Karakteristik Penderita Keratitis Infektif Di RS H. Adam Malik Medan Tahun 2010-2011

KARAKTERISTIK PENDERITA KERATITIS INFEKTIF DI RS H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2010-2011
TESIS
Oleh: Dr. Marina Yusnita Albar, Sp.M
PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN KLINIS ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2012
Universitas Sumatera Utara

KARAKTERISTIK PENDERITA KERATITIS INFEKTIF DI RS H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2010-2011
TESIS Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
Magister dalam Bidang Ilmu Kesehatan Mata Oleh:
Dr. Marina Yusnita Albar, Sp.M
PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN KLINIS ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2012
Universitas Sumatera Utara

Medan, Juli 201KATA PENGANTAR Saya panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karuniaNya, saya dapat menyelesaikan tulisan karya ilmiah dalam bentuk tesis yang saya beri judul KARAKTERISTIK PENDERITA KERATITIS INFEKTIF DI RS H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2010-2011 sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan. Perkenankanlah saya menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih yang sebesarbesarnya kepada : Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dan Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Ilmu Kesehatan Mata di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan dan memberikan izin penelitian. Yang terhormat dr. Delfi, Sp.M(K) sebagai Ketua Departemen IK Mata, dr. Aryani A. Amra, Sp.M sebagai Ketua Program Studi IK Mata yang telah memberikan dorongan semangat. Orang tua saya yang sangat tersayang, (almarhum) Abul Faiz Albar dan Winda Zulchairi atas kasih sayang yang tidak terbatas, serta saudara-saudara saya Husnul F. Albar, Tauhid M. Albar, Mahmud A. Albar, dan Siti Halida. Saya menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, karenanya saya berharap mendapat masukan yang bermanfaat demi kebaikan kita semua. Akhirnya izinkan saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas kesalahan dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, dorongan, petunjuk yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT, yang Maha Pengasih, Maha Pemurah dan Maha Penyayang, Amiin, Amiin Ya Robbal’alamin.
Medan, Juli 2012
Marina Y. Albar
Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK Pendahuluan: Keratitis infektif merupakan salah satu penyakit mata yang sering dijumpai di Negara tropis dan menjadi masalah yang menyebabkan morbiditas dan biaya kesehatan yang cukup tinggi. Prevalensi keratitis infektif di negara tropis cukup tinggi. Tujuan Penelitian: Mengetahui karakteristik penderita keratitis infektif RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2010-2011. Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain case series, populasi penelitian adalah penderita keratitis infektif sebanyak 78 kasus dan besar sampel adalah seluruh kasus tersebut. Hasil Penelitian: Proporsi penderita keratitis infektif tertinggi pada kelompok umur 28–35 tahun 29,5%, umur di atas 18 tahun 93,6%, dengan proporsi laki-laki 61,5% dan perempuan 38,5%, pekerjaan petani 26,9%, keratitis bakterial 51,3%,, medikamentosa 97,4%. Uji statistik chisquare tidak dapat dilakukan karena terdapat dua sel dengan nilai di bawah lima. Kesimpulan: Bagi pihak RSUP H. Adam Malik Medan agar perlu dilakukan penyuluhan dan pemahaman terhadap pasien tentang keratitis infektif dan. Kata Kunci: Keratitis infektif, Karakteristik Penderita, RSUP H. Adam Malik Medan

Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT
Introduction: Infectious keratitis is one of the diseases that are common in almost all countries and a problem that causes high morbidity and lowers patient’s quality of life. The prevalence of infectious keratitis in tropical countries, including Indonesia, is quite high. Aim: To investigate the characteristics of infectious keratitis patients in H. Adam Malik General Hospital, Medan in 2010-2011 period. Methods: This is a descriptive study with a case series design. Population of this research is the data of 78 patients’ eyes with diagnosis of infectious keratitis (bacterial, fungal, or viral). Data were obtained from patients’ medical records at Adam Malik Hospital. Results: The proportion of patients with infectious keratitis is highest at the 28–35 year-old group with occurrence of 29,5%, 18-year-old group 93,6%, with the proportion of male 61,5% and female 38,5%, farmer profession 26,9%, bacterial keratitis 51,3%, and medical therapy 97,4%. Chi-square test was not performed because there were more than two cells with expected value less than five. Conclusion: H Adam Malik Hospital needs to raise public awareness about infectious keratitis through public seminars and warn the highest risk groups about this disease. Keywords: Infectious keratitis, Patients Characteristics, H. Adam Malik General Hospital
Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................i

