Analisis Pelaksanaan Fungsi Koordinasi Bidang Kesehatan pada Masa Tanggap Darurat Erupsi Gunung Sinabung Tahun 2014

(1)

ERUPSI GUNUNG SINABUNG TAHUN 2014

ANALISIS PELAKSANAAN FUNGSI KOORDINASI BIDANG KESEHATAN PADA MASA TANGGAP DARURAT

TESIS

Oleh LILIS SURYANI

127032197/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ANALISIS PELAKSANAAN FUNGSI KOORDINASI BIDANG KESEHATAN PADA MASA TANGGAP DARURAT

ERUPSI GUNUNG SINABUNG TAHUN 2014

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyakarat

Minat Studi Manajemen Kesehatan Bencana pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

LILIS SURYANI 127032197/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : ANALISIS PELAKSANAAN FUNGSI

KOORDINASI BIDANG KESEHATAN PADA MASA TANGGAP DARURAT ERUPSI GUNUNG SINABUNG TAHUN 2014 Nama Mahasiswa : Lilis Suryani

Nomor Induk Mahasiswa : 127032197

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Manajemen Kesehatan Bencana

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Muslich Lufti, M.B.A, I.D.S) (Suherman, S.K.M, M.Kes) Ketua Anggota

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(4)

Telah Diuji

pada Tanggal: 12 Agustus 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Muslich Lufti, M.B.A, I.D.S Anggota : 1. Suherman, S.K.M, M.Si

2. Abdul Muthalib Lubis, S.H, M.A.P 3. Siti Khadijah Nasution, S.K.M, M.Kes


(5)

PERNYATAAN

ANALISIS PELAKSANAAN FUNGSI KOORDINASI BIDANG KESEHATAN PADA MASA TANGGAP DARURAT

ERUPSI GUNUNG SINABUNG TAHUN 2014

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam makalah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Agustus 2014

Lilis Suryani 127032197/IKM


(6)

ABSTRAK

Bencana erupsi Gunung Sinabung telah mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan pengungsi serta kerusakan fasilitas umum. Dampak tersebut membutuhkan upaya yang terkoordinasi dari semua sektor, termasuk koordinasi di sektor kesehatan. Koordinasi secara berkala akan menjawab tantangan ini sehingga tidak terjadi duplikasi atau tumpang tindih dalam penanganan bidang kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pelaksanaan fungsi koordinasi bidang kesehatan pada masa tanggap darurat erupsi Gunung Sinabung tahun 2014.

Metode penelitian ini adalah kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumen. Informan penelitian adalah Kepala Dinas Kesehatan, Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan, dan Kepala Puskesmas Brastagi. Untuk keabsahan data dilakukan teknik triangulasi data dan sumber informasi.

Hasil penelitian diperoleh bahwa dalam koordinasi vertikal rentang pengawasan, sentralisasi-desentralisasi kurang baik, dalam hal komando sudah baik. Dalam koordinasi horizontal, secara internal interdisciplinary sudah baik, departemenlisasi matriks tidak terdapat job description dan SOP, sedangkan secara eksternal interrelated tidak baik. Koordinasi diagonal kurang efektif dan koordinasi fungsional kurang optimal dalam penanggulangan bencana pada masa tanggap darurat erupsi Gunung Sinabung. Faktor yang mendukung koordinasi adalah adanya rasa persaudaraan (aron) antara pengungsi dan tenaga kesehatan sehingga dapat melakukan pelayanan kesehatan semaksimal mungkin di Pos Pengungsian.

Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Karo disarankan melakukan revitalisasi dan refungsionalisasi secara menyeluruh dan terpadu terhadap peran, tugas serta fungsi Dinas Kesehatan Kabupaten Karo sebagai penanggungjawab penanggulangan bencana bidang kesehatan dan instansi lainnya yang terkait. Bagi BPBD yang baru terbentuk untuk membuat SOP sehingga dapat mempermudah pelaksanaan koordinasi lintas sektoral dalam penanggulangan bencana Erupsi Gunung Sinabung kedepannya.

Kata Kunci : Analisis, Pelaksanaan Fungsi, Koordinasi Bidang Kesehatan, Tanggap Darurat, Erupsi Gunung Sinabung


(7)

ABSTRACT

Eruption of Sinabung Mount has resulted in loss of life and damage to public facilities and refugees. These impacts requires a coordinated effort from all sectors, including the coordination in the health sector. Coordination will periodically answer this challenge so there is no duplication or overlap in the handling of the health sector. The purpose of this study is to analyze the function of coordinating the implementation of the health sector during the emergency response Sinabung eruption in 2014.

This research method is qualitative data collection techniques through in-depth interviews, observation, and study documents. Informants research is the Chief Medical Officer, Head of Health Services, and Head of Puskesmas Brastagih. For the validity of the data and the technique of triangulation of data resources.

The results showed that the vertical range of supervisory coordination, centralization-decentralization less well, in terms of command has been good. In the horizontal coordination, interdisciplinary internally is good, there is no matrix departemenlisasi job description and SOP, while externally interrelated is not good. Coordination diagonal less effective and less optimal functional coordination in disaster management during emergency eruption of Mount Sinabung. Factors that support the coordination is a sense of brotherhood (aron) between refugees and health workers so that they can make health services as much as possible in Pos Displacement.

For Karo District Health Office recommended to revitalize and recreation of a comprehensive and integrated to the role, duties and functions of the Karo District Health Office to be responsible for disaster management in health and other relevant agencies. For BPBDs newly formed to create a SOP so as to facilitate the implementation of cross-sectoral coordination in disaster management in the future eruption of Mount Sinabung.

Keywords : Analysis, Implementation Functions, Coordination Health Affairs, Emergency Response, eruption of Sinabung Mount


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan anugerah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Analisis Pelaksanaan Fungsi Koordinasi Bidang Kesehatan pada Masa Tanggap Darurat Erupsi Gunung Sinabung Tahun 2014.”.

Tesis ini dibuat sebagai syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dengan minat studi Manajemen Kesehatan Bencana.

Penyelesaian tesis ini tidak terlepas dari dukungan dan bimbingan dari banyak pihak. Oleh karena itu Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. Muslich Lufti Nasution, M.B.A, I.D.S, selaku Pembimbing I yang telah membimbing, memotivasi, dan memberikan arahan dalam penyusunan tesis ini.

5. Suherman, S.K.M, M.Kes selaku pembimbing II yang telah memberikan saran, masukan, dan arahan serta motivasi selama penyusunan tesis ini.

6. Abdul Muthalib Lubis, S.H, M.A.P, selaku penguji I yang memberikan saran dan kritik kepada penulis.


(9)

7. Siti Khadijah Nasution, S.K.M, M.Kes selaku penguji II yang memberikan saran dan kritik kepada penulis.

8. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Kabupaten Karo yang telah memberikan ijin penelitian.

9. Kepala Dinas Kabupaten Karo, dr. Jansen Peranginangin, yang telah memberikan ijin dalam melakukan penelitian sekaligus sebagai informan penelitian tesis.

10.Bapak Kawal Maha, Apt, M.Kes (Ka.Bid Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Karo), sebagai informan utama penelitian.

11.Bapak Zulkifli dari Polres Tanah Karo, Bapak Baron selaku camat Tiganderket, Bapak A. Silalahi mewakili PMI dan Bapak Romeo dari Basarnas yang bersedia menjadi triangulasi sumber dalam penelitian ini. 12.Kedua orangtuaku tercinta Ayahanda H.Hazanir dan Ibunda Hj.Rosmani yang

memberikan dukungan moral dan kasih sayang kepada Penulis.

13.Rekan-rekan seangkatan khususnya minat studi MKB yang saling mendukung dan menguatkan dalam penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan tesis ini, maka Penulis sangat mengharapkan masukan yang berharga dan saran untuk melengkapi tesis ini.

Medan, Agustus 2014 Penulis,

Lilis Suryani 127032197/IKM


(10)

RIWAYAT HIDUP

Lilis Suryani dilahirkan di Kuala Simpang, pada tanggal 10 November tahun 1974 dari pasangan H.Hazanir dan Hj.Rosmani. Lilis Suryani beragama Islam dan bertempat tinggal di Jalan Jend. Ahmad Yani No. 25D Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang.

Menempuh pendidikan Sekolah Dasar di SD Ade Irma Suryani Kuala Simpang dan menamatkannya pada tahun 1989. Selesai menempuh Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri I Kejuruan Muda Kuala Simpang pada tahun 1992. Pada tahun 1995 menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMA Al Washliyah Kuala Simpang. Akademi Keperawatan diselesaikan pada tahun 1998 di Akper Nan Tongga Pariaman (Sumatera Barat). Gelar S1 Kesehatan Masyarakat diperoleh pada tahun 1994 di Universitas Sumatera Utara. Selanjutnya pada tahun 2012 mengikuti pendidikan S2 Kesehatan Masyarakat dengan minat studi Manajemen Kesehatan Bencana.

Lilis Suryani pertama kali bekerja di Puskesmas Langsa Barat pada tahun 2006. Kemudian, pada tahun 2007 pindah ke Dinas Kesehatan Kota Langsa sampai sekarang.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 9

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Koordinasi ... 10

2.2 Koordinasi Bidang Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana ... 19

2.3 Erupsi Gunung Api... 27

2.4 Landasan Teori ... 30

2.5 Kerangka Berpikir ... 32

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 33

3.1 Jenis Penelitian ... 33

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 33

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 34

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 34

3.5 Teknik Pengolahan Data ... 36

3.6 Teknik Keabsahan Data ... 37

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 38

4.1 Gambaran Demografi ... 38

4.1.1 Letak Geografis Kabupaten Karo ... 38

4.1.2 Demografi ... 39

4.1.3 Sosial, Ekonomi dan Budaya ... 43

4.1.4 Agama ... 45

4.1.5 Perekonomian ... 45

4.1.6 Keadaan Umum Dinas Kesehatan Kabupaten Karo ... 46


(12)

4.2 Hasil Wawancara ... 51

4.2.1 Koordinasi Vertikal ... 52

4.2.2 Koordinasi Horizontal ... 66

4.2.3 Koordinasi Diagonal ... 72

4.2.4 Koordinasi Fungsional ... 76

4.2.5 Faktor yang Mempercepat dan Menghambat Koordinasi .... 77

BAB 5. PEMBAHASAN ... 84

5.1 Analisa Koordinasi Bidang Kesehatan pada Masa Tanggap Darurat Erupsi Gunung Sinabung Tahun 2014 ... 84

5.2 Koordinasi Vertikal ... 85

5.3 Koordinasi Horizontal ... 94

5.4 Koordinasi Diagonal ... 100

5.5 Koordinasi Fungsional ... 101

5.6 Faktor yang Menghambat dan Mendukung Koordinasi ... 103

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 105

6.1 Kesimpulan ... 105

6.2 Saran ... 106

DAFTAR PUSTAKA ... 108 LAMPIRAN


(13)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

4.1 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk menurut

Kecamatan Tahun 2012... 40

4.2 Jumlah Penduduk menurut Jenis Kelamin, Rasio Jenis Kelamin dan Kecamatan Tahun 2012... 41

4.3 Jumlah Penduduk dan Rumah Tangga menurut Kecamatan Tahun 2012 ... 42

4.4 Jumlah Penduduk Kabupaten Karo Berdasarkan Usia Tahun 2012 ... 43

4.5 Partisipasi Penduduk untuk Sekolah Berdasarkan Usia (Dalam Persen) 44 4.6 Jumlah Penduduk yang Bersekolah per Kecamatan Tahun 2013 ... 44

