FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PE (2)

ISSN 20880057

Vol 5, November 2014

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN
OBAT FILARIASIS DI DESA PASIR PUTIH WILAYAH KERJA
PUSKESMAS BALAI JAYA KABUPATEN ROKAN HILIR TAHUN 2014
Nislawaty
Dosen STIKes Tuanku Tambusai Riau, Indonesia

ABSTRAK
Riset Kesehatan Dasar provinsi Riau tahun 2011,filariasis klinis terdeteksi dengan gejala di
Kabupaten Rokan Hilir sebanyak (14,5%).DataDinas Kesehatan Kabupaten Rokan Hilir tahun
2011, Filariasis klinis terdeteksi dengan Gejala di 16 kecamatantahun 2011 sebanyak 3 orang,
pada tahun 2012 sebanyak 4 orang dan tahun 2013 terjadi peningkatan jumlah penderita filariasis
yaitu sebanyak 10 orang. Pada tanggal 8 April 2002 Menteri Kesehatan Republik Indonesia telah
di mulainya eliminasi penyakit kaki gajah. Dari pemberian obat tesebut di Wilayah Kerja
Puskesmas Balai Jaya Kabupaten Rokan Hilir terdapat 9 desa 2 kelurahan dimana desa yang
paling sedikit pengobatannya adalah desa pasir putih (51,4%). Sedangkan sasaran pengobatan
yang ditetapkan Departemen Kesehatan RI (>85%). Penelitian ini menggunakan pendekatan
studi analitik kuantitatif dengan desain penelitian Cross Sectional. Adapun populasi penelitian

ini sebanyak 2.352 orang dengan sampel 341 orang menggunakan teknik pengambilan sampel
systematic random sampling. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 10-20 Agustus 2014 dengan
penyebaran kuesener. Anlisis data yang digunakan analisis univariatdan bivariate. Adapun hasil
penelitian didapatkan tidak adanya hubungan karakteristik demografi dengan penggunaan obat
filariasis (P Value = 0,774), sedangkan hubungan pendidikan kesehatan tidak ada hubungan yang
bermakna (P value = 0,095) dan terdapat hubungan yang segnifikan antara tenaga kesehatan
dengan penggunaan obat filariasis (P Value = 0,049) berdasarkan hasil penelitian tersebut
diharapkan baik pemerintah, tenaga kesehatan dan masyarakat mau bekerjasama dalam
peningkatan penggunaan obat filariasis.

Kata kunci
Daftar Bacaan

: Demografi, PendidikanKesehatan, TenagaKesehatan,
Obat Filariasis.
: 33 (2002-2014).

Jurnal Kebidanan STIKes Tuanku Tambusai Riau

Page 23


ISSN 20880057
PENDAHULUAN
Filariasis adalah penyakit menular
(penyakit kaki gajah) yang disebabkan oleh
cacing filariasis yang di tularkan oleh
berbagai jenis nyamuk.Penyakit ini bersifat
menahun
(kronis)
dan
bila
tidak
mendapatkan
pengobatan
dapat
menimbulkan cacat menetap berupa

pembesaran kaki, legan dan alat kelamin
baik perempuan maupun laki-laki.
Akibatnya penderita tidak dapat bekerja

secara optimal bahkan hidupnya tergantung
kepada orang lain sehingga menjadi beban
keluarga, masyarakat dan negara (Dep.Kes
RI, 2009).
Perkembangan klinis filariasis di
pengaruhi oleh faktor kerentanan individu
terhadap parasit, seringnya mendapat gigitan
nyamuk infektif larva cacing filaria,
banyaknya larva infektif yang masuk ke
dalam tubuh dan adanya infeksi sekunder
oleh bakteri atau jamur. Secara umum
perkembangan klinis filariasis dapat di bagi
menjadi fase dini fase lanjut. Pada fase ini
timbul gejala klinis akut karena infeksi
cacing dewasa bersama-sama dengan infeksi
oleh bakteri jamur. Pada fase lanjut terjadi
kerusakan saluran kelenjar limfe, kerusakan
katup saluran limfe, termasuk kerusakan
saluran limfe kecil yang terdapat di kulit.
WHO (World Health Organization)

sudah menetapkan kesepakatan Global (The
Global Goal of Elimination of Lymphatic
Filariasis as a Public Health Problem by
The Year 2020). Program eliminasi
dilaksanakan melalui pengobatan masal
dengan DEC (Diethylcarbamazine) dan
Albendazol setahun sekali selama 5 tahun di
lokasi endemis dan perawatan kasus klinis
baik yang akut maupun yang kronis untuk
mencegah kecacatan dan mengurangi
penderitaannya.Filaria limfatik terdiri dari
wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia
timori merupakan spesies cacing filaria yang
Jurnal Kebidanan STIKes Tuanku Tambusai Riau

