Hubungan Kadar Hemoglobin Ibu Hamil dengan Persalinan Prematur di RSUP H. Adam Malik dan Rumah Sakit Jejaring FK USU Medan Tahun 2011-2013


 

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Persalinan Prematur
2.1.1. Definisi Persalinan Prematur
Persalinan prematur adalah persalinan yang terjadi sebelum usia
kehamilan 37 minggu (Alston, 2012).
Organisasi Kesehatan Dunia yaitu WHO (2013) membagi persalinan
prematur menjadi tiga kategori berdasarkan umur kehamilan, yaitu:
a. extremely preterm bila kurang dari 28 minggu
b. very preterm bila kurang dari 32 minggu
c. moderate to late preterm antara 32 dan 37 minggu

2.1.2. Patogenesis Persalinan Prematur
Persalinan prematur dapat terjadi secara spontan atau karena ada indikasi.
Persalinan prematur secara spontan dapat terjadi pada selaput ketuban yang masih
intak atau karena ketuban pecah dini (preterm premature rupture of fetal
membranes). Persalinan prematur atas indikasi bisa tejadi karena kondisi yang

terjadi pada ibu ataupun janin. Kondisi pada ibu yang sering menginduksi adalah
kejadian preeklampsia, plasenta previa sedangkan pada janin adalah karena
pertumbuhan janin terhambat. Namun, kedua kondisi ini dapat terjadi secara
bersamaan. Dari semua kasus persalinan prematur yang terjadi, 25% terjadi atas
indikasi dan 75% terjadi secara spontan dimana 45% dengan selaput ketuban yang
masih intak dan 30% dengan kasus ketuban pecah dini (Romero, 2007).
Proses persalinan aterm dan prematur pada dasarnya adalah sama,
perbedaannya hanya pada usia kehamilan. Mekanisme umum persalinan yaitu
adanya kontraksi uterus, pendataran serviks, dan ketuban pecah. Perbedaan yang
paling mendasar antara persalinan aterm dan prematur adalah persalinan aterm
terjadi sebagai hasil proses fisiologis dari mekanisme umum persalinan sedangkan

 
 
Universitas Sumatera Utara


 

persalinan prematur sebagai hasil proses patologis yang mengaktifkan salah satu

atau lebih komponen dari mekanisme umum persalinan (Romero, 2007)
Mekanisme umum persalinan pada persalinan aterm ataupun prematur
melibatkan psoses anatomik, biokimia, imunologi, endokrin, dan hal klinis pada
ibu dan janin. Banyak klinisi lebih menekankan pada komponen uterus meliputi
kontraksi miometrium, dilatasi serviks, dan pecahnya ketuban. Namun, dapat
terjadi perubahan sistemik seperti peningkatan kadar Corticotropin Releasinng
Hormone (CRH) di plasma (Romero, 2007).
Keseluruhan aktivasi mekanisme persalinan dipicu oleh suatu sinyal.
Prostaglandin dipertimbangkan sebagai kunci dalam onset persalinan karena dapat
memicu kontraksi miometrium, perubahan matrix ekstraselular yang berhubungan
dengan pendataran serviks dan aktivasi membran desidua (Romero, 2007).

PG

RP-A/RP-B
RE-α
Reseptor Prostaglandin di fundus
Reseptor Oksitosin,
COX-2


MMPs
dan IL-8
Ca ++ 

Perubahan serviks

KPD

Kontraksi

Gambar 2.1 Mekanisme biokimia dalam persalinan umum
Sumber: Romero dan Lockwood
 
 
Universitas Sumatera Utara


 

PG : Prostaglandin


RE-α

: Resepor Estrogen

RP-A: Reseptor Prostaglandin-A

MMPs

: Metaloproteinisasi

RP-B: Reseptor Prostaglandin-B

IL-8

: Interleukin-8

Infeksi

merupakan


salah

satu

penyebab

persalinan

prematur.