4.7 Rekapitulasi Tenaga Kesehatan pada Dinas Kesehatan Kabupaten Karo tahun 2013 ... 49

4.8 Pendapat Informan tentang Rantai Komando ... 53

4.9 Pendapat Informan tentang Rentang Pengawasan ... 56

4.10 Pendapat Informan tentang Pendelegasian... 60

4.11 Pendapat Informan tentang Sentralisasi dan Desentralisasi ... 63

4.12 Pendapat Informan tentang Koordinasi Horizontal Jenis Interdisciplinary ... 66

4.13 Pendapat Informan tentang Koordinasi Horizontal Jenis Interrelated (Memiliki Tugas yang Sama Namun Beda Instansi) ... 68

4.14 Pendapat Informan tentang Koordinasi Horizontal Departemenlisasi Matriks (Pembentukan Satgas) ... 70

4.15. Pendapat Informan tentang Koordinasi Diagonal ... 73


(14)

4.17 Pendapat Informan tentang Hal yang Menghambat dan Mempercepat

Proses Koordinasi ... 77 4.18 Pendapat ICS, Basarnas, PMI, dan Camat tentang Koordinasi dengan


(15)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

2.1 Proses Koordinasi dari Setiap Komponen

dalam Penanggulangan Bencana ... 20 2.2 Kerangka Berpikir Penelitian ... 32 4.1 Struktur Organisasi Dinas Kesehatan Kabupaten Karo ... 48


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Pedoman Wawancara ... 111

2. Surat Izin Penelitian ... 117

3. Surat Selesai Melakukan Penelitian ... 123

4. Data Pengungsi ... 131

5. SK Bupati Karo ... 132


(17)

ABSTRAK

Bencana erupsi Gunung Sinabung telah mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan pengungsi serta kerusakan fasilitas umum. Dampak tersebut membutuhkan upaya yang terkoordinasi dari semua sektor, termasuk koordinasi di sektor kesehatan. Koordinasi secara berkala akan menjawab tantangan ini sehingga tidak terjadi duplikasi atau tumpang tindih dalam penanganan bidang kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pelaksanaan fungsi koordinasi bidang kesehatan pada masa tanggap darurat erupsi Gunung Sinabung tahun 2014.

Metode penelitian ini adalah kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumen. Informan penelitian adalah Kepala Dinas Kesehatan, Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan, dan Kepala Puskesmas Brastagi. Untuk keabsahan data dilakukan teknik triangulasi data dan sumber informasi.

Hasil penelitian diperoleh bahwa dalam koordinasi vertikal rentang pengawasan, sentralisasi-desentralisasi kurang baik, dalam hal komando sudah baik. Dalam koordinasi horizontal, secara internal interdisciplinary sudah baik, departemenlisasi matriks tidak terdapat job description dan SOP, sedangkan secara eksternal interrelated tidak baik. Koordinasi diagonal kurang efektif dan koordinasi fungsional kurang optimal dalam penanggulangan bencana pada masa tanggap darurat erupsi Gunung Sinabung. Faktor yang mendukung koordinasi adalah adanya rasa persaudaraan (aron) antara pengungsi dan tenaga kesehatan sehingga dapat melakukan pelayanan kesehatan semaksimal mungkin di Pos Pengungsian.

Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Karo disarankan melakukan revitalisasi dan refungsionalisasi secara menyeluruh dan terpadu terhadap peran, tugas serta fungsi Dinas Kesehatan Kabupaten Karo sebagai penanggungjawab penanggulangan bencana bidang kesehatan dan instansi lainnya yang terkait. Bagi BPBD yang baru terbentuk untuk membuat SOP sehingga dapat mempermudah pelaksanaan koordinasi lintas sektoral dalam penanggulangan bencana Erupsi Gunung Sinabung kedepannya.

Kata Kunci : Analisis, Pelaksanaan Fungsi, Koordinasi Bidang Kesehatan, Tanggap Darurat, Erupsi Gunung Sinabung


(18)

ABSTRACT

Eruption of Sinabung Mount has resulted in loss of life and damage to public facilities and refugees. These impacts requires a coordinated effort from all sectors, including the coordination in the health sector. Coordination will periodically answer this challenge so there is no duplication or overlap in the handling of the health sector. The purpose of this study is to analyze the function of coordinating the implementation of the health sector during the emergency response Sinabung eruption in 2014.

This research method is qualitative data collection techniques through in-depth interviews, observation, and study documents. Informants research is the Chief Medical Officer, Head of Health Services, and Head of Puskesmas Brastagih. For the validity of the data and the technique of triangulation of data resources.

The results showed that the vertical range of supervisory coordination, centralization-decentralization less well, in terms of command has been good. In the horizontal coordination, interdisciplinary internally is good, there is no matrix departemenlisasi job description and SOP, while externally interrelated is not good. Coordination diagonal less effective and less optimal functional coordination in disaster management during emergency eruption of Mount Sinabung. Factors that support the coordination is a sense of brotherhood (aron) between refugees and health workers so that they can make health services as much as possible in Pos Displacement.

For Karo District Health Office recommended to revitalize and recreation of a comprehensive and integrated to the role, duties and functions of the Karo District Health Office to be responsible for disaster management in health and other relevant agencies. For BPBDs newly formed to create a SOP so as to facilitate the implementation of cross-sectoral coordination in disaster management in the future eruption of Mount Sinabung.

Keywords : Analysis, Implementation Functions, Coordination Health Affairs, Emergency Response, eruption of Sinabung Mount


(19)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan yang secara geografis, geologis, hidrologis, dan demografis, merupakan wilayah yang tergolong rawan bencana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2011 menjelaskan bahwa bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Berdasarkan data Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan (PPKK), dalam kurun waktu (2006-2009) tercatat 1.074 kejadian bencana yang mengakibatkan permasalahan kesehatan di Indonesia. Kejadian tersebut menimbulkan berbagai permasalahan kesehatan yaitu korban meninggal dunia sebanyak 10.106 orang, korban luka-luka/dirawat sebanyak 775.993 orang, selain itu juga terdapat pengungsi sebanyak 4.101.610 orang serta ratusan sarana pelayanan kesehatan yang mengalami kerusakan. Hal ini merupakan masalah yang cukup serius, apalagi mengingat negara kita merupakan negara yang masih berkembang dan pembangunan menjadi terhambat akibat tingginya permasalahan yang ditimbulkan akibat bencana termasuk masalah kesehatan (Imran, 2012).


(20)

Salah satu jenis bencana di Indonesia yang sering terjadi akibat faktor alam adalah terjadinya letusan gunung berapi. Letusan gunung api adalah merupakan bagian dari aktivitas vulkanik yang dikenal dengan istilah "erupsi". Bencana erupsi cukup sering terjadi akhir-akhir ini karena pada dasarnya Indonesia memiliki 129 gunung api aktif atau (sekitar 10% dari jumlah gunung api di seluruh dunia) yang tersebar dari ujung utara Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara, Maluku dan Sulawesi Utara (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2010).

Letusan atau erupsi gunung api yang berbahaya akan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan penduduk di sekitarnya. Bahaya langsungnya adalah bahaya yang diakibatkan oleh material yang keluar dari letusan gunung api seperti aliran lava, batu kerikil, awan panas, lontaran batu pijar dan hujan panas yang jika terkena akan mematikan kehidupan di sekitarnya termasuk penduduk. Bahaya tidak langsungnya adalah aliran lahar atau banjir lahar akibat bertumpuknya materi vulkanik di bagian lereng (Setiawan, 2010).

Salah satu gunung api aktif yang terdapat di Sumatera Utara yaitu Gunung Sinabung yang berada pada level IV yaitu “Awas”. Gunung Sinabung yang terletak di Kabupaten Karo mengalami erupsi yang cukup mengejutkan pada tanggal 29 Agustus 2010. Sejak itu status Gunung Sinabung berubah dari status tipe B menjadi tipe A. Berdasarkan data Media Center di Posko Pendampingan Erupsi Gunung Sinabung 2013, pada tanggal 1 dan 2 November 2013 terjadi peningkatan aktivitas sehingga statusnya ditingkatkan dari waspada (level II) menjadi siaga (level III). Pada tanggal 3 November 2013 tepatnya pukul 03.00 WIB statusnya kembali ditingkatkan


(21)

menjadi awas (level IV) dan sejak tanggal 3 November 2013 ditetapkan mulai masa tanggap darurat.

Dampak dari kejadian erupsi Gunung Sinabung adalah adanya pengungsi yang berasal dari daerah terdampak di sekitar Gunung Sinabung. Jumlah pengungsian berfluktuatif dari bulan September 2013 hingga Februari 2014. Pada tanggal 24 Februari 2014, jumlah pengungsi sebanyak 15.996 jiwa atau sebanyak 5.021 KK, yang terdiri lansia sebanyak 1.414 orang, ibu hamil sebanyak 142 orang, bayi sebanyak 899 orang, tersebar di 33 titik pengungsian (Data Posko Tanggap Darurat Gunung Sinabung tahun 2014).

Erupsi Gunung Sinabung mempengaruhi status kesehatan pengungsi. Angka kesakitan meningkat, berdasarkan data pada tanggal 3 November 2013 hingga 7 Februari 2014, jumlah kunjungan di pos kesehatan sebanyak 121.731 orang, dengan rincian penyakit gastritis sebanyak 22.591 orang, ISPA sebanyak 77.000 orang, conjunctivitis sebanyak 3.248 orang, diare sebanyak 3.448 orang, hipertensi sebanyak 3573 orang, anxietas sebanyak 1.415 orang dan penyakit lainnya 9.966 orang. Penyakit itu muncul akibat debu vulkanik yang keluar setiap terjadi erupsi, serta minimnya fasilitas kebutuhan dasar bagi pengungsi seperti mandi, cuci dan kakus (MCK) yang tidak sesuai dengan jumlah pengungsi.

Untuk menekan dan mencegah jatuhnya korban pasca erupsi, perlu dilakukan berbagai upaya dari semua sektor termasuk sektor kesehatan. Upaya–upaya kesehatan dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun non pemerintah. Namun demikian, upaya yang bertujuan memberikan pelayanan bagi masyarakat korban bencana dapat


(22)

terhambat bila berjalan sendiri dan tidak ada hubungan saling keterkaitan. Oleh karena itu semua upaya yang dilakukan harus dikoordinasikan agar berjalan sinergi dan memberi dampak yang lebih maksimal bagi korban bencana. Bencana erupsi Gunung Berapi telah mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan pengungsi serta kerusakan fasilitas umum. Dampak tersebut membutuhkan upaya yang terkoordinasi dari semua sektor, termasuk koordinasi di sektor kesehatan (Imran, 2012).

Banyak sektor yang terlibat dalam penanggulangan bencana Gunung Sinabung termasuk yang berhubungan dengan kesehatan korban bencana. Oleh karenanya penanganan kesehatan pada saat bencana haruslah memperhatikan koordinasi lintas sektoral yang terkait. Sektor tersebut diantaranya Dinas Kesehatan Kabupaten Karo, Dinas Kesehatan Propinsi, Kementerian Kesehatan melalui Pusat Penanggulangan Krisis dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sebagai komando tanggap darurat.

