PARADIGMA PENELITIAN KUANTITATIF DAN KUA

PARADIGMA PENELITIAN
KUANTITATIF DAN
KUALITATIF
METODE PENELITIAN

GOSO
A013171026

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2017

2
PARADIGMA PENELITIAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF

A. Pendahuluan
Penyelesaian masalah penelitian pada tahap awal ditentukan paradigma dari peneliti.
Paradigma merupakan suatu cara pandang, cara memahami, cara menginterpretasi, suatu
kerangka berfikir, dasar keyakinan yang memberikan arahan pada tindakan. Dalam
penyelesaian masalah, peneliti diharuskan melihat dari sudut pandang yang mampu dilakukan
oleh peneliti tersebut.

Penelitian ilmiah merupakan proses sistematis yang dilakukan dengan urutan dan
prosedur tertentu yang bersifat tetap dan benar. Peneliti mengumpulkan data dan menganalisa
dari awal penemuan permasalahan dan berlanjut kepada tahap-tahap berikutnya misalnya
tahap perumusan masalah, telaah teoretis, verifikasi data, dan kesimpulan.
Kerlinger dan Lee (2010:14) menyatakan bahwa “Scientific research is systematic,
controlled, empirical, amoral, public, and critical investigation of natural phenomena. It is guided
by theory and hypotheses about the presumed relations among such phenomena.” Definisi
lainnya dikemukakan oleh Sekaran dan Bougie (2010:3) sebagai berikut: . . . “an organized,
systematic, data-based, critical, objective, scientific inquiry or investigation into a specific
problem, undertaken with the purpose of finding answers or solutions to it.
Dasar berfikir positivistik dalam upaya mencari kebenaran dilandaskan pada besar
kecilnya frekuensi kejadian atau variasi obyek. Suatu penelitian dipandang obyektif, bila
siapapun dengan prosedur kerja yang sama menghasilkan kesimpulan penelitian yang sama.
Reliabilitas dapat dibedakan menjadi dua: keajegan internal dan stabilitas antar kelompok.
Dengan belah dua random atau dengan pengulangan pengukuran antar waktu kita menguji
keajegan internal atau consistency; sedangkan dengan memperbandingkan frekeunsi atau
variansi antar kelompok kita menguji stabilitas antar kelompok atau stability. Consistency dan
stability adalah ragam prosedur untuk menguji reliabilitas. Validitas adalah kebenaran.
Kebenaran bagi positivisme diukur berdasar besarnya frekuensi kejadian atau berdasar
berartinya (significancy) variansi obyeknya.

Dalam penelitian kualitatif kebenaran tidak diukur berdasar frekuensi dan variansi,
melainkan dilandaskan pada diketemukan hal yang esensial, hal yang intrinsik benar; Untuk
mengejar kebenaran positivisme mengejar lewat populasi yang luas serta sampel yang
representatif, sedangkan penelitian kualitatif mengejar kebenaran lewat diketemukan sumber
terpercaya sehingga hal yang hakiki, yang intrinsik, yang esensial dapat diketemukan. (Noeng
Muhadjir, 2000)

B. Pengertian Paradigma
Paradigma (Paradigm) sering juga disebut perspektif (cara pandang) atau worldview
(pandangan dunia) ataupun school of tought (aliran pemikiran, mazhab). Paradigma itu sendiri
dapat didefinisikan sebagai ―satu set proposisi yang menjelaskan bagaimana dunia dipahami,
cara menyederhanakan kompleksitas dunia nyata, memberitahu peneliti dan para ilmuwan
secara umum tentang apa yang dianggap penting, sah dan rasional. (Sarantakos, 1993).
Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962), dan kemudian
dipopulerkan oleh Robert Friedrichs (1970). Menurut Kuhn, paradigma adalah cara mengetahui
realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu, yang
kemudian menghasilkan mode of knowing yang spesifik. Definisi tersebut dipertegas oleh
Friedrichs, sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang
menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari. Pengertian lain dikemukakan oleh George
Ritzer (1980), dengan menyatakan paradigma sebagai pandangan yang mendasar dari para


Makalah Paradigma Penelitian Kuantitatif & Kualitatif A013171026/GOSO

3
ilmuan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh salah satu
cabang/disiplin ilmu pengetahuan.
Para peneliti keilmuan akuntansi secara umum memiliki dua perspektif yang dapat
dijadikan acuan dalam penelitiannya. Yaitu dari sisi kuantitatif dan sisi kualitatif. Namun kedua
perspektif tersebut masih sangat luas penjabarannya. Sehingga apabila tidak diklasifikasikan,
akan mempersulit dalam penggunaannya. Pada pembahasan ini, penulis merujuk pada buku
yang dibuat oleh Burrell dan Morgan (1979) yang berjudul Sociological Paradigm and
Oraganizational Analysis. Dalam bukunya Burrel dan Morgan membuat pemetaan
perkembangan pemikiran akuntansi. Selain itu juga melibatkan karya penulis lain seperti Chua
(1986), Roslender (1992), Sarantakos (1993) dan ilmu sosial secara umum.
Klasifikasi paradigma tersebut sebenarnya merupakan pemikiran-pemikiran teori
organisasi yang diturunkan dari teori sosiologi. Yaitu; (1) The Functionalist Paradigm, (2)
Interpretive Paradigm, (3) Radical Humanist Paradigm, dan (4) Radical Structuralist Paradigm.
Masing-masing paradigma memiliki karakter sendiri-sendiri yang dapat dibedakan secara nyata.
Dari paradigma tersebut kemudian munurut Chua (1986) dalam bukunya yang berjudul Radical
Development in Accounting Thought memodifikasi dalam tiga paradigma, yaitu; (1) The

Functionalist Paradigm (Mainstream atau Positivist Perspective), (2) The Interpretive Paradigm,
dan (3) The Critical Paradigm. Pada perkembangannya, yang paling dominan menjadi dasar
paradigma penelitian adalah Functionalist atau Positivist Paradigm. Pengaruh yang
ditimbulkannya sangat dominan dan berkembang begitu pesat, sehingga cenderung menjadi
arus utama (Mainstream). Sehingga akhirnya paradigma ini dinamakan paradigma arus utama
(Mainstream Paradigm).
Sedikit berbeda dengan Burrell dan Morgan, Sarantakos (1993) cenderung mengikuti
penggolongan yang dibuat oleh Chua (1986) dengan mengklasifikasikan paradigma menjadi
tiga, yaitu ; (1) Positivist Paradigm, (2) Interpretivist Paradigm, dan(3) Critical Paradigm. Secara
umum pendekatan penelitian atau sering juga disebut paradigma penelitian yang cukup
dominan adalah paradigma penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif.
Paradigma adalah perspektif umum atau cara berpikir yang mencerminkan keyakinan
dan asumsi fundamental tentang sifat organisasi (bandingkan Kuhn, 1970; Lincoln, 1985). Para
sarjana di disiplin ilmu kita saat ini terlibat dalam sebuah debat mengenai kontribusi
pengetahuan dan pengetahuan yang khas, yang timbul dari pandangan philosophical dan
paradigma konseptual yang berbeda (Burrell & Morgan, 1979; Lincoln, 1985) (lihat juga Astley &
Van de Ven, 1983; Rao & Pasmore, 1989). Perdebatan ini mungkin paling ringkas berdasarkan
asumsi mendasar yang berbeda tentang sifat fenomena organisasi (ontology), sifat
pengetahuan tentang fenomena (epistemology) tersebut, dan sifat cara mempelajari fenomena
tersebut (methodology). Burrell dan Morgan (1979) telah mengorganisasikan perbedaan ini di

sepanjang dimensi perubahan subjektif dan regulasi, yang menghasilkan matriks 2 x 2 yang
terdiri dari empat paradigma penelitian yang berbeda.