BAB 1 PENDAHULUAN ………………………………………………........... 1

1.1. Latar Belakang ………………....…...................................... 1

1.2. Perumusan Masalah ……………………………….............. 2

1.3. Tujuan Penelitian ……………….......................................... 3

1.3.1 Tujuan Umum …....................................................... 3


1.3.2 Tujuan Khusus …………………….......................... 3

1.4. Manfaat Penelitian ………….....……………....................... 3

BAB 2 KERANGKA TEORI ……………………….....…................................ 4

2.1 Definisi Keratitis Infektif ................……....................... 4

2.2 Anatomi ...................................................................... 4

2.2.1 Kornea ...............................................................

5

2.3 Respon Imun Kornea ………….................................

8

2.4 Hipersensitivitas tipe lambat lokal ........................................8


2.5 Keratitis Jamur…............................................

8

2.6 Tanda dan gejala keratitis jamur ....................................... 8

2.6.1 Faktor risiko ................................................................ 8

2.6.2 Prognosis .................................................................... 11

2.7 Keratitis Bakterial .......................................................

11

2.7.1 Patogenesis ............................................

12

2.7.2 Invasi Bakteri ........................................


13

2.7.3 Inflamasi Kornea ...................................

14

2.8 Terapi ............................................................................... 16

Universitas Sumatera Utara

BAB 3 METODE PENELITIAN ...........................................................................17 3.1 Rancangan Penelitian ……………………….…….........…..17 3.2 Lokasi Penelitian ……………………..................….…........17 3.3 Populasi, Sampel, Besar Sampel, Teknik Pengambilan Sampel ………………........................17 3.3.1 Populasi …………………………………….........…17 3.3.2 Sampel Penelitian …………………………..............17 3.3.3 Kerangka Konsep Penelitian ….................................17 3.4 Variabel Penelitian ……………………..…......……............18 3.4.1 Definisi Operasional Variabel …………...…............19 3.5 Kerangka Kerja …………………………………..….......… 20 3.6 Cara Analisis Data ……………………………...……......... 20
BAB 4 HASIL PENELITIAN ................................................................................ 21 BAB 5 PEMBAHASAN ..........................................................................................27 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................34
6.1 Kesimpulan ……...............……………………………........ 34 6.2 Saran …..............…………....………..................……......... 35
Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK Pendahuluan: Keratitis infektif merupakan salah satu penyakit mata yang sering dijumpai di Negara tropis dan menjadi masalah yang menyebabkan morbiditas dan biaya kesehatan yang cukup tinggi. Prevalensi keratitis infektif di negara tropis cukup tinggi. Tujuan Penelitian: Mengetahui karakteristik penderita keratitis infektif RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2010-2011. Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain case series, populasi penelitian adalah penderita keratitis infektif sebanyak 78 kasus dan besar sampel adalah seluruh kasus tersebut. Hasil Penelitian: Proporsi penderita keratitis infektif tertinggi pada kelompok umur 28–35 tahun 29,5%, umur di atas 18 tahun 93,6%, dengan proporsi laki-laki 61,5% dan perempuan 38,5%, pekerjaan petani 26,9%, keratitis bakterial 51,3%,, medikamentosa 97,4%. Uji statistik chisquare tidak dapat dilakukan karena terdapat dua sel dengan nilai di bawah lima. Kesimpulan: Bagi pihak RSUP H. Adam Malik Medan agar perlu dilakukan penyuluhan dan pemahaman terhadap pasien tentang keratitis infektif dan. Kata Kunci: Keratitis infektif, Karakteristik Penderita, RSUP H. Adam Malik Medan
Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT
Introduction: Infectious keratitis is one of the diseases that are common in almost all countries and a problem that causes high morbidity and lowers patient’s quality of life. The prevalence of infectious keratitis in tropical countries, including Indonesia, is quite high. Aim: To investigate the characteristics of infectious keratitis patients in H. Adam Malik General Hospital, Medan in 2010-2011 period. Methods: This is a descriptive study with a case series design. Population of this research is the data of 78 patients’ eyes with diagnosis of infectious keratitis (bacterial, fungal, or viral). Data were obtained from patients’ medical records at Adam Malik Hospital. Results: The proportion of patients with infectious keratitis is highest at the 28–35 year-old group with occurrence of 29,5%, 18-year-old group 93,6%, with the proportion of male 61,5% and female 38,5%, farmer profession 26,9%, bacterial keratitis 51,3%, and medical therapy 97,4%. Chi-square test was not performed because there were more than two cells with expected value less than five. Conclusion: H Adam Malik Hospital needs to raise public awareness about infectious keratitis through public seminars and warn the highest risk groups about this disease. Keywords: Infectious keratitis, Patients Characteristics, H. Adam Malik General Hospital

Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN
Keratitis infektif merupakan penyakit yang mengancam penglihatan dan disebabkan oleh berbagai mikroorganisme infektif seperti bakteri, jamur, virus, dan protozoa.1 Penyakit ini merupakan penyebab kebutaan terbanyak di negara berkembang maupun negara maju.1, 2
Kornea dilindungi oleh lapisan palpebra, air mata, flora normal di mata dan epitel.1 Sebagian besar mikroorganisme tidak dapat menembus lapisan epitel kornea yang intak, kecuali Neisseria, Corynebacteria, Shigella dan Listeria.1 Defek epitel akan memungkinkan terjadinya adhesi patogen yang selanjutnya akan melakukan penetrasi lebih dalam. Oleh karena itu, trauma okular, penggunaan lensa kontak, riwayat operasi mata sebelumnya merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya keratitis infektif.1
Ulkus superfisial dapat memburuk dengan adanya infiltrasi stromal lebih dalam, reaksi radang di bilik mata depan, bahkan perforasi.1 Diagnosis dini dan penatalaksanaan yang tepat sangat dibutuhkan untuk mencapai prognosis yang baik. Identifikasi patogen dan obat yang akurat harus dilakukan dengan analisis laboratorium.1 Pemahaman epidemiologi keratitis infektif menjadi penting karena penyakit ini dapat dicegah ataupun ditangani.2
Keratitis infektif merupakan epidemi pada negara berkembang. Gonzales et al. melaporkan insiden ulkus kornea di Distrik Madurai di India Selatan sebesar 113 per 100000 orang per tahun, yaitu sekitar 10 kali lebih besar daripada insiden di negara maju. Dengan menerapkan angka insidensi tersebut, diperkirakan terdapat 840000 orang yang
Universitas Sumatera Utara

mengalami ulkus kornea setiap tahunnya di India. Dengan menerapkan ekstrapolasi angka tersebut kepada benua Asia dan Afrika, didapatkan angka insidensi keratitis infektif di negara berkembang sebesar 1,5 sampai 2 juta kasus.3, 4 Andhra Pradesh Eye Disease Study (APEDS) yang dilaksanakan di LV Prasad Eye Institute, Hyderabad, memperkirakan angka prevalensi kebutaan kornea pada satu mata atau lebih sebesar 0,66% (CI, 0,49-0,86). Penyebab terbanyak adalah keratitis di masa kanak-kanak (36,7%), trauma (28,6%), dan keratitis di masa dewasa (17,7%).5
Selain tingginya insidensi, biaya terapi keratitis infektif relatif mahal dengan pemulihan tajam penglihatan yang rendah. Bahkan pada banyak negara berkembang obat-obat keratitis sulit didapatkan. Dengan besarnya dampak yang ditimbulkan oleh keratitis infektif, solusi utama di masyarakat adalah strategi preventif.3
Masalah
Rumah Sakit Haji Adam Malik (RSHAM) di Medan merupakan rumah sakit pelayanan tersier di pulau Sumatera. Secara geografis, kota Medan memiliki iklim udara tropis yang mendukung berkembangnya mikroorganisme seperti bakteri, jamur, virus dan protozoa. Selain itu daerah ini juga memiliki kelembaban dengan tingkat yang tinggi. Pasien yang datang ke divisi infeksi dan imunologi RSHAM sebagai pusat pelayanan kesehatan tersier memiliki beberapa variasi dalam karakteristik demografi, temuan klinis dan pilihan terapi. Di Poliklinik Mata RSHAM belum ada data tertulis mengenai karakteristik klinis pasien keratitis infektif. Bagaimana karakteristik klinis pasien keratitis infektif yang datang ke Poliklinik Mata RSHAM? Bagaimana pola terapi yang diberikan
Universitas Sumatera Utara

Tujuan Penelitian Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan mengetahui karakteristik keratitis infektif miopia tinggi di RSUP. Haji Adam Malik Medan periode 1 Januari 2010 sampai dengan 31 Desember 2011. Tujuan Khusus 1. Mengetahui proporsi penderita keratitis infektif berdasarkan umur. 2. Mengetahui proporsi penderita keratitis infektif berdasarkan jenis kelamin. 3. Mengetahui proporsi penderita keratitis infektif berdasarkan pekerjaan. 4. Mengetahui proporsi penderita keratitis infektif berdasarkan diagnosis klinis. 5. Mengetahui proporsi penatalaksanaan pada penderita keratitis infektif.
Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai profil keratitis infektif pada pasien RSHAM sehingga dapat memberikan sumbangan data epidemiologi bagi angka kebutaan di Sumatera Utara. Penelitian ini dapat memberikan informasi tentang gambaran usia, jenis kelamin, pekerjaan, penatalaksanaan penderita keratitis infektif di RSUP H. Adam Malik dan sebagai bahan pengembangan keilmuan maupun penelitian selanjutnya di bidang Ilmu Kesehatan Mata.
Universitas Sumatera Utara

