PERBANDINGAN IMPEACHMENT DI IRAN DAN IND
PERBANDINGAN IMPEACHMENT DI IRAN DAN INDONESIA
TUGAS AS-SIYASAH
Dosen Pengampu: Masnur Marzuki S.H.,L.L.M
Disusun Oleh:
Tamara Alifadina
No. Mahasiswa: 14410281
Universitas Indonesia Islam
Fakultas Hukum
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Istilah impeachment sendiri berasal dari Inggris di abad ke-14. Pada
saat itu, parlemen Inggris menggunakan lembaga impeachment untuk
memroses pejabat-pejabat tinggi dan individu-individu yang memiliki
kekuasaan besar di dalam negara dan terkait kasus korupsi atau hal lain
yang berada diluar kewenangan pengadilan. Lembaga impeachment
tersebut mengeluarkan artikel impeachment yaitu surat resmi yang berisi
tuduhan yang menyebabkan terjadinya proses impeachment (MK,2005;8).
Beberapa Negara menerapkan bentuk republic, salah satunya Negara Iran
dan Indonesia yang mayoritas muslim. Yang mana setiap Negara memiliki
prosedur sendiri perihal Impeachment yang disesuaikan dengan struktur
kelembagaan dalam Negara. Maka dari itu, makalah ini menelaah lebih
jauh impeachment kedua Negara tersebut.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa makna dari kata Impeachment?
2.
Bagaimana Impeachment di Iran?
3.
Bagaimana Impeachment di Indonesia?
4.
Apa perbedaan Impeachment di Iran dan Indonesia?
C. Tujuan
1.
Dapat memahami makna dari kata Impeachment
2.
Dapat memahami bagaimana Impeachment di Negara Iran
3.
Dapat memahami bagaimana Impeachment di Negara Indonesia
4.
Dapat memahami perbedaan Impeachment di Iran dan Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Makna dari kata Impeachment
Kata “to impeach”, yang berarti meminta pertanggungjawaban. Jika tuntutannya
terbukti, maka hukumannya adalah “removal from office”, atau pemberhentian dari
jabatan. Dengan kata lain, kata “impeachment” itu sendiri bukanlah
pemberhentian, tetapi baru bersifat penuntutan atas dasar pelanggaran hukum
yang dilakukan. Oleh karena itu, dikatakan Charles L. Black, “Strictly speaking,
‘impeachment’ means ‘accusating’ or ‘charge’.” Artinya, kata impeachment itu
dalam bahasa Indonesia dapat kita alih bahasakan sebagai dakwaan atau tuduhan.
Impeachment menurut Jimmly Asshidiqie, impeachment berasal dari bahasa Inggris,
yaitu "to impeach" yang artinya memanggil atau mendakwa untuk meminta
pertanggung jawaban. Dalam hubungannya dengan kepala pemerintahan,
impeachment bukan berarti pemberhentian kepala negara akan tetapi pemanggilan
atau pendakwaan untu diminta pertanggungjawaban atas persangkaan
pelanggaran hukum yang dilakukan dalam masa jabatan. Dengan kata lain, proses
impeachment diproyeksikan pada ketentuan pelanggaran hukum bukan hanya
faktor polrtik semata.
Menurut Marsilam Simanjuntak impeachment adalah “Suatu proses tuntutan hukum
(pidana) khusus terhadap seorang Pejabat Publik ke depan sebuah quasi-pengadilan
politik, karena ada tuduhan pelanggaran hukum sebagaimana yang ditentukan
Undang Undang Dasar RI 1945. Hasil akhir dari mekanisme impeachment ini adalah
pemberhentian dari jabatan, dengan tidak menutup kemungkinan melanjutkan
proses tuntutan pidana biasa bagi kesalahannya sesudah turun dari jabatannya”.
Dengan demikian nyatalah bahwa impeachment berarti proses pendakwaan atas
perbuatan menyimpang dari pejabat publik. Pengertian demikian seringkali kurang
dipahami, sehingga seolah-olah lembaga “impeachment” itu identik dengan
‘pemberhentian’.
B.
