Hubungan antara job satisfaction dengan job insecurity pada karyawan.

(1)

Hubungan antara Job Satisfaction dengan Job Insecurity pada karyawan SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

Pandi Nurhadi B07213029

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2017


(2)


(3)

(4)

(5)

(6)

INTISARI

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara job satisfaction dengan job insecurity pada karyawan. Job satisfaction merupakan faktor yang mempengaruhi seseorang hingga mengalami kondisi job insecurity. Penelitian ini memiliki variabel bebas dan variabel terikat yaitu job satisfaction dan job insecurity. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif korelasi dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa skala job satisfaction dan skala job insecurity yang disusun oleh peneliti sendiri. Penelitian ini merupakan penelitian sampel. Subjek penelitian berjumlah 46 orang karyawan kontrak. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis product moment dengan taraf signifikansi 0.05. Hasil penelitian menunjukkan nilai korelasi p = 0.000 < 0.05 dan r = -0.821 > 0.291 artinya Ha diterima. Hal ini berarti terdapat hubungan antara job satisfaction dengan job insecurity pada karyawan. Berdasarkan hasil tersebut juga dapat dipahami bahwa korelasinya bersifat negatif sehingga menunjukkan adanya hubungan yang berbalik arah, artinya semakin tinggi job satisfaction maka semakin rendah job insecurity pada karyawan. Karyawan kontrak dengan job satisfaction yang tinggi maka mereka mampu mengontrol perilaku untuk mempertahankan usaha dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan perusahaan sehingga akan menurunkan job insecurity.


(7)

Abstrak

The purpose of this research is determining relationship between job satisfaction and job insecurity for employee. Job satisfaction is a factor that affects a person to experience job insecurity conditions. This research has independent variable and dependent variable that is job satisfaction and job insecurity. This research is a quantitative correlation research using data collection techniques in the form of job satisfaction scale and job insecurity scale compiled by the researcher himself. This research is a sample research. Subjects of this research are 46 employees of the contract. Data analysis technique is using product moment analysis with significance level of 0.05. The results shows the correlation value p = 0.000 <0.05 and r = -0.821> 0.291 means Ha accepted. It means there is a relationship between job satisfaction with job insecurity on employees. Based on these results we can understand the correlation is negative that shows a reversed relationship, it means that the higher job satisfaction the lower job insecurity on the employees. Employees contract with high job satisfaction are able to control the behavior to maintain the business in doing the tasks given by the company so they will decrease their job insecurity.


(8)

DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

Intisari ... xiv

Abstrak ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Peneitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Keaslian Peneitian ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 11

A. Job Insecurity ... 11

1. Pengertian Job Insecurity ... 11

2. Komponen Job Insecurity ... 15

3. Aspek-aspek Job Insecurity ... 16

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Job Insecurity ... 19

5. Konsekuensi Job Insecurity ... 21

B. Job Satisfaction ... 24

1. Pengertian Job Satisfaction ... 24

2. Teori Job Satisfaction ... 27

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Job Satisfaction ... 34


(9)

5. Aspek-aspek Job Satisfaction ... 49

C. Hubungan Job Insecurity dengan Job Satisfaction ... 52

D. Kerangka Teori ... 54

E. Hipotesis ... 56

BAB III METODDE PENELITIAN ... 57

A. Variabel dan Definisi Operasional ... 57

1. Variabel... 57

2. Definisi Operasional ... 58

B. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling ... 59

1. Populasi ... 59

2. Sampel ... 60

3. Teknik Sampling ... 60

C. Teknik Pengumpulan Data ... 61

1. Skala Job Insecurity ... 62

2. Skala Job Satisfaction ... 65

D. Validitas dan Reliabilitas ... 66

1. Vaiditas ... 66

2. Reiabiitas ... 67

E. Analisis ... 68

F. Uji Prasyarat... 69

1. Uji Normaitas... 69

2. Uji Linearitas ... 70

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 71

A. Deskripsi Subjek ... 71

1. Pengelompokan Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 71

2. Pengelompokan Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 72

3. Pengelompokan Subjek Penelitian Berdasarkan Status ... 72

4. Pengelompokan Subjek Penelitian Berdasarkan Lama Bekerja ... 73

B. Deskripsi dan Reliabilitas Data... 73


(10)

2. Reliabilitas Data ... 78

3. Uji Prasyarat ... 79

a. Uji Normalitas ... 79

b. Uji Linieritas ... 80

C. Hasil Penelitian ... 81

D. Pembahasan ... 82

BAB V PENUTUP ... 85

A. Simpulan ... 85

B. Saran ... 85

Daftar Pustaka ... 86 Lampiran


(11)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perusahaan adalah sebuah organisasi yang terdiri dari orang-orang yang memiliki tujuan yang sama disebut dengan pekerja atau karyawan. Hampir di semua perusahaan mempunyai tujuan yang sama yaitu memaksimalkan keuntungan perusahaan. Sumber daya manusia dalam organisasi memainkan peran yang sangat penting sebab keberhasilan perusahaan dalam mencapai tujuan tidak dapat dilepaskan dari peran karyawannya. Karyawan dalam suatu perusahaan bukan hanya sebagai objek dalam pencapaian tujuan saja tetapi lebih dari itu, karyawan sekaligus sebagai objek pelaku.

Di Perusahaan sekarang banyak yang memperkerjakan

karyawannya dengan sistem kontrak. Sistem kontrak ini membuat karyawan merasa kuatir apakah setelah selesai masa kontraknya dipekerjakan lagi atau tidak. Karyawan akan bekerja lebih hati-hati karena takut tidak akan dipekerjakan kembali.

Perusahaan sebagai salah satu bentuk organisasi sadar akan pentingnya karyawan sebagai sumber daya dan pelaksana kerja mengakibatkan besarnya perhatian terhadap pengembangan sistem kerja yang baik untuk mendukung tercapainya prestasi kerja.Pengontrolan terhadap performa kerja sangat dibutuhkan untuk membuat pekerja


(12)

2

perusahaan berjalan lebih baik lagi. Oleh karena hal tersebut sangat penting bagi perusahaan untuk meningkatkan prestasi kerja individu (karyawan).

Meningkatkan prestasi kerja individu (karyawan) yang ada dalam sebuah organisasi atau perusahaan bukan suatu hal yang mudah, untuk itu diperlukan perilaku yang menunjang. Perilaku tersebut tidak hanya yang sesuai dengan perannya saja, tetapi diharapkan lebih mencurahkan perilaku ekstra dari individu tersebut, seperti meluangkan waktu ekstra untuk membantu karyawan baru dalam melaksanakan pekerjaannya dan membantu karyawan lain dalam meyelesaikan tugas-tugas tanpa memperoleh imbalan. Di sini diperlukan sumber daya manusia yang sangat mempengaruhi sumber daya yang lain. Sebagai contoh bila suatu perusahaan mempunyai alat yang canggih maka alat itu tidak akan memiliki daya guna bila samber daya manusianya tidak dapat menjalankannya. Seperti halnya bila seorang mempunyai modal yang banyak tetapi sumber daya manusianya tidak bisa menjalankan bisnisnya maka modal tersebut akan habis dengan sendirinya.

Sumber daya manusia mempunyai fungsi yang sangat besar untuk keberlangsungan perusahaan. Fungsi sumber daya manusia di dalam perusahaan harus mampu untuk menjadi mitra kerja yang dapat diandalkan, baik oleh para pimpinan, maupun manajer lini. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Stoner (dalam Smithson & Lewis, 2000) yang menyatakan bahwa para manajer sumber daya manusia saat ini berada dalam tekanan yang tinggi untuk menjadi mitra bisnis strategis. Diharapkan


(13)

3

dengan adanya sumber daya manusia dapat meningkatkan kinerja karyawan (dalam halungguan 2015).

Setiap perusahaan ingin karyawannya memiliki kemampuan produktivitas yang tinggi dalam bekerja. Ini merupakan keinginan yang ideal bagi perusahaan yang berorientasi pada keuntungan semata, sebab bagaimana mungkin perusahaan memperoleh keuntungan apabila di dalamnya diisi oleh orang-orang yang tidak produktif. Namun terkadang perusahaan tidak mampu membedakan mana karyawan yang produktif dan mana yang tidak produktif. Hal ini disebabkan perusahaan kurang memiliki

sense of business yang menganggap karyawan sebagai investasi yang akan memberikan keuntungan.

Perusahaan lebih terfokus pada upaya pencapaian target produksi dan keinginan menjadi pemimpin pasar. Akibatnya, perusahaan menjadikan karyawan tak ubahnya seperti mesin, ironisnya lagi mesin tersebut tidak dirawat atau diperlakukan dengan baik. Selain itu karyawan memiliki berbagai persoalan di dalam organisasi. (dalam halungguan, 2015)

Menurut Burchel (dalam Pradiansyah, 1999), salah satu hubungan antara pekerjaan dan kondisi mental seseorang adalah job insecurity

(ketidakamanan kerja). Menurut Burchel, job insecurity adalah kondisi di mana seseorang yang bekerja tetapi mengalami gangguan psikologis. Gangguan psikologis dalam pekerjaan tersebut dapat muncul sebagai atmosfer lingkungan pekerjaan yang tidak mendukung, dimana adanya ketidakpastian dan kekhawatiran tentang keberlanjutan pekerjaan mereka di


(14)

4

dalam suatu organisasi. Greenhalgh dan Rosenblatt (1984) menyatakan bahwa job insecurity merupakan ketidakberdayaan untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam kondisi kerja yang terancam termasuk dengan berbagai perubahan dalam organisasi.

Job insecurity merupakan suatu tingkat yang menunjukkan bahwa para pekerja merasa pekerjaannya merasa terancam dan merasa tidak berdaya untuk melakukan apapun terhadap situasi tersebut (Ashford et al, 1989) dalam Wijayanti, Munawir, Aditya.

Penelitian tentang pengaruh job insecurity dengan occupational self efficacy menunjukan hubungan yang negatif pada kedua variabel tersebut, (dalam Halungunan 2015)

Karyawan adalah manusia yang mempunyai sifat kemanusiaan, perasaan dan kebutuhan yang beranekaragam. Kebutuhan ini bersifat fisik maupun non fisik yang harus dipenuhi agar dapat hidup secara layak dan manusiawi. Hal ini menyebabkan timbulnya suatu pendekatan yang berdasarkan pada kesejahteraan karyawan dalam manajemen personalia. Karyawan harus mendapatkan perlakuan sedemikian rupa sehingga kerjasama antara pimpinan dan karyawan sebagai bawahan dapat terjalin dengan baik. Bila hubungan terjalin baik maka mudah untuk mencapai tujuan perusahaan yang telah ditentukan.

Untuk menjalin kerjasama yang baik antara pimpinan dan karyawan, antara kedua pihak harus saling mengerti tentang kepentingan


(15)

5

masing dalam perusahaan. Untuk itu diperlukan komunikasi yang baik antara pimpinan dan karyawan mengingat peranan komunikasi sangat besar untuk keberhasilan suatu perusahaan dalam mencapai tujuan yang telah digariskan.

