GERAKAN SENI RUPA BARU DAN DESAIN GRAFIS

GERAKAN SENI RUPA BARU
DAN DINAMIKA DESAIN GRAFIS (DI) INDONESIA
TAHUN 1980-an

Inamul Haqqi Hasan

PENDAHULUAN
Hari ini, istilah Desain Komunikasi Visual (DKV) telah dikenal luas oleh
masyarakat, sebagian masih mengenalnya dengan sebutan Desain Grafis dan
pelakunya adalah desainer grafis. Jurusan DKV di institut seni atau institut
kesenian menjadi salah satu jurusan favorit, hingga sebagian membuka kelas nonreguler untuk menampung pendaftar yang tidak diterima di kelas reguler. Selain
itu juga dibuka Program Studi DKV di perguruan tinggi umum seperti UNS
(Surakarta), UM (Malang), Universitas Trisakti, Universitas Bina Nusantara,
Universitas Paramadina, dan lain-lain.
Popularitas tersebut disebabkan oleh adanya anggapan bahwa bekerja di
bidang DKV cukup prospektif. Anggapan bahwa desainer grafis adalah tukang
reklame yang membuat spanduk atau baliho telah tergantikan dengan imaji sosok
desainer logo bertarif miliaran rupiah atau animator yang meniti karir sampai
Hollywood. Anggapan yang masuk akal karena memang didasari cerita nyata dari
beberapa nama, walaupun itu hanya segelintir saja.
Terjadinya kenaikan popularitas dan perubahan anggapan masayarakat di

atas menunjukkan DKV memiliki perjalanan sejarah yang menarik untuk dikaji.
Pengkajian sejarah DKV selain sebagai penggalian informasi juga diperlukan
untuk mempertanyakan apakah DKV hari ini telah berkembang secara
komprehensif jika dibandingkan beberapa dekade yang lalu? Ataukah hanya aspek
teknologinya saja yang berkembang?

2

Nama DKV adalah pengganti dari nama Desain Grafis, atau Seni Reklame
di ASRI Yogyakarta. Pergantian tersebut didasari atas tuntutan perluasan bidang
garap dari Desain Grafis dengan semakin berkembangnya media. Desain Grafis
sendiri, sesuai dengan namanya, erat kaitannya dengan kegiatan cetak-mencetak.
Sehingga jika kita ingin merunut sejarahnya dapat dimulai dari didatangkannya
mesin cetak pertama di Indonesia pada tahun 1659 oleh pemerintah Kolonial.
Namun, agar dapat menyajikan data secara detail, makalah ini hanya akan
mengambil potongan waktu tahun 1980-an.

DESEMBER HITAM DAN GERAKAN SENI RUPA BARU
Depolitisasi seni yang dijalankan pemerintah Orde Baru, sebagai upaya
melanggengkan kekuasaan tentu saja, mengakibatkan sanggar-sanggar seni rupa

yang berada di bawah naungan partai politik kian meredup. Pun demikian dengan
sanggar-sanggar di bawah naungan institusi agama. Sementara itu, sanggarsanggar yang masih bertahan justru kental dengan senioritas atau, meminjam
istilah Harsono, cantrikisme. Demikian pula di dalam institusi pendidikan seni
yang masih sarat dengan pola patron klien dan tidak memberikan kebebasan
dalam bereksperimen. 1
Kondisi tersebut mengakibatkan sebagian dari para pelukis muda yang
menolak cantrikisme memilih jalan individual. Sementara sebagian lainnya
bergabung dan membentuk kelompok-kelompok kecil. Salah satu kelompokyang
lahir adalah Kelompok Lima Pelukis Muda Yogyakarta (KLPMY) yang
beranggotakan Siti Adiyati, Nanik Mirna, Bonyong Munni Ardhi, Hardi, dan F.X.
Harsono. Setelah terbentuk pada tahun 1972, KLPMY mengadakan pameran
pertamanya di Solo, kemudian di Lembaga Indonesia Amerika di Surabaya, dan
akhirnya pada tahun 1974 di Balai Budaya Jakarta diikuti oleh Bonyong, Nanik,
dan Harsono. Berkat pameran tersebut, di tahun yang sama KLPMY mulai dikenal

1

F.X. Harsono. 2013. Desember Hitam, GRSB dan Kontemporer. http://arslitera.net/desemberhitam-gsrb-dan-kontemporer/