Vol 5, November 2014
di temukan di dunia. Peyebarannya
tergantung dari spesiesnya. Wuchereria
bancrofti tersebar luas diberbagai negara
tropis dan subtropis, menyebar mulai dari

Spanyol sampai di Brisbane, Afrika dan
Asia (Jepang, Taiwan, India, Cina, Filippina,
Indonesia) dan negara-negara di Pasifik
Barat. Jika ditemukan mikrofilarial rate ≥ 1
% pada satu wilayah maka daerah tersebut
dinyatakan endemis dan harus segera
diberikan pengobatan secara masal selama 5
tahun berturut-turut (WHO, 2012)
Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Syuhada, dkk (2012) di Kecamatan Buaran
dan Tirto Kabupaten Pekalongan, dimana
hasil penelitian menunjukkan bahwa
penyakit ini ditemukan hampir seluruh
wilayah Indonesia seperti di Sumatera,
Jawa,
Kalimantan,
Sulawesi,
Nusa
Tenggara, dan Papua, baik perkotaan
maupun pedesaaan. Kasus di pedesaan

banyak di temukan pada kawasan bagian
timur, sedangkan untuk di perkotaan banyak
di temukan seperti, Bekasi, Tangerang,
Pekalongan, dan Lebak (Banten).
Berdasarkan laporan hasil dari survei
pada tahun 2000 yang lalu tercatat sebanyak
1553 desa di 647 Puskesmas tersebar di 231
kabupaten 26 Propinsi sebagai lokasi yang
endemis, dengan jumlah kasus kronis 6233
orang. Hasil survai laboratorium, melalui
pemeriksaan darah jari, rata-rata mikrofilaria
rate (Mf rate) 3,1 %, berarti sekitar 6 juta
orang sudah terinfeksi cacing filaria dan
sekitar 100 juta orang mempunyai resiko
tinggi untuk ketularan karena nyamuk
penularnya tersebar luas.
Penderita filariasis di Indonesia
terjadi peningkatan kasus, Berdasarkan data
dari
Riset

Kesehatan
Dasar
(Riskesdas)nasional dari tahun 2007 sampai
dengan 2009 dengan jumlah kejadian di
tahun 2007 sebanyak 11.473 kasus, tahun
2008 sebanyak 11.699 kasus dan tahun 2009
sebanyak 11.914 kasus. Tiga provinsi
dengan kasus terbanyak berturut-turut
Page 24

ISSN 20880057
adalah Nanggroe Aceh Darussalam 2.359
orang, Nusa Tenggara Timur 1.730 orang
dan Papua 1.158 orang (Ditjen PP-PL
Depkes RI, 2009).
Di Indonesia, 87% kabupaten/kota
mempunyai kasus klinis filariasis pada range
1-100 kasus, 5,9% kab/kota tidak memiliki
kasus klinis filariasis, 5,2 % pda range 101200 kasus, 1,2% pada range 201-700
kasusdan 0,2% pada range >700 kasus

(Kemenkes RI, 2010).
Data ini belum menggambarkan
keadaan yang sebenarnya karena hanya di
laporkan oleh 42% Puskesmas dari 7.221
Puskesmas. Tingkat endemis filariasis di
Indonesia berdasarkan hasil survai darah jari
tahun 1999 masi tinggi dengan microfilaria
(Mf) rate 3,1% (0,5-19,64%).
Berdasarkan
survei
untuk
pemeriksaan microskopis pada desa dengan
jumlah penderita terbanyak pada tahun
2002-2005, terutama di sumatera dan
kalimantan,
telah
teridentifikasi
84
kabupaten/kota dengan mocrofilaria rate 1%
atau lebih. Data tersebut menggambarkan

