyarakat Yogyakarta dewasa ini memasuki fase baru yang ditandai oleh masyarakat yang secara hierarkis tetap mengikuti pola hubungan patron-klien 43

Ensiklopedi Kraton Yogyakarta, Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta, 2009,.9\

44

Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2013, Christian Yulianto Kurniawan, et


(47)

38

pada masa lalu dan di sisi lain masyarakat memiliki hubungan horizontal yang kuat. Perkembangan di atas, sekalipun telah membawa perubahan mendasar, tidak menghilangkan posisi Kasultanan dan Kadipaten sebagai sumber rujukan budaya bagi mayoritas masyarakat DIY. Kasultanan dan Kadipaten tetap diposisikan sebagai simbol pengayom kehidupan masyarakat dan tetap sebagai ciri keistimewaan DIY.

Pengaturan Keistimewaan DIY dalam peraturan perundang-undangan sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap konsisten dengan memberikan pengakuan keberadaan suatu daerah yang bersifat istimewa. Bahkan, Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan pengakuan terhadap eksistensi suatu daerah yang bersifat istimewa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, konsistensi pengakuan atas status keistimewaan suatu daerah belum diikuti pengaturan yang komprehensif dan jelas mengenai keistimewaannya.45

Kewenangan yang diberikan kepada DIY melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 semata-mata mengacu pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah yang memperlakukan sama semua daerah di Indonesia. Hal yang sama juga terjadi pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah sampai dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah

Hal di atas telah memunculkan interpretasi bahwa Keistimewaan DIY hanya pada kedudukan Gubernur dan Wakil Gubernur. Oleh karena itu, diperlukan perubahan, penyesuaian dan penegasan terhadap substansi 45

ibid 56


(48)

39

keistimewaan yang diberikan kepada Daerah Istimewa melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Untuk itu, dalam rangka perubahan dan penyesuaian serta penegasan Keistimewaan DIY, perlu dibentuk undang-undang tentang keistimewaan DIY. Pengaturan Keistimewaan DIY bertujuan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan demokratis, ketenteraman dan kesejahteraan masyarakat, menjamin ke- bhinneka-tunggal-ika-an, dan melembagakan peran dan tanggung jawab Kasultanan dan Kadipaten dalam menjaga dan mengembangkan budaya Yogyakarta yang merupakan warisan budaya bangsa.46

Pengaturan tersebut berlandaskan asas pengakuan atas hak asal-usul, kerakyatan, demokrasi, ke-bhinneka-tunggal-ika-an, efektivitas pemerintahan, kepentingan nasional, dan pendayagunaan kearifan lokal. Oleh karena itu, dengan memperhatikan aspek historis, sosiologis, dan yuridis, substansi Keistimewaan DIY diletakkan pada tingkatan pemerintahan provinsi. Kewenangan istimewa meliputi tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur, kelembagaan Pemerintah Daerah DIY, kebudayaan, pertanahan, dan tata ruang.

Dengan demikian, Pemerintahan Daerah DIY mempunyai kewenangan yang meliputi kewenangan istimewa berdasarkan Undang- Undang ini dan kewenangan berdasarkan undang-undang tentang pemerintahan daerah. Namun,

46

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah


(49)

40

kewenangan yang telah dimiliki oleh pemerintahan daerah kabupaten/kota di DIY tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan uraian hal tersebut di atas penulis akan mengkaji dan menuangkan masalah pembentukan pemerintah daerah propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam suatu penelitian jurnal hukum dengan judul : Kajian Yuridis Pembentukan Pemerintah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta47

Pembentukan Pemerintahan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Berdasarkan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Atribut pemerintahan daerah secara khusus dan istimewa bukan sesuatu yang baru, melainkan telah dirmuskan eksistensinya dalam UUD 1945. Suasana kebatinan dibalik makna dan fungsi keistimewaan dapat mendorong perlunya kajian komprehensif.

Dalam Pasal 18B, baik ayat (1) dan ayat (2) dengan tegas diakui adanya daerah yang memiliki otonomi khusus dan otonomi yang istimewa tersebut. Misalnya dalam Pasal 18 B, Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan sebagai berikut :

1) Negara mengakui dan menghormati kesatuan- kesatuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang undang.

47

Jurnal hokum : Kajian Yuridis Pembentukan Pemerintah Daerah Propensi DIY berdasarkan No. 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY


(50)

41

2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan- kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang undang. Kedua ayat dari Pasal 18 B UUD 1945 tersebut mengandung norma-norma imperatif yaitu norma perintah sebagai kewajiban bagi negara untuk melindunginya. Di Pihak lain, bagi daerah menimbulkan hak-hak yang wajib dilindungi.

