DESKRIPSI IMPLEMENTASI KURIKULUM TINGKAT. docx
DESKRIPSI IMPLEMENTASI KURIKULUM TINGKAT SATUAN
PENDIDIKAN (KTSP) DI SMA, MA dan SMK KOTA PADANG
Dra. Syakbaniah1), M.Si, Prof. Dr. Festiyed, MS1) dan
Prof. Dr. Aljufri B.Syarif, M.Sc2)
1)
Dosen Fisika FMIPA UNP Padang, 2) Dosen Teknik Mesin FT UNP
Abstrak
Penelitian ini merupakan tahap pendahuluan penelitian tentang potensi
pendidikan kabupaten/kota pada SMA, MA dan SMK kota Padang yang
bertujuan untuk mempelajari dan menghimpun data secara comprehensif,
baru dan aktual dengan menggunakan metoda mix (kualitatif dan
kuantitatif secara serentak). Untuk data kualitatif diperoleh melalui (1)
interview ke Kepala Sekolah/Wakil Kepla Sekolah bidang kurikulum,
guru,(2) observasi memperhatikan lingkungan sekolah, dokumen KTSP
sekolah dan merekam kondisi lokal, labor dan pustaka (intensitas cahaya
dan bunyi). Data kuantitatif instrumen yang digunakan pilihan berganda,
multiple respon, skala Likert dan semantik diferensial. Dari hasil
penelitian tentang kurikulum sebagai ide: perumusan visi dan misi belum
menampung aspirasi semua warga sekolah, dan belum melibatkan
mereka, akibatnya sulit akan diperoleh dukungan yang kuat dari warga
sekolah dalam implementasinya. Kurikulum sebagai proses dan kurikulum
yang diimplementasikan telah terlaksana tetapi belum terkait dengan
kurikulum sebagai ide. Jadi, walaupun telah diterapkan otonomi daerah
kenyataannya banyak sekolah-sekolah masih memandang kebijaksanaan
pusat yang harus mereka ikuti. Sehingga kreativitas, inovasi guru dan
kepala sekolah ragu dan enggan mencari cara-cara baru dalam
mengimplementasikan kurikulum yang cocok dengan kondisi daerah dan
karakteristik siswa. Disarankan petunjuk sosialisasi dari Jakarta beragam
sesuai dengan berbagai kondisi sehingga ada peluang sekolah untuk
menyesuaikan.
Kata kunci: Ide, proses, dan implementasi KTSP
PENDAHULUAN
Berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan, salah satu diantaranya
adalah penyempurnaan kurikulum yang disebut dengan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) (Fasli Jalal, 2006). Berbicara mengenai kurikulum kita jauh
tertinggal bila dibandingkan dengan kurikulum negara lain (Sumiyarno, 2004).
Pemberlakuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), telah ditetapkan dalam
peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 Tahun 2006 dan diberlakukan sejak tahun
ajaran 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ini disusun oleh tingkat
satuan pendidikan yang akan menggunakan KTSP tersebut. Dalam penyusunannya selain
melibatkan guru dan karyawan juga melibatkan komite sekolah serta bila perlu para ahli
dari perguruan tinggi setempat. Dengan keterlibatan komite sekolah dalam penyusunan
KTSP maka arah pengembangan akan selaras dengan aspirasi masyarakat, situasi dan
kondisi lingkungan dan kebutuhan masyarakat, sehingga seluruh potensi (aset sekolah)
dapat didayagunakan secara optimal untuk mencapai tujuan pengembangan sekolah.
Namun di lapangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) disikapi secara
berbeda oleh pelaku pendidikan.Belum semua warga sekolah dapat memahami secara
utuh esensi KTSP; sekolah masih menghadapi kesulitan dalam proses pelaksanaan,
karena gagal mengerahkan sumber daya pendidikan secara optimal. Dokumen KTSP
belum mampu mensinergikan seluruh kegiatan pengembangan ke arah yang diharapkan.
Kurang sinerginya sumberdaya pendidikan seperti: sumber daya manusia, sarana dan
prasarana, manajemen serta pembiayaan mungkin merupakan penyebab timbulnya sikap
apriori dan penolakan secara psikologis terhadap perubahan.
Meskipun sudah ada upaya untuk memecahkan masalah tersebut, seperti: yang
telah dilakukan MGMP dalam mengembangkan dan melaksanakan kurikulum,
memanfaatkan hasil penelitian, tetapi belum menyangkut masalah secara keseluruhan,
hanya secara parsial, sehingga masih terdapat beberapa kelemahan. Jika hal ini terus
dibiarkan dan tidak ada upaya untuk mencari akar permasalahan dan perbaikannya, maka
proses pembelajaran tidak akan berjalan menurut semestinya seperti tertuang dalam
kurikulum. Hal inilah yang menyebabkan kegagalan upaya peningkatan kualitas proses
dan hasil belajar.
Sehubungan dengan permasalahan yang disebutkan di atas, maka diperlukan upayaupaya kongkrit untuk mengiringi suksesnya penyempurnaan kurikulum ini. Semangat
perubahan KTSP mensyaratkan sekolah membangun paradigma baru. Sekolah berhak
menilai keberhasilan pelaksanaannya; apakah standar kompetensi dan kompetensi dasar
sudah dicapai oleh peserta didiknya. Model penilaian ini salah satunya melalui ujian
sekolah. Hasil ujian sekolah menjadi alat bagi sekolah untuk meluluskan peserta
didiknya, baik naik kelas maupun lulus satuan pendidikan. Implementasi KTSP dengan
benar dan reformasi UN mutlak diperlukan sebagai upaya memperbaiki mutu pendidikan.
Fokus penelitian ini diarahkan untuk mempelajari dan menghimpun data secara
comprehensive, baru dan aktual tentang KTSP di SMA, MA dan SMK Negeri dan Swasta
kota Padang. Secara spesifik, fokus penelitian tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
• Bagaimanakah pelaksanaan kurikulum sebagai ide ?
• Bagaimanakah pelaksanan kurikulum sebagai proses ?
• Bagaimanakah pelaksanaan kurikulum yang diimplementasikan?
Sesuai dengan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan secara
faktual profil pelaksanaan KTSP di SMA, MA dan SMK Negeri dan Swasta kota Padang
Deskripsi profil ini dapat dipergunakan untuk memberikan rekomendasi kebijakan
tentang penyelenggaraan KTSP di sekolah-sekolah serta kepada pihak-pihak terkait.
Selanjutnya, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan untuk meningkatkan
kualitas input dan proses pembelajaran, yang pada akhirnya berimplikasi pada
peningkatan kualitas lulusan dari sekolah-sekolah yang sudah menjalankan dan yang
akan melaksanakan KTSP.
METODE PENELITIAN
Metode dan Tahapan Penelitian
Penelitian ini menerapkan metode penelitian mix (Kualitatif dan kuantitatif secara
serentak). Metode kuantitatif digunakan untuk mendeskripsikan secara evaluatif
fenomena yang berupa kuantitas, sedangkan metode kualitatif digunakan untuk
memaknai secara verbal temuan-temuan penelitian sesuai dengan kualitas data penelitian.
Sesuai dengan karakteristik dan tujuan penelitian, prosedur penelitian ini mengikuti
tahapan berikut: Pada tahun pertama menggunakan pendekatan ekploratif, mempelajari
dan menghimpun data secara comprehensive, baru dan aktual dari interaksi enam
komponen proses pendidikan (kurikulum, tenaga pendidik, peserta didik, sarana dan
prasarana, teknologi dan media pembelajaran, evaluasi).
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Studi literatur Survey awal permasalahan proses pendidikan
Konfirmasi permasalahan melalui seminar/pertemuan dengan guru dan kepala
sekolah
Mengumpulkan permasalahan proses pendidikan secara conprehensive, baru,
aktual
Deskripsi hasil temuan untuk memperoleh indikator metode pengumpul data
Verifikasi hasil temuan bersama stakeholder
Kristalisasi hasil verifikasi
Cross chek berbagai informasi dari berbagai sumber
Populasi dan Sampel
Pengambilan populasi di kota Padang dikarenakan 30% jumlah guru dan
siswa Sumatera Barat berada di kota Padang, dan sekolahnya dapat
dikelompokkan berdasarkan jenis sekolah (SMA, MA, SMK), status sekolah
(negeri, swasta), dan lokasi sekolah (urban, rural).
Sampel diambil 25% dari masing-masing kelompok populasi berdasarkan
jenis sekolah (SMA, MA dan SMK), status sekolah (Negeri dan Swasta), lokasi
sekolah (urban dan rural) menggunakan teknik cluster random sampling. Setelah
menetapkan sampel secara random sesuai dengan jenis, status dan lokasi
sekolah, maka terpilih 30 sekolah sebagai sampel (Tabel 1)
Dari unit analisis sekolah sebagai sampel supaya terpilah dengan baik,
maka dipilih secara acak responden 5 orang guru dan 5 orang siswa untuk
masing-masing bidang studi pada setiap unit sekolah. Pengambilan sekolah
berdasarkan program studi yang mengikuti Ujian Nasional (UN) tahun 2009.
Tabel 1. Sampel sekolah menurut jenis, status dan lokasi sekolah
Sekolah/
Lokasi
Urban
Rural
Jumlah
SMA
MA
SMK
Negeri
Swasta
Negeri
Swasta
Negeri
Swasta
1
3
4
6
3
9
1
1
2
1
1
2
1
1
2
8
3
11
Jumlah
18
12
30
Pada tahapan pertama telah ditetapkan 30 sekolah sampel. Ternyata sesudah turun
ke lapangan ada sekolah peserta UN 2009 sudah tidak menerima siswa baru lagi, berarti
sekolah tersebut ditutup, sedang dua sekolah lain mengundurkan diri dari sampel
penelitian ini (tidak bersedia dijadikan sampel), sehingga tinggal 27 sekolah sampel.
Untuk memenuhi kriteria awal 30 sampel maka dilakukan randomisasi kedua untuk
mendapatkan 3 sekolah sebagai pengganti
Teknik Pengumpulan Data
Instrumen yang digunakan pada penelitian berupa angket, interview dan observasi.
Sebelum penyusunan instrumen diawali dengan mengadakan seminar awal untuk
mendapatkan informasi tentang permasalahan proses pelaksanaan KTSP secara
conprehensive, baru, aktual. Seminar ini dipandang kritikal karena merekalah guru,
kepala sekolah dan kepala dinas pelaku utama di lapangan. Melalui seminar diharapkan
hambatan pelaksanaan KTSP dalam hal-hal yang menunjang akan dapat diidentifikasi.
Setiap sekolah sampel diundang kepala sekolah dan wakil kepala sekolah bidang
kurikulum dan guru bidang studi. Mereka diminta menjelaskan keunggulan program
KTSP mereka dan apa hambatan dalam pelaksanaannya. Seminar dilaksanakan tanggal
23 Juli 2009 dihadiri 17 sekolah dengan jumlah peserta sebanyak 90 orang. Karena
masih ada sekolah sampel yang tidak sempat mengikuti seminar, maka sekolah tersebut
dikunjungi untuk mendapatkan informasi dari sekolah yangbersangkutan.
Untuk menghimpun data penelitian sesudah mendapatkan informasi kritikal dari
studi kepustakaan dan informasi yang diperoleh melalui seminar, serta kunjungan ke
sekolah sampel, disusun kisi-kisi instrumen sebagai pedoman penjaringan informasi
melalui angket, interview dan observasi. Kisi-kisi yang disusun berdasarkan enam
komponen proses pembelajaran (kurikulum, guru, siswa, sarana dan prasarana, media
pendidikan/teknologi, dan evaluasi). Dari setiap obyek yang diukur diusahakan dilihat
dari tiga dimensi: (a) kognitif, (b) afektif, (c) psikomotor atau: (a) potensi, (b) konten, (c)
evaluasi
Teknik Analisis Data
Teknik analisis terdiri dari analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif
dari dokumen buku KTSP, hasil wawancara, hasil observasi yang telah terkumpul
dipelajari untuk dideskripsikan, kemudian dianalisis sesuai dengan jenis dan karakteristik
informasi yang diperoleh. Pola analisis kualitatif seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Pola analisis kualitatif KTSP
Masukan
Visi dan Misi
Idealisme Pimpinan
Kebutuhan Stakeholders
Ketersediaan Sumberdaya
Karakteristik Siswa
Proses
Proses Analisis
SWOT
Perkembangan IPTEKS cepat,
Globalisasi, IT, Kesadaran
orang tua
Output
Kurikulum sebagai Ide
Kompetensi Lulusan yang
diinginkann
Standar Nasional
Pedoman Pembuatan
Proses Pelatihan, Pembuatan,
Review dan Pengesahan
Komposisi TIM
Pembuat/Pengembang
Landasan yang digunakan
Proses Pembelajaran
Hasil evaluasi
Pengukuruan
Outcomes
Pengukuran daya saing
sekolah
Kurikulum Sebagai
Dokumen
Struktur Kurikulum
Minitoring dan Evaluasi
Kurikulum dalam
Implementasi Proses
Pendidikan
Tiga langkah dalam menganalisis KTSP, Perancanaan, sosialisasi dan implementasi.
