Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan

(1)

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP ORGANISASI PEMBELAJAR DENGAN JOB INSECURITY PADA KARYAWAN

DISUSUN OLEH:

Ferry Novliadi, S.Psi, M.Si

NIP. 132 316 960

DIKETAHUI OLEH:

DEKAN FAKULTAS PSIKOLOGI USU

Prof. dr. Chairul Yoel, Sp.A(K) NIP. 140 080 762

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN ………

DAFTAR ISI……….

KATA PENGANTAR ………..

BAB I. PENDAHULUAN ... I.A. LATAR BELAKANG ... I.B. TUJUAN PENULISAN ... I.C. MANFAAT PENULISAN ...

BAB II. LANDASAN TEORI ... II.A. JOB INSECURITY... II.A.1. Pengertian Job insecurity ... II.A.2. Aspek-aspek Job insecurity ... II.A.3. Dampak Job Insecurity ……...……… II.A.4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Job insecurity ...

II.B. PERSEPSI TERHADAP ORGANISASI PEMBELAJAR ... II.B.1. Pengertian Persepsi……… ……..……… II.B.2. Pengertian Organisasi Pembelajar ………... II.B.3. Pengertian Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar ….………... II.B.4. Karakteristik Organisasi Pembelajar ………... II.B.5. Aspek-aspek Pengukuran Organisasi Pembelajar ………...

II.C. HUBUNGAN PERSEPSI TERHADAP ORGANISASI PEMBELAJAR DENGAN JOB INSECURITY ………...…….……..

BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN ………...

DAFTAR PUSTAKA ... i ii iii 1 1 5 5 6 6 6 6 8 10 11 11 12 14 15 18 22 26 28


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, nikmat, serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, karena itu penulis berharap mendapat masukan dari para pembaca untuk penyempurnaan tulisan ini.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Sumatera Utara dan Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang telah memberi penulis kesempatan untuk mengabdikan diri di lingkungan Universitas Sumatera Utara. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada para mahasiswa dan rekan-rekan sejawat di tempat penulis bekerja atas dukungan dan hangatnya persaudaraan.

Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Iskandar yang senantiasa mengingatkan dan memberi motivasi kepada penulis untuk segera menyelesaikan karya tulis ini, semoga Allah SWT membalas dengan yang lebih baik atas budi baik dan ketulusan yang telah diberikan. Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi semua pihak. Amin!

Medan, 02 Februari 2009

Ferry Novliadi, S.Psi, M.Si NIP. 132 316 960


(4)

BAB I PENDAHULUAN

I.A. LATAR BELAKANG MASALAH

Dalam era globalisasi ini, Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang akan menghadapi tantangan yang berat. Hal ini terjadi karena dalam era ini negara berkembang berhadapan secara langsung dengan negara-negara maju yang memiliki keunggulan hampir di segala aspek. Mulai dari teknologi, modal, dan khususnya sumber daya manusia. Ketiganya mempunyai arti yang sangat penting. Teknologi adalah jaminan mutu produk, modal adalah jaminan untuk mengembangkan usaha, namun dari ketiganya yang paling vital adalah sumber daya manusia. Hal ini dikarenakan faktor sumber daya manusia sangat terkait dengan kemampuan untuk menguasai teknologi, mengakses permodalan, merebut, serta mengelola peluang, dan pada akhirnya menciptakan produk yang mempunyai nilai tambah, produk yang kompetitif di pasar global (Moetjoib, dalam Salim dkk, 1997)

Secara kuantitatif, sumber daya manusia yang ada di Indonesia memang sudah memenuhi tuntutan yang ada dalam era globalisasi ini. Namun, pada kenyataannya dari segi kualitas tidaklah demikian. Akibatnya tidak mengherankan jika terjadi “import” tenaga kerja dari luar negeri dan juga terjadi perpindahan karyawan dari satu perusahaan ke perusahaan lain (Pekerti, dalam Prabowo, 2001) Di satu sisi pula, dengan tujuan untuk mengurangi biaya, organisasi di banyak negara industri melakukan pemberhentian pekerja secara merata dan mengurangi jumlah pekerja untuk penggunaan secara efektif. Selain itu organisasi juga melakukan downsizing, restrukturisasi, dan merger dengan frekuensi yang semakin meningkat beberapa tahun terakhir ini (Kinnunen, Mauno, Natti & Happonen, 2000).

Bagi para pekerja, perubahan-perubahan seperti ini dapat mengakibatkan perasaan cemas, stres, dan tidak aman dalam memikirkan kesinambungan pekerjaan mereka (Schweiger & Ivanchevich, dalam Ashford, Lee & Bobko, 1989). Marks (dalam Burke, 2000) menyatakan bahwa salah satu dampak


(5)

psikologis dari merger dan downsizing adalah job insecurity. Meyer (dalam Burke, 2000) juga menyatakan bahwa merger dan downsizing memiliki banyak konsekwensi terhadap individu, termasuk job insecurity. Para pekerja memiliki alasan yang bagus tentang mengapa mereka merasa insecure. Magnet dalam Walsh (dalam Ashford, Lee & Bobko, 1989) mengemukakan demoralisasi, rasa curiga, rasa tidak berdaya dan stress sebagai reaksi terhadap pemberhentian. Penelitian lainnya menggarisbawahi insecurity sebagai hasil utama dari pemberhentian (Brockner dalam Ashford, Lee & Bobko, 1989).

Job insecurity telah menyebar luas sejak tahun 1990-an, terutama terjadi pada pekerja profesional. Lebih dari 60% pekerja menyatakan bahwa langkah-langkah pekerjaan (dan usaha yang harus mereka perbuat terhadap pekerjaan mereka) telah meningkat. Ketakutan terhadap redundancy bukanlah satu-satunya aspek dari job insecurity. Walaupun banyak pekerja yang tidak terlalu khawatir terhadap kehilangan perkerjaannya, mereka sangat khawatir terhadap hilangnya nilai tampilan kerja mereka, seperti status dalam organisasi dan kesempatan mereka untuk promosi (Burchell, Day, Hudson, dan Ladipo, 1999).

Dalam hal ini, job insecurity diartikan sebagai tingkat di mana pekerja merasa pekerjaannya terancam dan merasa tidak berdaya untuk melakukan apa pun terhadap situasi tersebut (Ashford dkk, 1989). Job insecurity dirasakan tidak hanya disebabkan oleh ancaman terhadap kehilangan pekerjaan, tetapi juga kehilangan dimensi pekerjaan (Ashford dkk, 1989). Sebagai tambahan, Hartley, Jacobson, Klandermans, Van Vuuren (1991) menyatakan bahwa job insecurity dilihat sebagai kesenjangan antara tingkat security yang dialami seorang dengan tingkat security yang ingin diperolehnya. Job insecurity juga mempunyai dampak terhadap menurunnya keinginan pekerja untuk bekerja di suatu perusahaan tertentu dan yang akhirnya mengarah kepada keinginan untuk berhenti kerja (Ashford dkk, 1989).

Greenhalgh & Rosenblatt (dalam Kinnunen dkk, 2000) telah mengkategorisasikan penyebab job insecurity ke dalam 3 kelompok sebagai berikut:


(6)

1. Kondisi lingkungan dan organisasi (misalnya perubahan organisasional dan komunikasi organisasional)

2. Karakteristik individual dan jabatan pekerja (misalnya usia, gender, status sosial ekonomi)

3. Karakteristik personal pekerja (misalnya locus of control, self esteem) Dari penjelasan di atas, dapatlah diketahui bahwa kondisi lingkungan dan organisasi berpengaruh terhadap job insecurity. Selain komunikasi organisasional, kondisi organisasi yang dimaksud dapat pula dijelaskan dengan adanya organisasi pembelajar.

Organisasi pembelajar didefinisikan oleh Argyris (dalam Yuwono dkk, 2005) adalah suatu proses deteksi dan koreksi kesalahan. Dalam definisi ini, organisasi dikatakan organisasi pembelajar apabila organisasi tersebut melakukan pemantauan terhadap perilakunya, melakukan deteksi terhadap kesalahan yang dilakukannya, dan segera membuat koreksinya.

Organisasi pembelajar merupakan sebuah organisasi yang memfasilitasi pembelajaran dari seluruh anggotanya dan secara terus menerus mentransfomasi diri (Pedler, Boydell & Burgoyne, 1991). Mereka mendefinisikan dan menguji kelayakan gagasan mengenai perusahaan pembelajar sebagai pendekatan yang tepat untuk strategi bisnis dan pengembangan sumber daya manusia pada tahun 1990-an.

Menurut Peter Senge (1990), organisasi pembelajar adalah:

“organizations where people continually expand their capacity to create the results they truly desire, where new and expansive patterns of thinking are nurtured, where collective aspiration is set free, and where people are continually learning to see the whole together”.

Ditambahkan pula oleh Farago dan Skyrme (1995), organisasi pembelajar didefinisikan pula sebagai:

“those that have in place systems, mechanisms, and process, that are used to continually enchance their capabilities and those who work with it or for it, to achieve sustainable objectives for themselves and the communities in which they participate”.


