DILEMA ROKOK DALAM PERSPEKTIF SOSIAL DAN
Dilema Rokok dalam Perspektif Sosial dan Hukum
Oleh : Farisa Puspita Adila
Rokok merupakan salah satu produk yang bahan bakunya terbuat dari tembakau,
terdapat banyak pabrik di Indonesia yang memproduksi rokok dengan berbagai jenis dan
varian yang berbeda-beda. Rokok yang ada sejak dulu telah menjadi salah satu kebutuhan
penting bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang tidak dapat dipisahkan. Banyak orang
yang menggantungkan pendapatan mereka dari hasil melinting rokok, begitu juga orang yang
telah terbiasa mengkonsumsi rokok biasanya sulit untuk berhenti merokok. Banyak
perdebatan yang terjadi mengenai rokok di bidang hukum dan sosial yang melibatkan banyak
pihak dimana terdapat banyak pertimbangan positif maupun negatif dengan adanya rokok
sehingga menimbulkan dilematis apakah rokok tetap dibiarkan atau harus dilarang
peredarannya di masyarakat.
Sejak resmi diundangkan, UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan paling sering
diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Uniknya, sebagian besar pengujian itu terkait dengan
tembakau atau lebih spesifik kepada rokok. Sejumlah pihak yang menjadi pemohon
pengujian UU Kesehatan mengklaim dirugikan hak konstitusionalnya atas keberadaan pasalpasal terkait tembakau atau rokok. Merujuk latar belakang para pemohon, terkesan ada
pertarungan antara kelompok masyarakat pro rokok dan anti rokok di balik pengujian
sejumlah pasal tembakau dalam UU Kesehatan. Meski MK menolak, dua hakim Konstitusi
mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda) yang tak sepakat jika hanya tembakau
sebagai satu-satunya zat adiktif. Mereka berpendapat tembakau yang menghasilkan produk
rokok memiliki kepentingan ekonomi, sosial, dan budaya bagi petani tembakau dan buruh
pabrik rokok yang jumlahnya diperkirakan sekitar enam juta. Selain itu, menurut dua hakim
tersebut kebiasaan merokok juga merupakan bagian warisan budaya di sebagian masyarakat
Indonesia yang sejak zaman nenek moyang dulu bahwa rokok juga dapat dilambangkan
sebagai status sosial dilihat dari semakin tinggi harga rokok yang dikonsumsinya.
(http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f349ad3f219a/pertarungan-konstitusionalitastembakau-di-balik-uu-kesehatan)
Kini terdapat juga peraturan baru yang merupakan turunan dari UU No 36 Tahun
2009 tentang rokok yang mengharuskan untuk memasang foto atau gambar dampak merokok
pada bungkus rokok sebagai peringatan bahaya merokok yaitu PP No. 109 Tahun 2012
tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi
Kesehatan yang mulai direalisasikan pada tanggal 24 Juni 2014 ini. Jenis peringatan
kesehatan terdiri dari jenis gambar sebagai berikut: gambar kanker mulut, gambar perokok
dengan asap yang membentuk tengkorak, gambar kanker tenggorokan, gambar orang
merokok dengan anak di dekatnya, dan gambar paru-paru menghitam karena kanker yang
dipasang sebesar 40 persen dari seluruh tampilan produk kemasan. Hal ini telah lama
ditunggu oleh para aktivis anti rokok dan masyarakat non-perokok alias perokok pasif yang
sebenernya bertujuan untuk mengurangi jumlah perokok aktif agar masyarakat yang merokok
tersebut sadar akan dampak kesehatan bagi tubuh yang sangat membahayakan. Apabila ada
perusahaan yang melanggar peraturan tersebut maka akan diberikan sanksi bertahap, yang
pertama berupa peringatan, yang kedua pencabutan izin sementara, dan terakhir adalah
pencabutan izin selamanya. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, dengan
jumlah penduduk yang mencapai 240 juta, Indonesia menempati urutan ketiga di dunia dalam
hal jumlah perokok. Sekitar 65 persen laki-laki Indonesia dan 35 persen dari perempuan
berusia 15 atau lebih tua merokok pada tahun 2010, seperti yang dilaporkan oleh
kementerian. Penyakit tidak menular termasuk yang disebabkan merokok membukukan 64
persen dari semua kematian di Indonesia, menurut Organisasi Kesehatan Dunia naik lebih
dari 50 persen pada tahun 1995.
Dalam UU No 36 Tahun 2009, terdapat juga aturan mengenai rokok yaitu
memproduksi atau memasukkan rokok ke dalam wilayah NKRI tanpa mencantumkan
peringatan kesehatan dan pelanggaran kawasan tanpa rokok. Pada pasal 199 ayat (1)
menentukan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok
ke dalam wilayah NKRI dengan tidak mencantumkan peringatan kesehatan berbentuk
gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan ayat
(2) menentukan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana dengan pidana denda paling banyak
Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Pengaturan pengendalian tembakau/rokok
termasuk KTR (Kawasan Tanpa Rokok) ini sudah cukup memadai dalam konteks menjamin
hak masyarakat. Misalnya, aturan KTR dibuat untuk melindungi hak masyarakat yang bukan
perokok untuk mendapatkan lingkungan sehat dan bersih yang dijamin UU No 39 Tahun
1999 tentang HAM. Demikian pula Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri
Dalam Negeri No. 188 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok.