Tahap perencaan mulai dari: Menghimpun visi dan misi, Idealisme pimpinan, Kebutuhan
stakeholder, Ketersedian sumberdaya yang semuanya dipandang sebagai bahan masukan.
Seluruh bahan masukan ini dikaji melalui analisis SWOT yang mempertimbangkan
kemajuan IPTEKS, Globalisasi, kemajuan Teknologi Informasi dan kesadaran orang tua
tentang pendidikan yang akhirnya akan menghasilkan kurikulum sebagai ide dalam
bentuk kompetensi lulusan yang diinginkan. Kemudian digunakan Stándar Nasional,
Pedoman pembuatan Kurikulum, menetapkan tim penulis yang mampu
mengkomunikasikan ide dan menyerap ide dari berbagai sumber, dan menetapkan
landasan pengembagan (Visi) sebagai masukan. Semua masukan ini di olah melalui
berbagai pertemuan untuk di review dan di sahkan sehingga seluruh dokumen betul-betul
difahami oleh seluruh pelaku utama. Akhir dari kegiatan ini berupa buku KTSP dalam
bentuk dokumen. Terakhir proses implementasi dengan menggunakan proses
pembelajaran, evaluasi hasil belajar, pengukuran, outcomes, dan daya saing sekolah yang
dimonitor secara terus menurus dan difeedback kembali untuk memperbaiki proses
pengembangan kurikulum. Proses inilah yang dinamakan Implementasi Kurikulum.
Analisis kuantitatif dari hasil jawaban angket guru dan siswa diolah menggunakan
statistik sederhana persentase dengan bantuan program SPSS, kemudian data diringkas
dalam bentuk matriks untuk melakukan klasifikasi hasil-hasil penelitian. Selanjutnya,
data dianalisis, dievaluasi, dan ditafsirkan secara objektif..
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Kualitatif Permasalahan Sehubungan dengan KTSP.
Dalam petunjuk KTSP pada perencanaan harus meliputi visi, misi, idealisme
pimpinan, kebutuhan stakeholder, potensi daerah dan karakteristik siswa (Muhaimin,
Sutiah & Sugeng, 2008). Pada penelitian ini, tahap perumusan visi dan misi belum
menampung semua aspirasi warga sekolah, dan tidak melibatkan mereka, akibatnya sulit
akan diperoleh dukungan yang kuat dari warga sekolah dalam implementasinya
(komitmen). Akibat dari rendahnya komitmen warga sekolah hanya sebagian kecil dari
warga sekolah yang berkontribusi terhadap kemajuan sekolah. Bekerja dalam satu tim
merupakan kunci sukses pengembangan sekolah yang efektif (KTSP) (Sammons dkk:
1997) yang belum mendapat perhatian pada implementsi KTSP dan dalam berbagai
forum sosialisasi KTSP. Selain dari pada itu dengan kecilnya tim bekerja sebelum
menampung ide seluruh warga, maka visi dan visi itu dianggap asing bagi sebagian
warga sekolah. Mungkin inilah yang menyebabkan rendahnya partisipasi guru dalam
mengembangkan KTSP. Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar perencanaan visi dan
misi sekolah-sekolah (SMA,MA dan SMK) di kota Padang belum memberikan perhatian
yang serius terhadap pengembangan kurikulum KTSP. Artinya sebagian buku KTSP
sekolah menengah belum dapat dipergunakan sebagai ide pengembangan kurikulum.
Selanjutnya kajian dilakukan untuk merekam proses pembuatan kurikulum seperti:
pelatihan pada penulis buku KTSP, review hasil kerja tim, dan pengesahan dokumen
kurikulum. Data tentang proses ini hanya dapat diperoleh melalui wawancara. Ada
beberapa sekolah yang dapat menerangkan langkah dan tim pembuat secara tertib dan ada
pula sebagian kecil yang tidak ingat. Seluruh sekolah mengundang nara sumber baik
lokal maupun nasional untuk pelatihan penulisan buku KTSP, sebagian besar nara sumber
yang diundang berasal dari dinas pendidikan dan sekolah lain yang sudah menulis buku
KTSPnya. Buku KTSP yang sudah ditulis sebagian besar direview hanya satu kali.
Sewaktu penelitian ini berlangsung sebagian sekolah mengirimkan buku KTSPnya untuk
disyahkan oleh dinas propinsi. Namun ditolak karena ditemukan indikasi bahwa beberapa
dokumen buku KTSP berupa hasil copy paste. Sampai laporan ini dibuat belum ada
sekolah yang berada dibawah naungan dinas pendidikan yang buku KTSP nya disahkan
oleh dinas propinsi. Sebaliknya ada satu sekolah MA yang sudah disetujui oleh Depag
Sumbar. Namun dari interview kebeberapa sekolah ada yang sudah tiga kali merevisi
kurikulumnya (2007, 2008 dan 2009).
Dapat disimpulkan semangat untuk menyesuaikan kurikulum dengan kondisi yang
ada cukup tinggi, walaupun hasil yang dicapai belum direview dengan matang. Dari
berbagai interaksi dengan berbagai kalangan di sekolah, diduga bahwa penyebab dari
rendah kemampuan sekolah untuk mengevaluasi program, karena sedikitnya personel
sekolah yeng menguasai teknik-teknik evaluasi program. Fokus pengembangan sekolah
lebih banyak mengembangkan evaluasi hasil belajar (classroom interaction). Dan mereka
belum terlatih mengambil keputusan dari himpunan data yang ada. Akibatnya sebagain
besar keputusan yang di ambil dalam memilih proses implementasi KTSP lebih banyak
bertumpu kepada “common sense”. Hasil dari proses ini biasanya disebut kurikulum
KTSP sekolah yang bersangkutan sebagai dokumen. Karena hasil inilah yang akan
digunakan oleh seluruh warga sekolah dalam penerapan dan pengembangan kurikulum.
Kajian selanjutnya mempertimbangkan masukan apakah masukan seperti (1) proses
pembelajaran, (2) hasil evaluasi pengajaran, (3) cara mengukur outcome kegiatan,(4)
outcome yang diharapkan, dan (5) perumusan daya saing sekolah. Hasil analisis dokumen
dan wawancara menunjukkan sebagian besar sekolah sudah melaksanakan sesuai
petunjuk KTSP. Hal ini dapat dilihat dari sebagian besar penetapan ketuntasan belajar dan
kegiatan remedial dan pengayaan dilakukan berdasarkan kesepakatan kelompok guru
mata pelajaran melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Sedangkan
kenaikan kelas dan kelulusan kebanyakan dari sekolah-sekolah yang diteliti mengacu
kepada ketentuan Dinas Pendidikan, begitu juga dengan standar-standar yang lain. Dapat
disimpulkan bahwa implementasi kurikulum KTSP di sekolah menengah (SMA, MA dan
SMK) kota Padang telah dilakukan dengan sistematis dan sungguh-sungguh.
Berikutnya implementasi KTSP bertumpu kepada bentuk dan kegiatan proses
belajar di dalam ruang kelas tampaknya memberikan dampak yang tidak diharapkan.
Banyak pentunjuk sosialisasi KTSP menekankan kepada proses pembelajaran di ruang
kelas dan belum mempertimbangkan faktor-faktor dominan yang menyebabkan proses
tersebut tidak optimal. Misalnya dalam salah satu petunjuk (Muhaimin dkk 2008)
menekankan kepada mengubah strategi pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
dan metode yang variatif, sehingga memungkinkan:
Peserta didik lebih aktif
Iklim belajar menyenangkan
Pengembangan budaya baca, tulis, observasi
Fungsi guru bergeser dari pemberi inoformasi menuju seorang fasilitator
Pemanfaatan perpustakaan, laboratorium, dan sumber belajar lain,
Materi yang dipelajari terkait dengan lingkungan kehidupan peserta didik,
sehingga dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah kehidupan.
Peserta didik terbiasa mencari informasi dari berbagai sumber
Menggeser “teaching” menjadi “learning”
Lebih banyak komponen-komponen dalam kecakapan hidup yang biasa
diinternalisasikan dalam PBM.
Tidak ada yang salah dari pernyataan di atas, semuanya memberi tahu apa yang
harus dikerjakan guru namun belum membahas mengapa itu perlu dan apa penyebab
utama yang memungkinkan seluruh indikator tersebut dapat dikerjakan. Kita lebih
banyak berbicara tentang apa yang harus dikerjakan tetapi lupa untuk apa itu dikerjakan
dan faktor apa yang penting diperhatikan agar semua itu dapat dilakukan. Penelitian
sekolah Efektif di luar negeri lebih banyak mencari penyebab mengapa proses
pembelajaran dapat ditingkatkan (Scheerens, j., 2000; Brighouse, T. & Woords, D., 1999;
Sammons, P., Martimore, P., & Hillman, J., 1997; Coleman, J. S. dkk 1966, Jenks, dkk
1972). Mungkin ini pulalah yang menyebabkan pengembangan KTSP di Indonesia lebih
banyak pengembangan kepada bentuk dari pada kepada rohnya pengembangan sekolah
yang lebih efektif.
Hasil Kuantitatif Permasalahan Sehubungan dengan KTSP
Tingkat pendidikan guru hampir seluruh sekolah telah memenuhi syarat minimal
ijazah guru SLTA (Permendiknas no.41, 2007), sekitar 94% telah memiliki ijazah S1, S2
dan S3. Hanya sekitar 6% yang belum memenuhi syarat atau masih memiliki ijazah D3.
Dilihat dari distribusi ijazah menurut jenis sekolah dapat diduga sekolah MA dan SMK
swasta belum memiliki guru yang berijazah S2 dan S3, akibatnya akan mengalami
kesulitan berkembang. Sedang distribusi ijazah guru menurut lokasi rural dan urban
relatif mendekati sama
Penerapan KTSP berimplikasi pada bertambahnya beban bagi guru. Dari data
beban mengajar guru 38% guru yang memenuhi standar BSNP, 20% melebihi beban dan
42% beban rendah. Diperoleh sekitar 55% guru mengajar di sekolah lainnya. Sedang
distribusi guru yang mengajar di sekolah lain menurut lokasi rural dan urban relatif
mendekati sama. Untuk guru yang bebannya berlebih sulit dibayangkan sekolah tersebut
untuk berkembang. Hal ini berkaitan adanya pergeseran peran guru yang semula lebih
sebagai instruktur dan kini menjadi fasilitator pembelajaran. Sedangkan guru yang
bebannya kurang, dibayar sama dengan guru bebannya berlebih, ini menunjukkan
peranan kepala sekolah dalam mengembangkan KTSP belum optimum. .
Kesesuaian matapelajaran yang diampu guru sekitar 74% sesuai dengan pendidikan
terakhirnya dan masih terdapat 5 % yang tidak sesuai dengan pendidikan terakhirnya. Ini
menunjukkan peranan kepala sekolah dan dinas pendidikan dalam pengangkatan dan
penempatan belum memperhitungkan kebutuhan guru dengan matapelajaran yang ada.
Pemberdayaan guru belum dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah daerah (pemda).
Misalnya, pemda belum melakukan evaluasi pendidikan, termasuk evaluasi guru. Ini
yang kerap terjadi, sehingga penerapan KTSP pun bisa melambat.