bahwa seluruh daerah di Sumatera dan
Kalimantan merupakan daerah endemis
filariasis. Sampai dengan tahun 2004 di
Indonesia diperkirakan 6 juta orang
terinfeksi filariasis dan di laporkan lebih dari
8.000 orang diantaranya menderita kronis
filariasis terutama di pedesaan (DepKes RI,
2009).
Provinsi Riau terdiri dari 10
kabupaten dan 2 kotamadya, menurut hasil
dari Riset Kesehatan Dasar provinsi Riau
tahun 2011, persentase filariasis klinis
terdeteksi dengan gejala (DG) di 10
kabupaten dan 2 kotamadya, yaitu ;
Kabupaten
Indragiri
Hulu
(46,1%),
Kabupaten Indra Giri Hilir (18,5%),
Kabupaten Rokan Hilir (14,5%), Kotamadya

Dumai (4,3%), Kabupaten Siak (4%),
Kabupaten Kuantan Sengingi (3%),
Kabupaten Bengkalis (2,7%), Kabupaten
Rokan Hulu (1,8%), Kabupaten Pelelawan
Jurnal Kebidanan STIKes Tuanku Tambusai Riau

Vol 5, November 2014
(1,8%), Kotamadya Pekanbaru (0,6%) dan
Kabupaten Kampar (0,2%).
Kabupaten Rokan Hilir terdiri atas
16
kecamatan.Menurut
data
Dinas
Kesehatan Kabupaten Rokan Hilir tahun
2011, Filariasis klinis terdeteksi Dengan
Gejala (DG) di 16 kecamatantahun 2011
sebanyak 3 orang, pada tahun 2012
sebanyak 4 orang dan tahun 2013 terjadi
peningkatan jumlah penderita filariasis yaitu

sebanyak
10
orang(Dinkes.Kab.Rohil,
2013).
Pada tanggal 8 april 2002 Mentri
Kesehatan Republik Indonesia telah
mencanangkan di mulainya eliminasi
penyakit kaki gajah di indonesia dan telah
menetapkan eliminasi kaki gajah sebagai
salah satu program prioritas.Sebagai
pedoman pengendalian Filariasis terutama
dalam keputusan mentri Kesehatan Republik
IndonesiaNomor:
1582/MENKES/SK/XI/2005 tanggal 18
Nopember 2005.
Dari pemberian obat tesebut di
Wilayah Kerja Puskesmas Balai Jaya
KecamatanBagan sinembah Kabupaten
Rokan Hilir terdapat 9 desa 2 kelurahan
dimana desa yang paling banyak diberikan
pengobatan adalah Kelurahan Balam
Sempurna Kota (87%) dan desa yang paling
sedikit diberikan pengobatan adalah desa
pasir putih (51,4%). Sedangkan sasaran
pengobatan yang ditetapkan Departemen
Kesehatan RI (>85%) (Ullyartha, 2005).
Obat itu harus diberikan setiap tahun selama
5 tahun berturut-turut untuk memastikan
seluruh cacing filaria yang ada didalam
tubuh mati. Puskesmas memberikan obat
melalui kader-kader yang telah dilatih. Obat
yang dibagikan berjumlah 4 (empat)
tabletperkemasan. 3 (tiga) tablet DEC dosis
rendah (25-50 mg/kg BB), dan 1 (satu)
tablet Albendazole. Saat ini pengobatan
dosis tunggal setahun sekali dengan
kombinasi obat ini akan lebih efektif.