Sebagai manusia, karyawan juga mempunyai tujuan sehingga diperlukan suatu integrasi antara tujuan perusahaan dengan tujuan karyawan. Untuk mengusahakan integrasi antara tujuan perusahaan dan tujuan karyawan, perlu diketahui apa yang menjadi kebutuhan masing-masing pihak. Kebutuhan karyawan diusahakan dapat terpenuhi melalui pekerjaannya. Apabila seorang karyawan sudah terpenuhi segala kebutuhannya maka dia akan mencapai job satisfaction dan memiliki komitmen terhadap perusahaan.

Tingginya komitmen karyawan dapat mempengaruhi usaha suatu perusahaan secara positif. Adanya komitmen akan membuat karyawan mendukung semua kegiatan perusahaan secara aktif, ini berarti karyawan akan bekerja lebih produktif. Penelitian menyatakan bahwa job satisfaction

dan komitmen organisasional cenderung mempengaruhi satu sama lain. Karyawan yang relatif puas dengan pekerjaannya akan lebih berkomitmen pada organisasi dan karyawan yang berkomitmen terhadap organisasi lebih mungkin mendapat kepuasan yang lebih besar (Mathis dan Jackson, 2001). Karyawan yang mendapat kepuasan dalam pekerjaannya akan bekerja dengan maksimal sehingga kemungkinan adanya perpanjangan kontrak akan selalu ada. Namun khusus bagi mereka yang kinerjanya tidak


(16)

6

maksimal akan berakibat pada tidak adanya perpanjangan kontrak atau berakhirnya hubungan kerja.

PT. Karya Mitra Budi Sentosa adalah perusahaan manufaktur yang memproduksi sepatu yang sembian puluh persen dieksport ke luar negeri. Pasar ekspornya mencakup Singapura, Australia, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Belanda, Portugal, Spanyol, Swiss, AS, Inggris, Jepang, Rusia, Belgia, Hong Kong dan Taiwan. Dalam setahun ia memproduksi sepatu sebanyak 2,5 juta pasang. Untuk pasar lokal, sejak 1996, Karyamitra mengeluarkan sejumlah merek, yaitu Rotelli, Gosh dan Bellagio.

Karyawan produksi PT. Karya mitra terbagi dalam beberapa bagian atau devisi yakni jahit, PKT, lasting, assembling, cutting skiving stitching dan bottom. Masing-masing bagian mempunyai pekerjaan yang berbeda, mereka mempunyai target dalam sehari.

Berdasarkan studi awal yang dilakukan dengan wawancara bahwa karyawan merasa dirinya takut kalau tidak dipanggil kembali setelah masa kontraknya habis. Mereka dibayang-banyangi rasa takut tidak bekerja kembali dan tidak mengerti harus bagaimana. Apalagi adanya target membuat karyawan merasa terbebani bila tidaak memenuhi target tersebut sehingga menjadi ancaman bagi karyawan.

Semakin besar ancaman karyawan untuk diberhentikan maka akan semakin meningkatkan jobinsecurity yang dirasakan karyawan yang juga berdampak pada semakin tingginya keinginan berpindah karyawan. Bila


(17)

7

keinginan berpindah karyawan semakin meningkat maka kemungkinan terjadinya turnover karyawan akan semakin besar, dan hal tersebut sangat merugikan perusahaan karena akan terjadi ketidakstabilan kondisi tenaga kerja, dan produktivitas yang semakin menurun. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu penelitian untuk menguji job satisfaction dengan job insecurity pada karyawan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah yang dapat disimpulkan yaitu “apakah terdapat hubungan antara job satisfaction

dengan job insecurity pada karyawan?” C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan antara

job satisfaction dengan job insecurity pada karyawan D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini yaitu : 1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam pengembangan keilmuan Psikologi Industri dan Organisasi terutama bidang job insecurity dan job satisfaction.

2. Manfaat Praktis


(18)

8

a. Bagi Mahasiswa

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai

job insecurity dan job satisfaction. Kepada mahasiswa khusunya mahasiswa semester akhir.

b. Bagi peneliti selanjutnya

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan referensi bagi peneliti selanjutnya yang meneliti tentang job insecurtity dan job satisfaction.

c. Bagi Perusahaan

Penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada perusahaan agar dapat meningkatkan kinerja karyawan sekaligus produktivitas karyawan.

E. Keaslian Penelitian

1. Penelitian yang dilakukan oleh Dian Tri Utami pada tahun 2008 Hasil dari penelitian ini yaitu terdapat huhungan yang negatif yang signifikan antar job insecurity denganjob satisfaction. Perbedaan dari penelitian yang sekarang dengan yang terdahuu terdpat pada subjek penelitian dan lokasi penelitian dan berbeda posisi variabelnya.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Yohana Dwi Yunanti dan Sumbodo Prabowo pada tahun 2014, Hasil dari penelitian ini yaitu terdapat hubungan negatif yang signiikan antara Komitmen organisasi dengan

job insecurity. Perbedaan penelitian sekarang dengan penelitian sebelumnya terdapat pada lokasi dan subyek penelitian, serta variabel


(19)

9

yang akan diteliti, penelitian yang sekarang hanya menggunakan dua variabel yakni job satisfaction dan job insecurity.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Triantoro Safaria pada tahun 2011, dalam penelitian ini memiliki persamaan salah satu variabel. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa job insecurity memiliki efek terhadap peningkatan stres kerja di kalangan staf akademik, sedangkan religious coping memiliki peran yang signifikan sebagai moderator terhadap stres kerja. Perbedaan penelitian sekarang dengan penelitian sebelumnya terdapat pada lokasi dan subyek penelitian, serta variabel yang akan diteliti, penelitian yang sekarang hanya menggunakan dua variabel yakni job satisfaction dan job insecurity.

4. Penelitian yang dilakukan oleh Hadia Halungunan pada tahun 2011, dalam penelitian ini memiliki persamaan salah satu variabel. Hasil dari penelitian ini yaitu terdapat hubungan negatif yang signiikan antara Job insecurity terhadap occupationalsef efficacy. Perbedaan penelitian sekarang dengan penelitian sebelumnya terdapat pada lokasi dan subyek penelitian, serta variabel yang akan diteliti, penelitian yang sekarang hanya menggunakan dua variabel yakni job satisfaction dan job insecurity.

5. Penelitian yang dilakukan oleh Iman Sukhirman Andi Supandi pada tahun 2012, dalam penelitian ini memiliki persamaan salah satu variabel. Hasil dari penelitian ini yaitu terdapat hubungan positif yang signiikan antara Psychological Capital Dengan Job satisfaction.


(20)

10

Perbedaan penelitian sekarang dengan penelitian sebelumnya terdapat pada lokasi dan subyek penelitian, serta variabel yang akan diteliti, penelitian yang sekarang hanya menggunakan dua variabel yakni job satisfaction dan job insecurity.


(21)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Job Insecurity

1. Pengertian Job Insecurity

Menurut Greenhalgh dan Rosenblatt (1984) job insecurity adalah ketidakberdayaan untuk mempertahankan kelanjutan pekerjaan karena ancaman situasi dari suatu pekerjaan. Sementara itu, Hartley, Jacobson, Klandermans, dan Van Vuuren (dalam Sverke & Hellgren, 2002) mengatakan bahwa job insecurity adalah ketidakamanan yang dirasakan seseorang akan kelanjutan pekerjaan dan aspek-aspek penting yang berkaitan dengan pekerjaan itu sendiri. Sedangkan Sverke dan Hellgren (2002) mengungkapkan bahwa job insecurity adalah pandangan subjektif seseorang mengenai situasi atau peristiwa yang mengancam pekerjaan di tempatnya bekerja dalam Halungunan (2015).

Greenhalgh dan Rosenblatt (1984) menyatakan bahwa job insecurity merupakan ketidakberdayaan untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam kondisi kerja yang terancam termasuk dengan berbagai perubahan dalam organisasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sverke, Hellgren, & Naswal (dalam Utami, 2008) ditemukan bahwa job insecurity mempunyai beberapa dampak pada karyawan dan organisasi dalam jangka pendek dan


(22)

12

jangka panjang. Menurutnya, dalam jangka pendek job insecurity akan berdampak terhadap job satisfaction, keterlibatan kerja, komitmen organisasi, dan kepercayaan pada pemimpin. Dalam jangka panjang akan berdampak terhadap kesehatan fisik, kesehatan mental, performansi kerja, dan itensi turnover dalam Wijayanti, Munawir, Aditya.

Kehidupan kerja telah berubah sebagai akibat persaingan global yang semuanya mempengaruhi organisasi dan pekerjaan (Hellgren, Sverke, dan Isaksoon, 1999). Kondisi ini dapat menjadi ancaman bagi karyawan dan menimbulkan rasa tidak aman dalam bekerja. Ketidakamanan dalam bekerja disebut dengan istilah job insecurity. Job insecurity merupakan suatu tingkat yang menunjukkan bahwa para pekerja merasa pekerjaannya merasa terancam dan merasa tidak berdaya untuk melakukan apapun terhadap situasi tersebut (Ashford et al, 1989) dalam Wijayanti, Munawir, Aditya.

Job insecurity berkaitan dengan persepsi dan kekhawatiran individu tentang adanya potensi kehilangan pekerjaan secara tiba-tiba (De Witte 1999; Heaney et al. 1994). Greenhalgh & Rosenblatt (1984) mendefinisikan job insecurity sebagai perasaan kehilangan kendali untuk mempertahankan keberlangsungan pekerjaan dalam situasi yang mengancam. Job insecurity muncul berdasarkan persepsi dan interpretasi individu atas lingkungan kerjanya saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman


(23)

13

subjektif individu muncul sebagai akibat adanya ancaman nyata yang dihadapinya di lingkungan kerja melalui proses persepsi kognitif (Borg & Elizur, 1992) dalam Triantoro (2011).

Smithson dan Lewis (2000) mengartikan job insecurity sebagai kondisi psikologis seseorang (karyawan) yang menunjukkan rasa bingung atau merasa tidak aman dikarenakan kondisi lingkungan yang berubah-ubah (perceived impermanance). Kondisi ini muncul karena banyaknya jenis pekerjaan yang sifatnya sesaat atau pekerjaan kontrak. Makin banyaknya jenis pekerjaan dengan durasi waktu yang sementara atau tidak permanen menyebabkan semakin banyaknya karyawan yang mengalami job insecurity (Smithson & Lewis, 2000) dalam Halungunan (2015).

Heaney, Israel, & House (1994) mendefinisikan job insecurity sebagai persepsi individu terhadap adanya potensi ancaman keberlangsungan pekerjaannya saat ini. Sedangkan Hartley, Jacobson, Klandermans and van Vuuren (1991) mendefinisikan job insecurity sebagai adanya kesenjangan antara tingkatan rasa aman yang dialami individu saat ini dengan tingkatan rasa aman yang diinginkan individu dalam Triantoro (2011).

