Uji Aktivitas Antiinfsi Ekstrak Etanol Kayu Siwak (Salvadora persica Wall) Terhadap Tikus Putih yang Diinduksi λ-Karagenan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan
Uraian tumbuhan meliputi habitat dan morfologi tumbuhan, nama lain,
sistematika tumbuhan, kandungan dan manfaat dari kayu siwak.
2.1.1 Habitat dan morfologi tumbuhan
Tumbuhan siwak dapat ditemukan di pesisir dan daratan berpasir
(Mandaville, 2011). Tumbuhan siwak juga dapat ditemukan di tebing bebatuan
terutama di Pakistan, India, dan Semenanjung Arab (Nordin, dkk., 2012). Siwak
atau Salvadora persica adalah pohon kecil, biasanya dengan batang bengkok dan
cabang terkulai, daun berbentuk bulat panjang . Bunga berwarna kuning kehijauan
berkerumun menuju ujung cabang, dengan panjang tangkai bunga 5-12 cm,
mahkota terletak sepanjang kelopak menghasilkan satu biji, buah berbentuk bulat
dengan diameter 3 mm dan ketika matang berwarna merah (Mandaville, 2011).
Kayu siwak atau Miswak, merupakan bagian dari batang, akar atau ranting
tumbuhan Salvadora persica yang berdiameter mulai dari 0,1 cm sampai 1,5 cm.
Jika kulitnya dikelupas, kulitnya berwarna agak keputihan dan memiliki banyak
juntaian serat. Akarnya berwarna cokelat dan bagian dalamnya berwarna putih.
Aromanya seperti seledri dan rasanya agak pedas (Al-Khateeb, dkk., 1991).
2.1.2 Nama lain
Nama lain tumbuhan siwak adalah pilu (Sansekerta, Unani); chota pilu

(Hindi, Bengali); Toothbrush tree (Inggris); Data okhar (Nepal); Persische
(Jerman); Arak (Arab); Darkhat e misbak (Persia); Salvadore de persa (Francis)
(Kapoor, 2001).

Universitas Sumatera Utara

2.1.3 Sistematika tumbuhan
Klasifikasi tanaman siwak adalah sebagai berikut:
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Class

: Dicotyledoneae


Ordo

: Brassicales

Famili

: Salvadoraceae

Genus

: Salvadora

Spesies

: Salvadora persica Wall.

Nama Lokal

: Siwak (Herbarium Medanense).


2.1.4 Kandungan kimia
Siwak mengandung minyak atsiri dan berbagai senyawa kimia lainnya
antara lain, senyawa organik trimetilamin, alkaloid (salvodorine), flavonoid,
antraquinon, tanin, saponin, sterol, vitamin C dan senyawa anorganik yaitu,
klorida, kalsium, sejumlah besar fluorida, silika dan sulfur (Alali dan Al-lafi,
2003).
2.1.5 Manfaat
Kayu siwak memiliki khasiat untuk mencegah kerusakan dan penyakit
pada gigi (Al-Bayati dan Sulaiman, 2008). Kandungan kayu siwak seperti
flavonoid, salvadorine, glikosida sianogen, lignan, saponin, alkaloid, tanin, asam
linoleat, asam stearat, salvadourea, vitamin C, silika dan garam juga diketahui
memiliki aktivitas antimikroba yang signifikan, antiplak, analgesik, antiinflamasi,
anti-piretik, astringent, dan mual (Ahmad dan Rajagopal, 2013).

Universitas Sumatera Utara

2.2 Simplisia dan Ekstrak
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain, berupa
bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan atas simplisia nabati, simplisia

hewani dan simplisia pelikan (mineral). Simplisia nabati adalah simplisia yang
berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan (Depkes RI,
2000).
Ekstrak adalah bagian kental, cair dan kering yang diperoleh dengan
mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut
yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau
serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah
ditetapkan (Depkes RI, 2000).
2.2.1 Metode ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan zat aktif dengan menggunakan pelarut
yang sesuai. Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dibagi kedalam
dua cara yaitu (Depkes RI, 2000):
Cara dingin
a. Maserasi
Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan cara perendaman
menggunakan pelarut dengan sesekali pengadukan pada temperatur kamar.
Maserasi yang dilakukan pengadukan secara terus menerus disebut maserasi
kinetik sedangkan yang dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah
dilakukan penyaringan terhadap maserat pertama dan seterusnya disebut
remaserasi.