Page 25

ISSN 20880057
Berbagai upaya telah dilakukan
dalam rangka persiapan pelaksanaan
eliminasi filariasis diantaranya koordinasi
antara Dinas Kesehatan Kabupaten Rokan
Hilir dengan seluruh puskesmas di Wilayah
kerja Kabupaten Rokan hilir, koordinasi
dengan instasi pemerintahan maupun
lembaga sosial masyarakat (LSM),
koordinasi dengan tokoh masyarakat.
Sosialisasi juga dilakukan melalui kegiatan
pengajian di tingkat RW, posyandu dan
penyuluhan
langsung
oleh
petugas
kesehatan kepada kader kesehatan.
Tetapi ditinjau dari data awal yang
diperoleh desa yang persentasenya awalnya
tinggi dalam pengambilan obat filariasis
adalah di desa pasir putih dengan persentase
84,6% dari target yang ingin dicapai 85%
tetapi pada pemberian obat yang mengambil
obat tahap ke dua desa ini mengalami
penurunan signifikan dengan persentase
51,4%.Penurunan jumlah sasaran yang
bersedia minum obat pada pengobatan
massal tahap II (dua) mungkin disebabkan
oleh informasi dari media tentang kejadiankejadian
pasca
pengobatan
massal
filariasispada
pengobatan
tahap
I
(satu).Munculnya efek samping, juga akan
semakin terkurangi jika masyarakat selalu
minum obat setiap tahunnya, jika efek tinggi
berarti masih ada cacing di dalamnya, dan
mati setelah minum obat tersebut. Namun
jika rutin meminum setiap tahun dan
cacingnya berkurang, maka efek nya juga
berkurang. Pengobatan akan sia-sia jika
penyakit sudah parah. Sebaiknya dilakukan
pengobatan secara rutin untuk memotong
siklus hidup cacing (Heri, 2013)
Desa Pasir Putih merupakan salah
satu desa yang melakukan program
pencegahan penyakit filariasis dengan
melakukan
pengobatan
masal
yang
mengkonsumsi obat filariasis menurun.
Berdasarkan survei pendahuluan didapatkan
ada beberapa dari 15 orang warga
mengambil obat filariasis tahap kedua tetapi
Jurnal Kebidanan STIKes Tuanku Tambusai Riau

Vol 5, November 2014
tidak mengkonsumsi obat filariasis yang
dibagikan oleh kader dengan alasantakut
akan efek samping obat pada tahap pertama
akan terjadi lagi pada penggunaan obat
tahap kedua, serta sebagian warga ada yang
tidak tahu bahwa telah dilakukan pembagian
obat filariasis tahap kedua di desa
mereka.Sebahagian besar warga ada yang
tidak mendapatkan informasi tentang jadwal
dan tempat untuk pengambilan obat.
Berdasarkan
survey
tersebut,
juga
didapatkan pengakuan dari warga, bahwa
tidak ada tenaga kesehatan yang secara
langsung memantau proses minum obat
filarisasis tahap kedua di Desa Pasir Putih.
Berdasarkan uraian di atas dan melihat
banyaknya warga pada pengobatan ke dua
tidak mengkonsumsi obat filariasis dan tidak
mengambil obat filariasis di desa Pasir
putih, maka peneliti tertarik untuk
melakukan
penelitian
dengan
judul
“Faktor-faktor yang berhubungandengan
penggunaan obat filariasis di Desa Pasir
Putih Wilayah Kerja Puskesmas Balai
Jaya Kabupaten Rokan Hilir”.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian
ini
menggunakan
pendekatan studi analitik kuantitatif dengan
desain penelitian Cross Sectional.Adapun
populasi penelitian ini sebanyak 2.352 orang
dengan sampel 341 orang menggunakan
teknik pengambilan sampel systematic
random sampling.Penelitian ini dilakukan
pada tanggal 10-20 Agustus 2014 dengan
penyebaran kuesener.Anlisis data yang
digunakan analisis univariat dan bivariate.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Distribusi Frekuensi Umur
Responden di Desa Pasir Putih Wilayah
Kerja Puskesmas Balai Jaya Kabupaten
Rokan Hilir.

Page 26

ISSN 20880057

Vol 5, November 2014

Tabel 4.1: Distribusi frekuensi umur
responden.
No
1.

2.

3.

4.

Distribusi

Frekuensi

Umur
2-5 tahun
6-14 tahun
>14 tahun
Total
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Total
Pendidikan
Tidak sek
Playgroup/Tk
SD
SMP
SMU
Perguruan
Tinggi
Total
Pekerjaan
Tidak
Bekerja
Petani /
Buruh
Pedagang /
Wiraswasta
PNS/ Peg.
Swasta/TNI
Lain-lain
Total