Ketika melakukan survey awal, peneliti mengikuti rapat koordinasi di Pos Pendampingan pada tanggal 26 Desember 2013. Dinas Kesehatan tidak turut dalam rapat tersebut sehingga informasi mengenai kesehatan tidak ada. Pos kesehatan juga tidak terlihat ada didirikan di Pos pendampingan. Menurut relawan dan staf BPBD, sementara ini pos kesehatan dipusatkan di Dinas Kesehatan. Hal itu akan mempengaruhi koordinasi pelayanan kesehatan akibat kurangnya informasi. Siswanto (2012) mengatakan informasi kesehatan sangat diperlukan untuk mengambil keputusan penting dalam penanggulangan bencana bidang kesehatan.


(23)

Menurut Kepmenkes Nomor 145 Tahun 2007, Dinas Kesehatan berperan untuk melayani, mendampingi dan mengawasi setiap kegiatan yang melibatkan permasalahan kesehatan pada pengungsi. Maka, setiap instansi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi maupun relawan yang ingin melakukan kegiatan yang berkenaan dengan pelayanan kesehatan seharusnya berkoordinasi atau melaporkan kegiatan pada Dinas Kesehatan sebagai koordinator bidang kesehatan. Namun, ada pelayanan kesehatan dari organisasi atau lembaga swadaya masyarakat yang melakukan secara langsung tanpa berkoordinasi dengan satuan tugas tim kesehatan seperti pengobatan gratis yang dilakukan oleh instansi lain secara langsung di Pos Pengungsi Losd Tigabinanga tanpa melibatkan Dinas Kesehatan. Kegiatan pengobatan gratis memang sangat diperlukan pengungsi, namun koordinasi kepada Dinas Kesehatan sebaiknya dilakukan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Pada tanggal 11 Februari 2014 pukul 10.30 Wib, terjadi erupsi dengan tinggi kolom erupsi mencapai 2 Km, dengan jangkauan awan panas ke arah tenggara selatan sejauh 4,5 Km. Erupsi kali ini menyebabkan jatuhnya korban jiwa sebanyak 18 orang. Hal ini menimbulkan kepanikan karena masyarakat sebelumnya menduga bahwa Gunung Sinabung sedang mengalami penurunan aktivitas. Pada saat kejadian erupsi tersebut, korban jiwa yang meninggal dan luka–luka diangkut dengan menggunakan ambulans dan kendaraan roda dua karena akses masuk ke lokasi yang sulit akibat debu vulkanik yang cukup tebal. Pelaksanaan evakuasi dilakukan oleh Basarnas (Badan Search And Rescue Nasional), Palang Merah Indonesia (PMI) dibantu oleh masyarakat dan relawan untuk dibawa ke fasilitas kesehatan.


(24)

Pengalaman akan kejadian tersebut telah menyadarkan semua tim penanggulangan bencana akan pentingnya kerjasama dan koordinasi antar tim penanggulangan bencana. Koordinasi yang baik akan memberi dampak maksimalnya hasil upaya kesehatan yang dilakukan saat bencana.

Penanganan pengungsi pada masa tanggap darurat akibat erupsi Gunung Sinabung telah dilakukan sejak tanggal 3 November 2013 sampai saat ini. Pemerintah Kabupaten Karo telah memperpanjang masa tanggap darurat hingga 15 Februari 2014. Surat Keputusan Bupati Karo Nomor 361/032/Bakesbang/2014 berisi tentang Tim Penanggulangan Bencana Erupsi Gunung Sinabung pada masa tanggap darurat.

Belum terbentuknya BPBD di Kabupaten Karo menyebabkan masih sulit penanganan pengungsi Gunung Sinabung dikarenakan kurangnya koordinasi dengan dinas-dinas ataupun badan lain yang ada hubungannya dengan masalah bencana. Sampai saat ini penanganan pengungsi masih dilakukan oleh BPBD Provinsi Sumatera Utara dengan Satuan Komando Tanggap Darurat Penanggulangan Bencana Kabupaten Karo (karena sampai saat ini Rancangan Peraturan Daerah Pembentukan BPBD Karo masih diproses)

Setiap organisasi apapun bentuknya pasti memiliki sumber daya, proses manajemen dan tujuan. Agar dapat melaksanakan proses manajemen yang baik dan sumber daya dapat dimanfaatkan secara optimal, diperlukan sebuah integrasi. Proses integrasi inilah yang sesungguhnya disebut koordinasi. Koordinasi adalah kegiatan mengarahkan, mengintegrasikan, dan mengkoordinasikan unsur-unsur , dimana Dandim 0205/TK selaku Komandan Tanggap Darurat dan Operasi.


(25)

manajemen dan pekerjaan-pekerjaan para bawahan dalam mencapai tujuan organisasi (Hasibuan, 2011). Koordinasi mengimplikasikan bahwa elemen-elemen sebuah organisasi saling berhubungan dan mereka menunjukkan keterkaitan sedemikian rupa, sehingga semua orang melaksanakan tindakan-tindakan tepat, pada waktu tepat dalam rangka upaya mencapai tujuan-tujuan.

Banyaknya instansi yang turun dalam penanggulangan bencana erupsi Gunung Sinabung dan masih sedikitnya tenaga kesehatan yang terlatih di lingkungan Dinas Kesehatan, tentu mempengaruhi tindakan Dinas Kesehatan dalam mengatasi masalah kesehatan yang ada. Apalagi masalah kesehatan tidak mungkin dapat diselesaikan sendiri oleh Dinas Kesehatan karena memiliki keterkaitan dengan sektor lain seperti yang diamanatkan dalam UU Penanggulangan bencana nomor 24 tahun 2007. Masalahnya adalah bagaimana Dinas Kesehatan mampu mengemban tanggungjawab sebagai koordinator penanggulangan bencana bidang kesehatan dan melakukan koordinasi dengan berbagai sektor terkait. Oleh karena itu Peneliti merasa perlu melakukan penelitian tentang pelaksanaan fungsi koordinasi Dinas Kesehatan dalam penanggulangan bencana bidang kesehatan pada masa tanggap darurat erupsi Gunung Sinabung.

1.2 Permasalahan

Situasi tanggap darurat yang memakan waktu lama pada penanggulangan bencana erupsi Gunung Sinabung tahun 2014 dapat menimbulkan masalah yang


(26)

tidak diinginkan seperti korban awan panas, kekurangan sumber daya, dan kerusakan sarana dan prasarana serta jumlah pengungsi yang banyak, dan ini membutuhkan koordinasi antar sektor untuk mempercepat penanganan pengungsi.

Dinas Kesehatan berperan untuk meningkatkan ketahanan kesehatan pengungsi dengan melakukan upaya pengobatan, promosi kesehatan, dan kegiatan preventif sehingga dapat mengurangi angka kesakitan di pengungsian. Tentunya untuk mewujudkannya, semua itu tidak dapat dilakukan oleh Dinas Kesehatan sendiri tanpa bantuan dari sektor lainnya. Dengan demikian dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu:

a. Bagaimanakah pelaksanaan fungsi koordinasi internal satgas penanggulangan bencana pada masa tanggap darurat erupsi Gunung Sinabung tahun 2014?

b. Bagaimanakah pelaksanaan fungsi koordinasi lintas sektoral Dinas Kesehatan dengan instansi lain pada penanggulangan bencana masa tanggap darurat erupsi Gunung Sinabung tahun 2014?

c. Faktor-faktor apa saja yang dapat mempercepat dan menghambat koordinasi penanggulangan bencana bidang kesehatan masa tanggap darurat erupsi Gunung Sinabung tahun 2014?

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pelaksanaan fungsi koordinasi bidang kesehatan pada masa tanggap darurat erupsi Gunung Sinabung tahun 2014.


(27)

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Ilmu Pengetahuan

Untuk menambah khasanah ilmu kesehatan masyarakat khususnya tentang analisa pelaksanaan fungsi koordinasi bidang kesehatan pada masa tanggap darurat erupsi Gunung Api.

1.4.2 Dinas Kesehatan Kabupaten Karo

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai bahan masukan atau informasi bagi pengelola program terkait penanggulangan masalah kesehatan akibat letusan Gunung Sinabung di lingkungan Pemerintah Kabupaten Karo, khususnya koordinasi dalam bidang kesehatan.

1.4.3 Bagi Peneliti

Menambah wawasan dan pengetahuan tentang pelaksanaan fungsi koordinasi bidang kesehatan pada masa tanggap darurat erupsi Gunung Sinabung.


(28)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Koordinasi

2.1.1 Pengertian Koordinasi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2012) pengertian koordinasi adalah perihal mengatur suatu organisasi atau kegiatan sehingga peraturan dan tindakan yang akan dilaksanakan tidak saling bertentangan atau simpang siur. Searah dengan hal di atas Mooney and Reily mendefenisikan koordinasi sebagai berikut : “coordination as the achievement of orderly group effort, and unity of action in the pursuit of a common purpose-koordinasi sebagai pencapaian usaha kelompok secara teratur kesatuan tindakan di dalam mencapai tujuan bersama”.

Hasibuan (2011) menyatakan bahwa: “Koordinasi adalah kegiatan mengarahkan, mengintegrasikan, dan mengkoordinasikan unsur-unsur manajemen dan pekerjaan-pekerjaan para bawahan dalam mencapai tujuan organisasi”. Koordinasi mengimplikasikan bahwa elemen-elemen sebuah organisasi saling berhubungan dan mereka menunjukkan keterkaitan sedemikian rupa, sehingga semua orang melaksanakan tindakan-tindakan tepat, pada waktu tepat dalam rangka upaya mencapai tujuan-tujuan.

Berdasarkan pengertian di atas jelaslah bahwa koordinasi adalah tindakan seorang pimpinan untuk mengusahakan terjadinya keselarasan, antara tugas dan pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang atau bagian yang satu dengan bagian


(29)

yang lain. Dengan koordinasi ini diartikan sebagai suatu usaha ke arah keselarasan kerja antara anggota organisasi sehingga tidak terjadi kesimpangsiuran, tumpang tindih. Hal ini berarti pekerjaan akan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.

Jadi dapat disimpulkan bahwa koordinasi merupakan proses pengintegrasian tujuan dan aktivitas di dalam suatu perusahaan atau organisasi agar mempunyai keselarasan di dalam mencapai tujuan yang ditetapkan, pengkoordinasian dimaksudkan agar para manajer mengkoordinir sumber daya manusia dan sumber daya lain yang dimiliki organisasi tersebut. Kekuatan suatu organisasi tergantung pada kemampuannya untuk menyusun berbagai sumber dayanya dalam mencapai suatu tujuan.

2.1.2 Tipe Koordinasi

Menurut Suganda, jenis-jenis koordinasi menurut lingkupnya terdiri dari koordinasi intern yaitu koordinasi antar pejabat atau antar unit di dalam suatu organisasi dan koordinasi ekstern yaitu koordinasi antar pejabat dari berbagai organisasi atau antar organisasi. Umumnya organisasi memiliki tipe koordinasi yang dipilih dan disesuaikan dengan kebutuhan atau kondisi-kondisi tertentu yang diperlukan untuk melaksanakan tugas agar pencapaian tujuan tercapai dengan baik. Menurut Hasibuan (2011) tipe koordinasi di bagi menjadi dua bagian besar yaitu koordinasi vertikal dan koordinasi horizontal. Kedua tipe ini biasanya ada dalam sebuah organisasi.


(30)

Makna kedua tipe koordinasi ini dapat dilihat berikut ini: a) Koordinasi Vertikal (Vertical Coordination)

Koordinasi vertikal adalah kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan oleh atasan terhadap kegiatan unit-unit, kesatuan-kesatuan kerja yang ada di bawah wewenang dan tanggung jawabnya. Tegasnya, atasan mengkoor-dinasi semua aparat yang ada di bawah tanggung jawabnya secara langsung. Koordinasi vertikal ini secara relatif mudah dilakukan, karena atasan dapat memberikan sanksi kepada aparat yang sulit diatur.

