Penerapan Standar Minimal Pelayanan Imunisasi Campak pada Pengungsi dalam Masa Tanggap Darurat Erupsi Gunung Sinabung Tahun 2013

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis
yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam,
faktor nonalam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang
dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional. (Kemenkes RI,
2011)
Posisi Indonesia yang terletak di pertemuan tiga lempeng, yaitu lempeng
Eurasia, lempeng Pasifik dan lempeng Indo- Australia menjadi pusat pergerakan
bumi. Tak heran, jika wilayah ini memiliki potensi bencana besar artificial dan non
artificial. Berada di cincin api atau ring of fire, Indonesia juga memiliki potensi
bencana tektonik. Keberadaan gunungapi yang terhampar hampir di seluruh
kepulauan dan laut Indonesia, menjadikan negeri ini berada di lingkaran api, yang
sewaktu-waktu bisa meletus. Indonesia juga tercatat sebagai pemilik gunungapi
terbanyak di dunia. Ring of fire merupakan rangkaian lempeng atau patahan besar
yang menjadi ancaman potensial gempa. Posisinya mengepung perairan Indonesia

mulai dari Laut Andaman menjalar dari atas pesisir Sumatera hingga timur. Lempeng
‘Semangka’ di sepanjang daratan pantai barat Sumatera berakhir di Selat Sunda.

1

2

Kemudian, bersambung dengan rangkaian puluhan gunungapi aktif di Jawa-BaliLombok-Sumbawa-Flores hingga Pulau Alor. (Indonesia Maritime Institute, 2014).
Berdasarkan data dari USGS (United State Geological Survey), beberapa
kejadian bencana besar yang pernah terjadi di Indonesia antara lain kejadian gempa
bumi di Samudera Hindia dan lepas pantai Aceh serta sebagian wilayah pantai
Sumatera Utara pada tanggal 26 Desember 2004 yang mengakibatkan tsunami
dengan jumlah korban jiwa yang sangat besar yaitu 227.898, gempa bumi di Nias
pada tanggal 28 Maret 2005 yang dengan 1.313 korban jiwa, gempa bumi di
Yogyakarta pada 27 Mei 2006 dengan lebih dari 5749 korban jiwa , 385.68 terluka,
600.000 orang kehilangan tempat tinggal, dan pada

30 September 2009 terjadi

gempa bumi di Sumatera Barat yang mengakibatkan 1.117 korban jiwa, letusan

Gunung Merapi di Yogyakarta pada bulan Oktober dan November 2010 yang
mengakibatkan 386 korban jiwa. Berdasarkan data dari Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB), telah terjadi letusan

Gunung Sinabung di

Sumatera Utara pada tahun 2010 dan 2013. Akibat rangkaian erupsi Gunung
Sinabung sejak September 2013 sampai dengan awal tahun 2014, terdapat 17 korban
meninggal akibat awan panas.
Indonesia memiliki 127 gunungapi aktif, dan 3 diantaranya terletak di
Sumatera Utara yaitu Gunung Sibayak dan Sinabung di Kabupaten Karo, dan Sorik
Marapi di Kabupaten Mandailing Natal. Gunung Sinabung telah memberi kejutan
kepada dunia dengan letusannya pada tahun 2010 setelah tercatat tidak pernah
meletus sejak tahun 1600. (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2012).

3

Gunung Sinabung berada di Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara,
dengan ketinggian 2.460 m diatas permukaan laut dan termasuk dalam gunungapi
tipe B. (Pemkab Karo, 2010). Menurut sejarahnya, di Gunung Sinabung sebelum

tahun 1600 terjadi erupsi dengan muntahan batuan piroklastik (awan panas, batu
pijar, abu vulkanik) dan lahar dingin. Selanjutnya selama 400 tahun berikutnya tidak
ada erupsi yang membahayakan, hanya tahun 1975-1976 terjadi beberapa kali erupsi
freatik kecil. Gunung Sinabung kembali menunjukkan aktivitas vulkaniknya sejak
pertengahan tahun 2010. Tanggal 29 Agustus 2010, terjadi erupsi besar di Gunung
Sinabung dan statusnya dinaikkan menjadi Awas (level IV). Pada saat itu jumlah
pengungsi mencapai 12.000 jiwa. Sejak saat itu, Gunung Sinabung beberapa kali
menunjukkan aktifitasnya.
Pada 15 September 2013, Gunung Sinabung kembali meletus dengan
mengeluarkan awan panas dan abu vulkanik, tanpa adanya tanda-tanda peningkatan
aktivitas sebelumnya, sehingga tidak ada peringatan dini sebelumnya. Hujan abu
mencapai kawasan Sibolangit dan Berastagi, dan ribuan warga pemukiman sekitar
gunung terpaksa mengungsi ke wilayah aman. Sejak saat itu rangkaian erupsi terus
terjadi, hingga pada 24 November 2013 status Gunung Sinabung dinaikkan ke level
tertinggi menjadi awas (level 4), dan status ini bertahan terus hingga memasuki tahun
2014. Pada minggu terakhir Januari 2014, kondisi Gunung Sinabung mulai stabil, dan
direncanakan pengungsi di luar radius 5 km dapat dipulangkan. Namun, sehari
kemudian, yakni pada 1 Februari 2014, 14 orang ditemukan tewas dan 3 orang lukaluka akibat luncuran awan panas ketika sedang mendatangi desa Suka Meriah yang

