INTERAKSI SOSIAL SISWA DIFABEL DALAM SEKOLAH INKLUSI DI SMA NEGERI 8 SURAKARTA. | Yudhanto | SOSIALITAS; Jurnal Ilmiah Pend. Sos Ant 8546 18017 1 SM

1

INTERAKSI SOSIAL SISWA DIFABEL DALAM SEKOLAH INKLUSI DI
SMA NEGERI 8 SURAKARTA
Rifki Yudhanto, Atik Catur Budiarti, Siany Indria L
Pendidikan Sosiologi Antropologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta

ABSTRACT
This research aimed to explain the factors affecting the social interaction
between diffable (students with different ability) and forms of social interactions. This
research was qualitative with phenomenological approach. This research employed
purposive & snowball sampling as the technique of collecting informant. The
informant selected consisted of 4 diffable students with different disability types, 4
non-diffable students, 1 special counselor, and 2 subject teacher. The primary data
was collected using interview and direct observation techniques. Secondary data was
collected using documentation technique. Data validation was carried out using
method and source triangulation. Data analysis was conducted by interpretation data
conveyed by informant. The result of research showed that the factor affecting the
social interaction between diffable and non-diffable students was the presence of
need that should be fulfilled in both academic and non-academic activity either inside

or outside classroom. The form of social interaction between diffable and nondiffable students could be seen in in-group face-to-face meeting and inter-individual
face-to-face meeting. In in-group face-to-face meeting, it could be seen that there was
a group discussion activity between diffable students and their groups’ members. In
inter-individual face-to-face meeting, it could be found the dispute in the form of nondiffable students’ behavior pattern and dissenting opinion with teacher. Then, there
was contravention in the form of diffable students’ refusal because they were
disturbed with the rumor developing among their classmates about the diffable
students’ attitude. Charles Horton Cooley’s theory viewed diffable students as feeling
proud of their action, treated themselves as same as non-diffable ones, because they
received positive response from non-diffable students’ attitude thereby cooperation
was established. Meanwhile, self-concept theory viewed diffable students as
disappointed with their action treating themselves as same as the non-diffable ones,
because they received negative response from non-diffable students’ attitude so that
dispute and contravention were created.
Keywords: social interaction, diffable students, self-concept, inclusive school.

2

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan faktor yang mempengaruhi
interaksi sosial siswa difabel dengan siswa non-difabel dan bentuk interaksi sosial

mereka. Penelitian ini berjenis kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Penelitian
ini menggunakan teknik pemilihan informan berupa purposive & snowball sampling.
Informan yang dipilih adalah 4 siswa difabel dengan jenis keterbatasan yang berbedabeda, 4 siswa non-difabel, 1 guru pembimbing khusus, dan 2 guru mata pelajaran.
Data primer dikumpulkan melalui teknik wawancara, dan observasi langsung. Data
sekunder dikumpulkan melalui teknik dokumentasi. Uji validitas data menggunakan
triangulasi metode dan triangulasi sumber. Analisis data melalui interpretasi data
yang disampaikan oleh informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang
mempengaruhi interaksi sosial antara siswa difabel dengan siswa non-difabel adalah
karena adanya kebutuhan yang harus dipenuhi dalam kegiatan akademis maupun nonakademis baik itu di kelas maupun di luar kelas. Bentuk interaksi sosial siswa difabel
dengan siswa non-difabel terlihat pada tatap muka secara berkelompok dan tatap
muka antar individu. Dalam tatap muka secara berkelompok terlihat adanya kegiatan
diskusi kelompok antara siswa difabel dengan anggota kelompoknya. Dalam tatap
muka antar individu terlihat adanya pertentangan berupa pola perilaku siswa nondifabel dan perbedaan pendapat dengan guru. Kemudian adanya kontravensi yang
berupa tindakan penolakan siswa difabel yang disebabkan menerima gangguan dari
pembicaraan yang di dengar dari teman sekelasnya mengenai sikap siswa difabel.
Teori konsep diri Charles Horton Cooley melihat siswa difabel yang merasa bangga
terhadap tindakannya memperlakukan dirinya sama dengan siswa non-difabel, karena
menerima tanggapan positif dari sikap siswa non-difabel sehingga terwujud
kerjasama. Sedangkan teori konsep diri ini melihat siswa difabel yang merasa kecewa
terhadap tindakannya memperlakukan dirinya sama dengan siswa non-difabel, karena

menerima tanggapan negatif dari sikap siswa non-difabel sehingga terwujud
pertentangan dan kontravensi.
Kata Kunci : interaksi sosial, siswa difabel, konsep diri, sekolah inklusi
PENDAHULUAN

program tersebut adalah pendidikan

Latar Belakang Masalah

inklusi sebagai tindakan nyata dalam

Di Indonesia pemerintah sedang
berupaya

meningkatkan

mengatasi

masalah


pemerataan

mutu

pendidikan dan meningkatkan mutu

pendidikan yang diwujudkan dalam

pendidikan bagi peserta didik difabel

pembuatan program–program baru, salah

yang mendapatkan kesempatan untuk

satunya

pendidikan

berkebutuhan


khusus.

bagi

anak

mengembangkan potensi mereka yang

Salah

satu

unik di sekolah reluger yang berada satu

3

kelas dengan peserta didik normal

khusus yang


lainnya.

dalam dunia pendidikan di sekolah

Dalam Layanaan Disabilitas UGM

reguler

memberikan warna lain

dengan

mengikuti

berbagai

yang dikutip oleh Satrio, pada tahun

kegiatan. Menurut Dwi Prasetia (2004:


2015

5

45) faktor yang mempengaruhi belajar

mengemukakan bahwa selama ini anak

ialah kondisi sosial yang memiliki

berkebutuhan khusus yang mengikuti

kemampuan dalam bersosialisasi dengan

pendidikan di Sekolah Luar Biasa

lingkungannya dan kondisi psikis yang

(SLB), secara tidak disadari sistem


memiliki kemampuan intelektual dan

pendidikan

membangun

mengontrol emosional. Dengan kondisi

tembok eksklusifisme bagi anak-anak

sosial dan psikis yang mampu diterapkan

yang berkebutuhan khusus yang teelah

dalam diri siswa difabel, maka siswa

menghambat proses saling mengenal

difabel


antara anak-anak difabel dengan anak-

dengan

anak

mengembangkan

halaman

3

SLB

paragraf

telah

non-difabel.