Persentase
%

21
59
261
341

6,2
17,3
76,5
100

170
171
341

49,9
50,1
100

32
26
68
110
81
24

9,4
7,6
19,9
32,3
23,8
7,0

341

100

129

37,8

131

38,4

52

15,2

26

7,6

3
341

9
100

Dari tabel 4.1 dapat dilihat bahwa
sebagian besar responden dengan umur >
14 tahun yaitu 261 orang (76,5%),
responden dengan jenis kelamin perempuan
yaitu 171 (50,1%), responden berdasarkan
pendidikan SMP yaitu 110 (32,3%),
responden berdasarkan pekerjaan
Petani/Buruh yaitu 131 (38,4%).
Tabel 4.2 : Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Karakteristik Demografi
No
1
2

Distribusi
Dekat ≤ 2 km
Jauh > 2 km
Total

Frekuensi
155
186
341

Persentase
%
45,5
54,5
100

Dari tabel 4.2 dapat dilihat bahwa
sebagian besar responden dengan jarak
Jurnal Kebidanan STIKes Tuanku Tambusai Riau

tempuh Jauh > 2 km yaitu 186 orang
(55,5%).
Tabel 4.3 : Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Pendidikan Kesehatan (Promosi
Kesehatan) tentang penggunaan obat
filariasis.
No
1
2

Distribusi
Ya
Tidak
Total

Frekuensi
19
322
341

Persentase %
5,6
94,4
100

Dari Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa
yang tidak mendapatkan pendidikan
kesehatan tentang penggunaan obat filariasis
yaitu 322 orang (94,4%).
Tabel 4.4: Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Tenaga Kesehatan
No

Distribusi

Frekuensi

1
2

Ya
Tidak
Total

34
307
341

Persentase
%
10,0
90,0
100

Dari Tabel 4.4 dapat dilihat bahwa
warga tidak mendapatkan pelayanan dari
tenaga kesehatan sebanyak 307 orang
(90,0%).
Tabel 4.5 : Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Penggunaan ObatFilariasis.
No
1
2

Distribusi
Ya
Tidak
Total

Frekuensi
161
180
341

Persentase %
42,2
57,8
100

Dari tabel 4.5 dapat dilihat bahwa
responden yang tidak menggunakan obat
filariasis sebanyak 180 orang (57,8%).
Tabel 4.6 : Hubungan Karakteristik
Demografi Dengan penggunaan Obat
Filariasi
Karakteristi
kdemografi

Penggunaan obat
filariasis
Y
Ti
a
da
k
N %
N %

Total
N

%

P
Va
lue

Page 27

ISSN 20880057

Vol 5, November 2014

Dekat

7
5

48,
4%

80

Jauh

8
6

46,
2%

10
0

5
1,
6
5
3,
8

1
5
6
1
8
5

1
0
0
1
0
0

0,7
74

Dari tabel 4.6 dapat dilihat bahwa
responden yang memiliki karakteristik
demografi
yang
dekat
dan
tidak
menggunakan obat filariasis sebanyak 80
orang (51,6 %). Berdasarkan uji statistik
tidak ada hubungan yang bermakna antara
karakteristik demografi yang jauh dengan
penggunaan obat filariasis di Desa Pasir
Putih Wilayah kerja Puskesmas Balai Jaya
Kabupaten Rokan Hilir Tahun 2014. Hal ini
dibuktikan dengan P Value =0,774 < α =
0,05, sehingga Ho gagal ditolak.Karena
pemerintah telah menunjuk kader yang
berasal dari masyarakat setempat yang
kemudian diberikan penyuluhan untuk
membagikan obat filariasis. Sehingga jarak
yang jauh tidak menjadi alasan masyarakat
untuk tidak menggunakan obat filariasis.
Berdasarkan hasil penyebaran kuesener
didapatkan mereka yang jarak dekat tidak
mengambil obat dengan alasan takut akan
keluhan obat mual, muntah, pusing pada
tahap I (satu) akan terjadi lagi pada
pengobatan tahap II (dua) sehingga mereka
menolak untuk menggunakan obat filariasis.
Tabel 4.7 : Hubungan Pendidikan Kesehatan
(Promosi Kesehatan) Dengan penggunaan
Obat Filariasi
Pendidi
kan
Kesehat
an
Ya
Tidak

Penggunaan Obat
Filariasis
Ya
Tidak
N
%
N %
13 68,4
6 31,
%
6
14 46,0 17 54,
8
4
0