BAB 2

KERANGKA TEORI Keratitis adalah peradangan pada salah satu dari kelima lapisan kornea.6 Peradangan tersebut dapat terjadi di epitel, membran Bowman, stroma, membran Descemet, ataupun endotel. Peradangan juga dapat melibatkan lebih dari satu lapisan kornea. Pola keratitis dapat dibagi menurut distribusi, kedalaman, lokasi, dan bentuk. Berdasarkan distribusinya, keratitis dibagi menjadi keratitis difus, fokal, atau multifokal. Berdasarkan kedalamannya, keratitis dibagi menjadi epitelial, subepitelialm stromal, atau endotelial. Lokasi keratitis dapat berada di bagian sentral atau perifer kornea, sedangkan berdasarkan bentuknya terdapat keratitis dendritik, disciform, dan bentuk lainnya.6, 7
Keratitis mikrobial atau infektif disebabkan oleh proliferasi mikroorganisme, yaitu bakteri, jamur, virus dan parasit, yang menimbulkan inflamasi dan destruksi jaringan kornea.8 Kondisi ini sangat mengancam tajam penglihatan dan merupakan kegawatdaruratan di bidang oftalmologi. Pada satu penelitian, keratitis merupakan penyebab kedua terbanyak (24,5%) untuk tindakan keratoplasti setelah edema kornea (24,8%).9 Membedakan etiologi keratitis infektif sulit dilakukan secara klinis dan membutuhkan pemeriksaan diagnosis penunjang.1, 8
Anatomi Normal Kornea Kornea merupakan modifikasi dari membran mukosa, dan juga modifikasi dari kulit.9 Bagian depan kornea disusun oleh lima lapis epitel skuamosa nonkeratin yang
Universitas Sumatera Utara

menyerupai epidermis kulit yang telah mengalami modifikasi. Sel Langerhans terdapat di antara susunan epitel kornea.9 Lapisan terdalam sel epitel, lapisan basal, merupakan lapisan germinativum dan melekat kepada sel basal sekitarnya dan terletak di atas sel wing. Lapisan sel basal juga melekat ke membran basal melalui bantuan hemidesmosom.9
Pada membran basal terdapat tiga jenis molekul utama yaitu kolagen tipe IV, proteoglikan heparin sulfat dan protein non-kolagen (laminin, nidogen, dan osteonectin). Membran basal merupakan sawar (barrier) fisiologis penting antara epitel dan stroma kornea.9, 10
Sel epitel terluar akan berdeskuamasi ke dalam lapisan air mata. Lapisan muko-protein pada air mata berfungsi untuk melekatkan lapisan air mata kepada mikrovili epitel.11

Gambar 1. Lapisan kornea

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2. Lapisan epitel skuamosa pada kornea
Respon Imun Kornea Imunitas Permukaan Kornea Lokal Imunitas kornea lokal bergantung pada IgM, komplemen C1, dan sel Langerhans (LC) yang seluruhnya ditemukan pada kornea perifer. IgG berdifusi ke dalam stroma dari daerah limbus dan akan mencapai konsentrasi sebesar 50% dari konsentrasi serum. Inflamasi kornea dapat merangsang migrasi LC sentripetal.10-12
Makrofag dapat diubah menjadi antigen-presenting cells (APCs) oleh interleukin1 (IL-1) yang dihasilkan dari sel epitel kornea. Peristiwa ini akan merangsang ekspresi molekul MHC kelas II pada permukaan kornea. APCs selanjutnya akan memproses peptida antigenik agar membentuk kompleks biner dengan molekul MHC kelas II. Makrofag juga mampu mencerna antigen yang berbentuk partikel, termasuk bakteri utuh seperti stafilokokus dan amuba seperti Acanthamoeba, namun makrofag lebih efektif dalam mencerna antigen terlarut seperti protein A dari Staphylococcus aureus yang akan
Universitas Sumatera Utara

dimasukkan ke dalam kantung endositik. Ini berbeda dengan sel Langerhans yang hanya dapat mencerna antigen terlarut. Limfosit T berfungsi mensekresikan sitokin di dalam jaringan yang bekerja langsung terhadap sel target. Interferon (IFN-g) menstimulasi ekspresi molekul MHC kelas II di dalam keratinosit, sel epitel, sel endotel, dan fibroblas yang semuanya dapat bertindak sebagai APCs yang memproses dan menyajikan peptida imunofenik yang bergabung sebagai kompleks dengan molekul MHC kelas II. Sel-sel tersebut memiliki kemampuan stimulasi sinyal yang berbeda-beda dan tidak dapat menstimulasi sel T yang tidak aktif karena sel T tersebut membutuhkan aktivasi oleh IL2.4
HIPERSENSITIVITAS TIPE-LAMBAT LOKAL

Hipersensitivitas tipe-lambat (delayed hypersensitivity, DH) dapat memicu reaksi imun yang dimediasi oleh sel (cell-mediated). Contoh organisme yang menimbulkan DH adalah Onchocerca volvulus dan Staphylococcus aureus.Reaksi imun ini diekspresikan oleh sel limfosit Th1 dan dimediasi oleh sitokin. Mekanisme ini diduga menjadi penyebab ulkus kornea marjinal yang diakibatkan oleh blefaritis rekuren oleh Staphylococcus aureus. Mekanisme ini dapat dilihat pada Gambar 1.4
Keratitis Fungal/Jamur (Keratomikosis)
Keratitis infektif yang disebabkan oleh jamur merupakan diagnosis terbanyak pada negara India3, 5, 13, sedangkan data prevalensi di Indonesia belum tersedia. Jamur terkadang merupakan flora normal eksternal di mata karena berhasil diisolasi dari sakus konjungtiva pada 3-28% mata normal.14 Pada mata yang mengalami penyakit, angka isolasi jamur dapat mencapai 17-37%. Jamur yang umumnya terdapat pada mata normal adalah
Universitas Sumatera Utara