Impeachment di Iran
Bentuk Republik Islam Iran sejak jatuhnya dinasti Syah Iran merupakan bukti bahwa
para funding father Iran tidak menutup diri dari gagasan politik baru, karena
dipandang sebagai wadah bagi pemahaman mereka tentang cara pengaturan
Negara modern yang sejalan dengan konsep Islam. Sebagaimana diterapkan di RII,
sebagai kepala negara adalah Imam kedua belas yang diwakili oleh Fakih atau
Dewan Faqih (Dewan Keimanan).
Kepala pemerintahan dipegang oleh seorang presiden yang walaupun diangkat oleh
rakyat, tetapi diangkat, dilantik, dan diberhentikan oleh Faqih atau Dewan Faqih.
Penentuan seseorang untuk menjadi Faqih dan Ayatullah adalah berdasarkan
kemampuan yang bersangkutan mengenai Al-Quran. Ketua kabinet dipegang oleh
perdana menteri yang dipilih, diangkat, da diberhentikan oleh presiden setelah
mendapat persetujuan dari badan legislative (Dewa Pertimbangan Nasional Iran).
Kabinet bertanggung jawab kepada Dewan Pertimbangan Nasional Iran. Badan
legislatif ini selain membuat undang-undang juga bertugas mengawasi badan
eksekutif. Dalam membuat undang-undang harus disesuaikan dengan Al-quran dan
Al Hadis. Mengingat pada system ini konsep kepemimpinan Islam baik Khalifah
atau Imamah tidak cukup diwakili didalamnya
Republik Islam Iran adalah satu-satunya Negara dengan system pemerintahan yang
mencoba untuk mengikuti system pemerintah Rasul saat ini. Dalam pemerintahan
Republik Islam Iran yang sekarang, pemerintahan dikuasai oleh ulama Syi’ah yang
dimaksud pemerintahan rakyat tapi sumber hukum dan kedaulatan tetap
berpegang pada Tuhan. Oleh karena itu, Undang-undang yang mengatur kehidupan
bermasyarakat dan bernegara harus mengacu pada hukum-hukum Tuhan yang
tertera pada Al-Qur’an, as-Sunnah, dan para Imam, maupun para faqih atau ulama.
Pemerintah Islam harus ditegakkan atas dasar ajaran-ajaran dan prinsip-prinsip
kekuasaan yang islami dan digerakkan pada poros yang islami pula.
Dalam sistem pemerintahan Republik Islam Iran sejak jatuhnya dinasti Syah Iran, Di
samping itu, dikenal pula-Dewan pelindung konstitusi yang disebut Dewan
Perwalian (Syura ne Gahden) yang bertugas mengawasi agar undang-undang yang
dibuat oleh Dewan Pertimbangan Nasional Iran tidak bertentangan dengan ajaran
Islam dan konstitusi Iran. Anggota-anggota Dewan Perwalian terdiri dari para pakar
sebagai berikut:
1) Para anggota yang diambil dari ahli hukum Islam yang terkenal saleh dalam
beribadah menjalankan syariat Islam, dan ditunjuk oleh Dewan Keimanan.
2) Para anggota yang diambil dari para ahli hokum dari berbagai cabang ilmu
hukum , yang terdiri dari hakim-hakim Islam. Mereka juga mendapat ijin dari
Mahkamah Agung Iran beserta pengesahan dari Dewar Pertimbangan Nasional Iran.
C.
Impeachment di Indonesia
Untuk melihat impeachment sebagai proses politik, kita harus mampu mencermati
beberapa faktor politik yang mendorong munculnya isu impeachment. Faktor-faktor
tersebut dilihat dari konteks sistem kuasi presidensial yang berlaku di Indonesia.
Sistem kuasi presidensial di Indonesia dipahami sebagai sistem presidensial namun
memiliki sistem kepartaian yang multi partai. Keadaan ini mengharuskan terjadinya
koalisi dalam pemerintahan yang dibentuk. Koalisi dimaksudkan untuk menjaga
kestabilan pemerintahan. Kemudian, faktor lainnya adalah konstitusi yang mengatur
prosedur impeachment presiden yang terdapat pada UUD 1945 amandemen.
Salah satu hasil amandemen UUD 1945 adalah munculnya aturan secara eksplisit
yang mengatur tentang pemberhentian presiden dan wakil presiden. Pemberhentian
presiden dan wakil presiden yang sebelumnya murni sebagai proses politik yang
merupakan pencabutan mandate rakyat melalui Majelis Permuswaratan Rakyat
(MPR) sebagai perwakilan rakyat.