(7)

Dari definisi yang dijelaskan oleh Farago dan Skyrme di atas dapat dicatat butir-butir berikut ini, yaitu bahwa organisasi pembelajar: (1) Adaptif terhadap lingkungan eksternalnya; (2) Secara terus-menerus menunjang kemampuannya untuk berubah; (3) Mengembangkan baik pembelajaran individual maupun kolektif; dan (4) Menggunakan hasil pembelajarannya untuk mencapai hasil yang lebih baik.

Organisasi pada saat ini menghadapi lingkungan yang terus-menerus berubah yang menuntut organisasi usaha untuk terus beradaptasi. Organisasi akan menghadapi saingan dari organisasi-organisasi sejenis lainnya. Organisasi harus terus mencari cara kerja baru dan mengambil resiko yang diperhitungkan. Dalam hal ini organisasi dituntut untuk meningkatkan efisiensi dalam proses produksi, meningkatkan mutu produknya, menghasilkan produk (barang atau jasa) yang baru (Munandar, 2003).

Semua orang setuju bahwa satu karakteristik kunci organisasi pada abad 21 ini adalah kemampuan belajar. Banyak orang bahkan percaya bahwa kemampuan belajar akan menjadi keuntungan kompetitif bagi suatu organisasi (Yuwono dkk, 2005). Ditambahkan pula oleh Susanto (2004), bila organisasi relatif lamban untuk berubah maka keputusan-keputusan serta praktek-praktek yang dibawa sejak organisasi berdiri masih tetap berlaku. Akibatnya, ketika lingkungan eksternal berubah dengan cepat, keselarasan antara organisasi dengan lingkungannya akan menurun, menyeret organisasi tersebut pada keusangan. Agar organisasi berkembang dan memiliki keunggulan kompetitif, organisasi harus mempunyai tradisi sebagai organisasi pembelajaran dan mempunyai kemampuan untuk mengelola pengetahuan (knowledge management) dengan baik.

Sekarang banyak perusahaan mulai menyadari manfaat dari upaya pembelajaran sambil terus mengembangkan modal intelektualnya terhadap organisasi mereka. Selain itu banyak pula survey dan penulisan yang dilakukan untuk melihat organisasi-organisasi yang mampu menciptakan organisasi pembelajar dan mampu mengungguli organisasi-organisasi lain dalam hal modal intelektual dan penciptaan kekayaan perusahaan.


(8)

I.B TUJUAN PENULISAN

Penulisan ini bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara persepsi terhadap organisasi pembelajar dengan job insecurity pada karyawan dalam suatu perusahaan.

I.C. MANFAAT PENULISAN

Dari penulisan ini diharapkan dapat diperoleh manfaat sebagai berikut:. 1. Memperkaya pengetahuan tentang Psikologi Industri dan Organisasi,

khususnya dalam pengelolaan sumber daya manusia terutama mengenai hubungan antara persepsi terhadap organisasi pembelajar dengan job insecurity pada karyawan.

2. Sebagai bahan masukan bagi perusahaan dalam upaya pengembangan potensi karyawan dan menjadikan strategi pengembangan sumber daya manusia sebagai pusat kebijakan bisnis dalam dunia usaha.


(9)

BAB II LANDASAN TEORI

II.A. JOB INSECURITY

II.A.1. Pengertian Job Insecurity

Ashford dkk (1989) mengatakan bahwa job insecurity merupakan suatu tingkat di mana para pekerja merasa pekerjaannya terancam dan merasa tidak berdaya untuk melakukan apa pun terhadap situasi tersebut. Job insecurity dirasakan tidak hanya disebabkan oleh ancaman terhadap kehilangan pekerjaan, tetapi juga kehilangan dimensi pekerjaan (Ashford dkk, 1989).

Joelsen dan Wahlquist (dalam Hartley dkk, 1991) menyatakan bahwa job insecurity merupakan pemahaman individual pekerja sebagai tahap pertama dalam proses kehilangan pekerjaan. Kenyataannya, populasi yang mengalami job insecurity adalah selalu dalam jumlah yang lebih besar daripada pekerja yang benar-benar kehilangan pekerjaan. Sebagai tambahan, Hartley (1991) menyatakan bahwa job insecurity dilihat sebagai kesenjangan antara tingkat security yang dialami seseorang dengan tingkat security yang ingin diperolehnya.

Selain itu, Greenhalgh dan Rosenblatt (dalam Hartley dkk, 1991) mendefinisikan job insecurity sebagai ketidakberdayaan untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam kondisi kerja yang terancam. Dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam organisasi, karyawan sangat mungkin merasa terancam, gelisah, dan tidak aman karena potensi perubahan untuk mempengaruhi kondisi kerja dan kelanjutan hubungan serta balas jasa yang diterimanya dari organisasi.

Dapat disimpulkan bahwa job insecurity merupakan penilaian pekerja terhadap suatu keadaan di mana mereka merasa terancam dan mereka merasa tidak berdaya untuk mempertahankan kesinambungan pekerjaan tersebut.

II.A.2. Aspek-aspek Job Insecurity

Konstruk job insecurity terdiri dari dua dimensi, yaitu besarnya ancaman (severity of threat) atau derajat ancaman yang dirasakan mengenai kelanjutan


(10)

situasi kerja tertentu. Ancaman ini dapat terjadi pada berbagai aspek pekerjaan atau pada keseluruhan pekerjaan, dan yang kedua adalah powerlesness (Greenhalgh dan Rosenblatt dalam Ashford dkk, 1989), di mana efeknya dapat dijelaskan dengan kalkulasi sebagai berikut:

job insecurity = perceived severity of the threat X perceived powerless to resist the threat.

Ruvio dan Rosenblatt (1999) kemudian memperjelas kembali kedua dimensi tersebut, sebagai berikut: pertama adalah perasaan terancam pada total pekerjaan seseorang, misalnya seseorang dipindahkan ke posisi yang lebih rendah dalam organisasi, dipindahkan ke pekerjaan lain dengan level yang sama dalam organisasi atau diberhentikan sementara. Pada sisi lain kehilangan pekerjaan mungkin dapat terjadi secara permanen atau seseorang mungkin dipecat atau dipaksa pensiun terlalu awal.

Yang kedua adalah perasaan terancam terhadap tampilan kerja (job features). Misalnya, perubahan organisasional mungkin menyebabkan seseorang kesulitan untuk mengalami kemajuan dalam organisasi, mempertahankan gaji atau pun meningkatkan pendapatan. Hal ini mungkin berpengaruh terhadap posisi seseorang dalam perusahaan, kebebasan untuk mengatur pekerjaan, penampilan kerja, dan signifikansi pekerjaan. Ancaman terhadap tampilan kerja mungkin juga berperan dalam kesulitan mengakses sumber-sumber yang sebelumnya siap dipakai.

Ketiga, job insecurity mungkin berperan dalam perasaan seseorang terhadap kurangnya kontrol atau ketidakmampuan untuk mengendalikan kejadian-kejadian di lingkungan kerjanya yaitu perasaan tidak berdaya (powerlesness).

Namun, di dalam penulisan ini dimensi powerlesness yang dikemukakan Greenhalgh dan Rosenblatt (dalam Hartley dkk, 1991) tidak digunakan karena ada penulisan yang membuktikan bahwa dimensi powerlesness tidak berhubungan secara statistik dengan dimensi lainnya dalam pengukuran job insecurity.

Ditambahkan oleh Hartley (1991) bahwa powerlesness boleh tidak dimasukkan sebagai komponen ketiga dalam pengukuran job insecurity sejak


(11)

diketahui bahwa powerlesness dapat digolongkan sebagai bagian dari kemungkinan kehilangan pekerjaan, karena powerlesness dalam menghadapi ancaman akan membuat perasaan kehilangan semakin besar. Jika karyawan merasa bahwa mereka mempunyai kekuatan, maka kemungkinan akan merasa kehilangan pekerjaan akan menurun. Sehingga menurut Brown-Johnson (dalam Hartley dkk, 1991), powerlesness tidak berbeda secara konseptual dengan kemungkinan kehilangan pekerjaan, baik untuk keseluruhan kerja maupun tampilan kerja.

II.A.3. Dampak Job Insecurity

Greenhalgh dan Rosenblatt (dalam Ashford dkk, 1989) mengkonseptualisasikan job insecurity sebagai suatu sumber stress yang melibatkan ketakutan, kehilangan potensi, dan kecemasan. Salah satu akibat dari stress tersebut adalah dalam bentuk permasalahan somatis, seperti tidak bisa tidur, dan kehilangan selera makan. Taber, Walsh, dan Cooke (dalam Ashford dkk, 1989) menyatakan bahwa perasaan job insecurity dapat meningkatkan permasalahan somatis dan hipertensi.