Pada koordinasi ini atasan memiliki kewenangan yang sangat tegas kepada bawahannya sehingga dapat memantau kinerja masing-masing satuan kerja. Meskipun satuan kerja memiliki tugas yang berbeda-beda namun satuan kerja harus memberikan laporan dan pemberitahuan perkembangan pekerjaan kepada atasannya.

Koordinasi jenis ini biasanya lebih mudah dilakukan karena masing-masing personil sudah paham dengan tugasnya masing-masing-masing-masing. Selain itu, jumlah orang yang akan dikoordinasikan juga tidak terlalu banyak dan memiliki waktu khusus untuk melakukan rapat-rapat koordinasi bersama-sama.

b) Koordinasi Horizontal (Horizontal Coordination)

Koordinasi horizontal adalah mengkoordinasikan tindakan-tindakan atau kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan dalam tingkat organisasi (aparat) yang setingkat. Koordinasi horizontal ini dibagi atas interdisciplinary dan interrelated.


(31)

Interdisciplinary adalah suatu koordinasi dalam rangka mengarahkan, menyatukan tindakan-tindakan, mewujudkan, dan menciptakan disiplin antara unit yang satu dengan unit yang lain secara internal maupun eksternal pada unit-unit yang sama tugasnya. Pada koordinasi ini dapat terjadi saling komunikasi dan keterkaitan antara bidang-bidang tertentu secara internal atau satu organisasi. Atasan biasanya memberikan keleluasaan untuk melakukan hubungan dengan bidang lain dalam rangka pencapaian tujuan organisasi.

Interrelated adalah koordinasi antar badan (instansi); unit-unit yang fungsinya berbeda, tetapi instansi yang satu dengan yang lain saling bergantung atau mempunyai kaitan secara intern atau ekstern yang levelnya setaraf. Koordinasi seperti ini memang dilakukan dengan hati-hati dan perlahan-perlahan karena berkaitan dengan organisasi lain yang memiliki keterkaitan kerja namun sederajat sehingga tidak dapat saling memerintah. Kerancuan dalam komunikasi sering mengganggu koordinasi sehingga memperlambat pencapaian tujuan organisasi. Koordinasi horizontal ini relatif sulit dilakukan, karena koordinator tidak dapat memberikan sanksi kepada pejabat yang sulit diatur sebab kedudukannya setingkat.

Sugandha (1991) menambahkan dua jenis koordinasi yang lain yaitu: a. Koordinasi Diagonal

Koordinasi diagonal yaitu koordinasi antara pejabat atau unit yang berbeda fungsi dan tingkatan hirarkinya. Dalam system penanggulangan bencana ada banyak organisasi yang terlibat secara diagonal. Contohnya, Dinas Kesehatan


(32)

memiliki fungsi dan hierarki yang berbeda dengan PMI, Basarnas, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) dan lain sebagainya dalam penanggulangan bencana erupsi Gunung Sinabung. Namun, dalam pelaksanaan kegiatannya memiliki keterkaitan dalam hal menyelenggarakan tempat pengungsian, memenuhi kebutuhan dasar pengungsi dan menunjang pelayanan kesehatan. Tapi, organisasi tersebut tidak saling bertanggungjawab secara hierarki satu sama lain, namun bertanggungjawab dengan atasan masing-masing.

b. Koordinasi Fungsional

Koordinasi fungsional yaitu koordinasi antar pejabat, antar unit atau antar organisasi yang didasarkan atas kesamaan fungsi atau karena koordinatornya mempunyai fungsi tertentu. Sebagai contoh, untuk menanggulangi masalah bencana erupsi Gunung Sinabung, pemerintah daerah Kabupaten Karo membentuk Tim Komando Tanggap darurat yang di dalamnya terdapat berbagai macam unsur dari daerah kabupaten, propinsi dan pusat. Organisasi dari masing-masing tingkat tersebut disatukan dalam satu tujuan bersama yaitu mengatasi masalah yang muncul akibat bencana erupsi Gunung Sinabung dengan Komandan Tanggap Darurat atau Incident Commando Center (ICS) sebagai pemegang komando.

Berdasarkan uraian tersebut di atas tampak bahwa terdapat beberapa jenis koordinasi dalam suatu organisasi yang ditinjau dari lingkupnya meliputi koordinasi intern dan ekstern. Sedangkan koordinasi ditinjau dari arahnya meliputi koordinasi vertikal, koordinasi horizontal, koordinasi diagonal dan koordinasi fungsional.


(33)

Setelah melihat kedua tipe koordinasi ini, menurut Winardi (1999) dapat dilihat pula ada 4 (empat) elemen fundamental pada koordinasi vertikal, yaitu: a) Rantai Komando (Chain of Command)

Rantai komando adalah garis yang tidak putus dari wewenang yang menjulur dari puncak organisasi ke eselon terbawah dan memperjelas siapa melapor kepada siapa. Biasanya dalam suatu organisasi kepala organisasi memegang kendali komando dimana bawahannya yang dibagi dalam beberapa bidang bertanggung jawab dan memberikan laporan kepada pemberi komando. b) Rentang Pengawasan (Span of Control)

Rentang kendali adalah jumlah bawahan yang dapat di arahkan secara efisien dan efektif oleh seorang manajer. Dalam rentang pengawasan ini manajer akan membagi bawahannya dalam beberapa bidang sehingga mempermudah manajer dalam memberikan pengawasan.

c) Pendelegasian (Delegation)

Pendelegasian adalah hak-hak inheren dalam suatu posisi manajerial untuk memberikan perintah dan mengharapkan dipatuhinya perintah itu. Manajer dapat memberikan wewenang kepada bawahannya yang dipercaya dan memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan atas nama organisasi pada situasi tertentu. Hal ini mengingat tugas manajer yang cukup banyak sehingga memiliki keterbatasan untuk selalu ada dalam situasi yang membutuhkan pengambilan keputusan atau kehadiran seorang manajer.


(34)

d) Sentralisasi-Desentralisasi (Centralization-Decentralization)

Sentralisasi merujuk kepada pembatasan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan yang berada pada puncak hirarki organisasi. Hanya pemilik yang dapat mengambil keputusan apa yang harus dijual, dan berapa jam dibuka. Sentralisasi tidak memberikan izin kepada karyawan untuk membuat keputusan utama. Desentralisasi merujuk kepada perluasan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan kepada setiap level organisasi. Desentralisasi berasumsi bahwa orang-orang terdekat kepada masalah yang paling tahu tentang suatu hal dan dapat membuat keputusan yang terbaik dalam menangani suatu masalah. Maka, keputusan tidak akan terlambat, yang biasanya terjadi jika top eksekutif yang harus menangani seluruh masalah.

Sedangkan dalam koordinasi horizontal menurut Winardi (1999) ada 4 (empat) elemen dapat di tempuh untuk melaksanakan koordinasi adalah:

a) Departemenlisasi Matriks

Departemenlisasi matriks adalah mengelompokkan suatu struktur yang menciptakan lini rangkap dari wewenang, menggabungkan departemenlisasi fungsional dan produk. Pengintegrasian peranan-peranan, yang dilakukan oleh manajer produk atau manajer proyek, perlu diciptakan bila suatu produk, jasa atau proyek khusus memerlukan tingkat koordinasi yang tinggi dan perhatian yang terus menerus dari seseorang.


(35)

b) Pembentukan Tim-tim Fungsional Silang

Pembentukan tim-tim fungsional silang adalah membentuk beberapa tim yang saling memiliki keterkaitan antara satu tim fungsional dan tim fungsional lainnya dengan cara bekerja sama.

c) Satuan-satuan Tugas (Taskforce)

Satuan-satuan (task force) dibentuk oleh manajemen berupa kelompok-kelompok tugas atau unit-unit yang melakukan tugas yang spesifik pada masing-masing satuan. Satuan tugas biasanya diorganisasi secara formal dengan pertemuan yang dijadwalkan teratur. Satuan tugas dibentuk bila dibutuhkan untuk masalah-masalah khusus. Kontak langsung antara individu-individu yang dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi kerja.

d) Personil Penghubung (Liaison personnel)

Personil penghubung (liaison personnel) adalah orang yang ditugaskan untuk menjadi penghubung antara satu bagian dengan bagian lain atau suatu unit dengan unit lain agar pelaksanaan tugas dapat dilakukan dengan baik (Winardi, 1999). Peranan penghubung, antara yang menangani komunitas antar departemen sehingga mengurangi panjangnya saluran komunikasi.

2.1.3 Prinsip Koordinasi

Prinsip koordinasi merupakan acuan atau dasar yang harus diperhatikan sebelum melaksanakan koordinasi. Penerapan prinsip koordinasi secara tepat dapat mendukung tercapainya koordinasi yang efektif. Prinsip koordinasi tersebut antara lain: Komunikasi, Integrasi, Sinkronisasi dan Simplifikasi. Prinsip ini


(36)

tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 12/Menkes/SK/I/2002 Tentang Pedoman Koordinasi Penanggulangan Bencana Di Lapangan.

Integrasi adalah suatu usaha untuk menyatukan tindakan-tindakan berbagai badan, instansi, unit, sehingga merupakan suatu kebulatan pemikiran dan kesatuan tindakan yang terarah pada suatu sasaran yang telah ditentukan dan disepakati bersama. Sinkronisasi adalah suatu usaha untuk menyesuaikan, menyelaraskan kegiatan-kegiatan, tindakan-tindakan, unit-unit, sehingga diperoleh keserasian dalam pelaksanaan tugas atau kerja dan simplifikasi adalah kegiatan untuk menyederhanakan segenap kegiatan-kegiatan lain dengan menghapuskan yang tidak perlu serta lebih mengarahkan kepada tujuan-tujuan yang hendak dicapai (Hasibuan, 2011).

Penanggulangan bencana terutama pada saat tanggap darurat harus ada satu kesatuan perintah (unity of command) dari seseorang kepada orang lain yang bertanggung jawab kepadanya, sehingga dilaksanakan jelas dan tidak membingungkan (Rowland, 2004). Koordinasi adalah proses perpaduan kegiatan lintas sektoral baik dalam pemerintahan maupun stake holders dalam upaya penanggulangan bencana agar dapat mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Fungsi koordinasi dilakukan secara terintegrasi dengan sektor terkait pada (1) tahap pra dan (2) pasca bencana pada tanggap darurat fungsi yang dilaksanakan adalah dominan fungsi komando karena fungsi koordinasi telah lebih dahulu dilaksanakan pada tahap pra bencana (Depkes RI, 2002).


(37)

2.2. Koordinasi Bidang Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana

Depkes RI (2002) menyatakan koordinasi adalah upaya menyatu padukan berbagai sumberdaya dan kegiatan organisasi menjadi suatu kekuatan sinergis, agar dapat melakukan penanggulangan masalah kesehatan masyarakat akibat kedaruratan dan bencana secara menyeluruh dan terpadu sehingga dapat tercapai sasaran yang direncanakan secara efektif dan efisien secara harmonis.

Dengan adanya acuan dan pedoman bagi petugas kesehatan dan petugas lain yang terkait maka hasil penanggulangan masalah kesehatan diharapkan menjadi lebih efisien dan lebih efektif terutama dengan adanya optimalisasi sumber daya secara harmonis. Hasil guna dan daya guna penanggulangan masalah kesehatan sangat dipengaruhi oleh kualitas koordinasi dan kemampuan manajerial pelaksanaan bantuan kemanusiaan.