Kini dirubah dengan memasukkan prosedur hukum di dalamnya. Alasan ini dilatari
oleh pemilihan presiden yang tidak lagi dipilih oleh MPR sebagai representasi rakyat
melainkan langsung dipilih oleh rakyat melali pemilu presiden. Meskipun begitu,
DPR sebagai lembaga legislative dan representasi rakyat tetap memiliki kuasa
untuk mengusulkan pemberhentian presiden.
Alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden disebutkan secara limitatif
dalam konstitusi, yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 7A dan 7B
Perubahan Ketiga UUD 1945. Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Pemnusyawaratan
Rakyat.
Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk
memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari
sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut. Perubahan III (9
November 20017) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat
paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya
3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah
anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan
menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Perubahan III November 2001 Pada prosedur yang dijelaskan pada pasal diatas,
dapat dilihat bahwa proses impeachment dimulai dari proses politik yang berasal
dari usul DPR yang dilanjutkan pada proses hukum melalui Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah konstitusi melakukan pemeriksaan, pengadilan dan mengambil
keputusan atas dakwaan yang diajukan oleh DPR kepada Presiden.
Ketentuan suara minimal pengusulan impeachment Presiden dengan quorum
2/3 jumlah anggota DPR pada pasal diatas memiliki konsekuensi politik secara
procedural dan dinamis. Konsekuensi ini mengharuskan munculnya oposisi solid
dalam proses pengusulan impeachment. Dalam sistem kepartaian multipartai baik
oposan yang solid ataupun koalisi pemerintah yang solid sangat jarang terjadi.
Proses hukum yang terjadi di Mahkamah Konstrtusi bukanlah puncak dari proses
impeachment karena setelah pembuktian di Mahkamah Konstitusi hasil kembali
diserahkan pada DPR. Selanjutnya proses yang menentukan impeachment adalah
sidang MPR. Pada sidang MPR dijelaskan pada pasal 7B ayat 7 yang menentukan
bahwa jumlah quorum sedikitnya dihadiri % anggota dan disetujui oleh sekurangkurangnya 2/3 anggota MPR, syarat ini sangat sulit dipenuhi dalam sistem
multipartai dimana terdapat banyak partai yang memiliki perbedaan pandangan
politik.
Mengenai prosedur impeachment presiden dan wakil presiden, ketidakstabilan
parlemen dalam sistem multipartai berkonsekuensi langsung pada Presiden. Seperti
yang dijelaskan pada paparan diatas, presiden dalam kondisi sistem Presidensial
yang menganut sistem multipartai memiliki kecenderungan memakai koalisi untuk
mempertahankan stabilitas pemerintahan sehingga dinamika koalisi sangat
berpengaruhpada kinerja lembaga kepresidenan.
Selain itu karena salah satu cara untuk menghindari proses impeachment adalah
walkout, presiden sangat bergantung pada kebulatan suara dan dukungan dan
partai pengusungnya agar dapat mempertahankan kelangsungan pemerintahan
tanpa diwarnai oleh impeachment. Aksi demo atau aksi jalanan lainnya yang
memaksakan kehendak dan terlebih ingin menjatuhkan pemerintahan yang sah
tentunya tidak dapat diterima di alam demokrasi Indonesia. Semua aspirasi politik
termasuk impeachment saat ini sudah diatur dalam perundang-undangan yang ada
di Indonesia.
Tata Cara Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 83 Keputusan
MPR Rl Nomor 7/MPR/2004 Tentang Peraturan Tata Tertib MPR Rl Sebagaimana Telah
Diubah Dengan Keputusan MPR Rl Nomor 13/MPR/2004 Tentang Perubahan
Peraturan Tata Tertib MPR Rl) MPR Rl, 30 hari menyelenggarakan Sidang (Presiden
dan/atau Wapres diundang) Pengambilan Putusan:- Kuorum > 3/4 jumlah anggotaKeputusan > 2/3 jumlah anggota yang hadir MK Memeriksa, Mengadili.dan
Memutuskan(< 90 hari)
D. Perbedaan Impeachment di Iran dan Indonesia
Pemerintahan Indonesia memilih system presidensial dengan bentuk Republik
sebagai pilihan. Tetapi system tersebut dianggap sesuai dengan kondisi
Indonesia untuk menjamin suatu kekuasaan Eksekutif yang stabil dan
terciptanya check and balances antar lembaga kekuasaan. Terkait dengan
kekuasaan (separation of power) yang bersifat horizontal dalam arti
kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam
lembaga-lembaga Negara yang sederajat dan saling mengimbangi. Hal ini
berbeda dengan system pemerintahan Indonesia pra amandemen UUD NRI
1945 yang menerapkan pembagian kekuasaan (distribution of power) yang
bersifat vertical. Sedangkan pemerintahan Iran menerapkan system
pembagian kekuasaan yang bersifat vertical yaitu kekuasaan yang dibagi rata
antar lembaga dari lembaga tertinggi (wali faqih) ke lembaga-lembaga
Negara, seperti presiden dst.