Implementasi KTSP sebenarnya membutuhkan penciptaan iklim pendidikan yang
memungkinkan tumbuhnya semangat intelektual dan ilmiah bagi setiap guru, mulai dari
rumah, di sekolah, maupun di masyarakat. Dalam mengembangkan semangat intelektual
guru salah satunya dapat melalui keikut sertaan dalam seminar. Sehubungan dengan
seminar yang berhubungan dengan penelitian guru MA, SMK, dan SMA sekitar 12%
setiap tahunnya telah mengikuti dan 31% sama sekali belum mengikuti seminar. Guru
yang berasal dari daerah rural lebih banyak mengikutinya (16%) dibanding daerah urban
(13%) dan sekolah negeri lebih banyak (19%) dibanding swasta (9%). Selanjutnya
seminar yang berhubungan dengan pembelajaran dan pendidikan terbaru15% telah
mengikuti dan 12% belum mengikuti. Diantara yang mengikuti guru SMA negeri yang
berasal dari daerah rural lebih banyak mengikutinya (9%) dibanding daerah urban (6%).
Sekolah swasta ternyata rural lebih banyak (11%) dibanding swasta 5%. Ini menunjukkan
sekolah swasta belum optimum dalam meningkatkan pembelajaran bidang studinya.
Proses pembelajaran yang baik seharusnya membawa siswa ke alam nyata (CTL),
Penelitian ini mengajukan pertanyaan seberapa persen guru yang membawa siswa
praktikum ke labor dan ke ke lapangan. Temuan penelitian ini sekitar 19% guru telah
membawa siswa ke labor sebanyak lebih dari 6 kali untuk satu semester, sedang 47%
guru belum membawa siswa ke labor untuk praktikum. Sekitar 4% guru telah membawa
siswa ke lapangan untuk praktikum sebanyak lebih dari 6 kali untuk satu semester, dan
hanya 55% yang belum membawa siswa ke lapangan. Pada Tabel 21 sekitar 47% siswa
dari kelompok rural mengaku mengikuti praktikum komputer lebih dari 6 kali untuk satu
semester, dan hanya 64% siswa dari kelompok urban mengaku mengikuti praktikum
komputer lebih dari 6 kali untuk satu semester. Kegiatan praktikum komputer telah
terlaksana lebih dari 6 kali dalam satu semester di sekolah negeri SMA dan SMK sekitar
20%, tetapi untuk MA yang berasal dari rural hanya 1 sampai 2 kali saja. Begitu juga
sekolah MA swasta ruralnya tidak membawa siswanya praktikum komputer.
Kaitan ijazah guru dengan kegiatan seminar dan kegiatan membawa siswanya ke
labor dan kerja lapangan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Grafik Ijazah guru dengan kegiatan seminar dan kegiatan labor
Selaras dengan itu guru gagal mengambil inisiatif menggunakan “alam takambang
jadi guru”, untuk membawa anak ke lapangan terutama sekolah-sekolah berlokasi di
daerah rural. Hasil pengamatan di lapangan menemukan sebagian besar sekolah SMA,
MA dan SMK belum diperlengkapi dengan fasilitas labor yang memadai.
Dari temuan tersebut di atas dapat disimpulkan perhatian kadinas dan kepala
sekolah memandang bahwa kebutuhan labor tidak kritikal dibandingkan dengan capaian
UN dan banyaknya siswa yang lulus. tambahan pula kurangnya inisiatif guru untuk
memanfaatkan alam sebagai laboratorium terbuka.dan belum berorientasi pada kualitas
proses pembelajaran dan membelajarkan anak. Ada pendapat mengatakan bila UN sudah
bagus maka berarti anak sudah belajar dengan baik dan guru sudah mengajar dengan baik
pula. Pandangan seperti ini tampaknya keliru karena terlalu menyederhanakan masalah
yang kompleks. Seharusnya dalam pengembangan pendidikan diidentifikasi komponen
pendidikan yang belum berkembang. Apabila komponen yang lemah ini dapat
dikembangkan, maka perkembangan dapat terjadi secara signifikan. Maka perlu
dikembangkan kurikulum secara integratif dan secara sistemik sehingga tidak ada satu
bagian indikator yang terlupakan.
Dalam pembelajaran bentuk tugas yang diberikan oleh guru kebanyakan dalam
bentuk respon tertulis, diskusi dan presentasi masing-masing 75%, 89% dan 68% baik
untuk sekolah negeri maupun swasta yang berasal dari kelompok rural atau urban. Ini
menunjukkan penguasaan tugas evaluasi pendidikan pengajaran masih belum memadai.
Perangkat pembelajaran telah digunakan guru berupa RP 96%, LKS 70%,
Ringkasan materi 78%, modul 57%, buku ajar 73%, buku paket 63%, tetapi LDS hanya
24% Kalau dibandingkan dengan tugas yang digunakan, pada kegiatan diskusi 89%
memerlukan LDS. Data ini memperkokoh kesimpulan bahwa pemahaman guru tentang
tugas pengajaran masih sangat mekanistik.
Untuk mengoptimalkan pemberdayaan guru dalam menyusun kurikulum tersebut,
harus didukung sejumlah sarana dan fasilitas seperti ketersediaan buku teks yang
beragam. Setiap guru butuh banyak pengetahuan untuk penyempurnaan kurikulum yang
disusunnya, dan memerlukan banyak sumber seperti buku, dan internet. Keuntungan
yang bisa diraih guru dengan KTSP ini adalah keleluasaan memilih bahan ajar dan
peserta didik diharapkan dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan,
kebutuhan, dan minatnya. Guru dapat memusatkan perhatian pada pengembangan
kompetensi peserta didik dengan menyediakan aneka ragam kegiatan belajar mengajar
dan sumber belajar. Hasil penelitian penggunaan media pembelajaran sudah bervariasi,
tetapi kalau dilihat hasil belajar siswa belum optimal, kebanyakan siswa memperoleh
nilai di atas 75 hanya 12%. Ini artinya 88% nilai siswa tidak sesuai dengan standar pada
KTSP. Hasil ini kontradiktif dengan teori Dale (1969), bahwa penggunaan media yang
bervariasi akan meningkatkan capaian pembelajaran siswa. Mungkin guru terlalu banyak
menggunakan media sehingga tidak memusatkan perhatian siswa. Ini memperlihatkan
bahwa pemahaman guru tentang media masih sederhana.
Dari fakta tersebut di atas, walaupun ijazah guru sudah memenuhi syarat dan
sebaran guru antara urban dan rural sudah relatif proposional, namun penelitian ini
membuktikan bahwa penguasaan evaluasi dan metoda mengajar belum memadai. Hal ini
mungkin disebabkan guru sudah sangat percaya diri sehingga merasa tidak perlu lagi
mengembangkan potensi diri. Pada hal bila dilihat dari persepsi siswa hal tersebut
bertolak belakang, seperti dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Persepsi guru dan persepsi siswa tentang gurunya
Gambar 2 memperlihatkan karakter diri, integritas diri, keterbukaan terhadap kritik,
peran sosial guru dilihat dari persepsi guru dan persepsi siswa. Dari grafik terlihat bahwa
untuk semua komponen guru cendrung menilai dirinya terlalu tinggi, sementara siswa
menilai sebaliknya.
Faktor situasi lingkungan belajar yang juga berperan dalam pembelajaran seperti
pencahayaan dan kebisingan lingkungan sekolah. Jika dibandingkan dengan standar di
negara kita tentang penerangan buatan untuk kelas yaitu 200 - 300 lux. (Standar
Penerangan Buatan dalam Gedung,1978), dan untuk kebisingan pada zona B
(Intensitas 45–55 dB, Zona yang diperuntukkan bagi perumahan,
tempat Pendidikan dan rekreasi). Maka intensitas cahaya dalam kelas dan
perpustakaan sudah memenuhi standar, tetapi labor belum memenuhi. Untuk intensitas
bunyi pada semua ruangan berada diatas 55 dB, jadi diatas standar kebisingan. Mungkin
ini pulalah sulitnya siswa berkonsentrasi belajar yang akhirnya juga akan menurunkan
prestasi belajarnya.
Berbicara tentang prestasi belajar, bila dibandingkan hasil penilaian proses
pembelajaran di sekolah dengan capaian UN (Ujian Nasional), sebagian dari siswa (51%)
SMA, MA dan SMK untuk semua jenis sekolah memperoleh nilai di bawah KKM
(Kriteria Ketuntasan Minimal), sedang nilai yang diperoleh siswa untuk UN di bawah
rata-rata (70). Dari 9 mata uji, hanya 3 (sekitar 33%) untuk SMA dan MA yang berada di
atas KKM. Jadi KKM sekolah untuk SMA dan MA gagal meramalkan UN sebagai
indikator kesuksesan sekolah yang efektif. Untuk SMK didapat 5 dari 9 mata uji yaitu
sekitar 56% dibawah rata-rata, jadi ada kecendrungan yang signifikan bahwa KKM
sekolah di SMK tidak dapat meramalkan skor ujian nasional karena hanya satu mata uji
yang di UN kan di SMK yang mewarnai program studi masing-masing, sedang mata uji
yang lain adalah mata uji penunjang. Dengan sedikitnya mata uji yang di UN kan maka
varian yang dapat meramalkan skor UN menjadi kecil. Kalau ditemukan hubungan yang
tidak signifikan tersebut, berarti tidak dapat diterangkan secara scientific. Kesimpulannya
secara umum KKM tidak dapat digunakan sebagai indikator keberhasilan UN. Hal ini
berlawanan dengan konsep keberhasilan sekolah yang efektif (Scheerens, J., 2000;
Brighouse, T. & Woords, D., 1999; Sammons, P., Martimore, P., & Hillman, J., 1997).
Bila ditinjau dari jumlah siswa dalam satu kelas di SMA Negeri kebanyakan lebih
dari 33 orang dan di swasta sekitar 23 sampai 33 orang. Sedang untuk MA dan SMK baik
negeri maupun swasta jumlah siswa dalam satu lokal berkisar 23 sampai 27 orang. Hasil
pengamatan di lapangan sekolah-sekolah favorit akan mempunyai siswa yang banyak. Ini
mengindikasikan belum maksimalnya pengaturan oleh kepala dinas.
Untuk indikator: pengukuran outcome KTSP, daya saing sekolah, KTSP sebagai
dokumen dan implementasi KTSP yang ditanyakan pada guru, dengan empat item
pertanyaan jelas vs kabur, sistematik vs amburadul, disusun sebagian kecil orang vs
bersama, dan merupakan budaya sekolah vs tidak, kebanyakan guru menyatakan kabur,
amburadul, dibahas oleh sekelompok saja dan tidak merupakan budaya sekolah, dengan
median sekitar 3 dibawah rata-rata dengan titik tengah 4. Menurut persepsi guru tentang
KTSP yang mereka laksanakan dengan indikator: pengukuran outcome KTSP, KTSP
sebagai dokumen dan implementasi KTSP telah lebih baik, namun merasa rendah untuk
indikator daya saing sekolah, bahwa pengembangan kurikulum belum dibandingkan
dengan sekolah lain dan kebutuhan masyarakat.
Bila dilihat dari: pelaksanaan KTSP, lingkungan sekolah, suasana ruang kelas,
pengetahuan tentang ilmu pendidikan, usaha dan dampak perubahan kurikulum,
produktivitas pengembangan keilmuan, karakter guru dalam berbagai situasi, integritas
diri, keterbukaan terhadap kritik, peran sosial, visi dan misi KTSP, idealisasi pimpinan,
kebutuhan stakeholders, lingkungan sekolah, karakteristik siswa, pedoman pembuatan
KTSP, hasil evaluasi KTSP, ternyata empat indikator yang mediannya berada dibawah
rata-rata adalah: lingkungan sekolah, pengetahuan tentang ilmu pendidikan, usaha dan
dampak perubahan kurikulum, suasana ruang kelas. Chart ini mempertegas temuan
sebelumnya. Untuk terlaksananya KTSP diperlukan lingkungan sekolah dan suasana
ruang kelas yang mendukung, guru yang dapat memainkan perannya sebagai motivator,
dinamisator, fasilitator, inisiator, kreator, ilustrator, konduktor, administrator koordinator
dan manajer, evaluator, promotor, desainer, dan eksekutor. Hambatan pelaksanaan KTSP
terletak didua area, pejabat yang berwenang dan pelaku utama pengembangan sekolah.
