Higiene Sanitasi Pengolahan dan Pemeriksaan Zat Pewarna Metanil Yellow Pada Hasil Industri Pengolahan Tempe Yang Dijual di Pasar Sei Sikambing Kota Medan Tahun 2012

(1)

PELAKSANAAN HIGIENE SANITASI PENGOLAHAN DAN PEMERIKSAAN ZAT PEWARNA METANIL YELLOW PADA HASIL INDUSTRI

PENGOLAHAN TEMPE YANG DIJUAL DI PASAR SEI SIKAMBING KOTA MEDAN TAHUN 2012

SKRIPSI

Oleh :

NIM. 101000396 ASTINA ARITONANG

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

PELAKSANAAN HIGIENE SANITASI PENGOLAHAN DAN PEMERIKSAAN ZAT PEWARNA METANIL YELLOW PADA HASIL INDUSTRI

PENGOLAHAN TEMPE YANG DIJUAL DI PASAR SEI SIKAMBING KOTA MEDAN TAHUN 2012

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh :

Nim: 101000396 ASTINA ARITONANG

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

ABSTRAK

Tempe merupakan makanan yang memiliki kandungan gizi yang sangat baik bagi kesehatan. Harganya lebih murah dan terjangkau. Tempe merupakan makanan yang diproduksi oleh industri rumah tangga sehingga pengawasan mutu makanan ini sangat sulit dilakukan. Penambahan bahan tambahan pangan yang berbahaya sering kali terjadi pada industri rumah tangga. Metanil Yellow jenis pewarna tekstil menjadi salah satu pilihan bagi produsen untuk mewarnai produk makanan. Penerapan higiene sanitasi pengolahan makanan dapat menjadikan produk makanan lebih baik dan bermutu.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran penerapan higiene sanitasi pengolahan dan pemeriksaan zat pewarna Metanil Yellow pada hasil industri pengolahan tempe yang dijual di pasar Sei Sikambing Kota Medan.

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah bersifat deskriptif untuk melihat gambaran higiene sanitasi pengolahan dan pemeriksaan zat pewarna Metanil Yellow pada hasil industri pengolahan tempe yang dijual di pasar Sei Sikambing Kota Medan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengolahan tempe belum memenuhi syarat kesehatan karena semua industri pengolahan tempe belum menerapkan seluruh prinsip higiene sanitasi pengolahan mulai dari pemilihan bahan baku, penyimpanan bahan baku, pengolahan makanan, penyimpanan makanan jadi, pengangkutan makanan jadi dan pengemasan. Hasil uji sampel di Laboratorium menunjukkan bahwa tidak ada satupun sampel tempe yang menggunakan zat pewarna Metanil Yellow, tetapi berdasarkan observasi di lapangan terdapat 2 industri pengolahan tempe yang menggunakan zat pewarna makanan yang di perbolehkan, tetapi jika melebihi nilai ambang batas dapat membahayakan konsumen.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut diperoleh bahwa tempe aman untuk dikonsumsi karena tidak ditambahkan Metanil Yellow. Namun demikian, perlu diadakan pengawasan, penyuluhan dan pelatihan pengolahan makanan dan minuman oleh instansi terkait (Dinas Kesehatan) tentang pentingnya penerapan higiene sanitasi pengolahan tempe sehingga tempe yang diproduksi memenuhi syarat kesehatan dan aman untuk dikonsumsi.


(4)

ABSTRACT

Tempeh is a food that contains nutrients that are good for health. The price is cheaper and affordable. Tempeh is a food produced by the domestic industry so that the food quality control is very difficult. The addition of dangerous food additives that often occur in the home industry. Yellow Metanil types of textile dyes to be one option for manufacturers to color food products. Application of food processing sanitation hygiene can make better food products and quality.

The purpose of this study was to determine the application of image processing sanitation and hygiene inspection Metanil Yellow dye on tempe processing output is sold in the market Sei Sikambing Medan.

The method used in this study was descriptive to see the picture processing sanitation and hygiene inspection Metanil Yellow dye on tempe processing industrial output is sold in the market Sei Sikambing Medan.

The results showed that soybean processing has not met the health requirements as all soybean processing industry has not implemented all the principles of hygiene sanitation of processing from raw material selection, storage of raw materials, food processing, food storage, food transport and packaging. Laboratory test results on the samples showed that none of the soybean samples using Metanil Yellow dye, but based on observations in the field there are two soybean processing industries that use food dyes allowed in, but if it exceeds the threshold value can be harmful to consumers.

Based on the results of these studies found that tempeh is safe for consumption because it does not happen the addition Metanil Yellow. However, it should be held supervision, counseling and training food and beverage processing by the relevant agencies (Health Department) on the importance of the application of sanitary hygienic processing tempe tempe so produced meets the requirements of health and safe for consumption.


(5)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Astina Aritonang

Tempat/Tanggal lahir : Lae Pinang, 24 Mei 1986

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status Perkawinan : Menikah

Alamat Rumah : Jl. Panglima Polem No.13 Kota Subulussalam

Alamat Kantor : Puskesmas Runding Kota Subulussalam

Riwayat Pendidikan :

1. Tahun 1992 s/d 1998 : SD Negeri Parsaoran 2. Tahun 1998 s/d 2001 : SMP Negeri 1 Sidikalang 3. Tahun 2001 s/d 2004 : MAN Sidikalang

4. Tahun 2004 s/d 2007 : AKPER PAL Stabat

5. Tahun 2010 s/d 2012 : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatra Utara


(6)

KATA PENGANTAR Assalamualaikum, wr.wb

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Higiene Sanitasi Pengolahan dan Pemeriksaan Zat Pewarna Metanil Yellow Pada Hasil Industri Pengolahan Tempe Yang Dijual di Pasar Sei Sikambing Kota Medan Tahun 2012” sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar kesarjanaan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu dr. Devi Nuraini Santi, M.Kes selaku Dosen pembimbing I dan Ibu Ir. Evi Naria, M.Kes selaku Dosen pembimbing II yang dalam proses penulisan

skripsi ini telah begitu banyak meluangkan waktu dan penuh kesabaran dalam memberikan bimbingan, petunjuk, saran dan masukan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Selama penulisan skripsi ini penulis banyak mendapat dukungan, bantuan, dan bimbingan dari berbagai pihak secara moril maupun material. Oleh karena itu, dengan rasa hormat penulis mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada :

1. Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Ir. Evi Naria, M.Kes, selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Ir. Indra Chahaya S, MSi selaku Dosen Penguji II yang telah banyak memberikan saran dan masukan dalam penulisan skripsi ini.


(7)

4. Dr. dr. Wirsal Hasan, MPH selaku Dosen Penguji III yang telah banyak memberikan saran dan masukan dalam penulisan skripsi ini.

5. Ferry, AMG DC Nutri, SH., S.SI., M.Kes selaku Dosen Penasehat Akademik, yang telah memberikan bimbingan selama perkuliahan ini.

6. Seluruh Dosen dan Staff Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara khususnya Departemen Kesehatan Lingkungan.

7. Dinas Kesehatan Provinsi Aceh yang telah memberikan beasiswa sehingga peneliti dapat menyelesaikan pendidikan ini.

8. Walikota Subulusalam yang telah memberikan SK Tugas Belajar sehingga penulis dapat melanjutkan pendidikan ini.

9. Kepala Dinas Kesehatan Kota Subulussalam yang telah memberikan izin untuk melanjutkan pendidikan ini.

10.Kepala Puskesmas Runding Kota Subulussalam yang telah memberikan dukungan selama ini.

11.Kedua orang tuaku tercinta Ayahanda U.Aritonang dan Ibunda A.Purba, kakak ku Nuryanti Aritonang, S.pd, Nirmaysah Aritonang, SH, dan adik-adikku Elsida Aritonang, Abden Rahim Aritonang, terimakasih atas dukungan dan do’a nya selama ini.

12.Teristimewa kepada Suami ku tersayang, Erman Suryadi, AMK, yang telah memberikan do’a, perjuangan, pengorbanan selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan sripsi ini yang InsyaAllah tepat pada waktunya.

13.Kepada seluruh produsen tempe yang telah banyak membantu dan menyediakan waktu sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.


(8)

14.Teman-teman satu angkatan FKM USU 2010, terimakasih atas dukungan, motivasi dan do’a nya selama ini. Semangat dan berjuang terus.

15.Teman-teman satu peminatan kesehatan lingkungan, terima kasih atas dukungan, bantuan, dan kebersamaannya selama ini.

16.Sahabat-sahabat ku Yuli arisyah, Nova Elvia, Siti Fatimah, Sulastri, Oni Molina, Sri Rejeki Pulungan, dan semua sahabat-sahabat ku yang tak

tersebutkan satu persatu. Terimakasih atas dukungan dan motivasi selama ini. 17.Teman-teman Kos 11 Spirok, terima kasih untuk doanya dan kebersamaan

selama ini.

18.Serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik membangun dari semua pihak untuk kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin Ya Allah

Medan, Juli 2012 Penulis


(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... ... i

ABSTRAK ... ...ii

ABSTRACT ... ..iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... ..iv

KATA PENGANTAR ... ...v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... . xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... .. 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.3.1 Tujuan Umum ... 5

1.3.2 Tujuan Khusus ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Higiene dan sanitasi Makanan ... 7

2.2 Prinsip Higiene Sanitasi Makanan ... 9

2.2.1 Pemilihan Bahan Makanan ... 9

2.2.2 Penyimpanan Bahan Makanan ... 9

2.2.3 Pengolahan Makanan ... 10

2.2.4 Penyimpanan Makanan Jadi ... 11

2.2.5 Pengangkutan Makanan ... 11

2.2.6 Penyajian dan Pengemasan Makanan ... 12

2.3 Bahan Tambahan Makanan ... 12

2.3.1 Bahan Tambahan Makanan Yang Di izinkan ... 13

2.3.2 Bahan Tambahan Makanan Yang Tidak Diijinkan... 16

2.4 Batasan Bahan Tambahan Makanan ... 17

2.4.1 Batasan Secara Resmi ... 18

2.4.2 Batasan Secara Teknis ... 19

2.4.3 Batasan Maksimum Penggunaan Zat Pewarna ... 20

2.5 Jenis Zat Pewarna ... 22

2.5.1 Pewarna Alami ... 22

2.5.2 Pewarna Sintetis/ Buatan ... 23

2.6 Zat Pewarna Metanil Yellow ... 26 Halaman


(10)

2.6.1 Defenisi Zat Pewarna metanil Yellow ... 26

2.6.2 Sifat Kimia Metanil Yellow ... 26

2.6.3 Ciri-Ciri Tempe Yang Mengandung Metanil Yellow ... 27

2.6.4 Bahaya Zat pewarna Metanil Yellow Terhadap Kesehatan... 27

2.7 Tempe ... 28

2.7.1 Bahan Baku Tempe ... 28

2.7.2 Cara Pengolahan Tempe ... 30

2.7.3 Ciri-Ciri Tempe Yang Baik ... 33

2.8 Kerangka Konsep ... 34

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 35

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 35

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 35

3.2.2 Waktu Penelitian ... 35

3.3 Obyek penelitian ... 36

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 36

3.4.1 Data Primer ... 36

3.5 Definisi Operasional ... 36

3.6 Cara Pengambilan Sampel ... 38

3.7 Pemeriksaan Sampel Di Laboratorium ... 38

3.7.1 Pemeriksaan Secara Kualitatif ... 38

3.8 Aspek Pengukuran ... 40

3.8.1 Observasi ... 40

3.9 Analisa Data ... 40

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Deskripsi Objek Penelitian ... 41

4.2 Hasil Penelitian ... 42

4.2.1 Karakteristik Produsen Tempe ... 43

4.2.2 Enam Prinsip Hygiene Sanitasi Pada Industri Pengolahan Tempe Yang Dijual di Pasar Sei Sikambing Kota Medan Tahun 2012 ... 45

4.2.2.1 Pemilihan bahan Baku Tempe ... 46

4.2.2.2 Penyimpanan Bahan Baku Tempe (Kedelai) ... 46

4.2.2.3 Pengolahan Tempe ... 47

4.2.2.4 Pengemasan tempe ... 52

4.2.2.5 Penyimpanan Tempe ... 53

4.2.2.6 Pengangkutan Tempe ... 54

4.2.3 Hasil Penilaian Observasi Pada Setiap Industri Pengolahan Tempe Yang Menjual Hasil Produksi di Pasar Sei Sikambing Kota Medan Tahun 2012………... ... 55 4.2.4 Pemeriksaan Zat Pewarna Metanil Yellow Pada Industri