Sementara itu, system pemerintahan Iran adalah pemerintahan presidensial
dengan bentuk republic, system presidensial ini telah dimodifikasi dengan
konsep kepemimpinan wilayatul faqih atau pemerintahan para ulama. Lepas
dari Pemilihan system republic, pada hakikatnya Republik Islam Iran untuk
menerapkan unsur-unsur asasi sebuah system demokratis yang menerapkan
system pemilu untuk membentuk tak kurang tiga lembaga tertinggi.
Pemimpin spiritual (wali faqih) mempunyai kedudukan ketatanegaraan
tertinggi yang mempunyai posisi menentukan di samping presiden. Hal tidak
lain dikarenakan pemerintahan Iran menganut asas pembagian kekuasaan
yang bersifat vertical, dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan vertical
ke bawah kepada lembaga-lembaga tinggi Negara di bawah lembaga
pemegang kedaulatan rakyat yaitu wali faqih.
Walaupun sama-sama berbentuk republic, Republik Islam Iran mempunyai
karakter tersendiri dibandingkan dengan pemerintahan Indonesia, yaitu: Iran
menganut system nomo-demokrasi(gabungan antara system berdasarkan
nomokrasi atau kekuasaan berbasis kedaulatan hukum demokrasi). Atau
teodemokrasi yang merupakan system politik yang menggabungkan
pemerintahan oleh hukum Tuhan atau syariah dengan demokrasi yang
mengandalkan partisipasi masyarakat.
BAB III
Kesimpulan
Kedua Negara tersebut memiliki perbandingan dan perbedaan dalam system
pemerintahannya yang mana didasari oleh filosofis maupun secara yuridis. Dalam
implementasi dari keduanya sesuai dengan budaya masyarakat yang terjadi
dilingkungannya. Secara singkat mpeachment berarti proses pendakwaan atas
perbuatan menyimpang dari pejabat publik. Pengertian demikian seringkali kurang
dipahami, sehingga seolah-olah lembaga “impeachment” itu identik dengan
‘pemberhentian’.
Di Iran, Kepala pemerintahan dipegang oleh seorang presiden yang walaupun
diangkat oleh rakyat, tetapi diangkat, dilantik, dan diberhentikan oleh Faqih atau
Dewan Faqih. Penentuan seseorang untuk menjadi Faqih dan Ayatullah adalah
berdasarkan kemampuan yang bersangkutan mengenai Al-Quran. Ketua kabinet
dipegang oleh perdana menteri yang dipilih, diangkat, dan diberhentikan oleh
presiden setelah mendapat persetujuan dari badan legislative (Dewa Pertimbangan
Nasional Iran).
Kabinet bertanggung jawab kepada Dewan Pertimbangan Nasional Iran. Badan
legislatif ini selain membuat undang-undang juga bertugas mengawasi badan
eksekutif. Dalam membuat undang-undang harus disesuaikan dengan Al-quran dan
Al Hadis. Mengingat pada system ini konsep kepemimpinan Islam baik Khalifah
atau Imamah tidak cukup diwakili didalamnya.
Pemerintahan Iran menerapkan system pembagian kekuasaan yang bersifat vertical
yaitu kekuasaan yang dibagi rata antar lembaga dari lembaga tertinggi (wali faqih)
ke lembaga-lembaga Negara, seperti presiden dst.