Selanjutnya dilihat indikator: penguasaan materi, menguasai ilmu pendidikan,
menguasai cara membimbing siswa, menguasai metode pembelajaran melaksanakan
evaluasi, perencanaan pembelajaran, integritas kepribadian, kompetensi sosial, etos kerja,
kekhasan sekolah, kurikulum sebagai dokumen, pelaksnaan KTSP. Terdapat enam
indikator yang mediannya berada dibawah rata-rata adalah: penguasaan materi,
menguasai ilmu pendidikan, menguasai cara membimbing siswa, menguasai metode
pembelajaran, melaksanakan evaluasi, perencanaan pembelajaran. Kalau dilihat pendapat
Tyler (perencanaan tujuan, pengalaman, metoda dan evaluasi pembelajaran) berarti
seluruh aspek kurikulum Behavioristik belum terpenuhi. Sedangkan disisi lain dalam
literatur pengembangan KTSP berbasis kompetensi (KBK), sementara KBK adalah
turunan lansung/jelmaan dari Behavioristik. Mungkin itulah yang menyebabkan
pengembangan KTSP tidak selancar yang diharapkan. Kecendrungan umum SMA lebih
baik dari MA, dan MA lebih baik dari SMK. Di SMA varian skor lima indikator tersebut
lebih besar dibanding di MA dan SMK. Mungkin disebabkan pilihan masyarakat dimulai
dari SMA, kemudian MA dan pilihan terakhir SMK. Untuk SMA ternyata varian yang
jelek berada di sekolah negeri urban, sementara di MA dan SMK ternyata varian yang
jelek berada di sekolah swasta rural.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1.
Perencanaan Kurikulum yang mengolah 1) Visi dan Misi, 2)
Idealisme Pimpinan, 3) Kebutuhan Stakeholders, 4) Ketersediaan Sumber Daya dan
5) Karakteristik Siswa sebagai masukan 6) Proses Analisis SWOT, menjadikan
kurikulum sebagai penghimpunan gagasan cemerlang sehingga dapat dirumuskan
kompetensi lulusan yang diharapkan, ternyata masih sangat rendah
2.
Masukan seperti 1) Standar Nasional, 2) Pedoman
Pembuatan, 3) Komposisi TIM, 4) Pembuat/Pengembang, 5) Landasan yang
digunakan melalui Proses Pelatihan, 6) Pembuatan, 7) Review dan 8) Pengesahan
yang menghasilkan Struktur Kurikulum yang selanjutkan dapat dijadikan Kurikulum
sebagai dokumen cukup memadai
3.
Masukan melalui Proses Pembelajaran, Hasil evaluasi,
Pengukuruan, Outcomes, Pengukuran daya saing sekolah melalui Monitoring dan
Evaluasi yang menghasilkan Implimentasi Kurikulum telah memadai namun belum
terkait dengan kurikulum sebagai ide
4.
Hasil penilaian proses pembelajaran dengan capaian UN
(Ujian Nasional), 51 % siswa SMA, MA dan SMK untuk semua jenis sekolah
memperoleh nilai dibawah KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal), dan dibawah ratarata (70). Dengan demikian secara umum KKM tidak dapat digunakan sebagai
indikator keberhasilan UN. Hal ini berlawanan dengan konsep keberhasilan sekolah
yang efektif.
5.
Sekolah swasta belum optimum dalam meningkatkan
pembelajaran bidang studinya, juga tugas evaluasi pendidikan pengajaran masih
belum memadai, pemahaman guru tentang tugas pengajaran masih sangat mekanistik
6.
Dari pelaksanaan KTSP, lingkungan sekolah, suasana ruang
kelas, pengetahuan tentang ilmu pendidikan, usaha dan dampak perubahan
kurikulum, produktivitas pengembangan keilmuan, karakter guru dalam berbagai
situasi, integritas diri, keterbukaan terhadap kritik, peran sosial, visi dan misi KTSP,
idealisasi pimpinan, kebutuhan stakeholders, lingkungan sekolah, karakteristik siswa,
pedoman pembuatan KTSP, hasil evaluasi KTSP, ternyata empat indikator yang
mediannya berada dibawah rata-rata, yaitu:
lingkungan sekolah, pengetahuan
tentang ilmu pendidikan, usaha dan dampak perubahan kurikulum dan suasana ruang
kelas.
7.
Indikator: penguasaan materi, menguasai ilmu pendidikan,
menguasai cara membimbing siswa, menguasai metode pembelajaran melaksanakan
evaluasi, perencanaan pembelajaran, mediannya berada dibawah rata-rata, berarti
seluruh aspek kurikulum Behavioristik belum terpenuhi. Sedangkan disisi lain dalam
literatur pengembangan KTSP berbasis kompetensi (KBK), sementara KBK adalah
turunan lansung/jelmaan dari Behavioristik. Mungkin itulah yang menyebabkan
pengembangan KTSP tidak selancar yang diharapkan. Kecendrungan umum SMA
lebih baik dari MA, dan MA lebih baik dari SMK. Di SMA varian skor lima indikator
tersebut lebih besar dibanding di MA dan SMK. Mungkin disebabkan pilihan
masyarakat dimulai dari SMA, kemudian MA dan pilihan terakhir SMK. Untuk SMA
ternyata varian yang jelek berada di sekolah negeri urban. Di MA dan SMK ternyata
varian yang jelek berada di sekolah swasta rural.
8.
Ketersediaan sarana & prasarana pendidikan masih belum
memadai terutama antar jenis sekolah (SMA, MA, SMK), Status sekolah (Negeri &
Swasta) dan Lokasi Sekolah (Urban & Rural).
Saran
1.
Sebaiknya Kadinas,kepala sekolah dan menjadi jabatan
profesional dan bukan politik dan berikan wewenang lebih besar kepada kepala
sekolah untuk melakukan “tuning” dalam menetapkan style dan arah pengembangan.
2.
Kembangkan KTSP secara integratif, dan sistematik
sehingga ditemukan cara-cara yang efektif untuk mencapai tujuan pendidikan dan
tinggalkan pendekatan “component wise” dalam pengembangan.
3.
Gunakan teknologi untuk merekam data Penerapan KTSP
dan biasakan menggunakan data dalam merumuskan kebijakan.
4.
Diperlukan penelitian yang lebih komprehensif untuk
mendukung kebijakan penerapan KTSP di Indonesia.
PUSTAKA ACUAN
Abdul Muin Sibuea. (2004). Penelitian dan Pengembangan Kurikulum Bidang Studi, Makalah,
KONASPI V ISBN 979-445-001-4, UNS
Aljufri B. S. 1998. Analisis Kebutuhan Pengembangan Kurikulum FPTK-IKIP Padang
dalam menghadapi era Persaingan Global. Disampaikan pada Seminar Lokakarya
Kurikulum FPTK IKIP Padang tanggal 27 Juli 1998.
Aljufri B. Syarif. (1982). Prediction of Mathematical Achievemant of Junior High School in West
Java, Indonasia. (Indiana University: Master Thesis),
Ansyar, Muhamad.(1989) Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Depdiknas, Jakarta
Brighouse, T. & Woods, D. (1999). How to Improve Your School. London: Routledge.
Coleman, J. S., Campbell, E. Hobson, C., McPartland, J., Mood, A., Weinfield, F. and York, R.
(1966). Equality of Educational Opportunity. Washinton: US Government Printing Office.
Dale, E.(1969) . Audio Visual Methods in Teaching.(Third Edition). New York: The Dryden Press,
Holt, Rinehart and Winston, Inc
Fasli Jalal (2006). CD Data Guru + HDI + UAN
Goldstein, H. & Thomas, S. (1995). School effectiveness and value added analysis. Forum, 37, 2,
36-8.
Gray, J., McPherson, A. Dan Raffe, D. (1983). Reconstructions of Secondary Education.
London: Routledge & Gegan Paul.
Gusrizal (2007). Efektivitas Sekolah Menengah Kejuruan. Dalam Hubungannya dengan
Kepemimpinan Sekolah dan Keterlibatan Dunia Kerja. (Studi pada SMK Negeri SeSumatera Barat). Disertasi. Program Pasacasarjana Universitas Negeri Padang.
Hamilton, D. (1996). Peddling feel-good fictions. Summer forum 38, 2, 54-6.
Hanafie, Imam (2000) Plus Minus Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
http://siswa.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=25&artid=14
Hanushek, E. (1979). Conceptual and empirical issues in the estimation of educational
production functions. Journal of Human Resources, 14, 351-88.
Hanushek, E. (1986). The economics of schooling: production and efficiency in public schools.
Journal of economic Literature, 24,1141-77.
Jenks, C. S., Smith, M., Ackland, H., Bane, M.,J., Cohen, D., Gintis, H., Heyns, B. Dan
Micholson, S. (1972). Inequality: Assessment of the Effect of Family and Schooling in
America. New York: Basic Books.
Kunandar, 2007. Guru Profesional, Implementasi KTSP dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi
Guru, Rajagrasindopersada, Jakarta.
Kunandar. (2007). Guru Profesional, Implementasi Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan
(KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Maria Lucia aida, (2007) Perhitungan Nilai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Berbasis
Kompetensi http://siswa.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=25&artid=14
Moretimore, P. Sammons, P. Dan Thomas, S. (1994). School effectiveness and value added
measures, Assessment in Education, 1, 3, 315-32.
Mortimore, P., Sammons, P., Stoll, L., Lewis, D. Dan Ecob, R. (1988). School Matters: The
Junior Years. Wells: Open Books.
Mulyasa, E. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep, Karakteristik, dan Implementasi.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Prayitno. M.Anyar. Aljufri B.Syarif. (2006). Studi Pengembangan Aplikasi Hight-Touch dan
High-Tech dalam Proses Pembelajaran di Sekolah. Laporan Penelitian Hibah Pasca
Sarjana-HPTP III. Program Pasca Sarjana UNP.
Purkey, S. C. & Smith, M. S. (1983). “Effective schools: a review”. Elementary School Journal,
83, 4, 427-52.
Reynolds, D. (1982). The search for effective school improvement: a review of the British
literature. Dalam D. Reynold, B. Greemers dan T. Peters (eds) School Effectiveness and
improvement. Proccedings of the First International Congress, London, 1988.
Rutter, M., Maughan, b., Mortimore, P. Dan Ouston, J. (1979). Fifteen Thousand Hours:
Secondary Schools and teir Effects on Children. London: Open Books.
Sammons, P., Martimore, P., & Hillman, J. (1997). 7 Key characteristics of effective schools: a
response to ‘Peddling feel-good fictions’ dalam Michael Barber & John White, (Eds.)
(1997). Perspectives on school effectiveness and school improvement. London: The
Institute of Education University of London.
Sammons, P., Mortimore, P. Dan Thomas, S. (1993). Do Schools Perform Consistently across
Outcomes and Areas? Paper disajikan pada Seminar “School Effectiveness and School
Improvement” July 1993, Univeristy of Sheffield.
Scheerens, J. (2000). Improving School Effectiveness. Paris: Unesco: International Institute for
Educational Planning.
Smith, D. Dan Tomlinson, S. (1989). The School Effect: A Study of Multiracial Comprehensives.
London: Policy Studies Institute.
Stebbins, L., St. Pierre, R., Proper, E., Anderson, R. & Cerva, T. (1977). Education as
Experimentation: A Planned Variation Model, vol IV an Evaluation of Follow through.
Cambridge, MA: Abt Associates.
Sumiyarno (2004). Kebijakan Pengembangan Kurikulum Dalam Menjawab Tantangan Lokal,
Nasional, Dan Global: Berdasarkan Analisis Atas Kualitas Lulusan Pendidikan, Makalah,
KONASPI V ISBN 979-445-001-4, UNS
Tilaar, H. A. R. 1998. Pendidikan Tinggi di Indonesia Dewasa ini Menghadapi Tantangan Abad
XXI, dalam Membangun Daya Saing Bangsa Melalui Akselerasi Mutu Pendidikan Tinggi.
Malang: Merdeka University Press.
Tilaar, H.A.R. (Ed.). 2004. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta
Van der Grift,W. (1987). Self-perceptions of educational leadership and average achievement.
Dalam J. Scheerens danW. Stoel (eds). Effectiveness of School Organizations. Lisse: Swets
and Zaithlinger.