Wening (2005) mengartikan job insecurity sebagai kondisi ketidakberdayaan untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam situasi kerja yang mengancam. Job insecurity juga diartikan sebagai perasaan tegang, gelisah, khawatir, stres, dan


(24)

14

merasa tidak pasti dalam kaitannya dengan sifat dan keberadaan pekerjaan yang dirasakan para pekerja. Job insecurity adalah suatu gejala psikologis yang berkaitan dengan persepsi para pekerja terhadap masa depan mereka di tempat kerja yang penuh ketidakpastian (Pradiansyah, 1999). Lebih lanjut Hui dan Lee (dalam Partina, 2002) mendefenisikan job insecurity sebagai kurangnya kontrol untuk menjaga kelangsungan atau kontinuitas dalam situasi pekerjaan yang terancam dalam Halungunan (2015).

Greenglass (2002) menjelaskan job insecurity sebagai kondisi yang berhubungan dengan rasa takut seseorang akan kehilangan pekerjaannya atau prospek akan demosi atau penurunan jabatan serta berbagai ancaman lainnya terhadap kondisi kerja yang berasosiasi dengan menurunnya job satisfaction. Job insecurity juga dapat didefinisikan sebagai ketidakamanan yang dihasilkan dari ancaman terhadap kontinuitas atau keberlangsungan kerja seseorang (Reisel, 2002) dalam Halungunan (2015)

Berdasarkan pengertian-pengertian dari para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa job insecurity adalah perasaan tidak aman, gelisah, dan khawatir, serta rasa ketidakberdayaan yang dialami karyawan terhadap situasi yang ada dalam organisasi di tempat kerja akan kelangsungan pekerjaan dimasa yang akan datang


(25)

15

2. Komponen Job Insecuriry

Ashford et al., (1989) mengembangkan pengukuran dari konsep job insecurity yang dikemukakan oleh Greenhalgh dan Rosenblatt dan menyatakan bahwa komponen job insecurity adalah:

a. Arti pekerjaan itu bagi individu. Seberapa penting aspek kerja tersebut bagi individu mempengaruhi tingkat insecure atau rasa tidak amannya dalam bekerja. Seberapa penting karyawan menganggap bagian-bagian (aspek) pekerjaan seperti gaji, jabatan, promosi, dan lingkungan kerja yang nyaman dapat mempengaruhi tingkat keamanan dan kenyamanan individu dalam menjalankan pekerjaan. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa aspek ini sebagai arti penting aspek kerja bagi karyawan.

b. Tingkat ancaman yang dirasakan karyawan mengenai aspek-aspek pekerjaan seperti kemungkinan untuk mendapat promosi, mempertahankan tingkat upah yang sekarang, atau memperoleh kenaikan upah. Individu yang menilai aspek kerja tertentu yang terancam (terdapat kemungkinan aspek kerja tersebut akan hilang) akan lebih gelisah dan merasa tidak berdaya. Seberapa besar kemungkinan yang dirasakan karyawan terhadap perubahan (kejadian negatif) yang mengancam bagian-bagian (aspek) pekerjaan. Berdasarkan uraian tersebut maka dengan kata lain dapat dikatakan bahwa aspek ini adalah kemungkinan perubahan negatif pada bagian-bagian (aspek) kerja.


(26)

16

c. Tingkat ancaman kemungkinan terjadinya peristiwa-peristiwa yang secara negatif mempengaruhi keseluruhan kerja individu, misalnya dipecat atau dipindahkan ke kantor cabang yang lain. Dengan kata lain dapat dikatakan arti penting keseluruhan kerja bagi karyawan. d. Tingkat kepentingan-kepentingan yang dirasakan individu

mengenai potensi setiap peristiwa tersebut. Seperti tingkat kekhawatiran individu untuk tidak mendapatkan promosi atau menjadi karyawan tetap dalam suatu perusahaan. Seberapa besar kemungkinan perubahan negatif pada keseluruhan kerja yang dirasakan karyawan dalam keadaan terancam.

e. Ketidakberdayaan (powerlessness) yaitu ketidakmampuan individu untuk mencegah munculnya ancaman yang berpengaruh terhadap aspek-aspek pekerjaan dan pekerjaan secara keseluruhan yang teridentifikasi pada empat komponen sebelumnya dalam Halungunan (2015).

3. Aspek-aspek Job Insecurity

Rowntree (2005) menambahkan aspek-aspek job insecurity sebagai berikut:

a. Ketakutan akan kehilangan pekerjaan, karyawan yang mendapat ancaman negatif tentang pekerjaannya akan memungkinkan timbulnya job insecurity pada karyawan begitu pula sebaliknya. b. Ketakutan akan kehilangan status sosial dimasyarakat. Individu


(27)

17

insecurity yang tinggi dibanding yang tidak merasa terancam mengenai pekerjaannya.

c. Rasa tidak berdaya. Karyawan yang kehilangan pekerjaan akan merasa tidak berdaya dalam menjalankan pekerjaannya.

Lebih lanjut Suwandi dan Indriantoro (1999) berdasarkan hasil studi sebelumnya menambahkan bahwa dimensi job insecurity adalah sebagai berikut:

a. Kondisi pekerjaan.

Merupakan lingkungan kerja yang kurang mendukung dan tingginya beban kerja yang dirasakan individu pada saat bekerja. b. Pengembangan karir.

Merupakan tingkat dimana individu merasa kesulitan dalam mengembangkan karir dan adanya ketidakjelasan mengenai jenjang karir individu dalam suatu organisasi atau perusahaan.

c. Konflik peran.

Ketika seorang individu dihadapkan dengan ekspetasi peran yang berlainan, hasilnya adalah konflik peran (role conflict). Konflik ini muncul ketika seorang individu menemukan bahwa untuk memenuhi syarat satu peran dapat membuatnya lebih sulit untuk memenuhi peran lain. Pada tingkat ekstren, hal ini dapat meliputi situasi–situasi dimana dua atau lebih ekspetasi peran saling bertentangan. Dimensi ini merupakan pertentangan antara tugas dan tanggung jawab dan tuntutan-tuntutan perusahaan yang dirasa


(28)

18

bertentangan dengan tanggung jawab karyawan dalam bekerja. d. Ketidakjelasan peran.

Seperti ketidakjelasan tugas, wewenang, dan tanggung jawab terhadap pekerjaan.

e. Perubahan organisasi.

Merupakan berbagai kejadian yang yang secara potensial dapat mempengaruhi sikap dan persepsi karyawan sehingga dapat menyebabkan perubahan yang signifikan dalam organisasi. Kejadian-kejadian tersebut antara lain meliputi merger, perampingan (downsizing), reorganisasi, teknologi baru, dan pergantian manajemen yang terjadi di dalam suatu organisasi. f. Pusat pengendalian (locus of control).

Merupakan tingkat dimana individu yakin bahwa mereka adalah penentu nasib mereka sendiri. Internal (internal) adalah individu yang yakin bahwa mereka merupakan pemegang kendali atas apapun yang terjadi pada diri mereka. Eksternal (exsternal) adalah individu yang yakin bahwa apapun yang terjadi pada diri mereka dikendalikan oleh kekuatan luar seperti keberuntungan atau kesempatan. Lokus kendali merupakan suatu indikator evaluasi inti diri karena individu yang berfikir bahwa mereka kurang memiliki kendali atas hidup mereka cenderung kurang memilki kepercayaan diri.


(29)

19

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini akan digunakan komponen job insecurity yang dikemukakan oleh Ashford et al., (1989) karena dirasa sesuai dengan keadaan lapangan yang akan diteliti, yaitu: kemungkinan perubahan negatif pada aspek kerja, arti penting aspek kerja, arti penting keseluruhan kerja, kemungkinan perubahan negatif pada keseluruhan kerja, dan ketidakberdayaan (powerlessness) dalam Halungunan (2015). 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Job Insecurity

Robbins (dalam Setiawan, 2009) mengemukakan faktor-faktor penyebab job insecurity adalah karakteristik individu itu sendiri yang meliputi:

a. Umur

Bertambahnya umur seseorang individu maka akan semakin berkurang produktivitasnya dan akan menimbulkan job insecurity pada diri individu tersebut.

b. Status perkawinan

c. Kesesuaian antara kepribadian dan pekerjaan.

Apabila karyawan merasa tidak sesuai atau merasa tidak cocok dengan pekerjaan yang dilakukannya maka karyawan akan merasa tidak aman atau mengalami job insecurity.

d. Tingkat job satisfaction.

Setiap individu memiliki tingkat job satisfaction yang berbeda-beda sehingga apabila terdapat seorang individu yang


(30)

20

sudah puas dengan hasil kerjanya maka belum tentu individu lainnya merasa puas, sehingga individu yang merasa tidak puas tersebut dapat mengalami job insecurity.

Burchell (1999) menyebutkan bahwa job insecurity dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu:

a. Faktor subyektif yang berhubungan dengan konsekuensi-konsekuensi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) seperti kemudahan mencari pekerjaan baru, karakteristik dari pekerjaan yang baru serta pengalaman menjadi pengangguran.

b. Faktor obyektif seperti stabilitas pekerjaan, masa kerja, tingkat retensi atau daya tahan kerja karyawan.

Lebih lanjut, Ashford (1989) mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi job insecurity adalah:

a. Konflik peran, berhubungan dengan dua rangkaian tuntutan pekerjaan yang bertentangan pada individu.

b. Ketidakjelasan peran yaitu masalah yang timbul dalam pekerjaan karena kurangnya struktur yang jelas.

c. Locus of control, keyakinan individu tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidup.

d. Perubahan organisasi yaitu perubahan lingkungan bisnis yang harus diadaptasi oleh pihak perusahaan untuk mengikuti perubahan.


(31)

21

Greenhalgh dan Rosenblatt (1984) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi job insecurity berada pada level atau tingkatan yang berbeda, yaitu:

a. Kondisi lingkungan dan organisasional, misalnya komunikasi organisasional dan perubahan organisasional. Perubahan organisasional yang terjadi antara lain dengan dilakukannya down-sizing, restrukturisasi, dan merger oleh perusahaan.

b. Karakteristik individual dan jabatan, yaitu: umur, gender, status sosial ekonomi, pendidikan, posisi pada perusahaan, dan pengalaman kerja sebelumnya.

c. Karakteristik personal karyawan, misalnya: locus of control, self-esteem, dan rasa kebersamaan.

Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi job insecurity terdiri dari karakteristik demografi, karakteristik pekerjaan, karakteristik individual, ketidakjelasan peran, kondisi lingkungan kerja, perbedaan individual, dan perubahan organisasi dalam Halungunan (2015). 5. Konsekuensi Job Insecurity

Dari hasil beberapa studi yang dilakukan, ditemukan adanya pengaruh job insecurity terhadap karyawan (Sverke & Hellgren, 2002), diantaranya:

a. Meningkatnya ketidakpuasan dalam bekerja b. Meningkatnya gangguan fisik


(32)

22

c. Meningkatnya gangguan psikologis. Penurunan kondisi kerja seperti rasa tidak aman (insecure) menurunkan kualitas individu bukan dari pekerjaannya semata, namun juga mengarahkan pada munculnya rasa kehilangan martabat (demotion) yang pada akhirnya menurunkan kondisi psikologis dari karyawan yang bersangkutan. Jangka panjangnya akan muncul ketidakpuasan dalam bekerja dan akan mengarah pada intensi turnover.

d. Karyawan cenderung menarik diri dari lingkungan kerjanya. e. Makin berkurangnya komitmen organisasi. Job insecurity juga

mempengaruhi komitmen kerja dan perilaku kerja.

f. Peningkatan jumlah karyawan yang berpindah (employee turnover).

Job insecurity tidak hanya berdampak pada diri karyawan saja, melainkan terhadap organisasi atau perusahaan dimana tenaga kerja tersebut bekerja. Berikut ini merupakan dampak-dampak yang berpotensi muncul karena job insecurity (dalam Irene, 2008).

a. Stres

Job insecurity dapat menimbulkan rasa takut, kehilangan kemampuan, dan kecemasan. Pada akhirnya, jika hal ini dibiarkan berlangsung lama karyawan dapat menjadi stres akibat adanya rasa tidak aman dan ketidakpastian akan kelangsungan pekerjaan.


(33)

23

b. Job satisfaction.

Job insecurity memberikan pengaruh terhadap job satisfaction. Karyawan yang merasa dirinya tidak aman (insecure) tentang kelangsungan pekerjaan mereka, cenderung merasa tidak puas dibandingkan mereka yang merasakan kepastian masa depan pekerjaan mereka.

c. Komitmen dan rasa percaya karyawan terhadap perusahaan. Job insecurity memiliki hubungan yang negatif dengan komitmen kerja dan rasa percaya karyawan terhadap perusahaan. Hal ini disebabkan karena karyawan merasa kehilangan kepercayaan akan nasib mereka pada perusahaan dan lama kelaman ikatan antara karyawan dan organisasi menghilang. d. Motivasi kerja

Hasil penelitian mengenai job insecurity dan work intensification yang dilakukan oleh Universitas Cambridge dan ESRC Centre for Bussiness Research menunjukkan individu dengan job insecurity tinggi memiliki motivasi yang lebih rendah dibandingkan individu yang job insecurity-nya rendah. Pengurangan jumlah karyawan yang dilakukan perusahaan juga didapatkan hasil bahwa karyawan mengalami penurunan motivasi, semangat, rasa percaya diri, dan kesetiaan, serta terjadi peningkatan stres, skeptis, dan kemarahan.


(34)

24

Oleh karena itu, maka dapat disimpulkan bahwa job insecurity merupakan hal yang perlu diperhatikan, karena tidak hanya berdampak pada diri karyawan, melainkan juga pada organisasi atau perusahaan tempat karyawan bekerja. Reaksi-reaksi yang diberikan oleh karyawan dalam bekerja akan dapat mempengaruhi efektivitas organisasi pula (Greenhalgh & Rosenblatt, 1984).

B. Job Satisfaction

1. Pengertian Job Satisfaction

Robbins (2003) berpendapat bahwa job satisfaction merupakan suatu sikap umum terhadap pekerjaan seseorang, selisih antara banyaknya ganjaran yang diterima dengan banyaknya yang mereka yakini untuk seharusnya diterima.

Kemudian Robbins & Judge (2008) menjelaskan bahwa job satisfaction dapat didefinisikan sebagai suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya.

Keith Davis mengemukakan job satisfaction adalah perasaan menyokong atau tidak menyokong yang dialami pegawai dalam mengerjakan pekerjaannya. Sedangkan Wexley dan Yulk mendefinisikan job satisfaction sebagai “is the way an employee feels about his her job” atau cara pegawai merasakan dirinya atau pekerjaannya. (Mangkunegara 1993).


(35)

25

As’ad (2008) menjelaskan bahwa job satisfaction adalah perasaan seseorang terhadap pekerjaannya yang berarti bahwa konsepsi job satisfaction semacam ini melihat job satisfaction itu sebagai hasil interaksi manusia dengan lingkungan kerjanya, yang merupakan perbedaan individu (individual differences) maupun situasi lingkungan kerja. Disamping itu, perasaan merupakan refleksi dari sikapnya terhadap pekerjaannya.

Howell dan Dipboye (1986) mengungkapkan bahwa job satisfaction sebagai hasil keseluruhan dari derajat rasa suka atau tidak sukanya tenaga kerja terhadap berbagai aspek dari pekerjaannya. Dengan kata lain job satisfaction mencerminkan sikap tenaga kerja terhadap pekerjaannya (dalam Munandar 2010).

Menurut Siegel dan Lane (dalam Kurniawati, 2006) menerima batasan yang diberikan oleh locke, yaitu: bahwa job satisfaction adalah : “the appraisal of one’s job as attaining or allowing the attainment of one’s important job values are congruent with or help fulfill one ’s basic needs”. Secara singkat, tenaga kerja yang puas dengan pekerjaannya merasa senang dengan pekerjaannya. Dari penjelasan tersebut locke menyimpulkan adanya dua unsur yang penting dalam job satisfaction, yaitu nilai - nilai pekerjaan dan kebutuhan-kebutuhan dasar. Nilai-nilai pekerjaan merupakan tujuan-tujuan yang ingin


(36)

26

dicapai dalam melakukan tugas pekerjaan. Yang ingin dicapai ialah nilai-nilai pekerjaan yang dianggap penting oleh individu. Dikatakan selanjutnya bahwa nilai-nilai pekerjaan harus sesuai atau membantu pemenuhan-pemenuhan kebutuhan dasar.

Kofach (dalam Yuwono, 2006) menyatakan bahwa job satisfaction lebih dikenal sebagai komponen dari komitmen organisasi mempunyai arti sebagai keadaan yang menyenangkan bagi seseorang sebagai akibat dari telah sesuaianya nilai-nilai diri dengan pekerjaan bahkan telah diaplikasikan dengan baik. Kowell dan Dipbooye (dalam Sunyoto, 2004) memandang job satisfaction sebagai hasil keseluruhan dari derajat rasa suka atau tidak sukanya tenaga kerja terhadap aspek dari pekerjaannya. Dengan kata lain job satisfaction mencerminkan sikap tenaga kerja terhadap pekerjaannya.

Menurut Mullins (1999) job satisfaction adalah sikap, suatu keadaan internal. Dia menyatakan lebih lanjut bahwa job satisfaction dapat dikaitkan dengan perasaan pribadi, prestasi, baik kuantitatif atau kualitatif (Igbeneghu & Popoola S.O 2011)


(37)

27

Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa job satisfaction adalah perasaan positif seorang terhadap pekerjaannya yang merupakan hasil interaksi antara dirinya dengan lingkungan kerjanya, yang mencakup aspek-aspek dari pekerjaan diantaranya masalah upah, kondisi sosial, kondisi fisik dan kondisi psikis.

2. Teori job Satisfaction

Menurut Munandar (2010) mengemukakan bahwa terdapat beberapa teori yang berkaitan dengan job satisfaction antara lain: a.Teori Pertentangan (Discrepancy Theory)

Teori pertentangan dari Locke menyatakan bahwa kepuasan atau ketidakpuasan terhadap beberapa aspek dari pekerjaan mencerminkan penimbangan dua nilai:

1) Pertentangan yang dipersepsikan antara apa yang diinginkan seseorang individu dengan apa yang dia terima.

2) Pentingnya apa yang diinginkan bagi individu. Job satisfaction secara kaseluruhan bagi seorang individu adalah jumlah dari job satisfaction dari setiap aspek pekerjaan dikalikan dengan derajat pentingnya aspek pekerjaan bagi individu. Misalnya untuk seseorang tenaga kerja, satu aspek dari pekerjaanya (peluang untuk maju) sangat penting, lebih penting dari aspek-aspek pekerjaan lain (penghargaan), maka untuk tenaga kerja tersebut kemajuan harus dibobot lebih tinggi dari pada penghargaan.


(38)

28

Menurut Locke (1998) seseorang individu akan merasa puas atau tidak puas merupakan sesuatu yang pribadi, tergantung bagaimana ia mempersepsikan adanya kesesuaian atau pertentangan antara keinginan-keinginannya dan hasil keluarannya. Tambahan waktu libur akan menunjang kepuasan tenaga kerja yang menikmati waktu luang setelah bekerja, tetapi tidak akan menunjang job satisfaction seseorang tenaga kerja lain yang merasa waktu luangnya tidak dapat dinikmati. Contohnya, seorang yang berkepribadian type workaholic atau seseorang yang kecanduan kerja tidak akan senang jika mendapat waktu libur tambahan.

b.Model dari Kepuasan Bidang/ Bagian (Racet Satisgaction)

Model Lawler dari kepuasan bidang berkaitan erat dengan teori keadilan dari Adams. Menurut model lowler orang akan puas dengan bidang tertentu dari pekerjaan mereka (misalnya dengan rekan kerja, atasan, gaji ) jika jumlah dari pekerjaan mereka persepsikan harus mereka terima untuk melaksanakan kerja mereka sama dengan jumlah yang mereka persepsikan dari yang secara aktual mereka terima. Contoh persepsi seorang tenaga kerja terhadap jumlah honorarium yang seharusnya ia terima berdasarkan unjuk kerjanya dengan persepsikan tentang honorarium yang secara aktual ia terima. Jika individu mempersepsikan jumlah yang ia terima sebagai lebih besar dari pada yang sepatutnya ia terima,


(39)

29

ia akan merasa salah dan tidak adil. Sebaliknya jika ia mempersepsikan bahwa yang ia terima kurang dari yang sepatutnya ia terima, ia akan merasa tidak puas.

Menurut Lawler, jumlah dari bidang yang dipersepsikan orang sebagai sesuai tergantung dari bagaimana orang memper- sepsikan masukan pekerjaan, ciri-ciri pekerjaannya dan bagaimana mereka mempersepsikan masukan dan keluaran dari orang lain yang dijadikan perbandingan bagi mereka. Tambahan lagi, jumlah dari bidang yang dipersepsikan orang dari apa yang secara aktual mereka terima tergantung dari hasil keluaran secara aktual mereka terima dan hasil keluaran yang dipersepsikan orang dengan siapa mereka bandingkan diri mereka sendiri. Cara menentukan tingkat job satisfaction tenaga kerja, Lawler memberikan nilai bobot kepada setiap bidang sesuai dengan nilai pentingnya bagi individu, ia kemudian mengkombinasi semua skor kepuasan bidang yang dibobot kedalam satu skor total.

c.Teori Proses Bertentangan (Opponent-Proscess Theori)

Teori proses bertentangan dari Landy memandang job satisfaction dari perspektif yang berbeda secara mendasar dari pada pendekatan yang lain. Teori ini menekankan bahwa orang ingin mempertahankan suatu keseimbangan emosional (emotional equilibrium). Teori proses bertentangan mengasumsikan bahwa kondisi emosional yang ekstrim tidak memberikan kemasalahan.