Aspergillus spp., Rhodotorula spp., Candida spp., Penicillium spp., Cladosporium spp., dan Alternaria spp. Insidensi keratomikosis di Amerika Serikat adalah 6-20% dan umumnya terjadi di daerah pedesaan. Aspergillus spp. merupakan penyebab terbanyak keratitis yang timbul di seluruh dunia.14 Candida spp. dan Aspergillus spp. adalah penyebab keratitis jamur terbanyak di Amerika Serikat.14 Fusarium spp. dilaporkan sebagai penyebab keratitis jamur di Afrika, India, China dan Jepang. Isolat terbanyak di negara India adalah Aspergillus spp., Penicillium spp., dan Fusarium spp. Identifikasi jamur yang akurat sangat penting untuk pencegahan paparan di masa yang akan datang dan penentuan modalitas terapi terbaik.
Tanda dan gejala
Keratitis Fungal/Jamur
Gejala keratitis jamur umumnya tidak seakut keratitis bakterial. Gejala awal dapat berupa rasa mengganjal di mata dengan peningkatan rasa nyeri. Tanda klinis yang paling sering ditemukan pada pemeriksaan lampu celah juga umum ditemukan pada keratitis mikrobial seperti supurasi, injeksi konjungtiva, defek epitel, infiltrasi stroma, reaksi radang di bilik mata depan atau hipopion.6 Tanda klinis yang dapat membantu penegakan diagnosis keratitis jamur filamentosa adalah ulkus kornea yang bercabang dengan elevasi, batas luka yang iregular dan seperti kapas, permukaan yang kering dan kasar, serta lesi satelit Tampilan pigmentasi coklat dapat mengindikasikan infeksi oleh jamur dematiaceous Keratitis jamur juga dapat memiliki tampilan epitel yang intak dengan infiltrat stroma yang dalam . Walaupun terdapat tanda-tanda yang cukup khas untuk keratitis jamur, penelitian klinis gagal membuktikan bahwa pemeriksaan klinis cukup untuk membedakan keratitis jamur dan bakterial.
Universitas Sumatera Utara

Faktor risiko Faktor risiko utama untuk keratitis jamur adalah trauma okular.15 Trauma umumnya terjadi di lingkungan luar rumah dan melibatkan tumbuhan. Pada tahun 2009 terjadi peningkatan insiden keratitis jamur yang disebabkan oleh Fusarium spp. pada pengguna lensa kontak yang dikaitkan dengan larutan pembersih ReNu with MoistureLoc. Median usia pasien adalah 41 tahun dan 94% menggunakan lensa kontak soft. Pada pemeriksaan pabrik, gudang, filtrat larutan maupun botol Renu yang belum dibuka tidak ditemukan kontaminasi oleh jamur. Penyebab yang paling mungkin adalah hilangnya aktivitas fungistatik akibat peningkatan suhu yang berkepanjangan. Sejak ditarik dari peredaran pada tahun 2006, angka keratitis jamur telah kembali menurun. Selain Fusarium, jamur lain yang juga dihubungkan dengan penggunaan lensa kontak adalah Acremonium,Alternaria, Aspergillus, Candida, Collectotrichum, and Curvularia. Jamur dapat tumbuh di dalam matriks lensa kontak soft.
Faktor risiko lain untuk keratitis jamur adalah penggunakan kortikosteroid. Steroid dapat mengaktivasi dan meningkatkan virulensi jamur, baik melalui penggunaan sistemik maupun topikal. Faktor risiko lainnya adalah konjungtivitis vernal atau alergika, bedah refraktif insisional, ulkus kornea neurotrofik yang disebabkan oleh virus varicellazoster atau herpes simpleks, keratoplasti, dan transplantasi membran amnion. Faktor predisposisi keratitis jamur untuk pasien keratoplasti adalah masalah jahitan, penggunaan steroid topikal dan antibiotik, penggunaan lensa kontak, kegagalan graft, dan defek epitel persisten.
Universitas Sumatera Utara

Penyakit sistemik juga merupakan faktor risiko bagi terjadinya keratitis jamur, terutama yang berkaitan dengan imunosupresi. Suatu penelitian mencatat angka insidensi diabetes mellitus sebesar 12% pada sekelompok penderita keratitis jamur. Pasien yang menderita penyakit kronik dan menjalani perawatan rawat inap intensif juga memiliki predisposisi untuk terjadinya keratitis jamur, terutama Candida spp. Pada suatu penelitian di Afrika ditemukan bahwa pasien yang positif-HIV memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menderita keratitis jamur dibandingkan pasien yang HIv-negatif. Hal ini juga ditemukan pada pasien penderita kusta.
Keratitis jamur pada anak jarang dijumpai pada penelitian di luar negeri. Biasanya penyakit ini ditemukan setelah terjadi trauma organik pada mata. Pada suatu penelitian, keratitis jamur pada anak memiliki prevalensi 18% dari seluruh keratitis anak yang dikultur. Anamnesis sulit digali pada sebagian besar kasus, oleh karena itu seluruh kasus dengan kecurigaan keratitis harus menjalani pemeriksaan kultur jamur.
Gambar 3. Keratitis fungal dengan lesi satelit
Universitas Sumatera Utara


Prognosis Prognosis keratitis jamur bervariasi sesuai dengan kedalaman dan ukuran lesi serta organisme penyebab. Infeksi superfisial yang kecil umumnya memiliki respon yang baik terhadap terapi topikal. Infeksi stroma yang dalam atau dengan keterlibatan sklera maupun intraokular lebih sulit untuk ditangani. Suatu penelitian intervensional prospektif mengevaluasi terapi natamisin topikal pada 115 pasien keratitis jamur. Pada penelitian tersebut, 52 pasien mengalami keberhasilan terapi, 27 menderita ulkus yang pulih walaupun lambat, dan 36 mengalami kegagalan terapi. Analisis multivariat memperlihatkan bahwa kegagalan terapi berhubungan dengan ukuran lesi yang lebih dari 14 mm2, adanya hipopion, dan Aspergillus sebagai organisme penyebab. Jika penanganan medis gagal, dapat dilakukan operasi.
Keratitis Bakterial
Keratitis bakterial jarang terjadi pada mata normal dikarenakan adanya mekanisme pertahanan alami kornea terhadap infeksi. Faktor predisposisi yang umum terjadi adalah penggunaan lensa kontak, trauma, riwayat operasi kornea, kelainan permukaan bola mata, penyakit sistemik dan imunosupresi.8 Bakteri merupakan penyebab keratitis terbanyak di negara maju seperti Amerika Serikat.8 Diperkirakan terdapat 30000 kasus keratitis bakterial di Amerika Serikat setiap tahunnya.2 Penyebab terbanyak adalah spesies stafilokokus dan pseudomonas. Di negara berkembang, streptokokus, stafilokokus dan pseudomonas merupakan penyebab keratitis bakterial terbanyak.2, 8, 16
Universitas Sumatera Utara