Peraturan bersama itu menyatakan pengelola gedung dapat menyediakan tempat khusus
untuk merokok dengan syarat ruangan merokok harus tempat terbuka, terpisah dari ruang
utama beraktivitas, jauh dari pintu masuk atau keluar, jauh tempat orang berlalu lalang.
Dengan kata lain, aturan hukum yang mengatur KTR telah memberikan toleransi optimal
bagi semua pihak. Terlebih, masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim seharusnya terikat
secara individual atas fatwa rokok haram untuk anak-anak, remaja, wanita hamil, dan
merokok di tempat umum yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Januari
2009.
Persentase konsumsi rokok di Indonesia dinyatakan terbesar se-Asia Tenggara.
Peneliti sekaligus dosen Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, R.A. Yayi Suryo
Prabandari, mengungkapkan jumlah perokok di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke
tahun. Secara keseluruhan, jumlah perokok di Indonesia laki-laki dan perempuan naik 35
persen pada 2012. Yayi menjelaskan, jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN,
konsumsi rokok di Indonesia mencapai 46,16 persen. Sedangkan di Malaysia, konsumsi
rokok hanya 2,90 persen, di Myanmar 8,73 persen, Filipina 16,62 persen, Vietnam 14,11
persen, dan Thailand sebanyak 7,74 persen. Di Singapura, konsumsi rokok hanya 0,39
persen, Laos sebanyak 1,23 persen, Kamboja 2,07 persen, dan Brunei Darussalam 0,04
persen konsumsi rokok. Berdasarkan data yang diterbitkan Lembaga Demografi Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, Southeast Asia Tobacco Control Alliance, dan Komisi
Nasional Pengendalian Tembakau, Indonesia bahkan menduduki urutan ketiga dengan jumlah
perokok terbanyak di dunia setelah Cina dan India. Pada 2012, diperkirakan terdapat 62,3 juta
perokok di Indonesia. Meningkat dari 2011 dengan jumlah perokok sebanyak 61,4 juta
perokok dimana sekitar 60 persen pria dan 4,5 persen wanita di Indonesia adalah perokok.
(http://www.tempo.co/read/news/2013/10/10/090520749/Perokok-Indonesia-TerbanyakseAsia-Tenggara-).
Sementara itu, Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan ( P2PL)
Kemenkes Tjandra Yoga Aditama mengatakan perokok pada anak dan remaja juga terus
meningkat 43 juta dari 97 juta warga Indonesia adalah perokok pasif. Tingginya jumlah
perokok aktif tersebut berbanding lurus dengan jumlah non-smoker yang terpapar asap rokok
orang lain (second hand smoke) sebanyak 97 juta penduduk Indonesia sebanyak 43 juta anakanak, diantaranya 11,4 juta diantaranya berusia 0-4 tahun. Tjandra memaparkan, dikarenakan
rokok pengeluaran makro negara lebih besar dari cukai yang diperoleh pertahunnya sebesar
Rp254,41 triliun. Sedangkan, pendapatan negara dari cukai hanya Rp 55 triliun.
(http://nasional.sindonews.com/read/744854/15/61-4-juta-penduduk-indonesia-perokok-aktif)
Meningkatnya jumlah perokok di Indonesia, 34,2% di tahun 2007 menjadi 36,3% di
tahun 2013, memicu Tobacco Control Support Center, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat
Indonesia (TCSC – IAKM) menggelar kegiatan The 1st Indonesian Conference on Tobacco or
Health (ICTOH) 2014. Kegiatan yang bertemakan Tobacco Control: Save Lives Saves Money
ini menjadi wadah yang tepat untuk menambah pengetahuan, berbagi pemikiran, dan bertukar
pengalaman tentang pengendalian tembakau. Kegiatan yang didukung oleh Kementerian
Kesehatan RI ini mengajak generasi muda untuk terlibat aktif dalam pengendalian tembakau.
Mengingat jumlah perokok remaja meningkat tiga kali lipat dari 7,1% di tahun 1995 menjadi
18,3% di tahun 2013. Kesan macho, gaul, dan solidaritas yang dicitrakan iklan promosi dan
sponsor rokok telah berkontribusi signifikan dalam menggiring remaja menjadi perokok aktif.
Tingginya niat industri rokok untuk menciptakan perokok-perokok baru dari kalangan anakanak muda, menjadikan kegiatan ini sebagai penguatan tentang buruknya rokok bagi
kesehatan. Kegiatan yang dilangsungkan sebagai peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia
(HTTS) ini, juga melibatkan kalangan dari akademisi. Kalangan akademis diharapkan dapat
bergerak di bidang advokasi. Misalnya kampus bebas dari rokok, dimana kampus tidak
menerima beasiswa sponsor dari rokok. Tingginya cukai rokok yang mencapai Rp50 triliun di
tahun 2010, salah satunya disebabkan oleh murahnya harga rokok di Indonesia. Tetapi
kerugian ekonomi yang ditimbulkan rokok mencapai hampir Rp250 triliun di tahun 2010.
