Pengaruh Perbandingan Zat Penstabil dan Konsentrasi Kuning Telur Terhadap Mutu Reduced Fat Mayonnaise

TINJAUAN PUSTAKA

Mayonnaise
Mayonnaise adalah emulsi semi solid yang diperoleh dari campuran
minyak nabati, kuning telur, asam (cuka dan sari jeruk), bumbu-bumbu (garam,
mustard, dan paprika), asam sitrat atau asam malat yang fungsinya untuk
mempertahankan aroma dan warna (Chukwu dan Sadiq, 2008). Mayonnaise
memiliki pH 3-4 dimana protein kuning telur yaitu lipoprotein bertindak sebagai
emulsifier (Gaonkar, dkk., 2010). Kuning telur selain berperan sebagai
pengemulsi juga berfungsi untuk memberikan warna pada mayonnaise.
Mayonnaise tradisional yang terdiri dari campuran telur, cuka, dan
mustard umumnya mengandung minyak sebesar 70-80 %, sehingga disebut
emulsi minyak dalam air. Emulsi mayonnaise terbentuk dari pencampuran telur,
cuka, dan mustard dan kemudiam secara perlahan dicampur dengan minyak
(El-Bostany, dkk., 2011).
Sistem emulsi yang membentuk mayonnaise merupakan sistem heterogen
yang terdiri atas dua fase yang tidak tercampur, tetapi cairan yang satu terdispersi
dengan baik dalam cairan yang lain dalam bentuk butiran (droplet/globula)
dengan diameter antara 0,01-50 µm. Fase yang berbentuk butiran disebut fase
terdispersi atau fase internal, sedangkan fase tempat cairan terdispersi disebut fase
pendispersi (Nawar, 1985). Menurut Paul dan Palmer (1972), tipe emulsi yang

terbentuk dapat dibedakan menjadi dua, yaitu emulsi minyak dalam air dimana
minyak menjadi fase terdispersi dan air menjadi fase pendispersi, serta emulsi air

6
Universitas Sumatera Utara

7

dalam minyak dimana minyak menjadi fase pendispersi dan air sebagai fase
terdispersi.
Pada pembentukan suatu sistem emulsi, cairean fase internal harus
terdispersi dengan sempurna dalam fase pendispersi, sehingga dibutuhkan suatu
energi untuk memperkecil partikel-partikel fase terdispersi dan memisahkan
antara satu dengan yang lainnya dalam sistem emulsi. Energi tersebut diperoleh
dari alat pengadukan mekanis seperti mixer, dan energi ini dinamakan emulsator.
Besarnya energi yang diperlukan tergantung dari tegangan permukaan antara
kedua cairan tersebut. Semakin tinggi tegangan permukaan, maka semakin sulit
terbentuknya suatu emulsi sehingga dibutuhkan energi yang besar dan begitu pula
sebaliknya (Paul dan Palmer, 1972).
Emulsi merupakan sistem yang tidak stabil, sehingga dibutuhkan dua hal

untuk membentuk emulsi yang stabil, yaitu penggunaan alat mekanis untuk
mendispersikan sistem dan penggunaan bahan pengemulsi atau penstabil untuk
mempertahankan sistem tetap terdispersi (Bergenstahl dan Claesson, 1990).
Penambahan bahan pengemulsi bertujuan menurunkan tegangan permukaan
antara kedua fase (tegangan interfasial) sehingga mempermudah terbentuknya
emulsi, sedangkan penambahan bahan penstabil bertujuan meningkatkan
viskositas

fase

kontinu

agar

emulsi

yang

terbentuk


menjadi

stabil

(Muchtadi, 1990).
Stabilitas emulsi memegang pernanan penting untuk menentukan mutu
suatu produk makanan yang mengandung minyak, seperti mayonnaise dan saus
selada. Kerusakan emulsi ditandai dengan terbentuknya lapisan minyak dan air
yang terpisah (Sutikna, 1987). Kestabilan emulsi dipengaruhi oleh keseimbangan