Total
N

%

19

10
0
10
0

32
2

P
Val
ue

0,09
5

Dari tabel 4.7 dapat dilihat bahwa
responden yang mendapatkan pendidikan
kesehatan (Promosi Kesehatan) tetapi
Jurnal Kebidanan STIKes Tuanku Tambusai Riau

menggunakan obat filariasis yaitu hanya 6
orang (31,6%). Berdasarkan uji statistik
tidak ada hubungan yang bermakna antara
pendidikan kesehatan dengan penggunaan
obat filariasis di Desa Pasir Putih Wilaya
Kerja Puskesmas Balai Jaya Kabupaten
Rokan Hilir Tahun 2014. Hal ini dibuktikan
dengan P Value = 0,095 > α 0,05 sehingga
Ho gagal ditolak.Hal ini terjadi karena
promosi kesehatan yang diberikan oleh
tenaga kesehatan tidak dilakukan secara
berkesinambungan, sebaiknya promosi
dilakukan dengan cara mengadakan
pertemuan dengan masyarakat baik yang
minum obat maupun yang tidak minum
obat. Kemudian masyarakat dengan dipandu
oleh dokter, bidan, perawat mengemukakan
apa-apa yang dialami ketika minum obat
filariasis. Mereka juga diminta menceritakan
tentang apa yang mereka lakukan ketika
mengalami pusing, mual (efek obat
filariasis) setelah minum obat filariasis.
Kesempatan ini bisa dijadikan sebagai
media curhat pendapat diantara masyarakat,
sehingga masalah-masalah yang ada dapat
ditemukan solusinya. Masyarakat yang takut
reaksi/efek obat menjadi tidak takut lagi dan
bersedia minum obat filariasis pada putaran
yang akan datang. Sehingga pemahaman
masyarakat tentang filariasis tidak sesuai
dengan yang diharapkan oleh tenaga
kesehatan, yang mengakibatkan besarnya
rasa takut masyarakat akan efek samping
penggunaan obat filariasis.
Tabel 4.8 : Hubungan Tenaga Kesehatan
Dengan penggunaan Obat Filariasi
Tena
ga
Kese
hatan
Ya
Tidak

Penggunaan obat
filariasis
Ya
%
64,
7
13 45,
9
3
N
22

Tidak
N
%
12 35,
3
16 54,
8
7

Total

N

%

34

10
0
10
0

30
7

P
Valu
e

0,04
9

Page 28

ISSN 20880057
Dari tabel 4.8 dapat dilihat bahwa
responden yang mendapatkan pelayanan
langsung dari tenaga kesehatan kesehatan
tetapi tidak menggunakan obat filariasis
yaitu 12 orang (35,3%). Berdasarkan uji
statistik ada hubungan yang bermakna
antara tenaga kesehatan dengan penggunaan
obat filariasis di Desa Pasir Putih Wilayah
Kerja Puskesmas Balai Jaya Kabupaten
Rokan Hilir Tahun 2014. Hal ini dibuktikan
dengan P Value = 0,049 < α = 0,05,
sehingga Ho ditolak.petugas kesehatan
menjadi tokoh panutan di bidang
kesehatan.Untuk itu maka petugas kesehatan
harus mempunyai sikap dan perilaku yang
sesuai
dengan
nilai-nilai
kesehatan.Demikian pula petrugas-petugas
lain atau tokoh-tokoh masyarakat.Mereka
juga panutan prilaku, termasuk perilaku
kesehatan.Oleh sebab itu mereka harus
mempunyai sikap dan perilaku yang posistif.
Sikap dan perilaku petugas kesehatan dan
petugas petugas lain merupakan pendorong
atau penguat perilaku sehat masyarakat.
Untuk mencapai hal tersebut maka petugas
kesehatan dan para petugas lain harus
memperoleh pendidikan pelatihan khusus
tentang kesehatan atau pendidikan kesehatan
dan ilmu perilaku.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan
hasil
penelitian
dapat
disimpulkan bahwa :
1. Tidak Ada hubungan yang bermakna
antara karakteristik demografi yang jauh
dengan penggunaan obat filariasis di
Desa Pasir Putih Wilayah kerja
Puskesmas Balai Jaya Kabupaten Rokan
Hilir Tahun 2014. Hal ini dibuktikan
dengan P Value = 0,774> 0,05.
2. Tidak Ada hubungan yang bermakna
antara pendidikan kesehatan dengan
penggunaan obat filariasis di Desa Pasir
Putih Wilaya Kerja Puskesmas Balai
Jaya Kabupaten Rokan Hilir Tahun