Makalah Paradigma Penelitian Kuantitatif & Kualitatif A013171026/GOSO

4

Gambar: Matrik Empat Paradigma (Burrel & Morgan, 1979)
(1) Paradigma Fungsionalis / Positivisme (Functionalist Paradigm)
Paradigma fungsionalis dicirikan oleh pandangan objektivis dari dunia organisasi dengan
orientasi terhadap stabilitas atau pemeliharaan status quo; Cara pandang functionalist paradigm
pada aspek ontologi, banyak dipengaruhi oleh physical realism yang melihat realitas sosial
sebagai sesuatu yang objektif, berdiri secara independen diluar ―diri‖ manusia (Burrell dan
Morgan, 1979 ; Chua, 1986).
(2) Paradigma Interpretivisme (Interpretive Paradigm)
Paradigma interpretif dicirikan oleh pandangan subjektivisme, juga dengan perhatian yang
jelas terhadap peraturan, atau setidaknya kurangnya perhatian dengan perubahan status quo.
Paradigm ini diturunkan dari Germanic Philosopycal Interest yang menekankan pada peranan
bahasa, interpretasi, dan pemahaman (Chua, 1969). Paradigma ini lebih mengutamakan pada
makna atau interpretasi seseorang terhadap sebuah simbol. Menurut Burrell dan Morgan

(1979), paradigma ini menggunakan cara pandang nominalis yang didasari oleh paham
nominalism. Paham ini melihat realitas sosial sebagai sesuatu yang berupa label, nama atau
konsep yang digunakan untuk membangun realitas. Pandangan nominalism menganggap
bahwa sesungguhnya tidak ada sesuatu yang nyata. Nama-nama hanya dianggap sebagai
kreasi artifisial yang kegunaannya tergantung pada kecocokannya dalam mendeskripsikan,
mengartikan, dan menegosiasi sesuatu (Burrell dan Morgan, 1979).
Manusia memiliki subjektivitas yang secara sadar atau tidak akan mempengaruhi proses
konstruksi ilmu pengetahuan. Jika subjektivitas tersebut menyatu dalam proses, maka dengan
sendirinya ilmu pengetahuan tersebut akan sarat dengan nilai-nilai humanisme. Penamaan
sesuatu atau sesuatu yang diciptakan oleh manusia merupakan produk dari pikiran yang
berupa ide, konsep, gagasan dan sebagainya. Sehingga realitas sosial bukan sesuatu yang
berada di luar manusia, (not “out there‟), melainkan sesuatu yang sudah inherent dalam pikiran
manusia (Sarantakos, 1993). Artinya, realitas sosial adalah kenyataan yang dialami secara
internal, dibangun melalui interaksi sosial dan diinterpretasi oleh manusia sebagai pihak yang
aktif membangun realitas tersebut. Dengan demikian, realitas sosial bersifat subjektif, tidak
objektif sebagaimana yang dialami oleh paradigma positivisme.
Kesadaran kontektual ini dapat dianggap sebagai kekuatan yang dimiliki oleh paradigma
interpretivisme. Kesadaran ini mencerminkan pemahaman bahwa pada dasarnya akuntansi
dipraktikkan tidak dalam kondisi yang tanpa mengakomodasi nilai lokal atas kondisi lingkungan
dimana ia digunakan. Akuntansi dibentuk dan dipraktikkan melalui proses konstruksi sosial

(social construction). Proses konstruksi yang demikian ini jelas terkait dengan nilai-nilai lokal

Makalah Paradigma Penelitian Kuantitatif & Kualitatif A013171026/GOSO

5
dari lingkungannya dan dengan subjektivitas praktisi akuntansi dan masyarakat bisnis.
Kondisi tersebut sesuai dengan metode inductive approach yang digunakan oleh
interpretive paradigm. Metode tersebut menjelaskan dari sesuatu yang khusus ke yang umum
atau dari sesuatu yang kongkret ke yang abstrak (Sarantakos, 1993). Maksud dan tunjuan
inductive approach tersebut tidak bisa diartikan mencari generalisasi, namun sebagai sebuah
bentuk pemahaman dari sesuatu yang empirik dan khusus menjadi pemahaman yang lebih
abstrak melalui proses penafsiran (interpret). Proses penafsiran tidak sekedar menggunakan
indera, tetapi yang lebih penting adalah pemahaman makna dan interpretasinya (Sarantakos,
1993) atas realitas sosial yang dikaji.
(3) Radical Humanist Paradigm
Paradigma humanis radikal juga ditandai oleh pandangan yang lebih subjektif, namun
dengan orientasi ideologis terhadap realitas konstruktif yang berubah secara radikal;
(4) Radical Structuralist Paradigm.
Paradigma strukturalis radikal ditandai oleh sikap objektivis, dengan perhatian ideologis
terhadap perubahan radikal dari kenyataan struktural.

Studi modern tentang organisasi terutama didorong oleh variasi sains sosial dari model
sains alami (bandingkan Audet, Landry, & Dery, 1986; Behling, 1980). Akibatnya, perdebatan
tentang pengembangan teori dan kontribusi terhadap teori telah dibatasi, sebagian besar,
berada dalam batas-batas paradigma fungsionalis. Ilmu organisasi telah dipandu secara
dominan oleh asumsi bahwa sifat organisasi pada dasarnya adalah tujuan yang "di luar sana"
yang menunggu dilakukannya eksplorasi dan penemuan yang tidak memihak. Oleh karena itu,
kita cenderung untuk beroperasi dengan menggunakan pendekatan deduktif untuk membangun
teori, menetapkan hipotesis yang dianggap sesuai untuk dunia organisasi dan mengujinya
terhadap data yang didorong hipotesis melalui analisis statistik. Sebuah sumbangan matriks
paradigma Burrell dan Morgan yang menggambarkan dominasi relatif fungsionalisme dalam
studi organisasi. (Gioia Pitre, 1990)
Asumsi-asumsi dari para ahli fungsional, bagaimanapun, menjadi problematis ketika
pandangan subyektif mengenai paham sosial dan organisasi diadopsi atau bila ada
kekhawatiran akan perubahan transformasional. Tiba-tiba, adanya "fakta" sosial dan asumsi
stabilitas dipertanyakan. Studi tentang phe nomena seperti pembuatan rasa, yang berarti
konstruksi, kekuatan, dan konflik menjadi sangat canggung untuk ditangani dengan
menggunakan kerangka objektivis yang tidak dapat diubah. Apa yang "di luar sana" menjadi
sangat terkait dengan interpretasi yang dibuat "di sini" (internal bagi anggota organisasi yang
sedang dipelajari dan para peneliti yang melakukan penelitian). Demikian juga, ketika
seseorang mengadopsi nilai untuk menantang status quo, asumsi stabilitas implisit juga menjadi