Universitas Sumatera Utara

8

proporsi air dan protein. Jika jumlah air terlalu tinggi, sedangkan protein dalam
jumlah terbatas, akan menyebabkan air cepat memisah karena protein yang ada
tidak mampu mengikat semua air dalam sistem sehingga dihasilkan kestabilan
emulsi yang rendah (Mutiah, 2002).
Prinsip dari pembuatan mayonnaise adalah mencampurkan minyak nabati
dengan cuka, gula, garam, lada, mustard, dan kuning telur sebagai pengemulsi

yang akan membentuk sistem emulsi. Bahan pengemulsi sangat diperlukan untuk
mempertahankan stabilitas sistem emulsi setelah pencampuran, sehingga antara
minyak nabati dan bahan yang lain tidak terpisah. Pengemulsi yang tidak baik dan
tidak seimbang dapat menyebabkan emulsi yang diperoleh menjadi tidak stabil
(Jaya, dkk., 2013). Ketidakstabilan emulsi dapat diaktifkan oleh beberapa
mekanisme seperti terpisahnya emulsi dan koagulasi. Untuk mempertahankan
emulsi dan mencegah perubahan fisika kimia yang tidak diinginkan dapat
ditambahkan penstabil dalam emulsi (Winarno, 2008).
Mayonnaise dengan kadar lemak lebih dari 90 % mempunyai konsistensi
yang kaku dan minyaknya mudah terpisah. Karakteristik dari minyak yang
digunakan sangat berperan terhadap kestabilan emulsi pada penyimpanan dingin.
Apabila konsistensi minyak bertambah, mayonnaise dapat pecah dan dapat
dibentuk kembali dengan penambahan kuning telur, air, dan cuka. Hampir semua
jenis minyak nabati dapat digunakan dalam pembuatan mayonnaise, salah satunya
adalah minyak sawit (Mutiah, 2002).
Lemak dalam mayonnaise berperan terhadap sifat reologi dan sifat
sensoris seperti aroma, tekstur, dan mouthfeel, serta penambah nilai gizi. Sifat
sensoris tersebut sulit dibentuk tanpa adanya lemak. Tetapi, konsumsi lemak yang

Universitas Sumatera Utara


9

tinggi dapat memicu penyakit seperti obesitas, penyakit jantung, kanker hingga
tekanan darah tinggi. Namun sekarang terdapat alternatif dengan menggunakan
bahan pengganti peranan lemak dengan jumlah tertentu untuk mengurangi kadar
lemak dan menghasilkan mayonnaise dengan tekstur yang mendekati tekstur
mayonnaise tradisional. Beberapa pengganti lemak yang banyak digunakan di
antaranya pati termodifikasi, inulin, pektin, xanthan gum, gum arab, dan
karagenan dapat menstabilkan emulsi dan meningkatkan viskositas mayonnaise
(Liu, dkk., 2007). Dudina, dkk (1992) menyatakan bahwa kandungan lemak yang
terdapat pada mayonnaise rendah kalori adalah berkisar 30-40%.
Berikut ini syarat mutu mayonnaise berdasarkan SNI 01-4473-1998 yang
menjadi standar mutu mayonnaise di Indonesia (Tabel 1).
Tabel 1. Syarat mutu mayonnaise (SNI 01-4473-1998)
No
1

Jenis uji
Keadaan

- Bau
- Rasa
- Warna
- Tekstur
2
Air
3
Protein
4
Lemak
5
Karbohidrat
6
Kalori
7
Pengawet
8
Cemaran logam
9
Cemaran arsen (As)

10
Cemaran mikroba
- ALT
- Bakteri bentuk coli
- E.coli
- Salmonella
Sumber : SNI (1998).

Satuan
% b/b
% b/b
% b/b
% b/b
kkal/100 g
-

Persyaratan
Normal
Normal
Normal

Normal
Normal
Maks 30
Min 0,9
Min 65
Maks 4
Min 600
Sesuai SNI 01-0222-1995
Sesuai SNI 01-4473-1998