Oleh karena itu diadakan konferensi tingkat nasional di bidang tembakau dan kesehatan,
untuk tercapainya generasi berkualitas bebas asap tembakau. Diharapkan pemerintah dapat
menaikkan harga pajak rokok, untuk semakin menekan pertumbuhan perokok baru, terutama
di kalangan anak muda. (http://swa.co.id/business-strategy/remaja-dilibatkan-menekanjumlah-perokok)
Dampak negatif rokok tidak hanya dari segi kesehatan, tapi telah menyangkut sosial,
ekonomi dan intelegensi. Dampak sosial di antaranya adalah hilangnya rasa nyaman bagi
orang yang tidak merokok, hilangnya hak asasi seseorang terhadap udara segar, bebasnya
remaja merokok di jalanan walaupun masih menggunakan seragam sekolah dan tidak sedikit
terjadinya kebakaran dikarenakan putung rokok yang dibuang sembarangan sebelum
dimatikan. Masalah ekonomi keluargapun juga turut terganggu oleh pengeluaran untuk
rokok, di mana pengeluaran untuk rokok melebihi pengeluaran untuk kebutuhan lainnya.
Untuk menghadapi masalah dan fenomena tersebut, kita dituntut tidak berpangku tangan dan
berdiam diri. Seluruh komponen masyarakat harus bergerak dan berbuat sesuai dengan
kemampuannya. Hal ini merupakan tanggung jawab dan kontrol sosial kita selaku warga
masyarakat. Dengan adanya kontrol sosial yang baik, tentu akan dapat mengurangi perilaku
merokok walaupun secara bertahap. Tetapi, yang paling utama adalah keseriusan pemerintah
dalam membuat regulasi untuk mengendalikan peredaran rokok. Fenomena atau trend
merokok di Indonesia semakin di-’manjakan’ oleh negara, dan merupakan satu-satunya
negara yang tidak meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) pada
tahun 2003 serta belum mempunyai regulasi yang komprehensif untuk mengatur peredaran
dan produksi tembakau bagi industri rokok kecuali hanya regulasi tentang cukai rokok.
Akhir-akhir ini persoalan iklan, peredaran dan produksi rokok di Indonesia
memunculkan keadaan pro dan kontra atas persoalan rokok tersebut, di satu sisi para aktivis
anti rokok berupaya mendesak pemerintah untuk mengeluarkan regulasi tentang rokok untuk
melindungi masyarakat non perokok karena dapat berakibat fatal bagi kesehatan manusia dan
lingkungan secara global akibat dampak negatif asap rokok dengan berbagai argumen ilmiah
dan sebagai bentuk kepedulian warga bangsa atas dampak bahaya merokok, terutama
melindungi anak dari dampak negatif atas asap rokok. Di sisi lain, industri rokok dan
pemerintah mencoba untuk mencari jalan tengah dengan berdalih melindungi kepentingan
nasional yang lebih besar atas pertumbuhan dan perkembangan industri rokok dari mulai
pengusaha, tenaga kerja industri rokok sampai pada petani tembakau. Industri rokok maupun
perilaku merokok di masyarakat dalam aspek sosial ekonomi tidak bisa dilepas dari
perspektif kemiskinan. Pada aspek produksi, banyak faktor atau elemen yang terlibat pada
aspek tersebut di antaranya adalah pemilik pabrik (pemodal), karyawan/buruh, petani
tembakau sampai pada penjual rokok di pinggiran jalan.