Di Indonesia, Pemberhentian presiden dan wakil presiden yang sebelumnya murni
sebagai proses politik yang merupakan pencabutan mandate rakyat melalui Majelis
Permuswaratan Rakyat (MPR) sebagai perwakilan rakyat. Terkait dengan kekuasaan
(separation of power) yang bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisahpisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga Negara
yang sederajat dan saling mengimbangi
TUGAS AS-SIYASAH
Dosen Pengampu: Masnur Marzuki S.H.,L.L.M
Disusun Oleh:
Tamara Alifadina
No. Mahasiswa: 14410281
Universitas Indonesia Islam
Fakultas Hukum
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Istilah impeachment sendiri berasal dari Inggris di abad ke-14. Pada
saat itu, parlemen Inggris menggunakan lembaga impeachment untuk
memroses pejabat-pejabat tinggi dan individu-individu yang memiliki
kekuasaan besar di dalam negara dan terkait kasus korupsi atau hal lain
yang berada diluar kewenangan pengadilan. Lembaga impeachment
tersebut mengeluarkan artikel impeachment yaitu surat resmi yang berisi
tuduhan yang menyebabkan terjadinya proses impeachment (MK,2005;8).
Beberapa Negara menerapkan bentuk republic, salah satunya Negara Iran
dan Indonesia yang mayoritas muslim. Yang mana setiap Negara memiliki
prosedur sendiri perihal Impeachment yang disesuaikan dengan struktur
kelembagaan dalam Negara. Maka dari itu, makalah ini menelaah lebih
jauh impeachment kedua Negara tersebut.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa makna dari kata Impeachment?
2.
Bagaimana Impeachment di Iran?
3.
Bagaimana Impeachment di Indonesia?
4.
Apa perbedaan Impeachment di Iran dan Indonesia?
C. Tujuan
1.
Dapat memahami makna dari kata Impeachment
2.
Dapat memahami bagaimana Impeachment di Negara Iran
3.
Dapat memahami bagaimana Impeachment di Negara Indonesia
4.
Dapat memahami perbedaan Impeachment di Iran dan Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Makna dari kata Impeachment
Kata “to impeach”, yang berarti meminta pertanggungjawaban. Jika tuntutannya
terbukti, maka hukumannya adalah “removal from office”, atau pemberhentian dari
jabatan. Dengan kata lain, kata “impeachment” itu sendiri bukanlah
pemberhentian, tetapi baru bersifat penuntutan atas dasar pelanggaran hukum
yang dilakukan. Oleh karena itu, dikatakan Charles L. Black, “Strictly speaking,
‘impeachment’ means ‘accusating’ or ‘charge’.” Artinya, kata impeachment itu
dalam bahasa Indonesia dapat kita alih bahasakan sebagai dakwaan atau tuduhan.
Impeachment menurut Jimmly Asshidiqie, impeachment berasal dari bahasa Inggris,
yaitu "to impeach" yang artinya memanggil atau mendakwa untuk meminta
pertanggung jawaban. Dalam hubungannya dengan kepala pemerintahan,
impeachment bukan berarti pemberhentian kepala negara akan tetapi pemanggilan
atau pendakwaan untu diminta pertanggungjawaban atas persangkaan
pelanggaran hukum yang dilakukan dalam masa jabatan. Dengan kata lain, proses
impeachment diproyeksikan pada ketentuan pelanggaran hukum bukan hanya
faktor polrtik semata.
Menurut Marsilam Simanjuntak impeachment adalah “Suatu proses tuntutan hukum
(pidana) khusus terhadap seorang Pejabat Publik ke depan sebuah quasi-pengadilan
politik, karena ada tuduhan pelanggaran hukum sebagaimana yang ditentukan
Undang Undang Dasar RI 1945. Hasil akhir dari mekanisme impeachment ini adalah
pemberhentian dari jabatan, dengan tidak menutup kemungkinan melanjutkan
proses tuntutan pidana biasa bagi kesalahannya sesudah turun dari jabatannya”.
Dengan demikian nyatalah bahwa impeachment berarti proses pendakwaan atas
perbuatan menyimpang dari pejabat publik. Pengertian demikian seringkali kurang
dipahami, sehingga seolah-olah lembaga “impeachment” itu identik dengan
‘pemberhentian’.
B.
Impeachment di Iran
Bentuk Republik Islam Iran sejak jatuhnya dinasti Syah Iran merupakan bukti bahwa
para funding father Iran tidak menutup diri dari gagasan politik baru, karena
dipandang sebagai wadah bagi pemahaman mereka tentang cara pengaturan
Negara modern yang sejalan dengan konsep Islam. Sebagaimana diterapkan di RII,
sebagai kepala negara adalah Imam kedua belas yang diwakili oleh Fakih atau
Dewan Faqih (Dewan Keimanan).