tidak tepat. Apa yang stabil menjadi target perubahan.
Para ilmuwan semakin mempertanyakan kesesuaian umum dari paradigma "ilmu
pengetahuan" yang dominan (Kuhn, 1970), yang biasanya diasumsikan dalam studi organisasi
(Lincoln, 1985; Rorty, 1987). Generasi pengetahuan seringkali paling baik ditafsirkan sebagai
proses retoris dimana sifat pengetahuannya sangat terkait dengan asumsi dan kosa kata yang
digunakan untuk mengkomunikasikan gagasan dan pendekatan untuk dipelajari (bandingkan
Nelson, Megill, McCloskey, 1987; Rao & Pasmore, 1989). Retorika, bangunan teori, dan
pengetahuan karenanya pada dasarnya bersifat epistemis (bandingkan dengan Cherwitz, 1977;
Scott, 1967, 1977) dengan kata lain, mereka berbasis paradigma. Hasil dari pengakuan ini
adalah bahwa kita tidak bisa lagi hanya berpendapat bahwa bangunan teori positivis /
fungsionalis berlaku setiap tempat dengan beberapa penyesuaian dan membiarkannya berjalan
bahwa. Ada implikasi besar untuk membangun teori yang muncul dari perbedaan paradigma ini.

Makalah Paradigma Penelitian Kuantitatif & Kualitatif A013171026/GOSO

6
Norman K. Denzin membagi paradigma kepada tiga elemen yang meliputi; epistemologi,
ontologi, dan metodologi. Epistemologi mempertanyakan tentang bagimana cara kita
mengetahui sesuatu, dan apa hubungan antara peneliti dengan pengetahuan. Ontologi
berkaitan dengan pertanyaan dasar tentang hakikat realitas. Metodologi memfocuskan pada

bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan. Dari definisi dan muatan paradigma ini,
Zamroni mengungkapkan tentang posisi paradigma sebagai alat bantu bagi ilmuwan untuk
merumuskan berbagai hal yang berkaitan dengan; (1) apa yang harus dipelajari; (2) persoalanpersoalan apa yang harus dijawab; (3) bagaimana metode untuk menjawabnya; dan (4) aturanaturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang diperoleh.

C. Paradigma Penelitian Ilmu-ilmu Sosial
Menurut Kuhn, perkembangan ilmu tidak selalu berjalan linear, karena itu tidak benar
kalau dikatakan perkembangan ilmu itu bersifat kumulatif. Penolakan Kuhn didasarkan pada
hasil analisisnya terhadap perkembangan ilmu itu sendiri yang ternyata sangat berkait dengan
dominasi paradigma keilmuan yang muncul pada periode tertentu. Bahkan bisa terjadi dalam
satu waktu, beberapa metode pengetahuan berkembang bersamaan dan masing-masing
mengembangkan disiplin keilmuan yang sama dengan paradigma yang berlainan. Perbedaan
paradigma dalam mengembangkan pengetahuan, menurut Kuhn, akan melahirkan
pengetahuan yang berbeda pula. Sebab bila cara berpikir (mode of thought) para ilmuwan
berbeda satu sama lain dalam menangkap suatu realitas, maka dengan sendirinya pemahaman
mereka tentang realitas itu juga menjadi beragam. Konsekwensi terjauh dari perbedaan mode
of thought ini adalah munculnya keragaman skema konseptual pengembangan pengetahuan
yang kemudian berakibat pula pada keragaman teori-teori yang dihasilkan.
Mengacu pada Kuhn, dapat dikatakan bahwa paradigma ilmu itu amat beragam.
Keragaman paradigma ini pada dasarnya adalah akibat dari perkembangan pemikiran filsafat
yang berbeda-beda sejak zaman Yunani. Sebab sudah dapat dipastikan, bahwa pengetahuan

yang didasarkan pada filsafat Rasionalisme akan berbeda dengan yang didasarkan Empirisme,
dan berbeda dengan Positivisme, Marxisme dan seterusnya, karena masing-masing aliran
filsafat tersebut memiliki cara pandang sendiri tentang hakikat sesuatu serta memiliki ukuranukuran sendiri tentang kebenaran. Menurut Ritzer (1980), perbedaan aliran filsafat yang
dijadikan dasar berpikir oleh para ilmuwan akan berakibat pada perbedaan paradigma yang
dianut. Paling tidak terdapat tiga alasan untuk mendukung asumsi ini; (1) pandangan filsafat
yang menjadi dasar ilmuwan untuk menentukan tentang hakikat apa yang harus dipelajari
sudah berbeda; (2) pandangan filsafat yang berbeda akan menghasilkan obyek yang berbeda;
dan (3) karena obyek berbeda, maka metode yang digunakan juga berbeda.
Perbedaan paradigma yang dianut para ilmuan ternyata tidak hanya berakibat pada
perbedaan skema konseptual penelitian, melainkan juga pada perbedaan produk pengetahuan.
Perbedaan dimaksud dapat terlihat terutama pada tiga level yaitu pada; penjernihan
epistemologi, level “middle range” teori, khususnya dalam menguraikan pengetahuan ke dalam
kerangka kerja teoritis; dan tingkat metode dan teknik.
Hampir semua disiplin ilmu menghadapi persoalan keragaman paradigma, terlebih lagi
bidang ilmu-ilmu sosial. Sosiologi, misalnya, dapat didekati dari berbagai macam paradigma
(multi paradigma). Dalam Sosiologi dikenal sejumlah paradigma sosiologi yang cukup dominan,
antara lain Paradigma Fakta Sosial, Paradigma Definisi Sosial, dan Paradigma Perilaku Sosial.
Keragaman paradigma ini sudah jelas memunculkan sejumlah pendekatan yang berlainan
terhadap suatu obyek, baik dalam mendefinisikan hakikat obyek itu sendiri, maupun dalam cara
menganalisisnya yang hasilnya sudah dapat dipastikan akan berbeda antara satu sama lain.

D.

Paradigma Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif

Terkait dengan obyek material ilmu-ilmu sosial, ada dua aliran filsafat yang dominan
dalam konteks ontologi, yaitu positivisme dan interpretivisme. Kedua aliran ini menjadi
Makalah Paradigma Penelitian Kuantitatif & Kualitatif A013171026/GOSO