Hal ini dapat dilihat pada tahun 2008 produksi dan peredaran rokok di Indonesia
sebanyak 250 miliar batang rokok (sumber: Global Tobacco Control Report, 2008). Berdasar
fakta dan data tersebut apabila di kalkulasikan secara awam, dari 250 miliar batang rokok di
Indonesia potensi beredarnya uang hanya untuk konsumsi rokok sebesar Rp 125 triliun
(asumsi 1 (satu) batang rokok seharga 500 rupiah). Bandingkan dengan proyeksi rencana
Anggaran Belanja Negara Tahun 2013 bidang kesehatan yang hanya Rp 30,9 triliun, juga
bidang bantuan sosial yang hanya Rp 59 triliun, yang didalamnya termasuk bidang
perlindungan sosial. Anggaran negara untuk peningkatan kualitas masyarakat baik secara
sosial, ekonomi maupun kesehatan dikalahkan dengan peredaran rokok yang diperjualbelikan
di Indonesia tanpa ada perlindungan regulasi bagi warganya. Disebabkan mereka sudah
teradiktif dan kecanduan rokok serta mereka sangat sulit untuk berhenti dari kebiasaan
merokok dan tertipu dengan sugesti iklan rokok yang menyebar tanpa batas, pada akhirnya
mereka mengorbankan kualitas hidup diri dan keluarganya. Seringkali mereka terjebak antara
konsumsi
rokok
dengan
kebutuhan
dasarnya
ketika
berhadapan
dengan
jumlah
pendapatannya. Pemanfaatan potensi masyarakat miskin pun secara tidak langsung
dieksploitasi oleh industri rokok dengan pemanfaatan promosi dan iklan yang luar biasa tanpa
batas dalam membangun image kebanggaan, rileksasi, kemampuan dalam mencapai harapan
dan impian seseorang seperti enjoy aja, gak ada loe gak rame, pria sejati, kreatif,
ketangguhan, dan lain sebagainya. Ini menyebabkan masyarakat miskin terutama anak-anak
dari keluarga miskin berimajinasi dan mencoba apa yang mereka lihat, mereka dengar, serta
menurut mereka merokok adalah salah satu bagian gaya hidup anak kota dan bagian dari
penunjukan identitas diri tanpa berpikir kemampuan diri dan sosialnya. Dan pada akhirnya
keterpaksaan keluarga miskin dalam memangkas pendapatan untuk konsumsi rokok yang
dalam sehari bisa menghabiskan 6–12 batang/hari ini dapat teratasi karena produk tembakau
dapat dibeli secara batangan sehingga akses untuk menjadi korban ketergantungan produk
rokok bagi masyarakat sangat besar terlebih pada masyarakat miskin.
Selama ini kebiasaan merokok di masyarakat disebabkan oleh pengaruh lingkungan,
seseorang yang awalnya tidak merokok akan mengikuti teman yang merokok karena dibujuk
sehingga muncul rasa penasaran dan ingin mencoba hal tersebut. Apalagi untuk anak-anak
yang juga memiliki orang tua yang perokok maka akan lebih besar kesempatan anak-anak
tersebut mencontoh perilaku yang dilakukan orang tuanya yaitu merokok. Alasan lain bagi
orang untuk merokok adalah alasan medis. Memang tidak ada dokter yang menyarankan
orang untuk merokok, tetapi bagi beberapa penderita depresi merokok adalah obat bagi
mereka untuk mengurangi ketegangan. Nikotin melepaskan senyawa tertentu ke dalam sistem
saraf dan menciptakan efek tenang. Orang yang awalnya hanya iseng kemudian lamakelamaan menjadi ketagihan dan sulit untuk berhenti karena ada efek kecanduan/ adiktif. Hal
tersebutlah yang membuat mitos-mitos rokok dijadikan sebagai justifikasi. Bisa dibilang
bahwa merokok telah mendarah daging bagi sebagian masyarakat Indonesia, merka
beranggapan bahwa tidak akan dapat melakukan aktivitas apapun sebelum menghisap rokok
karena kurangnya konsentrasi walaupun .anggapan tersebut hanya asumsi dari para perokok
tapi memang itulah kenyataan yang sebenarnya terjadi selama ini.
Baik atau buruknya rokok semua tergantung dari penilaian masyarakat sendiri.
Masyarakatlah yang bisa memutuskan apakah rokok itu penting atau tidak karena itu
tergantung pada aktivitas kehidupan sehari-hari dalam aktivitas sosial amaupun ekonomi.
Walaupun pemerintah juga berperan, tetapi perannya hanya sebatas regulasi/ aturan yang
awalnya juga diadakan karena usulan dari masyarakat. Setidaknya, pemerintah dan
masyarakat harus saling bekerja sama dan bergerak agar peraturan yang dibuat oleh
pemerintah dapat berjalan dengan baik dan dampak negatif yang disebabkan oleh rokok
dapan dikurangi malah sebaliknya rokok dapat dijadikan sebagai barang produksi yang bisa
meningkatkan pendapatan nasional bagi negara. Kesadaran bagi semua pihak khususnya
perokok aktif dan industri rokok sendiri juga sangat penting yaitu dengan menjauhkan rokok
dari anak-anak, remaja, maupun ibu hamil, sedangkan industri rokok juga selain untuk
mendapatkan keuntungan juga harus menmpilkan apa yang sebenarnya terjadi pada rokok
bukan malah menciptakan penampilan seperti pada iklan, promosi, ataupun packaging rokok
yang membuat konsumen semakin tertarik dan penasaran.
Daftar Pustaka
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f349ad3f219a/pertarungan-konstitusionalitastembakau-di-balik-uu-kesehatan diakses pada tanggal 30 Oktober 2014.
http://www.tempo.co/read/news/2013/10/10/090520749/Perokok-Indonesia-TerbanyakseAsia-Tenggara- diakses pada tanggal 30 Oktober 2014.
http://nasional.sindonews.com/read/744854/15/61-4-juta-penduduk-indonesia-perokok-aktif
diakses pada tanggal 30 Oktober 2014.
http://swa.co.id/business-strategy/remaja-dilibatkan-menekan-jumlah-perokok diakses pada
tanggal 30 Oktober 2014.