Mikroorganisme ataupun produk yang dihasilkan dapat memicu inflamasi pada
cairan amnion dan korioamnion (Cunningham et al, 2004).
Penelitian menunjukkan bahwa 25%-40% kasus persalinan prematur
karena infeksi. Microbial invasion of the amniotic cavity (MIAC) terdapat pada
12,8% wanita yang mengalami persalinan prematur dengan selaput ketuban yang
masih intak dan 32% pada persalinan prematur dengan ketuban pecah dini.
Mikroorganisme yang paling sering ditemui di cairan amnion adalah mikoplasma
dari daerah genitalia (Romero, 2007).


Gambar 2.2 Jalur infeksi intrauterin
Sumber: Romero dan Lockwood

 
 
Universitas Sumatera Utara


 

Tahap 1: Perubahan flora normal di vagina/serviks
Tahap 2: Mikroorganisme berada di antara korion dan amnion
Tahap 3: Infeksi intraamnion
Tahap 4: Invasi fetus
Menurut Prawirohardjo (2011), kasus persalinan prematur dapat terjadi
sebagai akibat proses patogenik yang merupakan mediator biokimia yang
mempunyai dampak terjadinya kontraksi rahim dan perubahan serviks, yaitu:
1. Aktivasi aksis kelenjar hipotalamus-hipofisis-adrenal baik pada ibu maupun
janin, akibat stress pada ibu atau janin.
2. Inflamasi desidua-korioamnion atau sistemik akibat infeksi asendens dari

traktus genitourinaria atau infeksi sistemik.
3. Perdarahan desidua
4. Peregangan uterus patologik
5. Kelainan pada uterus atau serviks

2.1.3. Penyebab Persalinan Prematur
Persalinan prematur dapat disebabkan oleh banyak faktor. Cunningham,
et.al., (2004) menyatakan bahwa penyebab persalinan prematur dapat dibagi
menjadi:
1. Komplikasi medis dan obstetrik
Kurang lebih 1/3 dari kejadian persalinan prematur disebabkan oleh halhal yang berkaitan dengan komplikasi medis atau obstetrik tertentu misalnya
pada kasus-kasus perdarahan antepartum atau hipertensi dalam kehamilan
yang sebagian besar memerlukan tindakan terminasi saat kehamilan preterm.
Akan tetapi, 2/3 dari kejadian persalinan prematur tidak diketahui secara jelas
penyebabnya karena persalinan prematur pada kelompok ini terjadi persalinan
yang spontan atau idiopatik (Feryanto, 2011).
2. Faktor gaya hidup
Perilaku seperti merokok, gizi buruk, penambahan berat badan yang
kurang baik selama kehamilan, serta penggunaan obat seperti kokain atau


 
 
Universitas Sumatera Utara


 

alkohol telah dilaporkan memainkan peranan penting pada kejadian prematur
dan hasil akhir bayi dengan berat lahir rendah (Cunningham et al, 2004).
Penyalahgunaan alkohol tidak hanya dikaitkan dengan kelahiran prematur
melainkan dengan peningkatan cedera otak pada bayi yang lahir prematur.
Konsumsi alkohol yang berlebihan selama kehamilan dapat memengaruhi
perkembangan fetus dan harapan hidup neonatus. Wanita yang mengonsumsi
alkohol lebih dari satu gelas per hari dapat meningkatkan risiko persalinan
prematur sementara jika mengosumsi akohol kurang dari 4 gelas tiap miggu
tidak memberikan efek meningkatkan risiko persalinan premature (Offiah,
Donoghue, dan Kenny, 2012).
Faktor usia juga diduga berhubungan dengan kejadian persalinan
prematur. Wanita usia muda cenderung mempunyai pasangan seksual yang
lebih banyak dan infeksi pada vagina, sementara wanita usia yang lebih tua

cenderung mengalami kontaksi uterus yang irregular, seperti mioma
(Chalermchockcharoenkit, 2002).
3. Faktor genetik
Kelahiran prematur juga diduga sebagai suatu proses yang terjadi secara
familial karena sifat persalinan prematur yang berulang dan prevalensinya
yang berbeda-beda antar ras (Cunningham et al, 2004).
4. Infeksi cairan amnion dan korion
Infeksi koriamnion yang disebabkan oleh berbagai mikroorganisme telah
muncul sebagai penyebab kasus pecah ketuban dini dan persalinan prematur.
Proses persalinan aterm diawali dengan aktivasi dari fosfolipase A2 (PLA-2)
yang melepaskan bahan asam arakidonat dari selaput amnion janin sehingga
meningkatkan penyediaan asam arakidonat benas untuk sintesis prostaglandin.
Banyak mikroorganisme yang menghasilkan fosfolipase A2 sehingga
mencetuskan persalinan prematur. Endotoksin bakteri (liposakarida) dalam
cairan amnion merangsang sel desidua untuk memproduksi sitokin dan
prostaglandin yang memicu persalinan (Cunningham, 2004). Drife dan
Magowan dalam Prawirohardjo (2011) menyatakan bahwa proses persalinan
prematur yang dikaitkan dengan infeksi diperkirakan diawali dengan
 