3


dan mendapat undangan untuk mengikuti Pameran Besar Seni Lukis Indonesia
(yang kelak menjadi Jakarta Biennale) di Taman Ismail Marzuki. 2
Perselisihan dengan pelukis senior muncul karena karya-karya para pelukis
muda yang dipamerkan tidak lagi mengikuti cara dan teknik melukis dari para
guru dan senior mereka. Penciptaan seni menolak lirisisme, kedalaman
(deepness), ketunggalan, dan penciptaan yang dilakukan oleh tangan seniman.
Mereka menolak proses penciptaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai estetis yang
menempatkan seniman sebagai individu yang otonom karena orisinalitas,
ketunggalan dan keunikan dari jiwa seniman yang terpancar tidak lagi dianggap
sebagai suatu yang penting. 3
Karya-karya eksperimentasi para pelukis muda akhirnya mendapat kritik
dari dewan juri. Dalam pernyataannya, dewan juri menyebut:
Usaha bermain-main dengan apa yang asal “baru” dan “aneh” saja, dapatlah dianggap
sebagai usaha coba-coba, cari-cari, atau sekedar iseng, atau bukti langkanya ide dan
kreativita. 4

Perselisihan semakin tajam ketika dewan juri Pameran Besar Seni Lukis
Indonesia menentukan karya-karya A.D. Pirous, Aming Prayitno, Widayat, Irsam,
dan Abas Alibasyah sebagai karya terbaik. Para pelukis muda mengajukan protes

karena menurut mereka karya-karya terpilih itu seragam, yaitu dekoratif dan lebih
mengabdi pada kepentingan"konsumtif.” Apalagi muncul pendapat bahwa yang
dibutuhkan adalah karya-karya yang Indonesiawi sehingga karya-karya yang
sifatnya eksperimental ditolak. 5
Dari sana, para pelukis muda meluncurkan pernyataan sikap yang disebut
dengan “Pernyataan Desember Hitam 1974” pada tanggal 31 Desember 1974
yang berbunyi:
Mengingat bahwa sejak beberapa tahun yang lampau, kegiatan-kegiatan seni budaya
dilaksanakan tanpa strategi budaya yang jelas maka kami menarik kesimpulan bahwa
pada pengusaha-pengusaha seni-budaya sedikitpun tidak tampak wawasan terhadap
2

Ibid.
Ibid.
4
Ibid.
5
Agus Dermawan T. Tanpa tahun. Yang Sempat Saya Catat, Sebelum dan Sesudah Pagelaran
Seni Rupa Baru 1977. http://inspirasi.co/polemik_yang_melegenda/post/17/380/yang_sempat_
saya_catat_sebelum_dan_sesudah_pagelaran_seni_rupa_baru_1977_-_agus_darmawan_t


3

4

masalah-masalah paling azasi dari kebudayaan kita. Ini pertanda bahwa sejak beberapa
waktu suatu erosi spiritual sedang menghancurkan perkembangan seni-budaya.
Karena ini maka kami merasa perlu untuk pada bulan desember 1974 yang hitam ini
menyatakan pendirian kami tentang gejala yang tampak pada wujud seni-lukis Indonesia
masa kini.
1. Bahwa kepancaragaman seni-lukis Indonesia merupakaan kenyataan yang tidak dapat
dimungkiri, akan tetapi kepancaragaman ini tidak dengan sendirinya menunjukkan
perkembangan yang baik.
2. Bahwa untuk perkembangan yang menjamin kelangsungan kebudayaan kita para
pelukis terpanggil untuk memberikan kearahan rohani yang berpangkal pada nilainilai kemanusiaan dan berorientasi pada kenyataan kehidupan sosial, budaya, politik
dan ekonomi.
3. Bahwa kreativitas adalah kodrat pelukis, yang menempuh berbagai cara untuk
mencapai perspektiv-perspektiv baru bagi seni-lukis Indonesia.
4. Bahwa dengan demikian maka identitas seni-lukis Indonesia dengan sendirinya jelas
eksistensinya.

5. Bahwa yang menghambat perkembangan seni-lukis Indonesia selama ini adalah
konsep-konsep usang, yang masih dianut oleh establishment, pengusaha-pengusaha
seni budaya dan seniman-seniman yang sudah mapan. Demi keselamatan seni lukis
kita, maka kini sudah saatnya kita memberi kehormatan pada establishment tersebut,
yaitu kehormatan purnawirawan budaya. 6