Berdasarkan penulisan Ashford dkk (1989), diketahui bahwa job insecurity yang tinggi yang dirasakan karyawan akan berhubungan dengan:

a. Keinginan untuk mencari pekerjaan baru

Ketegangan yang dipengaruhi oleh job insecurity juga penting disebabkan karena efeknya terhadap turnover. Seperti stressor yang lainnya, job insecurity mungkin berhubungan dengan respon penarikan diri - sebuah usaha untuk menghindari stress. Oleh karena itu, job insecurity seharusnya mempunyai hubungan yang positif dengan keinginan untuk bekerja. Orang yang mengalami job insecurity mungkin juga meninggalkan pekerjaan demi alasan yang masuk akal. Hal ini akan masuk akal bagi karyawan yang khawatir terhadap kesinambungan pekerjaan mereka, kemudian mencari kesempatan karir yang lebih aman (Greenhalgh dan Rosenblatt dalam Ashford dkk, 1989)


(12)

b. Komitmen organisasi yang rendah

Penulisan telah mengindikasikan bahwa orang-orang mengembangkan pendekatan efektif dalam sikap terhadap perusahaan sepanjang waktu (Mowday, Steers, & Porter, dalam Ashford dkk, 1989), yang ditunjukkan sebagai level komitmen, kepuasan dan kepercayaan yang tinggi. Perasaan job insecurity dapat mengancam pendekatan tersebut terhadap perusahaan. Karyawan mengharapkan perusahaan dapat diandalkan untuk menegakkan akhir dari kontrak psikologis di antara mereka (Buchanan, dalam Ashford dkk, 1989). Penerimaan job insecurity mungkin merefleksikan persepsi individu bahwa perusahaan telah membatalkan kontrak psikologis, dalam hal ini tampilan penting terancam, pekerjaan berada dalam bahaya (bahkan keduanya) dan kesetiaan dipengaruhi secara negatif (Romzek dalam Ashford dkk, 1989).

c. Trust organisasi yang rendah.

Individu yang merasa bahwa perusahaan tidak dapat diandalkan untuk menghasilkan komitmen terhadap karyawannya, dapat mengurangi komitmen karyawan terhadap organisasi. Job Insecurity akan berhubungan secara negatif dengan komitmen karyawan dan kepercayaan mereka terhadap perusahaan (Forbes dalam Ashford dkk, 1989). Hubungan ini akan terjadi karena karyawan yang insecure akan kehilangan kepercayaan dan keyakinan bahwa perusahaan dapat diandalkan dan pendekatan mereka terhadap perusahaan mereka akan berkurang.

d. Kepuasan kerja yang rendah

Persepsi terhadap job insecurity akan berhubungan secara negatif dengan pengukuran kepuasan kerja. Dari penulisan sebelumnya (Oldham, Julik, Ambrose, Stevina, & Brand dalam Ashford dkk, 1989) dapat diketahui bahwa karyawan dengan tingkat persepsi terhadap job insecurity yang rendah akan kurang puas dengan pekerjaan mereka. Para peneliti telah mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu respon afektif terhadap pekerjaan dan tugas-tugas (Locke dalam Ashford dkk., 1989). Orang


(13)

berespon secara afektif terhadap pekerjaan dalam kondisi di mana mereka secara kognitif merepresentasikan atau menerima pekerjaan tersebut (Hackman & Oldham dalam Ashford dkk, 1989).

II.A.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Job Insecurity

Greenhalgh dan Rosenblatt (dalam Ashford dkk, 1989) telah mengkategorikan penyebab job insecurity ke dalam tiga kelompok sebagai berikut:

a. Kondisi lingkungan dan organisasi

Kondisi lingkungan dan organisasi ini dapat dijelaskan oleh beberapa faktor, misalnya: komunikasi organisasional dan perubahan organisasional. Perubahan organisasional yang terjadi antara lain dengan dilakukannya downsizing, restrukturisasi, dan merger oleh perusahaan. Senge (1990) dan Denton dan Wisdom (1991) mengatakan bahwa organisasi yang paling sukses dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi adalah organisasi yang menciptakan tradisi pembelajaran. Susanto (2004) mengatakan bahwa organisasi pembelajar merupakan organisasi yang siap menghadapi perubahan dengan mengelola perubahan itu sendiri (managing change).

b. Karakteristik individual dan jabatan pekerja

Karakteristik individual dan jabatan pekerja terdiri dari: usia, gender, senioritas, pendidikan, posisi pada perusahaan, latar belakang budaya, status, sosial ekonomi, dan pengalaman kerja.

c. Karakteristik personal pekerja

Karakteristik personal pekerja yang dapat mempengaruhi job insecurity misalnya: locus of control, self esteem, dan perasaan optimis atau pesimis pada karyawan.

Jumlah variansi dalam penerimaan job insecurity yang dijelaskan oleh predictor ini adalah sekitar 20%. Predictor terbaik biasanya adalah faktor-faktor posisional, seperti pengalaman pengangguran sebelumnya, atau kontrak kerja sementara (Kinnunen & Naetti dalam Ashford dkk, 1989), faktor-faktor personal


(14)

(Roskies & Louisguerin dalam Ashford dkk, 1989) dan tanda-tanda ancaman, contohnya rumor mengenai reorganisasi atau perubahan manajemen (Ashford dkk, 1989).

Dari uraian di atas dapatlah diketahui bahwa salah satu faktor yang dapat menyebabkan job insecurity pada karyawan adalah kondisi lingkungan dan organisasi.

II.B. PERSEPSI TERHADAP ORGANISASI PEMBELAJAR II.B.1. Pengertian Persepsi

Menurut Anoraga dan Widyanti (1993), persepsi adalah proses seseorang individu memilih, mengorganisasikan, dan menafsirkan masukan-masukan informasi untuk menciptakan sebuah gambar yang bermakna tentang dunia. Persepsi tergantung bukan hanya pada sifat-sifat rangsangan fisik, tetapi juga pada hubungan rangsangan medan sekelilingnya dan kondisi dalam diri individu.

Menurut Chaplin (2001), persepsi adalah proses mengetahui dan mengenali objek dan kejadian objek dengan bantuan indera kesadaran dan proses-proses organisasi. Suatu kelompok penginderaan dengan penambahan arti-arti yang berasal dari pengalaman di masa lalu atau kesadaran implisit mengenai kebenaran langsung antar keyakinan serta merta mengenai sesuatu.

Menurut Levine & Shefner (1991), persepsi mengacu pada cara yang kita tempuh untuk mengumpulkan dan menginterpretasikan informasi yang diterima dari alat indera kita.

Davidoff (Walgito, 2001) mengatakan bahwa stimulus yang diindera oleh individu diorganisasikan, kemudian diinterpretasikan sehingga individu menyadari, mengerti apa yang diindera itu dan selanjutnya menghasilkan persepsi. Persepsi juga dapat didefinisikan sebagai suatu proses di mana individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka. Apa yang dipersepsikan seseorang dapat berbeda dari kenyataan yang objektif. Persepsi penting dalam dunia usaha karena perilaku orang-orang didasarkan pada persepsi mengenai realitas, bukan mengenai realitas


(15)

itu sendiri. Dunia yang dipersepsikan adalah dunia yang penting dari segi perilaku (Robbins, 2001).

Berdasarkan beberapa pengertian tentang persepsi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan suatu proses yang melibatkan aspek kognitif dan afektif, untuk melakukan pemilihan, pengaturan, dan pemahaman, serta menginterpretasikan terhadap rangsang inderawi menjadi suatu gambaran objek tertentu secara utuh. Persepsi berkaitan erat dengan proses inderawi, yakni melihat dengan menggunakan mata, mencium dengan hidung, merasa dengan kulit. Dari yang dirasakan oleh inderawi individu tersebut, ia selanjutnya memberikan makna dari apa yang dirasakan.

II.B.2. Pengertian Organisasi Pembelajar

Istilah organisasi pembelajar sebagian berasal dari gerakan “In Search of Excellence” dan selanjutnya digunakan oleh Garrat (Dale, 2003). Namun Geoffrey Holland (Dale, 2003) selanjutnya menyatakan bahwa:

“jika kita mau bertahan hidup secara individual atau sebagai perusahaan, ataupun sebagai bangsa kita harus menciptakan tradisi perusahaan pembelajaran.”

Pengertian pertama mengenai organisasi pembelajar datang dari Argyris (Argyris & Schön, 1977), yang menyatakan bahwa pembelajaran organisasi adalah suatu proses deteksi dan koreksi kesalahan. Dalam definisi ini, organisasi dikatakan organisasi pembelajar apabila organisasi tersebut melakukan pemantauan terhadap perilakunya, melakukan deteksi terhadap kesalahan yang dilakukan, dan segera membuat koreksinya.

Selanjutnya organisasi pembelajar didefinisikan oleh Pedler, Boydell, dan Burgoyne (dalam Dale, 2003) sebagai sebuah organisasi yang memfasilitasi pembelajaran dari seluruh anggotanya dan secara terus menerus mentransfomasi diri. Mereka mendefinisikan dan menguji kelayakan gagasan mengenai perusahaan pembelajar sebagai pendekatan yang tepat untuk strategi bisnis dan pengembangan sumber daya manusia pada tahun 1990-an.