2.2.1 Komponen Koordinasi Bidang Kesehatan Penanggulangan Bencana Menurut Depkes RI (2002) dalam penanggulangan bencana alam harus terdapat beberapa komponen untuk dapat dilakukan koordinasi yaitu : Badan atau media untuk berkoordinasi, unit atau pihak yang dikoordinasikan, pertemuan regular, tugas pokok dan tanggung jawab yang jelas, informasi dan laporan, kerjasama pelayanan dan sarana serta aturan (code of conduct) organisasi yang jelas.

Proses koordinasi dari setiap komponen dalam penanggulangan bencana, khususnya untuk tanggap darurat bidang kesehatan dapat digambarkan dalam skema di bawah ini.


(38)

Gambar 2.1. Proses Koordinasi dari Setiap Komponen dalam Penanggulangan Bencana

Sumber : Depkes RI, 2002

Dalam penanggulangan bencana dalam bidang kesehatan dibentuk satuan tugas penanggulangan bencana dimana Dinas Kesehatan sesuai dengan level bencana yang bertanggungjawab dalam pembentukannya. Hal ini tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 145/MENKES/ SK/I/2007 tentang Pedoman Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan. Dalam pengorganisasian dijelaskan bahwa pengorganisasian penanggulangan bencana bidang kesehatan


(39)

mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Untuk tingkat pusat, Menteri Kesehatan sebagai penanggungjawab, untuk tingkat Propinsi dipegang oleh Kepala Dinas Kesehatan Propinsi, sementara untuk yang di Tingkat Kabupaten berada pada kewenangan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten, dan untuk skala kecil, tepatnya di lokasi kejadian bencana, Kepala Puskesmas sebagai penanggungjawabnya.

Untuk penanggulangan bencana pada skala kabupaten seperti erupsi Gunung Sinabung, yang menjadi penanggungjawab bidang kesehatan adalah Dinas Kesehatan. Oleh karena itu, Dinas Kesehatan Kabupaten Karo akan membentuk satgas dimana Kepala Dinas yang menjadi Koordinatornya. Satgas ini akan berintegrasi juga dengan Rumah sakit dalam hal pelaksanaan rujukan dan penggunaan ambulans yang dikoordinatori oleh bidang pelayanan medis. Koordinator kesling akan bertanggungjawab dalam pelayanan air bersih dan pembuangan limbah di pengungsian.

Semua Koordinator bidang, yaitu bidang Yanmed (pelayanan medis), kesehatan lingkungan (kesling), surveilans epidemiologi, gizi, penampungan darurat, logistik, transportasi/komunikasi, koordinasi organisasi pemerintah atau LSM, permintaan bantuan dan donor, dan informasi publik, memiliki kedudukan yang setara satu sama lain. Semua Koordinator bidang menerima komando dari koordinator sekaligus memberikan laporan kepada Kepala Dinas Kesehatan. 2.2.2 Koordinasi Bidang Kesehatan pada Tanggap Darurat Bencana

Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang


(40)

ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana (Depkes, 2006).

Menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 066 Tahun 2006 kegiatan koordinasi dalam penanggulangan bencana di tingkat Kabupaten adalah: a. Penanggung jawab pelayanan kesehatan penanggulangan bencana serta

penanganan pengungsi Kabupaten/Kota adalah Kepala Dinas Kabupaten/Kota. Bila diperlukan dapat meminta bantuan kepada provinsi. Dalam pelaksanaan tugas di bawah Satlak PB (BPBD).

b. Pelaksanaan tugas penanggulangan krisis akibat bencana di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dikoordinir oleh pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Dinas.

Di lokasi kejadian bencana, pelayanan kesehatan penanggulangan bencana di bawah tanggung jawab Kepala Dinas dengan Kepala Puskesmas sebagai pelaksana tugas Dinas Kesehatan.

Pada saat terjadi bencana (tanggap darurat) kegiatan koordinasi yang dilakukan oleh Kepala Dinas Kesehatan adalah:

1. Berkoordinasi dengan Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana atau Satlak PB (BPBD) tentang penanganan penanggulangan bencana.

2. Mengaktifkan Pusat Pengendalian Operasional (Pusdalops) Penanggulangan Bencana Tingkat Kabupaten dan Kota.


(41)

3. Berkoordinasi dengan RS Kabupaten dan Kota, RS POLRI, Rumkit dan RS Swasta untuk mempersiapkan penerimaan penderita yang dirujuk dari lokasi bencana dan tempat penampungan pengungsi.

4. Menyiapkan dan mengirim tenaga kesehatan, obat dan perbekalan ke lokasi bencana.

5. Menghubungi Puskesmas di sekitar bencana untuk mengirimkan dokter, perawat dan peralatan yang dibutuhkan termasuk ambulans ke lokasi bencana. 6. Melakukan penilaian kesehatan cepat terpadu (Integrated Rapid Health

Assessment).

7. Melakukan penanggulangan gizi darurat.

8. Memberikan imunisasi campak di tempat pengungsian untuk anak-anak dengan usia di bawah 15 tahun.

9. Melakukan surveilans epidemiologi terhadap penyakit yang berpotensi wabah, pengendalian vektor, serta pengawasan kualitas air dan lingkungan.

10.Apabila kejadian bencana melampaui batas wilayah Kabupaten/Kota maka sebagai penanggungjawab adalah Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.

Kepala Puskesmas di Tingkat Kecamatan, di lokasi bencana melakukan kegiatan:

1. Bersama staf menuju lokasi bencana dengan membawa peralatan yang diperlukan beserta triase untuk pertolongan pertama.


(42)

3. Melakukan penilaian cepat masalah kesehatan awal (initial rapid health assessment).

4. Menyerahkan tanggung jawab pada Kadinkes Kabupaten/Kota apabila telah tiba di lokasi.

5. Apabila kejadian bencana melampaui batas wilayah kecamatan, penanggung jawab upaya penanggulangan bencana adalah Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Kepala Puskesmas di sekitar lokasi bencana melakukan kegiatan :

1. Mengirimkan tenaga dan perbekalan kesehatan serta ambulans/ alat transportasi lainnya ke lokasi bencana dan tempat penampungan pengungsi, 2. Membantu melaksanakan perawatan dan evakuasi korban serta pelayanan

kesehatan pengungsi

2.2.3 Pendekatan Koordinasi yang Efektif

Menurut Handoko (2003) ada tiga pendekatan untuk pencapaian koordinasi yang efektif, yaitu : (1) pendekatan teknik-teknik manajemen dasar yaitu dengan mekanisme-mekanisme pengkoordinasian dasar melalui hirarki manajerial, aturan dan prosedur serta rencana dan penetapan tujuan. (2) pendekatan kedua meningkatkan koordinasi potensial dan (3) pendekatan ketiga: mengurangi kebutuhan akan koordinasi.

Secara keseluruhan prinsip serta pendekatan koordinasi tersebut dapat disimpulkan bahwa koordinasi yang efektif dalam organisasi akan tercapai apabila


(43)

ada pendelegasian wewenang, pembagian kerja yang jelas serta komunikasi yang efektif.

a. Pendelegasian Wewenang

Hasibuan (2011) berpendapat bahwa wewenang adalah kekuasaan yang sah dan legal yang dimiliki seseorang untuk memerintah orang lain, berbuat atau tidak berbuat atau tidak berbuat sesuatu, kekuasaan merupakan dasar hukum yang sah dan legal untuk dapat mengerjakan sesuatu pekerjaan. Menurut Handoko (2003) wewenang adalah hak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tercapai tujuan tertentu. Sedangkan menurut Daft (2002) Wewenang (authority) adalah hak formal dan legitimasi dari seorang manajer untuk membuat keputusan, mengeluarkan perintah, dan mengalokasikan sumber daya untuk mencapai hasil yang diinginkan organisasi.

Pendelegasian wewenang diperlukan untuk memperlancar kegiatan manajemen perusahaan. Delegasi (delegation) merupakan proses bagi para manajer untuk mentransfer wewenang dan tanggung jawab kepada bawahan-bawahannya dalam hirarki organisasi (Daft, 2002).

Pendelegasian wewenang mendorong tercapainya keputusan yang lebih baik dalam berbagai hal. Adanya pendelegasian wewenang kepada bawahan, misalnya dalam hal di mana bawahan mengetahui keadaannya, maka akan mendorong hasil yang lebih baik. Karena dilimpahkan kepada orang yang mengetahui keadaan sebenarnya di lapangan.


(44)

b. Pembagian Kerja

Menurut Handoko (2003) kebutuhan akan koordinasi tergantung pada sifat dan kebutuhan komunikasi dalam pelaksanaan tugas dan derajat saling ketergantungan bermacam-macam satuan pelaksananya. Derajat koordinasi yang tinggi sangat bermanfaat untuk pekerjaan yang tidak rutin dan tidak dapat diperkirakan, hal sesuai dengan kondisi pada saat terjadi bencana alam yang sulit diperkirakan.

Pembagian kerja adalah perincian tugas dan pekerjaan agar setiap individu dalam organisasi bertanggung jawab untuk melaksanakan sekumpulan kegiatan yang terbatas. Jadi pembagian kerja pekerjaan menyebabkan kenaikan efektifitas secara dramatis, karena tidak seorangpun secara fisik mampu melaksanakan keseluruhan aktifitas dalam tugas–tugas yang paling rumit dan tidak seorangpun juga memiliki semua keterampilan yang diperlukan untuk melaksanakan berbagai tugas. Oleh karena itu perlu diadakan pemilahan bagian– bagian tugas dan membagi baginya kepada sejumlah orang. Pembagian pekerjaan yang dispesialisasikan seperti itu memungkinkan orang mempelajari keterampilan dan menjadi ahli pada fungsi pekerjaan tertentu.

c. Komunikasi

Handayaningrat (2002) menyatakan bahwa koordinasi dan komunikasi adalah sesuatu hal yang tidak dapat dipisahkan, karena komunikasi, sejumlah unit dalam organisasi akan dapat dikoordinasikan berdasarkan rentang dimana sebagian besar ditentukan oleh adanya komunikasi. Komunikasi merupakan salah


(45)

satu dari sekian banyak kebutuhan manusia dalam menjalani hidup dan kehidupannya.

Dalam organisasi komunikasi sangat penting karena dengan komunikasi partisipasi anggota akan semakin tinggi dan pimpinan memberitahukan tugas kepada karyawan harus dengan komunikasi. Dengan demikian komunikasi merupakan hubungan antara komunikator dengan komunikan dimana keduanya mempunyai peranan dalam menciptakan komunikasi.

Dari pengertian komunikasi sebagaimana disebut di atas terlihat bahwa komunikasi itu mengandung arti komunikasi yang bertujuan merubah tingkah laku manusia. Karena sesuai dengan pengertian dari ilmu komunikasi, yaitu suatu upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegas azas-azas, dan atas dasar azas-azas tersebut disampaikan informasi serta dibentuk pendapat dan sikap. Maka komunikasi tersebut merupakan suatu hal perubahan suatu sikap dan pendapat akibat informasi yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain.