Terhadap Pasal 18 B ayat (1) UUD 1945 negara wajib melindungi dan menjamin hak-hak konstitusional daerah untuk menegaskan kekhususan atau keistimewaan. Selain itu, negara mengatur melalu instrumen hukum baik dalam arti adanya peraturan undang-undang untuk mengatur tentang syarat-syarat, mekanisme, prosedur dan pembentukan daerah khusus dan istimewa. Sedangkan dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 kewajiban negara untuk melindungi hak-hak tradisional masyarkat hukum adat yang didalamnya terkait dengan material hak ulayat, hutan adat, termasuk hak kolektif atas sungai dan laut, juga hak-hak immaterial seperti bahasa daerah, seni tari, menyanyi dan hak cipta. Secara faktual pengabaian negara atas kewajiban tersebut berakibat status dan keberadaan masyarakat hukum adat tersudutkan. 48

Karena tiadanya penjelasan atas istilah keistimewaan tersebut, maka perlu dicari makna dan fungsinya dari pendekatan kebahasaan dan pandangan para pakar Hukum Tata Negara. Model pemahaman ini diharapkan bahwa, istilah keistimewaan dalam arti dan makna kebahasaan dapat digunakan sebagai cara memahami apa yang tersirat dan tersurat dalam Pasal 18B UUD 1945.

48

Sri Soemantri. 2002, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung, Alumni, 90


(51)

42

Pertama, dalam pendekatan bahasa (Linguistic Approach) keistimewaan mengandung unsur-unsur yang memberikan kepastian hukum. Dalam kamus berbahasa Inggris, istilah istimewa sama artinya dengan privilege, something special one is allowed to have, sesuatu yang paling khusus yang diperbolehkan, atau privileged (adjecive), having or enjoying one or more privilieges (keistimewaan). Dengan kata lain, keistimewaan merupakan sesuatu yang sangat khusus, dan keadannya berbeda dari yang lain, dan wujud perbedaan tersebut diakui keberadaaannya. Dalam Law‟s Dictionary, Privilege That which is granted or allowed to any person, or any class persons, either against or beyond the course of ordinary law.

Keistimewaan adalah sesuatu jaminan yang diberikan pada seseorang atau sekelompok masyarakat, apakah ia bertentangan atau berkesesuaian dengan peraturan hukum yang menjadi kelaziman.49

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, istimewa adalah yang khas, atau untuk suatu maksud tertentu, atau sesuatu yang lain dan luar biasa50 Karena itu, bilamana keistimewaan dipahami sebagai sesuatu yang luar biasa, keadaan yang terjadi hanya satu kali dan tidak ada perbandingannya tergantung pada argumentasi yang diperlukan. Bilamana istilah keistimewaan dalam pendekatan kebahasaan dapat ditegaskan sebagai sesuatu keadaan yang luar biasa, unik dan tiada bandingannya, maka pemaknaan secara bahasa ini juga harus sesuai dengan pandangan para ahli HTN.

49

W.J.S. Poerwadarminta. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta. PT Balai Pustaka. . 455 50

Istilah privileges, dalam Webster’s New Enciclopedic Dictionary. BD&L New York, 1993:

803. Dalam Mozley and Whiteleys‟s Law Dictionary by John B Saunders, menjadi sangat tegas

istilah privilege sebagai keistimewaan. London. Nutterworth. 1977. 255


(52)

43

Keistimewaan merupakan suatu pernyataan yang menegaskan sesuatu keadaan yang sangat khusus, unik, atau satu-satunya atau tiada bandingan merupakan sesuatu kondisi yang luar biasa, sehingga tidak dijumpai pada tingkat penalaran yang umum. Kedua, pandangan para ahli Hukum Tata Negara terhadap Pasal 18B UUD 1945 yang kemudian dikaitkan dengan makna dan fungsi bahasa yang konsisten. Bagaimana para ahli HTN memandang persoalan kekhususan keistimwaan sebagaimana tertera dalam Pasal 18 dan 18B ayat (1) dan ayat (2), UUD 1945.

Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD sepakat bahwa ketentuan pasal Pasal 18 ayat (1) tidak mengurangi makna otonomi daerah yang dijamin dalam Pasal 18 ayat (2) sampai dengan ayat (7) dan Pasal 18 A serta Pasal 18B UUD 1945 : Prinsip otonomi daerah yang diadopsikan tetap menjamin pluralisme antara daerah dan tuntutan keprakarsaan dari bawah atau dari tiap-tiap daerah untuk menjalankan fungsi pemerintahan dan pembangunan.