(16)

Menurut Senge (1990), organisasi pembelajar adalah:

“organizations where people continually expand their capacity to create the results they truly desire, where new and expansive patterns of thinking are nurtured, where collective aspiration is set free, and where people are continually learning to see the whole together”.

Oleh Farago dan Skyrme (1995), oganisasi pembelajar didefinisikan pula sebagai:

“those that have in place systems, mechanisms, and process, that are used to continually enchance their capabilities and those who work with it or for it, to achieve sustainable objectives for themselves and the communities in which they participate”.

Dari definisi ini dapat dicatat butir-butir berikut, yaitu bahwa organisasi pembelajar:

a. Adaptif terhadap lingkungan eksternalnya.

b. Secara terus-menerus menunjang kemampuannya untuk berubah. c. Mengembangkan baik pembelajaran individual maupun kolektif

d. Menggunakan hasil pembelajarannya untuk mencapai hasil yang lebih baik.

Garrat (2000) mendefinisikan organisasi pembelajar sebagai suatu organisasi yang dijalankan dengan proses belajar yang keras dan teratur, umumnya melalui debat dan review secara terbuka dan kritis pada seluruh level dari organisasi tersebut yang dilakukan secara terus-menerus sebagai bagian dari pekerjaan sehari-hari.

Menurut Robbins (2001), organisasi pembelajar adalah suatu organisasi yang membangun kapasitasnya secara terus-menerus untuk beradaptasi dan melakukan perubahan.

Osland, Kolb, dan Rubin (2001) mendefinisikan organisasi pembelajar sebagai suatu keterampilan organisasi dalam menciptakan, mendapatkan, mentransfer pengetahuan, dan memodifikasi perilakunya untuk menghasilkan pengetahuan dan pemahaman-pemahaman baru.


(17)

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa organisasi pembelajar merupakan suatu organisasi tempat di mana orang-orangnya secara terus-menerus memperluas kapasitas menciptakan hasil yang sungguh-sungguh mereka inginkan, di mana pola berpikir baru dan ekspansif ditumbuhkan, aspirasi kolektif dibiarkan bebas, dan terus-menerus berupaya belajar bersama.

II.B.3. Pengertian Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar

Pembelajaran yang dilakukan di dalam organisasi merupakan hal yang penting, mengingat perubahan merupakan hal yang akan terus terjadi. Untuk menghadapi perubahan itu kita harus berubah, selalu antisipatif dengan kemungkinan-kemungkinan baru dan kreatif menghadapi perubahan tersebut. Satu hal konkret yang bisa kita lakukan adalah dengan belajar. Organisasi pembelajar hanya dapat terjadi apabila individu-individu dalam organisasi tersebut memiliki kemauan untuk belajar.

Dalam menginterpretasikan organisasi pembelajar tersebut, di dalam diri karyawan terjadi proses kognitif dan afektif. Karyawan akan menginterpretasikan apakah perusahaan mendukung atau malah menghambat adanya pembelajaran dalam dirinya. Jika harapan dan kebutuhan-kebutuhan karyawan terpenuhi maka persepsinya terhadap organisasi pembelajar akan semakin positif. Sebaliknya jika karyawan menginterpretasikan bahwa organisasi pembelajar yang diterapkan perusahaan tidak dapat memenuhi harapan-harapan dan kebutuhannya maka persepsinya terhadap organisasi pembelajar akan semakin negatif.

Dari konsep persepsi dan konsep organisasi pembelajar dapat disimpulkan bahwa persepsi terhadap organisasi pembelajar adalah suatu proses mengamati dan memperhatikan yang melibatkan aspek kognitif dan afektif individu dalam menginterpretasikan suatu organisasi tempat di mana orang-orangnya secara terus-menerus memperluas kapasitas menciptakan hasil yang sungguh-sungguh mereka inginkan, di mana pola berpikir baru dan ekspansif ditumbuhkan, aspirasi kolektif dibiarkan bebas, dan terus-menerus berupaya belajar bersama.


(18)

II.B.4. Karakteristik Organisasi Pembelajar

Karakteristik dari organisasi pembelajaran menurut Schein (1992), yaitu: a. Budaya pembelajaran. Iklim organisasi yang mengasuh

pembelajaran.

b. Proses-proses yang mendorong interaksi antar batas-batas (boundaries).

c. Peralatan dan teknik-teknik. Metode-metode yang membantu pembelajaran individual dan kelompok.

d. Keterampilan dan motivasi untuk belajar dan menyesuaikan diri. Schein (1992) dalam pembahasannya mengenai organisasi pembelajaran, mengajukan ciri-ciri budaya pembelajaran, sebagai berikut:

a. Dalam hubungan dengan lingkungannya, organisasilah yang harus lebih dominan.

b. Manusia hendaknya berperilaku proaktif. c. Manusia pada dasarnya makhluk yang baik. d. Manusia pada dasarnya dapat diubah.

e. Dalam hubungan antar manusia, individualisme dan ‘groupism’ sama-sama penting.

f. Dalam hubungan atasan bawahan, kesejawatan / partisipatif dengan otoritatif / paternalistik sama-sama pentingnya.

g. Orientasi waktu lebih berorientasi pada masa depan yang pendek h. Untuk penghitungan waktu lebih digunakan waktu satuan waktu

yang medium.

i. Jaringan informasi dan komunikasi bersinambung secara lengkap j. Orientasi hubungan dan orientasi tugas sama-sama pentingnya. k. Proses pemikiran sistemik penting.

Megginson dan Pedler (dalam Dale, 2003) memberikan sebuah panduan mengenai konsep perusahaan pembelajaran, yaitu suatu ide yang dapat bertindak sebagai “bintang petunjuk”, di mana ia bisa membantu orang berpikir dan bertindak bersama menurut apa maksud gagasan semacam ini, bagi mereka saat ini dan di masa yang akan datang. Seperti halnya semua visi, ia bisa membantu


(19)

menciptakan kondisi di mana sebagian ciri-ciri perusahaan pembelajar dapat dihasilkan.

Kondisi-kondisi tersebut di atas adalah: a. Strategi pembelajaran;

b. Pembuatan kebijakan partisipatif;

c. Pemberian informasi (yaitu teknologi informasi digunakan untuk menginformasikan dan memberdayakan orang untuk mengajukan pertanyaan dan mengambil keputusan berdasarkan data-data yang tersedia);

d. Akunting formatif (yaitu sistem pengendalian disusun untuk membantu belajar dari keputusan);

e. Pertukaran internal; f. Kelenturan penghargaan;

g. Struktur-struktur yang memberikan kemampuan; h. Pekerja lini depan sebagai penyaring lingkungan; i. Pembelajaran antarperusahaan;

j. Suasana belajar;

k. Pengembangan diri bagi semua orang.

Selanjutnya oleh Farago dan Skyrme (1995) menyatakan bahwa budaya pembelajaran mencakup beberapa hal, yaitu:

a. Future, external orientation

b. Free exchange and flow of information

c. Commitment to learning, personal development d. Valuing people

e. Climate of openness and trust f. Learning from experience

Dengan melakukan semua ini bukan berarti bahwa suatu organisasi telah menjadi organisasi pembelajar. Perlu dipastikan bahwa tindakan-tindakan tersebut tidak dilakukan hanya sekali-sekali saja. Tindakan-tindakan tersebut harus ditanamkan, sehingga menjadi cara kerja sehari- hari yang rutin dan normal yang dapat dibiasakan.


(20)

Dalam upaya pengembangan organisasi pembelajaran, Farago dan Skyrme (1995) menyarankan hal-hal sebagai berikut:

a. Dapat mulai dari atas (The Top)

b. Dapat mulai dengan masalah yang chronic c. Dirikan satuan tugas

d. Mulai dengan organizational diagnosis.

e. Hubungkan dengan proses atau inisiatif yang ada (existing) f. Tinjau kembali sistem dan proses yang ada

g. Pengembangan produk yang baru.