Akibatnya

dalam

mampu

menyesuaikan

lingkungannya

diri
dan

kepribadiannya.

interaksi sosial di masyarakat kelompok

Kondisi lingkungan sekolah berpengaruh

difabel


besar

menjadi

teralienasi

dari

komunitas
dinamika

yang

sosial

di

terhadap

kepribadian

perkembangan

siswa

difabel

dalam

masyarakat. Masyarakat menjadi tidak

berinteraksi.Seperti yang diungkapkan

akrab

Umar

dengan

kehidupan

kelompok

Tirtarahardja

&

La

Sulo

difabel. Sementara kelompok difabel

(2005:132) bahwa Sekolah merupakan

sendiri merasa keberadaannya bukan

lembaga yang paling besar pengaruhnya

menjadi

terhadap

masyarakat

bagian

dari

kehidupan

di

sekitarnya.

Tembok

eksklusifisme dalam SLB ini membuat
anak-anak
cenderung

berkebutuhan
memisahkan

khusus
diri

dari

masyarakat.

kepribadian

anak.
Diperlukan
Pembimbing
memilliki

seorang
Khusus

pengetahuan

Guru

(GPK)

yang

yang

lebih

spesifik tentang pendidikan luar biasa

Hal ini menarik untuk diperhatikan
perkembangan

perkembangan

anak

berkebutuhan

bagi anak berkebutuhan khusus untuk
diterjemahkan oleh GPK kepada guru

4

mata pelajaran yang mengampu siswa

terlihat pada halaman 10 paragraf 2 dari

difabel. Dalam penelitian Marfuah Tri

Jurnal

Ramadhani

“Mewujudkan

(2015)

mengungkapkan

Ilmu

Kesejahteraan
Kehidupan

Sosial

Inklusif

:

bahwa sekolah inklusi melibatkan guru

Tinjauan Atas Praktik Sekolah Inklusi

PLB

Tingkat Menengah Di Kota Yogyakarta”

sebagai

pendukung
inklusi

yang di hasilkan oleh Pradhikna Yunik

yang melahirkan satu profesi baru yang

Nurrhayati, pada tahun 2012 yang

dikenal

menjelaskan bahwa :

terselenggaranya

Guru

pendidikan

Pembimbing

Khusus

(GPK).
Siswa difabel memiliki sikap dan
perilaku yang cenderung kurang percaya
diri, mudah tersinggung dan emosional
serta menutup diri dengan orang-orang
baru yang ia kenali. Hal tersebut
membuat siswa difabel terutama saat di
tahun pertamanya di sekolah reguler
menemui kesulitan untuk menyesuaikan
diri dan bergaul dengan individu lainnya.
Dalam hasil penelitian yang dilakukan
oleh

Joko

Teguh

Prasetyo

(2010)

menjelaskan bahwa saat pertama kali
masuk di sekolah, siswa difabel sangat
tidak

percaya

diri,

sulit

untuk

berinteraksi sosial dan bersosialisasi
bersama

teman-temannya,

serta

mempunyai nilai pelajaran yang rendah.
Hal ini membuat keberadaan siswa
difabel di kelas inklusi kurang dianggap
dan dihargai serta tersisih dari pergaulan
oleh siswa non-difabel. Hal tersebut

“….Siswa difabel cenderung kurang
merasa diterima oleh siswa nondifabel karena kondisinya tersebut.
Hal ini membuat siswa difabel
cenderung tertutup dan menjaga
jarak dari pergaulan. Pernah terjadi
suatu kasus dimana salah satu
difabel mengamuk di kelas karena
merasa diabaikan oleh teman-teman
sekelasnya. Dan pernah juga suatu
ketika salah satu siswa difabel di
satu sekolah inklusi mengamuk
karena merasa digunjingkan oleh
teman-temannya yang non-difabel
dan merasa tidak dilibatkan dalam
pembicaraan. Padahal itu terjadi
semata-mata karena keterbatasan
dalam berkomunikasi. Siswa nondifabel
pun
menjadi
takut
berinteraksi dengan siswa difabel
karena siswa difabel dianggap
emosional
dan
mudah
tersinggung….”
Dari keadaan tersebut, keberadaan
siswa difabel dalam sebuah kelas inklusi
kurang dianggap oleh siswa non-difabel.
Keterbatasan dalam berinteraksi menjadi
kendala mereka dalam berkomunikasi
dan berbaur satu sama lain antara siswa
difabel dan siswa non-difabel. Padahal

5

dengan keberadaan mereka dalam satu

kelas X terdapat 6 siswa difabel yang

tempat pendidikan secara bersama, bila

meliputi jenis kebutuhan tunanetra dan

dapat terjalin interaksi sosial yang

tunadaksa, di kelas XI terdapat 2 siswa

komunikatif dan saling mempengaruhi

difabel yang meliputi jenis kebutuhan

secara positif, permasalahan interaksi

tunanetra dan tunadaksa, sedangkan di

tersebut dapat diminimalisir. Disamping

kelas XII terdapat 3 siswa difabel yang

hal

meliputi jenis kebutuhan tunanetra.

itu,

siswa

difabel

akan

lebih

mengenal beragam karakter siswa, dan

SMA Negeri 8 Surakarta dijadikan

siswa non-difabel akan bersikap dewasa

sebagai obyek dalam penelitian ini

dengan

dengan

dengan pertimbangan berdasarkan hasil

keterbatsan yang dimiliki siswa difabel

pra penelitian bahwa dalam sebuah kelas

sehingga

kegiatan

inklusi di sekolahan tersebut yang

pembelajaran secara bersama-sama di

mayoritas dominan siswa non-difabel

kelas inklusi. Dengan hal itu, pentingnya

dan hanya terdapat 1 siswa difabel dalam

interaksi sosial untuk diterapkan oleh

satu

setiap siswa. Seperti yang diungkapkan

berlangsung guru lebih mengutamakan

Kamanto Sukanto (2004: 36) bahwa

berinteraksi dengan siswa non-difabel

interaksi sosial menjadi kunci dari

dibanding dengan siswa difabel. Siswa

semua kehidupan sosial, karena tanpa

difabel juga ada yang hanya duduk

interaksi

sendiri dan berada di posisi duduk paling

belajar

bertoleransi

dapat

menjalani

sosial

tak

mungkin

ada

kehidupan bersama.

kelas.