Kepala pemerintahan dipegang oleh seorang presiden yang walaupun diangkat oleh
rakyat, tetapi diangkat, dilantik, dan diberhentikan oleh Faqih atau Dewan Faqih.
Penentuan seseorang untuk menjadi Faqih dan Ayatullah adalah berdasarkan
kemampuan yang bersangkutan mengenai Al-Quran. Ketua kabinet dipegang oleh
perdana menteri yang dipilih, diangkat, da diberhentikan oleh presiden setelah
mendapat persetujuan dari badan legislative (Dewa Pertimbangan Nasional Iran).
Kabinet bertanggung jawab kepada Dewan Pertimbangan Nasional Iran. Badan
legislatif ini selain membuat undang-undang juga bertugas mengawasi badan
eksekutif. Dalam membuat undang-undang harus disesuaikan dengan Al-quran dan
Al Hadis. Mengingat pada system ini konsep kepemimpinan Islam baik Khalifah
atau Imamah tidak cukup diwakili didalamnya
Republik Islam Iran adalah satu-satunya Negara dengan system pemerintahan yang
mencoba untuk mengikuti system pemerintah Rasul saat ini. Dalam pemerintahan
Republik Islam Iran yang sekarang, pemerintahan dikuasai oleh ulama Syi’ah yang
dimaksud pemerintahan rakyat tapi sumber hukum dan kedaulatan tetap
berpegang pada Tuhan. Oleh karena itu, Undang-undang yang mengatur kehidupan
bermasyarakat dan bernegara harus mengacu pada hukum-hukum Tuhan yang
tertera pada Al-Qur’an, as-Sunnah, dan para Imam, maupun para faqih atau ulama.
Pemerintah Islam harus ditegakkan atas dasar ajaran-ajaran dan prinsip-prinsip
kekuasaan yang islami dan digerakkan pada poros yang islami pula.
Dalam sistem pemerintahan Republik Islam Iran sejak jatuhnya dinasti Syah Iran, Di
samping itu, dikenal pula-Dewan pelindung konstitusi yang disebut Dewan
Perwalian (Syura ne Gahden) yang bertugas mengawasi agar undang-undang yang
dibuat oleh Dewan Pertimbangan Nasional Iran tidak bertentangan dengan ajaran
Islam dan konstitusi Iran. Anggota-anggota Dewan Perwalian terdiri dari para pakar
sebagai berikut:
1) Para anggota yang diambil dari ahli hukum Islam yang terkenal saleh dalam
beribadah menjalankan syariat Islam, dan ditunjuk oleh Dewan Keimanan.
2) Para anggota yang diambil dari para ahli hokum dari berbagai cabang ilmu
hukum , yang terdiri dari hakim-hakim Islam. Mereka juga mendapat ijin dari
Mahkamah Agung Iran beserta pengesahan dari Dewar Pertimbangan Nasional Iran.
C.
Impeachment di Indonesia
Untuk melihat impeachment sebagai proses politik, kita harus mampu mencermati
beberapa faktor politik yang mendorong munculnya isu impeachment. Faktor-faktor
tersebut dilihat dari konteks sistem kuasi presidensial yang berlaku di Indonesia.
Sistem kuasi presidensial di Indonesia dipahami sebagai sistem presidensial namun
memiliki sistem kepartaian yang multi partai. Keadaan ini mengharuskan terjadinya
koalisi dalam pemerintahan yang dibentuk. Koalisi dimaksudkan untuk menjaga
kestabilan pemerintahan. Kemudian, faktor lainnya adalah konstitusi yang mengatur
prosedur impeachment presiden yang terdapat pada UUD 1945 amandemen.
Salah satu hasil amandemen UUD 1945 adalah munculnya aturan secara eksplisit
yang mengatur tentang pemberhentian presiden dan wakil presiden. Pemberhentian
presiden dan wakil presiden yang sebelumnya murni sebagai proses politik yang
merupakan pencabutan mandate rakyat melalui Majelis Permuswaratan Rakyat
(MPR) sebagai perwakilan rakyat.