mg/kg

Maks 0,1

Koloni/g
APM/g
Koloni/10 g
Koloni/25 g

Maks 104

Maks 10
Negatif
Negatif

Universitas Sumatera Utara

10

Minyak Sawit
Minyak nabati merupakan salah satu bahan yang paling penting dalam
pembuatan salad dressing. Ada dua fungsi utama minyak, yaitu sebagai peningkat
mutu sensori terutama aroma dan mouthfeel, dan sebagai sumber lemak yang
berkontribusi terhadap energi (Foodreview, 2008a). Untuk memperoleh emulsi
yang konsisten, minyak sebagai fase pendispersi sebaiknya maksimum 74 %,
karena

jika

lebih


akan

menyebabkan

konsistensi

minyak

terpisah

(Depree dan Savage, 2001).
Minyak sawit selain diolah menjadi minyak goreng, dapat juga diolah
menjadi margarin, mentega, shortening, dan sebagai bahan untuk membuat kue.
Penggunaannya dalam industri pangan didorong oleh biaya produksinya yang
rendah dan kestabilan oksidatifnya ketika digunakan untuk menggoreng. Minyak
sawit mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan minyak goreng lain,
yaitu mengandung tokoferol sebagai sumber vitamin E (Fauzi, dkk., 2008).
Minyak goreng mengandung asam lemak linoleat dan asam lemak
linolenat yang rendah sehingga minyak ini memiliki kemantapan kalor (heat
stability) yang tinggi dan tidak mudah teroksidasi. Oleh karena itu, minyak sawit

sebagai minyak goreng bersifat lebih awet dan makanan yang digoreng
menggunakan minyak sawit tidak mudah teroksidasi (Fauzi, dkk., 2008).
Minyak sawit memiliki wujud setengah padat pada suhu ruang dan
memiliki beberapa jenis asam lemak jenuh, di antaranya asam laurat (0,1 %),
asam miristat (1 %), asam stearat (5 %), dan asam palmitat (44 %), serta asam
lemak tidak jenuh yaitu asam oleat (39 %), asam linoleat (10 %), dan asam alfa
linoleat (0,3 %). Seperti semua minyak nabati, minyak sawit tidak mengandung

Universitas Sumatera Utara

11

kolesterol meski konsumsi lemak jenuh diketahui menyebabkan peningkatan
kolesterol lipoprotein densitas rendah akibat metabolisme asam lemak dalam
tubuh (Cottrell, 1991). Adapun komposisi asam lemak minyak kelapa sawit dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi asam lemak minyak kelapa sawit
Jenis asam lemak
Total (%)
Miristat C 14:0
1,1 - 2,5
Palmitat C 16:0
40,0 - 46,0
Stearat C 18:0
3,6 - 4,7
Oleat
C 18:1
39,0 - 45,0
Linoleat C 18:2
7,0 - 11,0
Sumber : Ketaren (1986).
Lemak dengan kandungan asam lemak jenuh lebih sulit membentuk
emulsi daripada lemak yang mengandung asam lemak dengan satu atau dua ikatan
rangkap dengan jumlah atom karbon yang sama. Lemak dengan rantai asam
lemak jenuh yang lebih pendek akan lebih mudah membentuk emulsi daripada
lemak dengan asam lemak jenuh rantai panjang (Widhiastuti, 2011). Menurut
Almatsier (2001), asam lemak tidak jenuh mengandung dua atau lebih ikatan
rangkap, bersifat cair pada suhu kamar bahkan pada suhu dingin karena titik
lelehnya lebih rendah dibandingkan asam lemak jenuh, sehingga minyak yang
tinggi asam lemak tidak jenuh sering digunakan dalam pengolahan mayonnaise.
Trigliserida dapat berbentuk cair atau padat, tergantung asam lemak
penyusunnya. Trigliserida akan berbentuk cair jika mengandung sejumlah besar
asam lemak tidak jenuh yang mempunyai titik cair rendah. Minyak kelapa sawit
adalah minyak nabati semipadat. Hal tersebut dikarenakan minyak sawit
mengandung sejumlah besar asam lemak tidak jenuh dengan atom karbon lebih
dari C8. Dua jenis asam lemak yang paling dominan dalam minyak sawit yaitu
asam palmitat C16:0 (jenuh) dan asam oleat C18:1 (tidak jenuh) (Pahan, 2006).