Menurut Osland, Kolb, dan Rubin (2001), organisasi pembelajar memiliki karakteristik-karakteristik, sebagai berikut:

a. Pemecahan masalah yang sistematis b. Eksperimentasi

c. Belajar dari pengalaman masa lalu d. Belajar dari organisasi lain

Day, Peters, dan Race (1999) mengkarakteristikkan organisasi pembelajar ke dalam sepuluh karakteristik, yaitu:

a. Mengidentifikasikan kebutuhan belajar anggotanya pada saat ini. b. Mengidentifikasikan kebutuhan belajar anggotanya pada masa yang

akan datang.

c. Melakukan sesuatu untuk mengatasi adanya kebutuhan belajar saat ini dan yang akan datang melalui kesempatan belajar yang distrukturkan. d. Menggunakan pengalaman kerja sehari-hari sebagai dasar untuk

belajar.

e. Mendapatkan dan mengklarifikasikan pengetahuan di dalam organisasi yang diperoleh dalam suatu wadah yang sistematis.

f. Menyediakan kesempatan agar pengetahuan yang diperoleh tersebut digunakan, disalurkan, dan dimanfaatkan.

g. Menggunakan beragam pendekatan dalam belajar

h. Melakukan respon (mengevaluasi, memberi umpan balik, mereview belajar yang telah dilakukan)


(21)

i. Perangkat organisasi pembelajar terfokus pada hasil akhir sebagaimana juga prosesnya.

j. Perangkat organisasi pembelajar menyukai belajar dan mempercayainya sebagai kunci untuk masa depan yang kompetitif. Rosengarten (dalam Yuwono dkk, 2005) menyimpulkan beberapa elemen yang harus ada dalam organisasi pembelajar, yaitu sebagai berikut:

a. The Learning Process

b. Elemen ini merupakan bagian integral dari hampir semua definisi. a. Knowledge acquisition or generation

c. Elemen ini menunjuk bahwa proses pembelajaran sebagai incorporating pengetahuan dari luar organisasi dan creating pengetahuan dari dalam, paling banyak melalui trial dan error. Elemen ini dinyatakan oleh Huber (1991) dan Dixon (1994) dengan menyebut knowledge acquisition, dan Nonaka dan Takeuchi (1995) sebagai knowledge generation.

a. Individual Learning

d. Elemen ini dimasukkan sebagai prerequisite pembelajaran organisasi seperti yang dinyatakan oleh Argyris & Schon (1978) dan Pawlowsky (1992).

a. Teams Learning

e. Elemen ini dimasukkan berdasarkan pertimbangan bahwa beberapa penulis seperti Senge (1990), Dixon (1994), dan Pawlowsky (1992), menyebutkan bahwa team learning sebagai faktor penting terjadinya pembelajaran organisasi.

a. Organizational Knowledge

f. Elemen ini dinyatakan oleh mayoritas penulis dan menjadi suciffient condition untuk terjadinya organizational actions.

II.B.5. Aspek-Aspek Pengukuran Organisasi Pembelajar

Menurut Senge (1996), terdapat lima disiplin yang menjadi dasar untuk sebuah organisasi pembelajar, yaitu:


(22)

a. Berpikir Sistem (Systems Thinking)

Berpikir sistem (systems thinking) adalah suatu kerangka kerja konseptual, yaitu suatu cara dalam menganalisis dan berpikir tentang suatu kesatuan dari keseluruhan prinsip-prinsip organisasi pembelajar. Tanpa kemampuan menganalisis dan mengintegrasikan disiplin-disiplin organisasi pembelajar, tidak mungkin dapat menterjemahkan disiplin-displin itu ke dalam tindakan (kegiatan) organsasi yang lebih luas.

Disiplin ini membantu kita melihat bagaimana kita mengubah sistem-sistem secara lebih efektif, dan bertindak lebih selaras dengan proses-proses yang lebih besar dari alam dan dunia ekonomi.

Berpikir secara sistem adalah kemampuan untuk melihat dalam gambaran yang besar, keterkaitan pada suatu sistem, sehingga terjadi proses yang terus-menerus untuk dipelajari.

Berpikir sistem juga merupakan paradigma yang tidak hanya memberikan penekanan pada suatu pola perubahan (pattern of change), melainkan pada cara berpikir yang dinamis dan sistemik. Oleh karena itu, organisasi yang dibangun dengan pola berpikir sistem akan mampu melihat pola perubahan secara keseluruhan dengan pandangan bahwa segala usaha manusia saling berkaitan, saling mempengaruhi, dan membentuk sinergi. b. Keahlian Pribadi (Personal Mastery)

Keahlian pribadi secara sederhana dapat diartikan sebagai kemampuan individu untuk berkembang dalam menguasai dan memahami aspek tertentu. Seseorang yang memiliki keahlian pribadi yang cukup tinggi, akan dapat secara konsisten mewujudkan apa yang ia inginkan.

Keahlian pribadi merupakan suatu disiplin yang antara lain menunjukkan kemampuan untuk senantiasa mengklarifikasi dan mendalami visi pribadi, memfokuskan energi, mengembangkan kesabaran, dan memandang realitas secara obyektif.

Keahlian pribadi juga merupakan kegiatan belajar untuk meningkatkan kapasitas pribadi kita untuk menciptakan hasil yang paling kita inginkan dan menciptakan suatu lingkungan organisasi yang mendorong semua anggotanya


(23)

mengembangkan diri mereka sendiri ke arah sasaran-sasaran dan tujuan-tujuan yang mereka pilih.

Setiap anggota tim memilih visi pribadinya dan kemudian secara terus-menerus mengukur kesenjangan antara kecakapan yang sekarang dimilikinya dengan yang diinginkannya sesuai dengan visi tersebut, sehingga terus-menerus melatih dan meningkatkan keahliannya hingga hasil yang diinginkannya dapat terinternalisasi.

Unsur ini merupakan aspek yang esensial dari organisasi pembelajar. Manusia yang memiliki keahlian pribadi yang tinggi mempunyai karakteristik yang positif. Mereka akan memiliki komitmen yang tinggi terhadap tujuan yang melatarbelakangi visinya. Individu yang memiliki karakteristik yang demikian akan melihat visinya sebagai panggilan, bukan hanya sekedar pemikiran yang cemerlang.

c. Model Mental (Mental Models)

Model mental adalah suatu prinsip yang mendasar dari organisasi pembelajar, karena dengannya organisasi dan individu yang ada di dalamnya diperkenankan untuk berpikir dan merefleksikan struktur dan arahan (perintah) dalam organisasi dan juga dari dunia luar selain organisasinya.

Disebutkan pula oleh Senge bahwa model mental adalah suatu aktivitas perenungan, terus menerus mengklarifikasikan, dan memperbaiki gambaran-gambaran internal kita tentang dunia, dan melihat bagaimana hal itu membentuk tindakan dan keputusan kita. Model mental dapat diartikan sebagai asumsi yang mendalam, generalisasi ataupun pandangan yang mempengaruhi bagaimana manusia memahami dunia realita di sekelilingnya dan bagaimana manusia mengambil tindakan.

Model mental terkait dengan bagaimana seseorang berpikir dengan mendalam tentang mengapa dan bagaimana dia melakukan tindakan atau aktivitas dalam berorganisasi. Model mental merupakan suatu pembuatan peta atau model kerangka kerja dalam setiap individu untuk melihat bagaimana melakukan pendekatan terhadap masalah yang dihadapinya. Dengan kata lain,


(24)

model mental bisa dikatakan sebagai konsep diri seseorang, yang dengan konsep diri tersebut dia akan mengambil keputusan terbaiknya.

Manusia sering tidak sadar akan model mental yang dimilikinya ataupun pengaruhnya terhadap perilaku. Keingintahuan (inquiry) dan advokasi (advocacy) merupakan salah satu strategi untuk perubahan model mental. Dengan strategi ini model mental akan muncul ke permukaan dan orang akan mampu berdiskusi secara produktif melalui keterbukaan.

d. Membangun Visi Bersama (Building Shared Vision)

Visi bersama adalah suatu gambaran umum dari organisasi dan tindakan (kegiatan) organisasi yang mengikat orang-orang secara bersama-sama dari keseluruhan identifikasi dan perasaan yang dituju.

Dengan visi bersama organisasi dapat membangun suatu rasa komitmen dalam suatu kelompok dengan membuat gambaran-gambaran bersama tentang masa depan yang coba diciptakan, dan prinsip-prinsip serta praktek-praktek penuntun yang melaluinya kita harapkan untuk bisa mencapai masa depan. Membangun visi bersama sangat vital dalam organisasi pembelajar karena visi dapat memberikan fokus dan energi bagi proses belajar.

Seluruh anggota organisasi harus memahami, saling berbagi, dan berkontribusi pada visi organisasi, dan berupaya membuatnya menjadi kenyataan. Visi bersama perlu terus dipelihara dan dikaji ulang oleh karena kehidupan organisasi sangat dipengaruhi oleh perubahan eksternal organisasi. Kekuatan visi pribadi diperoleh dari kepedulian yang dalam dari orang tersebut, sedangkan kekuatan visi bersama diperoleh dari kepedulian bersama. e. Pembelajaran Tim (Team Learning).

Pembelajaran tim merupakan kekuatan yang vital di dalam mewujudkan organisasi pembelajaran. Pembelajaran tim pada dasarnya merupakan proses peningkatan kapasitas tim, sehingga tercipta hasil-hasil yang merupakan perwujudan dari keinginan dan kerja sama setiap individu dalam tim. Oleh karena itu pengertian tim tersebut mangandung makna sekelompok manusia yang bekerja sama sebagai suatu kesatuan yang utuh,


(25)

saling mempercayai, saling menghargai, dan menjunjung tinggi kelebihan yang ada pada tim, sehingga sesama anggota tim dapat saling mengisi dan berkontribusi demi terwujudnya hasil kerja tim yang diinginkan.

Pembelajaran tim terfokus pada kemampuan belajar dalam suatu kelompok. Sesama anggota tim sebagai orang dewasa saling belajar dan mengungkapkan mengenai suatu masalah, membuat asumsi-asumsi, dan memperoleh umpan balik dari timnya dan hasil dari diskusi tersebut. Dengan demikian pembelajaran tim berkaitan dengan keterampilan dan keahlian individu secara kolektif, yang menghasilkan pemikiran yang lebih berkualitas dari pemikiran individu. Pembelajaran tim akan berjalan secara optimal apabila terlaksana diskusi dan dialog yang efektif antara individu yang ada dalam tim tersebut.