Zais, Robertt.S, (1976). Curriculum Principles and Foundations. New York: Thomas Y. Crowell
Harper & Row Publishers.
PENDIDIKAN (KTSP) DI SMA, MA dan SMK KOTA PADANG
Dra. Syakbaniah1), M.Si, Prof. Dr. Festiyed, MS1) dan
Prof. Dr. Aljufri B.Syarif, M.Sc2)
1)
Dosen Fisika FMIPA UNP Padang, 2) Dosen Teknik Mesin FT UNP
Abstrak
Penelitian ini merupakan tahap pendahuluan penelitian tentang potensi
pendidikan kabupaten/kota pada SMA, MA dan SMK kota Padang yang
bertujuan untuk mempelajari dan menghimpun data secara comprehensif,
baru dan aktual dengan menggunakan metoda mix (kualitatif dan
kuantitatif secara serentak). Untuk data kualitatif diperoleh melalui (1)
interview ke Kepala Sekolah/Wakil Kepla Sekolah bidang kurikulum,
guru,(2) observasi memperhatikan lingkungan sekolah, dokumen KTSP
sekolah dan merekam kondisi lokal, labor dan pustaka (intensitas cahaya
dan bunyi). Data kuantitatif instrumen yang digunakan pilihan berganda,
multiple respon, skala Likert dan semantik diferensial. Dari hasil
penelitian tentang kurikulum sebagai ide: perumusan visi dan misi belum
menampung aspirasi semua warga sekolah, dan belum melibatkan
mereka, akibatnya sulit akan diperoleh dukungan yang kuat dari warga
sekolah dalam implementasinya. Kurikulum sebagai proses dan kurikulum
yang diimplementasikan telah terlaksana tetapi belum terkait dengan
kurikulum sebagai ide. Jadi, walaupun telah diterapkan otonomi daerah
kenyataannya banyak sekolah-sekolah masih memandang kebijaksanaan
pusat yang harus mereka ikuti. Sehingga kreativitas, inovasi guru dan
kepala sekolah ragu dan enggan mencari cara-cara baru dalam
mengimplementasikan kurikulum yang cocok dengan kondisi daerah dan
karakteristik siswa. Disarankan petunjuk sosialisasi dari Jakarta beragam
sesuai dengan berbagai kondisi sehingga ada peluang sekolah untuk
menyesuaikan.
Kata kunci: Ide, proses, dan implementasi KTSP
PENDAHULUAN
Berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan, salah satu diantaranya
adalah penyempurnaan kurikulum yang disebut dengan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) (Fasli Jalal, 2006). Berbicara mengenai kurikulum kita jauh
tertinggal bila dibandingkan dengan kurikulum negara lain (Sumiyarno, 2004).
Pemberlakuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), telah ditetapkan dalam
peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 Tahun 2006 dan diberlakukan sejak tahun
ajaran 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ini disusun oleh tingkat
satuan pendidikan yang akan menggunakan KTSP tersebut. Dalam penyusunannya selain
melibatkan guru dan karyawan juga melibatkan komite sekolah serta bila perlu para ahli
dari perguruan tinggi setempat. Dengan keterlibatan komite sekolah dalam penyusunan
KTSP maka arah pengembangan akan selaras dengan aspirasi masyarakat, situasi dan
kondisi lingkungan dan kebutuhan masyarakat, sehingga seluruh potensi (aset sekolah)
dapat didayagunakan secara optimal untuk mencapai tujuan pengembangan sekolah.
Namun di lapangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) disikapi secara
berbeda oleh pelaku pendidikan.Belum semua warga sekolah dapat memahami secara
utuh esensi KTSP; sekolah masih menghadapi kesulitan dalam proses pelaksanaan,
karena gagal mengerahkan sumber daya pendidikan secara optimal. Dokumen KTSP
belum mampu mensinergikan seluruh kegiatan pengembangan ke arah yang diharapkan.
Kurang sinerginya sumberdaya pendidikan seperti: sumber daya manusia, sarana dan
prasarana, manajemen serta pembiayaan mungkin merupakan penyebab timbulnya sikap
apriori dan penolakan secara psikologis terhadap perubahan.
Meskipun sudah ada upaya untuk memecahkan masalah tersebut, seperti: yang
telah dilakukan MGMP dalam mengembangkan dan melaksanakan kurikulum,
memanfaatkan hasil penelitian, tetapi belum menyangkut masalah secara keseluruhan,
hanya secara parsial, sehingga masih terdapat beberapa kelemahan. Jika hal ini terus
dibiarkan dan tidak ada upaya untuk mencari akar permasalahan dan perbaikannya, maka
proses pembelajaran tidak akan berjalan menurut semestinya seperti tertuang dalam
kurikulum. Hal inilah yang menyebabkan kegagalan upaya peningkatan kualitas proses
dan hasil belajar.
Sehubungan dengan permasalahan yang disebutkan di atas, maka diperlukan upayaupaya kongkrit untuk mengiringi suksesnya penyempurnaan kurikulum ini. Semangat
perubahan KTSP mensyaratkan sekolah membangun paradigma baru. Sekolah berhak
menilai keberhasilan pelaksanaannya; apakah standar kompetensi dan kompetensi dasar
sudah dicapai oleh peserta didiknya. Model penilaian ini salah satunya melalui ujian
sekolah. Hasil ujian sekolah menjadi alat bagi sekolah untuk meluluskan peserta
didiknya, baik naik kelas maupun lulus satuan pendidikan. Implementasi KTSP dengan
benar dan reformasi UN mutlak diperlukan sebagai upaya memperbaiki mutu pendidikan.
Fokus penelitian ini diarahkan untuk mempelajari dan menghimpun data secara
comprehensive, baru dan aktual tentang KTSP di SMA, MA dan SMK Negeri dan Swasta
kota Padang. Secara spesifik, fokus penelitian tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
• Bagaimanakah pelaksanaan kurikulum sebagai ide ?
• Bagaimanakah pelaksanan kurikulum sebagai proses ?
• Bagaimanakah pelaksanaan kurikulum yang diimplementasikan?
Sesuai dengan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan secara
faktual profil pelaksanaan KTSP di SMA, MA dan SMK Negeri dan Swasta kota Padang
Deskripsi profil ini dapat dipergunakan untuk memberikan rekomendasi kebijakan
tentang penyelenggaraan KTSP di sekolah-sekolah serta kepada pihak-pihak terkait.
Selanjutnya, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan untuk meningkatkan
kualitas input dan proses pembelajaran, yang pada akhirnya berimplikasi pada
peningkatan kualitas lulusan dari sekolah-sekolah yang sudah menjalankan dan yang
akan melaksanakan KTSP.
METODE PENELITIAN
Metode dan Tahapan Penelitian
Penelitian ini menerapkan metode penelitian mix (Kualitatif dan kuantitatif secara
serentak). Metode kuantitatif digunakan untuk mendeskripsikan secara evaluatif
fenomena yang berupa kuantitas, sedangkan metode kualitatif digunakan untuk
memaknai secara verbal temuan-temuan penelitian sesuai dengan kualitas data penelitian.
Sesuai dengan karakteristik dan tujuan penelitian, prosedur penelitian ini mengikuti
tahapan berikut: Pada tahun pertama menggunakan pendekatan ekploratif, mempelajari
dan menghimpun data secara comprehensive, baru dan aktual dari interaksi enam
komponen proses pendidikan (kurikulum, tenaga pendidik, peserta didik, sarana dan
prasarana, teknologi dan media pembelajaran, evaluasi).
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Studi literatur Survey awal permasalahan proses pendidikan
Konfirmasi permasalahan melalui seminar/pertemuan dengan guru dan kepala
sekolah
Mengumpulkan permasalahan proses pendidikan secara conprehensive, baru,
aktual
Deskripsi hasil temuan untuk memperoleh indikator metode pengumpul data
Verifikasi hasil temuan bersama stakeholder
Kristalisasi hasil verifikasi
Cross chek berbagai informasi dari berbagai sumber
Populasi dan Sampel
Pengambilan populasi di kota Padang dikarenakan 30% jumlah guru dan
siswa Sumatera Barat berada di kota Padang, dan sekolahnya dapat
dikelompokkan berdasarkan jenis sekolah (SMA, MA, SMK), status sekolah
(negeri, swasta), dan lokasi sekolah (urban, rural).
Sampel diambil 25% dari masing-masing kelompok populasi berdasarkan
jenis sekolah (SMA, MA dan SMK), status sekolah (Negeri dan Swasta), lokasi
sekolah (urban dan rural) menggunakan teknik cluster random sampling. Setelah
menetapkan sampel secara random sesuai dengan jenis, status dan lokasi
sekolah, maka terpilih 30 sekolah sebagai sampel (Tabel 1)
Dari unit analisis sekolah sebagai sampel supaya terpilah dengan baik,
maka dipilih secara acak responden 5 orang guru dan 5 orang siswa untuk
masing-masing bidang studi pada setiap unit sekolah. Pengambilan sekolah
berdasarkan program studi yang mengikuti Ujian Nasional (UN) tahun 2009.
Tabel 1. Sampel sekolah menurut jenis, status dan lokasi sekolah
Sekolah/
Lokasi
Urban
Rural
Jumlah
SMA
MA
SMK
Negeri
Swasta
Negeri
Swasta
Negeri
Swasta
1
3
4
6
3
9
1
1
2
1
1
2
1
1
2
8
3
11
Jumlah
18
12
30
Pada tahapan pertama telah ditetapkan 30 sekolah sampel. Ternyata sesudah turun
ke lapangan ada sekolah peserta UN 2009 sudah tidak menerima siswa baru lagi, berarti
sekolah tersebut ditutup, sedang dua sekolah lain mengundurkan diri dari sampel
penelitian ini (tidak bersedia dijadikan sampel), sehingga tinggal 27 sekolah sampel.
Untuk memenuhi kriteria awal 30 sampel maka dilakukan randomisasi kedua untuk
mendapatkan 3 sekolah sebagai pengganti
Teknik Pengumpulan Data
Instrumen yang digunakan pada penelitian berupa angket, interview dan observasi.
Sebelum penyusunan instrumen diawali dengan mengadakan seminar awal untuk
mendapatkan informasi tentang permasalahan proses pelaksanaan KTSP secara
conprehensive, baru, aktual. Seminar ini dipandang kritikal karena merekalah guru,
kepala sekolah dan kepala dinas pelaku utama di lapangan. Melalui seminar diharapkan
hambatan pelaksanaan KTSP dalam hal-hal yang menunjang akan dapat diidentifikasi.
Setiap sekolah sampel diundang kepala sekolah dan wakil kepala sekolah bidang
kurikulum dan guru bidang studi. Mereka diminta menjelaskan keunggulan program
KTSP mereka dan apa hambatan dalam pelaksanaannya. Seminar dilaksanakan tanggal
23 Juli 2009 dihadiri 17 sekolah dengan jumlah peserta sebanyak 90 orang. Karena
masih ada sekolah sampel yang tidak sempat mengikuti seminar, maka sekolah tersebut
dikunjungi untuk mendapatkan informasi dari sekolah yangbersangkutan.
Untuk menghimpun data penelitian sesudah mendapatkan informasi kritikal dari
studi kepustakaan dan informasi yang diperoleh melalui seminar, serta kunjungan ke
sekolah sampel, disusun kisi-kisi instrumen sebagai pedoman penjaringan informasi
melalui angket, interview dan observasi. Kisi-kisi yang disusun berdasarkan enam
komponen proses pembelajaran (kurikulum, guru, siswa, sarana dan prasarana, media
pendidikan/teknologi, dan evaluasi). Dari setiap obyek yang diukur diusahakan dilihat
dari tiga dimensi: (a) kognitif, (b) afektif, (c) psikomotor atau: (a) potensi, (b) konten, (c)
evaluasi
Teknik Analisis Data
Teknik analisis terdiri dari analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif
dari dokumen buku KTSP, hasil wawancara, hasil observasi yang telah terkumpul
dipelajari untuk dideskripsikan, kemudian dianalisis sesuai dengan jenis dan karakteristik
informasi yang diperoleh. Pola analisis kualitatif seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Pola analisis kualitatif KTSP
Masukan
Visi dan Misi
Idealisme Pimpinan
Kebutuhan Stakeholders
Ketersediaan Sumberdaya
Karakteristik Siswa
Proses
Proses Analisis
SWOT
Perkembangan IPTEKS cepat,
Globalisasi, IT, Kesadaran
orang tua
Output
Kurikulum sebagai Ide
Kompetensi Lulusan yang
diinginkann
Standar Nasional
Pedoman Pembuatan
Proses Pelatihan, Pembuatan,
Review dan Pengesahan
Komposisi TIM
Pembuat/Pengembang
Landasan yang digunakan
Proses Pembelajaran
Hasil evaluasi
Pengukuruan
Outcomes
Pengukuran daya saing
sekolah
Kurikulum Sebagai
Dokumen
Struktur Kurikulum
Minitoring dan Evaluasi
Kurikulum dalam
Implementasi Proses
Pendidikan
Tiga langkah dalam menganalisis KTSP, Perancanaan, sosialisasi dan implementasi.