7
perspektif dalam penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Positivisme menjadi dasar untuk
penelitian kuantitatif sedangkan interpretivisme menjadi dasar untuk penelitian kualitatif.
Menurut positivisme, obyek pengetahuan ilmiah harus empiris, keberadaannya harus
dapat diketahui melalui panca indera manusia. Terkait dengan itu, teologi, logika dan
matematika tidak dikategorikan sebagai pengetahuan ilmiah karena keberadaan obyek
materialnya tidak dapat diketahui melalui panca indera manusia. Dengan pernyataan lain,
obyek dari ketiganya merupakan metafisik. Terkait dengan itu, obyek material pengetahuan
ilmiah harus dapat diukur sehingga dapat dihasilkan data kuantitatif/numerik, yaitu berupa
angka/bilangan. Dalam psikologi, inteligensi umum yang tidak dapat diobservasi secara
langsung, misalnya, diukur melalui tes psikologi sehingga inteligensi itu dapat direpresentasikan
dalam bentuk data numerik. Jadi, obyek material ilmu pengetahuan harus dapat diukur
sedemikian sehingga berbentuk atau direduksi menjadi data kuantitatif.
Dalam konteks ini, istilah “positivisme” didasarkan pada pengalaman, nyata, meyakinkan,
empiris, bukan spekulatif. Terkait dengan ciri positivisme, obyek material dalam pengetahuan
ilmiah lazim disebut sebagai variabel, bukan gejala seperti pada interpretivisme. Itu berarti
bahwa obyek material ilmu pengetahuan harus dapat diukur secara obyektif.
Istilah “interpretivisme” berkaitan dengan interpretasi, pemberian makna atas pengalaman
orang. Menurut interpretivisme, obyek material ilmu-ilmu sosial tidak dapat direduksi menjadi
data kuantitatif. Alasannya adalah bahwa perilaku manusia, sebagai obyek materialnya, tidak
dapat diperlakukan sebagai benda fisik. Manusia memiliki perasaan dan berpikir reflektif
sehingga hakikat atau keberadaan perilakunya tidak dapat direduksi, tidak dapat diukur secara
obyektif. Untuk memahami, bukan untuk mengetahui, perilaku seseorang, kita harus
mengeksplorasi dan mengidentifikasi makna yang melatari perilaku itu. Misalnya, variabel usia
dalam penelitian kuantitatif lazim diukur dalam bentuk usia kalender. Menurut interpretivisme,
usia yang sama dapat memiliki makna yang berbeda bagi orang yang berbeda sehingga
perilaku tiap orang dapat menjadi berbeda terkait dengan usia yang sama itu. Bagi orang-orang
yang segera akan pensiun, misalnya, usianya dapat dimaknai secara berbeda oleh orang yang
berbeda. Mungkin ada orang yang memaknainya sebagai suatu berkah karena ia akan memiliki
banyak waktu mengunjungi anak, menantu, cucu maupun tempat-tempat wisata yang selama
ini tidak dapat dikunjunginya. Sebaliknya, orang lain mungkin memaknainya sebagai
penderitaan karena ia tidak lagi memiliki kekuasaan, penghasilannya berkurang atau tidak
seperti pada waktu ia masih aktif bekerja. Jadi, obyek material ilmu-ilmu sosial, menurut
interpretivisme, bersifat subyektif.
Menurut interpretivisme, obyek material pengetahuan sosial (perilaku manusia) tidak
boleh direduksi tapi harus dipandang sebagai satu keseluruhan, holistik, gestalt, serta
mencakup makna yang terkandung dalam obyek itu. Dengan demikian, peneliti akan
memperoleh hakikat dari obyek material itu. Dalam psikologi maupun penelitian dikenal juga
istilah halo effect, yakni kesan pertama kita terhadap seseorang akan mempengaruhi sikap dan
perilaku kita selanjutnya terhadap orang itu, terlepas dari apakah pengaruhnya tergolong besar
atau kecil. Hal itu manusiawi.
Ada pernyataan dari Egon G. Guba yang cukup menarik untuk ditanggapi di sini, yaitu
bahwa “A paradigm may be viewed as set of basic beliefs (or metaphisies) that deals with
ultimetes or principles. Keyakinan itu, menurut Guba, merepresentasikan pandangan dunia
tentang hakikat sesuatu, serta merupakan dasar di dalam nurani dimana ia diterima dengan
penuh kepercayaan. Sesuatu yang diyakini kebenarannya tanpa didahului penelitian sistematis,
dalam filsafat ilmu, disebut dengan aksioma atau asumsi dasar. Keyakinan (beliefs), aksioma
atau asumsi dasar tersebut menempati posisi penting dalam menentukan skema konseptual
penelitian, ia merupakan dasar permulaan yang melandasi semua proses dan kegiatan
penelitian.

Makalah Paradigma Penelitian Kuantitatif & Kualitatif A013171026/GOSO

8
Berkait dengan proposisi di atas, penelitian kuantitatif dan kualitatif memiliki perbedaan
paradigma yang amat mendasar. Penelitian kuantitatif dibangun berlandaskan paradigma
positivisme dari August Comte (1798-1857), sedangkan penelitian kualitatif dibangun
berlandaskan paradigma fenomenologis dari Edmund Husserl (1859-1926).
1. Paradigma kuantitatif:
Paradigma kuantitatif merupakan satu pendekatan penelitian yang dibangun
berdasarkan filsafat positivisme. Positivisme adalah satu aliran filsafat yang menolak unsur
metafisik dan teologik dari realitas sosial. Karena penolakannya terhadap unsur metafisis
dan teologis, positivisme kadang-kadang dianggap sebagai sebuah varian dari Materialisme
(bila yang terakhir ini dikontraskan dengan Idealisme).
Neuman (2003) dan Smith (1983), misalnya, menyamakan pendekatan kuantitatif
dengan pendekatan positivis, sedangkan pendekatan kualitatif disamakan dengan
pendekatan interpretif. Setiap pendekatan memiliki asumsi dasar yang berbeda. Asumsi
dasar inilah yang kemudian memengaruhi perbedaan cara pandang peneliti terhadap
sebuah fenomena dan juga proses penelitian secara keseluruhan. Asumsi yang dimaksud
adalah ontologi, epistemologi, hakikat dasar manusia, serta aksiologi.
a) Ontologi
Ontologi merupakan representasi pengetahuan formal dengan seperangkat konsep
dalam suatu gejala dan hubungan antara konsep-konsep yang ada dalam gejala tersebut
(Gruber, 1993). Ontologi juga digunakan untuk menjelaskan sifat dari gejala tersebut.
Dalam ilmu sosial, gejala yang dimaksud adalah gejala sosial yang dilihat sebagai sesuatu
yang nyata.
Dalam dunia yang sebenarnya, pasti tidak akan pernah ditemukan wujud buah
semangka berdaun sirih. Pohon sirih hanya akan menghasilkan buah sirih, sedangkan buah
semangka hanya berasal dari pohon semangka.
Orang yang menggunakan pendekatan kuantitatif akan melihat bahwa gejala sosial
adalah gejala yang nyata. Jadi, jika seseorang kehilangan uang karena isu tuyul, ini bukan
dianggap sebagai sebuah gejala sosial karena sukar untuk dilihat dengan mata kepala.
Akan tetapi, jika nantinya dapat ditemukan suatu alat yang dapat melihat langsung tuyul
dan banyak orang menyaksikan keberadaan tuyul sedang mengambil uang, itu akan
menjadi suatu gejala yang dianggap nyata.
b) Epistemologi
Epistemologi merupakan studi tentang pengetahuan dan pembenaran. Sebagai studi
tentang pengetahuan, epistemologi berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan: apa syarat
perlu dan cukup dari pengetahuan? Apa sumber-sumber pengetahuan? Apa struktur dan
batas-batasnya? Sebagai studi tentang pembenaran, epistemologi bertujuan untuk
menjawab pertanyaan: bagaimana kita memahami konsep pembenaran? Apa yang
membuat keyakinan dibenarkan, sedangkan yang lain tidak dibenarkan? Dalam kaitannya
dengan penelitian, epistemologi berbicara mengenai hakikat ilmu pengetahuan seperti yang
telah diuraikan pada kalimat awal paragraf ini. Jika dihubungkan dengan ontologi,
pengetahuan yang dimaksud terkait dengan gejala yang nyata. Segala sesuatu yang dapat
dipelajari oleh ilmu pengetahuan adalah sebuah objek.
Dalam epistemologi, terdapat tiga asumsi dasar yang dijelaskan berikut ini.
(1) Kaitan antara Ilmu dan Nilai
Individu adalah seseorang yang bebas nilai. Bebas nilai dapat diartikan bahwa individu
tidak dipengaruhi oleh nilai-nilai yang ada di antara orangorang yang sedang diteliti. Bebas
nilai karena individu telah memiliki seperangkat nilai yang ia gunakan untuk meneliti orang-