Tanda dan gejala klinis keratitis bakterial bergantung kepada virulensi organisme dan durasi infeksi.2 Tanda utama adalah infiltrasi epitel atau stroma yang terlokalisir ataupun difus. Umumnya terdapat defek epitel di atas infiltrat stromal nekrotik yang berwarna putih-keabu-abuan. Tampilan umum lainnya adalah abses stroma di bawah epitel yang intak. Infiltrat dan edema kornea dapat terletak jauh dari lokasi infeksi primer.2 Ulserasi kornea dapat berlanjut menjadi neovaskularisasi. Jika proteinase menyebabkan stromal melting maka akan terbentuk descemetocele (Gambar).4 Gejala yang dikeluhkan dapat berupa rasa nyeri, pembengkakan kelopak mata, mata merah atau mengeluarkan kotoran, silau, dan penglihatan yang buram.4
Gambar 4. Descemetocele pada keratitis ulseratif yang diakibatkan oleh P. aeruginosa pada pengguna lensa kontak.4
Universitas Sumatera Utara

Patogenesis
Perlekatan Bakteri
Keratitis bakterial akan terjadi jika mikroorganisme dapat melawan imunitas pejamu. Patogen akan melekat kepada permukaan kornea yang cedera dan menghindari mekanisme pemusnahan oleh lapisan air mata dan refleks kedip. Setelah cedera terjadi, bakteri yang bertahan akan melekat kepada tepi sel epitel kornea yang rusak dan ke membran basalis atau stroma pada tepi luka. Glikokaliks pada epitel yang cedera sangat rentan terhadap perlekatan mikroorganisme.10 Perlekatan mikrobial diawali oleh interaksi adhesin bakteri dengan reseptor glikoprotein pada permukaan okular. Kemampuan bakteri untuk melekat kepada defek epitel tampaknya berperan terhadap seringnya kejadian infeksi oleh S. aureus, S. pneumoniae, and P. aeruginosa. Produksi biofilm akan meningkatkan agregasi bakteri, melindungi mikroorganisme yang melekat dan meningkatkan pertumbuhan pada tahap infeksi dini. Pili (fimbriae) yang terdapat pada permukaan bakteri akan memfasilitasi perlekatan P. aeruginosa dan Neisseria spp. ke epitel.
Invasi Bakteri Kapsul bakteri dan komponen permukaan lainnya memiliki peran yang penting dalam menginvasi kornea. Sebagai contoh, beberapa bakteri menghindari aktivasi jalur komplemen alternatif karena memiliki polisakarida di kapsulnya. Lipopolisakarida pada subkapsul bakteri merupakan mediator utama terhadap terjadinya inflamasi kornea. Inokulasi endotoksin pada intrastroma kornea akan memicu respon peradangan. Invasi bakteri ke dalam sel epitel dimediasi sebagian oleh interaksi antara protein permukaan sel
Universitas Sumatera Utara

bakteri, integrin, protein permukaan sel epitel, dan pelepasan protease bakteri. Organisme

seperti

as N.


gonorrhoeae,[99] N.

meningitidis,[100]Corynebacteriurn

diphtheriae, Haemophilus aegyptius, and Listeria monocytogenes dapat menembus

permukaan epitel kornea yang intak melalui mekanisme ini.

Terkadang kolonisasi bakteri pada permukaan kornea dapat mendahului invasi stroma.

Tanpa antibiotik atau intervensi lainnya, bakteri dapat melanjutkan proses invasi dan

replikasi pada stroma kornea. Keratosit memiliki kemampuan fagositosis, namun stroma

avaskular yang terpajan tidak dapat melindungi kornea. Mikroorganisme di stroma

anterior akan memproduksi enzim proteolitik yang akan menghancurkan matriks stroma

dan fibrilkolagen. Invasi bakteri dapat terjadi beberapa jam setelah terjadinya


kontaminasi luka kornea dengan agen eksogen atau setelah penggunaan lensa kontak

yang terkontaminasi. Peningkatan populasi bakterial tertinggi terjadi pada 2 hari pertama

infeksi stroma.

Setelah inokulasi terjadi, bakteri akan menginfiltrasi epitel sekitarnya dan stroma yang

lebih dalam di sekitar lokasi infeksi awal. Bakteri yang bertahan cenderung ditemukan

pada tepi infiltrat atau di dalam pusat ulserasi kornea. Multiplikasi bakteri yang tidak

terkendali di dalam stroma kornea akan mengakibatkan pembesaran fokus infeksi ke

kornea sekitarnya.

Inflamasi Kornea dan Kerusakan Jaringan Berbagai mediator dan sel radang dapat dipicu oleh invasi bakteri dan menimbulkan inflamasi yang mengakibatkan destruksi jaringan. Mediator inflamasi yang terlarut meliputi sistem pembentuk-kinin, sistem pembekuan dan fibrinolitik, imunoglobulin,

Universitas Sumatera Utara


komponen komplemen, amino vasoaktif, eikosanoid, neuropeptida, dan sitokin. Kaskade komplemen dapat dipicu untuk membunuh bakteri namun kemotaksin yang complementdependent dapat mengawali inflamasi fokal. Produksi sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF)-alpha and interleukin-1 akan mengakibatkan adhesi dan ekstravasasi neutrofil di pembuluh darah limbus. Proses ini dimediasi oleh glikoprotein adhesi sel seperti integrin dan selektin dan anggota superfamily imunoglobulin seperti intercellular adhesion molecules (ICAMs) pada sel endotel vaskular dan leukosit. Dilatasi vaskular konjungtival dan limbal berhubungan dengan peningkatan permeabilitas yang akan menimbulkan eksudat radang di dalam lapisan air mata dan kornea perifer. Neutrofil polimorfonuklir (PMNs) dapat memasuki kornea yang cedera melalui lapisan air mata pada defek epitel, namun umumnya PMN melewati limbus. Perekrutan sel radang akut akan terjadi beberapa jam setelah terjadinya inokulasi bakteri. Dengan terjadinya akumulasi neutrofil pada lokasi infeksi, semakin banyak sitokin dan komponen komplemen yang dihasilkan untuk menarik lebih banyak leukosit. Makrofag akan berpindah ke kornea untuk memusnahkan bakteri dan neutrofil yang telah berdegenerasi. Inflamasi stroma yang berat dapat mengakibatkan penghancuran stroma secara proteolitik dan nekrosis jaringan.
Kerokan dari kornea yang terinfeksi akan memperlihatkan kumpulan neutrofil di antara jaringan debris nekrotik.10 Organisme dapat ditemukan pada pemeriksaan pewarnaan Gram. Pemeriksaan kultur sangat membantu identifikasi organisme penyebab dan sensitivitas antibiotik.
Universitas Sumatera Utara