Universitas Sumatera Utara

b. Perkolasi
Perkolasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan alat perkolator
dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang
umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari
tahap pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi
sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus menerus sampai diperoleh
perkolat yang jumlahnya 1-5 kali bahan.
Cara panas
a. Refluks
Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat pada
temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang
relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
b. Sokletasi
Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut yang selalu
baru, dilakukan dengan menggunakan alat soklet sehingga menjadi ekstraksi
kontinu dengan pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik
c. Digesti

Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada
temperatur lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan
pada temperatur 40-50°C.
d. Infundasi
Infundasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada
temperatur 90°C selama 15 menit.

Universitas Sumatera Utara

e. Dekoktasi
Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada
temperatur 90°C selama 30 menit.

2.3 Inflamasi (Radang)
2.3.1 Defenisi inflamasi
Inflamasi adalah respon terhadap cedera jaringan dan infeksi. Proses
inflamasi merupakan suatu mekanisme perlindungan di mana tubuh berusaha
untuk menetralisir dan membasmi agen-agen yang berbahaya pada tempat cedera
dan untuk perbaikan jaringan (Kee dan Hayes, 1996).
Inflamasi terbagi menjadi dua, yaitu: inflamasi akut dan inflamasi kronik.

2.3.2 Inflamasi akut
Inflamasi akut adalah inflamasi yang berlangsung relatif singkat, hanya
beberapa jam atau beberapa hari, dan ditandai dengan eksudasi cairan dan protein
plasma serta akumulasi leukosit neutrofilik yang menonjol (Robbins, dkk., 1992).
2.3.3 Inflamasi kronik
Inflamasi kronik berlangsung lebih lama yaitu beberapa minggu atau
beberapa bulan dan ditandai dengan influks limfosit dan makrofag disertai dengan
proliferasi pembuluh darah dan pembentukan jaringan parut (Robbins, dkk.,
1992).
Gejala-gejala terjadinya respon inflamasi
Gejala terjadinya inflamasi akut ada 5, yaitu kemerahan (rubor), panas (kalor),
nyeri (dolor), pembengkakan (tumor), dan perubahan fungsi (funtio laesa):

Universitas Sumatera Utara

a. Kemerahan ( rubor)
Kemerahan, atau rubor, merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang
mengalami inflamasi akut. Waktu reaksi inflamasi mulai timbul maka arteri yang
mensuplai darah ke daerah tersebut berdilatasi, dengan demikian lebih banyak
darah mengalir ke dalam mikrosirkulasi lokal. Pembuluh-pembuluh darah yang

sebelumnya kosong atau sebagian saja meregang dengan cepat dan terisi penuh
oleh darah. Keadaan ini dinamakan hiperemia dan menyebabkan warna merah
lokal karena inflamasi akut. Timbulnya hiperemia pada permulaan reaksi
inflamasi diatur oleh tubuh melalui pengeluaran mediator, seperti histamin (Price
dan Wilson, 1978).
b. Panas (kalor)
Panas, atau kalor, terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi inflamasi akut.
Panas merupakan reaksi inflamasi yang khas karena terjadi pada permukaan tubuh
yakni kulit. Daerah inflamasi pada kulit menjadi lebih panas dari daerah
sekitarnya, sebab darah dengan suhu 37oC yang disalurkan tubuh ke permukaan
daerah yang terkena inflamasi lebih banyak disalurkan daripada ke daerah normal
(Price dan Wilson, 1978).
c. Rasa Nyeri (dolor)
Rasa nyeri, atau dolor, adalah reaksi inflamasi yang dapat dihasilkan dengan
berbagai cara. Perubahan pH lokal atau konsentrasi ion-ion tertentu dapat
merangsang ujung-ujung saraf, pengeluaran mediator tertentu, misalnya histamin
atau pembengkakan jaringan yang mengakibatkan peningkatan tekanan lokal yang
dapat menimbulkan rasa nyeri (Price dan Wilson, 1978).

Universitas Sumatera Utara


d. Pembengkakan (tumor)
Gejala yang paling menyolok dari inflamasi akut adalah tumor atau
pembengkakan. Hal ini terjadi akibat adanya peningkatan permeabilitas dinding
kapiler serta pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan yang
cedera. Pada inflamasi, dinding kapiler tersebut menjadi lebih permeabel dan
lebih mudah dilalui oleh leukosit dan protein terutama albumin, yang diikuti oleh
molekul yang lebih besar sehingga plasma jaringan mengandung lebih banyak
protein daripada biasanya, yang kemudian meninggalkan kapiler dan masuk
kedalam jaringan sehingga menyebabkan jaringan menjadi bengkak (Price dan
Wilson, 1978).
e. Perubahan Fungsi (Fungsio Laesa)
Gangguan fungsi, atau functio laesa, merupakan konsekuensi dari suatu proses
inflamasi. Gerakan yang terjadi pada daerah inflamasi, baik yang dilakukan secara
sadar ataupun secara reflek akan mengalami hambatan oleh rasa sakit,
pembengkakan yang hebat secara fisik mengakibatkan berkurangnya gerak
jaringan (Price dan Wilson, 1978).
2.3.4 Mekanisme terjadinya inflamasi
Salah satu faktor penyebab terjadinya inflamasi adalah produk yang
dihasilkan dari metabolisme asam arakhidonat. Asam arakhidonat merupakan