Pengaturan yang memberikan status otonomi khusus kepada Irian Jaya yang kemudian berubah menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Daerah Istimewa Aceh menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mencerminkan bahwa di bawah konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap dimungkinkan dengan adanya pola-pola pengaturan yang bersifat pluralis seperti terhadap Aceh dan Papua.51

Seiring dengan itu, Mahfud MD menyatakan bahwa : Pasal 18 B ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 terkait dengan hukum pemerintahan daerah yang memungkinkan adanya daerah istimewa dengan prinsip demokrasi di Indoensia

51

Jimly Assiddiqie, Pokok Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer,Jakarta, 2007, 411


(53)

44

yang dituangkan di dalam Naskah Akademik agar orang-orang di legislatif yang tidak semuanya mengerti, dipaksa menghayati tentnag DIY agar bisa memahami dan menerima.

Hanya saja yang harus diantisipasi adalah kemungkinan dimintakan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusti oleh mereka yang mempunyai legal standing. 52 Senada dengan itu, Jimly Asshiddiqie menguatkan bahwa Pasal 18B UUD 1945, dimungkinkan dilakukannya pengaturan-pengaturan yang bersifat federalistik dalam hubungan antara pemerntah pusat dengan pemerintah daerah. Dalam dinamika hubungan antara pusat dan daerah itu, dimungkinkan pula dikembangkan kebijakan otonomi yang bersifat pluralis.

Dalam arti bahwa setiap daerah dapat diterapkan pola otonomi yang berbeda-beda. Keberagaman pola hubungan itu telah dibuktikan dengan diterimanya prinsip otonomi khusus Provinsi NAD dan Provinsi Papua yang keduanya memiliki format kelembagaan pemerintahan yang berbeda dari pemerintahan daerah lain pada umumnya. Disamping itu, dalam ketentuan Pasal 18B ayat (1) disebutkan pula adanya satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa.

Beberapa contoh pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa itu adalah Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam dan Daerah Otonomi Khusus Papua.53 Secara tegas Dahlan Thaib menyatakan bahwa kalau dirunut secara konstitusi seperti Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 berbunyi negara meyakini dan menghormati sebuah satuan pemerintahan 52

Moch. Mahfud MD, Menyongsong RUUK DIY Mencermati Aspek Substansi dalam Harian Kedaulatan Rakyat, 12 Februari 2007

53

Jimly Asshiddiqie. 2008. Menuju Negara Hukum Yang Demokratis. Jakarta. Sekretariat Jendral dan Kepanitriaan Mahkamah Konstitusi RI.. 793


(54)

45

darerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Disini konstitusi mengakui adanya daerah khusus dan daerah istimewa, disamping daerah otonom lainnya setelah memberikan amanat kepada DPR RI dan pemerintah untuk membentuk UU yang mengatur daerah khusus dan daerah istimewa. Selanjutnya Dahlan Thaib menyebutkan bahwa daerah khusus dan daerah istimewa adalah anak kembar negara yang telah ditegasakan dalam konstitusi, karenanya harus diperlakukan secara adil

Pandangan tersebut juga ditegaskan dalam suatu diskusi informal dengan penulis bahwa Keistimewaan di Yogyakarta bukan saja mendapatkan pengakuan dan perlindungan dalam UUD 1945, melainkan wajib melestarikan keaneka ragaman ciri- ciri lokal dari suatu pemerintahan. Sehingga menjadi tidak beralasan jika bentuk negara NKRI tidak memberikan ruang atastegaknya keanekaragaman. Kedudukan Sultan HB dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur dipandang sebagai nilai-nilai lokal yang perlu dilestarikan. Berdasarkan pembahasan di atas, maka makna keistimewaan sebagaimana diamanahkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 baik dari pendekatan bahasa dan pandangan ahli-ahli HTN menunjukkan adanya konsistensi dan konsekuensi bahwa keistimewaan merupakan hak konstitusional bagi pemerintahan daerah yang penyelenggaraan-nya dikecualikan dari ketentuan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Konsekuensinya pemerintah daerah bersifat


(55)