Tahap perencaan mulai dari: Menghimpun visi dan misi, Idealisme pimpinan, Kebutuhan
stakeholder, Ketersedian sumberdaya yang semuanya dipandang sebagai bahan masukan.
Seluruh bahan masukan ini dikaji melalui analisis SWOT yang mempertimbangkan
kemajuan IPTEKS, Globalisasi, kemajuan Teknologi Informasi dan kesadaran orang tua
tentang pendidikan yang akhirnya akan menghasilkan kurikulum sebagai ide dalam
bentuk kompetensi lulusan yang diinginkan. Kemudian digunakan Stándar Nasional,
Pedoman pembuatan Kurikulum, menetapkan tim penulis yang mampu
mengkomunikasikan ide dan menyerap ide dari berbagai sumber, dan menetapkan
landasan pengembagan (Visi) sebagai masukan. Semua masukan ini di olah melalui
berbagai pertemuan untuk di review dan di sahkan sehingga seluruh dokumen betul-betul
difahami oleh seluruh pelaku utama. Akhir dari kegiatan ini berupa buku KTSP dalam
bentuk dokumen. Terakhir proses implementasi dengan menggunakan proses
pembelajaran, evaluasi hasil belajar, pengukuran, outcomes, dan daya saing sekolah yang
dimonitor secara terus menurus dan difeedback kembali untuk memperbaiki proses
pengembangan kurikulum. Proses inilah yang dinamakan Implementasi Kurikulum.
Analisis kuantitatif dari hasil jawaban angket guru dan siswa diolah menggunakan
statistik sederhana persentase dengan bantuan program SPSS, kemudian data diringkas
dalam bentuk matriks untuk melakukan klasifikasi hasil-hasil penelitian. Selanjutnya,
data dianalisis, dievaluasi, dan ditafsirkan secara objektif..
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Kualitatif Permasalahan Sehubungan dengan KTSP.
Dalam petunjuk KTSP pada perencanaan harus meliputi visi, misi, idealisme
pimpinan, kebutuhan stakeholder, potensi daerah dan karakteristik siswa (Muhaimin,
Sutiah & Sugeng, 2008). Pada penelitian ini, tahap perumusan visi dan misi belum
menampung semua aspirasi warga sekolah, dan tidak melibatkan mereka, akibatnya sulit
akan diperoleh dukungan yang kuat dari warga sekolah dalam implementasinya
(komitmen). Akibat dari rendahnya komitmen warga sekolah hanya sebagian kecil dari
warga sekolah yang berkontribusi terhadap kemajuan sekolah. Bekerja dalam satu tim
merupakan kunci sukses pengembangan sekolah yang efektif (KTSP) (Sammons dkk:
1997) yang belum mendapat perhatian pada implementsi KTSP dan dalam berbagai
forum sosialisasi KTSP. Selain dari pada itu dengan kecilnya tim bekerja sebelum
menampung ide seluruh warga, maka visi dan visi itu dianggap asing bagi sebagian
warga sekolah. Mungkin inilah yang menyebabkan rendahnya partisipasi guru dalam
mengembangkan KTSP. Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar perencanaan visi dan
misi sekolah-sekolah (SMA,MA dan SMK) di kota Padang belum memberikan perhatian
yang serius terhadap pengembangan kurikulum KTSP. Artinya sebagian buku KTSP
sekolah menengah belum dapat dipergunakan sebagai ide pengembangan kurikulum.
Selanjutnya kajian dilakukan untuk merekam proses pembuatan kurikulum seperti:
pelatihan pada penulis buku KTSP, review hasil kerja tim, dan pengesahan dokumen
kurikulum. Data tentang proses ini hanya dapat diperoleh melalui wawancara. Ada
beberapa sekolah yang dapat menerangkan langkah dan tim pembuat secara tertib dan ada
pula sebagian kecil yang tidak ingat. Seluruh sekolah mengundang nara sumber baik
lokal maupun nasional untuk pelatihan penulisan buku KTSP, sebagian besar nara sumber
yang diundang berasal dari dinas pendidikan dan sekolah lain yang sudah menulis buku
KTSPnya. Buku KTSP yang sudah ditulis sebagian besar direview hanya satu kali.
Sewaktu penelitian ini berlangsung sebagian sekolah mengirimkan buku KTSPnya untuk
disyahkan oleh dinas propinsi. Namun ditolak karena ditemukan indikasi bahwa beberapa
dokumen buku KTSP berupa hasil copy paste. Sampai laporan ini dibuat belum ada
sekolah yang berada dibawah naungan dinas pendidikan yang buku KTSP nya disahkan
oleh dinas propinsi. Sebaliknya ada satu sekolah MA yang sudah disetujui oleh Depag
Sumbar. Namun dari interview kebeberapa sekolah ada yang sudah tiga kali merevisi
kurikulumnya (2007, 2008 dan 2009).
Dapat disimpulkan semangat untuk menyesuaikan kurikulum dengan kondisi yang
ada cukup tinggi, walaupun hasil yang dicapai belum direview dengan matang. Dari
berbagai interaksi dengan berbagai kalangan di sekolah, diduga bahwa penyebab dari
rendah kemampuan sekolah untuk mengevaluasi program, karena sedikitnya personel
sekolah yeng menguasai teknik-teknik evaluasi program. Fokus pengembangan sekolah
lebih banyak mengembangkan evaluasi hasil belajar (classroom interaction). Dan mereka
belum terlatih mengambil keputusan dari himpunan data yang ada. Akibatnya sebagain
besar keputusan yang di ambil dalam memilih proses implementasi KTSP lebih banyak
bertumpu kepada “common sense”. Hasil dari proses ini biasanya disebut kurikulum
KTSP sekolah yang bersangkutan sebagai dokumen. Karena hasil inilah yang akan
digunakan oleh seluruh warga sekolah dalam penerapan dan pengembangan kurikulum.
Kajian selanjutnya mempertimbangkan masukan apakah masukan seperti (1) proses
pembelajaran, (2) hasil evaluasi pengajaran, (3) cara mengukur outcome kegiatan,(4)
outcome yang diharapkan, dan (5) perumusan daya saing sekolah. Hasil analisis dokumen
dan wawancara menunjukkan sebagian besar sekolah sudah melaksanakan sesuai
petunjuk KTSP. Hal ini dapat dilihat dari sebagian besar penetapan ketuntasan belajar dan
kegiatan remedial dan pengayaan dilakukan berdasarkan kesepakatan kelompok guru
mata pelajaran melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Sedangkan
kenaikan kelas dan kelulusan kebanyakan dari sekolah-sekolah yang diteliti mengacu
kepada ketentuan Dinas Pendidikan, begitu juga dengan standar-standar yang lain. Dapat
disimpulkan bahwa implementasi kurikulum KTSP di sekolah menengah (SMA, MA dan
SMK) kota Padang telah dilakukan dengan sistematis dan sungguh-sungguh.
Berikutnya implementasi KTSP bertumpu kepada bentuk dan kegiatan proses
belajar di dalam ruang kelas tampaknya memberikan dampak yang tidak diharapkan.
Banyak pentunjuk sosialisasi KTSP menekankan kepada proses pembelajaran di ruang
kelas dan belum mempertimbangkan faktor-faktor dominan yang menyebabkan proses
tersebut tidak optimal. Misalnya dalam salah satu petunjuk (Muhaimin dkk 2008)
menekankan kepada mengubah strategi pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
dan metode yang variatif, sehingga memungkinkan:
Peserta didik lebih aktif
Iklim belajar menyenangkan
Pengembangan budaya baca, tulis, observasi
Fungsi guru bergeser dari pemberi inoformasi menuju seorang fasilitator
Pemanfaatan perpustakaan, laboratorium, dan sumber belajar lain,
Materi yang dipelajari terkait dengan lingkungan kehidupan peserta didik,
sehingga dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah kehidupan.
Peserta didik terbiasa mencari informasi dari berbagai sumber
Menggeser “teaching” menjadi “learning”
Lebih banyak komponen-komponen dalam kecakapan hidup yang biasa
diinternalisasikan dalam PBM.
Tidak ada yang salah dari pernyataan di atas, semuanya memberi tahu apa yang
harus dikerjakan guru namun belum membahas mengapa itu perlu dan apa penyebab
utama yang memungkinkan seluruh indikator tersebut dapat dikerjakan. Kita lebih
banyak berbicara tentang apa yang harus dikerjakan tetapi lupa untuk apa itu dikerjakan
dan faktor apa yang penting diperhatikan agar semua itu dapat dilakukan. Penelitian
sekolah Efektif di luar negeri lebih banyak mencari penyebab mengapa proses
pembelajaran dapat ditingkatkan (Scheerens, j., 2000; Brighouse, T. & Woords, D., 1999;
Sammons, P., Martimore, P., & Hillman, J., 1997; Coleman, J. S. dkk 1966, Jenks, dkk
1972). Mungkin ini pulalah yang menyebabkan pengembangan KTSP di Indonesia lebih
banyak pengembangan kepada bentuk dari pada kepada rohnya pengembangan sekolah
yang lebih efektif.
Hasil Kuantitatif Permasalahan Sehubungan dengan KTSP
Tingkat pendidikan guru hampir seluruh sekolah telah memenuhi syarat minimal
ijazah guru SLTA (Permendiknas no.41, 2007), sekitar 94% telah memiliki ijazah S1, S2
dan S3. Hanya sekitar 6% yang belum memenuhi syarat atau masih memiliki ijazah D3.
Dilihat dari distribusi ijazah menurut jenis sekolah dapat diduga sekolah MA dan SMK
swasta belum memiliki guru yang berijazah S2 dan S3, akibatnya akan mengalami
kesulitan berkembang. Sedang distribusi ijazah guru menurut lokasi rural dan urban
relatif mendekati sama
Penerapan KTSP berimplikasi pada bertambahnya beban bagi guru. Dari data
beban mengajar guru 38% guru yang memenuhi standar BSNP, 20% melebihi beban dan
42% beban rendah. Diperoleh sekitar 55% guru mengajar di sekolah lainnya. Sedang
distribusi guru yang mengajar di sekolah lain menurut lokasi rural dan urban relatif
mendekati sama. Untuk guru yang bebannya berlebih sulit dibayangkan sekolah tersebut
untuk berkembang. Hal ini berkaitan adanya pergeseran peran guru yang semula lebih
sebagai instruktur dan kini menjadi fasilitator pembelajaran. Sedangkan guru yang
bebannya kurang, dibayar sama dengan guru bebannya berlebih, ini menunjukkan
peranan kepala sekolah dalam mengembangkan KTSP belum optimum. .
Kesesuaian matapelajaran yang diampu guru sekitar 74% sesuai dengan pendidikan
terakhirnya dan masih terdapat 5 % yang tidak sesuai dengan pendidikan terakhirnya. Ini
menunjukkan peranan kepala sekolah dan dinas pendidikan dalam pengangkatan dan
penempatan belum memperhitungkan kebutuhan guru dengan matapelajaran yang ada.
Pemberdayaan guru belum dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah daerah (pemda).
Misalnya, pemda belum melakukan evaluasi pendidikan, termasuk evaluasi guru. Ini
yang kerap terjadi, sehingga penerapan KTSP pun bisa melambat.