suatu asam lemak tak jenuh ganda dengan 20 atom karbon. Asam arakhidonat
dilepaskan oleh fosfolipid melalui fosfolipase sel yang telah diaktifkan oleh
rangsang fisik, kimia dan mikrobiologi. Proses metabolisme asam arakhidonat
terjadi melalui dua jalur utama, yaitu sikloksigenase dan lipoksigenase (Robbins,
dkk., 1992).

Universitas Sumatera Utara

Jalur utama metabolisme asam arakhidonat, yaitu:
a. Jalur sikloksigenase
Reaksi awal pada jalur ini ialah dibentuk suatu endoperoksidase siklik
prostaglandin G2 (PGG2) yang kemudian dikonversi menjadi prostaglandin H2
(PGH2) oleh peroksidase.

Selanjutnya membentuk prostaglandin E2 (PGE2),

PGD2, PGF2α, prostasiklin (PGI2) dan tromboksan A2 (TXA2). PGD2 merupakan
suatu produk

sel mast (basofilia jaringan) menyebabkan vasodilatasi.


Prostaglandin E2 dan prostasiklin merupakan vasodilator yang kuat dan
memperkuat pembentukan edema dengan meningkatkan permeabilitas mediator
lain seperti histamin. TXA2 adalah agregator trombosit yang kuat dan
vasokonstriktor. PGI2 adalah suatu vasodilator dan penghambat kuat agregasi
trombosit.
b. Jalur lipoksigenase
Reaksi awal pada jalur ini ialah penambahan gugus hidroperoksi pada
asam arakidonat pada karbon 5- oleh enzim lipoksigenase. Derivat 5-hidroperoksi
asam arakidonat (5-HPETE) tidak stabil dan direduksi sebagai 5-HETE (enzim
utama neutrofil) atau diubah menjadi golongan senyawa yang disebut leukotrin.
Leukotrin pertama yang dihasilkan disebut leukotrin A4 (LTA4) yang selanjutnya
akan menjadi LTB4 melalui hidrolisis enzimatik. LTB4 merupakan agen
kemotaksis kuat dan menyebabkan agregasi neutrofil. Selanjutnya membentuk
LTC4 dengan penambahan glutation selanjutnya diubah menjadi leukotrin D4
(LTD4) dan akhirnya leukotrin E4 (LTE4). LTC4 dan LTE4
vasokonstriksi,

bronkospasme,

dan

meningkatkan

menyebabkan

permeabilitas

vaskular

(Robbins, dkk., 1992).

Universitas Sumatera Utara

2.3.5 Mediator inflamasi
Inflamasi dimulai saat sel mast berdegranulasi dan melepaskan bahanbahan kimianya seperti histamin, serotonin dan bahan kimia lainnya. Histamin
merupakan mediator kimia utama inflamasi, juga dilepaskan oleh basofil dan
trombosit. Akibat pelepasan histamin adalah terjadi vasodilatasi pembuluh darah
sehingga terjadi peningkatan aliran darah dan peningkatan permeabilitas kapiler
pada awal inflamasi (Corwin, 2009).
Selain itu dilepaskan prostaglandin yang dapat meningkatkan aliran darah
ke tempat yang mengalami inflamasi, meningkatkan permeabilitas kapiler dan
merangsang reseptor nyeri. Kemudian leukotrien yang dapat meningkatkan
permeabilitas vaskular dan meningkatkan adhesi leukosit pada pembuluh kapiler
selama cedera atau infeksi (Corwin, 2009).
2.4 Karagenan
Iritan yang digunakan untuk pengujian efek inflamasi beragam jenisnya,
salah satunya adalah karagenan. Karagenan merupakan suatu polisakarida hasil
ekstrak rumput laut dari famili Euchema, Chondrus, dan Gigartina. Bentuknya
berupa serbuk berwarna putih hingga kuning kecoklatan, ada yang berbentuk
butiran kasar hingga serbuk halus, tidak berbau, serta memberi rasa berlendir di
lidah. Berdasarkan kandungan sulfat dan potensi pembentukan gelnya, karagenan
dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu lamda karagenan, iota karagenan, dan kappa
karagenan (Rowe, dkk., 2009). Struktur karagenan dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.4 Struktur karagenan (Rowe, dkk., 2009).
2.5 Obat Antiinflamasi
Obat antiinflamasi adalah golongan obat yang memiliki aktivitas menekan
atau mengurangi peradangan. Berdasarkan mekanisme kerjanya obat antiinflamasi
terbagi menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah golongan obat
antiinflamasi steroid. Obat antiinflamasi yang kedua yaitu golongan obat
antiinflamasi nonsteroid (AINS).
2.5.1 Obat antiinflamasi golongan steroida
Obat antiinflamasi golongan steroida bekerja menghambat sintesis
prostaglandin dengan cara menghambat enzim fosfolipase, sehingga fosfolipid
yang berada pada membran sel tidak dapat diubah menjadi asam arakidonat.
Akibatnya prostaglandin tidak akan terbentuk dan efek inflamasi tidak ada.