Terapi Keratitis Bakterial Topikal Terapi keratitis bakterial sebelumnya adalah tetes mata fortified seperti 5% cefazoline dan 1% gentamicin, namun terapi ini memiliki biaya yang mahal dan kurang nyaman digunakan oleh pasien. Selain itu sediaan komersial terapi ini tidak tersedia sehingga harus diformulasi lebih dahulu oleh dokter. Fluorokuinolon yang merupakan antibiotik spektrum luas telah mengubah pola terapi ini. Antibiotik dari golongan ini umumnya mampu mengatasi sebagian besar bakteri Gram positif dan bakteri Gram-negatif anaerobik, oleh karena ini antibiotik ini menjadi drugs of choice untuk keratitis bakterial.4, 10, 11, 17, 18 Keratoplasti biasanya dilakukan setelah ulkus pulih dengan antibiotik dan masih meninggalkan sikatriks.10 Tindakan keratoplasti dapat dilakukan pada fase infeksi akut jika terdapat ancaman perforasi maupun telah terjadi perforasi.10 Steroid masih menjadi kontroversi dalam penatalaksanaan keratitis bakterial.19
Sistemik Keratitis bakterial tanpa komplikasi tidak membutuhkan terapi sistemik.20 Terapi sistemik diberikan pada komplikasi yang berupa endoftalmitis, terutama endoftalmitis endogen/metastatik yang membutuhkan penanganan infeksi sistemiknya. Pemberian terapi sistemik harus diawasi mengingat adanya risiko toksisitas.4
Universitas Sumatera Utara

Tabel 1. Derajat keparahan keratitis bakterial berdasarkan kriteria Jones

Faktor

Grade I (ringan)

Grade II (sedang) Grade III (berat)

Lokasi Area

Non-aksial 2 mm

Sentral atau perifer Sentral atau perifer

2-6 mm

≥ 6 mm

Kedalaman

1/3 stroma anterior 2/3 stroma anterior > 2/3 stroma

Radang di segmen Ringan

Sedang atau berat; Berat; hipopion

anterior

eksudat dengan

fibin

Rawat inap

Tidak

Dapat

Dapat

dipertimbangkan dipertimbangkan

Terapi antimikroba awal

Tetes mata topikal fortified

Tetes mata topikal fortified

Tetes mata topikal fortified Pertimbangkan antibiotik intravena

Universitas Sumatera Utara

BAB 3 KERANGKA TEORI Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan studi deskriptif retrospektif. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Bagian Rekam Medik Departemen Ilmu Kesehatan Mata FKUSU/ RSUP H. Adam Malik-Medan pada periode tahun 2010-2011.
3.3 Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel 3.3.1 Populasi Seluruh data penderita dengan diagnosis keratitis infektif yang datang RSUP H. Adam Malik-Medan sejak 1 Januari 2010 sampai dengan 31 Desember 2011. 3.3.2 Sampel Penelitian Kriteria inklusi adalah semua kasus yang didiagnosis sebagai keratitis bakterial,viral ataupun fungal/jamur berdasarkan gambaran klinis di Divisi Infeksi Imunologi pada periode 1 Januari 2010 sampai dengan 31 Desember 2011. Kriteria eksklusi adalah data rekam medis pasien yang hilang dan keratitis infektif yang mengalami komplikasi endoftalmitis.
Universitas Sumatera Utara

3.3.3 Kerangka Konsep Penelitian
Karakteristik Penderita Keratitis Infektif
• Usia • Jenis Kelamin • Pekerjaan • Diagnosis Klinis • Penatalaksanaan
3.4 Variabel Penelitian Variabel bebas: usia, jenis kelamin, pekerjaan, diagnosis klinis, penatalaksanaan Variabel terikat: adanya keratitis infektif
Sampel yang memenuhi kriteria inklusi diambil data mengenai nama, nomor rekam medik, usia, jenis kelamin, lama keluhan, tanggal pertama dan terakhir datang (waktu follow-up), riwayat trauma dan jenisnya, riwayat Diabetes Mellitus, penggunaan steroid, pemakaian lensa kontak, ukuran dan kedalaman ulkus, hipopion, pemeriksaan penunjang diagnostik berupa pewarnaan Gram dan KOH serta kultur dan jenis terapi yang diberikan. Data lain yang dicatat adalah lama terapi yang diberikan dan hasil pengobatannya dan komplikasi penyakit. Komplikasi yang dicatat adalah perforasi kornea dan endoftalmitis
Universitas Sumatera Utara

Definisi Operasional Variabel 1. Keratitis infektif adalah infeksi kornea yang disebabkan oleh bakteri atau jamur atau virus. 2. Usia adalah usia pasien saat pertama kali datang berobat ke RS HAM Medan dan dikategorikan menjadi di bawah 18 tahun (≤18 tahun) dan 19 tahun ke atas. 3. Jenis kelamin adalah jenis kelamin pasien keratitis infektif yang menjadi sampel pada penelitian ini dan tercatat pada rekam medis dan dikategorikan menjadi pria atau wanita. 4. Pekerjaan adalah pekerjaan pasien keratitis infektif yang menjadi sampel pada penelitian ini dan tercatat pada rekam medis dengan kategori sebagai berikut: 5. Diagnosis klinis adalah diagnosis keratitis infektif yang ditegakkan melalui pemeriksaan klinis tanpa dibantu pemeriksaan penunjang. 6. Penatalaksanaan adalah pengobatan yang diberikan kepada penderita keratitis infektif baik medikamentosa maupun non-medikamentosa (operatif).
Universitas Sumatera Utara

3.5 Kerangka Kerja

Rekam Medis
Diagnosis Klinis Keratitis Infektif

• Keluhan Utama • Umur • Jenis Kelamin • Pekerjaan

• Penatalaksanaan 1. Medikamentosa
2. Operasi a. Conjunctival Flap
b. Periosteal Graft c. Amnion
Membrane Transplantation

3.6 Cara Analisis Data Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar. Data yang
diperoleh dianalisis secara statistik untuk menilai persentase keratitis infektif berdasarkan umur dan jenis kelamin, pekerjaan, diagnosis klinis dan penatalaksanaan. Data yang diambil dari data Rekam Medik RS H. Adam Malik-Medan. Data akan dilakukan uji statistik Chi square.

Universitas Sumatera Utara

BAB 4 HASIL PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan desain case series dimana pengambilan data dari data klinis di Bagian Rekam Medik Ilmu Kesehatan Mata FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan. Data penelitian adalah seluruh kasus keratitis infektif yang berobat di RSUP H. Adam Malik sejak Januari 2010 sampai dengan Desember 2011.

4.1 Analisis Data Univariat

4.1.1 Proporsi penderita keratitis infektif menurut kelompok umur tercatat yang berobat

ke RSUP H Adam Malik tahun 2010-2011

Tabel 4.1.1 .Proporsi penderita keratitis infektif menurut kelompok umur tercatat yang berobat ke

RSUP H Adam Malik tahun 2010-2011

Kelompok Umur

f (%)

(Tahun)

12 – 19

7 (9)

20 – 27

16 (20,5)

28 – 35

23 (29,5)

36 – 43

11 (14,1)

44 – 51

8 (10,3)

52 – 59

3 (3,8)

60 – 67

8 (10,3)

68 – 75

2 (2,6)

Total

78 (100)

Proporsi tertinggi penderita keratitis infektif terdapat pada kelompok umur 28 – 35 tahun sebanyak 23 penderita (29,5 %) dan kelompok umur 20 – 27 tahun sebanyak 16 penderita (20,5%).