Implementasi KTSP sebenarnya membutuhkan penciptaan iklim pendidikan yang
memungkinkan tumbuhnya semangat intelektual dan ilmiah bagi setiap guru, mulai dari
rumah, di sekolah, maupun di masyarakat. Dalam mengembangkan semangat intelektual
guru salah satunya dapat melalui keikut sertaan dalam seminar. Sehubungan dengan
seminar yang berhubungan dengan penelitian guru MA, SMK, dan SMA sekitar 12%
setiap tahunnya telah mengikuti dan 31% sama sekali belum mengikuti seminar. Guru
yang berasal dari daerah rural lebih banyak mengikutinya (16%) dibanding daerah urban
(13%) dan sekolah negeri lebih banyak (19%) dibanding swasta (9%). Selanjutnya
seminar yang berhubungan dengan pembelajaran dan pendidikan terbaru15% telah
mengikuti dan 12% belum mengikuti. Diantara yang mengikuti guru SMA negeri yang
berasal dari daerah rural lebih banyak mengikutinya (9%) dibanding daerah urban (6%).
Sekolah swasta ternyata rural lebih banyak (11%) dibanding swasta 5%. Ini menunjukkan
sekolah swasta belum optimum dalam meningkatkan pembelajaran bidang studinya.
Proses pembelajaran yang baik seharusnya membawa siswa ke alam nyata (CTL),
Penelitian ini mengajukan pertanyaan seberapa persen guru yang membawa siswa
praktikum ke labor dan ke ke lapangan. Temuan penelitian ini sekitar 19% guru telah
membawa siswa ke labor sebanyak lebih dari 6 kali untuk satu semester, sedang 47%
guru belum membawa siswa ke labor untuk praktikum. Sekitar 4% guru telah membawa
siswa ke lapangan untuk praktikum sebanyak lebih dari 6 kali untuk satu semester, dan
hanya 55% yang belum membawa siswa ke lapangan. Pada Tabel 21 sekitar 47% siswa
dari kelompok rural mengaku mengikuti praktikum komputer lebih dari 6 kali untuk satu
semester, dan hanya 64% siswa dari kelompok urban mengaku mengikuti praktikum
komputer lebih dari 6 kali untuk satu semester. Kegiatan praktikum komputer telah
terlaksana lebih dari 6 kali dalam satu semester di sekolah negeri SMA dan SMK sekitar
20%, tetapi untuk MA yang berasal dari rural hanya 1 sampai 2 kali saja. Begitu juga
sekolah MA swasta ruralnya tidak membawa siswanya praktikum komputer.
Kaitan ijazah guru dengan kegiatan seminar dan kegiatan membawa siswanya ke
labor dan kerja lapangan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Grafik Ijazah guru dengan kegiatan seminar dan kegiatan labor
Selaras dengan itu guru gagal mengambil inisiatif menggunakan “alam takambang
jadi guru”, untuk membawa anak ke lapangan terutama sekolah-sekolah berlokasi di
daerah rural. Hasil pengamatan di lapangan menemukan sebagian besar sekolah SMA,
MA dan SMK belum diperlengkapi dengan fasilitas labor yang memadai.
Dari temuan tersebut di atas dapat disimpulkan perhatian kadinas dan kepala
sekolah memandang bahwa kebutuhan labor tidak kritikal dibandingkan dengan capaian
UN dan banyaknya siswa yang lulus. tambahan pula kurangnya inisiatif guru untuk
memanfaatkan alam sebagai laboratorium terbuka.dan belum berorientasi pada kualitas
proses pembelajaran dan membelajarkan anak. Ada pendapat mengatakan bila UN sudah
bagus maka berarti anak sudah belajar dengan baik dan guru sudah mengajar dengan baik
pula. Pandangan seperti ini tampaknya keliru karena terlalu menyederhanakan masalah
yang kompleks. Seharusnya dalam pengembangan pendidikan diidentifikasi komponen
pendidikan yang belum berkembang. Apabila komponen yang lemah ini dapat
dikembangkan, maka perkembangan dapat terjadi secara signifikan. Maka perlu
dikembangkan kurikulum secara integratif dan secara sistemik sehingga tidak ada satu
bagian indikator yang terlupakan.
Dalam pembelajaran bentuk tugas yang diberikan oleh guru kebanyakan dalam
bentuk respon tertulis, diskusi dan presentasi masing-masing 75%, 89% dan 68% baik
untuk sekolah negeri maupun swasta yang berasal dari kelompok rural atau urban. Ini
menunjukkan penguasaan tugas evaluasi pendidikan pengajaran masih belum memadai.
Perangkat pembelajaran telah digunakan guru berupa RP 96%, LKS 70%,
Ringkasan materi 78%, modul 57%, buku ajar 73%, buku paket 63%, tetapi LDS hanya
24% Kalau dibandingkan dengan tugas yang digunakan, pada kegiatan diskusi 89%
memerlukan LDS. Data ini memperkokoh kesimpulan bahwa pemahaman guru tentang
tugas pengajaran masih sangat mekanistik.
Untuk mengoptimalkan pemberdayaan guru dalam menyusun kurikulum tersebut,
harus didukung sejumlah sarana dan fasilitas seperti ketersediaan buku teks yang
beragam. Setiap guru butuh banyak pengetahuan untuk penyempurnaan kurikulum yang
disusunnya, dan memerlukan banyak sumber seperti buku, dan internet. Keuntungan
yang bisa diraih guru dengan KTSP ini adalah keleluasaan memilih bahan ajar dan
peserta didik diharapkan dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan,
kebutuhan, dan minatnya. Guru dapat memusatkan perhatian pada pengembangan
kompetensi peserta didik dengan menyediakan aneka ragam kegiatan belajar mengajar
dan sumber belajar. Hasil penelitian penggunaan media pembelajaran sudah bervariasi,
tetapi kalau dilihat hasil belajar siswa belum optimal, kebanyakan siswa memperoleh
nilai di atas 75 hanya 12%. Ini artinya 88% nilai siswa tidak sesuai dengan standar pada
KTSP. Hasil ini kontradiktif dengan teori Dale (1969), bahwa penggunaan media yang
bervariasi akan meningkatkan capaian pembelajaran siswa. Mungkin guru terlalu banyak
menggunakan media sehingga tidak memusatkan perhatian siswa. Ini memperlihatkan
bahwa pemahaman guru tentang media masih sederhana.
Dari fakta tersebut di atas, walaupun ijazah guru sudah memenuhi syarat dan
sebaran guru antara urban dan rural sudah relatif proposional, namun penelitian ini
membuktikan bahwa penguasaan evaluasi dan metoda mengajar belum memadai. Hal ini
mungkin disebabkan guru sudah sangat percaya diri sehingga merasa tidak perlu lagi
mengembangkan potensi diri. Pada hal bila dilihat dari persepsi siswa hal tersebut
bertolak belakang, seperti dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Persepsi guru dan persepsi siswa tentang gurunya
Gambar 2 memperlihatkan karakter diri, integritas diri, keterbukaan terhadap kritik,
peran sosial guru dilihat dari persepsi guru dan persepsi siswa. Dari grafik terlihat bahwa
untuk semua komponen guru cendrung menilai dirinya terlalu tinggi, sementara siswa
menilai sebaliknya.
Faktor situasi lingkungan belajar yang juga berperan dalam pembelajaran seperti
pencahayaan dan kebisingan lingkungan sekolah. Jika dibandingkan dengan standar di
negara kita tentang penerangan buatan untuk kelas yaitu 200 - 300 lux. (Standar
Penerangan Buatan dalam Gedung,1978), dan untuk kebisingan pada zona B
(Intensitas 45–55 dB, Zona yang diperuntukkan bagi perumahan,
tempat Pendidikan dan rekreasi). Maka intensitas cahaya dalam kelas dan
perpustakaan sudah memenuhi standar, tetapi labor belum memenuhi. Untuk intensitas
bunyi pada semua ruangan berada diatas 55 dB, jadi diatas standar kebisingan. Mungkin
ini pulalah sulitnya siswa berkonsentrasi belajar yang akhirnya juga akan menurunkan
prestasi belajarnya.
Berbicara tentang prestasi belajar, bila dibandingkan hasil penilaian proses
pembelajaran di sekolah dengan capaian UN (Ujian Nasional), sebagian dari siswa (51%)
SMA, MA dan SMK untuk semua jenis sekolah memperoleh nilai di bawah KKM
(Kriteria Ketuntasan Minimal), sedang nilai yang diperoleh siswa untuk UN di bawah
rata-rata (70). Dari 9 mata uji, hanya 3 (sekitar 33%) untuk SMA dan MA yang berada di
atas KKM. Jadi KKM sekolah untuk SMA dan MA gagal meramalkan UN sebagai
indikator kesuksesan sekolah yang efektif. Untuk SMK didapat 5 dari 9 mata uji yaitu
sekitar 56% dibawah rata-rata, jadi ada kecendrungan yang signifikan bahwa KKM
sekolah di SMK tidak dapat meramalkan skor ujian nasional karena hanya satu mata uji
yang di UN kan di SMK yang mewarnai program studi masing-masing, sedang mata uji
yang lain adalah mata uji penunjang. Dengan sedikitnya mata uji yang di UN kan maka
varian yang dapat meramalkan skor UN menjadi kecil. Kalau ditemukan hubungan yang
tidak signifikan tersebut, berarti tidak dapat diterangkan secara scientific. Kesimpulannya
secara umum KKM tidak dapat digunakan sebagai indikator keberhasilan UN. Hal ini
berlawanan dengan konsep keberhasilan sekolah yang efektif (Scheerens, J., 2000;
Brighouse, T. & Woords, D., 1999; Sammons, P., Martimore, P., & Hillman, J., 1997).
Bila ditinjau dari jumlah siswa dalam satu kelas di SMA Negeri kebanyakan lebih
dari 33 orang dan di swasta sekitar 23 sampai 33 orang. Sedang untuk MA dan SMK baik
negeri maupun swasta jumlah siswa dalam satu lokal berkisar 23 sampai 27 orang. Hasil
pengamatan di lapangan sekolah-sekolah favorit akan mempunyai siswa yang banyak. Ini
mengindikasikan belum maksimalnya pengaturan oleh kepala dinas.
Untuk indikator: pengukuran outcome KTSP, daya saing sekolah, KTSP sebagai
dokumen dan implementasi KTSP yang ditanyakan pada guru, dengan empat item
pertanyaan jelas vs kabur, sistematik vs amburadul, disusun sebagian kecil orang vs
bersama, dan merupakan budaya sekolah vs tidak, kebanyakan guru menyatakan kabur,
amburadul, dibahas oleh sekelompok saja dan tidak merupakan budaya sekolah, dengan
median sekitar 3 dibawah rata-rata dengan titik tengah 4. Menurut persepsi guru tentang
KTSP yang mereka laksanakan dengan indikator: pengukuran outcome KTSP, KTSP
sebagai dokumen dan implementasi KTSP telah lebih baik, namun merasa rendah untuk
indikator daya saing sekolah, bahwa pengembangan kurikulum belum dibandingkan
dengan sekolah lain dan kebutuhan masyarakat.
Bila dilihat dari: pelaksanaan KTSP, lingkungan sekolah, suasana ruang kelas,
pengetahuan tentang ilmu pendidikan, usaha dan dampak perubahan kurikulum,
produktivitas pengembangan keilmuan, karakter guru dalam berbagai situasi, integritas
diri, keterbukaan terhadap kritik, peran sosial, visi dan misi KTSP, idealisasi pimpinan,
kebutuhan stakeholders, lingkungan sekolah, karakteristik siswa, pedoman pembuatan
KTSP, hasil evaluasi KTSP, ternyata empat indikator yang mediannya berada dibawah
rata-rata adalah: lingkungan sekolah, pengetahuan tentang ilmu pendidikan, usaha dan
dampak perubahan kurikulum, suasana ruang kelas. Chart ini mempertegas temuan
sebelumnya. Untuk terlaksananya KTSP diperlukan lingkungan sekolah dan suasana
ruang kelas yang mendukung, guru yang dapat memainkan perannya sebagai motivator,
dinamisator, fasilitator, inisiator, kreator, ilustrator, konduktor, administrator koordinator
dan manajer, evaluator, promotor, desainer, dan eksekutor. Hambatan pelaksanaan KTSP
terletak didua area, pejabat yang berwenang dan pelaku utama pengembangan sekolah.