46

otonom, sifat khusus dan bersifat istimewa merupakan hak konstitusional yang menyebutkan negara untuk melindungi dan melestarikannya.54 Dengan demikian, hak-hak keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta untuk dilestarikan melalui instrumen hukum ini mendapatkan dasar-dasar argumentatif, baik secara filosofis, historis, sosiologis, dan juga juridis Sejalan dengan ketentuan Pasal 18B UUD 1945, Undang Nomor 9 Tahun 2015 perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dalam Ketentuan Lain-Lain Pasal 225 menyebutkan bahwa Daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus selain diatur dengan Undang- Undang ini diberlakukan pula ketentuan khusus yang diatur dalam undang-undang lain. Lebih lanjut Pasal 226 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada Undang-Undang ini. Ketentuan Pasal 225 dan Pasal 226 tersebut mengamanatkan kepada organ pembentuk undang-undang untuk membentuk peraturan perundang-undangan tentang keistimewaan Yogyakarta dengan tetap melandaskan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah Pengakuan atas keistimewaan DIY yang berkaitan dengan kepemimpinan di Yogyakarta sesungguhnya telah diatur di dalam Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1948 hingga pasca reformasi melalui Undang-Undang

54

Jimly Asshiddiqie. 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.. 276


(1)

187

Mudjanto, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta:

Kanisius, 1974.

Muktiono, “Penegakan Hak Atas Demokrasi Kelompok Rentan Dalam

Pelaksanaan Pemilihan Umum Di Indonesia Dalam Sudut Pandang Hak Asasi Manusia”, Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2009.

Nahdiyah, Novita. Mengarungi Sejarah Keemasan Daulah Islam Hingga

Keruntuhannya. 2012.

Noer, Deliar. Islam dan Politik, Jakarta, Yayasan Risalah, 2003.

Penuju, Redi. Oposisi Demokrasi dan Kemakmuran Rakyat, Cetakan I,

Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009.

Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: PT Balai Pustaka.

2012.

Poerwokoesoemo, Soedarisman. Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 1984.

Prasetyo, Ngesti D. Pemilu Sebagai Pertarungan Kons- titusional dan

Konsolidasi Hak-Hak Pemilih, Jurnal Konstitusi Universitas Brawijaya, Vol. II No. 1, 2009.

Prasojo, Eko. Desentralisasi & pemerintahan daerah: antara model demokrasi

lokal & efisiensi struktural Depok: Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2006.

Pulungan, J. Suyuti. Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah dan pemikiran Cet. III,

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.

Ramdani, Dandi. Otonomi Daerah Evaluasi dan Proyeksi. Jakarta: Yayasan

Harkat Bangsa, Artike Pdfl, 2003.

Riyanto, Astim. Negara Kesatuan Konsep, Akses dan Aktualisasinya, Bandung,


(2)

188

Sabriantina, Tina. “Pemilihan Umum Kepala Daerah Sebagai Aktivitas

Pemililihan Umum”, Jurnal Konstitusi Pkk Fakultas Syariah Iain Antasari, Vol. II, No. 1, 2009.

Saldi Isra’, “Peranan DPRD dalam Mewujudkan Otonomi Pemilhan Kepala

Daerah”, Jurnal Politik Hukum Mahasiswa, No. 04, April-Mei 2000, Padang.

Salim, Abdul Mun’im. Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam

Al-Qur’an, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1994.

Samidjo, Ilmu Negara, Jakarta: Armico, 1986.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah volume 12, Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Sholihin, Rahmat. “Referensi Islam dalam Memilih Pemimpin,”, Jurnal Konstitusi

PKK Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Antasari Banjarmasin, volume ii no. 1 (2009).

Soedarisman Poerwokoesoemo, Derah Istimewa Yogyakarta, Gajah Mada University Press, Yogyakarta,1984.

Soehino. Ilmu Negara, Ed.3, Cet.3. Yogyakarta: Liberty, 2000.

Soemantri, Sri. Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung, Alumni.

2002.

Sri Soemantri, “Kedudukan, Kewenangan, dan Fungsi Komisi Yudisial dalam

Sistem Ketatanegaraan RI” dalam Komisi Yudisial, Bungai Rampai; Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial RI, Jakarta: Komisi Yudisial, 2006.

Subagio, Catur Adi. “Pemilihan Umum 2009 Sebuah Eks- perimentasi

Demokrasi Menuju Konsolidasi Demokrasi”, Jurnal Konstitusi Universitas Muhammadiyah Magelang, Vol. II No. 1, 2009.


(3)

189

Sukriono, Didik. “Menggagas Sistem Pemilihan Umum Di Indonesia”, Jurnal

Konstitusi Universitas Kanjuruhan Malang, 2009.

Sunarno, Siswanto. Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Cet.3. Jakarta:

Sinar Grafika, 2009.

Supomo, Kegagalan dan Masa Depan,Rapat BPUPKI, 1945.

Suseno, Franz Magnis. Etika Jawa; Sebuah Analisa Falsafi tentang

Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996..