Saat

pembelajaran

depan atau paling belakang, sehingga

Salah satu sekolah reguler yang

jarang

berinteraksi

dengan

teman

menyelenggarakan pendidikan inklusi di

sekelasnya.

Kota Surakarta diantaranya SMA Negeri

siswa non-difabel yang bersikap kurang

8 Surakarta sejak tahun 2009. Sekolah

ramah dan meremehkan keberadaan

tersebut

siswa difabel.

telah

mengikuti

sosialisasi

sebelum ditetapkan sebagai sekolah

Terdapat

Berdasarkan

juga

fenomena

beberapa

tersebut,

penyelenggara pendidikan inklusif. SMA

peneliti merasa tertarik untuk meneliti

Negeri 8 Surakarta pada tahun ajaran

tentang Interaksi Sosial Siswa Difabel

2105/2016 terdapat 11 siswa difabel. Di

Dalam

Sekolah

Inklusi

Di

SMA

6

(1846–1929) dalam Geroge

Negeri 8 Surakarta. Peneliti ingin

Cooley

mengetahui faktor yang mempengaruhi

Ritzer (2003: 197), yang memusatkan

interaksi sosial siswa difabel dengan

perhatiannya

siswa non-difabel, dan bentuk interaksi

individu dan kelompok, bahwa individu-

sosial siswa difabel dengan siswa non-

individu tersebut berinteraksi dengan

difabel.

menggunakan simbol-simbol, yang di

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menjelaskan

dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan

faktor yang mempengaruhi interaksi
sosial siswa difabel dengan siswa nondifabel, dan bentuk interaksi sosial siswa
difabel dengan siswa non-difabel.

sosial

individu

dibutuhkan oleh
dalam

kebutuhan

sosial

hubungan

dengan

dengan

memenuhi
menjalin

individu

dan

kelompok yang terdapat di masyarakat
yang dilakukan secara sadar dengan
adanya suatu kepentingan yang harus
dipenuhi

oleh

individu.

Dengan

interaksi, diri dan karakteristik individu
akan berkembang dengan baik sesuai
dengan lingkungan yang temui individu.
Interaksi sosial menjadi kunci dari
semua kehidupan sosial, karena tanpa
interaksi

sosial

antara

Dalam mewujudkan interaksi antar
individu atau kelompok membutuhkan
beberapa syarat. Menurut Max Weber
39)

mengemukakan

secara

teoritis ada 2 syarat terjadinya suatu

1. Interaksi Sosial Menurut Cooley

setiap

interaksi

kata-kata.

(2006:

Kajian Pustaka

Interaksi

pada

tak

mungkin

ada

kehidupan bersama (Kamanto Sukanto,
36: 2004). Menurut Charles Horton

interaksi sosial yaitu terjadinya kontak
sosial

dan

komunikasi.

Kamanto

Sunarto

Menurut
(2004:36),

mengemukakan berlangsungnya suatu
proses interaksi di dasarkan pada faktorfaktor yang mempengaruhinya, yaitu
imitasi, sugesti, identifikasi, & simpati.
Dari

faktor-faktor

yang

mempengaruhi terjadinya interaksi sosial
yang dilakukan antar individu atau
kelompok

tersebut,

bentuk-bentuk

interaksi

menghasilkan
sosial

yang

beragam. Menurut Gillin dan Gillin
dalam

Kamanto

Sunarto

(2004:97),

mengemukakan ada dua macam proses
sosial yang timbul sebagai akibat adanya
Interaksi sosial, yaitu (1) proses sosial

7

asosiatif

yang

pada

terbentuknya

potensi

mereka,

sehingga

harus

integrasi sosial dan kerjasama. Proses

mempunyai akses terhadap pendidikan

sosial asosiatif juga terbagi menjadi 3,

yang bermutu tinggi dan tepat.

yaitu

kerja

sama,

akomodasi,

&

asimilasi. (2) proses sosial disosiatif

Dalam penempatan peserta didik
difabel

di

sekolah

inklusi

dapat

oppositional

dilakukan dengan berbagai model kelas

proccesses, dapat diartikan sebagai cara

(Agustyawati dan Solicha, 2009: 100)

berjuang

atau

yaitu (1) Kelas reguler (inklusif penuh)

sekelompok manusia untuk mencapai

(2) Kelas reguler dengan cluster (3)

tujuan tertentu. Proses sosial disosiatif

Kelas reguler dengan pull out (4) Kelas

juga terbagi menjadi 3, yaitu persaingan,

reguler dengan cluster dan pull out (5)

kontravensi, pertentangan, & konflik.

Kelas

2. Penyelenggaraan

pengintegrasian (6) Kelas khusus penuh

sering

disebut

sebagai

melawan

seseorang

Pendidikan

khusus

dengan

Inklusi Di Indonesia

di sekolah regular.