Universitas Sumatera Utara

Contoh obat antiinflamasi steroid adalah deksametason, betametason dan
hidrokortison (Tjay dan Rahardja, 2007).
2.5.2 Obat antiinflamasi golongan non steroida
Obat antiinflamasi golongan nonsteroida digunakan untuk pengobatan
nyeri, rheumatoid arthritis, osteoarthritis, dan lainnya. Semua obat antiinflamasi
nonsteroid

mempunyai

efek

klinis

yaitu

dengan

menghambat

sintesis

prostaglandin. Prostaglandin menyebabkan terjadinya inflamasi. Prostaglandin
juga ikut mengatur temperatur tubuh, rasa nyeri, agregasi platelet dan efek
lainnya. Waktu paruhnya hanya hitungan menit. Jadi, ketika enzim pembuat
prostaglandin dihambat, maka tidak terjadi pengeluaran prostaglandin. Enzim
pembuat prostaglandin adalah siklooksigenase. Dua isoform siklooksigenase
(COX) telah diketahui. COX-1 terdapat di beberapa jaringan dan bertugas
melindungi mukosa lambung. COX-2 terdapat di otak dan ginjal, juga dapat
menyebabkan inflamasi. COX-1 terdapat di platelet (Roberts dan Morrow, 2012).
Obat antiinflamasi nonsteroid awal, memiliki cara kerja dengan menghambat
semua isoform COX. Kemudian, obat antiinflamasi nonsteroid yang spesifik
menghambat COX-2 mulai ada. Obat spesifik penghambat COX-2 dapat
mengobati inflamasi tanpa merusak saluran pencernaan dan mengubah fungsi
platelet. Contoh dari obat ini adalah rofekoksib dan selekoksib (Roberts dan
Morrow, 2012).
Secara kimiawi, penggolongan obat antiinflamasi nonsteroida ini dibagi
dalam beberapa kelompok, yaitu :
a. Salisilat

: asetosal, benorilat dan diflunisal

b. Asetat

: natrium diklofenak, indometasin dan sulindak

Universitas Sumatera Utara

c. Propionat : ibuprofen, ketoprofen, flurbiprofen, naproksen, dan tiaprofenat
d. Oxicam

: piroxicam, tenoxicam, dan meloxicam

e. Pirazolon : oksifenilbutazon, dan azapropazon
f. Lainnya

: mefenamat, nabumeton, benzidamin dan bufexamac (Tjay dan

Rahardja, 2007)
2.5.3 Natrium Diklofenak
Derivat fenilasetat ini (1974) termasuk non steroidal antiinflamatory
drugs (NSAIDs) yang terkuat daya anti radangnya dengan efek samping yang
kurang kuat dibandingkan dengan obat lainnya (piroksikam, indometasin). Dosis
secara oral tiga kali sehari 25-50 mg. Diklofenak diabsorpsi dengan cepat dan
sempurna setelah pemberian oral. Konsentrasi puncak dalam plasma tercapai
dalam 2 sampai 3 jam (Tjay dan Rahardja, 2007).
Obat ini dianjurkan untuk kondisi peradangan kronis seperti artritis
rematoid dan osteoartritis serta untuk pengobatan nyeri otot rangka akut. Efek
samping yang dapat terjadi meliputi distres gastrointestinal, pendarahan
gastrointestinal dan timbulnya ulserasi lambung, sekalipun timbulnya ulkus lebih
jarang terjadi daripada dengan beberapa antiinflamasi non-steroid (AINS) lainnya
(Katzung, 2004).

Universitas Sumatera Utara