HIPOTIK KAPAL LAUT DAN EKSEKUSINYA DI IN

MATA KULIAH HUKUM PENGANGKUTAN
KELAS REGULER

HIPOTIK KAPAL LAUT DAN
EKSEKUSINYA DI INDONESIA

Oleh:
Jovico Honanda
(1306410055)

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM SARJANA REGULER
DEPOK
2016

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI 2
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 3
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan Penulisan 5


5

BAB 2. PEMBAHASAN
2.1. Kapal Laut
6
2.2. Hipotik Kapal Laut
8
2.3. Eksekusi Hipotik Kapal Laut

12

BAB 3. KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan

14

DAFTAR PUSTAKA 16

BAB 1


1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Dalam menjalankan suatu perusahaaan, pemilik perusahaan mungkin tidak
mempunyai dana yang cukup untuk membiayai kegiatan usahanya. Pemilik
perusahaan juga tidak mungkin menggunakan seluruh harta pribadinya untuk
membiayai kegiatan usaha perusahaan karena memiliki resiko yang besar.
Sehubungan dengan hal itu banyak cara yang digunakan untuk mendapatkan
modal menjalankan usaha dengan cara yang lebih aman tanpa melibatkan harta
pribadi pemilik perusahaan. Salah satunya dengan cara meminjam sejumlah uang
dari bank.
Hal ini sering kali dilakukan perusahaan-perusahaan dalam mencari modal,
namun bank sebagai kreditur memiliki persyaratan-persyaratan yang harus
dipenuhi oleh para debiturnya yaitu jaminan dalam bentuk benda bergerak
maupun tidak bergerak. Biasanya nilai benda yang dijaminkan melebihi jumlah
kredit yang diberikan pada debitur. Nilai jaminan yang lebih besar dari pinjaman
agar apabila debitur lalai dalam melakukan pembayaran kredit, jaminan tersebut

dapat dicairkan oleh pihak bank.
Dalam Pasal 499 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dituliskan
mengenai pengertian benda yaitu tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak
milik.1 Benda dibagi dalam tiga macam menurut KUHPerdata yaitu: (1) benda
yang bertubuh dan tidak bertubuh, (2) benda bergerak dan tidak bergerak, (3)
benda yang dapat habis dan tidak dapat habis.
Berdasar penggolongan diatas akan dibahas lebih lanjut mengenai benda tidak
bergerak. Suatu benda dikatakan tidak bergerak karena sifatnya, contohnya tanah
dan segala sesuatu yang melekat diatasnya. Benda tidak bergerak karena tujuan
pemakaiannya, contohnya mesin alat-alat yang dipakai di pabrik. Kemudian benda
tidak bergerak karena memang demikian ditentukan dalam undang-undang,
contohnya kapal laut yang berukuran minimal 20 meter kubik.2
Pemberian jaminan dari debitur kepada bank selaku kreditur merupakan perjanjian
tambahan atau accessoir dari suatu perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit.
Keberadaan perjanjian jaminan tergantung pada perjanjian pokoknya, jika
perjanjian pokoknya hapus maka perjanjian jaminan hapus, namun bila debitur
wanprestasi maka kreditur berhak melelang barang jaminan dan mengambil hasil
lelang guna pelunasan utangnya.
1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 499.
2 Hartono Hadissoeprapto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan Dan Hukum Jaminan,

(Yogyakarta: Liberty, 1984), hlm. 20.

2

Terdapat banyak benda tidak bergerak yang dapat dijadikan jaminan guna
pelunasan kredit, namun dalam makalah ini akan dibahas secara khusus mengenai
kapal laut sebagai benda tidak bergerak. Berdasarkan Pasal 510 KUHPerdata,
kapal-kapal, perahu-perahu, gilingan-gilingan, dan tempat-tempat pemandian
yang dipasang di perahu atau yang berdiri, terlepas dari benda sejenis itu adalah
benda bergerak3, akan tetapi bila suatu kapal didaftarkan kapal tersebut berstatus
sebagai benda tidak bergerak.
Berdasarkan Pasal 314 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
kapal yang dapat didaftarkan dalam register kapal adalah kapal yang beratnya
paling sedikit dua puluh meter kubik isi kotor. 4 Kapal yang terdaftar diperlakukan
sebagai benda tidak bergerak dan lembaga yang digunakan adalah hipotik. Untuk
kapal yang tidak didaftarkan maka lembaga yang digunakan adalah gadai atau
fidusia.5 Biasanya kapal laut yang dijaminkan digunakan sebagai jaminan dari
sebuah perusahaan pelayaran yang membutuhkan sejumlah dana untuk
pembiayaan pembelian kapal dan pembiayaan perbaikan kapal.
Kapal laut yang sudah terdaftar dapat dijaminkan dengan hipotik untuk menjamin

pelunasan kredit dari pihak debitur. Oleh karena itu ketentuan mengenai hipotik
dalam Buku II KUHPerdata tepatnya Pasal 1162 hingga Pasal 1232 tentang
hipotik berlaku bagi jaminan hipotik atas kapal laut. Selain dalam KUHPerdata,
aturan mengenai hipotik kapal juga diatur dalam KUHD dan peraturan perundangundangan lain seperti Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (UU
Pelayaran) dan Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan (PP
Perkapalan).
Berdasarkan pemaparan diatas, dalam makalah ini akan dibahas mengenai
Hipotik Kapal Laut dan Eksekusinya di Indonesia. Pembahasan lebih lanjut
dapat dilihat dalam Bab selanjutnya.