2.3 Erupsi Gunung Api

Indonesia merupakan negara dengan 129 gunung api aktif, pengamatan gunung api merupakan pekerjaan yang mutlak dilakukan dalam upaya

pengurangan risiko bencana erupsi gunung api. Pemerintah kita melalu pengamatan di beberapa gunung api aktif yang ada di seluruh Indonesia. Petugas di pos pengamatan bertugas untuk mengamati aktifitas gunung api secara visual


(46)

dan berdasarkan data pengukuran (seismisitas, thermal, deformasi, densitas batuan, gas) (PVMBG, 2007)

2.3.1 Klasifikasi Gunung Api Di Indonesia

Berdasarkan tipenya, gunung api dapat dibedakan menjadi (PVMBG, 2007):

1. Tipe A : gunung api yang pernah mengalami erupsi magmatik sekurang-kurangnya satu kali sesudah tahun 1600.

2. Tipe B : gunung api yang sesudah tahun 1600 belum lagi mengadakan erupsi magmatik, namun masih memperlihatkan gejala kegiatan seperti kegiatan solfatara.

3. Tipe C : gunung api yang erupsinya tidak diketahui dalam sejarah manusia, namun masih terdapat tanda-tanda kegiatan masa lampau berupa lapangan solfatara/fumarola pada tingkah lemah.

2.3.2 Prosedur Tetap Tingkat Kegiatan Gunung Berapi menurut PVMBG Menurut PVMBG ada prosedur tetap yang harus dilaksanakan dalam mengantisipasi kegiatan gunung api, sebagai berikut:

1. Aktif Normal (Level I)

Keadaan aman, penduduk melakukan kegiatan dengan tenang. Tidak ada gejala aktivitas tekanan magma. Tindakan yang dilakukan adalah pengamatan rutin, survey dan penyelidikan.


(47)

2. Waspada (Level II)

Terjadi peningkatan kegiatan berupa kelainan yang tampak secara visual atau hasil pemeriksaan kawah, kegempaan dan gejala vulkanik lainnya. Terdapat kenaikan level aktivitas di atas normal dan sedikit perubahan aktivitas yang diakibatkan oleh aktivitas magma, tektonik, dan hidrotermal. Tindakan yang dilakukan adalah penyuluhan/ sosialisasi, penilaian resiko, pengecekan sarana dan pelaksanaan piket terbatas.

3. Siaga (Level III)

Peningkatan semakin nyata hasil pengamatan visual/pemeriksaan kawah, kegempaan dan metoda lain saling mendukung. Berdasarkan analisis, perubahan kegiatan cenderung diikuti letusan. Tindakan yang dilakukan adalah sosialisasi di wilayah terancam, penyiapan sarana darurat, koordinasi harian dan piket penuh.

4. Awas (Level IV)

Menjelang letusan utama, letusan awal mulai terjadi berupa abu/asap. Berdasarkan analisis data pengamatan, segera akan diikuti letusan utama. Menandakan gunung api yang segera atau sedang meletus atau ada keadaan kritis yang menimbulkan bencana. Tindakan yang dilakukan adalah merekomendasikan wilayah yang terancam untuk dikosongkan. Koordinasi dilakukan harian, dengan piket penuh.


(48)

2.4 Landasan Teori

Untuk penanggulangan bencana pada skala kabupaten seperti erupsi Gunung Sinabung, yang menjadi penanggungjawab bidang kesehatan adalah Dinas Kesehatan. Oleh karena itu, Dinas Kesehatan Kabupaten Karo akan membentuk satgas (satuan tugas) dimana Kepala Dinas yang menjadi Koordinatornya sekaligus ketua satgas. Untuk membantu Ketua Satgas dibentuk koordinator bidang Satgas yang akan membantu Kepala Dinas Kesehatan dalam penanggulangan bencana dan berkoordinasi dengan instansi/sektor lain yang terlibat dengan bencana erupsi Gunung Sinabung. Selain itu, Satgas ini akan berintegrasi juga dengan Rumah sakit dalam hal pelaksanaan rujukan dan penggunaan ambulans yang dikoordinatori oleh bidang pelayanan medis.

Koordinasi adalah kegiatan mengarahkan, mengintegrasikan, dan mengkoordinasikan unsur-unsur manajemen dan pekerjaan-pekerjaan para bawahan dalam mencapai tujuan organisasi. Koordinasi mengimplikasikan bahwa elemen-elemen sebuah organisasi saling berhubungan dan mereka menunjukkan keterkaitan sedemikian rupa, sehingga semua orang melaksanakan tindakan-tindakan tepat, pada waktu tepat dalam rangka upaya mencapai tujuan-tujuan.

Terdapat beberapa jenis koordinasi dalam suatu organisasi yang ditinjau dari lingkupnya meliputi koordinasi internal dan eksternal. Sedangkan koordinasi ditinjau dari arahnya meliputi koordinasi horizontal, koordinasi vertikal, koordinasi diagonal dan koordinasi fungsional.


(49)

Koordinasi vertikal (Vertical Coordination) adalah kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan oleh atasan terhadap kegiatan unit-unit, kesatuan-kesatuan kerja yang ada di bawah wewenang dan tanggung jawabnya. Elemen yang mempengaruhinya adalah Rantai Komando (chain of command), Rentang Pengawasan (span of control), Pendelegasian (delegation), Sentralisasi-Desentralisasi (centralization-decentralization).

Koordinasi horizontal (Horizontal Coordination) adalah mengkoor-dinasikan tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan dalam tingkat organisasi (aparat) yang setingkat. Sedangkan dalam koordinasi horizontal menurut Winardi (1999). Elemen yang dinilai dalam pelaksanaan koordinasi ini adalah: departemenlisasi matriks, interrelated, dan interdisciplinary.

Koordinasi diagonal yaitu koordinasi antara pejabat atau unit yang berbeda fungsi dan tingkatan hirarkinya dan koordinasi fungsional yaitu koordinasi antar pejabat, antar unit atau antar organisasi yang didasarkan atas kesamaan fungsi atau karena koordinatornya mempunyai fungsi tertentu.


(50)

2.5 Kerangka Berpikir

Berdasarkan uraian di atas, maka kerangka konsep penelitian yang diajukan sebagai berikut:

Gambar 2.2 Kerangka Berpikir Penelitian Koordinasi Vertikal :

- Rantai Komando

- Rentang Pengawasan

- Pendelegasian Wewenang

- Sentralisasi-Desentralisasi

Koordinasi Horizontal : - Interdisciplinary

- Departemenlisasi Matriks - Interrelated

Koordinasi Diagonal : antar unit yang berbeda hierarki

Koordinasi Fungsional : berbeda unit dan hierarki namun fungsinya sama

Tanggap Darurat Bencana Erupsi


(51)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Adapun yang dimaksud dengan penelitian kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2007). Adapun jenis pendekatan penelitian ini adalah menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Pendekatan fenomenologi yang berusaha untuk memahami pengalaman dan tujuan hidup partisipan dalam kehidupan mereka (Danim, 2003). Pendekatan fenomena ini tidak bertujuan untuk menggeneralisasikan suatu penjelasan teori atau model. Pendekatan fenomenologis ini memudahkan peneliti mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh subyek pada peristiwa di dalam kehidupan sehari-hari.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Kabupaten Karo meliputi Dinas Kesehatan, Rumah Sakit dan beberapa Puskesmas yang terkena dampak erupsi Gunung Sinabung.


(52)

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai dari penyusunan proposal sampai seminar hasil penelitian dari Bulan Januari sampai Agustus 2014.

3.3 Teknik Pengumpulan Data 3.3.1 Data primer

Data primer diperoleh dari wawancara langsung dengan Informan yaitu Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Karo dan Kepala Bidang Dinas Kesehatan Kabupaten Karo dan Kepala Puskesmas. Hasil Wawancara berguna untuk menguatkan hasil penelitian. Informan tersebut dianggap memiliki kemampuan untuk menjelaskan koordinasi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan pada masa tanggap darurat.

3.3.2 Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder melalui studi dokumentasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten Karo, BPBD, PMI, LSM, TNI, dan Polri yang dapat mendukung pembahasan data primer.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, proses pengumpulan data akan digunakan metode observasi (pengamatan), interview (wawancara) dan dokumentasi.

1. Metode Observasi

Nasution dalam Sugiyono (2010) menyatakan bahwa, observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Peneliti akan melihat koordinasi berdasarkan data dalam


(53)

bentuk kegiatan yang dilakukan bersama, dan melakukan observasi kegiatan di lapangan. Pada penelitian ini yang akan diobservasikan adalah koordinasi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan pada masa tanggap darurat yang berhubungan dengan instansi dan lembaga yang terkait dalam penanggulangan bencana erupsi Gunung Sinabung.

2. Metode Wawancara

Esterberg dalam Sugiyono (2010) mendefinisikan wawancara adalah merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan alat pengumpulan data berupa pedoman wawancara yaitu instrumen-instrumen berbentuk pertanyaan-pertanyaan yang diajukan secara langsung kepada responden yang terlibat, yaitu pihak Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Karo, Kepala Rumah Sakit Kabupaten Karo, pihak BPBD, PMI, LSM, TNI, POLRI.

3. Metode Dokumentasi

Sugiyono (2010), mengemukakan pendapatnya mengenai dokumen, dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Jenis dokumen yang akan di gunakan dalam penelitian ini adalah dokumen berupa foto dan laporan penelitian dan telaah dokumen.


(54)

3.5 Teknik Pengolahan Data

Seluruh data yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi dan dokumentasi dikumpulkan, selanjutnya diklasifikasikan dan data yang telah dianggap mendukung penelitian dianalisis dan disusun untuk dijadikan bahan laporan. Sugiyono (2010), mengatakan bahwa aktifitas dalam analisa data yaitu :

a. Data Reduction (Reduksi Data)

Reduksi data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah untuk membantu dalam penyederhanaan, pengabstrakan, transformasi, data kasar yang telah diperoleh di lapangan berupa catatan atau bentuk lainnya yang merupakan hasil studi literatur, wawancara, observasi. Dimana mereduksi berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. b. Data Display (Penyajian Data)

Dalam penyajian data, data yang sudah direduksi kemudian di analisis berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan.

c. Conclusion Drawing (Kesimpulan)

Setelah data disajikan peneliti menganalisis kembali data tersebut dan dibandingkan dengan teori yang mendasarinya kemudian diuraikan. Setelah melakukan analisis data dikaitkan dengan teori, kemudian peneliti menarik kesimpulan.


(55)

3.6 Teknik Keabsahan Data

Pemeriksaan keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan teknik Triangulasi.

Metode yang digunakan dalam triangulasi ini antara lain : a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan wawancara

b. Membandingkan persepsi dan perilaku seseorang dengan orang lain c. Membandingkan data dokumentasi dengan wawancara

d. Melakukan perbandingan dengan teman sejawat e. Membandingkan hasil temuan dengan teori f. Pemeriksaan teman sejawat melalui diskusi

Teknik ini dilakukan dengan cara mengekspos hasil sementara dalam bentuk diskusi dengan pembimbing, penguji, dan teman sejawat.