Oleh : Farisa Puspita Adila
Rokok merupakan salah satu produk yang bahan bakunya terbuat dari tembakau,
terdapat banyak pabrik di Indonesia yang memproduksi rokok dengan berbagai jenis dan
varian yang berbeda-beda. Rokok yang ada sejak dulu telah menjadi salah satu kebutuhan
penting bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang tidak dapat dipisahkan. Banyak orang
yang menggantungkan pendapatan mereka dari hasil melinting rokok, begitu juga orang yang
telah terbiasa mengkonsumsi rokok biasanya sulit untuk berhenti merokok. Banyak
perdebatan yang terjadi mengenai rokok di bidang hukum dan sosial yang melibatkan banyak
pihak dimana terdapat banyak pertimbangan positif maupun negatif dengan adanya rokok
sehingga menimbulkan dilematis apakah rokok tetap dibiarkan atau harus dilarang
peredarannya di masyarakat.
Sejak resmi diundangkan, UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan paling sering
diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Uniknya, sebagian besar pengujian itu terkait dengan
tembakau atau lebih spesifik kepada rokok. Sejumlah pihak yang menjadi pemohon
pengujian UU Kesehatan mengklaim dirugikan hak konstitusionalnya atas keberadaan pasalpasal terkait tembakau atau rokok. Merujuk latar belakang para pemohon, terkesan ada
pertarungan antara kelompok masyarakat pro rokok dan anti rokok di balik pengujian
sejumlah pasal tembakau dalam UU Kesehatan. Meski MK menolak, dua hakim Konstitusi
mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda) yang tak sepakat jika hanya tembakau
sebagai satu-satunya zat adiktif. Mereka berpendapat tembakau yang menghasilkan produk
rokok memiliki kepentingan ekonomi, sosial, dan budaya bagi petani tembakau dan buruh
pabrik rokok yang jumlahnya diperkirakan sekitar enam juta. Selain itu, menurut dua hakim
tersebut kebiasaan merokok juga merupakan bagian warisan budaya di sebagian masyarakat
Indonesia yang sejak zaman nenek moyang dulu bahwa rokok juga dapat dilambangkan
sebagai status sosial dilihat dari semakin tinggi harga rokok yang dikonsumsinya.
(http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f349ad3f219a/pertarungan-konstitusionalitastembakau-di-balik-uu-kesehatan)
Kini terdapat juga peraturan baru yang merupakan turunan dari UU No 36 Tahun
2009 tentang rokok yang mengharuskan untuk memasang foto atau gambar dampak merokok
pada bungkus rokok sebagai peringatan bahaya merokok yaitu PP No. 109 Tahun 2012
tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi
Kesehatan yang mulai direalisasikan pada tanggal 24 Juni 2014 ini. Jenis peringatan
kesehatan terdiri dari jenis gambar sebagai berikut: gambar kanker mulut, gambar perokok
dengan asap yang membentuk tengkorak, gambar kanker tenggorokan, gambar orang
merokok dengan anak di dekatnya, dan gambar paru-paru menghitam karena kanker yang
dipasang sebesar 40 persen dari seluruh tampilan produk kemasan. Hal ini telah lama
ditunggu oleh para aktivis anti rokok dan masyarakat non-perokok alias perokok pasif yang
sebenernya bertujuan untuk mengurangi jumlah perokok aktif agar masyarakat yang merokok
tersebut sadar akan dampak kesehatan bagi tubuh yang sangat membahayakan. Apabila ada
perusahaan yang melanggar peraturan tersebut maka akan diberikan sanksi bertahap, yang
pertama berupa peringatan, yang kedua pencabutan izin sementara, dan terakhir adalah
pencabutan izin selamanya. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, dengan
jumlah penduduk yang mencapai 240 juta, Indonesia menempati urutan ketiga di dunia dalam
hal jumlah perokok. Sekitar 65 persen laki-laki Indonesia dan 35 persen dari perempuan
berusia 15 atau lebih tua merokok pada tahun 2010, seperti yang dilaporkan oleh
kementerian. Penyakit tidak menular termasuk yang disebabkan merokok membukukan 64
persen dari semua kematian di Indonesia, menurut Organisasi Kesehatan Dunia naik lebih
dari 50 persen pada tahun 1995.
Dalam UU No 36 Tahun 2009, terdapat juga aturan mengenai rokok yaitu
memproduksi atau memasukkan rokok ke dalam wilayah NKRI tanpa mencantumkan
peringatan kesehatan dan pelanggaran kawasan tanpa rokok. Pada pasal 199 ayat (1)
menentukan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok
ke dalam wilayah NKRI dengan tidak mencantumkan peringatan kesehatan berbentuk
gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan ayat
(2) menentukan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana dengan pidana denda paling banyak
Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Pengaturan pengendalian tembakau/rokok
termasuk KTR (Kawasan Tanpa Rokok) ini sudah cukup memadai dalam konteks menjamin
hak masyarakat. Misalnya, aturan KTR dibuat untuk melindungi hak masyarakat yang bukan
perokok untuk mendapatkan lingkungan sehat dan bersih yang dijamin UU No 39 Tahun
1999 tentang HAM. Demikian pula Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri
Dalam Negeri No. 188 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok.