Taimiyah, Ibnu. Siyasah Syar’iyah; Etika Politik Islam, Penerjemah; Rofi’

Munawar, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999).

Thayib, Dahlan. “RUU Keistimewaan DIY, Sampai dimana Perjalananmu ?”.

Kantor Berita Indonesia: GEMARI, 2010.

Tim Penulis P3EI (Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam), Ekonomi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.

Tim Penulis, Al qur’an dan Terjemah, Madinah, Mujamma’ Al Malik Fahd Li

Thiba’at Al Mush-haf Asy-Syarif.

Titahelu, Ronald Z. “Menguak Partisipasi Masyarakat Dalam Pemilu

Wijayanto. Bambang, Kajian putusan MK tentang pemilu & pemilukada/

Bambang Widjojanto.Jakarta: Kemitraan, 2009.

Tobing, Jakob. Amandemen UUD 1945 dan Reformasi, ttt. 2008.

Tutik, Titik Triwulan, 2005, “Pemilihan Kepala Daerah Langsung dalam

Perspektif Islam”, Jurnal Komunikasi dan Informasi Keagamaan, Vol. 6, No. 4 Oktober 2005, Lembaga Penelitian IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Tutik, Titik Triwulan. Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Dalam


(4)

190

Wahyukismoyo, Heru. Merajut Kembali Pemikiran Sultan Hamengkubuwono IX,

Yogyakarta: Dharma Karyadhika Publisher, 2008.

Widjaja, H.A.W. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, Jakarta: PT Rajagrafindo

Persada, 2002.

Winarna Surya, Adisubrata. Otonomi Daerah di Era Reformasi, Yogyakarta: UPP

AMP YKPN, 1999.

Winarsi, Sri. “Hukum Otonomi Daerah dalam Perspektif Filsafat Ilmu”,

Jurnal Konstitusi LKK Unair, Vol. 1, No.1, November 2008.

Wiyono, Suko. “Pemilu Multi Partai dan Stabilitas Peme- rintahan Presidensial

di Indonesia”, Jurnal Konstitusi Universitas Wisnuwardhana, 2009.

Yazid, Abdullah. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Malang: Avveroes Press,

2007.

Tesis :

Rahmiyati “DEMOKRASI MONARKI DALAM PANDANGAN SIYASAH

Septianingrum, Galuh Sistem Demokrasi Terhadap Penetapan Gubernur dan

Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.

Jurnal Hukum :

AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah Volume1, No 2, Mei 2013.

Jurnal hukum: Kajian Yuridis Pembentukan Pemerintah Daerah Propensi DIY berdasarkan No. 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY.

Jurnal hukum: Kajian Yuridis Pembentukan Pemerintah Daerah Propensi DIY berdasarkan No. 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY.


(5)

191

Legislatif” Jurnal Konsitusi Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Vol. II,

No. 1,Juni 2009.

Undang-undang :

Pasal 18 ayat (1c) UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Undang-undang Nomor 22 tahun 1948

Undang-undang nomor 3 tahun 1950.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah

Internet :

http://dppka.jogjaprov. go.id/document/infoyogyakarta.pdf.

http://dppka.jogjaprov.go.id/document/infoyogyakarta. pdf

http://dppka.jogjaprov.go.id/document/infoyogyakarta.pdf

http://hizbut-tahrir.or.id.

http://inginbegini-inginbegitu.blogspot.com

http://kpu.selumakab.go.id/publikasi/uu-no-8-th-2015-perubahan-atas-undang-undang-nomor tahun 2014.


(6)

192

http://kpu.selumakab.go.id/publikasi/uu-no-8-th-2015-perubahan-atas-undang-undang-nomor

http://lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=1 25:amandemen-uud-1945&catid=42:widyaiswara&Itemid=203

http://news.okezone.com/read/2010/11/29/337/398252/statement-sby-soal-yogya-picu-polemik.

http://rangkumanmateriips.blogspot.com, 2014.

http://www.birohukum.jogjaprov. go.id/document/infoyogyakarta.pdf http://www.kitapunya.net/2016/02/tujuan-amandemen-uud-1945.html

http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id= 131:amandemen-uud-1945&catid=42:widyaiswara&Itemid=203

http://www.pusakaindonesia.org/mpr-era-reformasi-telah-mengganti-uud-1945/ Artikel, Dudun Parwanto.

http:/www.cidesonline.org

hafish-brucelee.blogspot.com/2011/03/perubahan-amandemen-dan-konstitusi.html

Webster’s New Enciclopedic Dictionary. BD&L New York, 1993.