(40)

30

Kepuasan atau ketidakpuasan kerja (dengan emosi yang berhubungan) memacu mekanisme fisiologikal dalam sistem pusat saraf yang membuat aktif emosi yang bertentangan atau berlawanan.

Dihipotesiskan bahwa emosi yang berlawanan, meskipun lebih yang asli akan terus ada dalam jangka waktu yang lebih lama. Teori ini menyatakan bahwa jika orang memperoleh ganjaran pada pekerjaan, mereka marasa senang, sekaligus ada rasa tidak senang (yang lebih lemah). Setelah beberapa saat rasa senang menurun sedemikian dan dapat menurun sedemikian rupa sehingga orang merasa agak sedih sebelum kembali ke normal. Demikian karena emosi tidak senang (emosi yang berlawanan) berlangsung lama.

Berdasarkan asumsi bahwa job satisfaction bervariasi secara mendasar dari waktu-kewaktu, akibatnya ialah bahwa pengukuran job satisfaction dilakukaan secara periodik dengan interval waktu yang sesuai.

d.Teori Hirarki Kebutuhan (Need Hierarchy Theory)

Menurut Maslow (dalam As’ad 2008) mengemukakan bahwa setiap manusia mempunyai needs (kebutuhan, dorongan, intrinsic dan extrinsic faktor), yang pemunculannya sangat tergantung dari kepentingan individu. Ia menjelaskan bahwa kebutuhan-kebutuhan manusia itu dapat digolongkan dalam lima tingkatan (five hierarchy of needs). Adapun kelima tingkatan


(41)

31

tersebut ialah : physiological need, safety needs, social needs, esteem needs dan need for self actualization. Dari tingkatan ini pemenuhan kebutuhan berjalan sesuai dengan tingkatan-tingkatannya.

Jenjang motivasi bersifat mengikat, maksudnya kebutuhan pada tingkat yang lebih rendah harus relatif terpuaskan sebelum orang menyadari atau dimotivasi oleh kebutuhan yang jenjangnya lebih tinggi. Jadi, kebutuhan fisiologis harus terpuaskan lebih dahulu sebelum muncul kebutuhan rasa aman. Sesudah kebutuhan fisiologis dan rasa aman terpuaskan, baru muncul kebutuhan kasih sayang, begitu seterusnya sampai kebutuhan dasar terpuaskan. (Alwisol 2010 )

Kelima tingkatan Kebutuhan - kebutuhan tersebut adalah: 1)Physiological needs (kebutuhan yang bersifat biologis)

Misalnya: Sandang, pangan dan tempat berlindung, sex dan kesejahteraan individu. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang amat primer, karena kebutuhan ini telah ada dan terasa sejak manusia dilahirkan kebumi ini.

2)Safety needs (kebutuhan rasa aman)

Kalau ini dikaitkan dengan kerja maka kebutuhan akan keamanan jiwanya sewaktu bekerja. Selain itu juga perasaan aman akan harta yang ditinggal sewaktu mereka bekerja.


(42)

32

3)Social needs atau affiliation needs (kebutuhan akan sosialisasi) Manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial, sehingga mereka mempunyai kebutuhan-kebutuhan sosial sebagai berikut: a) Kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain dimana ia

hidup dan bekerja.

b) Kebutuhan akan perasaan dihormati, karena setiap manusia merasa dirinya penting.

c) Kebutuhan untuk bisa berprestasiKebutuhan untuk ikut serta (sense of participation)

4)Esteem needs (kebutuhan penghargaan)

Situasi yang ideal ialah apabila prestise itu timbul akan prestasi. Akan tetapi tidak selalu demikian halnya. Dalam hal ini makin tinggi kedudukan seseorang maka semakin banyak hal yang digunakan sebagai simbol statusnya itu.

5)Self actualization needs (kebutuhan perwujudan diri)

Ini diartikan bahwa setiap manusia ingin mengembangkan kapasitas mental dan kapasitas kerjanya melalui pengembangan pribadinya. Oleh sebab itu pada tingkatan ini orang cenderung untuk selalu mengembangkan diri dan berbuat yang paling baik. (As’ad 2008)

Berdasarkan pendapat berbagai tokoh diatas tentang teori job satisfaction dapat disimpulkan bahwa teori job satisfaction terdiri dari teori pertentangan (Discrepancy Theory) yang berasumsi bahwa


(43)

33

kepuasan atau ketidakpuasan kerja seorang individu tergantung pada perasaan pribadinya yakni bagaimana ia mempersepsikan adanya kesesuaian atau pertentangan antara keinginan-keinginannya dan hasil yang diterimanya. Teori model dari kepuasan bidang/ bagian (Racet Satisgaction), yang mengasumsikan bahwa seorang individu akan merasa puas dengan bidang tertentu dari pekerjaan mereka misalnya dengan rekan kerja, atasan, gaji dll, jika ia mempersepsikan jumlah dari pekerjaan yang harus diterimanya sama dengan jumlah yang secara aktual diterimanya, dan begitu sebaliknya.

Teori proses bertentangan (Opponent-Proscess Theori) memandang bahwa semua orang ingin mempertahankan suatu keseimbangan emosional. Apabila seorang individu mengalami perasaan puas terhadap pekerjaannya maka ia merasa senang tetapi juga terdapat perasaan sedih (tidak senang) yang lebih lemah dalam dirinya. Ia akan mengalami perasaan senang, kemudian perasaan tersebut menurun dan akhirnya timbul rasa sedih, setelah itu ia akan kembali pada keadaan normal, dan sebaiknya.

Teori hirarki kebutuhan (Need Hierarchy Theory) berasumsi bahwa kepuasan atau ketidak puasan seseorang terhadap pekerjaannya tergantung sejauh mana tingkatan kebutuhan-kebutuhan dapat terpuaskan.


(44)

34

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Job satisfaction

Faktor - faktor yang mempengaruhi job satisfaction, dapat ditengarahi dari beberapa hal, antara lain:

a.Faktor pegawai, yaitu kecerdasan (IQ), kecakapan khusus, umur, jenis kelamin, kondisi fisik, pendidikan, pengalaman kerja, masa kerja, kepribadian, emosi, cara berfikir, persepsi dan sikap kerja b.Faktor pekerjaan, yaitu jenis pekerjaan, struktur organisasi,

pangkat atau golongan, kedudukan, mutu pengawasan, jaminan finansial, kesempatan promosi jabatan, interaksi sosial, dan hubungan kerja. (Mangkunegara, 1993).

Berikut ini ada lima faktor job satisfaction ditinjau faktor ciri-ciri instrinsik dari pekerjaan, gaji dan penyelia (Kurniawati, 2006), yaitu:

a.Ciri-ciri instrinsik pekerjaan

Menurut Locke, ciri-ciri instrinsik pekerjaan yang menentukan job satisfaction ialah keragaman, kesulitan, jumlah pekerjaan, tanggung jawab, otonomi, kendali terhadap kendali kerja, kemajemukan dan kreativitas. Ada satu unsur yang dapat dijumpai pada ciri-ciri instrinsik dari pekerjaan di atas, yaitu tingkat tantangan mental. Konsep tantangan yang sesuai merupakan konsep yang penting. Pekerjaan yang menuntut kecakapan yang lebih tinggi daripada yang dimiliki tenaga kerja, atau tuntutan pribadi yang


(45)

35

tidak dapat di penuhi tenaga kerja akan menimbulkan frustasi dan akhirnya ketidakpuasan kerja. (Kurniawati , 2006).

Menurut Munandar (2010) ada lima ciri intrinsik pekerjaan yang memperlihatkan kaitannya dengan job satisfaction untuk berbagai macam pekerjaan. Ciri-ciri tersebut adalah:

1)Keragaman keterampilan (skill variety)

Banyaknya ragam keterampilan yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan. Makin banyak ragam keterampilan yang digunakan, makin kurang membosankan pekerjaan.

2)Jati diri tugas (task identity).

Tingkat sejauh mana penyelesaian pekerjaan secara keseluruhan dapat dilihat hasilnya dan dapat dikenali sebagai hasil kinerja seseorang. Tugas yang dirasakan sebagai bagian dari pekerjaan yang lebih besar dan yang dirasakan tidak merupakan satu kelengkapan tersendiri akan menimbulkan rasa tidak puas.

3)Tugas yang penting (task significance).

Tingkat sejauh mana tugas pekerjaan mempunyai dampak yang berarti bagi kehidupan orang lain, baik orang tersebut merupakan rekan-rekan sekerja dalam suatu perusahaan yang sama maupun orang lain dilingkungan sekitar. Jika tugas dirasakan penting dan berarti oleh tenaga kerja, maka ia cenderung mempunyai job satisfaction.


(46)

36

4)Otonomi

Tingkat kebebasan pemegang kerja, yang mempunyai pengertian ketidaktergantungan dan keleluasaan yang diperlukan untuk menjadwalkan pekerjaan dan memutuskan prosedur apa yang digunakan untuk menyelesaikannya. Pekerjaan yangmemberikan kebebasan, ketidaktergantungan dan peluang mengambil keputusan akan lebih cepat menimbulkan job satisfaction.

5)Umpan balik

Tingkat kinerja kegiatan kerja dalam memperoleh informasi tentang keefektifan kegiatannya. Pemberian balikan pada pekerjaan membantu meningkatkan tingkat job satisfaction. b.Gaji penghasilan. Imbalan yang dirasakan adil (equittable reward)

Siegel dan Lane mengutip kesimpulan yang diberikan beberapa ahli yang meninjau kembali hasil-hasil penelitian tentang pentingnya gaji sebagai penentu dari job satisfaction, yaitu bahwa para sarjana psikologi telah secara transisional dan salah meminimasi pentingnya uang sebagai penentu job satisfaction. Ternyata, menurut hasil penelitian yang dilakukan Theriault, job satisfaction merupakan fungsi dari jumlah absolut dari gaji yang diterima, derajat sejauh mana gaji memenuhi harapan-harapan tenaga kerja, dan bagaimana gaji diberikan. Teori keadilan dari Adams dilakukan berbagai penelitian dan salah satu hasilnya


(47)

37

ialah bahwa orang yang menerima gaji yang dipersepsikan sebagai terlalu kecil atau terlalu besar akan mengalami distress atau ketidakpuasan.

Kajian yang dilakukan dalam laboratorium mendukung hasil tentang gaji yang terlalu kecil, tetapi hasil yang terlalu besar tidak jelas meyakinkan, yang penting sejauh mana gaji yang diterima dirasakan adil. Jika gaji yang dipersepsikan sebagai adil dirasakan tuntutan-tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standard gaji yang berlaku untuk kelompok pekerjaan tertentu, maka akan ada job satisfaction.