Peraturan bersama itu menyatakan pengelola gedung dapat menyediakan tempat khusus
untuk merokok dengan syarat ruangan merokok harus tempat terbuka, terpisah dari ruang
utama beraktivitas, jauh dari pintu masuk atau keluar, jauh tempat orang berlalu lalang.
Dengan kata lain, aturan hukum yang mengatur KTR telah memberikan toleransi optimal
bagi semua pihak. Terlebih, masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim seharusnya terikat
secara individual atas fatwa rokok haram untuk anak-anak, remaja, wanita hamil, dan
merokok di tempat umum yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Januari
2009.
Persentase konsumsi rokok di Indonesia dinyatakan terbesar se-Asia Tenggara.
Peneliti sekaligus dosen Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, R.A. Yayi Suryo
Prabandari, mengungkapkan jumlah perokok di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke
tahun. Secara keseluruhan, jumlah perokok di Indonesia laki-laki dan perempuan naik 35
persen pada 2012. Yayi menjelaskan, jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN,
konsumsi rokok di Indonesia mencapai 46,16 persen. Sedangkan di Malaysia, konsumsi
rokok hanya 2,90 persen, di Myanmar 8,73 persen, Filipina 16,62 persen, Vietnam 14,11
persen, dan Thailand sebanyak 7,74 persen. Di Singapura, konsumsi rokok hanya 0,39
persen, Laos sebanyak 1,23 persen, Kamboja 2,07 persen, dan Brunei Darussalam 0,04
persen konsumsi rokok. Berdasarkan data yang diterbitkan Lembaga Demografi Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, Southeast Asia Tobacco Control Alliance, dan Komisi
Nasional Pengendalian Tembakau, Indonesia bahkan menduduki urutan ketiga dengan jumlah
perokok terbanyak di dunia setelah Cina dan India. Pada 2012, diperkirakan terdapat 62,3 juta
perokok di Indonesia. Meningkat dari 2011 dengan jumlah perokok sebanyak 61,4 juta
perokok dimana sekitar 60 persen pria dan 4,5 persen wanita di Indonesia adalah perokok.
(http://www.tempo.co/read/news/2013/10/10/090520749/Perokok-Indonesia-TerbanyakseAsia-Tenggara-).
Sementara itu, Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan ( P2PL)
Kemenkes Tjandra Yoga Aditama mengatakan perokok pada anak dan remaja juga terus
meningkat 43 juta dari 97 juta warga Indonesia adalah perokok pasif. Tingginya jumlah
perokok aktif tersebut berbanding lurus dengan jumlah non-smoker yang terpapar asap rokok
orang lain (second hand smoke) sebanyak 97 juta penduduk Indonesia sebanyak 43 juta anakanak, diantaranya 11,4 juta diantaranya berusia 0-4 tahun. Tjandra memaparkan, dikarenakan
rokok pengeluaran makro negara lebih besar dari cukai yang diperoleh pertahunnya sebesar
Rp254,41 triliun. Sedangkan, pendapatan negara dari cukai hanya Rp 55 triliun.
(http://nasional.sindonews.com/read/744854/15/61-4-juta-penduduk-indonesia-perokok-aktif)
Meningkatnya jumlah perokok di Indonesia, 34,2% di tahun 2007 menjadi 36,3% di
tahun 2013, memicu Tobacco Control Support Center, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat
Indonesia (TCSC – IAKM) menggelar kegiatan The 1st Indonesian Conference on Tobacco or
Health (ICTOH) 2014. Kegiatan yang bertemakan Tobacco Control: Save Lives Saves Money
ini menjadi wadah yang tepat untuk menambah pengetahuan, berbagi pemikiran, dan bertukar
pengalaman tentang pengendalian tembakau. Kegiatan yang didukung oleh Kementerian
Kesehatan RI ini mengajak generasi muda untuk terlibat aktif dalam pengendalian tembakau.
Mengingat jumlah perokok remaja meningkat tiga kali lipat dari 7,1% di tahun 1995 menjadi
18,3% di tahun 2013. Kesan macho, gaul, dan solidaritas yang dicitrakan iklan promosi dan
sponsor rokok telah berkontribusi signifikan dalam menggiring remaja menjadi perokok aktif.
Tingginya niat industri rokok untuk menciptakan perokok-perokok baru dari kalangan anakanak muda, menjadikan kegiatan ini sebagai penguatan tentang buruknya rokok bagi
kesehatan. Kegiatan yang dilangsungkan sebagai peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia
(HTTS) ini, juga melibatkan kalangan dari akademisi. Kalangan akademis diharapkan dapat
bergerak di bidang advokasi. Misalnya kampus bebas dari rokok, dimana kampus tidak
menerima beasiswa sponsor dari rokok. Tingginya cukai rokok yang mencapai Rp50 triliun di
tahun 2010, salah satunya disebabkan oleh murahnya harga rokok di Indonesia. Tetapi
kerugian ekonomi yang ditimbulkan rokok mencapai hampir Rp250 triliun di tahun 2010.