(11)

Kota Medan Tahun 2012 ... 57

4.2.4.1 Uji Kualitatif ... 57

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Produsen Tempe ... 58

5.2 Observasi Enam Prinsip Hygiene Sanitasi Pada Industri Pengolahan Tempe ... 62

5.2.1 Pemilihan Bahan Baku Tempe ... 62

5.2.2 Penyimpanan Bahan Baku Tempe ... 63

5.2.3 Pengolahan Tempe ... 64

5.2.4 Pengemasan Tempe... 68

5.2.5 Penyimpanan Tempe ... 69

5.2.6 Pengangkutan Tempe ... 70

5.3 Gambaran Hygiene Sanitasi Pada Industri Pengolahan Tempe Yang di Jual di Pasar Sei Sikambing Kota Medan Tahun 2012 ... 71

5.4 Kandungan Metanil Yellow Pada Tempe ... 72

5.4.1 Uji Kualitatif ... 72

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 74 6.2 Saran 75

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Rata-rata Asupan Harian Perkapita . ... .. 21

Tabel 2.2 Bahan Pewarna Sintetis yang Diizinkan di Indonesia. ... .. 24

Tabel 2.3 Bahan Pewarna Sintetis yang Dilarang Di Indonesia. ... .. 25

Tabel 2.4 Kandungan Gizi Kedelai per 100 gram. ... .. 30

Tabel 4.1 Luas Wilayah dirinci per Kelurahan di Kecamatan Medan Helvetia. ... .. 42

Tabel 4.2 Jumlah penduduk, Luas Kelurahan kepadatan penduduk per Km dirinci menurut Kelurahan di Kecamatan Medan Helvetia. ... ..42

Tabel 4.3 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Umur dan Pendidikan Pada Industri Pengolahan Tempe Yang Menjual Hasil Produksi di Pasar Sei Sikambing Kota Medan Tahun 2012. ... ..43

Tabel 4.4 Distribusi Lama Berproduksi Industri Pengolahan Tempe Yang Menjual Hasil Produksi di Pasar Sei Sikambing Kota Medan Tahun 2012. ... .. 44

Tabel 4.5 Distribusi Jumlah Tenaga Kerja Industri Pengolahan Tempe Yang Menjual Hasil Produksi di Pasar Sei Sikambing Kota Medan Tahun 2012. ... .. 44

Tabel 4.6 Distribusi Jumlah Bahan Baku Industri Pengolahan Tempe Yang Menjual Hasil Produksi di Pasar Sei Sikambing Kota Medan Tahun 2012 ... .. 45

Tabel 4.7 Distribusi Pernah/ Tidak Produsen Tempe Mengikuti Kursus Pengolahan Makanan Tahun 2012. ... .. 45

Tabel 4.8 Distribusi Berdasarkan Pemilihan Bahan Baku Pada Industri Pengolahan Tempe Yang Menjual Hasil Produksi di Pasar Sei Sikambing Kota Medan Tahun 2012. ... .. 46

Tabel 4.9 Distribusi Berdasarkan Tempat Penyimpanan Bahan Baku Industri Pengolahan Tempe Yang Menjual Hasil Produksi di pasar Sei Sikambing Kota Medan Tahun 2012. ... .. 47

Tabel 4.10 Distribusi Berdasarkan Tenaga Penjamah Makanan Pada Industri Pengolahan Tempe Yang Menjual Hasil Produksi di Pasar Sei Sikambing Kota Medan Tahun 2012. ... .. 48


(13)

Tabel 4.11 Distribusi Berdasarkan Cara Pengolahan Pada Industri Pengolahan Tempe Yang Menjual Hasil Produksi di Pasar Sei Sikambing Kota Medan Tahun 2012. ... .. 49 Tabel 4.12 Distribusi Berdasarkan Tempat Pengolahan Pada Industri Pengolahan

Tempe Yang Menjual Hasil Produksi di Pasar Sei Sikambing Kota Medan Tahun 2012. ... .. 50 Tabel 4.13 Distribusi Berdasarkan Proses Pengemasan Pada Industri Pengolahan

Tempe Yang Menjual Hasil Produksi di Pasar Sei Si Kambing Kota Medan Tahun 2012. ... .. 52 Tabel 4.14 Distribusi Berdasarkan Tempat Penyimpanan Makanan Jadi Pada Industri

Pengolahan Tempe Yang Menjual Hasil Produksi di Pasar Sei Sikambing Kota Medan Tahun 2012. ... .. 53 Tabel 4.15 Distribusi Berdasarkan Tempat Pengangkutan Pada Industri Pengolahan

Tempe Yang Menjual Hasil Produksi di Pasar Sei Sikambing Kota Medan Tahun 2012. ... .. 54 Tabel 4.16 Hasil Penilaian Observasi Pada Setiap Industri Pengolahan Tempe Yang

Menjual Hasil Produksi di Pasar Sei Sikambing Kota Medan Tahun 2012. ... .. 55 Tabel 4.17 Hasil Pemeriksaan Zat Pewarna Metanil Yellow Pada Industri Pengolahan

Tempe Yang Menjual Hasil Produksinya di Pasar Sei Sikambing Kota Medan Tahun 2012 ... .. 57


(14)

ABSTRAK

Tempe merupakan makanan yang memiliki kandungan gizi yang sangat baik bagi kesehatan. Harganya lebih murah dan terjangkau. Tempe merupakan makanan yang diproduksi oleh industri rumah tangga sehingga pengawasan mutu makanan ini sangat sulit dilakukan. Penambahan bahan tambahan pangan yang berbahaya sering kali terjadi pada industri rumah tangga. Metanil Yellow jenis pewarna tekstil menjadi salah satu pilihan bagi produsen untuk mewarnai produk makanan. Penerapan higiene sanitasi pengolahan makanan dapat menjadikan produk makanan lebih baik dan bermutu.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran penerapan higiene sanitasi pengolahan dan pemeriksaan zat pewarna Metanil Yellow pada hasil industri pengolahan tempe yang dijual di pasar Sei Sikambing Kota Medan.

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah bersifat deskriptif untuk melihat gambaran higiene sanitasi pengolahan dan pemeriksaan zat pewarna Metanil Yellow pada hasil industri pengolahan tempe yang dijual di pasar Sei Sikambing Kota Medan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengolahan tempe belum memenuhi syarat kesehatan karena semua industri pengolahan tempe belum menerapkan seluruh prinsip higiene sanitasi pengolahan mulai dari pemilihan bahan baku, penyimpanan bahan baku, pengolahan makanan, penyimpanan makanan jadi, pengangkutan makanan jadi dan pengemasan. Hasil uji sampel di Laboratorium menunjukkan bahwa tidak ada satupun sampel tempe yang menggunakan zat pewarna Metanil Yellow, tetapi berdasarkan observasi di lapangan terdapat 2 industri pengolahan tempe yang menggunakan zat pewarna makanan yang di perbolehkan, tetapi jika melebihi nilai ambang batas dapat membahayakan konsumen.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut diperoleh bahwa tempe aman untuk dikonsumsi karena tidak ditambahkan Metanil Yellow. Namun demikian, perlu diadakan pengawasan, penyuluhan dan pelatihan pengolahan makanan dan minuman oleh instansi terkait (Dinas Kesehatan) tentang pentingnya penerapan higiene sanitasi pengolahan tempe sehingga tempe yang diproduksi memenuhi syarat kesehatan dan aman untuk dikonsumsi.


(15)

ABSTRACT

Tempeh is a food that contains nutrients that are good for health. The price is cheaper and affordable. Tempeh is a food produced by the domestic industry so that the food quality control is very difficult. The addition of dangerous food additives that often occur in the home industry. Yellow Metanil types of textile dyes to be one option for manufacturers to color food products. Application of food processing sanitation hygiene can make better food products and quality.

The purpose of this study was to determine the application of image processing sanitation and hygiene inspection Metanil Yellow dye on tempe processing output is sold in the market Sei Sikambing Medan.

The method used in this study was descriptive to see the picture processing sanitation and hygiene inspection Metanil Yellow dye on tempe processing industrial output is sold in the market Sei Sikambing Medan.

The results showed that soybean processing has not met the health requirements as all soybean processing industry has not implemented all the principles of hygiene sanitation of processing from raw material selection, storage of raw materials, food processing, food storage, food transport and packaging. Laboratory test results on the samples showed that none of the soybean samples using Metanil Yellow dye, but based on observations in the field there are two soybean processing industries that use food dyes allowed in, but if it exceeds the threshold value can be harmful to consumers.

Based on the results of these studies found that tempeh is safe for consumption because it does not happen the addition Metanil Yellow. However, it should be held supervision, counseling and training food and beverage processing by the relevant agencies (Health Department) on the importance of the application of sanitary hygienic processing tempe tempe so produced meets the requirements of health and safe for consumption.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahan pangan adalah bahan yang memungkinkan manusia tumbuh dan berkembang serta mampu beraktivitas dan memelihara kondisi tubuhnya. Untuk itu bahan pangan atau biasa kita sebut dengan “makanan” perlu diperhatikan jenis dan mutunya agar aman dikonsumsi. Makanan pada umumnya tersusun atas air, protein, karbohidrat, lemak, vitamin, serat dan mineral. Komponen tersebut berperan penting dalam memberikan karakter terhadap makanan baik sifat fisik, kimia maupun fungsinya. Dengan kemajuan ilmu dan teknologi di bidang pangan, berbagai jenis makanan dapat dibuat lebih awet, lebih menarik, lebih aman, lebih enak serta praktis bagi konsumen (Nur’an, 2011).

Higiene sanitasi adalah upaya untuk mengendalikan faktor makanan, orang, tempat dan perlengkapannya yang dapat atau mungkin dapat menimbulkan penyakit atau gangguan kesehatan. Persyaratan higiene sanitasi adalah ketentuan-ketentuan teknis yang ditetapkan terhadap produk rumah makan dan restoran, personel dan perlengkapannya yang meliputi persyaratan bakteriologis, kimia dan fisika (Depkes RI, 2003).

Dalam kegiatan proses produksi makanan, pentingnya tindakan higiene sanitasi merupakan salah satu upaya untuk menghindari terjadinya pencemaran terhadap hasil produksi. Dalam rencana pembangunan jangka panjang dibidang kesehatan seperti disebutkan dalam sistem kesehatan nasional. Salah satu upaya yang diprogramkan


(17)

adalah peningkatan kesehatan lingkungan. Kesehatan lingkungan mencakup aspek yang luas, salah satu diantaranya adalah higiene sanitasi makanan (Depkes, 2004)

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.722/MENKES/PER/IX/88 tentang bahan tambahan makanan, maka yang disebut dengan Bahan Tambahan Makanan (BTM) adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan kandungan khas makanan. Bahan tambahan makanan tersebut mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan, atau pengangkutan makanan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan (langsung atau tidak langsung) suatu komponen atau mempengaruhi sifat khas makanan tersebut (Mukono, 2010).

Seringkali terjadi penyalahgunaan pemakaian zat pewarna untuk sembarang bahan pangan, misalnya zat pewarna untuk tekstil dan kulit dipakai untuk mewarnai bahan pangan. Hal ini jelas sangat berbahaya bagi kesehatan karena adanya residu logam berat pada zat pewarna tesebut. Timbulnya penyalahgunaan tersebut antara lain disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat mengenai zat pewarna untuk pangan, dan disamping itu harga zat pewarna untuk industri jauh lebih murah dibandingkan dengan harga zat pewarna untuk pangan. Hal ini disebabkan bea masuk zat pewarna untuk bahan pangan jauh lebih tinggi daripada zat pewarna bahan nonpangan. Lagi pula, warna dari zat pewarna tekstil atau kulit biasanya lebih menarik (Cahyadi, 2009).

Penggunaan pewarna pada pangan telah diatur oleh pemerintah mengenai pewarna yang dilarang digunakan dalam makanan, pewarna yang diizinkan serta batas


(18)

penggunaanya, termasuk penggunaan bahan pewarna alami. Namun tetap saja masyarakat terutama produsen pangan menggunakan bahan pewarna yang dilarang dan berbahaya bagi kesehatan. Sebagai contoh sering ditemukan pada kasus pada IRTP (Industri Rumah Tangga-Pangan) menggunakan pewarna untuk tekstil atau cat yang umumnya berwarna cerah, lebih stabil selama penyimpanan serta harganya lebih murah namun mereka belum mengetahui dan menyadari bahaya dari pewarna tersebut (Nur’an, 2011).