Pada penjelasan pasal 15 tentang

3. Klasifikasi Difabel

pendidikan khusus disebutkan bahwa

berbagai

Salah subjektif dalam sekolah inklusi

merupakan

yang menjadi perhatian khusus ialah

pendidikan untuk peserta didik yang

siswa difabel. Pengertian difabel telah

berkelainan atau peserta didik yang

ditetapkan dalam Undang-undang yang

memiliki kecerdasan luar biasa yang

berlaku. Menurut Undang-Undang No 4

diselenggarakan secara inklusif atau

tahun 1997 tentang Penyandang Cacat,

berupa satuan pendidikan khusus pada

difabel

tingkat pendidikan dasar dan menengah.

mempunyai

Menurut Baihaqi dan M. Sugiarmin

mental, yang dapat mengganggu atau

(2006: 75-76) menambahkan bahwa

merupakan rintangan dan hambatan

hakikat inklusif adalah mengenai hak

baginya

setiap

perkembangan

secara selayaknya, yang terdiri dari (a)

individu, sosial, dan intelektual. Para

penyandang cacat fisik, (b) penyandang

anak berkebutuhan khusus harus diberi

cacat mental, dan (c) penyandang cacat

kesempatan yang sama untuk mencapai

fisik dan mental.

pendidikan

siswa

khusus

atas

adalah

setiap

kelainan

untuk

orang
fisik

melakukan

yang

dan/atau

aktivitas

8

Klasifikasi difabel yang menjadi

sehingga antara individu dan masyarakat

subyek di sekolah inklusi di SMA

tidak dapat dipisahkan, dan antara

Negeri 8 Surakarta ialah siswa tunanetra

individu

dan siswa tunadaksa. Menurut Wardani

ketergantungan secara organis. Proposisi

(2008:45) anak tunanetra merupakan

ini didasarkan pada asumsi bahwa

anak

keterbatasan

manusia lahir dengan perasaan diri (self-

penglihatan secara keseluruhan (the

feeling) yang tidak jelas dan belum

blind) atau secara sebagian (low vision)

terbentuk. Charles Horton Cooley dalam

yang menghambat dalam memperoleh

George

informasi secara visual sehingga dapat

mendefisnisikan

mempengaruhi proses pembelajaran dan

menjadi

prestasi belajar. Sedangkan Menurut

membayangkan

Mohammad

orang lain berupa penampilan, fisik,

yang

mengalami

Effendi

mengungkapkan

(2006:45)

tundaksa

adalah

dengan

masyarakat

Ritzer

sikap,

(2008:

295)

yang

teori

konsep

diri

3

dan

saling

tahap,

individu

dirinya

dilihat

sebagainya.

oleh

Kemudian

individu yang memiliki gangguan gerak

individu membayangkan penilaian orang

yang disebabkan oleh kelainan neuro-

lain mengenai dirinya, sehingga individu

muskular dan struktur tulang yang

melihat

bersifat

interaksi

bawaan,

sakit

atau

akibat

dirinya

yang

dengan

orang

muncul

dari

lain.

Dari

kecelakaan, termasuk amputasi, polio

penilaian orang lain tersebut, individu

dan

akan merasa bangga

lumpuh

sehingga

menghambat

atau kecewa.

kegiatan individu dalam aktivitas yang

Cooley dalam Bernard (2007: 114) juga

normal.

berpendapat bahwa konsep diri individu

4. Prespektif Konsep Diri Charles

secara signifikan ditentukan oleh apa
yang ia pikirkan tentang pikiran orang

Horton Cooley
Dalam

terkenal

lain mengenai dirinya, jadi menekankan

Human Nature and the Social Order,

pentingnya respon orang lain yang

Charles Horton Cooley dalam Riyadi

ditafsirkan

Soeprapto (2002: 142) mengemukakan

sumber primer data mengenai diri.

bahwa

karyanya

individu

yang

dengan

masyarakat

terjalin suatu hubungan timbal balik

secara

subjektif sebagai

Dari pembahasan tersebut, dapat
disimpulkan

bahwa

Sebelum

siswa

9

difabel akan berinteraksi dan bertindak

setiap siswa difabel sesuai dengan

sesuatu dengan individu yang dituju,

konsep diri yang dibentuk oleh siswa

siswa

membangun

difabel terhadap respon yang diterima

pemahaman terlebih dahulu mengenai

dari individu di dekatnya atau di

sikap

lingkungan sekolahnya.

difabel

dan

disekitarnya

akan

kepribadian
tersebut.

membayangkan

dirinya

individu

Siswa

difabel

dilihat

oleh

METODE PENELITIAN
Penelitian

individu lain berupa penampilan, fisik,
sikap, dan sebagainya. Kemudian siswa
difabel membayangkan penilaian dari
individu

mengenai dirinya, sehingga

siswa difabel melihat dirinya yang
muncul dari interaksi dengan orang lain.
Apabila individu tersebut menilai atau
merespon diri siswa difabel kurang
sesuai dengan pemahaman atau tafsiran
yang dibangun oleh siswa difabel, maka
siswa difabel akan merasa kesewa
sehingga
tindakan

cenderung
interaksi

mengurangi

dengan

individu

tersebut. Sebaliknya, apabila individu
tersebut menilai atau merespon diri
siswa difabel sesuai dengan pemahaman
atau tafsiran yang dibangun oleh siswa
difabel, maka siswa difabel akan merasa
bangga

sehingga

cenderung

lebih

nyaman dan beragam dalam tindakan
interaksi dengan individu tersebut. Dari
hal tersebut, akan terwujud suatu bentuk
interaksi sosial yang berbeda-beda dari

ini

menggunakan

pendekatan deskriptif kualitatif dengan
jenis fenomenologi. Teknik pemilihan
informan melalui purposive sampling.
Informan yang dipilih adalah 4 siswa
difabel dengan jenis keterbatasan yang
berbeda-beda, 4 siswa non-difabel, 1
guru pembimbing khusus, dan 2 guru
mata pelajaran. Jenis data menggunakan
data primer dan sekunder. Data primer
diperoleh

dari

hasil

wawancara

mendalam dan observasi. wawancara
dilakukan pada beberapa informan yaitu
4

siswa

difabel

dengan

jenis

keterbatasan yang berbeda-beda seperti
tunanetra low vision, tunanetra total
blind,

dan

tunadaksa.

mewawancarai

informan

Lalu

juga

pendukung

seperti 4 siswa non-difabel yang berada
satu kelas dengan siswa difabel, 1 guru
pembimbing khusus, dan 2 guru mata
pelajaran.