 

Universitas Sumatera Utara

10 
 

pengeluaran produk sebagai hasil dari aktivasi monosit. Berbagai sitokin
termasuk interleukin-1, tumor nekrosing faktor (TNF), dan interleukin 6
adalah produk sekretorik yang dikaitkan dengan persalinan prematur.
Sementara itu, Platelet Activating Factor (PAF) yang ditemukan dalam air
ketuban terlibat secara sinergik pada aktivasi jalinan sitokin tadi. PAF diduga
dihasilkan dari paru dan ginjal janin. Dengan demikian janin memerankan
peran sinergik dalam mengawali proses persalinan prematur yang disebabkan
oleh infeksi. Bakteri sendiri mungkin menyebabkan kerusakan membran
melalui pengaruh langsung dari protease.
Sedangkan Prawirohardjo (2011) menyatakan bahwa kondisi yang terjadi
selama kehamilan dapat berisiko terhadap kejadian persalinan prematur yang
dibagi dalam dua faktor, yaitu:
1. Janin dan plasenta
a. perdarahan trimester awal
b. perdarahan antepartum (plasenta previa, solution plasenta, vasa previa)

c. ketuban pecah dini (KPD)
d. pertumbuhan janin terhambat
e. cacat bawaan janin
f. kehamilan ganda/gemeli
g. polihidramnion
2. Ibu
a. penyakit berat pada ibu
b. diabetes mellitus
c. preeklamsia/hipertensi
d. infeksi saluran kemih/genital/intrauterin
e. penyakit infeksi dengan demam
f. stress psikologik
g. kelainan bentuk uterus/serviks
h. riwayat persalinan prematur/abortus berulang
i. inkompetensia serviks (panjang serviks kurang dari 1 cm)
j. pemakaian obat narkotik
 
 
Universitas Sumatera Utara

11 
 

k. trauma perokok berat
l. kelainan imunologik/kelainan resus

2.1.4. Dampak Persalinan Prematur
Permasalahan pada persalinan prematur bukan saja pada kematian
perinatal, melainkan bayi prematur sering disertai kelainan, baik kelainan jangka
pendek maupun jangka panjang. Kelainan jangka pendek yang sering terjadi
adalah: RDS (Respiratory Distress Syndrome), perdarahan intra/periventrikular,
NEC(Necrotizing Entero Cilitis), displasi bronko-pulmoner, sepsis, dan paten
duktus arteriosus. Adapun kelainan jangka panjang sering berupa serebral palsi,
retinopati, retardasi mental, juga dapat berupa disfungsi neurobehavioral dan
prestasi sekolah yang kurang baik (Prawirohardjo, 2011).
Bayi yang lahir sebelum 32 minggu memiliki risiko yang sangat besar
akan kematian dan kesehatan yang buruk di masa kehidupannya, begitu juga
dengan bayi yang lahir di antara 32 sampai 36 minggu masih tetap memiliki
masalah kesehatan dan perkembangan dibandingkan bayi yang dilahirkan cukup
bulan (Institute of Medicine, 2006).
Komplikasi pada persalinan prematur terjadi karena sistem organ yang
masih imatur yang masih belum siap untuk mendukung kehidupan di lingkungan
ekstrauterin. Inflamasi dan pengeluaran sitokin yang mencetuskan parsalinan
prematur diduga sebagai patogenesis chronic lung disease, NEC(Necrotizing
Entero Cilitis), ROP(Rethinopathy of Prematurity), dan kerusakan pada brain
white matter ( Behrman dan Butler, 2007).