II.C. HUBUNGAN PERSEPSI TERHADAP ORGANISASI PEMBELAJAR DENGAN JOB INSECURITY.

Job insecurity diartikan sebagai tingkat di mana pekerja merasa pekerjaannya terancam dan merasa tidak berdaya untuk melakukan apa pun terhadap situasi tersebut (Ashford dkk, 1989). Job insecurity dirasakan tidak hanya disebabkan oleh ancaman terhadap kehilangan pekerjaan, tetapi juga kehilangan dimensi pekerjaan (Ashford dkk, 1989). Sebagai tambahan, Hartley, Jacobson, Klandermans, dan Vuuren (1991) menyatakan bahwa job insecurity dilihat sebagai kesenjangan antara tingkat security yang dialami seseorang dengan tingkat security yang ingin diperolehnya. Job insecurity juga mempunyai dampak terhadap menurunnya keinginan pekerja untuk bekerja di suatu perusahaan tertentu dan yang akhirnya mengarah kepada keinginan untuk berhenti bekerja (Ashford dkk, 1989).

Sverke, Hellgren, dan Naswall (dalam WHO, 2003), mengatakan bahwa job insecurity menghasilkan konsekuensi yang negatif terhadap sikap kerja, sikap organisasi, kesehatan pekerja dan dalam beberapa kasus dapat merusak hubungan pekerja dengan organisasi.


(26)

Seperti yang telah diuraikan dalam landasan teori dikatakan bahwa salah satu penyebab dari job insecurity adalah kondisi lingkungan dan organisasi, misalnya komunikasi organisasional dan perubahan organisasional. Perubahan organisasional yang sering terjadi antara lain dengan dilakukannya downsizing, restrukturisasi, dan merger dengan frekuensi yang semakin meningkat oleh perusahaan. Perubahan organisasional ini terjadi dengan harapan untuk mengurangi pengeluaran perusahaan dan demi meningkatkan efesiensi kerja (Hitt, Keats, Harback & Nixon, 1994). Bagi para pekerja, perubahan-perubahan seperti ini dapat mengakibatkan perasaan cemas, stress, dan tidak aman dalam memikirkan kesinambungan pekerjaan mereka (Schweiger & Ivanchevich, dalam Ashford, Lee & Bobko, 1989). Marks (dalam Burke, 2000) menyatakan bahwa salah satu dampak psikologis dari merger dan downsizing adalah job insecurity. Job insecurity juga dapat memperkuat keinginan seorang karyawan untuk meninggalkan perusahaan tersebut (turn over). Dampak dari job insecurity ini jelas sangat mengancam suatu organisasi untuk dapat bertahan hidup.

Senge (1990) dan Denton dan Wisdom (1991) mengatakan bahwa organisasi yang paling sukses dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi adalah organisasi yang mampu menciptakan tradisi pembelajaran. Susanto (2004) mengatakan bahwa organisasi pembelajar merupakan organisasi yang siap menghadapi perubahan, dengan mengelola perubahan itu sendiri (managing change). Geoffrey Holland (dalam Dale, 2003) selanjutnya menyatakan bahwa jika kita mau bertahan hidup secara individual atau sebagai perusahaan, ataupun sebagai bangsa, kita harus menciptakan tradisi perusahaan pembelajaran.

Ruvio dan Rosenblatt (1999) menjelaskan bahwa job insecurity memiliki dua dimensi yaitu: (1) Perasaan terancam pada total pekerjaan seseorang, misalnya seseorang dipindahkan ke posisi yang lebih rendah dalam organisasi, dipindahkan ke pekerjaan lain dengan level yang sama dalam organisasi atau diberhentikan sementara; dan (2) Perasaan terancam terhadap tampilan kerja (job features). Misalnya, perubahan organisasional mungkin menyebabkan seseorang kesulitan untuk mengalami kemajuan dalam organisasi, mempertahankan gaji atau pun meningkatkan pendapatan. Hal ini mungkin berpengaruh terhadap posisi


(27)

seseorang dalam perusahaan, kebebasan untuk mengatur pekerjaan, penampilan kerja, dan signifikansi pekerjaan, serta kesulitan mengakses sumber-sumber yang sebelumnya siap dipakai.

Senge (1990), penyusun buku “The Fifth Discipline Fieldbook”, mengutarakan bahwa gagasan organisasi pembelajaran perlu disebarluaskan guna mencapai kinerja tinggi dan memenangkan persaingan, hubungan dengan pelanggan lebih baik, menghindari penurunan, memperbaiki kualitas, memunculkan inovasi, memenuhi kebutuhan pribadi dan spiritual, meningkatkan kemampuan kita dalam mengelola perubahan, memperluas batasan-batasan, memperoleh kebebasan, dan menghargai saling ketergantungan.

Selanjutnya Senge (1990) dalam bukunya, “The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning Organization”, mendeskripsikan bahwa salah satu elemen dari organisasi pembelajar adalah keahlian pribadi (personal mastery). Keahlian pribadi diartikan sebagai kemampuan individu untuk berkembang dalam menguasai dan memahami aspek tertentu. Seseorang yang memiliki keahlian pribadi yang cukup tinggi, akan dapat secara konsisten mewujudkan apa yang ia inginkan. Keahlian pribadi merupakan suatu disiplin yang antara lain menunjukkan kemampuan untuk senantiasa mengklarifikasi dan mendalami visi pribadi, memfokuskan energi, mengembangkan kesabaran, dan memandang realitas secara obyektif. Keahlian pribadi juga merupakan kegiatan belajar untuk meningkatkan kapasitas pribadi kita untuk menciptakan hasil yang paling kita inginkan, dan menciptakan suatu lingkungan organisasi yang mendorong semua anggotanya mengembangkan diri mereka sendiri ke arah sasaran-sasaran dan tujuan-tujuan yang mereka pilih. Manusia yang memiliki keahlian pribadi yang tinggi mempunyai karakteristik yang positif. Mereka akan memiliki komitmen yang tinggi terhadap tujuan yang melatarbelakangi visinya.

Organisasi pembelajar adalah organisasi yang memberikan kesempatan dan mendorong setiap individu yang ada dalam organisasi tersebut untuk terus belajar dan memperluas kapasitas dirinya. Ditambahkan pula oleh Wick, Calhoun, Leon, dan Stanton (1993), bahwa alasan suatu perusahaan mendirikan organisasi pembelajar, di antaranya adalah: (1) karena kita menginginkan tampilan kerja


(28)

yang baik (superior performance); (2) untuk meningkatkan kualitas (improve quality); (3) untuk keuntungan dalam berkompetisi (competitive); (4) sebagai energi dalam komitmen kerja (an energized, committed workforce); dan (5) untuk mengelola perubahan (managing change).

Dari penjelasan di atas, perasaan terancam pada total pekerjaan seseorang, misalnya seseorang dipindahkan ke posisi yang lebih rendah dalam organisasi, dipindahkan ke pekerjaan lain dengan level yang sama dalam organisasi atau diberhentikan sementara, dapat direduksi dengan adanya organisasi pembelajar yang mampu membentuk tampilan kerja yang baik (superior performance) dan menciptakan suasana kompetisi (competitive). Selanjutnya, perasaan terancam terhadap tampilan kerja (job features), misalnya, perubahan organisasional, dapat direduksi dengan adanya organisasi pembelajar yang mampu meningkatkan kualitas kerja seorang karyawan (superior performance), menciptakan suasana kompetisi (competitive), membentuk komitmen kerja (an energized, committed workforce), dan demi mengelola perubahan yang terjadi (managing change).

Berdasarkan penjelasan organisasi pembelajar yang diungkapkan oleh Wick dkk. (1993) dan Senge (1990) di atas, penerapan organisasi pembelajar ditujukan agar mampu mencapai kinerja yang tinggi, memenangkan persaingan, dan sekaligus meningkatkan kemampuan kita dalam mengelola perubahan yang akan terjadi. Dengan adanya penerapan organisasi pembelajar yang baik, maka suatu perusahaan akan mampu manghadapi perubahan organisasional yang terjadi, sehingga dapat mengurangi suatu keadaan di mana para karyawan merasa terancam dan mereka merasa tidak berdaya untuk mempertahankan kesinambungan pekerjaannya di perusahaan.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan dilaksanakannya organisasi pembelajar yang baik dalam perusahaan, maka akan mengurangi suatu keadaan di mana para karyawan merasa terancam dan mereka merasa tidak berdaya untuk mempertahankan kesinambungan pekerjaannya di perusahaan.


(29)

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

III.A. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari tulisan ini sebagai berikut:

1. Organisasi pembelajar merupakan variabel yang berhubungan dengan job insecurity. Dengan menerapkan atribut-atribut organisasi pembelajar pada suatu perusahaan, maka akan berpengaruh pada menurunnya job insecurity yang dirasakan oleh karyawan.