4


berada di zona bahaya. Akibatnya, pengungsi tetap bertahan di tempat pengungsian.
Berdasarkan data dari Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan, Kementerian
Kesehatan RI pada tanggal 21 Januari 2014, daerah yang terdampak erupsi Gunung
Sinabung terdiri dari 2 dusun, 28 desa, di 4 kecamatan yaitu Kecamatan Tiganderket,
Namanteran, Payung, dan Simpang Empat. Sebanyak 35 unit fasilitas kesehatan
mengalami kerusakan, terdiri dari 3 puskesmas, 21 pustu, 7 poskesdes, dan 4 rumah
dinas, sehingga tidak dapat digunakan sebagai fasilitas pelayanan kesehatan. Hingga
11 Pebruari 2014, tercatat jumlah pengungsi sebanyak 10.314 KK, 33.206 jiwa,
dengan jumlah kelompok rentan terdiri dari lansia 2411 jiwa, ibu hamil 232 jiwa, dan
bayi 1357 jiwa, yang tersebar di 43 titik pengungsian. (Pemkab Karo, 2014 )
Setiap bencana yang besar selalu menimbulkan krisis kesehatan, antara lain
lumpuhnya pelayanan kesehatan, korban mati, korban luka, pengungsi, masalah gizi,
masalah ketersediaan air bersih, sanitasi lingkungan, penyakit menular, gangguan
kejiwaan,dan gangguan pelayanan kesehatan reproduksi. Pada setiap lokasi
pengungsian selalu terjadi peningkatan risiko penyakit menular yang berpotensi
wabah seperti diare, ISPA, malaria, DBD (Demam Berdarah Dengue), Penyakit yang
Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti polio, difteri, pertusis, tetanus, dan
campak, keracunan, dan penyakit-penyakit spesifik lokal. Hal tersebut terutama
disebabkan oleh kerusakan lingkungan dan pencemaran, jumlah pengungsi yang

banyak sehingga harus berdesakan, pada umumnya tempat pengungsian tidak
memenuhi syarat kesehatan, kualitas dan kuantitas air bersih yang kurang, banyaknya
kelompok rentan, kurangnya PHBS (Prilaku Hidup Bersih dan Sehat), pengungsian

5

berada di lokasi endemis penyakit menular, dan berbagai faktor lainnya. (Kemenkes
RI, 2011).
Pada setiap kejadian bencana terutama yang diikuti dengan pengungsian,
imunisasi campak merupakan prioritas dalam penanggulangan masalah kesehatan,
khususnya dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit. Wabah campak
dapat terjadi di negara atau daerah yang sedang mengalami bencana, khususnya di
pengungsian dimana padatnya pengungsi meningkatkan risiko infeksi.
Pada tahun 2011, Indonesia merupakan negara ASEAN dengan kasus campak
terbanyak yaitu 21.893 kasus, jauh melebihi 9 negara ASEAN lainnya, dengan
jumlah meninggal sebanyak 9 kasus. Incidence rate pada tahun 2011 adalah sebesar
9,22 per 100.000 penduduk, dan di Sumatera Utara incidence rate penyakit campak
sebesar 1,2 per 100.000 penduduk.
Meskipun kematian akibat campak di dunia telah turun sebesar 78%, dari
562.400 kematian pada tahun 2000 menjadi 122.000 kematian pada tahun 2012,

campak masih umum terjadi di negara-negara berkembang, terutama di beberapa
negara di Asia dan Afrika. Lebih dari 20 juta orang terkena campak setiap tahun.
Lebih dari 95% kematian akibat campak terjadi di negara-negara dengan pendapatan
perkapita yang rendah dan infrastruktur kesehatan yang lemah. Wabah campak dapat
menjadi sangat mematikan terutama di negara-negara yang sedang mengalami
maupun baru pulih dari bencana alam maupun konflik. Kerusakan pada infrastruktur
dan fasilitas pelayanan kesehatan dapat mengganggu pelaksanaan imunisasi rutin, dan