Universitas Sumatera Utara

4.1.2

Proporsi penderita keratitis infektif berdasarkan umur tercatat

Tabel 4.1.2. Proporsi penderita keratitis infektif berdasarkan umur tercatat

Umur ≤ 18 tahun > 18 tahun
Jumlah (%)

f (%) 5 (6,4) 73 (93,6) 78 (100)

Proporsi tertinggi penderita keratitis infektif terdapat pada umur > 18 tahun sebanyak 73 penderita (93,6%) dan terendah pada kelompok umur ≤ 18 tahun sebanyak 5 penderita (6,4%).

4.1.3

Proporsi penderita keratitis infektif berdasarkan jenis kelamin tercatat yang

berobat ke RSUP H Adam Malik tahun 2010-2011

Table 4.1.3. Proporsi penderita keratitis infektif berdasarkan jenis kelamin tercatat yang berobat
ke RSUP H Adam Malik tahun 2010-2011

Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah (%)

f (%) 48 (61,5) 30 (38,5) 78 (100)

Jenis kelamin terbanyak menderita keratitis infektif adalah laki-laki sebanyak 48 penderita (61,5%) diikuti perempuan sebanyak 30 penderita (38,5%).

4.1.4 Proporsi penderita keratitis infektif berdasarkan pekerjaan yang tercatat yang berobat ke RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2010-2011

Universitas Sumatera Utara

Tabel 4.1.4. Proporsi penderita keratitis infektif berdasarkan pekerjaan yang tercatat yang berobat ke RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2010-2011

Pekerjaan IRT PNS/Pensiunan PNS Pelajar Mahasiswa/i Petani Lain-lain
Jumlah (%)

f (%) 15 (19,2) 6 (7,7) 5 (6,4) 8 (10,3) 21 (26,9) 23 (29,5) 78 (100)

Proporsi pekerjaan penderita keratitis infektif terbanyak dijumpai pada petani dengan 21

penderita (26,9%), dan terendah adalah pada kelompok pelajar dengan 5 penderita (6,4

%).

Tabel 4.1.6. Proporsi keratitis infektif berdasarkan diagnosis klinis

Proporsi keratitis infektif

berdasarkan diagnosis

f (%)

klinis

Keratitis Bakterial

40 (51,3)

Keratitis Fungal

32 (41,0)

Keratitis Viral

6 (7,7)

Jumlah (%)

78 (100)

Tabel 4.1.6 memperlihatkan bahwa keratitis bakterial merupakan keratitis infektif

terbanyak, yaitu sebanyak 40 kasus (51,3%) sedangkan keratitis viral paling sedikit

ditemukan, yaitu pada 6 (7,7%) kasus.

4.1.8 Proporsi penatalaksanaan keratitis infektif di RSUP H. Adam Malik-Medan tahun 2010-2011.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 4.1.8. Proporsi penatalaksanaan keratitis infektif di RSUP H. Adam Malik-Medan tahun 2010-2011

Penatalaksanaan

f (%)

Medikamentosa

76 (97,4)

Operasi

2 (2,6)

Jumlah (%)

78 (100)

Proporsi penatalaksanaan pada penderita keratitis infektif adalah dengan medikamentosa

pada 76 penderita (97,4% ) dan operasi 2 penderita (2,6%).

4.2 Analisis Data Bivariat

Tabel 4.2.1. Proporsi penderita keratitis infektif berdasarkan umur dan jenis kelamin tercatat yang berobat ke RSUP H Adam Malik tahun 2010-2011

Kelompok Umur
12-19 20-27 28-35 36-43 44-51 52-59 60-67 68-75 Total

Jenis Kelamin

Laki-laki

Perempuan

f (%)

f (%)

4 (8,3)

3 (10)

9 (18,8)

7 (23,3)

12 (25)

11 (36,7)

8 (16,7)

3 (10)

5 (10,4)

3 (10)

2 (4,2)

1 (3,3)

7 (14,6)

1 (3,3)

1 (2,1)

1 (3,3)

48 (61,5)

30 (38,5)

Total
7 (9) 16 (20,5) 23 (29,5) 11 (14,1) 8 (10,3) 3 (3,8) 8 (10,3) 2 (2,6) 78 (100)

Proporsi tertinggi penderita keratitis infektif terdapat pada kelompok umur 28 – 35 tahun sebesar 29,5% (laki-laki 12 orang dan perempuan 11 orang) dan terendah pada kelompok umur 68-75 tahun yaitu sebesar 2,6% (laki-laki 2,1% dan perempuan 3,3%). Proporsi jenis kelamin adalah perempuan 38,5% dan laki-laki 61,5%.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 4.2.2. Proporsi diagnosis klinis berdasarkan umur

Umur (Tahun)

Diagnosis Klinis

≤ 18 > 18

f (%)

f (%)

Keratitis Bakterial

2 (40,0)

38 (52.1)

Keratitis Fungal

2 (40,0)

30 (41,1)

Keratitis Viral

1 (20)

5 (6,8)

Total

5 (6,4)

73 (93,5)

Jumlah (%)
40 (51,3)
32 (41,0) 6 (7,7)
78 (100)

Dari tabel 4.2.2 dapat diketahui bahwa proporsi umur penderita keratitis infektif untuk semua penyebab lebih tinggi pada umur di atas 18 tahun, yaitu 93,5% daripada umur ≤ 18 tahun 6,4%. Analisis statistik dengan uji Chi-Square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 3 sel (50%) expected count yang besarnya kurang dari 5.

Tabel 4.2.3. Proporsi diagnosis klinis berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin

Diagnosis Klinis

Lakilaki

Perempuan

f (%)

f (%)

Keratitis Bakterial

23 (47,9)

17 (56,7)

Keratitis Fungal

22 (45,8)

10 (33,3)

Keratitis Viral

3 (6,2)

3 (10)

Total

48 (61,5)

30 (38,5)

Jumlah (%)
40 (51,3)
32 (41,0)
6( 7,7) 78 (100)

Dari tabel 4.2.3 di atas dapat diketahui bahwa proporsi penderita keratitis bakterial dan fungal lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki (47,9% dan 45,8%) dibandingkan pada jenis kelamin perempuan (17% dan 10%). Proporsi penderita keratitis viral lebih tinggi pada jenis kelamin wanita, yaitu sebesar 10%.

Universitas Sumatera Utara

Analisis statistik dengan uji Chi-Square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 2 sel (33,3%) expected count yang besarnya kurang dari 5.