2. Organisasi pembelajar merupakan suatu organisasi yang penuh dengan orang-orang yang bekerja dengan antusias, berkembang dan maju, serta mengembangkan visi dan misi perusahaan. Ada suatu kemudahan, kenyamanan, dan tidak ada kesulitan dalam melaksanakan berbagai hal, serta orang-orang akan merasa senang dan bangga dalam setiap aspek dalam perusahaan.

III.B. SARAN

Berdasarkan pembahasan teori dan kesimpulan maka diajukan beberapa saran sebagai berikut:

1. Mengingat besarnya pengaruh organisasi pembelajar terhadap job insecurity yang dirasakan oleh karyawan (berdasarkan hasil penulisan), maka perusahaan diharapkan memelihara situasi-situasi yang mampu menciptakan suasana pembelajaran dan antusias para karyawan terhadap perkembangan perusahaan. 2. Pihak manajemen perusahaan diharapkan memberikan pemahaman yang mendalam tentang perusahaan, misalnya dengan memberikan penjelasan tentang perkembangan perusahaan ataupun menanamkan arti penting dari visi dan misi perusahaan.

3. Meningkatkan pengetahuan ataupun keterampilan yang dimiliki lewat pemberian pelatihan / magang ataupun pendidikan lanjutan, sehingga perusahaan akan memberikan kesempatan dan mendorong setiap individu


(30)

yang ada dalam organisasi tersebut untuk terus belajar dan memperluas kapasitas dirinya.

4. Perusahaan diharapkan memberikan reward (upah dan penghargaan / pujian) yang adil sesuai dengan prestasi karyawan, sehingga tidak terdapat suatu kesenjangan antara para karyawan, maupun karyawan dengan perusahaan. 5. Melakukan fasilitasi dan pelayanan kepada individu dan kelompok agar

mereka mampu belajar bagaimana menggunakan apa yang sudah mereka ketahui, bagaimana menyadari apa yang belum diketahui, dan bagaimana mempelajari apa yang mereka butuhkan untuk diketahui. Hal ini akan meningkatkan inisiatif dan sifat inovatif pada diri karyawan.

6. Perusahaan juga diharapkan mau memberikan kesempatan bagi karyawannya untuk menunjukkan potensi yang dimiliki, menjalin hubungan yang baik di antara sesama karyawan ataupun antara karyawan dengan pimpinannya, serta untuk melakukan diskusi kelompok secara terbuka dan penuh kepercayaan. Keadaan ini akan menciptakan suasana perasaan dihargai dalam diri karyawan dan tentu akan menciptakan suasana organisasi pembelajaran yang baik.


(31)

DAFTAR PUSTAKA

Anoraga, P., Widiyanti, N. (1993). Psikologi dalam perusahaan. Jakarta: Rineka Cipta.

Argyris, C., & Schön, D. (1977) Organizational learning: A theory of action perspective, Reading, Mass: Addison Wesley.

Ashford, S., Lee, C., & Bobko, P. (1989). Content, causes, and consequences of job insecurity: A theory-based measure and substantive test. Academy of Management Journal, 32 (4), 803-829.

Burchell, B.J. (1994). The effects of labour market position, job insecurity and unemployment on psychological health. In Gallie, D, Marsh, C and Vogler, C (eds) Social Change and the Experience of Unemployment, Oxford: Oxford University Press.

Burchell, J.B. (1998). The unequal disstribution of job insecurity, 1966-1986. Paper given relates to the CBR Research Programme on Corporate Governance, Contracts, and Incentives. Cambridge, June 1998.

Burke, Ronald. J. (2000). The organization in crisis: downsizing, restructuring, and privatization. UK: Blackwell Publisher Ltd.

Chaplin, J.P., (2001). Kamus lengkap psikologi. (edisi I, cetakan VII). Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Dale, M. (2003). Developing management skill (Terjemahan). Jakarta: PT. Gramedia.

Day, A., Peters, J., Race, P. (1995). 500 tips for developing a learning organization. London: Kogan Page.

Denton, D.K., Wisdom, B.L. (1991). The learning organization involves the entire work force. Quality Progress.

Garrat, B. (2000). The learning organization. London: Herper Collins Publishers.

Gibson., Ivancevich., Donnely. (1998). Organizations : behavior, structure, processes. (9th ed.). Times Mirror Higher Education Group, Inc.

Grantham, C.E., & Nichols, L.D. (1993). The digital workplace: Designing Groupware Platforms. New York: Van Nostrand Reinhold.


(32)

Hartley J, Jacobson D, Klandermans B, Van Vuuren T. (1991). Job insecurity: coping with jobs at risk. London: Sage.

Hitt, M., Keats, B., Harback, H., & Nixon, R. (1994), ‘Rightsizing-building and maintaining strategic leaderschip: a long-term competitiveness’, Organizational Dynamics, Vol. 23, pp. 18-32.

Hui, C. & Lee, C. (2000). Moderating effects of organization-based self-esteem on organizational uncertainty: employee response relationships. Journal of Management, 26 (2), 215-232.

Hurlock, E. (1980). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (edisi ke-5). Jakarta: Erlangga.

Kinnunen, U., Mauno, S., Natti, J., & Happonen, M. (2000). Organizational antecendents and outcomes of job insecurity: a longitudinal study in organizations in finland. Journal of Organizational Behaviour, 21 (4), 443.

Levine & Shefner. (1991). Fundamental of sensation & perception. Second Edition. California: Brooks / Cole Publishing.

Munandar, A.S. (2003). Learning organization dan penerapannya dalam dunia usaha makalah seminar industri kolokium di makassar (Tidak Diterbitkan)

Osland, Kolb, & Rubin. (2001). Organizational behaviour. an experimental approach. 7th edition. New Jersey: Prentice Hall International, Inc.

Pedler, M., Boydell, T., & Burgoyne, J. (1991). The learning company: a strategy for sustainable development. McGraw-Hill.

Pfeffer, M. 1996. The art to maintance human resources. New York: Mc.Graw Hill Company.

Prabowo, S. (2001). Mengapa seseorang bertahan dalam organisasi. psikodimensia kajian ilmiah psikologi, Volume 1, No.2 hal. 111-117.

Robbins, S. (2001). Organizational behaviour. 9th edition. New Jersey: Prentice Hall International, Inc.

Ruvio, A., & Rosenblatt, Z. (1999). Job insecurity among israeli schoolteachers sectoral profiles and organizational implications. Journal of Educational Administration, 37 (2), 139.

Salim, E., Swassono,E.S, Swassono, Y., Abeng, T., Achir, A,C., & Sumampouw, P.M. (1997). Manajemen dalam era globalisasi. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia.


(33)

Schein, E.H. (1992). Organizational culture and leadership. San Fransisco: Jossey-Bass Publisher.

Senge, P.M. (1990). The fifth discipline: the art and practice of the learning organization. Great Britain: Random House.

Smith, M.R. (1999). Insecurity in the labour market: the case of Canada since the second world war. Canadian Journal of Sociology, 24 (2), 193-224.

Standing, G. (1999). Global Labour Flexibility: Seeking Distributive Justice. London : Palgrave.

Tremblay D-G. (2002). Unemployment and Transformation of the Labour Market: Issues of Security and Insecurity. Paper given at The Social Determinants of Health Across the Life-Span Conference, Toronto, November 2002.

Tremblay D-G., Chevrier, C. (2002). La situation des femmes dans kes universités du Québec; une analyse statistique différencieé selon le genre. Montréal: Direction de la recherche.

Walgito, Bimo. (2001). Pengantar psikologi umum, edisi ketiga. Yogyakarta: Andi.

Wick, Calhoun, Leon, & Lu Stanton. (1993). The learning edge. McGraw-Hill.

Yuwono, I., Suhariadi, F., Handoyo, S., Fajrianthi, Muhammad, B.S., Septarini, B.G. (2005). Psikologi industri dan organisasi. Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.


(1)

yang baik (superior performance); (2) untuk meningkatkan kualitas (improve quality); (3) untuk keuntungan dalam berkompetisi (competitive); (4) sebagai energi dalam komitmen kerja (an energized, committed workforce); dan (5) untuk mengelola perubahan (managing change).

Dari penjelasan di atas, perasaan terancam pada total pekerjaan seseorang, misalnya seseorang dipindahkan ke posisi yang lebih rendah dalam organisasi, dipindahkan ke pekerjaan lain dengan level yang sama dalam organisasi atau diberhentikan sementara, dapat direduksi dengan adanya organisasi pembelajar yang mampu membentuk tampilan kerja yang baik (superior performance) dan menciptakan suasana kompetisi (competitive). Selanjutnya, perasaan terancam terhadap tampilan kerja (job features), misalnya, perubahan organisasional, dapat direduksi dengan adanya organisasi pembelajar yang mampu meningkatkan kualitas kerja seorang karyawan (superior performance), menciptakan suasana kompetisi (competitive), membentuk komitmen kerja (an energized, committed workforce), dan demi mengelola perubahan yang terjadi (managing change).