Kini dirubah dengan memasukkan prosedur hukum di dalamnya. Alasan ini dilatari
oleh pemilihan presiden yang tidak lagi dipilih oleh MPR sebagai representasi rakyat
melainkan langsung dipilih oleh rakyat melali pemilu presiden. Meskipun begitu,
DPR sebagai lembaga legislative dan representasi rakyat tetap memiliki kuasa
untuk mengusulkan pemberhentian presiden.
Alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden disebutkan secara limitatif
dalam konstitusi, yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 7A dan 7B
Perubahan Ketiga UUD 1945. Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Pemnusyawaratan
Rakyat.
Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk
memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari
sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut. Perubahan III (9
November 20017) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat
paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya
3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah
anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan
menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Perubahan III November 2001 Pada prosedur yang dijelaskan pada pasal diatas,
dapat dilihat bahwa proses impeachment dimulai dari proses politik yang berasal
dari usul DPR yang dilanjutkan pada proses hukum melalui Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah konstitusi melakukan pemeriksaan, pengadilan dan mengambil
keputusan atas dakwaan yang diajukan oleh DPR kepada Presiden.
Ketentuan suara minimal pengusulan impeachment Presiden dengan quorum
2/3 jumlah anggota DPR pada pasal diatas memiliki konsekuensi politik secara
procedural dan dinamis. Konsekuensi ini mengharuskan munculnya oposisi solid
dalam proses pengusulan impeachment. Dalam sistem kepartaian multipartai baik
oposan yang solid ataupun koalisi pemerintah yang solid sangat jarang terjadi.
Proses hukum yang terjadi di Mahkamah Konstrtusi bukanlah puncak dari proses
impeachment karena setelah pembuktian di Mahkamah Konstitusi hasil kembali
diserahkan pada DPR. Selanjutnya proses yang menentukan impeachment adalah
sidang MPR. Pada sidang MPR dijelaskan pada pasal 7B ayat 7 yang menentukan
bahwa jumlah quorum sedikitnya dihadiri % anggota dan disetujui oleh sekurangkurangnya 2/3 anggota MPR, syarat ini sangat sulit dipenuhi dalam sistem
multipartai dimana terdapat banyak partai yang memiliki perbedaan pandangan
politik.
Mengenai prosedur impeachment presiden dan wakil presiden, ketidakstabilan
parlemen dalam sistem multipartai berkonsekuensi langsung pada Presiden. Seperti
yang dijelaskan pada paparan diatas, presiden dalam kondisi sistem Presidensial
yang menganut sistem multipartai memiliki kecenderungan memakai koalisi untuk
mempertahankan stabilitas pemerintahan sehingga dinamika koalisi sangat
berpengaruhpada kinerja lembaga kepresidenan.
Selain itu karena salah satu cara untuk menghindari proses impeachment adalah
walkout, presiden sangat bergantung pada kebulatan suara dan dukungan dan
partai pengusungnya agar dapat mempertahankan kelangsungan pemerintahan
tanpa diwarnai oleh impeachment. Aksi demo atau aksi jalanan lainnya yang
memaksakan kehendak dan terlebih ingin menjatuhkan pemerintahan yang sah
tentunya tidak dapat diterima di alam demokrasi Indonesia. Semua aspirasi politik
termasuk impeachment saat ini sudah diatur dalam perundang-undangan yang ada
di Indonesia.
Tata Cara Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 83 Keputusan
MPR Rl Nomor 7/MPR/2004 Tentang Peraturan Tata Tertib MPR Rl Sebagaimana Telah
Diubah Dengan Keputusan MPR Rl Nomor 13/MPR/2004 Tentang Perubahan
Peraturan Tata Tertib MPR Rl) MPR Rl, 30 hari menyelenggarakan Sidang (Presiden
dan/atau Wapres diundang) Pengambilan Putusan:- Kuorum > 3/4 jumlah anggotaKeputusan > 2/3 jumlah anggota yang hadir MK Memeriksa, Mengadili.dan
Memutuskan(< 90 hari)
D. Perbedaan Impeachment di Iran dan Indonesia
Pemerintahan Indonesia memilih system presidensial dengan bentuk Republik
sebagai pilihan. Tetapi system tersebut dianggap sesuai dengan kondisi
Indonesia untuk menjamin suatu kekuasaan Eksekutif yang stabil dan
terciptanya check and balances antar lembaga kekuasaan. Terkait dengan
kekuasaan (separation of power) yang bersifat horizontal dalam arti
kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam
lembaga-lembaga Negara yang sederajat dan saling mengimbangi. Hal ini
berbeda dengan system pemerintahan Indonesia pra amandemen UUD NRI
1945 yang menerapkan pembagian kekuasaan (distribution of power) yang
bersifat vertical. Sedangkan pemerintahan Iran menerapkan system
pembagian kekuasaan yang bersifat vertical yaitu kekuasaan yang dibagi rata
antar lembaga dari lembaga tertinggi (wali faqih) ke lembaga-lembaga
Negara, seperti presiden dst.