Universitas Sumatera Utara

12

Minyak sebagai fase terdispersi bersifat non polar, sedangkan air sebagai
fase pendispersi bersifat polar. Penggunaan pengemulsi berperan untuk
menurunkan tegangan permukaan sehingga menurunkan energi bebas yang
diperlukan

untuk

pembentukan

emulsi.

Semakin

rendah

energi

bebas

pembentukan emulsi, maka emulsi akan semakin stabil. Tegangan permukaan
menurun karena terjadi adsorpsi oleh pengemulsi pada permukaan cairan yang
bersifat polar berada di air dan bagian non polar yaitu lipofilik pada minyak
sehingga minyak terdispersi dalam air (Suseno dan Husodo, 2000).
Penelitian mengenai penggunaan jenis minyak nabati terhadap kualitas dan
umur simpan mayonnaise rendah lemak oleh Palma, dkk (2004) menyatakan
bahwa, mayonnaise berbahan dasar minyak sawit sebesar 30% menunjukkan nilai
organoleptik warna, tekstur, dan aroma tertinggi dibandingkan mayonnaise
berbahan dasar minyak kedelai, minyak zaitun, dan minyak mustard. Selain itu,
dari segi analisis proksimat, mayonnaise berbahan dasar minyak sawit dengan
penambahan carboxymethyl cellulose sebesar 1,5% masih tergolong ke dalam
mayonnaise rendah lemak dengan kandungan lemaknya sebesar 33,40%.
Berdasarkan hasil peneltian tersebut, minyak sawit dapat digunakan sebagai
alternatif dalam pembuatan mayonnaise mengingat harganya yang relatif murah
dibandingkan jenis minyak yang lain.

Bahan-bahan yang Ditambahkan
Kuning Telur
Telur sebagai salah satu produk ternak yang bernilai gizi dan memiliki
protein bermutu tinggi. Setiap bagian telur dapat digunakan untuk pembuatan
produk, misalnya putih telur berfungsi untuk membentuk gel dalam pembuatan

Universitas Sumatera Utara

13

puding, mencegah kristalisasi dalam pembuatan permen ataupun dalam
pengembangan roti, sedangkan kuning telur dapat digunakan sebagai pengemulsi
yang kuat pada pembuatan mayonnaise (Jaya, dkk., 2013).
Komponen kimia telur terbesar adalah air (72,8-75,6 %), protein (12,813,4 %), dan lemak (10,5-11,8 %). Komposisi tersebut menyatakan bahwa telur
mempunyai zat gizi yang tinggi (Stadelman dan Cotterill, 1977). Kuning telur
berperan dalam membentuk dan menstabilkan emulsi karena adanya lipoprotein.
Kuning telur dalam pembuatan mayonnaise akan mempengaruhi ukuran partikel
minyak selama pembentukan mayonnaise (Jones, 2007). Adapun komposisi gizi
telur ayam (dalam 100 g bahan) dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi gizi telur ayam per 100 g bahan
Telur ayam
Komposisi gizi
kuning telur
Kalori (Kal)
361,0
Air (g)
49,4
Protein (g)
16,3
Lemak (g)
31,9
Karbohidrat (g)
0,7
Kalsium (mg)
157,0
Fosfor (mg)
586,0
Vitamin A (SI)
2000,0
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1989).

putih telur
50,0
87,8
10,8
0,0
0,8
6,0
17,0
0,0

Lemak kuning telur memiliki daya pengemulsi yang kuat dibandingkan
putih telur. Komponen zat pengemulsi pada kuning telur adalah lesitin, kolesterol,
lipoprotein, dan protein. Kemampuan kuning telur sebagai zat pengemulsi
dipengaruhi oleh adanya fosfolipid (lesitin, ovosepalin, dan ovosfingomyelin) dan
perbandingan antar zat pengemulsi, misalnya lesitin dan kolesterol. Kuning telur
juga memiliki fungsi sebagai pewarna pada mayonnaise karena adanya pigmen
kuning dari xantofil, lutein, beta karoten, dan kriptoxantin (Mutiah, 2002).