(56)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1Gambaran Demografi

4.1.1 Letak Geografis Kabupaten Karo

Kabupaten Karo adalah salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Sumatera Utara dengan Ibukota Kabanjahe. Ibukota Kabanjahe berjarak 76 km dari pusat kota api yang masih aktif, yakni Kabupaten Karo terletak pada koordinat 2050’–3019’Lintang Utara dan 97055’-980

Sebelah Utara : Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang

38’ Bujur Timur, dengan batas wilayah sebagai berikut:

Sebelah Selatan : Kabupaten Dairi dan Kabupaten Samosir Sebelah Barat : Provinsi Nangroe Aceh Darussalam

Sebelah Timur : Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Simalungun. Kabupaten Karo secara geografis terletak pada jajaran bukit barisan dan sebagian besar merupakan dataran tinggi dan ada dua gunung berapi aktif terletak di wilayah ini yaitu Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak. Menurut data BPS Karo tahun 2009, wilayah Kabupaten Karo berada 120-1420 di atas permukaan laut. Kabupaten Karo mempunyai wilayah seluas 2.127,25 Km2 atau 2,97% dari luas Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten Karo memiliki dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Suhu udara di Kabupaten Karo berkisar 16,40 C-23,90C dengan


(57)

kelembapan udara tahun 2010 rata-rata setinggi 84,66% tersebar antara 61,8% sampai dengan 87,8% (Profil Kesehatan Dinkes Karo, 2012). Gunung Sinabung saat ini sedang mendapat perhatian khusus karena statusnya yang sudah pernah berada pada level Awas (Januari 2014) dan turun menjadi Siaga (8 April 2014).

4.1.2 Demografi

Penduduk Kabupaten Karo sangatlah heterogen karena terdiri dari berbagai macam etnis yaitu Suku Karo sebagai suku yang mayoritas, Toba, Padang, Tionghoa, Jawa dan lain-lain. Berdasarkan hasil pencacahan Sensus Penduduk 2012, jumlah penduduk Kabupaten Karo adalah 358.823 orang, Dari hasil Survei Penduduk 2010 tersebut Kecamatan Kabanjahe, Berastagi dan Tigapanah merupakan 3 kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak yaitu masing-masing berjumlah 64.746 orang (18,06 persen), 43.494 orang (12,14 persen), dan 29.976 orang (8,39 persen). Kecamatan yang paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah Kecamatan Kabanjahe yakni sebanyak 1.450 orang per kilo meter persegi sedangkan yang paling rendah adalah Kecamatan Kuta Buluh yakni sebanyak 55 orang per kilo meter persegi (BPS, 2013).

Data demografi penduduk Kabupaten Karo dapat dilihat berdasarkan tabel berikut ini:


(58)

Tabel 4.1. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk menurut Kecamatan Tahun 2012

Kecamatan/ Sub District Luas Wilayah/ Area (Km2 Penduduk/ ) Population Kepadatan Penduduk/ Population Density (Km2)

1 Mardingding 267,11 17.445 65,31

2 Laubaleng 252,60 18.110 71,69

3 Tigabinanga 160,38 20.346 126,86

4 Juhar 218,56 13.540 61,95

5 Munte 125,64 20.127 160,20

6 Kutabuluh 195,70 10.823 55,30

7 Payung 47,24 11.079 234,53

7 Tiganderket 86,76 13.474 155,30

8 Simpang Empat 93,48 19.440 207,96

8 Naman Teran 87,82 13.083 148,98

8 Merdeka 44,17 13.607 308,06

9 Kabanjahe 44,65 64.746 1.450,08

10 Berastagi 30,50 43.494 1.426,03

11 Tigapanah 186,84 29.976 160,44

12 Dolat Rayat 32,25 8.482 263,01

13 Merek 125,51 18.458 147,06

14 Barusjahe 128,04 22.593 176,45

Karo 2.127,25 358.823 168,68

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo Tahun 2013

Menurut jenis kelamin, jumlah penduduk perempuan sebanyak 180.750 orang yang lebih banyak dari laki-laki sebanyak 178.073 orang. Data demografi penduduk berdasarkan jenis kelamin menurut kecamatan dan sex ratio dapat dilihat berdasarkan tabel berikut ini:


(59)

Tabel 4.2. Jumlah Penduduk menurut Jenis Kelamin, Rasio Jenis Kelamin dan Kecamatan Tahun 2012

Kecamatan/ Sub District Laki-Laki/ Male Perempuan/ Female Jumlah/ Total Sex Rasio/ Sex Ratio

1. Mardingding 8.705 8.740 17 445 99,60

2. Laubaleng 9.092 9.018 18 110 100,82

3. Tigabinanga 10.122 10.224 20 346 99,00

4. Juhar 6.730 6.810 13 540 98,83

5. Munte 9.943 10.184 20 127 97,63

6. Kutabuluh 5.351 5.472 10 823 97,79

7. Payung 5.476 5.603 11 079 97,73

8. Tiganderket 6.569 6.905 13 474 95,13

9. Simpang Empat 9.714 9.726 19 440 99,88

10. Naman Teran 6.659 6.424 13 083 103,66

11. Merdeka 6.821 6.786 13 607 100,52

12. Kabanjahe 31.639 33.107 64 746 95,57

13. Berastagi 21.651 21.843 43 494 99,12

14. Tigapanah 14.823 15.153 29 976 97,82

15. Dolat Rayat 4.194 4.288 8 482 97,81

16. Merek 9.453 9.005 18 458 104,98

17. Barusjahe 11.131 11.462 22 593 97,11

Karo 178.073 180.750 358.823 98,52

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo Tahun 2013

Berdasarkan jumlah rumah tangga, Kabanjahe berada pada posisi pertama yaitu sebanyak 16.314 diikuti Brastagi di posisi kedua sebanyak 10.897 dan yang ketiga yaitu Kecamatan Tigapanah sebanyak 8.423 rumah tangga. Data tersebut dapat dilihat menurut tabel di bawah ini:


(60)

Tabel 4.3. Jumlah Penduduk dan Rumah Tangga menurut Kecamatan Tahun 2012 Kecamatan/ Sub District Jumlah Penduduk/ Population Jumlah Rumah Tangga/ Household

Rata-rata Jiwa Per Rumah Tangga/ Average Household

Size

1. Mardingding 17.445 4.555 3,83

2. Laubaleng 18.110 4.966 3,65

3. Tigabinanga 20.346 5.983 3,40

4. Juhar 13.540 4.343 3,12

5. Munte 20.127 5.955 3,38

6. Kutabuluh 10.823 3.506 3,09

7. Payung 11.079 3.325 3,33

8. Tiganderket 13.474 3.944 3,42

9. Simpang Empat 19.440 5.531 3,51

10. Naman Teran 13.083 3.502 3,74

11. Merdeka 13.607 3.563 3,82

12. Kabanjahe 64.746 16.314 3,97

13. Berastagi 43.494 10.897 3,99

14. Tigapanah 29.976 8.423 3,56

15. Dolat Rayat 8.482 2.288 3,71

16. Merek 18.458 4.660 3,96

17. Barusjahe 22.593 6.546 3,45

Karo 358.823 98.301 3,65

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo Tahun 2013

Jumlah penduduk yang paling banyak berdasarkan kategori usia adalah balita (bawah lima tahun) yaitu 20.747 orang dan diikuti usia 5-9 tahun sebanyak 19.327 orang sementara kelompok umur yang paling sedikit adalah 75 tahun ke atas yaitu sebanyak 1.806 orang. Kelompok usia produktif cukup tinggi di Kabupaten Karo. Distribusi penduduk berdasarkan usia tersebut dapat dilihat sebagai berikut:


(61)

Tabel 4.4. Jumlah Penduduk Kabupaten Karo Berdasarkan Usia Tahun 2012 Kelompok umur/ Age Group Laki-Laki/ Male Perempuan/ Female Laki-laki + Perempuan/ Male + Female

0 - 4 20.747 19.926 40.673

5 - 9 19.327 18.531 37.858

10 - 14 18.609 17.455 36.064

15 - 19 15.007 13.950 28.957

20 - 24 12.292 11.832 24.124

25 - 29 13.791 14.018 27.809

30 - 34 14.939 14.692 29.631

35 - 39 14.031 13.926 27.957

40 - 44 12.404 12.511 24.915

45 - 49 9.990 10.875 20.865

50 - 54 8.293 9.059 17.352

55 - 59 6.865 7.689 14.554

60 - 64 4.816 5.319 10.135

65 - 69 3.080 4.257 7.337

70 - 74 2.076 2.779 4.855

75 + 1.806 3.931 5.737

Karo 178.073 180.750 358.823

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo Tahun 2013

4.1.3 Sosial, Ekonomi dan Budaya

Pendidikan merupakan salah satu indikator dalam mengukur Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Indeks (HDI) pada suatu negara. Pendidikan yang dinilai melalui pengetahuan sangat berpengaruh terhadap perilaku kesehatan yang akhirnya akan mempengaruhi derajat kesehatan. Data dari Badan Pusat Statistik Sumatera Utara tahun 2011 menunjukkan bahwa dari 354.242 penduduk di tahun 2011 persentase tingkat pendidikan terakhir yang ditamatkan penduduk di Kabupaten Karo yang berusia 10 tahun ke atas paling banyak adalah SD sebesar 25,11%. Sedangkan tingkat pendidikan terakhir yang paling sedikit adalah penduduk yang tidak/belum pernah sekolah yakni sebanyak 2,18% dan yang lulus


(62)

pendidikan tinggi 5,18%. Sementara itu, angka melek huruf pada tahun 2010, 98,57% lebih tinggi dari angka melek huruf Sumatera Utara yaitu 98,26%. Angka partisipasi penduduk yang, mengikuti pendidikan menurut usia dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.5. Partisipasi Penduduk untuk Sekolah Berdasarkan Usia (dalam Persen)

Usia 2011 2012

7-12 13-15 16-18 19-24 98,19 94,54 69,47 11,99 99,67 88,32 72,65 6,87

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo Tahun 2013

Partisipasi penduduk berdasarkan kecamatan dan tingkat pendidikan diuraikan dalam tabel di bawah ini:

Tabel 4.6. Jumlah Penduduk yang Bersekolah per Kecamatan Tahun 2013 No Kecamatan TK SD/MI

Negeri/Swasta SMP

SMA/

SMK Total

1 Mardingding 199 2.629 974 229 4.031

2 Laubaleng 225 3014 1.686 594 5.519

3 Tigabinanga 238 3124 1.272 923 5.647

4 Juhar 89 1.683 543 137 2.462

5 Munte 0 2.671 739 361 3.771

6 Kutabuluh 66 1.341 659 82 2.148

7 Payung 15 1.411 470 0 1.896

8 Tiganderket 127 1.932 624 436 3.119

9 Simpang Empat 209 2.259 1.245 293 4.006

10 Naman Teran 0 1.726 586 0 2.312

11 Merdeka 60 940 0 1.149 2.149

12 Kabanjahe 1.042 9.887 5.526 5.231 21.686

13 Berastagi 572 7.095 3.631 3.004 14.302

14 Tigapanah 172 3.490 1.314 852 5.828

15 Dolat Rayat 41 1.031 79 0 1.151

16 Merek 25 2.800 636 751 4.212

17 Barusjahe 141 2.958 1.227 360 4.686

Total 3.221 49.991 21.211 14.402 88.925


(63)

4.1.4 Agama

Pada tahun 2012 persentase berdasarkan agama yang dianut penduduk Kabupaten adalah 54,04% beragama Kristen Protestan, sebanyak 23,67% beragama Islam, Agama Hindu dan Buddha masing-masing 1,97% dan 0,23% dan lain-lain 1,02% (Profil Dinkes Kabupaten Karo, 2012). Dalam menjalankan ibadahnya tentu dibutuhkan sarana untuk memenuhi kebutuhan rohani pemeluknya. Terdapat 195 Mesjid dan 408 Gereja Kristen Protestan, serta 121 Gereja Katolik yang ada di Kabupaten Karo.