2.1.5. Diagnosis Persalinan Prematur
Diagnosis persalinan prematur adalah salah satu hal yang sulit. Diagnosis
persalinan prematur didasarkan pada pemeriksaan klinis dari kontraksi uterus dan
perubahan seviks. Keadaan yang lebih sulit adalah ketika pasien mengalami
kontraksi yang regular tetapi dengan dilatasi serviks yang minimal. Bila pasien
dengan usia kehamilan di bawah 37 minggu, kontraksi uterus yang regular dengan

 
 
Universitas Sumatera Utara

12 
 

dilatasi serviks 3 cm dan penipisan 80%, dipertimbangkan mengalami persalinan
prematur tanpa menunggu perubahan serviks (Chalermchockcharoenkit, 2002).
Menurut Prawirohardjo (2011), sering terjadi kesulitan dalam menentukan
diagnosis ancaman persalinan prematur. Tidak jarang kontraksi yang timbul pada
kehamilan tidak benar-benar merupakan ancaman proses persalinan. Beberapa
kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman persalinan prematur, yaitu:
a. kontraksi yang berulang sedikitnya setiap 7-8 menit sekali atau 2-3 kali
dalam waktu 10 menit
b. adanya nyeri pada punggung bawah (low back pain)
c. perdarahan bercak
d. perasaan menekan pada daerah serviks
e. pemeriksaan serviks menunjukkan telah terjadi pembukaan sedikitnya
2 cm dan penipisan 50-80%
f. presentasi janin rendah sampai mencapai spina isiadika
g. selaput ketuban pecah dapat merupakan tanda awal terjadinya
persalinan prematur
h. terjadi pada usia kehamilan 22-37 minggu
Menurut Prawirohardjo (2011), beberapa indikator dapat dipakai untuk
meramalkan terjadinya persalinan prematur, yaitu sebagai berikut:
1. Indikator klinik
Indikator klinik yang dapat dijumpai seperti timbulnya kontraksi dan
pemendekan serviks (secara manual maupun ultrasonografi). Terjadinya ketuban
pecah dini juga meramalkan akan terjadinya persalinan prematur.
2. Indikator laboratorik
Beberapa indikator laboratorik yang bermakna antara lain adalah jumlah
leukosit dalam air ketuban (20/ml atau lebih), pemeriksaan CRP (>0,7 mg/ml),
dan pemeriksaan leukosit dalam serum ibu (>13.000/ml)
3. Indikator biokimia
a. Fibronektin janin: peningkatan kadar fibronektin janin pada vagina,
serviks, dan air ketuban memberikan indikasi adanya gangguan pada
hubungan antar korion dan desidua. Pada kehamilan 24 minggu atau
 
 
Universitas Sumatera Utara

13 
 

lebih, kadar fibronektin janin 50ng/ml atau lebih mengindikasikan
risiko persalianan prematur.
b. Corticotropin Releasing Hormone (CRH): peningkatan CRH dini atau
pada trimester 2 merupakan indikator kuat untyk terjadinya persalinan
premature.
c. Sitokin inflamasi: pada keadaan normal (tidak hamil) kadar isoferitin
sebanyak 10 U/ml. Kadarnya meningkat secara bermakna selama
kehamilan dan mencapai puncak pada trimester akhir yaitu 54,8±53
U/ml. Penurunan kadar dalam serum akan berisiko terjadinya
persalinan prematur.
d. Feritin: Rendahnya kadar feritin merupakan indikator yang sensitive
untuk keadaan kurang zat besi. Peningkatan ekspresi feritin berkaitan
dengan berbagai keadaan fase akut termasuk kondisi inflamasi.
Beberapa peneliti menyatakan ada hubungan antara peningkatan kadar
feritin dan kejadian penyulit kehamilan, termasuk persalinan prematur.