Jurnal Kebidanan STIKes Tuanku Tambusai Riau

Vol 5, November 2014
2014. Hal ini dibuktikan dengan P
Value = 0,095 > α = 0,05.
3. Ada hubungan yang bermakna antara
tenaga kesehatan dengan penggunaan
obat filariasis di Desa Psir Putih
Wilayah Kerja Puskesmas Balai Jaya
Kabupaten Rokan Hilir Tahun 2014.
Hal ini dibuktikan dengan P Value=
0,049 < α = 0,05.
Saran
1. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten
Rokan Hilir
Diharapkan bagi Dinas Kesehatan
Kabupaten
Rokan
Hilir
dapat
memberikan pelatihan bagi tenaga
kesehatan dan kader yang berada di
Wilayah Kerja Pemerintahan Daerah
Kabupaten
Rokan
Hilir
agar
meningkatkan
pelayanan
serta
pengetahuan tentang POMP (Program
Minum Obat Massal Pencegahan)
Filariasis.
2. Bagi UPTD Puskesmas Balai Jaya
Diharapkan bagi UPTD Puskesmas
Balai Jaya Kecamatan Bagan Sinembah
Kabupaten Rokan Hilir dapat lebih
memberdayakan lagi kader Filariasis
sehingga kader lebih bersemangat lagi
dalam pemberian informasi dan
pemberian obat filariasis sehingga
menurunkan angka kesakitan akibat
penyakit filariasis.
3. Bagi Responden
Melalui
hasil
penelitian
ini,
diharapkan bagi responden untuk dapat
menggunakan obat filariasis secara rutin
selama 5 (lima) tahun berturut-turut.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
menjadi acuan bagi penelitian yang
akan
datang.
Dan
penelitian
mengharapkan pada pelitian selanjutnya
dapat lebih ditingkatkan lagi baik pada
desain penelitian, jumlah responden,
atau jenis variabel yang diteliti.

Page 29

ISSN 20880057
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S. 2009. Sikap Manusia dan teori
pengukurannya .
Yogyakarta
:
Pustaka Wilayah.
Arikunto, Suharsimi. 2010. Manajemen
Penelitian. Jakarta : PT Rineka
Cipta.
CDC. Biology-Life Cycle Of Wuchereria
Bancrifti. Diuplog pada tanggal 2
November 2010 dan diakses pada
tanggal
15
Juni
2014.
http://www.cdc.gov/parasites/lympha
ticfilariasis/gen_info/bancrofti.html
CDC. Vector of Lymphatic Filariasis.
Diupload pada 2 November 2010 dan
diakses pada tanggal 15 Juni 2014.
http://www.cdc.gov/parasites/lympha
ticfilariasis/gen_info/vectors.html
Dahlan, M. Sopiyudin. 2011. Statistik Untuk
Kedokteran Dan Kesehatan. Edisi V.
Jakrta: Salemba Medika.
_________________. 2010. Besar Sampel
Dan cara Pengambilan Sampel.
Edisi III. Jakrta: Salemba Medika.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Diektorat Jenderal PP & PL, 2005.
Program
eliminasi
Filariasis.
Jakarta.
Departemen Kesehatan republik Indonesia
Direktorat Jenderal PP & PL, 2005.
Pengobatan
Masal
Filariasis.
Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Direktorat Jenderal PP & PL, 2005.
Epidemiologi Filariasis. Jakarta.
Dinas Kesehatan Kabupaten Rokan Hilir.
2014. Laporan Kejadian Penyakit
Filariasis Tahun 2013-2014. Rokan
Hilir.
Desa Pasir Putih. 2013. Profil Desa Pasir
Putih Tahun 2013.
Hidayat, Aziz Alimul. 2007. Metode
Penelitian Kebidanan dan teknik
Analisis Data . Jakarta: Salemba
Medika.
Jurnal Kebidanan STIKes Tuanku Tambusai Riau