Makalah Paradigma Penelitian Kuantitatif & Kualitatif A013171026/GOSO

9
orang tersebut. Nilai yang ia bawa dan gunakan adalah nilai-nilai yang sifatnya universal.
Ketika pada suatu pagi kita yang tinggal di Jakarta mengalami kemacetan, kita akan
mengeluh mengapa macet. Kemudian, kita mengambil kesimpulan bahwa kemacetan
terjadi karena hari pertama kerja dari libur panjang. Padahal, Jakarta sudah sejak lama
mengalami kemacetan karena jumlah kendaraan yang semakin banyak dan tidak adanya
moda transportasi massal yang memadai. Kalau tidak ingin macet, pergilah di luar jam
kerja, misalnya pukul 04.00 pagi atau saat hari libur Lebaran. Jadi, keluhan kita tentang
macet tidak akan pernah ada karena selalu diukur dari nilai yang berlaku secara umum.
(2) Kaitan antara Ilmu dan Akal Sehat
Ilmu pengetahuan adalah cara terbaik yang dimiliki manusia. Segala sesuatu yang
diperoleh dengan menggunakan cara yang ilmiah atau yang kita kenal sebagai ilmu
pengetahuan merupakan sesuatu yang lebih baik dibandingkan akal sehat belaka.
Misalnya, kita ingin mendapatkan keuntungan yang besar dalam berusaha. Menurut
Hermawan Kertajaya— pakar pemasaran Indonesia—hal itu dapat melalui MOST
(Marketing Oriented Selling Techniques). MOST adalah ilmu pengelolaan sumber daya
penjualan dengan menyinergikan pola pikir pemasaran yang berciri strategiclong term
dengan pola pikir penjualan yang tactical-short term. Intinya, jangan hanya mengejar
keuntungan jangka pendek, tetapi harus dipikirkan strategi pemasaran jangka panjangnya,
misalnya dengan melakukan pemasaran dengan cara-cara yang unik.
(3) Metodologi
Pola-pola yang universal dan berlaku ketat digunakan dalam pendekatan kuantitatif.
Pola yang digunakan adalah baku dan bersifat linier. Setelah tahap pertama, baru masuk ke
tahap kedua, sesudah tahap kedua baru masuk tahap ketiga, dan seterusnya. Proses yang
dilakukan adalah sebuah proses deduktif yang mengandung pengertian berangkat dari
sebuah konsep yang bersifat umum menuju hal yang bersifat khusus. Artinya, peneliti
memulai dari generalisasi yang sudah ada (teori) untuk melihat sesuatu yang khusus
(kasus).
Salah satu dasar dalam pendekatan ini adalah nomotetik. Nomotetik merupakan
pemikiran Immanuel Kant untuk menggambarkan kecenderungan menggeneralisasi suatu
keadaan. Istilah ini selalu dipertentangkan dengan idiografik yang menggambarkan usaha
untuk mengetahui atau memahami sesuatu secara spesifik. Dalam ilmu sosial, nomotetik
melahirkan kecenderungan untuk melihat terjadinya suatu gejala karena adanya atau
disebabkan oleh gejala lain dan mengabaikan berbagai gejala lainnya. Misalnya,
kemacetan terjadi karena adanya kecelakaan. Padahal, penyebab kemacetan itu beragam,
seperti ada mobil mogok, banjir, dan sebagainya.
c) Hakikat Dasar Manusia
Pada hakikatnya, manusia diatur dan dipengaruhi oleh lingkungannya. Sejak kecil,
seorang anak akan dipengaruhi pandangan orang tua atau gurunya. Seorang anak kecil,
ketika diminta menggambar pemandangan, akan diarahkan menggambar gunung, pohon,
sawah, matahari, dan awan oleh orang tua atau gurunya. Pandangan seperti ini tentu saja
berpengaruh terhadap pola pikir anak bahwa yang namanya pemandangan harus terkait
dengan gunung, pohon, sawah, matahari, dan awan. Bagaimana jika si anak ingin
menggambar pemandangan yang hanya mencakup pot dan bunga yang ada di rumahnya.
Orang tua atau guru akan memarahi si anak. Anak tidak boleh mengungkapkan
kreativitasnya karena bertentangan dengan pemahaman orang tua dan guru.
d) Aksiologi
Istilah aksiologi merujuk pada bahasa Yunani, yaitu axios yang berarti nilai dan logos
yang berarti logika atau teori. Aksiologi adalah ilmu tentang nilai. Dalam melakukan sebuah