Data

sekunder

diperoleh

melalui dokumentasi mengenai profil
sekolah, foto-foto kegiatan siswa difabel

10

dalam

proses

sebelum

dan

pembelajaran,
mengisis

ketika

harian, tugas di buku LKS, dan

kegiatan

materi yang belum dimengerti dari

difabel

penjelasan guru ketika pembelajaran.

pembelajaran,
sesudah
ketika

waktu

siswa

istirahatnya,

dan

Kemudian

siswa

non-difabel

kegiatan lainnya di lingkungan sekolah.

membantu kesulitan yang dialami

Lalu data-data mengenai jumlah serta

siswa difabel dengan mendiktekan

jenis siswa difabel yang ada SMA

kembali penjelasan materi pelajaran

Negeri 8 Surakarta, dan dokumen SK

dari

resmi dari Disdikpora Kota Surakarta

tertinggal menulis dengan tulisan

mengenai

braile dan ketika kegiatan presentasi

program

penyelenggaraan

guru

ketika

pendidikan inklusi di SMA Negeri 8

siswa difabel

Surkarta hingga prestasi-prestasi yang

siswa

pernah
dibidang

diraih

difabel

tundakasa dibantu

non-difabel

dengan

difabel

baik

dipindahkan ke depan kelas agar

maupun

non-

tetap

siswa

akademik

siswa

akademik. Analisis data menggunakan
interpretatif

dapat

presentasi.

mengikuti

kegiatan

Kemudian

ketika

dengan

pembelajaran siswa difabel bersikap

menafsirkan kata-kata yang disampaikan

aktif karena menerima motivasi dari

oleh informan.

gurunya, dan mengikuti sikap aktif

analisis

yakni

teman-teman sekelompoknya, serta
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan
hasil

mematuhi aturan yang diberlakukan
wawancara

terhadap informan menunjukkan bahwa :
1. Faktor yang mempengaruhi siswa
difabel dalam interkasi sosial dengan
siswa difabel terlihat dalam kegiatan
akademis dan non-akademis. Dalam
kegiatan akademis siswa difabel
mempunyai kepentingan yang harus
diketahui
siswa

dengan

bertanya

non-difabel

pada

mengenai

pekerjaan rumah, materi ulangan

guru untuk bersikap aktif agar
mendapatkan nilai tambah dari guru.
Kemudian

dalam

kegiatan

non-

akademis, dengan keterbatasan yang
dimiliki siswa difabel, siswa nondifabel selalu membantu dengan
menemani dan mengantarkan siswa
difabel

menuju

fasilitas-fasilitas

yang ada di sekolah seperti kantin,
masjid, kamar mandi, perpustakaan,

11

dan juga kantor guru di diluar jam

terdapat kontravensi yang berupa

pelajaran.

adanya sikap penolakan dari siswa

2. Bentuk-bentuk interaksi sosial siswa

difabel sendiri apabila ada siswa

difabel dengan siswa non-difabel

non-difabel

terlihat pada tatap muka secara

sebangku

berkelompok dan tatap muka antar

Tindakan penolakan siswa difabel

individu. Dalam tatap muka secara

tersebut karena menerima gangguan

berkelompok seperti kegiatan diskusi

dari pembicaraan yang didengar dari

kelompok

teman

dengan

antara
anggota

siswa

difabel

kelompoknya,

yang

akan

duduk

dengan

siswa

difabel.

sekelas

perempuannya

mengenai sikap siswa difabel.

terlihat adanya kerjasama dengan
semua anggota kelompok dengan
adanya pembagian tugas kelompok,
dan bersikap menghargai siapapun
yang menyumbangkan pemikirannya
hingga

mempertimbangkan

lagi

bersama semua anggota kelompok
dalam menjawab tugas kelompok.
Kemudian dalam tatap muka antar
individu terdapat pertentangan yang
berupa pola perilaku teman sekelas
siswa difabel yang meremehkan dan
kurang mempedulikan siswa difabel
ketika menjawab pertanyaan dari
siswa non-dfiabel saat sesi tanya
jawab antar kelompok. Lalu terdapat
perbedaan pendapat siswa difabel
dengan guru mata pelajaraan dan
guru pembimbing khususnya. Dalam
tatap muka antar individu lainnya

PEMBAHASAN
Konstruksi Konsep Diri Siswa Difabel
Melalui Interaksi Sosial Di Sekolah
Perilaku

interaksi

sosial

siswa

difabel dengan siswa non-difabel ini
dapat dipahami melalui teori konsep diri
Charles

Horton

Cooley.

Prespektif

konsep diri Charles Horton Cooley
dalam George Ritzer (2008:295) yang
mendefisnisikan 3 tahap yaitu individu
membayangkan

dirinya

dilihat

oleh

orang lain berupa penampilan, fisik,
sikap,

dan

sebagainya.

Kemudian

individu membayangkan penilaian orang
lain mengenai dirinya, sehingga individu
melihat
interaksi

dirinya
dengan

yang
orang

muncul

dari

lain.

Dari

penilaian orang lain tersebut, individu
akan merasa bangga
Cooley

dalam

atau kecewa.

Bernard

(2007:114)

12

mengungkapkan konsep diri individu

cukup baik. WS memiliki kepribadian

secara signifikan ditentukan oleh apa

yang baik, pintar, dan memiliki banyak

yang ia pikirkan tentang pikiran orang

prestasi dalam lomba kejuaraan nasional

lain mengenai dirinya. Dalam hal ini

maupun internasional.

lebih menekankan pentingnya respon
orang lain

Dalam

kegiatan

diskusi

dan

yang ditafsirkan secara

presentasi kelompok, WS melihat teman

subjektif sebagai sumber primer data

anggota kelompoknya bersikap aktif dan

mengenai diri. Charles Horton Cooley

memberikan

dalam

tugas

Bernard

menambahkan

(2007:114)

menjawab

WS

terdorong

kelompok,

mengikuti sikap aktif teman-temannya

seseorang berkembang melalui interaksi

dalam diskusi dan presentasi kelompok.