Hezberg memasukkan gaji/ imbalan kedalam faktor kelompok hygiene. Jika di anggap gajinya terlalu rendah, tenaga kerja akan merasa tidak puas. Namun jika dirasakan tinggi atau dirasakan sesuai dengan harapan, maka istilah hezberg adalah tenaga kerja tidak lagi tidak puas. Artinya ada dampak pada motivasi kerjanya.

c.Penyeliaan

Lock memberikan kerangka kerja teoritis untuk memahami kepuasan tenaga kerja dengan Penyelia. Ia menemukan dua jenis dari hubungan atasan-bawahan: hubungan fungsional dan keseluruhan ( entity). Hubungan fungsional mencerminkan sejauh mana penyelia membantu tenaga kerja, untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi tenaga kerja. Misalnya jika


(48)

38

kerja yang menantang penting bagi tenaga kerja, penyelianya membantu memberikan pekerjaan yang menantang kepadanya. Hubungan keseluruhannya didasarkan pada ketertarikan antar pribadi yang mencerminkan sikap dasar dan nilai-nilai yang serupa.

Penyeliaan merupakan salah satu faktor juga dari kelompok hygiene dari Hezberg. Namun jika para penyeliaan dilakukan oleh atasan yang memiliki ciri-ciri pemimpin yang transformasional maka tenaga kerja akan meningkatkan motivasinya dan sekaligus dapat merasa puas dengan pekerjaannya.

1.Rekan - rekan sejawat yang menunjang

Setiap pekerjaan dalam organisasi memiliki kaitannya dengan pekerjaan lain. Terjadi diferensiasi pekerjaan mendatar dan tegak. Dalam perkembangan selanjutnya, corak interaksi antar pekerjaan tumbuh bereda-beda. Ada tenaga kerja yang dalam menjalankan tugas pekerjaannya memperoleh masukannya (bahan dalam bentuk tertentu) dari tenaga kerja lain. Keluarannya (barang yang setengah jadi) manjadi masukan untuk tenaga kerja lainnya. Sekelompok kerja dimana para pekerjanya harus bekerja sebagai satu tim, job satisfaction mereka dapat timbul karena kebutuhan tingkat tinggi mereka (kebutuhan harga diri, kebutuhan aktualisasi diri) dapat dipenuhi


(49)

39

dan mempunyai dampak gugus kendali mutu yang merupakan problem solving team.

2.Kondisi kerja yang menunjang

Bekerja dalam ruang yang sempit, panas, yang cahaya lampunya menyilaukan mata, kondisi kerja yang tidak mengenakkan ( uncomfortable) akan menimbulkan keengganan untuk bekerja. Orang akan mencari alasan untuk sering-sering keluar ruangan kerjanya. Untuk itu perlu menyediakan ruangan kerja yang terang, sejuk, dengan peralatan kerja yang enak untuk digunakan, meja dan kursi kerja yang memperhatikan prinsip-prinsip ergonomi. Dalam kondisi kerja seperti itu kebutuhan-kebutuhan fisik dipenuhi dan memuaskan tenaga kerja. (Sunyoto, 2001).

Ghiselli dan Brown (dalam As’ad, 2008), mengemukakan adanya lima faktor yang menimbulkan job satisfaction, yaitu:

a. Kedudukan (posisi)

Umumnya manusia beranggapan bahwa seseorang yang bekerja pada pekerjaan yang lebih tinggi akan merasa lebih puas dari pada mereka yang bekerja pada pekerjaan yang lebih rendah. Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa hal tersebut tidak selalu benar, tetapi justru perubahan dalam tingkat pekerjaanlah yang mempengaruhi job satisfaction.


(50)

40

b. Pangkat (golongan)

Pada pekerjaan yang mendasarkan perbedaan tingkat (golongan) sehingga pekerjaan tersebut memberikan kedudukan tertentu pada orang yang melakukannya. Apabila ada kenaikan upah, maka sedikit banyaknya akan dianggap sebagai kenaikan pangkat, dan kebanggaan terhadap kedudukan yang baru itu akan merubah perilaku dan perasaannya.

c. Masalah umur

Dinyatakan bahwa ada hubungan antara job satisfaction dengan umur. Umur diantara 25 tahun sampai 34 tahun dan umur 40 tahun sampai 45 tahun adalah merupakan umur-umur yang bisa menimbulkan perasaan kurang puas terhadap pekerjaan.

d. Jaminan financial dan jaminan sosial

Masalah finansial dan jaminan sosial kebanyakan berpengaruh terhadap job satisfaction.

e. Mutu pengawasan

Hubungan antara karyawan dengan pihak pimpinan sangat penting artinya dalam menaikkan produktivitas kerja. Kepuasan karyawan dapat ditingkatkan melalui perhatian dan hubungan yang baik dari pimpinan kepada bawahan, sehingga karyawan akan merasa bahwa dirinya merupakan bagian yang penting dari organisasi kerja (sense of belonging).


(51)

41

Menurut Anthoni ( dalam Anoraga 1992) terdapat ada faktor-faktor internal yang mempengaruhi job satisfaction, yaitu:

a. Harus menyukai pekerjaan. Bagaimana mungkin individu menyukai pekerjaannya, jika merasa sebel dan kesel menghadapi pekerjaan. Berorientasi mencapai prestasi yang tinggi. Kalau dapat setinggi mungkin, dengan patokan: “the sky is the limit. Individu akan senang dalam bekerja dan mencapai job satisfaction jika merasa puas dengan hasil yang dicapai.

b. Harus mempunyai sikap positif dalam menghadapi kesulitan. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi hendaknya tidak dipandang sebagai sesuatu yang menjengkelkan atau dengan sikap pesimis.

Blum (dalam As’ad 1991) menjelaskan Faktor-faktor yang memberikan job satisfaction sebagai berikut:

a.Faktor individual, meliputi umur, kesehatan, watak dan harapan. b.Faktor sosial, meliputi hubungan keluarga, pandangan masyarakat,

kesempatan berekreasi, kegiatan perserikatan pekerja, kebebasan berpolitik dan hubungan kemasyarakatan.

c.Faktor utama, meliputi upah, pengawasan, ketentraman kerja, kondisi kerja, dan kesempatan untuk maju. Selain itu juga penghargaan terhadap kecakapan, hubungan sosial didalam pekerja, ketepatan didalam menyelesaikan konflik antar manusia, perasaan diperlakukan adil baik yang menyangkut pribadi maupun tugas.


(52)

42

Gilmer (dalam As’ad 1991), juga memberikan pendapat tentang faktor- faktor yang dapat mempengaruhi job satisfaction, antara lain: a. Kesempatan untuk maju. Dalam hal ini ada tidaknya kesempatan

untuk memperoleh pengalaman dan peningkatan kemampuan selama kerja.

b. Keamanan kerja. Faktor ini sering disebut sebagai faktor penunjang job satisfaction, baik bagi karyawan pria maupun wanita. Keadaan yang aman sangat mempengaruhi perasaan karyawan selama kerja.

c. Gaji. Gaji lebih banyak menyebabkan ketidak puasan, dan jarang orang mengekspresikan job satisfactionnya dengan sejumlah uang yang diperolehnya.

d. Perusahaan dan manajemen. Perusahaan dan manajemen yang baik adalah yang mampu memberikan situasi dan kondisi kerja yang setabil. Faktor ini yang menentukan job satisfaction karyawan Pengawasan (supervisi). Bagi karyawan, supervisor di anggap sebagai figur ayah dan sekaligus atasannya. Supervisi yang buruk dapat berakibat absensi dan turn-over.

e. Faktor instrinsik pekerjaan. Atribut yang ada pada pekerjaan mensyaratkan keterampilan tertentu. Sukar dan mudah hanya serta kebanggaan akan tugas dan akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan.


(53)

43

f. Kondisi kerja. Termasuk disini adalah kondisi tempat, ventilasi, penyinaran, kantin dan tempat parkir.

g. Aspek sosial dalam pekerjaan. Merupakan salah satu sikap yang sulit digambarkan tetapi dipandang sebagai factor yang menunjang puas atau tidak puas dalam bekerja.

h. Komunikasi. Komunikasi yang lancar antar karyawan dengan pihak manajemen banyak dipakai alasan untuk menyukai jabatannya.

i. Fasilitas. Fasilitas rumah sakit, cuti, dan pensiun, atau perumahan merupakan standar suatu jabatan dan apabila dapat dipenuhi akan menimbulkan rasa puas.

Penelitian telah menunjukkan bahwa job satisfaction dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor ini telah banyak digambarkan dalam literatur baik sebagai penyebab atau faktor atau anteseden job satisfaction sebagain kasus tertentu. Misalnya, Mullins (1999) menyoroti faktor yang mempengaruhi kepuasan pekerja antara lain:

a. Faktor individu

Seperti kepribadian, kecerdasan pendidikan / kemampuan, usia,status perkawinan, orientasi untuk bekerja dan sebagainya.


(54)

44

b. Sosial

Faktor-faktor seperti hubungan dengan rekan kerja, kelompok kerja dan norma-norma, kesempatan untuk berinteraksi dan informal organisasi.

c. Budaya yang mendasari, faktor-faktor seperti, keyakinan sikap dan nilai.

d. Faktor Organisasi

Seperti alam dan ukuran, struktur formal, personil kebijakan dan prosedur, hubungan antar rekan kerja, sifat dari organisasi kerja, teknologi dan cara kerja, pengawasan dan gaya kepemimpinan, sistem manajemen dan kondisi kerja.

e. Faktor - faktor lingkungan

Seperti pengaruh ekonomi, sosial, teknis dan pemerintah. Selain itu, Mullins (1999) menyatakan bahwa faktor-faktor lain yang mempengaruhi job satisfaction diantaranya faktor higienis dan motivator dari Herzberg. (Igbeneghu &Popoola 2011)

Berbagai macam faktor yang dapat mempengaruhi job satisfaction diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor tersebut berasal dari pekerja sendiri (faktor dari dalam), diantaranya kecerdasan (IQ), kecakapan khusus, umur, jenis kelamin, kondisi fisik, pendidikan, status perkawinan, orientasi untuk bekerja, pengalaman kerja, masa kerja, kepribadian, emosi, watak, cara berfikir, persepsi dan sikap kerja. Faktor yang berasal dari pengaruh


(55)

45

lingkungan kerja (faktor dari luar) diantaranya ciri-ciri intrinsik pekerjaan itu sendiri, gaji, hubungan dengan atasan dan rekan kerja, kondisi kerja, pengaruh sosial, ekonomi, teknis dan pemerintah. 4. Dampak Job Satisfaction

Dampak dari perilaku kepuasan dan ketidakpuasan kerja telah banyak diteliti dan dikaji. Berikut beberapa hasil penelitian tentang dampak job satisfaction terhadap produktivitas, ketidakhadiran dan keluarnya pegawai, dan dampaknya terhadap kesehatan. (Munandar 2010).

a. Dampak terhadap produktivitas

Pada mulanya orang berpendapat bahwa produktivitas dapat dinaikkan dengan menaikkan job satisfaction. Hasil penelitian tidak mendukung penelitian ini. Hubungan antara produktivitas dan job satisfaction sangat kecil. Vroom yang mempelajari sejumlah besar hasil penelitian melaporkan bahwa korelasi mediannya hanyalah 0,14. Kenyataan ini sebagian dapat dijelaskan dengan mengatakan bahwa produktivitas dipengaruhi oleh banyak faktor-faktor moderator disamping job satisfaction.