Makalah Paradigma Penelitian Kuantitatif & Kualitatif A013171026/GOSO

10
penelitian, pendekatan kuantitatif didasarkan pada nilai. Tujuan melakukan penelitian
adalah menjelaskan sebuah gejala dan menemukan sebuah hukum yang universal.
Pendekatan ini mencari penjelasan mengapa sebuah peristiwa terjadi dengan memakai
pola-pola yang sudah ada. Jika pola yang sudah ada tidak dapat dipakai untuk menjelaskan
kejadian yang ada, dicari pola baru yang lebih universal sehingga dapat digunakan untuk
menerangkan kejadian tersebut.
Dalam
penelitian
kuantitatif
diyakini,
bahwa
satu-satunya
pengetahuan
(knowledge) yang valid adalah ilmu pengetahuan (science), yaitu pengetahuan yang
berawal dan didasarkan pada pengalaman (experience) yang tertangkap lewat pancaindera
untuk kemudian diolah oleh nalar (reason). Secara epistemologis, dalam penelitian
kuantitatif diterima suatu paradigma, bahwa sumber pengetahuan paling utama adalah
fakta yang sudah pernah terjadi, dan lebih khusus lagi hal-hal yang dapat ditangkap
pancaindera (exposed to sensory experience). Hal ini sekaligus mengindikasikan, bahwa
secara ontologis, obyek studi penelitian kuantitatif adalah fenomena dan hubunganhubungan umum antara fenomena-fenomena (general relations between phenomena).
Yang dimaksud dengan fenomena di sini adalah sejalan dengan prinsip sensory experience
yang terbatas pada external appearance given in sense perception saja. Karena
pengetahuan itu bersumber dari fakta yang diperoleh melalui pancaindera, maka ilmu
pengetahuan harus didasarkan pada eksperimen, induksi dan observasi.
Bagaimana pandangan penganut kuantitatif tentang fakta? Dalam penelitian kuantitatif
diyakini sejumlah asumsi sebagai dasar ontologisnya dalam melihat fakta atau gejala.
Asumsi-asumsi dimaksud adalah; (1) obyek-obyek tertentu mempunyai keserupaan satu
sama lain, baik bentuk, struktur, sifat maupun dimensi lainnya; (2) suatu benda atau
keadaan tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu; dan (3) suatu gejala
bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan, melainkan merupakan akibat dari
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jadi diyakini adanya determinisme atau proses
sebab-akibat (causalitas). Dalam kaitannya dengan poin terakhir, lebih jauh Russel Keat &
John Urry, seperti dikutip oleh Tomagola, mengemukakan bahwa setiap individual
event/case tidak mempunyai eksistensi sendiri yang lepas terpisah dari kendali empirical
regularities. Tiap individual event/case hanyalah manifestasi atau contoh dari adanya suatu
empirical regularities.
Sejalan dengan penjelasan di atas, secara epistemologi, paradigma kuantitatif
berpandangan bahwa sumber ilmu itu terdiri dari dua, yaitu pemikiran rasional data empiris.
Karena itu, ukuran kebenaran terletak pada koherensi dan korespondensi. Koheren besarti
sesuai dengan teori-teori terdahulu, serta korespondens berarti sesuai dengan kenyataan
empiris. Kerangka pengembangan ilmu itu dimulai dari proses perumusan hipotesis yang
deduksi dari teori, kemudian diuji kebenarannya melalui verifikasi untuk diproses lebih lanjut
secara induktif menuju perumusan teori baru. Jadi, secara epistemologis, pengembangan
ilmu itu berputar mengikuti siklus; logico, hypothetico, verifikatif.
Dalam metode kuantitatif, dianut suatu paradigma bahwa dalam setiap event/peristiwa
sosial mengandung elemen-elemen tertentu yang berbeda-beda dan dapat berubah.
Elemen-elemen dimaksud disebut dengan variabel. Variabel dari setiap even/case, baik
yang melekat padanya maupun yang mempengaruhi/dipengaruhinya, cukup banyak,
karena itu tidak mungkin menangkap seluruh variabel itu secara keseluruhan. Atas dasar
itu, dalam penelitian kuantitatif ditekankan agar obyek penelitian diarahkan pada variabelvariabel tertentu saja yang dinilai paling relevan. Jadi, di sini paradigma kuantitatif
cenderung pada pendekatan partikularistis.
Lebih khusus mengenai metode analisis dan prinsip pengambilan kesimpulan, Julia
Brannen, ketika menjelaskan paradigma kuantitatif dan kualitatif, mengungkap paradigma

Makalah Paradigma Penelitian Kuantitatif & Kualitatif A013171026/GOSO

11
penelitian kuantitaif dari dua aspek penting, yaitu: bahwa penelitian kuantitatif
menggunakan enumerative induction dan cenderung membuat generalisasi (generalization)
[12]. Penekanan analisis data dari pendekatan enumerative induction adalah perhitungan
secara kuantitatif, mulai dari frekuensi sampai analisa statistik. Selanjutnya pada dasarnya
generalisasi adalah pemberlakuan hasil temuan dari sampel terhadap semua populasi,
tetapi karena dalam paradigma kuantitatif terdapat asumsi mengenai adanya “keserupaan”
antara obyek-obyek tertentu, maka generalisasi juga dapat didefinisikan sebagai
universalisasi.

2. Paradigma Penelitian Kualitatif
Penelitian kualitatif adalah satu model penelitian humanistik, yang menempatkan
manusia sebagai subyek utama dalam peristiwa sosial/budaya. Jenis penelitian ini
berlandaskan pada filsafat fenomenologis dari Edmund Husserl (1859-1928) dan kemudian
dikembangkan oleh Max Weber (1864-1920) ke dalam sosiologi. Sifat humanis dari aliran
pemikiran ini terlihat dari pandangan tentang posisi manusia sebagai penentu utama
perilaku individu dan gejala sosial. Dalam pandangan Weber, tingkah laku manusia yang
tampak merupakan konsekwensi-konsekwensi dari sejumlah pandangan atau doktrin yang
hidup di kepala manusia pelakunya. Jadi, ada sejumlah pengertian, batasan-batasan, atau
kompleksitas makna yang hidup di kepala manusia pelaku, yang membentuk tingkah laku
yang terkspresi secara eksplisit.
Sementara itu Noeng Muhadjir (1994:12) mengemukakan beberapa nama yang
dipergunakan para ahli tentang metodologi penelitian kualitatif yaitu: grounded research,
ethnometodologi, paradigma naturalistik, interaksi simbolik, semiotik, heuristik, hermeneutik,
atau holistik. Perbedaan tersebut dimungkinkan karena perbedaan titik tekan dalam melihat
permasalahan serta latar brlakang disiplin ilmunya, istilah grounded research lebih
berkembang dilingkungan sosiologi dengan tokohnya Strauss dan Glaser (untuk di
Indonesia istilah ini diperkenalkan/dipopulerkan oleh Stuart A. Schleigel dari Universitas
California yang pernah menjadi tenaga ahli pada Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial
Banda Aceh pada tahun 1970-an), ethnometodologi lebih berkembang di lingkungan
antropologi dan ditunjang antara lain oleh Bogdan, interaksi simbolik lebih berpengaruh di
pantai barat Amerika Serikat dikembangkan oleh Blumer, Paradigma naturalistik
dikembangkan antara lain oleh Guba yang pada awalnya memperoleh pendidikan dalam
fisika, matematika dan penelitian kuantitatif.
Secara lebih rinci Patton (1990:88) mengemukakan penamaan macam-macam
penelitian kualitatif (Qualitative inquiry) berdasarkan tradisi teoritisnya yang diuraikan dalam
bentuk tabel sebagai berikut :

Tabel 2.
Variety in qualitative Inquiry : Theoritical traditions
No

Perspektif

1

Ethnography

2

Phenomenology

3

Heuristics

4

Ethnomethodology

Akar Ilmu

Pertanyaan Utama

Anthropology

Apa kebudayaan masyarakat ini?
Apa struktur dan esensi pengalaman atas
gejala-gejala ini bagi masyarakat tersebut?
Apa pengalaman saya mengenai gejalagejala ini dan apa pengalaman essensial
bagi yang lain yang juga mengalami gejala
ini secara intens?
Bagaimana orang memahami kegiatan
sehari-hari mereka sehingga berprilaku

Philosophy
Psikologi Humanistik
Sosiology

Makalah Paradigma Penelitian Kuantitatif & Kualitatif A013171026/GOSO

12

5

Symbolic
interactionism

6

Echological
Psychology

7

System theory

8

Chaos theory: non
-linier dynamics

9

Hermeneutics

Teologi, filsafat, kritik
sastra

10

Orientaional,
qualitative

Ideologi, ekonomi politik

Psikologi sosial
Psikologi lingkungan
Interdisipliner
Fisika teoritis: ilmu-ilmu
alam

dengan cara yang dapat diterima secara
sosial?
Apa simbul dan pemahaman umum yang
telah muncul dan memberikan makna bagi
interaksi sosial masyarakat?
Bagaimana orang-orang mencapai tujuan
mereka melalui prilaku tertentu dalam
lingkungan yang tertentu?
Bagaimana dan kenapa sistem ini
berfungsi secara keseluruhan?
Apa yang mendasari keteraturan gejalagejala yang tak teratur jika ada?
Apa kondisi-kondisi yang melahirkan
prilaku atau produk yang dihasilkan yang
memungkinkan penafsiran makna?
Bagimana perspektif ideologi seseorang
berujud dalam suatu gejala?