6

padatnya penduduk di tempat-tempat pengungsian meningkatkan risiko penularan
penyakit. (WHO, 2013).
Penyakit campak menyebabkan 17% dari 360 kematian pada pengungsi
Somalia di kompleks pengungsian di Dadaab, Kenya, dimana terjadi wabah campak
pada bulan Juni sampai dengan Oktober 2011 (Polonsky, 2013). Kasus campak juga
dilaporkan terjadi di empat kamp pengungsi di kawasan Kibondo, Tanzania, yang
terjadi pada bulan Maret 2000 sampai dengan Mei 2001 sebanyak 1062 kasus, dengan
sebaran umur 225 kasus (21%) pada usia /= 16 tahun. Walaupun pada saat itu ada kebijakan untuk memberikan vaksinasi
campak bagi pendatang baru usia 6 bulan s.d 15 tahun, tetapi sebanyak 152 (72%)
dari 210 pendatang baru pada kelompok usia ini tidak divaksinasi, dan 143 orang

(94% ) dari 152 orang tersebut telah tinggal di kamp tersebut selama paling sedikit 1
bulan sebelum timbul bercak. Temuan ini mendukung rekomendasi untuk
memperluas target usia sasaran imunisasi campak pada pengungsi. (Kamuqisha,
2003)
Menurut Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan tahun
2011, berdasarkan surveilans campak, frekuensi kejadian KLB campak cenderung
meningkat dalam 5 tahun terakhir (2007 s.d. 2011), sebagian besar hasil pemeriksaan
laboratorium adalah positif campak, dan mengalami peningkatan hampir dua kali
lipat pada satu tahun terakhir ( 2011). Jumlah kasus pada setiap KLB juga cenderung
meningkat pada tahun 2007 s.d. 2011. Sebaran kasus campak selama 4 tahun terakhir

7

(2008 s.d. 2011) sebagian besar terjadi di Pulau Jawa, selain itu juga menyebar di
pulau Sumatera dan beberapa propinsi di Kalimantan dan Sulawesi.
Penyakit campak merupakan salah satu penyebab kematian yang tertinggi
pada anak-anak, terutama pada kejadian bencana yang diperberat oleh masalah
malnutrisi dan defisiensi Vitamin A. Pada masa lalu, angka kematian yang
disebabkan oleh penyakit campak pada bencana mencapai 20-30 %. Pemutusan
penularan penyakit campak memerlukan tingkat cakupan imunisasi yang tinggi

(>90%), dan kondisi ini sulit dipertahankan pada kondisi bencana dimana sering
terjadi kerusakan infrastruktur yang menghambat akses terhadap pelayanan
kesehatan, yang akan meningkatkan risiko untuk penularan penyakit.
Salah satu upaya untuk mengendalikan penyakit menular di lokasi
pengungsian adalah imunisasi, seperti imunisasi campak, tetanus, dan imunisasi
tertentu berdasarkan hasil penilaian cepat yang dilakukan di lokasi pengungsian.
Imunisasi dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya Kejadian Luar
Biasa (KLB) PD3I terutama campak. Untuk itu diperlukan suatu pedoman yang
menjadi acuan bagi petugas kesehatan di daerah bencana untuk melaksanakan
pelayanan imunisasi sesuai dengan tugas dan fungsi, sehingga KLB dapat dicegah
atau ditekan seminimal mungkin dan tidak menimbulkan dampak kesehatan yang
lebih luas di daerah bencana.
Untuk melaksanakan upaya tersebut, telah diterbitkan Keputusan Menteri
Kesehatan No. 1357 / XII/ 2001 tentang Standar Minimal Penanggulangan Masalah
Kesehatan Akibat Bencana dan Penanganan Pengungsi. Pedoman ini diharapkan