dengan orang lain karena diri seseorang

Dengan

memantulkan

diharapkan

apa

konsep

untuk

diri

sebagai

bahwa

juga

opini

yang

tanggapan

dirasakan

WS

ikut

bersikap

dapat

aktif,

membantu

masyarakat

menyelesaikan tugas kelompok, dan

terhadapnya sehingga diri seseorang ini

opini atau pendapatnya dapat diterima

merupakan sebuah produk sosial, yaitu

oleh anggota kelompoknya, sehingga

sebuah produk dari interaksi sosial.

terjalin

Dari hasil penelitian interaksi sosial

nteraksi

yang

komunikatif

dengan saling bertukar pikiran antara

siswa difabel dengan siswa non-difabel

WS

menghasilkan kontruksi konsep diri

Sebelum WS memberikan kontribusinya

siswa

dalam

difabel

yang

berbeda-beda

dengan

sesi

anggota

diskusi

dan

kelompok,

sikap siswa non-difabel. Untuk lebih

pemahaman terlebih dahulu mengenai

jelasnya,

sikap

menguraikan

dan

sekelompoknya

penelitian dan dihubungkan dengan teori

dirinya

konsep diri sebagai berikut :

memberikan

diri

WS

siswa

difabel

tunanetra total blind kelas XII IPS 5
memiliki kepribadian dan motivasi yang

membangun

kepribadian

pembahasan sesuai dengan masalah

Konsep

mulai

presentasi

terhadap penilain atau tanggapan dari

peneliti

WS

kelompoknya.

yang

dapat

ikut

opini

teman

mengharapkan
serta

untuk

aktif

menjawab

tugas kelompok.
Berkaitan dengan teori konsep diri
tersebut,

WS

membangun

konsep

13

dirinya sesuai dengan harapan teman

bersikap aktif karena guru juga menilai

kelompoknya agar berperan aktif dalam

setiap siswa dari keaktifannya apabila

diskusi dan presentasi kelompok. Ketika

mau mendapatkan nilai tambah dari

WS menerapkan konsep dirinya dengan

guru.

ikut aktif dengan memberikan opini

Dari konstruksi konsep diri WS yang

teman

memperlakukan dirinya sama dengan

kelompoknya menilai sikap aktifnya

siswa lainnya dengan bersikap aktif dala

cukup membantu menyelesaikan tugas

diskusi

kelompok karena jawabannya banyak

ternyata menerima penilaian yang sesuai

diterima oleh teman kelompoknya. Dari

dari

penilaian teman kelompoknya tersebut,

sehingga menghasilkan bentuk interaksi

WS merasa dihargai karena teman-

kerja sama. Dalam hal ini kerjasama

temannya mau menerima opininya tanpa

antara WS dengan temannya siswa non-

dibanding-bandingkan dengan anggota

difabel memiliki kepentingan bersama

kelompok lainnya sesuai dengan apa

untuk menyelesaikan tugas kelompok

yang diharapkan. WS juga menjadi lebih

dengan baik.

dalam

diskusi

kelompok,

dan

presentasi

teman

kelompok,

kelompoknya

tersebut,

mengerti materi yang sedang dibahas.
Kemudian interaksi sosial WS juga

Kemudian

AD

siswa

difabel

yang

tunanetra low vison kelas X IPS 5. AD

mengatur. Mengenai hal ini, guru selalu

memiliki sikap yang baik, tidak mudah

menggunakan aturan pada setiap siswa

menyerah, dan cukup terbuka yang

yang bersikap aktif dalam pembelajaran,

mudah berteman dengan siswi non-

yang nantinya akan mendapatkan nilai

difabel

tambah. Dengan hal tersebut, diharapkan

tindakan interaksinya AD dipengaruhi

menarik

oleh faktor sugesti dari individu di

dipengaruhi

bersikap

adanya

minat

norma

setiap

aktif

siswa

dalam

untuk

kegiatan

teman

sekelasnya.

Dalam

lingkungannya.

pembelajaran. Aturan yang diberlakukan

Dalam hal ini AD sering menerima

guru, ternyata menarik sikap aktif WS

sugesti berupa dukungan, motivasi, dan

dalam kegiatan pembelajaran. Seperti

saran dari

yang

menerima dan menjalankan motivasi dan

diungkapkan

WS

bahwa

ia

guru-gurunya. AD mau

14

saran yang diterima dari gurunya karena

difabel laki-laki yang bertanya pada AD,

guru

yang

bersikap

berwibawa dan dihormati oleh siswa.

bedakan,

Teman sekelas AD yaitu DW siswi non-

jawaban yang dijelaskan oleh AD. Dari

difabel

penilaian

merupakan

juga

individu

sering

memberikan

meremehkan,
&

kurang

atau

membedamempedulikan

tanggapan

yang

motivasi, perhatian, dan membantu AD

diterimanya, AD merasa tidak percaya

menyesuiakan diri ketika diskusi dan

diri dalam kegiatan presentasi dan tanya

presentasi kelompok. Dari motivasi dan

jawab antar kelompok. Sehingga AD

dukungan yang diberikan guru dan

mengurangi tindakan interaksinya dalam

teman dekatnya, diharapkan AD dapat

kegiatan pembelajaran dan terwujud

bersikap percaya diri dalam menjelaskan

bentuk interaksi pertentangan. Dalam hal

hasil diskusi dalam presentasi dan tanya

ini, bentuk interaksi pertentangan antara

jawab antar kelompok. Sebelum AD

AD dengan siswa non-difabel berupa

melakukan

pola perilaku. Pola perilaku siswa non-

tindakan

tersebut,

AD

membangun konsep diri dengan bersikap

difabel

percaya

kegiatan

meremehkan, membeda-bedakan, dan

pembelajaran sesuai dengan harapan

kurang mempedulikan sikap AD yang

guru dan teman dekatnya.

mencoba menjawab pertanyaan dari

diri

Ketika

dalam

AD

menerapkan

konsep

tersebut

diantaranya

sikap

siswa non-difabel.