2.1.6. Pengelolaan Persalinan Prematur
Tujuan utama pengelolaan persalinan prematur adalah sebagai berikut:
a. Menghambat atau mengurangi kekuatan dan kontraksi uterus untuk menunda
proses persalinan.
b. Untuk meningkatkan kualitas janin sebelum dilahirkan
c. Menurunkan morbiditas dan mortalitas perinatal (Goldenberg, 2002)
Prinsip pengelolaan persalinan prematur bergantung pada:
a. Keadaan selaput ketuban. Pada umumnya persalinan tidak dihambat bilamana
selaput ketuban sudah pecah.
b. Pembukaan serviks. Persalinan akan sulit dicegah bila pembukaan mencapai 4
cm.
c. Umur kehamilan. Makin muda usia kehamilan, upaya mencegah persalinan
makin perlu dilakukan. Persalinan dapat dipertimbangkan berlangsung bila
TBJ > 2.000 atau kehamilan > 34 minggu.
d. Penyebab/komplikasi persalinan prematur
 
 
Universitas Sumatera Utara

14 
 

e. Kemampuan neonatal intensive care facilities.
f. Ada atau tidaknya gejala klinis dari infeksi intrauterin
g. Ada atau tidaknya pertanda-pertanda yang meramalkan persalinan dalam
waktu yang singkat ini (Prawirohardjo, 2001)
Pengelolaan pada kasus persalinan prematur dengan ketuban yang masih
intak dimana tidak didapatkan bahaya pada ibu dan janin maka pengelolaannya
adalah konservatif, yang meliputi:
a. Menunda persalinan prematur dengan tirah baring dan pemberian obat-obat
tokolitik.
b. Memberikan obat-obat untuk pematangan paru janin.
c. Memberikan obat-obat antibiotik untuk mencegah risiko infeksi perinatal.
d. Merencanakan cara persalinan prematur yang aman dan dengan trauma yang
minimal.
e. Mempersiapkan perawatan neonatal dini yang intensif untuk bayi-bayi
prematur (Fadlun dan Feryanto, 2013).
Menurut Goldenberg (2002), pengelolaan persalinan prematur dapat
mencakup:
1. Tirah Baring
Tirah baring adalah salah satu intervensi yang digunakan sebagai pencegahan
atau pengobatan pada persalinan prematur yang mengancam.

2.

Hidrasi/Sedasi
Alasan diberikannya hidrasi adalah karena wanita dengan risiko persalinan

prematur memiliki volume plasma di bawah normal. Namun, pemberian hidrasi
ataupun sedasi masih belum memilki data yang mendukung. Hidrasi ataupun
sedasi belum memperlihatkan efek menurunkan kejadian persalinan prematur.

3.

Progesteron
Adanya hipotesis persalinan prematur karena progesterone withdrawal, maka

salah satu pencegahan ataupun pengobatan persalinan prematur adalah dengan

 
 
Universitas Sumatera Utara

15 
 

pemberian progesteron. Namun, penggunaan progersteron ini belum berhasil
menghentikan persalinan prematur.

4.

Tokolisis
Pemberian tokolisis untuk menghambat persalinan masih belum efektif.

Namun, pemberian tokolisis masih perlu dipertimbangkan bila dijumpai kontraksi
uterus yang regular dengan perubahan serviks. Alasan pemberian tokolisis dalam
pengelolaan persalinan prematur adalah:


Mencegah mortalitas dan morbiditas bayi prematur



Memberi kesempatan bagi terapi kortikosteroid untuk menstimulir surfaktan
paru janin



Memberi kesempatan transfer intrauterine pada fasilitas yang lebih lengap
Beberapa jenis obat yang dapat digunakan sebagai tokolisis adalah:

a. Obat -mimetik
Ada tiga reseptor
jaringan adiposit,

2 di

mimetik di tubuh manusia.
uterus,

3 di

1

di jantung, usus halas, dan

jaringan lemak coklat. Stimulasi di reseptor

menyebabkan relaksasi otot polos uterus. Contoh obat

2

2

selektif adalah ritrodin

dan terbutalin.
b. Sulfas magnesikus
Sulfas magnesikus belum efektif dalam menghentikan persalinan prematur.
Kontraindikasi absolut dalam pemberian sulfas magnesikus adalah miastenia
gravis dan blokade jantung. Kontraindikasi relatif adalah penyakit ginjal dan
infark miokardial. Walaupun terdapat efek samping pada ibu dan janin, sulfas
magnesikus masih kurang berbahaya dibandingkan obat -mimetik. Oleh karena
itu, banyak tim medis yang menggunakan obat ini sebagai obat tokolisis utama.
c. Prostaglandin Synthetase Inhibitors
Contoh obatnya adalah indometasin. Namun, penggunaan ini tidak bnayak
dilakukan karena efek samping pada ibu dan janin.
d. Calcium Channel Blockers
Calcium Channel Blockers adalah obat untuk mengurangi masuknya kalsium
sehingga dapat mengontrol kontraktilitas otot dan aktivitas pacemaker di jantung
 