Universitas Sumatera Utara

14

Lesitin kuning telur mempunyai gugus polar dan non polar. Gugus polar
yang terdapat pada ester fosfatnya bersifat hidrofilik dan mempunyai
kecenderungan larut dalam air, sedangkan gugus non polar yang terdapat pada
ester asam-asam lemaknya adalah lipofilik yang mempunyai kecendrungan untuk
larut dalam lemak atau minyak (Winarno, 2008).
Penelitian Jaya, dkk (2013) menunjukkan bahwa penggunaan kuning telur
sebesar 9% dan minyak kedelai 75% menghasilkan mayonnaise dengan mutu
yang terbaik dibandingkan penggunaan kuning telur sebesar 6% dan 12 %.
Konsentrasi tersebut dipilih sebagai perlakuan terbaik karena mayonnaise yang
dihasilkan memiliki nilai organoleptik meliputi warna, aroma, rasa, dan tekstur
yang disukai dan dapat diterima oleh panelis. Kuning telur sendiri memiliki fungsi
sebagai

emulsifier,

sehingga

menyebabkan

emulsi

menjadi

stabil

dan

meningkatkan viskositas produk serta dapat memberikan warna pada mayonnaise.

Gum Arab
Gum arab atau gum accacia adalah salah satu produk getah yang
dihasilkan dari penyadapan getah pohon Acasia sp. Gum arab merupakan
senyawa kompleks heteropolisakarida yang terdiri dari L-arabinosa, L-ramnosa,
D-galaktosa, dan D-asam galakturonat dengan berat molekul 250.000-1.000.000.
Gum arab jauh lebih mudah larut dalam air dibandingkan hidrokoloid lainnya dan
banyak digunakan pada makanan yang banyak mengandung gula untuk
mendorong pembentukan emulsi lemak yang stabil dan mencegah kristalisasi gula
(Tranggono, dkk., 1991). Menurut Imeson (1999), gum arab stabil dalam larutan
asam karena gum arab memiliki pH alami berkisar 3,4-4,9 yang berasal dari
residu asam glukoronik.

Universitas Sumatera Utara

15

Gum arab dapat meningkatkan stabilitas seiring dengan peningkatan
viskositas. Gum arab bersifat tahan panas pada proses yang menggunakan panas,
namun dengan kontrol panas yang baik untuk mempersingkat waktu pemanasan
mengingat gum arab dapat terdegradasi secara perlahan-lahan dan menurunnya
efisiensi emulsifikasi dan viskositas. Gum arab dapat digunakan untuk
memperbaiki viskositas, tekstur, dan bentuk makanan (Tranggono, dkk., 1991).
Gum arab juga dapat mempertahankan aroma dari bahan yang akan
dikeringkan karena gum arab dapat melapisi senyawa aroma sehingga terlindungi
dari pengaruh oksidasi, evaporasi, dan absorbsi air dari udara terutama untuk
produk yang higroskopis (Gujral dan Brar, 2003). Gum arab mempunyai gugus
arabinogalaktan protein (AGP) dan glikoprotein (GP) yang berperan sebagai
pengemulsi dan pengental (Gaonkar, 1995). Adapun struktur kimia gum arab
dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur kimia gum arab (Williams dan Phillips, 2004).
Gum arab merupakan polisakarida yang dapat bertindak sebagai stabilizer
untuk menstabilkan emulsi, mengintensifkan muatan elektrostatik, serta

Universitas Sumatera Utara

16

menghalangi agregasi dan penggabungan partikel emulsi (Pomeranz, 1991).
Polisakarida gum dalam menghasilkan mayonnaise rendah lemak akan larut
dalam air membentuk larutan yang kental, dan dalam kondisi yang tepat akan
membentuk gel. Apabila dikombinasikan dengan jenis gum yang lain, akan
menunjukkan sifat fungsional yang lebih baik daripada penggunaan hanya dengan
satu jenis gum saja (Bortnowska dan Makiewicz, 2006).
Menurut Rowe, dkk (2003), jumlah gum arab yang tepat digunakan dalam
pembuatan emulsi adalah sebanyak 10-20%, penggunaan yang melebihi batas
tersebut dapat akan menghasilkan sediaan emulsi yang terlau kental sehingga sulit
dikocok pada saat penggunaan. Penggunaan konsentrasi bahan penstabil
tergantung pada sifat produk akhir yang diinginkan.
Permasalahan yang sering terjadi dari penggunaan gum arab adalah
terbentuknya larutan yang kental pada konsentrasi gum di atas 10% meskipun
kekentalan maksimum gum arab baru tercapai pada konsentrasi 40-50% dan
sering sulit disebarkan secara merata dalam air, sehingga akan membentuk
gumpalan dalam air. Terdapat beberapa cara untuk memudahkan penyebaran gum
arab dalam air dan menghindari penggumpalan, yaitu dengan menambahkan gum
sedikit demi sedikit dan diiringi dengan pengadukan cepat, dan dengan cara gum
dicampurkan terlebih dahulu dengan bahan kering sebelum penambahan air
(Klose dan Glicksman, 1975).