Jenis olahan berbahan baku kedelai berupa tempe maupun olahan lain terus berkembang setiap tahunnya. Berbagai macam olahan kedelai kini sudah banyak tersedia, baik dipasar tradisional maupun di pasar modern. Saat ini olahan tersebut tidak hanya dianggap sebagai panganan murah, tetapi juga sebagai salah satu alternatif pangan sehat yang penjualannya sudah mulai meningkat di Indonesia, bahkan mulai merambah pasar ekspor (Dahana, 2010).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Valentine (2009) diketahui dari 12 sampel terdapat 1 sampel kue apem mengandung zat pewarna yang tidak di izinkan yaitu Ponceau 3R dengan kadar 96 mg/kg, 2 sampel mengandung zat pewarna yang di izinkan tetapi melebihi kadar penggunaan, dan 6 sampel yang lain mengandung zat pewarna yang di izinkan dan memenuhi syarat kesehatan. Begitu juga dengan hasil penelitian Sonianjar (2007) diketahui dari 12 sampel manisan jambu biji ada 8 sampel yang mengandung pewarna Green S, Penelitian yang dilakukan oleh Tresniani (2003), di Tangerang menunjukkan terdapat 3 tempat produksi tahu yang mengandung metanil yellow. Berdasarkan pemberitaan di Televisi ditemukan produsen tempe menggunakan pewarna tekstil. Saat menaburi kedelai dengan ragi, produsen tempe menggunakan


(19)

pewarna tekstil yang jika dikonsumsi manusia bisa mengundang penyakit serius. Pewarna tekstil mengandung zat kimia berbahaya dan diklasifikasikan sebagai bahan kimia yang bisa menyebabkan kanker.

Sampel tempe yang dicurigai mengandung zat kimia berbahaya, berupa tempe yang siap dipasarkan maupun dalam bentuk olahan, diuji di laboratorium Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Hasilnya, dari keempat sampel tempe yang diuji, ada yang positif mengandung pewarna tekstil, zat kimia bukan untuk makanan. Tempe yang mengandung zat kimia berbahaya apabila dikonsumsi terus menerus akan terakumulasi dalam tubuh dan berdampak negatif jangka panjang terhadap kesehatan tubuh ( Aninomous, 2011).

Pengawasan terkordinasi dari semua pihak terhadap pelanggaran pengolahan tempe yang merupakan industri rumahan dinilai masih amat kurang. Alasan produsen tempe menggunakan pewarna sebagai penarik dagangannya. Tempe yang diberi pewarna secara fisik lebih menarik karena biji kedelai terlihat cerah dan warna tempe terlihat kekuning – kuningan ( Aninomous, 2011).

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang produsen tempe di kelurahan Tanjung Sari pada tanggal 02 Desember 2011 menyatakan bahwa ada produsen tempe lain yang menambahkan zat pewarna sewaktu pengolahan tempe.

Dampak yang terjadi akibat penggunaan zat pewarna metanil yellow dapat berupa iritasi pada saluran pernafasan, iritasi pada kulit, iritasi pada mata, dan bahaya kanker pada kandung kemih. Apabila tertelan dapat menyebabkan mual, muntah, sakit perut, diare, panas, rasa tidak enak dan tekanan darah rendah. Bahaya lebih lanjut yakni menyebabkan kanker pada kandung dan saluran kemih (Kristanti, 2010).


(20)

Alasan inilah yang melatarbelakangi peneliti untuk melakukan penelitian tentang pelaksanaan higiene sanitasi pengolahan dan pemeriksaan zat pewarna metanil yellow pada hasil industri pengolahan tempe yang di jual di Pasar Sei Sikambing Kota Medan Tahun 2012.

1.2 Perumusan Masalah

Hasil olahan kedelai berupa tempe yang banyak dikonsumsi oleh berbagai kalangan masyarakat. Jadi perlu diperhatikan higiene sanitasi pengolahannya. Berdasarkan bahaya penggunaaan zat pewarna yang tidak diizinkan, maka perlu dilakukan pemeriksaan zat pewarna metanil yellow pada hasil industri pengolahan tempe yang dijual di Pasar Sei Sikambing Kota Medan Tahun 2012.

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui pelaksanaan higiene sanitasi pengolahan dan melakukan pemeriksaan zat pewarna metanil yellow pada hasil industri pengolahan tempe yang dijual di Pasar Sei Sikambing Kota Medan Tahun 2012.

1.3.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khususnya sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui karakteristik produsen tempe yang menjual hasil produksi di Pasar Sei Sikambing Kota Medan tahun 2012

2. Untuk mengetahui higiene sanitasi pemilihan bahan baku tempe 3. Untuk mengetahui higiene sanitasi penyimpanan bahan baku tempe


(21)

4. Untuk mengetahui higiene sanitasi cara pengolahan tempe 5. Untuk mengetahui higiene sanitasi pengemasan tempe 6. Untuk mengetahui higiene sanitasi penyimpanan tempe 7. Untuk mengetahui higiene sanitasi pengangkutan tempe

8. Untuk mengetahui ada tidaknya zat pewarna metanil yellow pada hasil industri pengolahan tempe yang dijual di pasar Sei Sikambing Medan tahun 2012.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Memberi masukan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan dalam hal pengawasan higiene sanitasi pengolahan makanan

2. Sebagai masukan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan untuk lebih memperhatikan penggunaan zat pewarna sintetik yang dilarang seperti metanil yellow khususnya di industri rumah tangga


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Higiene dan Sanitasi Makanan

Pengertian Higiene menurut Depkes adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan individu subyeknya. Misalnya mencuci tangan untuk melindungi kebersihan tangan, mencuci piring untuk melindungi kebersihan piring. Membuang bagian makanan yang rusak untuk melindungi keutuhan makanan secara keseluruhan. Untuk mencagah kontaminasi makanan dengan zat-zat yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan diperlukan penerapan sanitasi makanan.

Sanitasi adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan lingkungan dari subyeknya. Misalnya menyediakan air yang bersih untuk keperluan mencuci tangan, menyediakan tempat sampah untuk mewadahi sampah agar sampah tidak dibuang sembarangan (Depkes RI, 2004).

Sanitasi makanan adalah salah satu usaha pencegahan yang menitikberatkan kegiatan dan tindakan yang perlu untuk membebaskan makanan dan minuman dari segala bahaya yang dapat mengganggu kesehatan, mulai dari sebelum makanan diproduksi, selama dalam proses pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, sampai pada saat dimana makanan dan minuman tersebut siap untuk dikonsumsikan kepada masyarakat atau konsumen. Sanitasi makanan ini bertujuan untuk menjamin keamanan dan kemurnian makanan, mencegah konsumen dari penyakit, mencegah penjualan makanan yang akan merugikan pembeli, mengurangi kerusakan atau pemborosan makanan (Sumantri, 2010).


(23)

Sanitasi makanan yang buruk disebabkan oleh faktor kimia karena adanya zat - zat kimia yang digunakan untuk mempertahankan kesegaran bahan makanan, obat -obat penyemprot hama, penggunaan wadah bekas obat – obatan pertanian untuk kemasan makanan dan lain lain. Sanitasi makanan yang buruk disebabkan oleh faktor mikrobiologi karena adanya kontaminasi oleh bakteri, virus, jamur, dan parasit. Akibat buruknya sanitasi makanan dapat timbul gangguan kesehatan pada orang yang mengkonsumsi makanan tersebut (Sumantri, 2010).

Tujuan sebenarnya dari upaya sanitasi makanan, antara lain: 1. Menjamin keamanan dan kebersihan makanan

2. Mencegah penularan wabah penyakit

3. Mencegah beredarnya produk makanan yang merugikan masyarakat 4. Mengurangi tingkat kerusakan atau pembusukan pada makanan.

Di dalam upaya sanitasi makanan terdapat beberapa tahapan yang harus diperhatikan, seperti berikut:

1. Keamanan dan kebersihan produk makanan yang diproduksi 2. Kebersihan individu dalam pengolahan produk makanan 3. Keamanan terhadap penyediaan air

4. Pengelolaan pembuangan air limbah dan kotoran

5. Perlindungan makanan terhadap kontaminasi selama proses pengolahan, penyajian dan penyimpanan


(24)

2.2 Prinsip Higiene Sanitasi Makanan 2.2.1 Pemilihan Bahan Makanan

Pilihlah bahan makanan yang masih segar, masih utuh, tidak retak atau pecah. Untuk makanan yang cepat membusuk tidak boleh terdapat kotoran dan tidak berulat. Semua jenis bahan makanan perlu mendapat perhatian secara fisik serta kesegarannya terjamin, terutama bahan – bahan makanan yang mudah membusuk atau rusak. Salah satu upaya untuk mendapatkan bahan makanan yang baik adalah menghindari penggunaan bahan makanan yang berasal dari sumber tidak jelas (liar) karena kurang dapat dipertanggungjawabkan kualitasnya. Sanitasi makanan yang buruk disebabkan oleh faktor mikrobiologi karena adanya kontaminasi oleh bakteri, virus, jamur, dan parasit (Sumantri, 2010).

2.2.2 Penyimpanan Bahan Makanan

Tidak semua bahan makanan yang tersedia langsung dikonsumsi oleh masyarakat. Mengingat sifat bahan makanan yang berbeda-beda dan dapat membusuk, sehingga kualitasnya dapat terjaga. Tempat penyimpanan bahan makanan dalam keadaan bersih, tertutup dan tidak menjadi tempat bersarang serangga dan tikus (Depkes, 2003).

Peyimpanan makanan kering :

a. Suhu cukup sejuk, udara kering dengan ventilasi yang baik b. Ruangan bersih, kering, lantai dan dinding tidak lembab

c. Rak-rak berjarak minimal 15 cm dari dinding lantai dan 60 cm dari langit- langit


(25)

2.2.3 Pengolahan Makanan

Pada proses atau cara pengolahan makanan tiga hal yang perlu mendapat perhatian yaitu :

a. Tempat pengolahan makanan

Tempat pengolahan makanan adalah suatu tempat dimana makanan diolah, tempat pengolahan ini sering disebut dapur. Dapur mempunyai peranan yang penting dalam proses pengolahan makanan, karena itu kebersihan dapur dan lingkungan sekitarnya harus selalu terjaga dan diperhatikan. Dapur yang baik harus memenuhi persyaratan sanitasi.

b. Tenaga pengolah makanan/penjamah makanan

Penjamah makanan menurut Depkes RI (2006) adalah orang yang secara langsung berhubungan dengan makanan dan peralatan mulai dari tahap persiapan, pembersihan, pengolahan pengangkutan sampai penyajian. Dalam proses pengolahan makanan, peran dari penjamah makanan sangatlah besar peranannya. Penjamah makanan ini mempunyai peluang untuk menularkan penyakit. Banyak infeksi yang ditularkan melalui penjamah makanan, antara lain staphylococcus ditularkan melalui hidung dan tenggorokan, kuman Clostridium perferingens, streptococcus, Salmonella dapat ditularkan melalui kulit. Oleh sebab itu, penjamah makanan harus selalu dalam keadaan sehat dan terampil.

c. Cara pengolahan makanan

Cara pengolahan makanan yang baik adalah tidak terjadinya kerusakan-kerusakan makanan sebagai akibat cara pengolahann yang salah (Sumantri, 2010).


(26)

2.2.4 Penyimpanan Makanan Jadi

Penyimpanan makanan jadi dapat digolongkan menjadi dua yaitu tempat penyimpanan makanan pada suhu biasa dan tempat penyimpanan pada suhu dingin.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan makanan menurut Depkes RI 2004 adalah :

a. Makanan yang disimpan harus diberi tutup

b. Tersedia tempat khusus untuk menyimpan makanan c. Makanan tidak boleh disimpan dekat dengan saluran air

d. Apabila disimpan diruangan terbuka hendaknya tidak lebih dari 6 jam dan ditutup agar terhindar dari serangga dan binatang lainnya

e. Lemari penyimpan sebaiknya tertutup.