Tabel 4.2.4. Proporsi pekerjaan berdasarkan diagnosis klinis pada penderita keratitis infektif

Diagnosis Klinis

Pekerjaan

Petani

Bukan

Jumlah

Petani

(%)

f (%) f (%)

Keratitis Bakterial

7 (8,9)

33 (42,3)

40 (51,3)

Keratitis Fungal

12 (15,4)

20 (25,6)

32 (41,0)

Keratitis Viral

2 (2,6)

4 (5,1)

6( 7,7)

Total

21 (26,9)

57

78

Dari tabel 4.2.6 di atas dapat diketahui proporsi penderita keratitis bakterial, fungal maupun viral masih lebih rendah pada profesi petani (26,9%) dibandingkan profesi selain petani (57%). Analisis statistik dengan uji Chi-Square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 2 sel (33,3%) expected count yang besarnya kurang dari 5.

Universitas Sumatera Utara

BAB 5 PEMBAHASAN
Pada penelitian yang dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK USU bagian Rekam Medik RSUP H. Adam Malik didapatkan data penderita keratitis infektif pada tahun 2010-2011 sebanyak 78 penderita. 5.1 Analisis Univariat 5.1.1 Proporsi penderita keratitis infektif berdasarkan kelompok usia tercatat yang berobat ke RSUP H Adam Malik tahun 2010-2011

2,6 % 9%
10,3 % 3,8 %

10,3 %

20,5 %

14,1 %

29,5 %

Gambar 5.1.1 Penderita keratitis infektif berdasarkan kelompok umur
Universitas Sumatera Utara

Dari gambar 5.1.1 Proporsi tertinggi penderita keratitis infektif terdapat pada kelompok umur 28 – 35 tahun sebanyak 23 penderita (29,5 %) dan kelompok umur 20– 27 tahun sebanyak 16 penderita (20,5 %). 5.1.2 Proporsi penderita keratitis infektif berdasarkan umur tercatat yang berobat ke RSUP H. Adam Malik tahun 2010-2011
6,4 %
93,6 %
Dari gambar 5.1.2 di atas didapatkan proporsi tertinggi penderita keratitis infektif terdapat pada umur > 18 tahun sebesar 93,6 % ( 73 orang) dan terendah pada kelompok umur < 18 tahun sebesar 6,4 % (5 orang).
Universitas Sumatera Utara

5.1.3 Proporsi penderita keratitis infektif berdasarkan jenis kelamin tercatat yang berobat ke RSUP H Adam Malik tahun 2010-2011

61,5 %

38,5 %

Dari gambar 5.1.3 didapatkan proporsi penderita keratitis infektif lebih banyak dijumpai pada jenis kelamin pria, yaitu sebanyak 61,5 % sedangkan wanita sebanyak 38,5 %.
Beberapa penelitian lain sebelumnya terhadap keratitis infektif juga mendapatkan jumlah penderita lebih banyak pada laki-laki Hal ini sesuai dengan hasil yang umumnya didapatkan pada penelitian keratitis infektif baik di luar negeri maupun Indonesia. Banyaknya penderita keratitis infektif pada laki-laki dimungkinkan karena mereka lebih terpapar terhadap berbagai faktor risiko keratitis infektif, yaitu seperti profesi di luar rumah, dan kegiatan sehari-hari yang membutuhkan tenaga fisik yang umumnya dapat menyebabkan trauma seperti petani, tukang kayu, pengrajin, dll.
Universitas Sumatera Utara

5.1.4 Proporsi penderita keratitis infektif berdasarkan pekerjaan yang tercatat yang berobat ke RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2010-2011

7,7 %

26,9 %

29,5 %

19,2 % 6,4 %
10,3 %

Gambar 5.1.4 Penderita keratitis infektif berdasarkan pekerjaan
Pada gambar di atas didapati proporsi penderita keratitis infektif terbanyak dijumpai pada petani (21 orang) sebesar 26,9 %, diikuti oleh ibu rumah tangga sebesar 19,2 % (15 orang).
Hal ini sesuai dengan banyak penelitian di negara tropis bahwa petani memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menderita keratitis infektif mengingat kemungkinan trauma organik yang lebih tinggi dibandingkan profesi lainnya dalam penelitian ini. Selain itu petani di negara Indonesia umumnya memiliki tingkat pengetahuan yang kurang baik sehingga lebih mungkin untuk melakukan kesalahan dalam usaha mengobati keluhan matanya, seperti penggunaan obat tradisional yang belum jelas khasiatnya.
Universitas Sumatera Utara

Keluhan yang paling sering dijumpai pada keratitis infektif adalah turunnya tajam penglihatan disertai mata merah. Turunnya tajam penglihatan adalah tanda yang paling umum dan paling penting pada penderita keratitis infektif.

7,7 %

41,0 %

51,3 %

Gambar 5.1.6 Proporsi keratitis infektif berdasarkan diagnosis klinis

Universitas Sumatera Utara

5.1.7 Proporsi keratitis infektif berdasarkan derajat keparahan penyakit di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2008

51,3 %

20,5 % 28,3 %

Gambar . Proporsi keratitis infektif berdasarkan derajat keparahan penyakit.
Dari gambar 5.1.7 dapat dilihat bahwa keratitis infektif derajat sedang paling banyak dijumpai dibandingkan derajat lainnya, yaitu sebesar 51,3 % (40 orang). Keratitis infektif derajat berat paling sedikit ditemukan, yaitu sebesar 20,5 % (16 orang). 5.1.8 Proporsi Penatalaksanaan Keratitis Infektif di RSUP H. Adam Malik-Medan Tahun 2010-2011

Universitas Sumatera Utara

2,6 %
97,4 %
Gambar 5.1.8. Penatalaksanaan keratitis infektif di RSUP H. Adam Malik periode 20102011
Dari gambar di atas penatalaksanaan yang paling banyak dilakukan pada penderita keratitis infektif adalah penatalaksanaan medikamentosa, yaitu sebesar 97,4 % (76 orang). Penatalaksanaan keratitis infektif dengan medikamentosa dilakukan terlebih dahulu sesuai dengan pedoman penatalaksanaan PERDAMI. Pemilihan antimikroba disesuaikan dengan gambaran klinis dan diteruskan jika terdapat perbaikan. Satu orang penderita keratitis fungal (1,3%) harus menjalani operasi periosteal graft karena telah terjadi perforasi yang luas, sedangkan satu orang penderita keratitis bakterial (1,3%) menjalani operasi conjunctival flap karena mengalami perforasi dalam ukuran yang lebih kecil. Terapi definitif bagi keratitis yang mengalami perforasi adalah keratoplasti, namun masalah ketersediaan donor dan keterampilan ahli medis menyebabkan operasi tersebut tidak pernah dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK-USU.
Universitas Sumatera Utara

BAB 6 KESIMPULAN
1. Proporsi tertinggi penderita keratitis infektif terdapat pada kelompok umur 28 – 35 tahun sebanyak 23 penderita (29,5 %)
2. Proporsi tertinggi penderita keratitis infektif terdapat pada umur > 1