Dalam perkembangannya, belakangan ini nampaknya istilah penelitian kualitatif telah
menjadi istilah yang dominan dan baku, meskipun mengacu pada istilah yang berbeda dengan
pemberian karakteristik yang berbeda pula, namun bila dikaji lebih jauh semua itu lebih bersifat
saling melengkapi/memperluas dalam suatu bingkai metodologi penelitian kualitatif.
Oleh karena itu dalam wacana metodologi penelitian, umumnya diakui terdapat dua
paradigma utama dalam metodologi penelitian yakni paradigma positivist (penelitian kuantitatif)
dan paradigma naturalistik (penelitian kualitatif), ada ahli yang memposisikannya secara
diametral, namun ada juga yang mencoba menggabungkannya baik dalam makna integratif
maupun bersifat komplementer, namun apapun kontroversi yang terjadi kedua jenis penelitian
tersebut memiliki perbedaan-perbedaan baik dalam tataran filosofis/teoritis maupun dalam
tataran praktis pelaksanaan penelitian, dan justru dengan perbedaan tersebut akan nampak
kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga seorang peneliti akan dapat lebih mudah
memilih metode yang akan diterapkan apakah metode kuantitatif atau metode kualitatif dengan
memperhatikan obyek penelitian/masalah yang akan diteliti serta mengacu pada tujuan
penelitian yang telah ditetapkan.
Meskipun dalam tataran praktis perbedaan antara keduanya seperti nampak sederhana
dan hanya bersifat teknis, namun secara esensial keduanya mempunyai landasan
epistemologis/filosofis yang sangat berbeda. Penelitian kuantitatif merupakan pendekatan
penelitian yang mewakili paham positivisme, sementara itu penelitian kualitatif merupakan
pendekatan penelitian yang mewakili paham naturalistik (fenomenologis). Untuk lebih
memahami landasan filosofis kedua paham tersebut, berikut ini akan diuraiakan secara ringkas
kedua aliran faham tersebut.
1. Positivisme
Positivisme merupakan aliran filsafat yang dinisbahkan/bersumber dari pemikiran Auguste
Comte seorang folosof yang lahir di Montpellier Perancis pada tahun 1798, ia seorang yang
sangat miskin, hidupnya banyak mengandalkan sumbangan dari murid dan teman-temannya
antara lain dari folosof inggris John Stuart Mill (juga seorang akhli ekonomi), ia meninggal pada
tahun 1857. meskipun demikian pemikiran-pemikirannya cukup berpengaruh yang dituangkan
dalam tulisan-tulisannya antara lain Cours de Philosophie Positive (Kursus filsafat
positif) dan Systeme de Politique Positive (Sistem politik positif).
Salah satu buah pikirannya yang sangat penting dan berpengaruh adalah tentang tiga
tahapan/tingkatan cara berpikir manusia dalam berhadapan dengan alam semesta yaitu:
tingkatan Teologi, tingkatan Metafisik, dan tingkatan Positif

Makalah Paradigma Penelitian Kuantitatif & Kualitatif A013171026/GOSO

13
 Tingkatan Teologi (Etat Theologique). Pada tingkatan ini manusia belum bisa
memahami hal-hal yang berkaitan dengan sebab akibat. Segala kejadian dialam
semesta merupakan akibat dari suatu perbuatan Tuhan dan manusia hanya bersifat
pasrah, dan yang dapat dilakukan adalah memohon pada Tuhan agar dijauhkan dari
berbagai bencana. Tahapan ini terdiri dari tiga tahapan lagi yang berevolusi yakni dari
tahap animisme, tahap politeisme, sampai dengan tahap monoteisme.
 Tingkatan Metafisik (Etat Metaphisique). Pada dasarnya tingkatan ini merupakan suatu
variasi dari cara berfikir teologis, dimana Tuhan atau Dewa-dewa diganti dengan
kekuatan-kekuatan abstrak misalnya dengan istilah kekuatan alam. Dalam tahapan ini
manusia mulai menemukan keberanian dan merasa bahwa kekuatan yang menimbulkan
bencana dapat dicegah dengan memberikan berbagai sajian-sajian sebagai penolak
bala/bencana.
 Tingkatan Positif (Etat Positive). Pada tahapan ini manusia sudah menemukan
pengetahuan yang cukup untuk menguasai alam. Jika pada tahapan pertama manusia
selalu dihinggapi rasa khawatir berhadapan dengan alam semesta, pada tahap kedua
manusia mencoba mempengaruhi kekuatan yang mengatur alam semesta, maka pada
tahapan positif manusia lebih percaya diri, dengan ditemukannya hukum-hukum alam,
dengan bekal itu manusia mampu menundukan/mengatur (pernyataan ini
mengindikasikan adanya pemisahan antara subyek yang mengetahui dengan obyek
yang diketahui) alam serta memanfaatkannya untuk kepentingan manusia, tahapan ini
merupakan tahapan dimana manusia dalam hidupnya lebih mengandalkan pada ilmu
pengetahuan.
Dengan memperhatikan tahapan-tahapan seperti dikemukakan di atas nampak bahwa
istilah positivisme mengacu pada tahapan ketiga (tahapan positif/pengetahuan positif) dari
pemikiran Comte. Tahapan positif merupakan tahapan tertinggi, ini berarti dua tahapan
sebelumnya merupakan tahapan yang rendah dan primitif, oleh karena itu filsafat Positivisme
merupakan filsafat yang anti metafisik, hanya fakta-fakta saja yang dapat diterima. Segala
sesuatu yang bukan fakta atau gejala (fenomin) tidak mempunyai arti, oleh karena itu yang
penting dan punya arti hanya satu yaitu mengetahui (fakta/gejala) agar siap bertindak (savoir
pour prevoir).
Manusia harus menyelidiki dan mengkaji berbagai gejala yang terjadi beserta hubunganhubungannya diantara gejala-gejala tersebut agar dapat meramalkan apa yang akan terjadi,
Comte menyebut hubungan-hubungan tersebut dengan konsep-konsep dan hukum-hukum
yang bersifat positif dalam arti berguna untuk diketahui karena benar-benar nyata bukan
bersifat spekulasi seperti dalam metafisika.
2. Fenomenologi
Edmund Husserl adalah filosof yang mengmbangkan metode Fenomenologi, dia lahir di
Prostejov Cekoslowakia dan mengajar di berbagai Universitas besar Eropa, meninggal pada
tahun 1938 di Freiburg. Hasil pemikirannya dapat diselamatkan dari kaum Nazi, dengan
membawa seluruh buku dan tulisannya ke Universitas Leuven Belgia, sehingga kemudian dapat
dikembangkan lebih lanjut oleh murid-muridnya. Diantara tulisan-tulisan pentangnya
adalah: Logische Untersuchungen (Penyelidikan-penyelidikan Logis) dan Ideen zu einer reinen
Phanomenologie und Phanomenologischen Philosophie (gagasan-gagasan untuk suatu
fenomenologi murni dan filsafat fenomenologi)
Dalam faham fenomenologi sebagaimana diungkapkan oleh Husserl, bahwa kita harus
kembali kepada benda-benda itu sendiri (zu den sachen selbst), obyek-obyek harus diberikan
kesempatan untuk berbicara melalui deskripsi fenomenologis guna mencari hakekat gejalagejala (Wessenchau). Husserl berpendapat bahwa kesadaran bukan bagian dari
kenyataan melainkan asal kenyataan, dia menolak bipolarisasi antara kesadaran dan alam,