2.2.5 Pengangkutan Makanan

Pengangkutan makanan yang sehat akan sangat berperan di dalam mencegah terjadinya pencemaran makanan. Dalam proses pengangkutan makanan banyak pihak yang terkait mulai dari persiapan, pewadahan, orang, suhu, dan kendaraan pengangkut itu sendiri. Cara mengangkut makanan harus memenuhi persyaratan sanitasi, misalnya apakah sarana pengangkutan memiliki alat pendingin dan tertutup. Pengangkutan tersebut dilakukan baik dari sumber ke pasar maupun dari sumber ke tempat penyimpanan, agar bahan makanan tidak tercemar oleh kontaminan (Chandra, 2006).


(27)

2.2.6 Penyajian dan pengemasan Makanan

Saat penyajian dan pengemasan makanan yang perlu diperhatikan adalah agar makanan tersebut terhindar dari pencemaran, peralatan yang digunakan dalam kondisi baik dan bersih.

Syarat penyajian dan pengemasan makanan :

1. Dapat memberikan perlindungan terhadap kerusakan 2. Dapat memberikan dan mempertahankan kualitas produksi 3. Berfungsi sebagai pelindung terhadap gangguan luar 4. Memberi daya tarik konsumen (Sumantri, 2010).

2.3 Bahan Tambahan Makanan

Bahan tambahan makanan adalah bahan kimia yang terdapat dalam makanan yang ditambahkan secara sengaja atau yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku, untuk mempengaruhi dan menambah cita rasa, warna, tekstur, dan penampilan dari makanan (Mukono, 2010).

Berdasarkan peraturan Menteri kesehatan Republik Indonesia No.722/MENKES/PER/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan, maka yang disebut bahan Tambahan Makanan (BTM) adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan kandungan khas makanan. Bahan tambahan makanan tersebut mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi (termasuk organoleptik) pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan, atau pengangkutan makanan, untuk menghasilkan, atau


(28)

diharapkan menghasilkan ( langsung atau tidak langsung) suatu komponen atau mempengaruhi sifat khas makanan tersebut.

Berdasarkan defenisi yang diikeluarkan oleh komisi Codex Alimentarus yaitu suatu badan antar pemerintah yang terdiri atas sekitar 20 negara anggota Perserikatan bangsa bangsa, menyebutkan bahwa bahan tambahan makanan adalah bahan apapun yang biasanya tidak dimakan sendiri sebagai suatu makanan. Biasanya tidak digunakan sebagai bahan khas untuk makanan, baik mempunyai nilai gizi atau tidak, yang bila ditambahkan dengan sengaja pada makanan untuk tujuan teknologi (Mukono, 2010).

2.3.1 Bahan Tambahan Makanan Yang Diizinkan

Bahan tambahan makanan digolongkan berdasarkan tujuan penggunaannya di dalam pangan. Pengelompokan bahan tambahan pangan yang diizinkan untuk digunakan di dalam pangan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/88 adalah sebagai berikut:

1. Pewarna, yaitu bahan tambahan pangan yang dapat memperbaiki atau memberi warna pada pangan

2. Pemanis buatan, yaitu bahan tambahan pangan yang dapat menyebabkan rasa manis pada pangan, tidak atau hampir tidak mempunyai nilai gizi

3. Pengawet, yaitu bahan tambahan pangan yang dapat mencegah atau menghambat proses fermentasi, pengasaman atau penguraian lain pada makanan yang disebabkan oleh pertumbuhan mikroba


(29)

4. Antioksidan, yaitu bahan tambahan pangan yang dapat mencegah atau menghambat proses oksidasi lemak sehingga tidak menyebabkan terjadinya kondisi tengik

5. Antigumpal, yaitu bahan tambahan pangan yang dapat mencegah menggumpalnya pangan dan bahan tersebut dapat berupa serbuk, tepung, atau bubuk

6. Penyedap rasa, aroma atau penguat rasa yaitu bahan tambahan pangan yang memberi tambahan atau mempertegas rasa dan aroma

7. Pengaturan keasaman, yaitu bahan tambahan pangan yang dapat mengasamkan, menetralkan, dan mempertahankan, derajat keasaman pangan

8. Pemutih dan pematang tepung, yaitu bahan tambahan pangan yang dapat mempercepat proses pemutihan dan atau pematang tepung sehingga dapat memperbaiki mutu pemanggangan

9. Pengemulsi, pemantapan, dan pengental, yaitu bahan tambahan pangan yang dapat membantu terbentuknya dan memantapkan sistem dispersi yang homogen pada pangan

10.Menjadikan pangan berkonsistensi keras, yaitu bahan tambahan pangan yang dapat memperkeras atau mencegah melunaknya pangan

11.Sekuestran, yaitu bahan tambahan pangan yang dapat mengikat ion logam yang terdapat dalam pangan dan dapat menetapkan warna, aroma serta tekstur pangan (Mukono, 2010).


(30)

Diluar pengelompokan bahan tambahan pangan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI.Nomor 722/menkes/per/IX/88 masih ada beberapa bahan tambahan pangan lain yang biasanya digunakan juga dalam pangan yaitu :

1. Enzim, yaitu bahan tambahan pangan yang berasal dari hewan, tanaman atau mikroba yang dapat menguraikan secara enzimatis, misalnya membuat pangan menjadi empuk dan lebih larut

2. Peningkatan kualitas nilai gizi, yaitu bahan tambahan pangan yang berupa asam amino, mineral, dan vitamin, baik tunggal maupun campuran

3. Stabilisator kelembaban, yaitu bahan tambahan pangan yang dapat menyerap kondisi lembab (uap air) sehingga dapat mempertahankan kadar air pada makanan (Mukono, 2010).

Fungsi bahan tambahan pangan, antara lain adalah :

1. Sebagai pengawet pangan dengan cara mencegah pertumbuhan dan aktivitas mikroba perusak pangan (menahan proses biokimia) atau mencegah terjadinya reaksi kimiayang dapat menurunkan mutu pangan

2. Menjadikan pangan lebih baik dan menarik, lebih renyah, dan enak rasanya 3. Menjadikan warna dan aroma yang lebih menarik sehingga menambah dan

merangsang timbulnya selera makan 4. Meningkatkan kualitas pangan


(31)

2.3.2 Bahan Tambahan Makanan Yang Tidak Diijinkan

Bahan tambahan makanan yang dilarang digunakan dalam makanan menurut Permenkes RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/88 :

1. Natrium Tetraborat (Boraks)

Natrium tetraborat merupakan senyawa yang mempunyai sifat bakteriostatik dan fungistatik yang lazim digunakan sebagai antiseptik di dunia farmasi dan kosmetik.

2. Formalin (Formaldehyd)

formaldehida cair yang mengandung alkohol sebagai penstabil, biasanya digunakan pada pengawetan mayat agar tidak membusuk.

3. Minyak nabati yang dibrominasi (Brominated Vegetable Oils)

Minyak nabati yang dibrominasi dapat menstabilkan peneyedap rasa dan aroma dalam minuman ringan.

4. Kloramfenikol (Chlorampenicol)

Kloramfenikol termasuk golongan antibiotika dari streptomyces venezuelae atau sintetik organik dan mempunyai efek samping yang berbahaya.

5. Kalium Klorat (Pottasium Chlorate)

Kalium klorat berbentuk kristal transparan, biasanya digunakan pada pembuatan korek api, mencetak tekstil, desinfektan, dan pemutih. Dapat menyebabkan iritasi saluran pernafasan.

6. Dietilpirokarbonat (Diethylpyrocarbonate, DEPC)

Dietilpirokarbonat tergolong bahan pengawet karena bersifat bakterisida dan fungisida.


(32)

7. Nitrofurazon (Nitrofurazone)

Nitrofurazon merupakan bahan sintetik yang bersifat bakterisida pada hewan. 8. P-Phenetilkarbamida (P-Phenethycarbamide, Dulcin, 4-ethoxyphenil uera)

P-Phenetilkarbamida merupakan bahan sintetik yang memiliki rasa manis 250 kali gula biasa.

9. Asam Salisilat dan garamnya (Salcylyc Acid and its salt)

Asam salisilat dan garamnya bersifat toksik apabila tertelan.Konsumsi dalam jumlah besar dapat menyebabkan rasa mual, muntah sakit perut, iritasi kulit pada yang sensitive.

Sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1168/Menkes/PER/X/1999, selain bahan tambahan diatas masih ada bahan tambahan kimia yang dilarang seperti rhodamin B (pewarna merah), methanyl yellow (pewarna kuning), dulsin (pemanis sintesis), dan kalsium bromat/pengeras (Cahyadi, 2009).

2.4 Batasan Bahan Tambahan Makanan

Istilah Bahan Tambahan makanan (BTM) dikeluarkan oleh Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan; Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya; Badan Pengawas Obat dan Makanan pada tahun 2003. Dalam kehidupan sehari – hari bahan tambahan pangan sudah digunakan secara umum oleh masyarakat; termasuk perusahaan makanan dan minuman jadi, para penjual atau pembuat makanan jajanan. Pada kalangan masyarakat pengusaha masih banyak produsen makanan / minuman yang menggunakan bahan tambahan yang sebenarnya beracun atau berbahaya bagi kesehatan. Mengingat bahan tambahan pangan tersebut


(33)

berdasarkan sifat dan keamanannya tidak boleh digunakan karena sangat berbahaya. Namun kejadian tersebut berlangsung terus karena pengaruh bahan tambahan pangan tehadap kesehatan secara umum tidak langsung dapat dirasakan atau dilihat, sehingga produsen tidak mengetahui bahaya penggunaan bahan tambahan pangan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang – undangan (Mukono, 2010).

2.4.1 Batasan Secara Resmi

Bahan tambahan makanan yang digunakan oleh masyarakat secara luas, secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap sifat suatu makanan (termasuk bahan yang digunakan sewaktu proses produksi, proses dipabrik, pengemasan, pengolahan, pengangkutan, dan pada saat pemasaran). Jika bahan tambahan makanan tersebut tidak aman, maka perlu suatu penilaian secara ilmiah agar dapat aman untuk digunakan secara luas. Penilaian dapat diartikan sebagai: secara umum dikenal aman (generally Recognized As Save = GRAS ). Tetapi dalam hal ini tidak termasuk penyimpangan atau pelanggaran mengenai penggunaan bahan tambahan pangan yang sering dilakukan oleh produsen pangan (Mukono, 2010).

Penggunaan bahan tambahan makanan yang beracun atau yang melebihi dosis akan membahayakan kesehatan masyarakat dan berbahaya bagi pertumbuhan generasi yang akan datang. Akan lebih berbahaya apabila bahan tersebut terbukti dapat menginduksi kanker (carcinogenic) bila dimakan oleh manusia atau hewan. Untuk mencegah terjadinya hal yang tidak diinginkan para produsen pangan perlu mengetahui sifat dan keamanan bahan tambahan pangan. Di samping itu perlu pula


(34)

mematuhi peraturan perundang – undangan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah (Mukono, 2010).

2.4.2 Batasan Secara Teknis

Batasan secara teknis dikeluarkan oleh Food Protection committee of food and Nutrition Board of National Academy of Science. Lembaga ilmu pengetahuan tersebut adalah National Academy of Science yang cukup berwibawa di Amerika Serikat. Pada tahun 1979, lembaga tersebut menyatakan bahwa bahan tambahan pangan merupakan suatu bahan atau campuran bahan selain bahan yang terkandung dalam makanan sebagai produk pada saat proses pengolahan, penyimpangan atau pengemasan (Mukono, 2010).

Secara teknis, bahan tambahan pangan dibagi menjadi dua kategori, yaitu : 1. Bahan tambahan pangan tersebut secara langsung dan dengan sengaja

(intensional) ditambahkan selama proses produksi yang tujuannya adalah untuk meningkatkan konsistensi, nilai gizi, memantapkan bentuk atau rupa serta menambah cita rasa dengan mengendalikan keasaman atau kebasaan

2. Bahan tambahan makanan yang terdapat dalam bahan makanan dalam jumlah yang sangat kecil sebagai akibat dari proses pengolahan dan sebagai zat aditif yang keberadaannya tidak disengaja (incidental). Di sini dibedakan antara zat aditif dengan bahan kontaminan makanan. Kontaminan merupakan bahan yang masuk ke dalam makanan melalui bahan makanan pada saat di dalam tanah maupun selama proses pembuatan makanan. Kontaminan tersebut dapat berupa nitrat, selenium, timbal, jamur, dan bakteri (Mukono, 2010).