Akhir-akhir ini terdapat pandangan bahwa job satisfaction mungkin merupakan akibat, dan bukan merupakan sebab dari produktivitas. Lawler dan Porter mengharapkan


(56)

46

produktvitas yang tinggi menyebabkan peningkatan dari job satisfaction hanya jika tenaga kerja mempersepsikan bahwa ganjaran intrinsik (misalnya rasa telah mencapai sesuatu) dan ganjaran ekstrinsik (misalnya gaji) yang diterima kedua-duanya adil dan wajar dan diasosiasikan dengan unjuk-kerja yang unggul. Jika tenaga kerja tidak mempersepsikan ganjaran intrinsik dan ekstrinsik berasosiasi dengan unjuk-kerja, maka kenaikan dalam unjuk-kerja tidak akan berkorelasi dengan kenaikan dalam job satisfaction.

b. Dampak terhadap ketidakhadiran ( absenteisme) dan keluarnya tenaga kerja (turn- over)

Poter dan Steers berkesimpulan bahwa ketidakhadiran dan berhenti kerja merupakan jenis jawaban - jawaban yang secara kualitatif berbeda. Ketidakhadiran lebih spontan sifatnya dan dengan demikian kurang mungkin mencerminkan ketidakpuasan kerja. Lain halnya dengan berhenti atau keluar dari pekerjaan. Perilaku ini karena akan mempunyai akibat-akibat ekonomis yang besar, maka lebih besar kemungkinannya berhubungan dengan ketidakpuasan kerja. Dari penelitian ditemukan adanya hubungan antara ketidakhadiran dengan job satisfaction.

Steers dan Rhodes mengembangkan model dari pengaruh terhadap kehadiran. Mereka melihat adanya dua


(57)

47

faktor pada perilaku hadir, yaitu motivasi untuk hadir dan kemampuan untuk hadir. Mereka percaya bahwa motivasi untuk hadir dipengaruhi oleh job satisfaction dalam kombinasi dengan tekanan-tekanan internal dan eksternal untuk mendatang pada pekerjaan.

Menurut Robbins & Judge (2008) menunjukkan respon-respon pekerja terhadap kepuasan dan ketidakpuasan kerja yang memuat dua dimensi yakni konstruktif/ destruktif dan aktif/ pasif. Respon tersebut didefinisikan sebagai berikut : 1)Keluar (exit)

Perilaku yang ditujukan untuk meninggalkan organisasi, termasuk mencari posisi baru dan mengundurkan diri.

2)Aspirasi (voice)

Secara aktif dan konstruktif berusaha memperbaiki kondisi, termasuk menyarankan perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasan, dan beberapa bentuk aktivitas serikat kerja.

3)Kesetiaan ( Loyality)

Secara pasif tetapi optimistis menunggu membaiknya kondisi, termasuk membela organisasi ketika berhadapan dengan kecaman eksternal dan mempercayai organisasi dan manajemennya untuk “melakukan hal yang benar”.


(58)

48

4)Pengabaian (Neglect)

Secara pasif membiarkan kondisi menjadi lebih buruk, termasuk ketidakhadiran atau keterlambatan yang terus - menerus, kurangnya usaha, dan meningkatnya angka kesalahan

Ada beberapa bukti tentang adanya hubungan antara job satisfaction dengan kesehatan fisik dan mental. Dari kajian longitudinal disimpulkan bahwa ukuran-ukuran dari job satisfaction merupakan peramal yang baik bagi longevity atau panjang umur. Salah satu temuan yang penting dari kajian yang dilakukan oleh Kornhauser tentang kesehatan mental dan job satisfaction, ialah bahwa untuk semua tingkatan jabatan, persepsi dari tenaga kerja bahwa pekerjaan mereka menurut penggunaan efektif dari kecakapan-percakapan mereka berkaitan dengan skor kesehatan mental yang tinggi. Skor-skor ini juga berkaitan dengan tingkat dari job satisfaction dan tingkat dari jabatan.

Meskipun jelas bahwa job satisfaction berhubungan dengan kesehatan, hubungan kausalnya masih tidak jelas. Terdapat dugaan bahwa job satisfaction menunjang tingkat dari fungsi fisik dan mental dan kepuasan sendiri merupakan tanda dari kesehatan. Tingkat dari job satisfaction dan kesehatan mungkin saling mengukuhkan sehingga peningkatan dari yang


(59)

49

satu dapat meningkatkan yang lain dan sebaliknya penurunan yang satu mempunyai akibat yang negatif juga pada yang lain. (Munandar 2010)

Berdasarkan uraian tersebut dapat di ketahui bahwa dampak dari kepuasan dan ketidakpuasan kerja antara lain berdampak pada produktivitas, ketidak hadiran (absenteisme) dan keluarnya tenaga kerja (turn-over), meninggalkan pekerjaan, keterlambatan, pengabaian pekerja, berdampak juga terhadap kesehatan mental, timbulnya aspirasi pekerja, kesetiaan terhadap organisasi.

5. Aspek aspek Job Satisfaction

Dimensi atau aspek-aspek yang mempengaruhi kepuasan kerja menurut Lijan Poltak Sinambela (2012), terdiri dari 4 dimensi antara lain:

1. Insentif, yang meliputi perasaan senang dan perasaan puas. 2. Penghargaan, yang meliputi perasaan bangga, perasaan

dihargai.

3. Pengakuan, yang meliputi perasaan terjamin, aman dan penting.

4. Penilaian, yang meliputi perasaan menikmati pekerjaan.

Menurut Rivai (dalam Puspitawati dan Riana, 2014) menganjurkan untuk mengacu pada Job Descriptive Index (JDI),


(60)

50

menurut indeks ini, kepuasan kerja dibangun atas dasar lima dimensi, yaitu :

a) Bekerja pada tempat yang tepat b) Pembayaran yang sesuai c) Organisasi dan manajemen d) Penyelia

e) Hubungan dengan rekan sekerja.

Menurut Spector (1985) mengemukakan bahwa kepuasan kerja secara global dapat diperoleh dengan menjumlahkan keseluruhan tingkat kepuasan terhadap aspek-aspek dalam pekerjaan. Terdapat 9 aspek yang digunakan yaitu:

1. Gaji

Aspek ini mengukur kepuasan karyawan sehubungan dengan gaji yang diterima dan adanya kenaikan gaji.

2. Promosi

Aspek ini mengukur sejauh mana kepuasan karyawan sehubungan dengan kebijaksanaan promosi, kesempatan untuk mendapat promosi. Kebijakan promosi harus dilakukan secara adil yaitu setiap karyawan yang melakukan pekerjaan dengan baik mempunyai kesempatan yang sama untuk promosi.

3. Supervisi

Aspek ini mengukur kepuasan kerja seseorang terhadap atasannya. Karyawan lebih suka bekerja dengan atasan yang bersikap


(61)

51

mendukung, penuh pengertian, hangat dan bersahabat, memberi pujian atas kinerja yang baik dari bawahan, dan memusatkan perhatian kepada karyawan (employee centered), dari pada bekerja dengan atasan yang bersifat acuh tak acuh, kasar, dan memusatkan pada pekerjaan (job centered).

4. Tunjangan Tambahan

Aspek ini mengukur sejauh mana individu merasa puas terhadap tunjangan tambahan yang diterima dari perusahaan. Tunjangan tambahan diberikan kepada karyawan secara adil dan sebanding. 5. Penghargaan

Aspek ini mengukur sejauh mana individu merasa puas terhadap penghargaan yang diberikan berdasarkan hasil kerja.

a) Prosedur dan Peraturan Kerja

Aspek ini mengukur kepuasan sehubungan dengan prosedur dan peraturan di tempat kerja. Hal-hal yang berhubungan dengan prosedur dan peraturan di tempat kerja mempengaruhi kepuasan kerja seorang individu seperti birokrasi dan beban kerja.

b) Rekan Kerja

Aspek ini mengukur kepuasan berkaitan dengan hubungan dengan rekan kerja misalnya adanya hubungan dengan rekan kerja yang rukun dan saling melengkapi.


(62)

52

c) Jenis Pekerjaan

Aspek ini mengukur kepuasan kerja terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan itu sendiri. Beberapa literatur telah mendefinisikan ciri-ciri pekerjaan yang berhubungan dengan kepuasan kerja antara lain: kesempatan rekreasi dan variasi tugas, kesempatan untuk menyibukkan diri, peningkatan pengetahuan, tanggung jawab, otonomi, job enrichment, kompleksitas kerja dan sejauh mana pekerjaan itu tidak bertentangan dengan hati nurani. d) Komunikasi

Berhubungan dengan komunikasi yang berlangsung dalam perusahaan. Dengan komunikasi yang lancar, karyawan menjadi lebih paham akan tugas-tugas, kewajiban-kewajiban, dan segala sesuatu yang terjadi didalam perusahaan.

Dari beberapa aspek diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek kepuasan kerja terdiri dari perasaan positif karyawan yang ditunjukkan kepada pekerjaan nya yang meliputi aspek insentif, penghaegaan, pengakuan, penilaian, promosi, prosedur dan peraturan kerja, rekan kerja, jenis pekerjaan dan komunikasi

C. Hubungan job Insecurity dengan Job Satisfaction

Job insecurity merupakan suatu kondisi ketidakberdayaan untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam situasi kerja yang mengancam, perasaan yang tidak aman akan membawa dampak pada job attitudes karyawan, penurunan komitmen, bahkan keinginan


(63)

53

untuk turnover yang semakin besar (Wening, 2005). Job insecurity pada pegawai dapat ditimbulkan oleh adanya ketidakpastian terhadap fitur pekerjaan yang dirasakan pegawai. Fitur pekerjaan yang dimaksudkan ialah perubahan sifat pekerjaan, isu karir, pengurangan waktu kerja atau yang paling memegang kunci adalah kehilangan pekerjaan (Silla et al., 2010). Sverke et al. (2002) menyatakan dalam jangka pendek job insecurity berdampak terhadap job satisfaction, keterlibatan kerja, komitmen organisasi dan kepercayaan terhadap pemimpin.