Oleh karena itu diadakan konferensi tingkat nasional di bidang tembakau dan kesehatan,
untuk tercapainya generasi berkualitas bebas asap tembakau. Diharapkan pemerintah dapat
menaikkan harga pajak rokok, untuk semakin menekan pertumbuhan perokok baru, terutama
di kalangan anak muda. (http://swa.co.id/business-strategy/remaja-dilibatkan-menekanjumlah-perokok)
Dampak negatif rokok tidak hanya dari segi kesehatan, tapi telah menyangkut sosial,
ekonomi dan intelegensi. Dampak sosial di antaranya adalah hilangnya rasa nyaman bagi
orang yang tidak merokok, hilangnya hak asasi seseorang terhadap udara segar, bebasnya
remaja merokok di jalanan walaupun masih menggunakan seragam sekolah dan tidak sedikit
terjadinya kebakaran dikarenakan putung rokok yang dibuang sembarangan sebelum
dimatikan. Masalah ekonomi keluargapun juga turut terganggu oleh pengeluaran untuk
rokok, di mana pengeluaran untuk rokok melebihi pengeluaran untuk kebutuhan lainnya.
Untuk menghadapi masalah dan fenomena tersebut, kita dituntut tidak berpangku tangan dan
berdiam diri. Seluruh komponen masyarakat harus bergerak dan berbuat sesuai dengan
kemampuannya. Hal ini merupakan tanggung jawab dan kontrol sosial kita selaku warga
masyarakat. Dengan adanya kontrol sosial yang baik, tentu akan dapat mengurangi perilaku
merokok walaupun secara bertahap. Tetapi, yang paling utama adalah keseriusan pemerintah
dalam membuat regulasi untuk mengendalikan peredaran rokok. Fenomena atau trend
merokok di Indonesia semakin di-’manjakan’ oleh negara, dan merupakan satu-satunya
negara yang tidak meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) pada
tahun 2003 serta belum mempunyai regulasi yang komprehensif untuk mengatur peredaran
dan produksi tembakau bagi industri rokok kecuali hanya regulasi tentang cukai rokok.
Akhir-akhir ini persoalan iklan, peredaran dan produksi rokok di Indonesia
memunculkan keadaan pro dan kontra atas persoalan rokok tersebut, di satu sisi para aktivis
anti rokok berupaya mendesak pemerintah untuk mengeluarkan regulasi tentang rokok untuk
melindungi masyarakat non perokok karena dapat berakibat fatal bagi kesehatan manusia dan
lingkungan secara global akibat dampak negatif asap rokok dengan berbagai argumen ilmiah
dan sebagai bentuk kepedulian warga bangsa atas dampak bahaya merokok, terutama
melindungi anak dari dampak negatif atas asap rokok. Di sisi lain, industri rokok dan
pemerintah mencoba untuk mencari jalan tengah dengan berdalih melindungi kepentingan
nasional yang lebih besar atas pertumbuhan dan perkembangan industri rokok dari mulai
pengusaha, tenaga kerja industri rokok sampai pada petani tembakau. Industri rokok maupun
perilaku merokok di masyarakat dalam aspek sosial ekonomi tidak bisa dilepas dari
perspektif kemiskinan. Pada aspek produksi, banyak faktor atau elemen yang terlibat pada
aspek tersebut di antaranya adalah pemilik pabrik (pemodal), karyawan/buruh, petani
tembakau sampai pada penjual rokok di pinggiran jalan.