(35)

2.4.3 Batasan Maksimum Penggunaan Zat Pewarna

Menurut Lu (2009), yang dikutip oleh Femelia tubuh manusia mempunyai batasan maksimum dalam mentoleril seberapa banyak konsumsi bahan tambahan makanan yang disebut dengan ADI (Allowable Daily Intake). Istilah asupan harian yang dapat diterima atau ADI dibuat oleh JECFA mengenai zat tambahan makanan pada tahun 1961. ADI di defenisikan sebagai besarnya asupan harian suatu zat kimia yang bila dikonsumsi seumur hidup tampak tanpa resiko.

ADI menentukan seberapa banyak konsumsi bahan tambahan makanan setiap hari yang dapat diterima atau dicerna sepanjang hayat tanpa mengalami resiko kesehatan. ADI dihitung berdasarkan berat badan konsumen dan sebagai standar digunakan berat badan 50 kg untuk negara Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya. Satuan ADI adalah mg bahan tambahan makanan per kg berat badan (Aninomous, 2009).

Menurut Lu (2009), yang dikutip oleh (Femelia) Penting untuk diperhatikan bahwa ADI dinyatakan dengan pernyataan tampaknya dan berdasarkan fakta yang diketahui pada saat itu. Peringatan ini didasarkan pada fakta bahwa tidaklah mungkin untuk benar-benar yakin mengenai keamanan suatu zat kimia dan bahwa ADI dapat berubah sesuai dengan data toksikologik yang baru.

Belum semua zat pewarna ditemukan ADI nya oleh JEFCA , sebagian besar masih dalam tahap pengkajian. Zat pewarna yang telah ditemukan rata-rata asupan yang diizinkan perharinya dapat dilihat sebagai berikut :


(36)

Tabel 2.1 Rata-rata Asupan Harian Perkapita Zat pewarna Berbentuk Lakes Dalam Miligram.

Zat Pewarna Umur

6 - 23 Bulan 6 - 12 Tahun 18 - 44 Tahun Brilliant Blue FCF

Aluminium Lake

0,52 1,0 0,76

Indigotine Aluminium Lake

0,35 0,54 0,49

Fast greenFCF

Aluminium Lake Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Erythrosine Aluminium Lake

1,3 2,8 2,1

Allura Red Aluminium Lake

2,2 4,9 3,8

Allura Red

Calcium Lake Tidak ada

1,8 2,5

Tartrazine Aluminium Lake

2,2 4,3 3,0

Tartrazin Calcium lake

0,09 0,10 0,11

Sunset Yellow Aluminium Lake

1,1 2,7 1,7

Total 7,8 18,1 14,5

Sumber : Walford, 1984

Badan pengawas Obat dan makanan AS menentukan seperangkat kriteria untuk menentukan “tingkat kewasdaan”, yang kemudian menentukan tingkat pengujian yang dibutuhkan. Tingkat pengawasan ditentukan oleh struktur kimia dari zat tambahan itu dan tingkat penggunaannya dalam makanan.

2.5 Jenis Zat Pewarna 2.5.1 Pewarna Alami

Banyak warna cemerlang yang dipunyai oleh tanaman dapat digunakan sebagai pewarna untuk makanan. Beberapa pewarna alami ikut menyumbangkan nilai nutrisi


(37)

(karotenoid, riboflavin, dan kobalamin), merupakan bumbu (kunir dan paprika) atau pemberi rasa (karamel) ke bahan olahannya (Cahyadi, 2009).

Beberapa pewarna alami yang diizinkan digunakan dalam pangan diantaranya : 1. Karamel, yaitu pewarna alami berwarna cokelat yang dapat digunakan untuk

mewarnai jeli (200 mg/Kg), acar ketimun dalam botol (300 mg/Kg) dan yogurt beraroma (150 mg/kg)

2. Beta – karoten, yaitu pewarna alami berwarna merah – orange yang dapat digunakan untuk mewarnai acar ketimun dalam botol (300 mg/Kg), es krim (100 mg/Kg), keju (600 mg/Kg), lemak dan minyak makan (secukupnya)

3. Klorofil, yaitu pewarna alami berwarna hijau yang dapat digunakan untuk mewarnai jeli (200 mg/kg) atau keju (secukupnya)

4. Kurkumin, yaitu pewarna alami berwarna kuning – orange yang dapat digunakan untuk mewarnai es krim dan sejenisnya (50 mg/Kg) atau lemak dan minyak ikan secukupnya ( Nur’an 2011).

Pewarna makanan yang didapatkan secara alami dibedakan menjadi empat kelompok: 1. Senyawa tetrapyrole yang meliputi chlorofil, heme, dan bilin

2. Derivat isoprenoid meliputi kartenoid

3. Derivat benzopyran meliputi anthocianin dan flavonoid 4. Artefak meliputi melanodine, karamel (Mukono, 2010). 2.5.2 Pewarna Sintetis/ Buatan

Proses pembuatan zat warna sintetis biasanya melalui perlakuan pemberian asam sulfat atau asam nitrat yang seringkali terkontaminasi oleh arsen atau logam berat lain yang bersifat racun. Pada pembuatan zat pewarna organik sebelum mencapai


(38)

produk akhir, harus melalui suatu senyawa yang kadang-kadang berbahaya dan seringkali tertinggal dalam hal akhir, atau terbentuk senyawa-senyawa baru yang berbahaya. Untuk zat pewarna yang dianggap aman, ditetapkan bahwa kandungan arsen tidak boleh lebih dari 0,0004 persen dan timbal tidak boleh lebih dari 0,0001 sedangkan logam berat lainnya tidak boleh ada (Cahyadi, 2009).

Batasan bahan pewarna makanan adalah semua bahan warna, pigmen, atau bahan yang dibuat dengan proses sintetis, ekstraksi dan pemisahan dari sumber sayuran, binatang, dan mineral. Bila bahan aditif ditambahkan atau diaplikasikan pada makanan, obat, kosmetik, dan pada tubuh, maka bahan pewarna tersebut akan mampu memberikan perubahan tetentu. Bahan pewarna tambahan yang diaplikasikan pada makanan akan mempunyai beberapa fungsi di antaranya adalah, untuk mencegah kehilangan warna selama penyimpanan atau proses dan untuk memperbaiki warna pada makanan (Mukono, 2010).

Tabel 2.2 Bahan Pewarna Sintetis yang Diizinkan di Indonesia

Nama (Indonesia) Nama (Inggris) Batas Maksimum

Penggunaan

Biru berlian Brilliant blue FCF :CI 100 mg/kg

Coklat HT Chocolate brown HT 300 mg/kg

Eritrosin Food red 2 Erithrosin : CI 300 mg/kg

Hijau FCF Food red 14 Fast green FCF :CI 100 mg/kg Hijau S Food green 3 Green S : CI Food 300 mg/kg

Indigotin Green 4 Indigon : CI Food 300 mg/kg

Ponceau 4R Blue I Ponceau 4R : CI 300 mg/kg

Karmoisin Carmoisine 300 mg/kg

Merah alura Allura red 300 mg/kg

Kuning Kuinolin Quinoline yellow CI Food yellow 13 300 mg/kg Kuning FCF Sunset yellow FCF CI Food yellow 3 300 mg/kg Riboflavina

Tartrazine

Riboflavina Tartrazine 300 mg/kg


(39)

Di Indonesia, peraturan mengenai penggunaan zat pewarna yang diizinkan dan dilarang untuk pangan diatur melalui SK Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/88 mengenai bahan tambahan pangan. Akan tetapi, seringkali terjadi penyalahgunaan pemakaian zat pewarna untuk sembarang bahan pangan, misalnya zat pewarna untuk tekstil dan kulit dipakai untuk mewarnai bahan pangan. Hal ini jelas sangat berbahaya bagi kesehatan karena adanya residu logam berat pada zat pewarna tesebut (Yuliarti, 2007).

Tabel 2.3 Bahan Pewarna Sintetis yang Dilarang Di Indonesia

Bahan Pewarna Nomor Indeks

Warna (C.I.No)

Citrus red No.2 12156

Ponceau 3 R (Red G) 16155

Ponceau Sx (Food Red No.1) 14700

Rhodamin B (Food Red No.5) 45170

Guinea Green B (Acid Green No.3) 42085

Magentha (Basic Violet N0.14) 42510

Chrysoidine (Basic Orange No.2) 11270

Butter yellow (Solvent Oranges No.2) 11020

Sudan I (Food yellow No.2) 12055

Methanil Yellow (Food yellow No.14) 13065

Auramine (Ext.D & C Yellow No.1) 41000

Oil Orange SS (Basic Yellow No.2) 12100

Oil Oranges XO (Solvent Oranges No.7) 12140

Oil Yellow AB (Solvent Oranges No.5) 11380

Oil Yellow OB (Solvent Oranges No.6) 11390

Sumber: Peraturan Menkes RI.Nomor 722/Menkes/Per/IX/88 2.6 Zat Pewarna Metanil Yellow

2.6.1 Defenisi Zat Pewarna Metanil Yellow

Metanil Yellow adalah pewarna sintetis yang digunakan pada industri tekstil dan cat berbentuk serbuk atau padat yang berwarna kuning kecoklatan. Pewarna kuning metanil yellow sangat berbahaya jika terhirup, mengenai kulit, mengenai mata


(40)

dan tertelan. Penyalahgunaan pewarna metanil yellow antara lain pada mie, kerupuk dan jajanan lain yang berwarna kuning mencolok berpendar. Pewarna ini digunakan untuk pewarna tekstil, kertas dan cat. Methanil Yellow merupakan zat pewarna sintetis yang dilarang untuk produk makanan karena dalam bahan tersebut mengandung residu logam berat yang sangat membahayakan bagi kesehatan (Kristanti, 2010).

2.6.2 Sifat Kimia Metanil Yellow

- Golongan (azo, amin, aromatik, sulfonat) - Larut dalam : air, alkohol - Cukup larut dalam : benzen; eter - Sedikit larut dalam : aseton - memiliki titik leleh : >3000C - Titik lebur : 390℃ (dec.)

- Kelarutan air : 5-10 g/100 mL at 24℃ - panjang gelombang maksimum pada 485 nm. - Senyawa ini memiliki berat molekul 452.37 - Bentuk fisik : serbuk/padat

- Warna : Kuning kecokelatan

- Nama lain Sunset Yellow : C.I. 15985; C.I. Food Yellow 3; C.I. Food Yellow 3, disodium salt; Food yellow No.5; Gelborange S; Fodd yellow No.5

- Strukturnya terdapat ikatan N=N. Metanil yellow dengan warna kuning dibuat dari asam metanilat dan difenilamin.


(41)

2.6.3 Ciri-Ciri Tempe Yang Mengandung Zat Pewarna Metanil Yellow 1. Biji kedelai terlihat kuning cerah

2. Warna tempe terlihat kekuning-kuningan

3. Muncul rasa gatal di tenggorokan setelah mengonsumsinya 4. Baunya tidak alami sesuai makanannya (Aninomous, 2010).

2.6.4 Bahaya Zat Pewarna Metanil Yellow Terhadap Kesehatan

Dampak yang terjadi dapat berupa iritasi pada saluran pernafasan, iritasi pada kulit, iritasi pada mata, dan bahaya kanker pada kandung kemih. Apabila tertelan dapat menyebabkan mual, muntah, sakit perut, diare, panas, rasa tidak enak dan tekanan darah rendah. Bahaya lebih lanjut yakni menyebabkan kanker pada kandung dan saluran kemih (Kristanti, 2010).

Metanil yellow juga bisa menyebabkan kanker, keracunan, iritasi paru-paru, mata, tenggorokan, hidung, dan usus. Efek zat warna Metanil yellow ialah selain bersifat karsinogenik, zat warna ini dapat merusak hati pada binatang percobaan, berbahaya pada anak kecil yang hypersensitive dan dapat mengakibatkan gejala-gejala akut seperti kulit menjadi merah, meradang, bengkak, timbul noda-noda ungu pada kulit, pandangan menjadi kabur pada penderita asma dan alergi lainnya (Aninomous, 2009).

2.7 Tempe

Tempe adalah makanan yang dibuat dari fermentasi terhadap biji kedelai atau beberapa bahan lain yang menggunakan beberapa jenis kapang Rhizopus, seperti Rhizopus oligosporus, Rh. Oryzae, Rh.stolonifer (kapang roti), atau Rh arrhizus.