Makalah Paradigma Penelitian Kuantitatif & Kualitatif A013171026/GOSO

14
antara subyek dan obyek, kesadaran tidak menemukan obyek-obyek, tapi obyek-obyek
diciptakan oleh kesadaran.
Kesadaran merupakan sesuatu yang bersifat intensionalitas (bertujuan), artinya
kesadaran tidak dapat dibayangkan tanpa sesuatu yang disadari. Supaya kesadaran timbul
perlu diandaikan tiga hal yaitu: ada subyek, ada obyek, dan subyek yang terbuka terhadap
obyek-obyek. Kesadaran tidak bersifat pasif karena menyadari sesuatu berarti mengubah
sesuatu, kesadaran merupakan suatu tindakan, terdapat interaksi antara tindakan kesadaran
dan obyek kesadaran, namun yang ada hanyalah kesadaran sedang obyek kesadaran pada
dasarnya diciptakan oleh kesadaran.
Berkaitan dengan hakekat obyek-obyek, Husserl berpandapat bahwa untuk menangkap
hakekat obyek-obyek diperlukan tiga macam reduksi guna menyingkirkan semua hal yang
mengganggu dalam mencapai wessenchauyaitu: Reduksi pertama. Menyingkirkan segala
sesuatu yang subyektif, sikap kita harus obyektif, terbuka untuk gejala-gejala yang harus diajak
bicara. Reduksi kedua. Menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang diperoleh dari
sumber lain, dan semua teori dan hipotesis yang sudah ada Reduksi ketiga. Menyingkirkan
seluruh tradisi pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah dikatakan orang lain harus, untuk
sementara, dilupakan, kalau reduksi-reduksi ini berhasil, maka gejala-gejala akan
memperlihatkan dirinya sendiri/dapat menjadi fenomin
3. Perbandingan tataran Filosofis
Kedua aliran filsafat tersebut terus berkembang dengan dukungan pengikut-pengikutnya,
yang dalam wacana metodologi penelitian telah mendorong lahirnya paradigma penelitian
kuantitatif (positivisme) dan paradigma penelitian kualitatif (fenomenologi). Kedua paradigma
pendekatan penelitian tersebut nampak sekali mempunyai asumsi/aksioma dasar filosofis dan
paradigma berbeda yang menurut Lincoln dan Guba perbedaan tersebut terletak dalam
asumsi/aksioma tentang kenyataan, hubungan pencari tahu dengan tahu (yang diketahui),
generalisasi, kausalitas, dan masalah nilai. untuk lebih rincinya dapat dilihat dalam tabel berikut.
Dalam pandangan positivisme dari sudut ontologi meyakini bahwa realitas merupakan
suatu yang tunggal dan dapat dipecah-pecah untuk dipelajari/dipahami secara bebas, obyek
yang diteliti bisa dieliminasikan dari obyek-obyek lainnya, sedangkan dalam pandangan
fenomenologi kenyataan itu merupakan suatu yang utuh, oleh karena itu obyek harus dilihat
dalam suatu konteks natural tidak dalam bentuk yang terfragmentasi.
Dari sudut epistemologi, positivisme mensyaratkan adanya dualisme antara subyek
peneliti dengan obyek yang ditelitinya, pemilahan ini dimaksudkan agar dapat diperoleh hasil
yang obyektif, sementara itu dalam pandangan Fenomenologis subyek dan obyek tidak dapat
dipisahkan dan aktif bersama dalam memahami berbagai gejala. Dari sudut aksiologi,
positivisme mensyaratkan agar penelitian itu bebas nilai agar dicapai obyektivitas konsepkonsep dan hukum-hukum sehingga tingkat keberlakuannya bebas tempat dan waktu,
sedangkan dalam pandangan fenomenologi penelitian itu terikat oleh nilai sehinggan hasil suatu
penelitian harus dilihat sesuai konteks.
Untuk lebih jelasnya berikut ini akan dikemukakan perbandingan antara paradigma
positivisme dan paradigma alamiah (fenomenologi) dengan mengacu pada pendapat Lincoln
dan Guba, sebagaimana terlihat dalam tabel berikut :
Tabel 3.
Perbedaan Aksioma Paradigma Positivisme dan Alamiah

No.
1

Aksioma Tentang
Hakikat kenyatan

Paradigma Positivisme

Paradigma Naturalistik/Kualitatif

Kenyataan adalah tunggal,
nyata dan fragmentaris

Kenyataan adalah ganda, dibentuk,
dan me-rupakan keutuhan

Makalah Paradigma Penelitian Kuantitatif & Kualitatif A013171026/GOSO

15
2

Hubungan pencari
tahu dan yang tahu

3

Kemungkinan
Generalisasi

4

Kemungkinan
hubungan sebab
akibat

Pencari tahu dengan yang
tahu adalah bebas, jadi ada
dualism
Generalisasi atas dasar
bebas-waktu dan bebaskonteks (pernyataan
nomotetik)
Terdapat penyebab
sebenarnya yang secara
temporer terhadap, atau
secara simultan terhadap
akibatnya
Inkuirinya bebas nilai

5
Peranan nilai
(Sumber : Lexy J. Moleong : 2000 : 31)

Pencari tahu dengan yang tahu aktif
bersama, jadi tidak dapat dipisahkan
Hanya waktu dan konteks yang
mengikat hipotesis kerja (pernyataan
idiografis) yang dimungkinkan
Setiap keutuhan berada dalam
keadaan mempe-ngaruhi secara
bersama-sama sehingga sukar membedakan mana sebab dan mana akibat
Inkuirinya terikat nilai

4. Perbandingan tataran Metodologis
Memahami landasan filosofis penelitian kualitatif dalam perbandingannya dengan
penelitian kuantitatif merupakan hal yang penting sebagai dasar bagi pemahaman yang
tepat terhadap penelitian kualitatif, namun demikian bagi seorang peneliti penguasaan dalam
tingkatan operasional lebih diperlukan lagi agar dalam pelaksanaan penelitian tidak terjadi
kerancuan metodologis, dan penelitian benar-benar dilaksanakan dalam suatu bingkai
pendekatan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam tataran metodologis perbedaan landasan filosofis terrefleksikan dalam perbedaan
metode penelitian, dimana positivisme dimanifestasikan dalam metode penelitian kuantitatif
sedangkan fenomenologi dimanifestasikan dalam metode penelitian kualitatif. Kedua
pendekatan ini sering diposisikan secara diametral, meskipun belakangan ini terdapat upaya
untuk menggabungkannya baik dalam bentuk paralelisasi maupun kombinasi, adapun
perbedaan antara metode kuantitatif dengan kualitatif adalah sebagai berikut :
Tabel 4.
Perbedaan Metode Kuantitatif dengan Kualitatif

No.

Metode Kuantitatif

Metode Kualitatif

1

Menggunakan hipotesis yang ditentukan sejak
awal penelitian

2

Definisi yang jelas dinyatakan sejak awal

3

Reduksi data menjadi an