Carboxymethyl Cellulose (CMC)
Carboxymethyl cellulose adalah garam natrium turunan dari selulosa dan
sering dipakai dalam industri pangan untuk menghasilkan produk dengan tekstur

Universitas Sumatera Utara

17

yang baik. Fungsi CMC di antaranya yaitu sebagai pengental, stabilitator,
pembentuk gel, dan sebagai pengemulsi (Winarno, 2008).
Penambahan bahan pengental ke dalam bahan pangan dapat meningkatkan
sifat hidrofilik protein dan sifat lipofilik dari lemak sehingga air yang diserap
protein menjadi lebih banyak. Pengikatan air oleh protein menyebabkan tekstur
bahan pangan menjadi lebih lembut dan sifat lipofilik dari lemak menyebabkan
lemak terdispersi secara merata ke dalam bahan pangan sehingga tekstur menjadi
lebih seragam (Winarno, 2008).
Na-CMC akan terdispersi dalam air, kemudian butir-butir Na-CMC yang
bersifat hidrofilik akan menyerap air dan terjadi pembengkakan. Air yang
sebelumnya berada di luar granula yang bebas bergerak, tidak dapat bergerak lagi
dengan bebas sehingga larutan menjadi stabil dan terjadi peningkatan viskositas.
Hal ini menyebabkan partikel-partikel terperangkap dalam sistem tersebut dan
memperlambat proses pengendapan karena adanya pengaruh gaya gravitasi
(Fennema, dkk., 1996). Struktur kimia carboxymetyhyl cellulose dapat dilihat
pada Gambar 2.

n

Gambar 2. Struktur kimia carboxymethyl cellulose (Stephen, dkk., 2006).
Na-CMC telah digunakan secara luas untuk formulasi farmasi oral dan
topikal, terutama karena tingkat viskositas yang dimilikinya. Pada konsentrasi

Universitas Sumatera Utara

18

yang lebih tinggi, biasanya 3-6% digunakan sebagai basis dalam pembuatan gel
dan pasta (Rowe, dkk., 2003). CMC akan meningkatkan kekentalan sehingga
partikel-partikel minyak sulit bergabung dengan yang lainnya. Partikel minyak
yang stabil dan sulit bergabung akan mengakibatkan stabilitas emulsi dapat
terjaga dengan baik (Kipdiyah, 2010).
Tabel 4. Penggunaan CMC berdasarkan fungsinya
Fungsi
Konsentrasi (%)
Zat pengemulsi
0,25 - 1,0
Zat pembentuk gel
3,0 - 6,0
Injeksi
0,05 - 0,75
Sediaan oral
0,1 - 1,0
Pengikat tablet
1,0 - 6,0
Sumber : Rowe, dkk (2003).
Penelitian sebelumnya oleh Palma, dkk (2004), menunjukkan penggunaan
CMC sebesar 1,5% yang dikombinasikan dengan pati jagung 5% menghasilkan
mayonnaise dengan sifat kimia dan sensoris yang optimal dan disukai oleh
panelis. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dicoba menggunakan
kombinasi CMC dan gum arab dalam pembuatan mayonnaise untuk memberikan
konsistensi yang stabil sehingga dihasilkan produk yang optimal.