(42)

Sediaan fermentasi ini secara umum dikenal sebagai “ragi tempe”. Kapang yang tumbuh pada kedelai menghidrolisis senyawa – senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana yang mudah dicerna oleh manusia. Tempe kaya akan serat pangan, kalsium, vitamin B, dan zat besi. Berbagai macam kandungan dalam tempe mempunyai nilai obat, seperti antibiotika untuk menyembuhkan infeksi dan antioksidan pencegah penyakit degeneratif. Secara umum, tempe berwarna putih karena pertumbuhan miselia kapang yang merekatkan biji – biji kedelai sehingga terbentuk tekstur yang memadat. Degradasi komponen – komponen kedelai pada fermentasi membuat tempe memiliki rasa aroma khas (Joe, 2011).

2.7.1 Bahan Baku Tempe 1. Kedelai hitam

Kedelai ini memiliki kulit biji yang berwarna hitam dan tidak transparan, sehingga biji tidak terlihat dari luar. Apabila dikupas kulitnya, warna biji kedelai hitam juga kuning. Karena warnanya yang hitam identik dengan warna kecap, kedelai hitam menjadi pilihan pengrajin kecap.

2. Kedelai Kuning

Kedelai jenis ini memiliki kulit berwarna putih transparan, sehingga biji yang berwarna kuning terlihat dari luar. Karena itu, biji kedelai jenis ini akan terlihat berwarna kuning. Kedelai kuning biasanya diolah menjadi tempe, susu kedelai, tahu, dan soyghurt (Dahana, 2010).


(43)

Manfaat Kedelai : 1. Aspek Ekonomi

2. Aspek lingkungan dan Agroekosistem 3. Aspek Gizi dan Kesehatan.

Gizi yang terkandung dalam kedelai sangat tinggi, terutama protein, karbohidrat, dan lemak.

Beikut beberapa kelebihan dan manfaat kedelai bagi kesehatan manusia :

1. Merupakan sumber protein dan asam amino esensial bagi tubuh. Kandungannya hampir sama dengan protein hewani pada daging, telur, dan susu

2. Menyediakan energi bagi tubuh

3. Mengandung lesitin yang dapat menurunkan kolesterol jahat dan digunakan sebagai pencegah penyakit jantung koroner, obesitas, diabetes melitus, dan tekanan darah tinggi

4. Mengandung antioksidan yang dapat mencegah penyakit kanker

5. Mengandung berbagai mineral yang berperan dalam metabolisme tubuh, seperti kalsium, fosfor, dan besi

6. Merupakan salah satu asupan gizi dalam bentuk cairan bagi penderita stroke (Dahana, 2010).


(44)

Tabel 2.4 Kandungan Gizi Kedelai per 100 gram

Komponen Zat Gizi Jumlah

Kalori 331 kcal

Air 7,5 gram

Protein 34 gram

Lemak 18,1 gram

Karbohidrat 34,8 gram

Kalsium 227 mg

Fosfor 585 mg

Besi 8 mg

Vitamin A 110 SI

Vitamin B1 1,1 mg

2.7.2 Cara Pengolahan Tempe A. Persiapan Alat dan Bahan a. Alat –alat

Beberapa alat yang dibutuhkan dalam membuat tempe sebagai berikut: 1. Kompor dan Panci

2. Mesin pembelah biji 3. Tampah atau Keranjang

4. Ember, Baskom, dan Drum Plastik 5. Karung Goni

6. Pengaduk Kayu

7. Daun pisang atau Plastik Pembungkus 8. Rak Kayu atau Bambu (Dahana, 2010).


(45)

b. Bahan 1. Kedelai

Bahan baku utama dalam pembuatan tempe adalah kedelai. Jenis kedelai yang digunakan biasanya kedelai kuning dan hitam.

2. Ragi Tempe

Ragi tempe merupakan bibit jamur tempe atau Rhizopus aryzae. Ragi yang berbentuk serbuk ini dapat diperoleh di toko bahan pangan atau di laboratorium pangan dan mikrobiologi.

3. Air

Air berguna untuk mencuci, merendam, dan merebus kedelai (Dahana, 2010).

B. Proses Pembuatan Tempe 1. Perebusan dan Perendaman

Rebus kedelai hingga mendidih. Jumlah air yang digunakan untuk merebus jangan terlalu banyak cukup 2-2,5 liter air untuk 1 kg kedelai. Setelah mendidih, angkat kedelai dan rendam dalam air bersih, maksimum selama dua hari atau hingga air menjadi berlendir. Umumnya, perendaman dilakukan selama 1 hari. Buang air rendaman dan cuci kedelai hingga bersih dan lendirnya hilang.

2. Pembelahan Biji dan Pembuangan Kulit

Pembelahan biji bisa dilakukan dengan cara sederhana. Masukkan biji kedelai ke dalam karung goni, lalu injak-injak hingga biji kedelai terbelah. Rendam biji di dalam air sambil diremas-remas sehingga kulitnya terlepas dan mengambang


(46)

di permukaan air. Buang kulit biji tersebut. Selain itu, proses pembelahan biji kedelai dapat dilakukan dengan mesin pembelah biji atau penggiling tipe cakram. Pada perusahaan pembuat tempe skala besar, mesin yang digunakan sudah dapat membelah biji sekaligus memisahkan kulit biji sehingga lebih praktis dan efisien.

3. Pencucian dan Perebusan Biji Tanpa Kulit

Cuci biji yang telah terlepas dari kulitnya hingga bersih dan lendirnya hilang. Pencucian dilakukan di bawah air yang mengalir. Setelah dicuci, rebus kembali biji kedelai di dalam air mendidih hingga lunak atau selama 20-30menit. 4. Pemberian Ragi Tempe (Inokulasi)

Taburkan ragi tempe yang telah dipersiapkan sebelumnya. Untuk 10 kg kedelai diperlukan ragi tempe sekitar 200 gram. Setiap jenis ragi tempe yang dijual di pasaran memiliki kualitas yang berbeda-beda sehingga jumlah ragi yang digunakan sangat tergantung pada jenis raginya. Biasanya penambahan bahan tambahan makanan dilakukan pada proses ini.

5. Pembungkusan

Plastik yang akan digunakan untuk membungkus sebaiknya di tusuk-tusuk terlebih dahulu menggunakan jarum sehingga terdapat lubang untuk sirkulasi udara. Bungkus biji kedelai yang telah diberi ragi (bakal tempe) dengan plastik atau daun pisang. Masukkan biji kedelai ke dalam plastik hingga cukup penuh, lalu tutup ujung plastiknya dan pipihkan isinya hingga ketebalan 1,5-2 cm.


(47)

6. Fermentasi

Fermentasi dilakukan dengan meletakkan bakal tempe di rak kayu atau bambu. Proses fermentasi dilakukan sekitar 1,5-2 hari atau hingga tempe siap olah. Namun, pengrajin tempe biasanya hanya memfermentasikan selama satu hari sehingga tempe yang dihasilkan masih setengah jadi (tempe mondol). (Dahana, 2010).

Cara Menghasilkan Tempe yang Berkualitas :

1. Tempat pengolahan dan pembungkus bersih, agar tidak terjadi kontaminasi 2. Pengupasan kulit kedelai harus dilakukan dengan baik

3. Pastikan biji kedelai terbelah karena akan memengaruhi kekompakan tempe 4. Tekstur tempe yang kompak dipengaruhi oleh jumlah isi dalam kemasan,

umumnya isi bakal tempe sebanyak tiga perempat kemasan

5. Suhu selama fermentasi sebaiknya sebesar 28-34 C (Dahana, 2010).

2.7.3 Ciri-Ciri Tempe Yang Baik

1. Warna putih bersih merata diseluruh bagian. Warna putih ini merupakan miselia jamur yang telah tumbuh

2. Tidak terdapat bercak hitam di permukaan tempe

3 Struktur homogen dan memiliki tekstur tempe kompak sehingga tidak hancur saat dipotong tipis

4 Apabila dicium, terdapat aroma yang khas, tidak berbau busuk menyengat (Dahana, 2010).


(48)

2.8 Kerangka Konsep

Tempe

Pemeriksaan

Laboratorium secara kualitatif

Zat Pewarna Metanil Yellow Ada(+)

Tidak (-)

Kepmenkes RI No. 942/Menkes/SK/VII/2003

Tidak memenuhi

syarat Memenuhi

syarat

Higiene Sanitasi

- Pemilihan bahan baku tempe - Penyimpanan bahan baku tempe - Pengolahan tempe

- Pengemasan tempe

- Penyimpanan tempe


(49)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis Penelitian ini adalah survey yang bersifat deskriptif yaitu untuk mengetahui gambaran pelaksanaan higiene sanitasi pengolahan tempe dan analisis laboratorium dengan melakukan pemeriksaan zat pewarna metanil yellow pada hasil industri pengolahan tempe yang menjual hasil produksi di Pasar Sei Sikambing Kota Medan Tahun 2012.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada industri pengolahan tempe yang menjual hasil produksi di pasar Sei Sikambing Kota Medan dan Penelitian dilanjutkan dengan melakukan pemeriksaan zat pewarna Metanil yellow pada hasil industri pengolahan tempe di Balai POM.

Adapun alasan dipilihnya lokasi tersebut sebagai tempat penelitian karena: 1. Tempat tersebut banyak memproduksi tempe

2. Di daerah ini belum pernah diakukan penelitian tentang pelaksanaan higiene sanitai dan pemeriksaan zat pewarna metanil yellow.

3.2.2 Waktu Penelitian


(50)

3.3 Obyek Penelitian

Obyek pada penelitian ini adalah tempe yang dihasilkan oleh industri pengolahan tempe yang dijual di Pasar Sei Sikambing Kota Medan yaitu sebanyak sepuluh industri yang masing-masing berada di Jln. Sei Beras Sekata gg. setia Tanjung selamat, Jln. Sampul gg. johor Kec. Medan petisah, Jln. Kapten Muslim gg. melintang, Jln. Pasar 1 gg. sapto argo tanjung sari, Jln. Pasar 1 gg. matahari, Jln. Sei Beras Sekata Tanjung selamat, Jln. Bunga Asoka gg. andalas, Jln. Setia gg. amal Tanjung rejo, Jln. Hm. Tahir desa Sumber Melati Kec. Sunggal, Jln. Sampul Medan Petisah.

3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Data Primer

Data primer diperoleh dari hasil pemeriksaan zat pewarna metanil yellow di Balai POM Medan.

3.5 Defenisi Operasional

1. Tempe adalah makanan yang dibuat dari fermentasi terhadap biji kedelai

2. Higiene sanitasi adalah upaya untuk mengendalikan faktor tempat, peralatan, orang dan makanan yang dapat atau mungkin dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Memenuhi syarat bila seluruh prinsip higiene sanitasi terpenuhi dan tidak memenuhi syarat kesehatan bila tidak memenuhi atau salah satu saja tidak sesuai dengan prinsip higiene sanitasi makanan


(51)

3. Pemilihan bahan makanan adalah proses menentukan bahan-bahan dengan kondisi segar, masih utuh dan diperoleh dari sumber yang resmi untuk digunakan dalam proses pengolahan tempe

4. Penyimpanan bahan makanan adalah menaruh bahan pada tempat yang aman sehingga tidak terjangkau tikus, serangga, serta binatang pengganggu lainnya 5. Pengolahan bahan adalah proses pengubahan bentuk dari bahan kedelai

menjadi tempe

6. Penyimpanan tempe adalah menaruh tempe yang sudah jadi pada tempat yang tidak dapat dijangkau oleh tikus, serangga dan binatang pengganggu lainnya 7. Pengangkutan tempe adalah mengangkut tempe dari tempat produksi ke

tempat-tempat penjualan untuk di edarkan ke masyarakat

8. Pengemasan tempe adalah bahan yang digunakan untuk membungkus tempe 9. Memenuhi syarat apabila pernyataan dari observasi pada enam prinsip higiene

sanitasi sesuai dengan Kepmenkes RI No.942/Menkes/SK/VII/2003

10. Tidak memenuhi syarat apabila salah satu dari pernyataan observasi pada enam prinsip higiene sanitasi tidak sesuai dengan Kepmenkes RI No.942/Menkes/SK/VII/2003

11. Zat pewarna metanil yellow adalah pewarna sintetis digunakan pada industri tekstil dan cat berbentuk serbuk atau padat yang berwarna kuning kecoklatan yang tidak diizinkan sebagai bahan tambahan makanan

12. Uji secara kualitatif adalah pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui ada tidaknya zat pewarna metanil yellow pada tempe.