Job Insecurity sangat erat kaitannya dengan job satisfaction karena menurut Robbins (dalam Setiawan, 2009) mengemukakan faktor-faktor penyebab job insecurity adalah karakteristik individu itu sendiri yakni job satisfaction. Job satisfaction merupakan variabel yang berperan dalam diri suatu diri perusahaan.

Menurut As’ad (1999) penelitian mengenai job satisfaction menjadi penting dikarenakan terbukti banyak bermanfaat bagi kepentingan umum, industri dan masyarakat, yaitu dapat bermanfaat dalam usaha peningkatan produksi dan pengurangan biaya melalui perbaikan sikap dan tingkah laku karyawannya. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Davis dan Newstrom (1995), bahwa pengetahuan mengenai faktor-faktor yang mungkin berpengaruh terhadap job satisfaction akan membantu perusahaan untuk memupuk sikap positif karyawan terhadap kerja


(64)

54

membuat resiko karyawan untuk keluar dari perusahaan semakin kecil. Seperti yang dinyatakan oleh Silla et al. (2010) bahwa job insecurity memiliki hubungan yang negatif terhadap job satisfaction.

Ketidakamanan kerja yang tinggi cenderung menyebabkan rendahnya job satisfaction dan dapat menyebabkan tingginya keinginan keluar dari perusahaan (Nugroho, 2012)

D. Kerangka Teori

Menurut Greenhalgh dan Rosenblatt (1984) job insecurity adalah ketidakberdayaan untuk mempertahankan kelanjutan pekerjaan karena ancaman situasi dari suatu pekerjaan. Sementara itu, Hartley, Jacobson, Klandermans, dan Van Vuuren (dalam Sverke & Hellgren, 2002) mengatakan bahwa job insecurity adalah ketidakamanan yang dirasakan seseorang akan kelanjutan pekerjaan dan aspek-aspek penting yang berkaitan dengan pekerjaan itu sendiri. Sedangkan Sverke dan Hellgren (2002) mengungkapkan bahwa job insecurity adalah pandangan subjektif seseorang mengenai situasi atau peristiwa yang mengancam pekerjaan di tempatnya bekerja dalam Halungunan (2015).

Greenhalgh dan Rosenblatt (1984) menyatakan bahwa job insecurity merupakan ketidakberdayaan untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam kondisi kerja yang terancam termasuk dengan berbagai perubahan dalam organisasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sverke, Hellgren, & Naswal (dalam Utami, 2008) ditemukan bahwa job insecurity mempunyai beberapa dampak pada


(1)

83

signifikansi sebesar 0.000 < 0.05 yang berarti hipotesis alternatif (Ha) diterima dan hipotesis nol (Ho) ditolak. Artinya terdapat hubungan antara job insecurity dengan job satisfaction. Selain itu, pennelitian ini juga menunjukkan harga koefisien korelasi yang negatif yaitu -0.821 maka arah hubungannya adalah negatif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi job insecurity maka oleh semakin rendah job satisfaction begitu sebaliknya bila job insecurity semakin rendah maka job satisfactionya semakin tinggi.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa job satisfaction dapat menjadi penyebab atas berkembangnya job insecurity dalam suatu organisasi. Dalam job satisfaction yang tinggi, karyawan merasa lebih ingin melakukan pekerjaannya melebihi apa yang telah di syaratkan dalam uraian pekerjaan, dan akan selalu mendukung organisasi jika mereka diperlakukan oleh para atasan dengan sportif dan dengan penuh kesadaran serta percaya bahwa mereka diperlakukan secara adil oleh organisasinya. Hal ini berarti semakin rendah job insecurity dalam sebuah perusahaan maka akan diikuti juga dengan perilaku Job satisfaction yang tinggi pada karyawan.

Job Insecurity sangat erat kaitannya dengan job satisfaction karena menurut Robbins (dalam Setiawan, 2009) mengemukakan faktor-faktor penyebab job insecurity adalah karakteristik individu itu sendiri yakni job satisfaction. Job satisfaction merupakan variabel yang berperan dalam diri suatu diri perusahaan.

Menurut As’ad (1999) penelitian mengenai job satisfaction menjadi penting dikarenakan terbukti banyak bermanfaat bagi kepentingan umum,


(2)

84

industri dan masyarakat, yaitu dapat bermanfaat dalam usaha peningkatan produksi dan pengurangan biaya melalui perbaikan sikap dan tingkah laku karyawannya. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Davis dan Newstrom (1995), bahwa pengetahuan mengenai faktor-faktor yang mungkin berpengaruh terhadap job satisfaction akan membantu perusahaan untuk memupuk sikap positif karyawan terhadap kerja.

Karyawan yang sudah merasakan ketenangan tentunya akan membuat resiko karyawan untuk keluar dari perusahaan semakin kecil. Seperti yang dinyatakan oleh Silla et al. (2010) bahwa job insecurity memiliki hubungan yang negatif terhadap job satisfaction. Ketidakamanan kerja yang tinggi cenderung menyebabkan rendahnya job satisfaction dan dapat menyebabkan tingginya keinginan keluar dari perusahaan (Nugroho, 2012).

Job satisfaction yang tinngi berdampak baik dalam suatu perusahaan akan menjadikan karyawannya memiliki semangat tinggi dalam bekerja, dapat bekerjasama dengan karyawan lain, aturan dalam organisasi dijadikan pedoman dalam berperilaku, prestasi kerja dapat meningkat, saling membantu antar karyawan, dan dapat memiliki loyalitas kerja tinggi dalam perusahaan. Sedangkan job satisfaction yang buruk dalam sebuah organisasi akan menjadikan karyawan memiliki semangat kerja yang rendah, sulit untuk bekerja sama dengan karyawan, merasa terbebani dengan aturan organisasi, prestasi kerja dapat menurun, dan menjadikan karyawan memiliki job insecurity yang tinngi yang bakal membuat turnover.


(3)

85

85 BAB V PENUTUP A. Simpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa secara empiris job insecurity dengan job satisfaction memiliki korelasi yang besar. Korelasi signifikansi job insecurity dengan job satisfaction

sebesar -0.821. Karena korelasi bernilai negatif maka hubungan kedua variabel tersebut adalah berbalik arah yang artinya semakin tinggi job insecurity maka semakin rendah nilai job satisfaction. Begitupula sebaliknya semakin rendah nilai job insecurity maka semakin tinggi nilai job satisfaction

B. Saran

1. Bagi Perusahaan

Baiknya perusahaan meningkatkan perilaku job satisfaction, sehingga dapat menurunkan perilaku job insecurity yang dapat meningkatkan kemajuan sebuah perusahaan.

2. Bagi Peneliti Selanjutnya

Disarankan peneliti selanjutnya untuk meningkatkan kualitas aitem yang akan dibuat agar dapat memunculkan respon atau keadaan subjek yang sebenarnya. Dan lebih mencermati faktor-faktor lain yang mempengaruhi job insecurity seperti kesuaian kepribadian dengan pekerjaan.


(4)

86

Daftar Pustaka

Asford, S., Lee, C & Bobko, P. 1989. Content, Causes, and Consequence of Job insecurity: a Theory-based Meansure and Substantive Test. Academy of Management Journal. Vol 32 No.4 Page 803-829.

Ashford, Susan J,. Cynthia Lee,. & Philip Bobko. 1989. COntent, Causes, and Consequences of Job Insecurity: A Theory-Based Measure. Academy of Management Journal. 32(4),803-829.

Borg, I., & D. Elizur. (1992). Job Insecurity: Correlates, Moderators and Measurement’, International Journal of Manpower 13, 13 26.

Burchell, B.J. 1999. The unequal distribution of job insecurity, 1966-86.

De Witte, H. (1999). Job insecurity and psychological well-being: Review of the literature and exploration of some unresolved issues. European Journal of Work and Organi ational Psychology, 8(2), 155 177.

Greenglass, E. R., Burke, R. & Fiksenbaum, L. 2002. “Impact of Restructuring, Job Insecurity and Job Satisfaction in Hospital Nurses”. Stress News: January, 14 (1):1-7.

Greenhalgh, L., & Rosenblatt, Z. 1984. Job insecurity: Toward conceptual clarity.

Hartley, J., Jacobson, D., Klandermans, B., & van Vuuren, T. (1991). Job insecurity: Coping with jobs at risk. London: Sage.


(5)

87

Heaney, C., Israel, B., & House, J. (1994). Chronic job insecurity among automobile workers: Effects on job satisfaction and health. Social Science and Medicine, 38(10), 1431 1437.

Hellgren, J,. Sverke, M,. & Isaksson. 1999. A two dimensional approach to job insecurity:consequences for employee attitudes and well-being. European journal of work & Organizational Psychology, 8, 179-195.

Hellgren, J., M. Sverke, dan K. Isaksson. 1999. ”A Two-Dimensional Approach to Job insecurity: Consequences For Employee Attitudes and Well-being”, European Journal of Work and Organizational Psychology (JOB INSECURITY DALAM ORGANISASI Oleh: Rony Setiawan Bram Hadianto Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen Universitas Kristen Maranatha Bandung )

Irene, J. 2008. Hubungan antara Occupational Self-Efficcacy dan Job Insecurity pada Tenaga Kerja Outsourcing. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Partina, A. 2002. ”Dukungan Sosial Sebagai Variabel Pemoderasi Hubungan Antara Job insecurity dan Konsekuensinya”, Tesis. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. (Tidak Diterbitkan).

Pradiansyah, A. 1999. ”Menciptakan Komunikasi dan Sistem SDM yang Terpadu: Upaya Mewujudkan Hubungan Industrial yang Harmonis”. Jurnal Manajemen Usahawan Indonesia. XXVIII (2): 7-11.

Reisel, W. D. 2002. „Job insecurity revisited: reformulating the affect‟. Journal of Behavioral and Applied Management. 4(1): 87–91.


(6)

88

Robbins, S. P. 2003. Perilaku Organisasi. Gramedia: Jakarta.

Rowntree, D. 2005. Educational Technology in Curriculum Development. Great Britain: Harper and Row.

Smithson, J., & Lewis, S. 2000. "Is job insecurity changing the psychological contract?", Personnel Review, Vol.29, No.6.

Suwandi, H. & Indriantoro, L. 1999. Pengujian Model Turnover Pasewark dan Strawser: Studi Empiris pada Lingkungan Akuntansi Publik. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol. 2, 173-195.

Sverke, M. & Hellgren, J. 2002. The nature of job insecurity: Understanding employment uncertainty on the brink of a new millennium. Applied Psychology: An International Review. 51 (1), 23-42.

Sverke, M.,Hellgren,J.and Naswall,K. 2002. No Security: A Meta-analysis and Review of Job Insecurity and Its Consequences. Journal of Occupational Health Psychology, 7(3),242.

Wening, N. 2005. Pengaruh Ketidakamanan Kerja (Job Insecurity) Sebagai

Dampak Rekstrukturisasi Terhadap Job satisfaction, Komitmen

Organisasi dan Intensi Keluar Survivor. Jurnal Kinerja Vol. 9, No. 2, p. 135-147.