Pernyataan di atas tidak hanya ditandatangani oleh para pelukis muda dari
STSRI ASRI Yogyakarta, tetapi juga dari ITB dan LPKJ (sekarang IKJ). Mereka
adalah: Muryotohartoyo, Juzwar, F.X. Harsono, Bonyong Munni Ardhi, M.
Sulebar, Ris Purwana, Daryono, Adiyati, D.A. Peransi, Baharuddin Marasutan,
Ikranegara, Adri Darmadji, Hardi, dan Abdul Hadi WM. 7
Peristiwa yang kemudian dikenal dengan sebutan “Desember Hitam” itu
belum selesai. Di STSRI ASRI Yogyakarta, mahasiswa-mahasiswa yang ikut
menandatangani pernyataan Desember Hitam seperti Harsono, Bonyong Munni
Ardhi, Ris Purwana, dan Hardi dipecat, dicabut hak-haknya sebagai mahasiswa,
dilarang melakukan kegiatan apa pun (di kampus), dan dikeluarkan dari susunan
panitia Dies Natalis. Sementara itu, mahasiswa LPKJ yang ikut menandatangani
pernyataan tersebut tidak mendapat sanksi apapun. Di ITB, pernyataan “Desember
Hitam” justru mendapat perlakuan simpatik dan lembar pernyatannya dipajang di
papan pengumuman. 8

6

http://archive.ivaa-online.org/files/uploads/texts/Pernyataan%20Desember%20Hitam%
201974.pdf
7
Ibid.
8
“ASRI Yogyakarta Ricuh” dalam harian Kompas edisi 18 Januari 1975.

5

Peristiwa di atas nyatanya tidak menghentikan aksi “pemberontakan”
Harsono dan kawan-kawan. Selanjutnya, mereka (kelompok dari STSRI ASRI
Yogyakarta) bertemu dengan kelompok dari ITB dan membentuk suatu gerakan
yang disebut dengan Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB). Pameran pertama GSRB
(“Pameran Seni Rupa Baru 75”) diadakan di Taman Ismail Marzuki pada Agustus
1975. Pameran tersebut diikuti sebelas perupa, yaitu Siti Adiyati, Nanik Mirna,
Pandu Sudewo, Muryoto Hartoyo, F.X. Harsono, Jim Supangkat, Anyool
Soebroto, Bonyong Munni Ardhi, Bachtiar Zainoel, Hardi, dan Ris Purwono. 9
Sanento Yuliman, seorang pengajar di ITB yang turut mendukung GSRB,

dalam pengantar katalog pameran itu menegaskan:
Ada lagi hal lain yang umum terdapat pada seniman-seniman ini, yang sangat penting
untuk suatu generasi. Mereka merasa berbeda dari seniman-seniman angkatan
sebelumnya. Tersirat dalam perasaan ini, kalau saya tidak keliru menafsirkan: pendirian,
bahwa tiap generasi dapat menemukan dan menegakkan asas-asas seni mereka sendiri,
berhak mendefinisikan kembali seni. 10

Sebagai bentuk pernyataan sikapnya, GSRB merumuskan lima poin yang
disebut dengan “Lima Jurus Gebrakan Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia”.
Pernyataan tersebut dimuat dalam buku berjudul Gerakan Seni Rupa Baru
Indonesia yang dieditori oleh Jim Supangkat dan terbit tahun 1979. Isinya sebagai
berikut:
1. Dalam berkarya, membuang sejauh mungkin imaji "seni rupa" yang diakui hingga
kini, (gerakan menganggapnya sebagai "seni rupa lama") yaitu seni rupa yang dibatasi
hanya di sekitar: seni lukis, seni patung dan seni gambar (seni grafis). Dalam Gerakan
Seni Rupa Baru Indonesia, penetrasi di antara bentuk-bentuk seni rupa di atas, yang
bisa melahirkan karya-karya seni rupa yang tak dapat dikategorikan pada bentukbentuk di atas, dianggap "sah" ("Seni Rupa Baru"). Dalam berkarya, membuang
sejauh mungkin imaji adanya elemen-elemen khusus dalam seni rupa, seperti elemenelemen lukisan, elemen-elemen gambar dan sebagainya. Keseluruhannya berada
dalam satu kategori, elemen-elemen rupa yang bisa berkaitan dengan elemen-elemen
ruang, gerak, waktu dan sebagainya. Dengan begitu, semua kegiatan yang dapat

dikategorikan ke dalam seni rupa di Indonesia, kendati didasari "estetika" yang
berbeda, umpamanya yang berasal dari kesenian tradisional, secara masuk akal
dianggap sah sebagai seni rupa yang hidup.
2. Membuang sejauh mungkin sikap "spesialis" dalam seni rupa yang cenderung
membangun "bahasa elitis" yang didasari sikap "avand-gardisme" yang dibangun oleh
9

F.X. Harsono. 2013. Op.Cit.
Sanento Yuliman. 1975. “Perspektif Baru,” pengantar pada Katalog Pameran Seni Rupa Baru
Indonesia '75.