Hal ini dapat dilihat pada tahun 2008 produksi dan peredaran rokok di Indonesia
sebanyak 250 miliar batang rokok (sumber: Global Tobacco Control Report, 2008). Berdasar
fakta dan data tersebut apabila di kalkulasikan secara awam, dari 250 miliar batang rokok di
Indonesia potensi beredarnya uang hanya untuk konsumsi rokok sebesar Rp 125 triliun
(asumsi 1 (satu) batang rokok seharga 500 rupiah). Bandingkan dengan proyeksi rencana
Anggaran Belanja Negara Tahun 2013 bidang kesehatan yang hanya Rp 30,9 triliun, juga
bidang bantuan sosial yang hanya Rp 59 triliun, yang didalamnya termasuk bidang
perlindungan sosial. Anggaran negara untuk peningkatan kualitas masyarakat baik secara
sosial, ekonomi maupun kesehatan dikalahkan dengan peredaran rokok yang diperjualbelikan
di Indonesia tanpa ada perlindungan regulasi bagi warganya. Disebabkan mereka sudah
teradiktif dan kecanduan rokok serta mereka sangat sulit untuk berhenti dari kebiasaan
merokok dan tertipu dengan sugesti iklan rokok yang menyebar tanpa batas, pada akhirnya
mereka mengorbankan kualitas hidup diri dan keluarganya. Seringkali mereka terjebak antara
konsumsi
rokok
dengan
kebutuhan
dasarnya
ketika
berhadapan
dengan
jumlah
pendapatannya. Pemanfaatan potensi masyarakat miskin pun secara tidak langsung
dieksploitasi oleh industri rokok dengan pemanfaatan promosi dan iklan yang luar biasa tanpa
batas dalam membangun image kebanggaan, rileksasi, kemampuan dalam mencapai harapan
dan impian seseorang seperti enjoy aja, gak ada loe gak rame, pria sejati, kreatif,
ketangguhan, dan lain sebagainya. Ini menyebabkan masyarakat miskin terutama anak-anak
dari keluarga miskin berimajinasi dan mencoba apa yang mereka lihat, mereka dengar, serta
menurut mereka merokok adalah salah satu bagian gaya hidup anak kota dan bagian dari
penunjukan identitas diri tanpa berpikir kemampuan diri dan sosialnya. Dan pada akhirnya
keterpaksaan keluarga miskin dalam memangkas pendapatan untuk konsumsi rokok yang
dalam sehari bisa menghabiskan 6–12 batang/hari ini dapat teratasi karena produk tembakau
dapat dibeli secara batangan sehingga akses untuk menjadi korban ketergantungan produk
rokok bagi masyarakat sangat besar terlebih pada masyarakat miskin.
Selama ini kebiasaan merokok di masyarakat disebabkan oleh pengaruh lingkungan,
seseorang yang awalnya tidak merokok akan mengikuti teman yang merokok karena dibujuk
sehingga muncul rasa penasaran dan ingin mencoba hal tersebut. Apalagi untuk anak-anak
yang juga memiliki orang tua yang perokok maka akan lebih besar kesempatan anak-anak
tersebut mencontoh perilaku yang dilakukan orang tuanya yaitu merokok. Alasan lain bagi
orang untuk merokok adalah alasan medis. Memang tidak ada dokter yang menyarankan
orang untuk merokok, tetapi bagi beberapa penderita depresi merokok adalah obat bagi
mereka untuk mengurangi ketegangan. Nikotin melepaskan senyawa tertentu ke dalam sistem
saraf dan menciptakan efek tenang. Orang yang awalnya hanya iseng kemudian lamakelamaan menjadi ketagihan dan sulit untuk berhenti karena ada efek kecanduan/ adiktif. Hal
tersebutlah yang membuat mitos-mitos rokok dijadikan sebagai justifikasi. Bisa dibilang
bahwa merokok telah mendarah daging bagi sebagian masyarakat Indonesia, merka
beranggapan bahwa tidak akan dapat melakukan aktivitas apapun sebelum menghisap rokok
karena kurangnya konsentrasi walaupun .anggapan tersebut hanya asumsi dari para perokok
tapi memang itulah kenyataan yang sebenarnya terjadi selama ini.
Baik atau buruknya rokok semua tergantung dari penilaian masyarakat sendiri.
Masyarakatlah yang bisa memutuskan apakah rokok itu penting atau tidak karena itu
tergantung pada aktivitas kehidupan sehari-hari dalam aktivitas sosial amaupun ekonomi.
Walaupun pemerintah juga berperan, tetapi perannya hanya sebatas regulasi/ aturan yang
awalnya juga diadakan karena usulan dari masyarakat. Setidaknya, pemerintah dan
masyarakat harus saling bekerja sama dan bergerak agar peraturan yang dibuat oleh
pemerintah dapat berjalan dengan baik dan dampak negatif yang disebabkan oleh rokok
dapan dikurangi malah sebaliknya rokok dapat dijadikan sebagai barang produksi yang bisa
meningkatkan pendapatan nasional bagi negara. Kesadaran bagi semua pihak khususnya
perokok aktif dan industri rokok sendiri juga sangat penting yaitu dengan menjauhkan rokok
dari anak-anak, remaja, maupun ibu hamil, sedangkan industri rokok juga selain untuk
mendapatkan keuntungan juga harus menmpilkan apa yang sebenarnya terjadi pada rokok
bukan malah menciptakan penampilan seperti pada iklan, promosi, ataupun packaging rokok
yang membuat konsumen semakin tertarik dan penasaran.
Daftar Pustaka
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f349ad3f219a/pertarungan-konstitusionalitastembakau-di-balik-uu-kesehatan diakses pada tanggal 30 Oktober 2014.
http://www.tempo.co/read/news/2013/10/10/090520749/Perokok-Indonesia-TerbanyakseAsia-Tenggara- diakses pada tanggal 30 Oktober 2014.
http://nasional.sindonews.com/read/744854/15/61-4-juta-penduduk-indonesia-perokok-aktif
diakses pada tanggal 30 Oktober 2014.
http://swa.co.id/business-strategy/remaja-dilibatkan-menekan-jumlah-perokok diakses pada
tanggal 30 Oktober 2014.