Selanjutnya dilihat indikator: penguasaan materi, menguasai ilmu pendidikan,
menguasai cara membimbing siswa, menguasai metode pembelajaran melaksanakan
evaluasi, perencanaan pembelajaran, integritas kepribadian, kompetensi sosial, etos kerja,
kekhasan sekolah, kurikulum sebagai dokumen, pelaksnaan KTSP. Terdapat enam
indikator yang mediannya berada dibawah rata-rata adalah: penguasaan materi,
menguasai ilmu pendidikan, menguasai cara membimbing siswa, menguasai metode
pembelajaran, melaksanakan evaluasi, perencanaan pembelajaran. Kalau dilihat pendapat
Tyler (perencanaan tujuan, pengalaman, metoda dan evaluasi pembelajaran) berarti
seluruh aspek kurikulum Behavioristik belum terpenuhi. Sedangkan disisi lain dalam
literatur pengembangan KTSP berbasis kompetensi (KBK), sementara KBK adalah
turunan lansung/jelmaan dari Behavioristik. Mungkin itulah yang menyebabkan
pengembangan KTSP tidak selancar yang diharapkan. Kecendrungan umum SMA lebih
baik dari MA, dan MA lebih baik dari SMK. Di SMA varian skor lima indikator tersebut
lebih besar dibanding di MA dan SMK. Mungkin disebabkan pilihan masyarakat dimulai
dari SMA, kemudian MA dan pilihan terakhir SMK. Untuk SMA ternyata varian yang
jelek berada di sekolah negeri urban, sementara di MA dan SMK ternyata varian yang
jelek berada di sekolah swasta rural.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1.
Perencanaan Kurikulum yang mengolah 1) Visi dan Misi, 2)
Idealisme Pimpinan, 3) Kebutuhan Stakeholders, 4) Ketersediaan Sumber Daya dan
5) Karakteristik Siswa sebagai masukan 6) Proses Analisis SWOT, menjadikan
kurikulum sebagai penghimpunan gagasan cemerlang sehingga dapat dirumuskan
kompetensi lulusan yang diharapkan, ternyata masih sangat rendah
2.
Masukan seperti 1) Standar Nasional, 2) Pedoman
Pembuatan, 3) Komposisi TIM, 4) Pembuat/Pengembang, 5) Landasan yang
digunakan melalui Proses Pelatihan, 6) Pembuatan, 7) Review dan 8) Pengesahan
yang menghasilkan Struktur Kurikulum yang selanjutkan dapat dijadikan Kurikulum
sebagai dokumen cukup memadai
3.
Masukan melalui Proses Pembelajaran, Hasil evaluasi,
Pengukuruan, Outcomes, Pengukuran daya saing sekolah melalui Monitoring dan
Evaluasi yang menghasilkan Implimentasi Kurikulum telah memadai namun belum
terkait dengan kurikulum sebagai ide
4.
Hasil penilaian proses pembelajaran dengan capaian UN
(Ujian Nasional), 51 % siswa SMA, MA dan SMK untuk semua jenis sekolah
memperoleh nilai dibawah KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal), dan dibawah ratarata (70). Dengan demikian secara umum KKM tidak dapat digunakan sebagai
indikator keberhasilan UN. Hal ini berlawanan dengan konsep keberhasilan sekolah
yang efektif.
5.
Sekolah swasta belum optimum dalam meningkatkan
pembelajaran bidang studinya, juga tugas evaluasi pendidikan pengajaran masih
belum memadai, pemahaman guru tentang tugas pengajaran masih sangat mekanistik
6.
Dari pelaksanaan KTSP, lingkungan sekolah, suasana ruang
kelas, pengetahuan tentang ilmu pendidikan, usaha dan dampak perubahan
kurikulum, produktivitas pengembangan keilmuan, karakter guru dalam berbagai
situasi, integritas diri, keterbukaan terhadap kritik, peran sosial, visi dan misi KTSP,
idealisasi pimpinan, kebutuhan stakeholders, lingkungan sekolah, karakteristik siswa,
pedoman pembuatan KTSP, hasil evaluasi KTSP, ternyata empat indikator yang
mediannya berada dibawah rata-rata, yaitu:
lingkungan sekolah, pengetahuan
tentang ilmu pendidikan, usaha dan dampak perubahan kurikulum dan suasana ruang
kelas.
7.
Indikator: penguasaan materi, menguasai ilmu pendidikan,
menguasai cara membimbing siswa, menguasai metode pembelajaran melaksanakan
evaluasi, perencanaan pembelajaran, mediannya berada dibawah rata-rata, berarti
seluruh aspek kurikulum Behavioristik belum terpenuhi. Sedangkan disisi lain dalam
literatur pengembangan KTSP berbasis kompetensi (KBK), sementara KBK adalah
turunan lansung/jelmaan dari Behavioristik. Mungkin itulah yang menyebabkan
pengembangan KTSP tidak selancar yang diharapkan. Kecendrungan umum SMA
lebih baik dari MA, dan MA lebih baik dari SMK. Di SMA varian skor lima indikator
tersebut lebih besar dibanding di MA dan SMK. Mungkin disebabkan pilihan
masyarakat dimulai dari SMA, kemudian MA dan pilihan terakhir SMK. Untuk SMA
ternyata varian yang jelek berada di sekolah negeri urban. Di MA dan SMK ternyata
varian yang jelek berada di sekolah swasta rural.
8.
Ketersediaan sarana & prasarana pendidikan masih belum
memadai terutama antar jenis sekolah (SMA, MA, SMK), Status sekolah (Negeri &
Swasta) dan Lokasi Sekolah (Urban & Rural).
Saran
1.
Sebaiknya Kadinas,kepala sekolah dan menjadi jabatan
profesional dan bukan politik dan berikan wewenang lebih besar kepada kepala
sekolah untuk melakukan “tuning” dalam menetapkan style dan arah pengembangan.
2.
Kembangkan KTSP secara integratif, dan sistematik
sehingga ditemukan cara-cara yang efektif untuk mencapai tujuan pendidikan dan
tinggalkan pendekatan “component wise” dalam pengembangan.
3.
Gunakan teknologi untuk merekam data Penerapan KTSP
dan biasakan menggunakan data dalam merumuskan kebijakan.
4.
Diperlukan penelitian yang lebih komprehensif untuk
mendukung kebijakan penerapan KTSP di Indonesia.
PUSTAKA ACUAN
Abdul Muin Sibuea. (2004). Penelitian dan Pengembangan Kurikulum Bidang Studi, Makalah,
KONASPI V ISBN 979-445-001-4, UNS
Aljufri B. S. 1998. Analisis Kebutuhan Pengembangan Kurikulum FPTK-IKIP Padang
dalam menghadapi era Persaingan Global. Disampaikan pada Seminar Lokakarya
Kurikulum FPTK IKIP Padang tanggal 27 Juli 1998.
Aljufri B. Syarif. (1982). Prediction of Mathematical Achievemant of Junior High School in West
Java, Indonasia. (Indiana University: Master Thesis),
Ansyar, Muhamad.(1989) Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Depdiknas, Jakarta
Brighouse, T. & Woods, D. (1999). How to Improve Your School. London: Routledge.
Coleman, J. S., Campbell, E. Hobson, C., McPartland, J., Mood, A., Weinfield, F. and York, R.
(1966). Equality of Educational Opportunity. Washinton: US Government Printing Office.
Dale, E.(1969) . Audio Visual Methods in Teaching.(Third Edition). New York: The Dryden Press,
Holt, Rinehart and Winston, Inc
Fasli Jalal (2006). CD Data Guru + HDI + UAN
Goldstein, H. & Thomas, S. (1995). School effectiveness and value added analysis. Forum, 37, 2,
36-8.
Gray, J., McPherson, A. Dan Raffe, D. (1983). Reconstructions of Secondary Education.
London: Routledge & Gegan Paul.
Gusrizal (2007). Efektivitas Sekolah Menengah Kejuruan. Dalam Hubungannya dengan
Kepemimpinan Sekolah dan Keterlibatan Dunia Kerja. (Studi pada SMK Negeri SeSumatera Barat). Disertasi. Program Pasacasarjana Universitas Negeri Padang.
Hamilton, D. (1996). Peddling feel-good fictions. Summer forum 38, 2, 54-6.
Hanafie, Imam (2000) Plus Minus Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
http://siswa.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=25&artid=14
Hanushek, E. (1979). Conceptual and empirical issues in the estimation of educational
production functions. Journal of Human Resources, 14, 351-88.
Hanushek, E. (1986). The economics of schooling: production and efficiency in public schools.
Journal of economic Literature, 24,1141-77.
Jenks, C. S., Smith, M., Ackland, H., Bane, M.,J., Cohen, D., Gintis, H., Heyns, B. Dan
Micholson, S. (1972). Inequality: Assessment of the Effect of Family and Schooling in
America. New York: Basic Books.
Kunandar, 2007. Guru Profesional, Implementasi KTSP dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi
Guru, Rajagrasindopersada, Jakarta.
Kunandar. (2007). Guru Profesional, Implementasi Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan
(KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Maria Lucia aida, (2007) Perhitungan Nilai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Berbasis
Kompetensi http://siswa.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=25&artid=14
Moretimore, P. Sammons, P. Dan Thomas, S. (1994). School effectiveness and value added
measures, Assessment in Education, 1, 3, 315-32.
Mortimore, P., Sammons, P., Stoll, L., Lewis, D. Dan Ecob, R. (1988). School Matters: The
Junior Years. Wells: Open Books.
Mulyasa, E. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep, Karakteristik, dan Implementasi.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Prayitno. M.Anyar. Aljufri B.Syarif. (2006). Studi Pengembangan Aplikasi Hight-Touch dan
High-Tech dalam Proses Pembelajaran di Sekolah. Laporan Penelitian Hibah Pasca
Sarjana-HPTP III. Program Pasca Sarjana UNP.
Purkey, S. C. & Smith, M. S. (1983). “Effective schools: a review”. Elementary School Journal,
83, 4, 427-52.
Reynolds, D. (1982). The search for effective school improvement: a review of the British
literature. Dalam D. Reynold, B. Greemers dan T. Peters (eds) School Effectiveness and
improvement. Proccedings of the First International Congress, London, 1988.
Rutter, M., Maughan, b., Mortimore, P. Dan Ouston, J. (1979). Fifteen Thousand Hours:
Secondary Schools and teir Effects on Children. London: Open Books.
Sammons, P., Martimore, P., & Hillman, J. (1997). 7 Key characteristics of effective schools: a
response to ‘Peddling feel-good fictions’ dalam Michael Barber & John White, (Eds.)
(1997). Perspectives on school effectiveness and school improvement. London: The
Institute of Education University of London.
Sammons, P., Mortimore, P. Dan Thomas, S. (1993). Do Schools Perform Consistently across
Outcomes and Areas? Paper disajikan pada Seminar “School Effectiveness and School
Improvement” July 1993, Univeristy of Sheffield.
Scheerens, J. (2000). Improving School Effectiveness. Paris: Unesco: International Institute for
Educational Planning.
Smith, D. Dan Tomlinson, S. (1989). The School Effect: A Study of Multiracial Comprehensives.
London: Policy Studies Institute.
Stebbins, L., St. Pierre, R., Proper, E., Anderson, R. & Cerva, T. (1977). Education as
Experimentation: A Planned Variation Model, vol IV an Evaluation of Follow through.
Cambridge, MA: Abt Associates.
Sumiyarno (2004). Kebijakan Pengembangan Kurikulum Dalam Menjawab Tantangan Lokal,
Nasional, Dan Global: Berdasarkan Analisis Atas Kualitas Lulusan Pendidikan, Makalah,
KONASPI V ISBN 979-445-001-4, UNS
Tilaar, H. A. R. 1998. Pendidikan Tinggi di Indonesia Dewasa ini Menghadapi Tantangan Abad
XXI, dalam Membangun Daya Saing Bangsa Melalui Akselerasi Mutu Pendidikan Tinggi.
Malang: Merdeka University Press.
Tilaar, H.A.R. (Ed.). 2004. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta
Van der Grift,W. (1987). Self-perceptions of educational leadership and average achievement.
Dalam J. Scheerens danW. Stoel (eds). Effectiveness of School Organizations. Lisse: Swets
and Zaithlinger.
Zais, Robertt.S, (1976). Curriculum Principles and Foundations. New York: Thomas Y. Crowell
Harper & Row Publishers.