10

6

imaji: seniman seharusnya menyuruk ke dalam mencari hal-hal subtil (agar tidak
dimengerti masyarakat, karena seniman adalah bagian dari misteri hidup?). Sebagai
gantinya, percaya pada segi "kesamaan" yang ada pada manusia dikarenakan
lingkungan kehidupan yang sama. Percaya pada masalah-masalah sosial yang aktual
sebagai masalah yang lebih penting untuk dibicarakan daripada sentimen-sentimen

pribadi. Dalam hal ini, kekayaan ide atau gagasan lebih utama daripada ketrampilan
"master" dalam menggarap elemen-elemen bentuk.
3. Mendambakan "kemungkinan berkarya", dalam arti mengharapkan keragaman gaya
dalam seni rupa Indonesia. Menghujani seni rupa Indonesia dengan kemungkinankemungkinan baru, mengakui semua kemungkinan tanpa batasan, sebagai
pencerminan sikap "mencari". Dari sini, menentang semua penyusutan kemungkinan,
antara lain sikap pengajaran "cantrikisme" di mana gaya seorang guru diikuti muridmuridnya, yang sebenarnya dapat berbuat lain, memperkaya kemungkinan "gaya" seni
rupa Indonesia.
4. Mencita-citakan perkembangan seni rupa yang "Indonesia" dengan jalan
mengutamakan pengetahuan tentang Sejarah Seni Rupa Indonesia Baru yang berawal
dari Raden Saleh. Mempelajari periodisasinya, melihat dengan kritis dan tajam
caranya berkembang, menimbang dan menumpukkan perkembangan selanjutnya ke
situ. Percaya bahwa dalam Sejarah Seni Rupa Indonesia Baru ini terdapat masalahmasalah yang sejajar bahkan tidak dimiliki buku-buku impor, dan mampu mengisi
seni rupa Indonesia dengan masalah yang bisa menghasilkan perkembangan yang
bermutu. Mencita-citakan perkembangan seni rupa yang didasari tulisan-tulisan dan
teori-teori orang-orang Indonesia, baik kritikus, sejarawan ataupun pemikir.
Menentang habis-habisan pendapat yang mengatakan perkembangan seni rupa
Indonesia adalah bagian dari sejarah seni rupa Dunia, yang mengatakan seni adalah
universal, yang menggantungkan masalah seni rupa Indonesia pada masalah seni rupa
di Mancanegara.
5. Mencita-citakan seni rupa yang lebih hidup, dalam arti tidak diragukan kehadirannya,

wajar, berguna, dan hidup meluas di kalangan masyarakat. 11

Selanjutnya, kelompok GSRB menyelenggarakan Pameran Seni Rupa
Baru yang kedua pada Februari-Maret 1977. Pameran tersebut seolah menjawab
tuduhan dari para perupa senior tentang krisis moral dan estetis. Kelompok GSRB
menampilkan karya-karya positif, menarik, bermutu, dan meyakinkan. Selain
diikuti oleh mereka yang sebelumnya ikut di pameran pertama, pameran ini juga
diikuti peserta baru, yaitu: S. Prinka, Ronald Manulang, Satyagraha, Nyoman
Nuarta, Wagiono, Dede Eri Supriya. 12
Bulan September pada tahun yang sama, 1977, di Yogyakarta kelompok
“Seni Kepribadian Apa” (PIPA) menyelenggarakan pameran berjudul Pergelaran

11

Lima Jurus Gebrakan Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia. http://dgi-indonesia.com/lima-jurusgebrakan-gerakan-seni-rupa-baru-indonesia/
12
Agus Dermawan T. Op.Cit.

7

Seni Kepribadian Apa di Gedung Senisono Art Gallery. Senada dengan GSRB,
kelompok ini juga melakukan kritik pada kemandegan seni rupa. Ronald
Manulang, juru bicara kelompok PIPA menyatakan “telah terlalu lama kesenian
kita berbasa-basi dengan konsep loakan yang tak pernah mengenal kesegaran, tak
mengenal lingkungan, tak mengenal dinamika sosial …” 13
Pagelaran yang mirip happening art itu juga diikuti oleh pemusik Sapto
dan Jack Body. Sedangkan para perupa yang terlibat adalah Dede Eri Supriya,
Gendut Riyanto, Wienardi, Tulus Warsito, Budi Sulistyo, Bonyong Munni Ardhi,
Haris Purnama, Slamet Ryadi, Redha Sorana, dan Ronald Manulang. Pameran ini
ditutup polisi pada hari kedua dengan sebab yang kurang jelas. 14
Tahun 1979, GSRB mengadakan pameran ketiga sekaligus menjadi
pameran terakhirnya. GSRB bubar pada tahun 1979 karena, menurut Harsono, ada
upaya mendiskreditkan karya-karya seniman yang lebih muda, upaya menjadikan
dirinya sebagai pusat gerakan, yang mana itu telah menyimpang dari komitmen
awal GSRB bahwa kebebasan individu dalam mencipta adalah mutlak. 15

PAMERAN DESAIN GRAFIS PERTAMA
Ada dua poin penting dari fenomena GSRB di atas yang terkait dengan
perkembangan

seni/grafis

di

Indonesia.