dirinya dengan bersikap percaya diri
dalam kegiatan presentasi dan tanya
jawab

antar

kelompok,

AD

Kemudian

WW

siswi

difabel

tunanetra total blind kelas XI PS 6. WW

mengharapkan tindakanya sesuai dengan

memiliki

harapan guru dan temannya yang selama

tertutup dengan individu disekitarnya,

ini memotivasinya. Tetapi ketika AD

sulit

bersikap percaya diri dengan mencoba

kelompok, dan kurang bisa berbaur

menjawab pertanyaan dari kelompok

dengan teman-teman sekelasnya yaitu

lain, ternyata menerima penilaian yang

siswa non-difabel. WW sendiri dari

tidak

penafsirannya.

kelas X sampai kelas sekarang kelas XI

Anggota kelompok lain yaitu siswa non-

hanya duduk sendiri di depan meja guru.

sesuai

dengan

kepribadian

bekerjasama

yang

dalam

cukup

diskusi

15

WW tidak memiliki teman sebangku

tahu bagaimana menanggapi sikap WW.

teman

Hal ini diketahui oleh WW dari Wali

yang tidak mau duduk

kelasnya yang menyarankan dirinya

sebangku dengannya. Melainkan WW

merubah sikapnya lebih membuka diri

menolak apabila ada teman sebangku

dengan lebih banyak berbicara dengan

yang mau duduk dengannya walaupun

teman sekelasnya.

bukan

karena

sekelasnya

tidak

ada

Dari sikap dan saran teman sekelas

itu inisiatif dari perintah guru pada
teman perempuan sekelas WW untuk

dan

wali

kelasnya,

duduk sebangku dengannya agar WW

membangun

terbantu dan cepat menyesuaikan diri

berinisiatif

dengan lingkungannya. Dengan sikap

makanannya di sekolah pada teman

WW tersebut, maka jarang sekali terjadi

sekelasnya

interaksi antara WW dengan teman

Dengan Harapan WW bisa mengenal

sekelasnya.

baik dan bisa banyak berbicara dengan

konsep

WW

dirinya dengan

memberikan

yaitu

mulai

siswa

bekal

non-difabel.

dirinya

teman sekelasnya sesuai dengan apa

bersikap tertutup, jarang berinteraksi

yang disarankan teman sekelas dan wali

dengan teman sekelasnya, dan kurang

kelasnya.

akrab serta kurang mengenal teman-

menawarkan bekal makanannya, teman

teman sekelasnya. Hal yang dialami

dibelakangnya

tidak

menjawab

WW tersebut, kemudian ada tindakan

tawarannya

malahan

berpindah

dari wali kelas yang berdiskusi dengan

menjauh dari tempat duduknya. Dari

semua siswa kelas XI IPS 6 ketika WW

penilaian atau tanggapan siswa non-

tidak masuk sekolah. Dari hasil diskusi

difabel terhadap sikap WW tersebut,

tersebut,

teman-temannya

WW merasa kecewa sehingga malas bila

memberi saran pada wali kelas untuk

mengajak berbicara teman sekelasnya.

menyampaikan

Dengan

Penilaian atau tanggapan siswa non-

harapan WW bersikap terbuka dengan

difabel yang bersikap menjauh karena

sering berbicara di kelas sehingga MI

belum terbiasa menanggapi sikap WW

dan teman sekelasnya lama-kelamaan

yang tak diduga sebelumnya yang

mengerti sikap asli WW, dan menjadi

bersikap inisiatif ingin lebih mengenal

WW

menyadari

MI

dan

pada

bahwa

WW.

Tetapi

dan

ketika

WW

16

teman kelasnya, mencerminkan sikap

difabel yang merasa bangga terhadap

WW yang terbiasa bersikap selalu

tindakannya

tertutup & jarang berbicara di kelas

dirinya sama dengan siswa non-difabel,

dalam

memperlakukan

Kemudian peneliti menanyakan lagi

karena menerima tanggapan positif dari

pada WW mengenai sikapnya yang

sikap siswa non-difabel. Dari perasaan

menutup diri dan merasa tidak cocok

bangga tersebut, terwujud kerjasama

dengan teman sekelasnya. Ternyata ada

antara siswa difabel dengan siswa non-

alasan lain mengapa WW bersikap pasif

difabel. Sedangkan siswa difabel yang

dan pendiam di kelas. WW menjelaskan

merasa kecewa terhadap tindakannya

bahwa ia merasa terganggu dengan sikap

dalam memperlakukan dirinya sama

teman

dengan

sekelasnya

terutama

teman

siswa

non-difabel,

karena

perempuan yang sering membicarakan

menerima tanggapan negatif dari sikap

dirinya dibelakangannya saat ia tiduran

siswa non-difabel. Dari perasaan kecewa

di atas mejanya.

tersebut, terwujud pertentangan dan

Dengan konstruksi konsep diri WW
yang

memperlakukan

dirinya

sama

kontravensi antara siswa difabel dengan
siswa non-difabel.

dengan siswa lainnya dengan bersikap
inisiatif menawarkan bekal makanannya
agar dapat mengenal & berbicara dengan

SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan pembahasan yang telah

menerima

dipaparkan, maka simpulannya ialah

penilaian atau tanggapan yang kurang

faktor yang mempengaruhi interaksi

sesuai dari sikap siswa non-difabel. Dan

sosial antara siswa difabel dengan siswa

sikap penolakan dan gangguan yang

non-difabel

dialami WW terhadap komentar yang

kebutuhan yang harus dipenuhi dalam

didengar

teman

kelasnya,

tetapi

kegiatan

terwujud

bentuk

akademis baik itu di kelas maupun di

Berdasarkan konstruksi konsep diri

maupun

adanya

sekelas

interaksi kontravensi.

akademis

karena

teman

dari

perempuannya,

adalah

non-

luar kelas. Dalam kegiatan akademis,
siswa

difabel

mampu

memberikan

siswa difabel melalui interaksi sosial di

pendapatnya dalam menjawab tugas

sekolah, dapat diketahui bahwa siswa

kelompok. Kemudian siswa non-difabel

17

membantu siswa difabel dalam kegiatan

difabel, bersikap lebih tanggap terhadap

pembelajaran

sekecil apapun keluhan dan kendala

berupa

mendiktekan
dan

yang dialami siswa difabel, & mengenali

memindahkan siswa difabel ke depan

secara keseluruhan karakteristik siswa

kelas

difabel dan siswa non-difabel. Bagi

kembali

penjelas

untuk

kelompok.