(52)

3.6 Cara Pengambilan Sampel

Sampel berjumlah 10 indutri pengolahan tempe yang ditentukan secara purposif. Untuk dilakukan penilaian higiene sanitasi pengolahan dan pemeriksaan zat pewarna metanil yellow di Laboratorium. Cara pengambilan sampel sebelum dibawa ke Laboratorium masing-masing dimasukkan kedalam plastik yang bersih secara terpisah kemudian diberi label.

3.7 Pemeriksaan Sampel di Laboratorium 3.7.1 Pemeriksaan Sampel Secara Kualitatif

Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan metode Kromatografi Kertas. 1. Alat-alat

- Gelas piala 10 ml, 100 ml, 250 ml - Pengaduk kaca

- Kertas saring

- Bejana kromatografi - Penangas air

- Benang wol bebas lemak - Kertas saring biasa

- Kertas saring whatman no.1. 2. Pereaksi

- Asam asetat glasial - Larutan asam asetat 6 % - Amonia NH4 OH, Bj. 0,88


(53)

- Larutan baku zat warna makanan - Larutan elusi.

3. Cara Kerja

Pemeriksaan metanil yellow dilakukan dengan menggunakan pelarut air yaitu : 1. Persiapan benang wol bebas lemak ekstrak/ rendam benang wol dengan eter

atau petroleum

2. Masukkan benang wol secukupnya ke dalam sampel tempe yang sudah dipersiapkan sekitar 30 – 50 gram. Panaskan di atas api sambil diaduk-aduk selama 10 menit. Ambil benang wol, cuci berulang-ulang dengan air hingga bersih

3. Masukkan benang wol ke dalam gelas piala 100 ml. Tambahkan larutan amonia encer. Panaskan diatas penangas air hingga zat warna pada benang wol luntur. Ambil benang wolnya saring larutan berwarna tersebut dan pekatkan diatas penangas air

4. Pekatan totolkan pada kertas kromotografi, juga totolkan zat warna pembanding yang cocok

5. Masukkan kertas tersebut ke dalam bejana kromatografi yang terlebih dahulu sudah dijenuhkan dengan uap elusi

6. Setelah kering bandingkan ratio faktor sampel dengan ratio faktor standar. 3.8 Aspek Pengukuran

Aspek pengukuran adalah melihat gambaran higiene sanitasi industri pengolahan tempe yang dijual di pasar Sei Sikambing Kota Medan yang meliputi pemilihan bahan kedelai, penyimpanan bahan kedelai, pengolahan tempe,


(54)

penyimpanan tempe, pengangkutan tempe, penyajian/pengemasan tempe. Jika salah satu pernyataan dari observasi pada enam prinsip higiene sanitasi tidak sesuai Kepmenkes No. 942/Menkes/SK/VII/2003 tentang persyaratan Higiene Sanitasi Makanan Jajanan, maka tahap tersebut tidak memenuhi syarat kesehatan. Observasi dilakukan dengan menggunakan lembar observasi berupa pernyataan yang menyajikan 2 (dua) kategori jawaban yaitu “ya” dan “tidak.

3.8.1 Observasi

Observasi yang dilakukan pada pernyataan ada dua jawaban yaitu “ya” dan “tidak”.

3.9 Analisa Data

Data yang diperoleh dari hasil observasi higiene sanitasi pengolahan tempe akan di analisis secara deskriptif, kemudian disajikan dalam bentuk tabel distribusi dan dinarasikan dengan kepustakaan yang relevan dan disesuaikan dengan Kepmenkes RI No. 942/Meskes/SK/VII/2003 dan data pemeriksaan zat pewarna metanil yellow yang diperoleh dari pemeriksaan laboratorium. Apabila terdapat Zat pewarna metanil yellow dalam tempe maka dikatakan tidak memenuhi syarat.


(55)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Wilayah Penelitian

Kecamatan Medan Helvetia berbatasan langsung dengan kecamatan Medan Sunggal di sebelah selatan, kabupaten Deli Serdang di sebelah utara, kabupaten Deli Serdang di sebelah barat, dan Kecamatan Medan Barat dan Medan Petisah di sebelah Timur. Kecamatan Medan Helvetia merupakan salah satu Kecamatan di Kota Medan yang mempunyai luas sekitar 11,55 km² . Jarak kantor kecamatan ke kantor Walikota Medan yaitu sekitar 8 km.

Kecamatan Medan Helvetia dihuni oleh 144077 orang penduduk dimana penduduk terbanyak berada di Kelurahan Helvetia Tengah yakni sebanyak 33196 orang. Jumlah penduduk terkecil di Kelurahan Sei Sikambing CII yakni sebanyak 14110 orang.

Bila dilihat dari luas kelurahan, kelurahan Tanjung Gusta memiliki luas yang terbesar yakni 2,2 km² sedangkan kelurahan Sei Sikambing CII memiliki luas terkecil yakni 0,989 km². Bila dibandingkan antara jumlah penduduk serta luas wilayahnya, maka kelurahan Helvetia Tengah meruapakan kelurahan terpadat yaitu 22.130 jiwa tiap km².

Mobilitas penduduk di kecamatan inipun juga ramai yakni selama tahun 2008 tercatat 3.051 orang datang dan 1.827 orang pindah dari Kecamatan ini. Sebagian besar warga kecamatan Medan Helvetia berprofesi sebagai pegawai negeri dan pedagang.

Tercatat ada sekitar 17.454 penduduk kecamatan Medan Helvetia yang bersekolah pada tahun 2008. Namun masih ada sejumlah 203 penduduk yang tidak bersekolah. Bila dilihat dari sisi keamanannya, kecamatan Medan Helvetia pada tahun 2008 memiliki 110 pertahanan sipil. Diantaranya 38 wanra, 38 kamra, 34 linma.


(56)

Tabel 4.1 Luas Wilayah Dirinci per Kelurahan di Kecamatan Medan Helvetia

No Kelurahan Luas (Km²) Persentase

terhadap Luas Kecamatan

1 Cinta Damai 1,8 18,46

2 Sei Sikambing CII 0,98 8,55

3 Dwi Kora 2 17,3

4 Helvetia Timur 1,82 13,57

5 Helvetia Tengah 1,5 12,97

6 Helvetia 1,25 10,81

7 Tanjung Gusta 2,2 18,545

Sumber: Kecamatan Medan Helvetia Dalam Angka Tahun 2009

Tabel 4.2 Jumlah Penduduk, Luas Kelurahan Kepadatan Penduduk per Km Dirinci Menurut Kelurahan di Kecamatan Medan Helvetia

No Kelurahan Jumlah Penduduk

Luas Wilayah

Kepadatan

Penduduk Per Km²

1 Cinta Damai 17244 1,8 9580

2 Sei Sikambing CII 14110 0,989 14266,94

3 Dwi Kora 20731 2 10365,5

4 Helvetia Timur 23584 1,822 12944,02 5 Helvetia Tengah 33196 1,5 22130,67

6 Helvetia 14755 1,25 11804

7 Tanjung Gusta 20456 2,2 9298,182

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Medan

4.2 Hasil Penelitian

Peneliti melakukan observasi terhadap 10 industri pengolahan tempe untuk melihat higiene sanitasi pengolahannya. Peneliti juga melakukan pemeriksaan zat pewarna metanil yellow pada hasil industri pengolahan tempe yang menjual hasil produksi di Pasar Sei Sikambing Kota Medan tahun 2012.


(57)

4.2.1 Karakteristik Produsen Tempe

Karakteristik produsen tempe meliputi jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, lama berproduksi, jumlah tenaga kerja, jumlah produksi tempe setiap bulan, pernah mengikuti kursus mengolah tempe atau tidak, dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.3 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Umur dan Pendidikan Pada Industri Pengolahan Tempe Yang Menjual Hasil Produksi di Pasar Sei Sikambing Kota Medan Tahun 2012

Karakteristik Responden Jumlah Persen (%)

Jenis Kelamin

Laki-laki 9 90

Perempuan 1 10

Umur (Tahun) ≤ 34

≥ 34 4 6

40 60 Pendidikan terakhir

SD

SMP/ Sederajat SMA/ Sederajat Diploma/ Sarjana

3 2 4 1

30 20 40 10

Berdasarkan Tabel 4.3 di atas, diketahui bahwa produsen tempe berjenis kelamin laki-laki sebanyak 90% dan sebanyak 10% berjenis kelamin perempuan. Umur produsen tempe yang berada dibawah 34 tahun berjumlah 4 orang (40%) dan umur produsen tempe yang berada diatas 34 tahun berjumlah 6 orang (60%). Tingkat pendidikan terakhir produsen tempe yang paling banyak adalah SMA/sederajat yaitu 40% dan tingkat pendidikan tertinggi adalah tamat Diploma/Sarjana yaitu sebanyak 10%.


(58)

Tabel 4.4 Distribusi Lama Berproduksi Industri Pengolahan Tempe Yang Menjual Hasil Produksi di Pasar Sei Sikambing Kota Medan Tahun 2012

No Lama Berproduksi (Tahun) Jumlah Persentase (%)

1. 2 1 10

2. 4 1 10

3. 6 1 10

4. 10 2 20

5. 11 1 10

6. 7. 8. 20 25 45 2 1 1 20 10 10

Berdasarkan tabel 4.4 di atas, diketahui bahwa industri pengolahan tempe yang paling lama berproduksi adalah 45 tahun dengan persentase 10% dan yang paling muda berproduksi adalah 2 tahun dengan persentase 10%.

Tabel 4.5 Distribusi Jumlah Tenaga Kerja Industri Pengolahan Tempe Yang Menjual Hasil Produksi di Pasar Sei Sikambing Kota Medan Tahun 2012

No Tenaga Kerja (orang) Jumlah Persentase(%)

1. 1 4 40

2. 2 2 20

3. 3 1 10

4. 5. 5 4 1 2 10 20

Berdasarkan tabel 4.5 di atas, diketahui bahwa jumlah tenaga kerja yang paling banyak adalah 5 orang dengan persentase 10 % dan yang paling sedikit tenaga kerjanya adalah 1 orang dengan persentase 40 %.


(59)

Tabel 4.6 Distribusi Jumlah Bahan Baku Industri Pengolahan Tempe Yang Menjual Hasil Produksi di Pasar Sei Sikambing Kota Medan Tahun 2012

No Bahan Baku (Kg/bulan) Jumlah Persentase (%)

1. 300 1 10

2. 1500 1 10

3. 1650 1 10

4. 2100 2 20

5. 3000 2 20

6. 7. 8. 3600 6000 15000 1 1 1 10 10 10

Berdasarkan tabel 4.6 di atas, diketahui bahwa jumlah bahan baku produksi tempe yang paling banyak adalah 15000 kg/bulan dengan persentase 10% dan yang paling sedikit bahan baku produksinya adalah 300 kg/bulan dengan persentase 10 %. Tabel 4.7 Distribusi Pernah/ Tidak Produsen Tempe Mengikuti Kursus

Pengolahan Makanan Tahun 2012

No Pernah Mengikuti Kursus Mengolah Makanan Jumlah Persentase (%)

1 Ya 0 0

2 Tidak 10 100

Berdasarkan Tabel 4.7 di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada satupun industri pengolahan tempe (0%) yang pernah mengikuti kursus mengolah makanan sebelum mereka memproduksi tempe.

4.2.2 Enam Prinsip Higiene Sanitasi Pada Industri Pengolahan Tempe Yang Menjual Hasil Produksi di Pasar Sei Sikambing Kota Medan Tahun 2012.

Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan peneliti terhadap 10 industri pengolahan tempe, diperoleh gambaran pelaksanaan 6 (enam) prinsip higiene sanitasi pengolahan tempe yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi.


(1)

dengan bahan pangan mentah lain yang juga dijajakan, namun demikian tempe sudah dalam kondisi dikemas ke dalam plastik atau daun sehingga wadahnya dipisahkan dengan bahan pangan mentah lainnya, pencemaran pun dapat dihindari.