Pertama,

GSRB

menyuarakan

penghentian pandangan dikotomis antara seni rupa murni (fine arts) dengan seni
rupa terapan (applied arts). Hal itu dapat ditangkap dari Lima Jurus Gebrakan
GSRB yang menyatakan bahwa sikap “spesialis” dan “bahasa elitis” harus
dibuang jauh. Kedua, sebagian dari seniman yang tergabung dalam GSRB
maupun PIPA adalah para perancang grafis. Mereka adalah: Syahrinur Prinka,
Wagiono Sunarto, Priyanto Sunarto, Gendut Riyanto, Harris Purnama, Oentarto,
dan, salah satu motornya: F.X. Harsono.

13

Hendro Wiyanto. 2004. “Perginya “Pipa Penghubung”” dalam harian Kompas edisi 4 Januari
2004.
14
Agus Dermawan T. Op.Cit.
15
F.X. Harsono. 2013. Op.Cit.

8

Dengan kesetaraan antara seni rupa terapan dan seni rupa murni, maka
kegiatan pameran bukan lagi hanya dominasi seniman lukis, patung, atau instalasi,
akan tetapi desainer grafis pun layak untuk berpameran.
Pada tanggal 16-24 Juni 1980 di Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus Huis
Jakarta diselenggarakan pameran desain grafis oleh tiga desainer grafis Indonesia:
Gauri Nasution, Didit Chris Purnomo, dan Hanny Kardinata. Mengambil judul
“Pameran Rancangan Grafis ‘80 Hanny, Gauri, Didit.” Menurut salah satu
peserta, Hanny, pameran ini membawa misi utama memperkenalkan profesi
desainer grafis ke masyarakat luas serta memamerkan kekuatan desain grafis
modern dalam dunia perwajahan kita. 16 Pameran ini tercatat sebagai pameran
desain grafis pertama di Indonesia yang diadakan oleh desainer-desainer grafis
Indonesia. Setahun sebelumnya di Bandung telah diadakan pameran desain grafis
tetapi oleh desainer-desainer dari Belanda. 17
Menurut Agus Dermawan, pameran itu merupakan respon dari perwajahan
grafis di Indonesia yang masih lemah. Kelemahan itu, menurutnya, bukan karena
para desainer grafis sendiri tetapi oleh mekanisme produksi yang belum banyak
melibatkan mereka. Banyak iklan dan sampul buku atau kaset yang membuat
orang tidak memberikan perhatian khusus karena wajah grafisnya yang tidak
mempunyai kekuatan apa-apa. Maka, Agus Dermawan menyebut pameran ini
“mau merubah dunia” dengan maksud mengubah dunia perwajahan yang kurang
terperhatikan. 18
Beberapa karya yang dipamerkan antara lain:

16

Hanny Kardinata. 2007. Sejarah IPGI: Upaya Menumbuhkan Apresiasi. http://dgiindonesia.com/sejarah-ipgi-upaya-menumbuhkan-apresiasi/
17
Agus Dermawan T. 1980. “Pameran Rancangan Grafis Hanny, Gauri, Didit: Mau Merubah
Dunia” dalam harian Kompas edisi 25 Juni 1980.
18
Ibid.

9

Hanny Kardinata. 1979. Ilustrasi “Guruh Soekarnoputra.”

Hanny Kardinata. 1978. Iklan korporat “Djarum.”

10

Gauri Nasution. 1978. Sampul Album Musik Keenan Nasution “Di Batas Angan-angan.”

LAHIRNYA IKATAN PERANCANG GRAFIS INDONESIA
Pada saat yang hampir bersamaan dengan persiapan pameran di atas,
diadakan juga pertemuan-pertemuan intensif di antara para desainer grafis (saat
itu masih terbatas pada mereka yang tinggal dan bekerja di Jakarta atau Bandung)
untuk mempersiapkan didirikannya sebuah wadah/organisasi bagi para desainer
grafis Indonesia.
Organisasi tersebut akhirnya disepakati bernama Ikatan Perancang Grafis
Indonesia (IPGI). Supaya efisien, maka pada saat memasuki perumusan AD/ART,
kode etik, program kerja, kepengurusan, dsb, dibentuk Badan Pendiri yang terdiri
dari 9 orang: Sadjiroen, Sutarno, Suprapto Martosuhardjo, SJH Damais, Bambang
Purwanto, Chairman, Wagiono, Didit Chris Purnomo dan J. Leonardo N. Mereka
lalu merumuskan program kerja dan membentuk pengurus sementara untuk
melaksanakannya. Pengurus sementara terbentuk pada tanggal 25 April 1980
dengan susunan:

11

Ketua

: Wagiono

Wakil Ketua

: Karnadi (alm.)