Daun Pandan
Pandan wangi (Pandanus amaryllifolius) merupakan tanaman yang
memiliki banyak manfaat. Tanaman ini sangat cocok untuk hidup di tempat yang
lembab dan teduh. Ciri khas dari daun pandan adalah aromanya yang sangat
harum dan biasanya sering digunakan sebagai tambahan dalam makanan
tradisional (Kayamanfaat, 2015). Pandan wangi sering dimanfaatkan sebagai
bahan tambahan makanan, umumnya sebagai pewarna hijau dan pemberi aroma.
Aroma khas dari pandan wangi diduga karena adanya senyawa turunan asam

Universitas Sumatera Utara

19

amino fenil alanin yaitu 2-acetyl-1-pyrroline dan warna hijau pandan karena
adanya klorofil (Faras, dkk., 2014).
Daun pandan wangi mengandung beberapa senyawa seperti alkaloid,
saponin, flavonoida, tanin, polifenol, dan zat warna yang diduga memiliki
kontribusi terhadap aktivitas antibakteri (Arisandi dan Andriani, 2008). Guzman
dan Siemonsma (1999) mengemukakan bahwa daun pandan wangi sedikit
mengandung minyak atsiri (beberapa ppm), terdiri dari 6-42% hidrokarbon
seskuiterpen dan 6% merupakan linalool hanya sebagai monoterpen.
Ekstrak daun pandan di Asia Tenggara digunakan sebagai essence pada
industri kue dan secara tradisional digunakan untuk memasak nasi non-aromatik
untuk menguatkan aromanya. Daun pandan ini juga digunakan sebagai obat
tradisional untuk meredakan sakit gigi, rematik, diuretik, dan menurunkan kadar
gula dalam tubuh atau efek hipoglikemik (Tasia dan Widyaningsih, 2014).

Mustard
Mustard adalah salah satu rempah-rempah yang kandungan utamanya
protein dan lemak. Penggunaan mustard pada mayonnaise selain untuk
memberikan aroma juga untuk memperbaiki stabilitas emulsi produk, pengikat
fase air dan minyak, serta memberikan viskositas. Penggunaan mustard dalam
pengolahan pangan, khususnya dalam pembuatan saus dan produk daging akan
memberikan flavor yang khas dan memperbaiki sifat fisikokimia, serta daya tahan
produk (Milani, dkk., 2013).
Aroma khas pedas/tajam dari mustard dikarenakan adanya senyawa
turunan sulfur yang dikenal dengan isotiosianat, khususnya allyl isotiosianat.
Komponen tersebut bersifat larut dalam pelarut organik dan sedikit larut air.

Universitas Sumatera Utara

20

Senyawa ini stabil dalam larutan dengan penambahan asam sitrat atau minyak
nabati (Depree dan Savage, 2001).
Penelitian mengenai penggunaan pasta mustard dan mustard bubuk oleh
Milani, dkk (2013), menyatakan bahwa terjadi peningkatan viskositas mayonnaise
seiring meningkatnya konsentrasi pasta mustard yaitu 1% dan 1,5%. Berdasarkan
hasil penelitian tersebut, peneliti memilih konsentrasi mustard yang digunakan
pada penelitian ini yaitu sebesar 1% agar tidak menghasilkan aroma mayonnaise
yang terlalu pedas/tajam.

Asam Cuka
Asam cuka adalah suatu senyawa berbentuk cairan, tidak berwarna, berbau
menyengat, memiliki rasa asam yang tajam dan larut di dalam air, alkohol,
gliserol, dan eter. Asam cuka mempunyai aplikasi yang sangat luas di bidang
industri dan pangan. Proses produksi asam cuka dapat dilakukan secara kimiawi
dan biologis. Untuk kebutuhan pangan, produksi asam cuka harus dilakukan
melalui proses biologis, salah satunya adalah fermentasi dari bahan baku alkohol
(Hardoyo, dkk., 2007).
Asam cuka merupakan asam organik yang aman digunakan sebagai bahan
pengawet makanan. Asam cuka merupakan pengawet yang aktif dalam
menghambat pertumbuhan kapang dan juga bakteri patogen yang berasosiasi
dengan produk pangan seperti produk roti dan pikel (Pundir dan Jain, 2010).
Asam cuka diperoleh dari fermentasi alkohol khamir yang diikuti oksidasi
oleh bakteri asam asetat dari bahan pangan yang mengandung gula atau pati.
Asam cuka berperan sebagai pemberi rasa asam, medium pendisepersi, dan juga
menghambat kerusakan mayonnaise oleh mikroorganisme (Mutiah, 2002). Asam

Universitas Sumatera Utara

21

cuka sebagai pengatur keasaman hingga pH 4,1 atau lebih rendah berfungsi
sebagai

senyawa

penghambat

pertumbuhan

mikroorganisme

(Radford dan Board, 1993).