 
Universitas Sumatera Utara

16 
 

dan jaringan uterus. Obat yang digunakan adalah nifedipin. Nifedipin dilaporkan
dapat memperpanjang usia kehamilan dibandingkan ritrodin atau plasebo.
Nifedipin juga sama efektifnya dengan sulfas magnesikus dalam menunda
persalinan. Kontraindikasi dalam menggunakan Nifedipin adalah hipotensi, gagal
jantung, dan stenosis aorta. Efek samping pada ibu dalam penggunaan Nifedipin
adalah sebagai hasil vasodilatasi pembuluh darah yaitu sakit kepala dan edema
perifer. Efek samping untuk janin masih perlu diteliti lebih lanjut. Penggunaan
Nifedipin sebagai tokolisis yang lebih baik daripada sulfas magnesikus masih
memilki bukti yang sedikit.

5. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid dapat menurunkan kejadian Respiratory Distress
Syndrome (RDS) sehingga dapat menurunkan morbiditas perinatal pada nonatus
yang lahir sebelum usia 34 minggu. Efek ini diperolah hanya pada persalinan yang
terjadi lebih dari 24 jam setelah pemberian dosis pertama dan sebelum 7 hari. Ibu
hamil yang berada pada usia kehamilan antara 23 dan 34 minggu yang berisiko
mengalami persalinan prematur sebaiknya diberikan kortikosteroid. Pada pasien
yang megalami ketuban pecah dini, kortikosteroid direkomendasikan untuk diberi
pada kehamilan 30-32 minggu.
Kortikosterid yang paling sering digunakan adalah:


Betametason : 2 x 12 mg intramuskular dengan jarak pemberian 24 jam



Deksametason : 4 x 6 mg intravena dengan jarak pemberian 6 jam

Betametason

dilaporkan

lebih

efektif

dalam

menurunkan

perdarahan

intraventrikular dibandingkan dengan deksametason.

6. Antibiotika
Antibiotika diberikan hanya diberikan bilamana kehamilan mengandung risiko
terjadinya infeksi, seperti ketuban pecah dini. Obat diberikan per oral, yang
dianjurkan adalah eritromisin 3 x 500 mg selama 3 hari. Obat pilihan lain adalah
ampisilin 3 x 500 mg selama tiga hari atau antibiotka lain klinsdamisin

 
 
Universitas Sumatera Utara

17 
 

5. Proses persalinan
Pada kasus yang melahirkan di usia 24 minggu, sebaiknya melakukan operasi
sesar.

2.2 Hemoglobin
2.2.1. Pengertian Hemoglobin
Hemoglobin suatu pigmen (yang berwarna secara alami) yang terdapat
dalam sel darah merah. Molekul hemoglobin memiliki dua bagian:
1. bagian globin, suatu protein yang terbentuk dari empat rantai polipeptida
yang sangat berlipat-lipat
2. empat gugus nonprotein yang mengandung besi yang dikenal sebagai gugus
hem, dengan masing-masing terikat ke salah satu polipeptida di atas
(Sherwood, 2011)

Gambar 2.3 Struktur Hemoglobin
Sumber: Barrett, et al., 2010

Hemoglobin dibentuk melalui proses kimiawi, yaitu sebagai berikut:
1. Suksinil-KoA dibentuk melalui siklus krebs di mitokondria.
2. Suksinil-KoA bergabung dengan glisin membentuk molekul pirol.
 
 
Universitas Sumatera Utara

18 
 

3. Empat molekul pirol bergabung menjadi protoporfirinogen IX.
4. Protoporfirinogen IX bergabung dengan besi membentuk molekul hem.
5. Masing-masing molekul hem bergabung dengan rantai polipeptida panjang,
yaitu globin yang disintesis di ribosom membentuk sebuah subunit
hemoglobin yang disebut rantai hemoglobin (Guyton dan Hall, 2006).