Sekretaris 1

: Didit Chris Purnomo

Sekretaris 2

: J Leonardo N

Bendahara

: Hanny Kardinata

Dibantu beberapa koordinator bidang:
Pameran

: FX Harsono, S Prinka (alm.)

Publikasi dan Buletin

: Tjahjono Abdi (alm.)

Hubungan Masyarakat

: Agus Dermawan T

Dokumentasi dan Perpustakaan : Helmi Sophiaan (alm.)
Pendidikan dan Ceramah

: Hanny Kardinata 19

Dalam dokumen Tata Laku IPGI, disebutkan bahwa perancang grafis
adalah “seorang ahli yang memiliki beberapa titik pengembangan berdasarkan
keahliannya dalam menyusun rancangan grafis.” Lebih lanjut disebutkan terdapat
sepuluh bidang gerak perancangan grafis, yaitu:
1.

Typography, termasuk typefaces;

2.

Lettering dan Calligraphy;

3.

Publicity material;

4.

Grafis film, televisi dan presentasi audio-visual, terutama untuk sarana
pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan;

5.

Packaging design (rancangan kemasan);

6.

Ilustrasi umum;

7.

Ilustrasi teknik;

8.

Animasi dan kartun;

9.

Graphic photography; serta

10. Architectural dan environmental graphics. 20

19

Hanny Kardinata. 2007. Op.Cit.
J. Leonardo N. 1980. “IPGI – Lahirnya Sebuah Horison Baru yang Cerah” dalam Brosur
Pameran Grafis ‘80.
20

12

Pada

bagian

selanjutnya

disebutkan

ada

delapan

lokasi

bidang

perancangan grafis, yaitu:
1.

Penerbit;

2.

Percetakan;

3.

Perusahaan kemasan;

4.

Studio grafis;

5.

Studio film;

6.

Studio televisi;

7.

Perusahaan periklanan; dan

8.

Bekerja bebas (freelance). 21

Lima bulan kemudian, tepatnya tanggal 24 September 1980, IPGI secara
resmi memproklamasikan kelahirannya dalam sebuah pameran perdana bertajuk
“Grafis’80.” Nantinya, pada tahun 1994 IPGI berganti nama menjadi Asosiasi
Desainer Grafis Indonesia (ADGI) yang masih bertahan hingga sekarang.

PAMERAN “GRAFIS ’80” DAN BERKEMBANGNYA PERUSAHAAN
DESAIN GRAFIS
Pameran “Grafis ‘80” berlangsung tanggal 24-30 September 1980 di
Wisma Seni Mitra Budaya, Jakarta. Pameran ini sekaligus menjadi ajang temu
desainer grafis terbesar yang pernah terjadi di Indonesia. Beberapa nama yang
ikut menampilkan karyanya adalah: Achmad Rumyar, Achmad Sadimin,
Bambang Purwanto, Bambang Sidharta, Deddy Budiman, Dicky Mulyadi, Didit
Chris Purnomo, Djodjo Gozali, Dwi Koendoro, Gauri Nasution, G.M. Sudarta,
Hanny Kardinata, Indarsjah, Karnadi Mardio, J. Leonardo N., Markoes
Djajadiningrat, Pramono, Priyanto S., Sadjiroen, Slamet Sugiyanto, Suyadi ‘Pak
Raden’, Suyono Palal, S. Prinka, Teddy Sam Natasasmita, T. Sutanto, Tjahjono
Abdi, Wagiono, Wendy Bari, dan Yusuf Razak. 22

21
22

Ibid.
Hanny Kardinata. 2007. Op.Cit.

13

Leonardo menyebut pameran ini “sebuah pameran yang unik.” Bendabenda yang dipamerkan di sana adalah benda-benda yang sangat dekat dengan
kehidupan kita. Padahal selama ini benda yang dianggap sebagai seni adalah yang
berjarak dengan kehidupan sehari-hari. Leonardo juga mencatat bahwa menurut
Harsono pameran Grafis ’80 mempunyai dua misi. Pertama, memperkenalkan
IPGI sebagai sebuah wadah orgarnisasi para perancang grafis di Indonesia yang
baru saja diresmikan. Kedua, memperkenalkan bidang perancangan grafis secara
luas, baik karya konsumtif komersial seperti iklan, maupun karya non-komersial
seperti uang kertas, perangko, sampul buku, majalah, atau kaset, sampai pada
poster instansi pemerintah maupun swasta dan usahawan. 23

Desain Poster Pameran “Grafis ’80.”