4.1.5 Perekonomian

Sejak zaman Belanda Kabupaten Karo sudah terkenal sebagai tempat peristirahatan. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia kemudian dikembangkan menjadi daerah tujuan wisata di Propinsi Sumatera Utara. Objek-objek pariwisata di Kabupaten Karo adalah panorama yang indah di daerah pegunungan, air terjun, air panas, dan kebudayaan yang unik. Kabupaten Karo terkenal sebagai daerah penghasil berbagai buah-buahan dan bunga-bungaan, dan mata pencaharian penduduk yang terutama adalah usaha pertanian pangan, hasil hortikultura dan perkebunan rakyat. Keadaan hutan cukup luas yaitu mencapai 129.749 Ha atau 60,99 persen dari luas Kabupaten Karo (Kabupaten Karo dalam angka tahun 2013).

Pendapatan daerah Kabupaten Karo tahun 2012 paling tinggi diperoleh dari pertanian sebesar Rp. 5.190.654.560 dan kedua berasal dari sektor jasa/service

sebesar Rp.1.184.434.160 dan ketiga berasal dari sektor pariwisata sebesar Rp.977.881.000. Namun kejadian erupsi Gunung Sinabung sejak September 2013


(64)

hingga Januari 2014 telah menghancurkan keadaan perekonomian masyarakat Kabupaten Karo. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan berdasarkan perhitungan Dinas Pertanian dan Perkebunan Karo, kerugian di sektor pertanian dan perkebunan sejak Gunung Sinabung erupsi hingga 6 Januari 2014 diperkirakan mencapai Rp. 712,2 miliar. Sebagian besar dari lahan seluas 10.406 ha merupakan lahan pertanian dan perkebunan puso. Luas lahan pertanian dan perkebunan itu meliputi tanaman pangan 1.837 ha, hortikultura 5.716 ha, tanaman buah 1.630 ha, biofarmaka 1,7 ha, dan perkebunan 2.856 ha (Harian Media Indonesia, 2014).

4.1.6 Keadaan Umum Dinas Kesehatan Kabupaten Karo

Dinas Kesehatan Kabupaten Karo saat ini dipimpin oleh Dr.Jansen Perangin-angin dan beralamat Jl. Kapt. Selamat Ketaren No. 9, Kabanjahe, Sumatera Utara. Dinas Kesehatan Kabupaten Karo membawahi 19 Puskesmas, 155 poskesdes dan 377 posyandu (Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Karo, 2012).

Untuk mencapai pembangunan kesehatan, Kabupaten Karo telah menetapkan Visi Misi yang tertuang dalam Renstra Dinas Kesehatan Kabupaten Karo tahun 2011-2015. Adapun visinya adalah: “Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat seoptimal mungkin melalui upaya pelayanan kesehatan yang bermutu, merata, terjangkau dan berkesinambungan serta didukung perilaku hidup bersih dan sehat untuk menuju Indonesia sehat 2015”. Untuk mencapai visi tersebut ditetapkan misi sebagai berikut:


(65)

1. Memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau pada individu, keluarga dan masyarakat.

2. Mendorong kemandirian masyarakat untuk ber-Prilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dalam lingkup yang sehat.

3. Menumbuhkembangkan keikutsertaan masyarakat dan swasta dalam pembangunan berwawasan kesehatan termasuk pendanaan.

Struktur Organisasi Dinas Kesehatan Kabupaten Karo dapat dilihat dari gambar di bawah ini:


(66)

Gambar 4.1. Struktur Organisasi Dinas Kesehatan Kabupaten Karo

Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Karo

Jumlah tenaga kesehatan yang ada di Dinas Kesehatan Kabupaten Karo dapat dilihat pada tabel berikut:


(67)

Tabel 4.7. Rekapitulasi Tenaga Kesehatan pada Dinas Kesehatan Kabupaten Karo Tahun 2013

No Profesi

Jumlah

PNS NON

PNS/PTT Total 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

Strata II :

Kesmas/Public Health Dokter : Dokter Umum Dokter Gigi Keperawatan: Perawat S-1/Ners Perawat S-1(S.Kep) Perawat DIII SPK Kebidanan: Bidan DIV Bidan DIII Bidan DI Perawat Gigi: Perawat Gigi DIII SPRG

Kefarmasian: Apoteker S-I

Asisten Apoteker DIII SAA/SMF Analis: Analis DIII SMAK Gizi: Gizi DIV Gizi DIII SPAG Kesmas (Penyuluh): SI Kesmas DIII Kesmas Sanitarian : SI Kesling DIII Kesling DI Kesling 6 73 17 6 10 73 121 3 128 221 9 18 2 5 26 10 9 1 16 18 36 0 1 12 22 5 6 73 22 6 10 73 121 3 128 221 9 18 2 5 26 10 9 1 16 18 36 0 1 12 22


(1)

No Variabel Yang

Ingin Ditanyakan Pertanyaan Informan

1.

Dalam upaya penanggulangan bencana erupsi Gunung Sinabung khususnya di bidang kesehatan:

1. Dapatkah Anda menjelaskan bagaimana mekanisme Rantai Komando di Instansi/bidang yang Anda pimpin?

2. Bagaimana metode komunikasi yang Anda pilih dalam memberikan perintah kepada bawahan Anda? 3. Perintah/instruksi biasanya dalam

bentuk apa (lisan, tulisan atau surat, sms dan telepon)?

4. Bagaimana Bapak melakukan Pengawasan/kendali terhadap bawahan Bapak?

- Kepala Dinas Kesehatan dan - Kepala

Bidang di instansi Dinas Kesehatan 1 Koordinasi Vertikal

a. Rantai Komando

b. Rentang Pengawasan


(2)

Ingin Ditanyakan c. Pendelegasian

d. Sentralisasi-Desentralisasi

5. Pernahkah Anda melakukan Pedelegasian? Dalam kegiatan apa? 6. Bagaimana proses yang Anda

lakukan dalam mengambil suatu keputusan?

7. Bagaimana cara Anda dalam mengambil keputusan ketika bersama badan/pihak lain? 8. Apakah Anda memperbolehkan

bawahan mengambil keputusan sendiri? Dalam hal apa bila itu diperbolehkan?

2 Koordinasi Horizontal

- Interdiciplinary (satu instansi namun berbeda bidang)

Dalam hal penanggulangan bencana bidang kesehatan lingkungan Dinas Kesehatan:

1. Bagaimana hubungan Anda sebagai Kepala Bidang dengan Kepala Bidang yang lain dalam hal koordinasi?

- Kepala Dinas Kesehatan dan - Kepala


(3)

Ingin Ditanyakan

- Interrelated (Memiliki tugas yang sama namun beda instansi)

a. Departemenli sasi Matrik

2. Untuk melakukan kegiatan di bidang Anda, apakah Anda memerlukan data atau laporan dari bidang yang lain? Kalau iya, dalam bentuk apa komunikasi yang Anda lakukan? 3. Pernahkah Anda berhubungan

dengan instansi atau lembaga lain dalam penanggulangan bencana yang memiliki tujuan yang sama dengan Anda?

4. Kalau ada, bagaimana bentuk kerjasamanya dan kegiatannya? 5. Bagaimana prosedur dan

pertimbangan Anda sebagai Kepala Dinas dalam membentuk tim Satgas?

6. Apa apa saja tugas-tugas mereka? Apakah diberikan uraian tugas? 7. Bagaimana hubungan

pertanggungjawaban dan laporan

instansi Dinas Kesehatan


(4)

Ingin Ditanyakan

antara sesama tim Satgas dan antara Tim Satgas dengan Anda sebagai Ketua Satgas?

8. Yang menjadi Tim Satgas adalah pegawai Dinas Kesehatan sehingga memilki jabatan rangkap, bagaimana Anda dapat membedakan

tanggungjawab dan memposisikan jabatan Anda sesuai dengan yang dibutuhkan?

9. Apakah ada pegawai di lingkungan Dinas Kesehatan yang ditugaskan ke instansi atau lembaga lain yang berhubungan dengan

penanggulangan bencana? Kalau ya, dalam bidang bidang apan dan sebagai apa?

10.Bagaiamana bentuk laporan dan pertanggungajawabannya terhadap Dinas Kesehatan dan lembaga yang


(5)

Ingin Ditanyakan

ditugaskan kepdanya?

11.Apakah ada yang ditugaskan sebagai penghubung antara Dinas Kesehatan dengan instansi lain di luar Dinas Kesehatan atau antar sesama tim Satgas?

12.Bagaimanakan mekanisme kerja Satgas penanggulangan bencana? 13.Apakah ada pegawai yang ditugas

khusus sebagai penghubung antar instansi secara eksternal dan antar bidang di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Karo? 3 Koordinasi Diagonal 1. Dapatkah Anda menjelaskan

bagaimana koordinasi diagonal pejabat atau unit yang berbeda fungsi dan tingkatan hirarkinya seperti PMI, Basarnas dan PPKK? 2. Apa kegiatan yang pernah dilakukan

bersama?

- Kepala Dinas Kesehatan dan - Kepala


(6)

Ingin Ditanyakan

3. Bagaimana bentuk hubungan komunikasi yang dijalin? 4. Adakah hambatan atau adakah

faktor yang mempercepat koordinasi?

instansi Dinas Kesehatan

4 Koordinasi Fungsional

1. Dapatkah Anda menjelaskan bagaimana hubungan antar pejabat, antar unit atau antar organisasi yang didasarkan atas kesamaan fungsi dengan Anda? (Ka.Dinas dengan ICS dan BPBD)

- Kepala Dinas Kesehatan dan - Kepala

Bidang di instansi Dinas Kesehatan


Dokumen yang terkait

Manajemen Promosi Kesehatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada Masa Tanggap Darurat di Lokasi Pengungsian Korban Erupsi Gunung Sinabung Tahun 2014

20 249 138

Implementasi Kebijakan Pedoman Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan pada Masa Tanggap Darurat Bencana Erupsi Gunung Sinabung Tahun 2014

2 89 205

Penerapan Standar Minimal Pelayanan Imunisasi Campak pada Pengungsi dalam Masa Tanggap Darurat Erupsi Gunung Sinabung Tahun 2013

0 0 17

Penerapan Standar Minimal Pelayanan Imunisasi Campak pada Pengungsi dalam Masa Tanggap Darurat Erupsi Gunung Sinabung Tahun 2013

0 0 2

Penerapan Standar Minimal Pelayanan Imunisasi Campak pada Pengungsi dalam Masa Tanggap Darurat Erupsi Gunung Sinabung Tahun 2013

0 0 10

Penerapan Standar Minimal Pelayanan Imunisasi Campak pada Pengungsi dalam Masa Tanggap Darurat Erupsi Gunung Sinabung Tahun 2013

0 1 18

MANAJEMEN PROMOSI KESEHATAN PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT (PHBS) PADA MASA TANGGAP DARURAT DI LOKASI PENGUNGSIAN KORBAN ERUPSI GUNUNG SINABUNG TAHUN 2014 TESIS

0 0 16

PERENCANAAN KEBUTUHAN DAN PERENCANAAN PENDISTRIBUSIAN OBAT PADA DINAS KESEHATAN KABUPATEN KARO MASA TANGGAP DARURAT BENCANA ERUPSI GUNUNG SINABUNG TAHUN 2014 TESIS

0 0 15

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Implementasi Kebijakan Pedoman Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan pada Masa Tanggap Darurat Bencana Erupsi Gunung Sinabung Tahun 2014

0 0 9

Analisis Pelaksanaan Fungsi Koordinasi Bidang Kesehatan pada Masa Tanggap Darurat Erupsi Gunung Sinabung Tahun 2014

0 0 16