Berdasarkan penjelasan organisasi pembelajar yang diungkapkan oleh Wick dkk. (1993) dan Senge (1990) di atas, penerapan organisasi pembelajar ditujukan agar mampu mencapai kinerja yang tinggi, memenangkan persaingan, dan sekaligus meningkatkan kemampuan kita dalam mengelola perubahan yang akan terjadi. Dengan adanya penerapan organisasi pembelajar yang baik, maka suatu perusahaan akan mampu manghadapi perubahan organisasional yang terjadi, sehingga dapat mengurangi suatu keadaan di mana para karyawan merasa terancam dan mereka merasa tidak berdaya untuk mempertahankan kesinambungan pekerjaannya di perusahaan.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan dilaksanakannya organisasi pembelajar yang baik dalam perusahaan, maka akan mengurangi suatu keadaan di mana para karyawan merasa terancam dan mereka merasa tidak berdaya untuk mempertahankan kesinambungan pekerjaannya di perusahaan.


(2)

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

III.A. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari tulisan ini sebagai berikut:

1. Organisasi pembelajar merupakan variabel yang berhubungan dengan job insecurity. Dengan menerapkan atribut-atribut organisasi pembelajar pada suatu perusahaan, maka akan berpengaruh pada menurunnya job insecurity yang dirasakan oleh karyawan.

2. Organisasi pembelajar merupakan suatu organisasi yang penuh dengan orang-orang yang bekerja dengan antusias, berkembang dan maju, serta mengembangkan visi dan misi perusahaan. Ada suatu kemudahan, kenyamanan, dan tidak ada kesulitan dalam melaksanakan berbagai hal, serta orang-orang akan merasa senang dan bangga dalam setiap aspek dalam perusahaan.

III.B. SARAN

Berdasarkan pembahasan teori dan kesimpulan maka diajukan beberapa saran sebagai berikut:

1. Mengingat besarnya pengaruh organisasi pembelajar terhadap job insecurity yang dirasakan oleh karyawan (berdasarkan hasil penulisan), maka perusahaan diharapkan memelihara situasi-situasi yang mampu menciptakan suasana pembelajaran dan antusias para karyawan terhadap perkembangan perusahaan. 2. Pihak manajemen perusahaan diharapkan memberikan pemahaman yang mendalam tentang perusahaan, misalnya dengan memberikan penjelasan tentang perkembangan perusahaan ataupun menanamkan arti penting dari visi dan misi perusahaan.

3. Meningkatkan pengetahuan ataupun keterampilan yang dimiliki lewat pemberian pelatihan / magang ataupun pendidikan lanjutan, sehingga perusahaan akan memberikan kesempatan dan mendorong setiap individu


(3)

yang ada dalam organisasi tersebut untuk terus belajar dan memperluas kapasitas dirinya.

4. Perusahaan diharapkan memberikan reward (upah dan penghargaan / pujian) yang adil sesuai dengan prestasi karyawan, sehingga tidak terdapat suatu kesenjangan antara para karyawan, maupun karyawan dengan perusahaan. 5. Melakukan fasilitasi dan pelayanan kepada individu dan kelompok agar

mereka mampu belajar bagaimana menggunakan apa yang sudah mereka ketahui, bagaimana menyadari apa yang belum diketahui, dan bagaimana mempelajari apa yang mereka butuhkan untuk diketahui. Hal ini akan meningkatkan inisiatif dan sifat inovatif pada diri karyawan.

6. Perusahaan juga diharapkan mau memberikan kesempatan bagi karyawannya untuk menunjukkan potensi yang dimiliki, menjalin hubungan yang baik di antara sesama karyawan ataupun antara karyawan dengan pimpinannya, serta untuk melakukan diskusi kelompok secara terbuka dan penuh kepercayaan. Keadaan ini akan menciptakan suasana perasaan dihargai dalam diri karyawan dan tentu akan menciptakan suasana organisasi pembelajaran yang baik.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Anoraga, P., Widiyanti, N. (1993). Psikologi dalam perusahaan. Jakarta: Rineka Cipta.

Argyris, C., & Schön, D. (1977) Organizational learning: A theory of action perspective, Reading, Mass: Addison Wesley.

Ashford, S., Lee, C., & Bobko, P. (1989). Content, causes, and consequences of job insecurity: A theory-based measure and substantive test. Academy of Management Journal, 32 (4), 803-829.

Burchell, B.J. (1994). The effects of labour market position, job insecurity and unemployment on psychological health. In Gallie, D, Marsh, C and Vogler, C (eds) Social Change and the Experience of Unemployment, Oxford: Oxford University Press.

Burchell, J.B. (1998). The unequal disstribution of job insecurity, 1966-1986. Paper given relates to the CBR Research Programme on Corporate Governance, Contracts, and Incentives. Cambridge, June 1998.

Burke, Ronald. J. (2000). The organization in crisis: downsizing, restructuring, and privatization. UK: Blackwell Publisher Ltd.

Chaplin, J.P., (2001). Kamus lengkap psikologi. (edisi I, cetakan VII). Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Dale, M. (2003). Developing management skill (Terjemahan). Jakarta: PT. Gramedia.

Day, A., Peters, J., Race, P. (1995). 500 tips for developing a learning organization. London: Kogan Page.

Denton, D.K., Wisdom, B.L. (1991). The learning organization involves the entire work force. Quality Progress.

Garrat, B. (2000). The learning organization. London: Herper Collins Publishers. Gibson., Ivancevich., Donnely. (1998). Organizations : behavior, structure,

processes. (9th ed.). Times Mirror Higher Education Group, Inc.

Grantham, C.E., & Nichols, L.D. (1993). The digital workplace: Designing Groupware Platforms. New York: Van Nostrand Reinhold.


(5)

Hartley J, Jacobson D, Klandermans B, Van Vuuren T. (1991). Job insecurity: coping with jobs at risk. London: Sage.

Hitt, M., Keats, B., Harback, H., & Nixon, R. (1994), ‘Rightsizing-building and maintaining strategic leaderschip: a long-term competitiveness’, Organizational Dynamics, Vol. 23, pp. 18-32.

Hui, C. & Lee, C. (2000). Moderating effects of organization-based self-esteem on organizational uncertainty: employee response relationships. Journal of Management, 26 (2), 215-232.

Hurlock, E. (1980). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (edisi ke-5). Jakarta: Erlangga.

Kinnunen, U., Mauno, S., Natti, J., & Happonen, M. (2000). Organizational antecendents and outcomes of job insecurity: a longitudinal study in organizations in finland. Journal of Organizational Behaviour, 21 (4), 443. Levine & Shefner. (1991). Fundamental of sensation & perception. Second

Edition. California: Brooks / Cole Publishing.

Munandar, A.S. (2003). Learning organization dan penerapannya dalam dunia usaha makalah seminar industri kolokium di makassar (Tidak Diterbitkan) Osland, Kolb, & Rubin. (2001). Organizational behaviour. an experimental

approach. 7th edition. New Jersey: Prentice Hall International, Inc.

Pedler, M., Boydell, T., & Burgoyne, J. (1991). The learning company: a strategy for sustainable development. McGraw-Hill.

Pfeffer, M. 1996. The art to maintance human resources. New York: Mc.Graw Hill Company.

Prabowo, S. (2001). Mengapa seseorang bertahan dalam organisasi. psikodimensia kajian ilmiah psikologi, Volume 1, No.2 hal. 111-117.

Robbins, S. (2001). Organizational behaviour. 9th edition. New Jersey: Prentice Hall International, Inc.

Ruvio, A., & Rosenblatt, Z. (1999). Job insecurity among israeli schoolteachers sectoral profiles and organizational implications. Journal of Educational Administration, 37 (2), 139.

Salim, E., Swassono,E.S, Swassono, Y., Abeng, T., Achir, A,C., & Sumampouw, P.M. (1997). Manajemen dalam era globalisasi. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia.


(6)

Schein, E.H. (1992). Organizational culture and leadership. San Fransisco: Jossey-Bass Publisher.

Senge, P.M. (1990). The fifth discipline: the art and practice of the learning organization. Great Britain: Random House.

Smith, M.R. (1999). Insecurity in the labour market: the case of Canada since the second world war. Canadian Journal of Sociology, 24 (2), 193-224.

Standing, G. (1999). Global Labour Flexibility: Seeking Distributive Justice. London : Palgrave.

Tremblay D-G. (2002). Unemployment and Transformation of the Labour Market: Issues of Security and Insecurity. Paper given at The Social Determinants of Health Across the Life-Span Conference, Toronto, November 2002.

Tremblay D-G., Chevrier, C. (2002). La situation des femmes dans kes universités du Québec; une analyse statistique différencieé selon le genre. Montréal: Direction de la recherche.

Walgito, Bimo. (2001). Pengantar psikologi umum, edisi ketiga. Yogyakarta: Andi.

Wick, Calhoun, Leon, & Lu Stanton. (1993). The learning edge. McGraw-Hill. Yuwono, I., Suhariadi, F., Handoyo, S., Fajrianthi, Muhammad, B.S., Septarini,

B.G. (2005). Psikologi industri dan organisasi. Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.