Tahun 1980 juga mencatat perkembangan jumlah perusahaan desain grafis
yang cukup signifikan di Jakarta. Perusahaan-perusahaan tersebut umumnya
digerakkan oleh para desainer grafis, antara lain: Gugus Grafis (F.X. Harsono,
Gendut Riyanto), Polygon (Ade Rastiardi, Agoes Joesoef), dan Adwitya
Alembana (Iwan Ramelan, Djodjo Gozali). Sementara di Bandung juga lahir
23

J. Leonardo N.. 1980. “Pameran Grafis ‘80: Karcis Parkir, Uang Kertas sampai Karung Semen”
dalam majalah Gadis edisi 30 Oktober-9 November 1980.

14

beberapa nama seperti: Zee Studio (Iman Sujudi, Donny Rachmansjah), MD
Grafik (Markoes Djajadiningrat), dan Studio “OK!” (Indarsjah Tirtawidjaja
dkk). 24
Ilustrasi menggunakan teknik air brush dengan gaya hyperrealism dan Pop
Art menjadi trend waktu itu. Majalah Tempo dan Zaman adalah dua penerbitan
yang mengakomodasi teknik tersebut untuk sampulnya. Salah satu desainer yang
mempopulerkan aliran Pop Art dengan teknik air brush adalah Tony Tantra. Tony
Tantra menggunakan media kaos yang ia jual di Kuta Bali pada akhir 80-an
dengan label “Tony Illustration”. 25

PAMERAN “GRAFIS ’83”
Meskipun terjadi perkembangan sebagaimana dipaparkan di atas, situasi
dianggap belum beranjak jauh dari tahun 1980, ketika IPGI mencanangkan
pameran pertamanya. Apresiasi terhadap profesi ini dirasa masih minim sehingga
mendesak para pengurus IPGI untuk merencanakan sebuah pameran besar untuk
kedua kalinya. Bekerjasama dengan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), pameran
kedua pun digelar pada tanggal 22-31 Agustus 1983 di Galeri Utama TIM, Jakarta
dengan tajuk “Grafis ‘83”. 26
Selain karya sejenis dengan yang ditampilkan pada “Grafis’80”, pameran
“Grafis’83” juga menampilkan karya-karya logo, perangko, uang, sampul kaset,
buku, kartu undangan, serta berbagai kemasan mulai dari botol obat sampai
bungkus permen. Pameran ini melibatkan peserta dua kali lipat dari pameran
sebelumnya yaitu 90 desainer grafis Indonesia. Nama-nama baru yang turut serta
seperti: Agoes Joesoef, Bambang Bargowo, Bambang Trenggono, Budi Mandiro,
Chairin Hayati Joeda, Danardana, Dewi Nursalim, Dicksy Iskandar, Djoen
Saptohadi, Gendut Riyanto, Harianto I.R., Lesin, Mulyadi W., Piet Hari Santosa,

24

Garis Waktu Desain Grafis Indonesia 1659-1999. http://dgi.or.id/in-depth/history/garis-waktudesain-grafis-indonesia.html
25
Ibid.
26
Hanny Kardinata. 2007. Op.Cit.

15

Sita Subijakto, Tarmizi Firdaus, T. Ramadhan Bouqie, dan lain-lain. Sedangkan
karya yang dipamerkan berjumlah lebih dari 300 karya. 27

Ilustrasi Karya Tjahjono Abdi yang Menjadi Ikon Pameran “Grafis ‘83”

Meskipun dalam hal penyelenggaraan festival atau pameran desain grafis
Indonesia tertinggal dari negara-negara lain, Agus Dermawan menganggap bahwa
dalam hal kreativitas para desainer grafis Indonesia memiliki prospek yang bagus.
Ia mencontohkan karya-karya desain undangan:
Sebagai amsal bisa disimak belasan rancangan kartu undangan yang ditempel di panilpanil pameran itu. Kecerdikan kemasan, keindahan wujud, kelembutan dan keharmonisan
warna-warnanya sangat menarik perhatian. Rancangan-rancangan yang tersajikan
sungguh bisa memancing cita estetik perancang kartu yang selama ini bercokol di
perusahaan-perusahaan kartu konvensional. 28