5.3 Gambaran Higiene Sanitasi Pada Industri Pengolahan Tempe Yang Menjual Hasil Produksi di Pasar Sei Sikambing Kota Medan Tahun 2012 Higiene sanitasi pengolahan tempe pada industri pengolahan tempe yang menjual hasil produksi di pasar sei sikambing Kota Medan Tahun 2012 secara umum tidak memenuhi syarat kesehatan karena semua industri pengolahan tempe belum menerapkan prinsip higiene sanitasi pengolahan makanan secara keseluruhan, mulai pada tahap penyimpanan bahan baku hingga tahap pengangkutan tempe yang belum sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 942 Tahun 2003 Tentang Persyaratan Higiene Sanitasi Makanan. Berdasarkan observasi dengan kriteria yang peneliti sesuaikan, hanya pada tahap pemilihan bahan baku yang oleh semua industri pengolahan tempe penuhi.

Untuk mengolah bahan pangan mentah menjadi suatu produk pangan diperlukan cara-cara pengolahan yang harus dilalui tahap demi tahap secara berurutan. Setiap tahap pengolahan ini dilakukan dengan tujuan tertentu yang berkaitan dengan mutu dan keamanan produk yang dihasilkan. Oleh karena setiap pengolahan ini berperan dalam menentukan mutu dan keamanan produk pangan yang dihasilkan, maka setiap tahap pengolahan ini harus selalu dikendalikan supaya benar (BPOM, 2002). Menurut peneliti, upaya pengendalian proses dalam tahap pengolahan pangan khususnya dalam pengolahan tempe adalah dengan melakukan proses pengolahan


(2)

yang sesuai dengan persyaratan kesehatan umumnya dan persyaratan higiene sanitasi pengolahan makanan khususnya.

5.4 Kandungan Metanil Yellow Pada Tempe 5.4.1 Uji Kualitatif

Berdasarkan penelitian uji kualitatif yang telah peneliti lakukan di Balai

Besar Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Kota Medan pada sampel tempe diperoleh hasil pemeriksaan bahwa tidak ada satupun sampel yang mengandung Metanil yellow. Dari hasil pemeriksaan tersebut dapat disimpulkan bahwa semua

sampel tempe dari 10 industri pengolahan tempe yang dijual di pasar sei sikambing Kota Medan Tahun 2012 memenuhi persyaratan kesehatan.

Berdasarkan hasil observasi di lapangan di temukan 2 industri pengolahan tempe yang menggunakan zat pewarna makanan yang di izinkan yaitu light yellow dengan kandungannya tartrazine. Zat pewarna tartrazine merupakan bahan pewarna sintetis yang diizinkan sesuai dengan Peraturan Menkes RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988. Zat pewarna ini selalu disediakan untuk digunakan oleh industri B pada saat pengolahan tempe, tetapi produsen ini mengatakan menggunakann hanya sedikit saja sampai terlihat biji kedelai agak kuning. Zat pewarna ini dibubuhi ± 30 menit sebelum kacang kedelai dikemas. Zat pewarna ditabur dan diaduk rata pada kacang kedelai yang telah diletakkan pada hamparan terpal plastik yang juga tidak memenuhi syarat kesehatan. Sementara industri G pada saat wawancara mengatakan menggunakan zat pewarna pada saat pengolahan tempe, tetapi industri G tidak mau menyebutkan jenis pewarna yang digunakan.


(3)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil observasi pelaksanaan higiene sanitasi pengolahan dan pemeriksaan zat pewarna metanil yellow pada hasil industri pengolahan tempe yang dijual di pasar sei sikambing Kota Medan Tahun 2012, maka diperoleh hasil sebagai berikut:

1. Karakteristik produsen pengolahan tempe berjenis kelamin laki-laki (90%), umur produsen berkisar 24-50 tahun; tingkat pendidikan tertinggi produsen adalah tamat Diploma/ Sarjana (10%); industri pengolahan tempe berproduksi yang paling lama adalah 45 tahun; dan tidak ada satupun produsen yang pernah mengikuti kursus mengolah makanan (100%).

2. Pemilihan bahan baku kedelai oleh industri pengolahan tempe yang menjual hasil produksi di pasar sei sikambing Kota Medan sudah memenuhi syarat kesehatan.

3. Observasi hasil penelitian yaitu penyimpanan bahan baku, Pengolahan bahan baku, Pengemasan tempe, Penyimpanan tempe, Pengangkutan tempe, oleh industri pengolahan tempe yang menjual hasil produksi di pasar sei sikambing Kota Medan tidak memenuhi syarat kesehatan.

4. Kandungan Metanil yellow pada sampel tempe industri pengolahan tempe yang menjual hasil produksi di pasar sei sikambing Kota Medan Tahun 2012 adalah ( - ), yang berarti memenuhi syarat kesehatan.


(4)

6.2 Saran

1. Bagi industri Pengolahan tempe yang dijual di pasar sei sikambing Kota Medan:

a. Agar lebih memperhatikan higiene sanitasi pengolahan tempe, mulai dari penyimpanan bahan baku, pengolahan, pengemasan, penyimpanan makanan jadi, dan pengangkutan makanan jadi.

b. Agar penjamah tempe menggunakan, alas tangan, pakaian (baju) sewaktu melakukan pengolahan tempe.

c. Agar penjamah tempe tidak merokok pada saat melakukan pengolahan tempe, sehingga tidak terjadi kontaminasi terhadap tempe hasil produksi. 2. Bagi Dinas Kesehatan Kota Medan :

a. Agar mengadakan pengawasan dan pemantauan hygiene sanitasi terhadap industri pengolahan tempe yang ada di Kota Medan.

b. Melalui puskesmas, agar mengadakan pelatihan/ kursus pengolahan makanan yang higienis bagi industri rumah tangga yang ada di wilayah kerja puskesmas tersebut.

3. Bagi peneliti lain untuk meneliti bagaimana peran pemerintah setempat seperti Dinas Kesehatan, Puskesmas dan pengaruhnya terhadap kualitas suatu produk industri rumah tangga.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Akmal, Y. 2006. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produktivitas Tenaga Kerja Industri Kecil Kerupuk Sanjai di Kota Tebing Tinggi, Fakultas Pertanian Bogor.

Aninomous, 2009. Bahaya Zat Pewarna Metanil Yellow Pada Makanan. www. Kaskus.us/showthread.php

Aninomous, 2011. Gurihnya Tempe Berpewarna Tekstil. Diakses tanggal 20 Januari 2012.

. Diakses tanggal 20 Januari 2012.

BPOM, 2002. Panduan Pengolahan Pangan Yang Baik Bagi Industri Rumah Tangga. Deput Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya. Direktotat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan.

BPOM, 2002. Produksi Pangan Yang Baik Skala Rumah Tangga (CPPB) dan Pedoman Penilaian. Jakarta

Cahyadi, W. 2009. Analisis & Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Bumi aksara, Jakarta.

Chandra,B. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Penerbit Buku kedokteran EGC, Jakarta.

Dahana W, 2010. Meraup Untung Dari Olahan KEDELAI. Agro Media Pustaka, Jakarta.

Depkes RI, dan dirjen POM, 1988.Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

722/Menkes/Per/IX/1988 Tentang Bahan Tambahan makanan, Jakarta. ---, dan Dirjen POM, 1999. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

1186/Menkes/Per/X/1999 Tentang Perubahan atas

722/Menkes/Per/IX/1988 Tentang Bahan Ttambahan makanan, Jakarta.

---, 2003. Kepmenkes RI No. 1098/Menkes/SK/VII/2003. Tentang

Persyaratan Higiene Sanitasi Rumah Makan dan Restoran, Jakarta. Femelia, W. 2009. Analisa penggunaan zat warna pada keripik balado yang

diproduksi di kecamatan Payah kumbuh barat tahun 2009. Skripsi Fakultas Kesehatan Mayarakat USU, Medan.


(6)

Joe, W. 2011. 101+ + Keajaiban Khasiat Kedelai. Andi, Yogyakarta.

Kristanti,H. 2010. Penyakit Akibat kelebihan & Kekurangan Vitamin, mineral & Elektrolit. Citra Pustaka, Yogyakarta.

Lingga, I. 2009. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Pengusaha Industri Kecil di Kabupaten Dairi, Tesis Fakultas Ekonomi Universitas Sumatra Utara.

Nur Afifah, A. 2008. Hubungan Pengetahuan Higiene Sanitasi dengan Prilaku Higiene Sanitasi Tenaga Penjamah Makanan dI Instalasi Gizi Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo.www.jurzima.web idi/ 2011/04/

hubungan-pengetahun-hiniene-sanitasi.htm

Nur’an, 2011. Amankah Makanan Yang Anda Konsumsi?. Arya Pustaka.

l. Diakses tanggal 18 Juli 2012.

Marsaulina,I.2004, Study Tentang Pengetahuan Perilaku Dan Kebersihan

Penjamah Makanan PadaTempat Umum Pariwisata di DKI Jakarta (TMII,TIJA, TMR). FakultasKesehatanMasyarakatUniversitas Sumatera Utara.

Mukono, H,J, 2010. Toksikologi Lingkungan. Airlangga University Press, Surabaya. Mutiara, A. 2010, Analisis Pengaruh Bahan Baku, Bahan Bakar, dan Tenaga

Kerja Terhadap Produksi Tempe di Kelurahan Kerobokan Kota Semarang, Skripsi Ilmu Ekonomi dan Pembangunan UNDIP Semarang. Palar, H. 2008. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka Cipta, Jakarata. Sianipar, H. 2009. Kajian Cemaran Salmonella sp Pada Susu Kedelai yang Dijual

Dibeberapa Pasar Tradisional Di Kota Medan. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Medan.

Slamet, SJ. 2004. Kesehatan Lingkungan. Gajah Mada University Press, Bandung. Sirait, E. 2009. Hygiene Sanitasi Pengolahan dan Pemeriksaan Escherichia coli

dalam Susu Kedelai pada Usaha Kecil di Kota Medan 2009. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Medan. Sumantri, E. 2010. Kesehatan Lingkungan & Perspektif Islam. Kharisma Putra

Utama, Jakarta.

Yuliarti, N. 2007. Awas Bahaya Dibalik Lezatnya Makanan. Andi, Yogyakarta Valentine, E.2009. Analisa Pewarna Buatan Serta Pengetahuan dan Sikap Pada

Pedagang Kue Basah yang Dijajakan di Beberapa Pasar Di Kota Medan Tahun 2009.Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat USU, Medan


Dokumen yang terkait

Higiene Sanitasi Pengolahan dan Analisa Boraks pada Bubur Ayam yang Dijual di Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2012

30 178 152

Hygiene Sanitasi Pengolahan Dan Analisa Kandungan Zat Pewarna Merah Pada Makanan Kipang Pulut Di Kecamatan Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2011

0 77 97

ANALISIS PENERAPAN HIGIENE SANITASI INDUSTRI MI BASAH “X’ DAN PEMERIKSAAN ZAT PEWARNA METHANIL YELLOW SECARA KUALITATIF

1 18 107

Pelaksanaan Hygiene Sanitasi Pengolahan dan Pemeriksaan Zat Pewarna Metanil Yellow pada Mie Aceh yang Dijual di Pasar Tradisional Kota Sigli Provinsi Aceh Tahun 2015

6 99 184

Pelaksanaan Hygiene Sanitasi Pengolahan dan Pemeriksaan Zat Pewarna Metanil Yellow pada Mie Aceh yang Dijual di Pasar Tradisional Kota Sigli Provinsi Aceh Tahun 2015

0 0 19

Pelaksanaan Hygiene Sanitasi Pengolahan dan Pemeriksaan Zat Pewarna Metanil Yellow pada Mie Aceh yang Dijual di Pasar Tradisional Kota Sigli Provinsi Aceh Tahun 2015

0 0 2

Pelaksanaan Hygiene Sanitasi Pengolahan dan Pemeriksaan Zat Pewarna Metanil Yellow pada Mie Aceh yang Dijual di Pasar Tradisional Kota Sigli Provinsi Aceh Tahun 2015

0 0 7

Pelaksanaan Hygiene Sanitasi Pengolahan dan Pemeriksaan Zat Pewarna Metanil Yellow pada Mie Aceh yang Dijual di Pasar Tradisional Kota Sigli Provinsi Aceh Tahun 2015

0 1 46

Pelaksanaan Hygiene Sanitasi Pengolahan dan Pemeriksaan Zat Pewarna Metanil Yellow pada Mie Aceh yang Dijual di Pasar Tradisional Kota Sigli Provinsi Aceh Tahun 2015

1 1 4

Pelaksanaan Hygiene Sanitasi Pengolahan dan Pemeriksaan Zat Pewarna Metanil Yellow pada Mie Aceh yang Dijual di Pasar Tradisional Kota Sigli Provinsi Aceh Tahun 2015

0 0 49