Vol 5, November 2014
Kusmanto, 2007. Faktor-faktor yang
mempengaruhi masyarakat terhadap
kepatuhan minum obat POMP
Filariasis di Desa Muaro Jambi
Tahun
2007.
http://books.google.co.id/
Kusuma wardani, Dewi. 2009. Gambaran
Faktor-faktor
Predisposisi
dan
Praktik
Minum
Obat
Pada
pengobatan Massal Filariasis Di 7
RW Kelurahan Bakti Jaya Depok
Tahun
2009.http://respository.uinjkt.ac.id/ds
pace/bitstream/123456789/24113/1/d
ewi-fkik.pdf . diperoleh tanggal 22
Juni 2014.
Machfoedz, Irham. 2010. Metodologi
Penlitian. Yogyakarta : Fitramaya
Nasir, dkk. 2011. Buku Ajar : Metodologi
Penelitian Kesehatan. Yogyakarta :
Nuha Medika
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan
Metodologi
Penelitian
Ilmu
Keperawatan. Jakarta : Salemba
Medika.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2002. Metode
Penelitian Kesehatan. Jakarta : Asdi
Mahasatya.
________________ . 2010. Ilmu Perilaku
Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
________________ .
2012.
Metode
Penelitian Kesehatan. Edisi II.
Jakarta : Rineka Cipta.
Puskesmas Balai Jaya. 2013. Laporan
Pengobatan Masal POM Filariasis
Tahap I. Februari 2013.
Puskesmas Balai Jaya. 2013. Laporan
Pengobatan Masal POM Filariasis
Tahap II. Desember 2013.
Santoso. 2013. Faktor Risiko Filariasis Di
Kabupaten Muaro Jambi.diperoleh
http://oaji.net/articles/2081402644123.pdf . diambil tanggal 25
Juni 2014.

Page 30

ISSN 20880057
Setiawan, Ari. Dkk. 2013. Metodologi
Penelitian Kebidanan DIII,DIV, S1
dan S2. Cetakan ke III. Yogyakarta:
Mulia Medika
Sugiyono. 2010. Kepatuhan masyarakat
Terhadap Pengobatan massal
Filariasis Di Kabupaten Belitung
Timur
Tahun
2010.http://indonesia.digitaljournals.
org/index.php/BPKESE/article/down
load/96/101. diperoleh tanggal 12
Juni 2014.
Sumantri, Arif . 2011. Metodologi
Penelitian
Kesehatan. Jakartan:
Kencana.
Suherni,
2008.
Faktor-faktor
yang
berhubungan dengen pengetahuan
dan Minum Obat Filariasis Pada
Kegiatan
Pengobatan
Massal
Filariasis di Kabupaten tabalong
Kalimantan Selatan Tahun 2008.
http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/
122702-S-5371-Faktor%20faktorLiteratur.pdf. Diambil pada tanggal
12 juli 2014
Viviana, 2011. Kesesuaian Faktor Resiko
Penyakit Filariasis Dengan Kejadian
Filariasis
Di
Wilayah
Kerja

Jurnal Kebidanan STIKes Tuanku Tambusai Riau

Vol 5, November 2014
Puskesmas Kusuma Bangsa Kota
pekalongan Tahun2011.http://vianaviblog.blogspot.com/2011/08/skripsi
-filariasis.html. diperoleh tanggal 11
Juli 2014.
WHO, 2012. Angka Kejadian Filariasis
WHO, 2012. Lymphatic Filariasis. Diambil
pada tanggal 12 Juni 2014
http://who.int/lymphatic_filariasis/en
/
WHO,
2012.
Lymphatic
Filariasis;
Epidemiology. Diambil pada tanggal
12
Juni
2014
http://who.int/lymphatic_filariasis/ep
idemiology/en/
WHO, 2012. Life-Cyle of Onchocerca
Volvulus. Diambil pada tanggal 22
Juni
2014.
http://who.int/apoc/onchocerciasis/lif
ecycle/en/
WHO.
LYMPHATIC
FILARIASIS:
Eliminating One of Humanity’s Most
Devastating Disease. Diambil pada
tanggal
22
Juni
2014.
http://www.who.int/entity/neglected_
diseases/preventive_chemotherapy/N
ewsletter14_En

Page 31

ISSN 20880057

Jurnal Kebidanan STIKes Tuanku Tambusai Riau

Vol 5, November 2014

Page 32