Selanjutnya, IPGI terus menyelenggarakan beberapa pameran, bahkan
bekerja sama dengan Japan Graphic Designers Association (JAGDA). Pameran
Grafis Jepang-Indonesia yang pertama diadakan di Galeri Ancol, Pasar Seni
Ancol, Jakarta pada tanggal 9-15 Februari 1988. Sedangkan Pameran Grafis
Jepang-Indonesia yang kedua (tahun 1989), juga dikenal dengan “Grafis ’89,”
diselenggarakan berurutan di tiga kota: tanggal 23-30 Maret di Gedung Pameran
Seni Rupa Depdikbud (sekarang Galeri Nasional) Jakarta; tanggal 12-20 April di
27

Ibid.
Agus Dermawan T. 1983. “Pameran Rancangan Grafis IPGI: Bikin Hidup Berseri-seri” dalam
harian Kompas edisi 26 Agustus 1983.

28

16

Yayasan Pusat Kebudayaan, Bandung; dan tanggal 26 April-3 Mei di Kampus ISI
Yogyakarta di jalan Gampingan. 29

PENUTUP
Paparan di atas menyajikan sebuah potongan sejarah yang, walaupun tidak
sampai satu dekade, menunjukkan bahwa dunia desain grafis penuh dengan
dinamika. Walaupun masih ada peristiwa-peristiwa lain pada periode tersebut
yang tidak dimasukkan seperti pergantian nama menjadi Desain Komunikasi
Visual (DKV) atau kegiatan Lomba Poster dan Stiker UP3DN yang menyedot
banyak kontestan itu.
Harapannya dengan mempelajari sejarah dari apa yang kini kita kenal
dengan DKV (atau Diskomvis) ini, kita dapat mengukur apakah kita terus
menjalankan keilmuan yang progresif atau justru mengalami kemandegan dan
hanya sibuk menyesuaikan diri dengan cepatnya perubahan teknologi. Kembali
lagi kita kutip satu kalimat dari Lima Jurus Gebrakan GSRB, “kekayaan ide atau
gagasan lebih utama daripada ketrampilan "master" dalam menggarap elemenelemen bentuk.”

DAFTAR PUSTAKA
“ASRI Yogyakarta Ricuh” dalam harian Kompas edisi 18 Januari 1975.
Agus Dermawan T. 1980. “Pameran Rancangan Grafis Hanny, Gauri, Didit: Mau
Merubah Dunia” dalam harian Kompas edisi 25 Juni 1980.
Agus Dermawan T. 1983. “Pameran Rancangan Grafis IPGI: Bikin Hidup
Berseri-seri” dalam harian Kompas edisi 26 Agustus 1983.
Agus Dermawan T. Tanpa tahun. Yang Sempat Saya Catat, Sebelum dan Sesudah
Pagelaran Seni Rupa Baru 1977. http://inspirasi.co/polemik_yang_
melegenda/post/17/380/yang_sempat_saya_catat_sebelum_dan_sesudah_p
agelaran_seni_rupa_baru_1977_-_agus_darmawan_t
29

Hanny Kardinata. 2007. Op.Cit.

17

F.X.

Harsono.

2013.

Desember

Hitam,

GRSB

dan

Kontemporer.

http://arslitera.net/desember-hitam-gsrb-dan-kontemporer/
Garis Waktu Desain Grafis Indonesia 1659-1999. http://dgi.or.id/in-depth/
history/garis-waktu-desain-grafis-indonesia.html
Hanny Kardinata. 2007. Sejarah IPGI: Upaya Menumbuhkan Apresiasi.
http://dgi-indonesia.com/sejarah-ipgi-upaya-menumbuhkan-apresiasi/
Hendro Wiyanto. 2004. “Perginya “Pipa Penghubung”” dalam harian Kompas
edisi 4 Januari 2004.
J. Leonardo N. 1980. “IPGI – Lahirnya Sebuah Horison Baru yang Cerah” dalam
Brosur Pameran Grafis ‘80.
J. Leonardo N.. 1980. “Pameran Grafis ‘80: Karcis Parkir, Uang Kertas sampai
Karung Semen” dalam majalah Gadis edisi 30 Oktober-9 November 1980.
Lima Jurus Gebrakan Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia. http://dgiindonesia.com/lima-jurus-gebrakan-gerakan-seni-rupa-baru-indonesia/
Pernyataan Desember Hitam 1974. http://archive.ivaa-online.org/files/uploads/
texts/Pernyataan%20Desember%20Hitam% 201974.pdf
Sanento Yuliman. 1975. “Perspektif Baru,” pengantar pada Katalog Pameran Seni
Rupa Baru Indonesia '75.