dari

guru

mengikuti
Dalam

presentasi

kegiatan

non-

siswa

difabel

hendaknya

bersikap

sesuai

dengan

akademis, siswa non-difabel membantu

membuka

siswa difabel mengakses fasilitas yang

kepribadiannya agar lebih dikenali oleh

tersedia di sekolah.

guru

Bentuk interaksi sosial siswa difabel

diri

maupun

siswa

non-difabel,

berprasangka baik pada guru maupun

dengan siswa non-difabel terlihat pada

siswa

tatap muka secara berkelompok dan

membantunya menyesuaikan diri di

tatap muka antar individu. Dalam tatap

lingkungan sekolah, & meningkatkan

muka

sikap

secara

berkelompok

terlihat

non-difabel

yang

keaktifannya

dalam

kegiatan

adanya kegiatan diskusi kelompok antara

pembelajaran

siswa

presentasi kelompok bersama siswa non-

difabel

dengan

anggota

ketika

hendak

difabel.

individu terlihat adanya pertentangan

sebaiknya selalu bersikap ramah pada

berupa pola perilaku siswa non-difabel

setiap siswa difabel, & tidak membeda-

dan perbedaan pendapat dengan guru.

bedakan temannya baik siswa difabel

Kemudian adanya kontravensi yang

maupun siswa non-difabel. Bagi sekolah

berupa tindakan penolakan siswa difabel

hendaknya

hendaknya

yang disebabkan menerima gangguan

pengontrolan

dan

dari pembicaraan yang di dengar dari

perilaku siswa non-difabel yang kurang

teman sekelasnya mengenai sikap siswa

ramah dengan keberadaan siswa difabel,

difabel.

memberikan apresiasi bagi siswa difabel

peneliti

menyarankan

pada

guru

yang

berprestasi

nasional

maupun

siswa

dan

kelompoknya. Dalam tatap muka antar

Berdasarkan temuan penelitian maka

Bagi

diskusi

non-difabel

evaluasi

meraih

melakukan
terhadap

kejuaraan

internasional,

&

diharapkan bersikap tidak membeda-

mensosisalisasikan program pendidikan

bedakan

inklusi pada siswa-siswa dan orang tua

setiap

kemampuan

siswa

18

siswa yang baru masuk di tahun ajaran

Luar Biasa. Jakarta : Universitas

pertama.

Terbuka.
Mohammad Efendi. (2006). Pengantar
Psikopedagogik

DAFTAR PUSTAKA
Baihaqi

dan

M.

Sugiarmin.

Berkelainan. Jakarta: PT Bumi

2006.

Memahami dan Membantu Anak
ADHD.

Bandung:

Refika

Aksara.
Murdiyatmoko

Aditama.

Janu

Bernard, Raho. 2007. Teori Sosiologi
Jakarta:

Learning

Pustaka.

Citra

SOCIOLOGY

1.Bandung:

Prestasi

dan

2010. Adventure

Handayani.

Modern.

Anak

Grafindo

Media

Pratama.

Dinas Sosial DIY. 2011. Laporan Hasil

Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Psikologi

Pemutakhiran Data PMKS dan

Komunikasi.

PSKS.

REMAJA ROSDAKARYA.

Dwi Prasetia Danarjati, S.PSI, M.Pd.

PT

Riyadi

Sosiologi

Soeprapto.2002.Interaksionalism

Umum. Yogyakarta: Graha Ilmu.

e Simbolik: Perspektif Sosiologi

Gerungan,

Modern.

(2013).

Pengantar

Bandung:

W.Q.

1977.

Psychology Social. Cetakan ke-3,
Bandung: Eresco.
Effendi,

Mohammad.(2006).Pengantar

Yogyakarta:

Pustaka

Ritzer,George.(2003).Sosiologi

Ilmu

Pelajar.

Pengetahuan

Pedagogik Anak Berkebutuhan

Ganda.

Khusus. Jakarta:Bumi Aksara

Persada.

George

Ritzer

dan

Douglas

Berparadigma

Jakarta:Raja Grafindo

Ritzer, George.(2004).Teori Sosiologi

J.Goodman.(2008).Teori

Modern. Prenada Media Group.

Sosiologi

Jakarta.

Modern.Jakarta:Kencana Prenada

Wardani,

Pengantar

Agustyawati.(2009).Psikologi

Pendidikan Anak Berkebutuhan

Media Group.
I.G.A.K.

Solicha,

dkk.

Pendidikan

(2008).
Anak

Khusus.

Jakarta:

Penelitian UIN.

Lembaga

19

Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar
Sosiologi,

Jakarta,

Fakultas

Ekonomi Universitas Indonesia

Dan

Menengah

Departemen

Pendidikan Nasional Pendidikan.
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27

Umar Tirtarahardja, S. L. La Sulo.

ayat (2) dan pasal 34 ayat (3) dan

(2005) .Pengantar Pendidikan.

Undang-Undang Nomor 4 tahun

Jakarta: PT. Rineka Cipta

1997 tentang penyandang cacat

Weber,

Max.

Sosiologi

2006.

(terjemahan),

Yogyakarta,

Pustaka Pelajar

DARI INTERNET
http://layanandisabilitas.wg.ugm.ac.id/in
dex.php/7-berita/43-inklusi-

JURNAL INTERNASIONAL

pendidikan-terhadap-anak-

Miles, Susie and Singal, Nidhi. (2010).

berkebutuhan-khusus

International

Journal

of

Inclusive Education,Vol. 14,
No. 1, February 2010, 1-15.

UNDANG-UNDANG
Program Direktorat Pembinaan Sekolah
Luar Biasa Tahun 2006 dan
Pembinaan Direktorat Jenderal
Manajemen Pendidikan Dasar