8

dapat menjadi acuan bagi para penyelenggara penanggulangan bencana di bidang
kesehatan dalam melaksanakan upaya penanggulangan krisis kesehatan akibat

bencana.
Berdasarkan data yang diperoleh pada saat survei pendahuluan di Dinas
Kesehatan Kabupaten Karo, salah satu upaya yang telah dilakukan Dinas Kesehatan
Kabupaten Karo dalam upaya penanggulangan krisis kesehatan pada bencana erupsi
Gunung Sinabung tahun 2013 adalah upaya pencegahan dan pengendalian penyakit
yang meliputi surveilans penyakit dan faktor risiko, imunisasi, pengendalian vektor
baik melalui pengendalian lingkungan, pengendalian secara mekanis, pengendalian
biologis, dan pengendalian secara kimiawi. Dari Laporan Hasil Imunisasi Tambahan
di Pos Pengungsi Bencana Erupsi Gunung Sinabung Januari s.d. Pebruari 2014
menunjukkan bahwa imunisasi campak dilakukan di lokasi pengungsian dengan
sasaran seluruh anak yang berusia 9 - 59 bulan yang berjumlah 1833 jiwa (data
proyeksi), atau 1468 jiwa (data lapangan), dengan hasil cakupan imunisasi sebanyak
546 jiwa (berdasarkan data proyeksi sebesar 30%, dan berdasarkan data lapangan
sebesar 37%). Pada bulan Pebruari 2014 ditemukan 12 kasus campak di pengungsian,
dan 2 kasus di antaranya menunjukkan hasil laboratorium positif campak.
Pada tahun 2012, jumlah kasus campak merupakan kasus terbanyak kategori
PD3I yaitu sebanyak 257 kasus di 7 kabupaten/kota, dan jumlah kasus di Kabupaten
Karo sebanyak 18 kasus. Sementara cakupan imunisasi campak di Kabupaten Karo
tahun 2012 sebesar 91,91% (Sumber: Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara
Tahun 2012).


9

Menurut Profil Kesehatan Kabupaten Karo Tahun 2012, cakupan imunisasi
campak tahun 2012 di Kecamatan Simpang Empat sebesar 90,8%, Kecamatan Naman
Teran sebesar 77,9 %, Kecamatan Tiganderket sebesar 70,2%, dan Kecamatan
Payung sebesar 85,5%. Data pada bulan Oktober 2013 menunjukkan hasil cakupan
imunisasi campak di Kecamatan Simpang Empat sebesar 79,1%, Kecamatan Naman
Teran sebesar 76,2%, Kecamatan Tiganderket sebesar 66,9%, dan Kecamatan Payung
sebesar 67,1%. Sementara untuk eliminasi campak, dibutuhkan cakupan imunisasi
campak >90% selama bertahun-tahun.
Berdasarkan uraian di atas,

peneliti bermaksud meneliti upaya imunisasi

campak terhadap korban bencana erupsi Gunung Sinabung yang berada di lokasi
pengungsian yang telah dilakukan Dinas kesehatan Kabupaten Karo beserta
jajarannya, apakah telah sesuai dengan standar minimal penanggulangan masalah
kesehatan yang tercantum dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 1357 /XII/2001.


1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah “Apakah Pelayanan Imunisasi
Campak Pada Masa Tanggap Darurat Bagi Pengungsi Erupsi Gunung Sinabung telah
terlaksana sesuai dengan Standar Minimal Penanggulangan Masalah Kesehatan
Akibat Bencana dan Penanganan Pengungsi?’’.

10

1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pelayanan imunisasi
campak pada masa tanggap darurat bagi pengungsi erupsi Gunung Sinabung di
Kabupaten Karo tahun 2013 sudah sesuai dengan pedoman pada Standar Minimal
Penanggulangan Masalah Kesehatan dan Penanganan Pengungsi serta Petunjuk
Teknis Pelaksanaan Imunisasi di Daerah Bencana yang mencakup : persiapan,
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Karo
Sebagai bahan masukan dalam penanggulangan masalah kesehatan akibat
bencana dan penanganan pengungsi, khususnya dalam pelayanan imunisasi
campak bagi pengungsi.
1.4.2. Bagi Peneliti
Seluruh rangkaian kegiatan dan hasil penelitian diharapkan dapat menambah
wawasan dan kemampuan berpikir mengenai penerapan ilmu yang telah telah
diperoleh selama mengikuti pendidikan.
1.4.3. Bagi Program Studi S2 FKM-USU
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi ilmu Manajemen
Kesehatan Bencana, sehingga penanggulangan bencana di bidang kesehatan
khususnya pelayanan imunisasi campak pada pengungsi dapat dilaksanakan
sesuai dengan kajian-kajian ilmiah, dan hasil penelitian diharapkan dapat
menjadi dokumen akademik yang berguna untuk dijadikan acuan bagi peneliti
selanjutnya.