Gambar 2.4 Pembentukan Hemoglobin
Sumber: Guyton dan Hall, 2006

Masing-masing dari keempat atom besi dapat berikatan secara reversibel
dengan satu molekul O2; karena itu, setiap molekul hemoglobin dapat mengambil
empat O2 di paru. Karena O2 tidak mudah larut dalam plasma, maka 98,5% yang
terangkut dalam darah terikat ke hemoglobin. Karena kandungan besinya, maka
hemoglobin tampak kemerahan jika berikatan dengan O2 dan keunguan jika
mengalami deoksigenasi. Oleh karena itu, darah arteri yang teroksigenasi penuh
akan berwarna merah dan darah yang telah kehilangan O2 –nya di tingkat jaringan
berwarna kebiruan (Sherwood, 2011).
Selain mengangkut O2, hemoglobin juga dapat berikatan dengan yang
berikut :

 
 
Universitas Sumatera Utara

19 
 

1. karbon dioksida (CO2) . Hemoglobin membantu mengangkat CO2 dari sel
jaringan kembali ke paru
2. bagian ion hydrogen asam (H+) dari asam karbonat terionisasi, yang
dihasilkan di tingkat jaringan dari CO2. Hemoglobin menyangga asam ini
sehingga asam ini tidak banyak menyebabkan pH darah
3. karbon monoksida (CO). Gas ini dalam keadaan normal tidak terdapat dalam
darah, tetapi jika terhidup maka gas ini cenderung menempati bagian
hemoglobin yang berikatan dengan O2 sehingga terjadi keracunan CO
4. nitrat oksida (NO). Di paru, nitrat oksida yang bersifat vasodilator berikatan .
dengan hemoglobin. NO ini dibebaskan di jaringan, tempat zat ini
melemaskan dan melebarkan arteriol local. Vasodilator ini menjamin bahwa
darah kaya O2 dapat mengalir dengan lancar dan juga membantu menstabilkan
tekanan darah.
Karena itu, hemoglobin berperan kunci dalam transport O2 sekaligus
memberi kontribusi signifikan pada transport CO2 dan kemampuan darah
menyangga pH. Selain itu, dengan mengangkut vasodilatornya sendiri,
hemoglobin membantu menyalurkan O2 yang dibawanya (Sherwood, 2011).
Ada tiga jenis hemoglobin, yaitu:
1. HbA merupakan kebanyakan dari hemoglobin orang dewasa, mempunyai
rantai 2α dan 2
2. HbA2 merupakan minoritas hemoglobin orang dewasa, mempunyai rantai
globin 2α dan 2δ
3. HbF merupakan hemoglobin fetal yang mempunyai rantai globin 2α dan 2 .
Saat bayi lahir 2/3 nya adalah jenis hemoglobinnya adalah HbF dan 1/3 nya
adalah HbA. (Hinchliff 1996 dalam Wasnidar 2006).

2.2.2. Manfaat Pemeriksaan Hemoglobin pada Ibu Hamil
Menurut Wasindar (2007) dalam Munaidy (2010), manfaat dilalukakan
pemeriksaan hemoglobin pada ibu hamil adalah :
1. mencegah terjadinya anemia dalam kehamilan
2. mencegah terjadinya berat bayi lahir rendah (BBLR)
 
 
Universitas Sumatera Utara

20 
 

3. memenuhi cadangan zat besi yang kurang

2.2.3. Waktu Pemeriksaan Hemoglobin pada Ibu Hamil
Menurut

Manuaba

(1998)

dalam

Munaidy

(2010),

pemeriksaan

hemoglobin(Hb) dapat dilakukan dengan menggunakan cara sahli dan
sianmethemoglobin, dilakukan 2 kali selama kehamilan yaitu:
1. trimester I (umur kehamilan sebelum 12 minggu)
2. trimester III(umur kehamilan 28 sampai 36 minggu)
Hasil pemeriksaan hemoglobin dapat digolongkan sebagai berikut: Hb 11gr%:
tidak anemia; Hb 9-10,9gr%: anemia ringan; Hb 7,0gr%-8,9gr%: anemia sedang;
Hb