Sementara itu, system pemerintahan Iran adalah pemerintahan presidensial
dengan bentuk republic, system presidensial ini telah dimodifikasi dengan
konsep kepemimpinan wilayatul faqih atau pemerintahan para ulama. Lepas
dari Pemilihan system republic, pada hakikatnya Republik Islam Iran untuk
menerapkan unsur-unsur asasi sebuah system demokratis yang menerapkan
system pemilu untuk membentuk tak kurang tiga lembaga tertinggi.
Pemimpin spiritual (wali faqih) mempunyai kedudukan ketatanegaraan
tertinggi yang mempunyai posisi menentukan di samping presiden. Hal tidak
lain dikarenakan pemerintahan Iran menganut asas pembagian kekuasaan
yang bersifat vertical, dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan vertical
ke bawah kepada lembaga-lembaga tinggi Negara di bawah lembaga
pemegang kedaulatan rakyat yaitu wali faqih.
Walaupun sama-sama berbentuk republic, Republik Islam Iran mempunyai
karakter tersendiri dibandingkan dengan pemerintahan Indonesia, yaitu: Iran
menganut system nomo-demokrasi(gabungan antara system berdasarkan
nomokrasi atau kekuasaan berbasis kedaulatan hukum demokrasi). Atau
teodemokrasi yang merupakan system politik yang menggabungkan
pemerintahan oleh hukum Tuhan atau syariah dengan demokrasi yang
mengandalkan partisipasi masyarakat.
BAB III
Kesimpulan
Kedua Negara tersebut memiliki perbandingan dan perbedaan dalam system
pemerintahannya yang mana didasari oleh filosofis maupun secara yuridis. Dalam
implementasi dari keduanya sesuai dengan budaya masyarakat yang terjadi
dilingkungannya. Secara singkat mpeachment berarti proses pendakwaan atas
perbuatan menyimpang dari pejabat publik. Pengertian demikian seringkali kurang
dipahami, sehingga seolah-olah lembaga “impeachment” itu identik dengan
‘pemberhentian’.
Di Iran, Kepala pemerintahan dipegang oleh seorang presiden yang walaupun
diangkat oleh rakyat, tetapi diangkat, dilantik, dan diberhentikan oleh Faqih atau
Dewan Faqih. Penentuan seseorang untuk menjadi Faqih dan Ayatullah adalah
berdasarkan kemampuan yang bersangkutan mengenai Al-Quran. Ketua kabinet
dipegang oleh perdana menteri yang dipilih, diangkat, dan diberhentikan oleh
presiden setelah mendapat persetujuan dari badan legislative (Dewa Pertimbangan
Nasional Iran).
Kabinet bertanggung jawab kepada Dewan Pertimbangan Nasional Iran. Badan
legislatif ini selain membuat undang-undang juga bertugas mengawasi badan
eksekutif. Dalam membuat undang-undang harus disesuaikan dengan Al-quran dan
Al Hadis. Mengingat pada system ini konsep kepemimpinan Islam baik Khalifah
atau Imamah tidak cukup diwakili didalamnya.
Pemerintahan Iran menerapkan system pembagian kekuasaan yang bersifat vertical
yaitu kekuasaan yang dibagi rata antar lembaga dari lembaga tertinggi (wali faqih)
ke lembaga-lembaga Negara, seperti presiden dst.
Di Indonesia, Pemberhentian presiden dan wakil presiden yang sebelumnya murni
sebagai proses politik yang merupakan pencabutan mandate rakyat melalui Majelis
Permuswaratan Rakyat (MPR) sebagai perwakilan rakyat. Terkait dengan kekuasaan
(separation of power) yang bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisahpisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga Negara
yang sederajat dan saling mengimbangi