Garam
Garam dalam pengolahan pangan tidak hanya sebagai pemberi rasa asin.
Garam dapat mempengaruhi tekstur dan meningkatkan hidrasi protein dan
kemampuan protein untuk berikatan dengan komponen lain termasuk lemak
(Foodreview, 2008b). Garam menghasilkan efek yang kurang disukai pada
konsentrasi yang terlalu tinggi dan dapat menurunkan palatibilitas konsumen
(Kramlich, dkk., 1973).
Garam juga mampu menghambat bahkan menghentikan aktivitas
mikroorganisme dengan menyerap kandungan air dalam makanan sehingga
metabolisme bakteri terganggu akibat kekurangan cairan dan akhirnya
mikroorganisme mati (Ayustaningawarno, dkk., 2014). Penggunaan garam terlalu
banyak menyebabkan protein kuning telur terakumulasi dalam fase cair pada
emulsi

daripada

membentuk

lapisan

pada

partikel-partikel

minyak

(Depree dan Savage, 2001).

Gula
Gula termasuk golongan senyawa karbohidrat yang berfungsi memberikan
rasa manis pada produk. Oleh karena itu gula juga akan menambah citarasa pada
produk karena gula mampu menetralisir rasa asin dari garam pada produk. Pada
konsentrasi tinggi gula juga digunakan sebagai pengawet karena mampu
meningkatkan viskositas larutan (Buckle, dkk., 2009).

Universitas Sumatera Utara

22

Fungsi gula selain untuk memperbaiki aroma dan rasa, penambahan gula
dalam produk pangan sebesar 30% padatan terlarut dapat menurunkan aW dari
bahan pangan. Penggunaan gula sebagai pengawet akan menurunkan aw dari
bahan pangan sehingga mikroorganisme dapat terhambat pertumbuhannya
(Gianti dan Evanuarini, 2011).
Gula selain sebagai pemberi rasa manis, juga memiliki fungsi sebagai
pembentuk tekstur, pengawet, dan pembentuk citarasa (Widayanti, dkk., 2013).
Dalam pembuatan mayonnaise, gula berfungsi untuk memberi rasa yang khas
pada mayonnaise. Gula dan garam akan bercampur dalam campuran mayonnaise
memberikan rasa yang khas pada mayonnaise (Palma, dkk., 2004).

Lada
Merica atau lada (Paperningrum) merupakan salah satu jenis bumbu yang
sering ditambahkan dalam pembuatan mayonnaise. Lada memiliki rasa yang
pedas serta aroma yang khas sehingga digunakan untuk menguatkan rasa dari
produk. Adapun senyawa pembentuk rasa pedas dan aroma pada lada adalah zat
piperin, pipeparanin, dan chavicia yang merupakan persenyawaan dari piperin
dengan alkaloida (Rismunandar, 1993).
Lada diperoleh dari merica tua yang dikeringkan dan dikupas kulitnya.
Lada sering digunakan sebagai bumbu dapur untuk menambah cita rasa pedas dan
aroma yang khas pada makanan. Lada dapat dijual dalam bentuk utuh ataupun
yang bubuk. Pada umumnya, untuk memperoleh aroma yang lebih tajam dari lada
dilakukan

penyangraian

terlebih

dahulu

sebelum

digunakan

(Bachir dan Zenou, 2006).

Universitas Sumatera Utara

23

Selain sebagai pembentuk rasa pada makanan, lada juga memiliki manfaat
bagi kesehatan salah satunya yaitu dapat membantu mengatasi masalah
pencernaan. Lada mampu meningkatkan cairan pencernaan karena kandungan
asam klorida yang terkandung di dalamnya dengan cara memecah protein dalam
lambung (Trivedi, dkk., 2011).

Universitas Sumatera Utara