1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang mendasari penulisan makalah ini antara lain:


Bagaimana pengaturan hipotik kapal laut di Indonesia?
3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 510.
4 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Pasal 314 ayat (1).
5 Mariam Darus Badrulzaman, Bab-Bab Tentang Hipotheek, (Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti, 1991), hlm. 86.


3



Bagaimana pengaturan eksekusi hipotik kapal laut di Indonesia?

1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini antara lain untuk:




Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Hukum Pengangkutan Fakultas
Hukum Universitas Indonesia.
Mengetahui pengaturan hipotik kapal laut di Indonesia.
Mengetahui pengaturan eksekusi hipotik kapal laut di Indonesia.

BAB 2
PEMBAHASAN


2.1. Kapal Laut

4

Pengertian kapal diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) memberikan
pengertian yang luas terhadap kapal, yaitu semua alat yang berlayar. Tepatnya
dalam pada Pasal 309 KUHD dituliskan bahwa kapal adalah semua perahu dengan
nama apapun dan dari macam apaun juga, kecuali ditentukan atau diperjanjikan
lain, maka kapal dianggap meliputi segala alat perlengkapannya. Alat
perlengkapan kapal adalah segala benda yang bukan bagian dari kapal itu sendiri,
namun diperuntukan untuk selamanya dipakai tetap dengan kapal itu.6
Dalam Pasal 1 angka 36 Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
(UU Pelayaran) juga mengatur mengenai definisi kapal, dimana dituliskan bahwa
kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis apapun yang digerakan
dengan tenaga mekanik, tenaga angin atau ditunda, termasuk kendaraan yang
berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung atau
bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.7
Mengenai alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah diatur

dalam penjelasan Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2002
tentang Perkapalan (PP Perkapalan) dimana dituliskan bahwa alat apung dan
bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah adalah alat apung dan bangunan
yang tidak mempunyai alat penggerak sendiri, serta ditempatkan di suatu lokasi
perairan tertentu dan tidak berpindah-pindah untuk waktu yang lama, misalnya
hotel terapung, tongkang akomodasi untuk menunjang kegiatan lepas pantai dan
tongkang menampung minyak, serta unit-unit pemboran lepas pantai berpindah.8
Ketentuan-ketentuan di atas memberikan pengertian bahwa kapal adalah
kendaraan air namun tujuannya tidak hanya terbatas untuk berlayar dan alat apung
yang tidak berpindah-pindah, kecuali dipindahkan walaupun tujuannya tetap pada
suatu tempat.
Menurut Soekardono, hukum positif di Indonesia menganut pengertian kapal
secara luas, yaitu kapal dengan ukuran tertentu yang dapat terapung baik dengan
kekuatan sendiri maupun digerakkan dengan tenaga lain. 9 Mengenai kapal laut,
ketentuannya dapat dilihat dalam Pasal 310 KUHD, dimana dituliskan bahwa
kapal laut adalah semua kapal yang dipakai untuk pelayaran di laut atau yang
diperuntukkan untuk itu.10
Mengacu pada pengertian diatas, Dr. R. Wiryono Prodjodikoro, S.H. menyatakan
bahwa terdapat dua unsur yaitu: (1) hal keadaan dipakai, dan (2) hal ditujukan
6 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Pasal 309.

7 Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Pasal 1 angka 36.
8 Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2008 tentang Perkapalan, Pasal 1 angka 2.
9 Soekardono, Hukum Perkapalan Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1969), hlm. 9.
10 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Pasal 310.

5

untuk dipakai. Suatu kapal meskipun setiap harinya dipakai untuk belayar di
sungai, digunakan sekali untuk di laut, maka semenjak itu berlaku istilah kapal
laut terhadapnya. Kemudian kapal laut juga dapat dilihat dari bentuknya, karena
menentukan adanya tujuan pelayaran di laut.11
Mengenai kapal laut Indonesia diatur dalam Pasal 311 KUHD dimana dituliskan
bahwa kapal Indonesia merupakan setiap kapal yang dianggap sebagai demikian
oleh undang-undang tentang surat-surat laut dan pas-pas kapal.12 Undang-Undang
yang dimaksud adalah UU Pelayaran yang dijelaskan lebih lanjut dalam PP
Perkapalan.
Mengenai status kapal laut, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) kapal laut merupakan benda bergerak, dalam Pasal 510
KUHPerdata dituliskan bahwa kapal-kapal, perahu-perahu, perahu-perahu
tambang, gilingan-gilingan dan tempat-tempat pemandian yang dipasang di

perahu atau yang berdiri terlepas dan benda-benda sejenis itu adalah benda
bergerak.13 Sementara itu dalam Pasal 314 ayat (1) KUHD dituliskan bahwa kapal
laut yang berukuran paling sedikit 20 meter kubik isi kotor dapat didaftarkan dan
akan ditentukan dalam suatu undang-undang tersendiri.14
Kata “dapat didaftarkan” dalam Pasal 314 ayat (1) KUHD dapat diartikan bahwa
tidak ada keharusan kapal yang berukuran paling sedikit 20 meter kubik isi kotor
untuk didaftarkan. Kapal yang tidak didaftarkan statusnya adalah benda bergerak
sehingga ketika diletakkan sebagai jaminan, lembaga jaminannya adalah gadai
atau fidusia.
Dapat ditarik kesimpulan dari KUHPerdata dan KUHD, kapal merupakan benda
bergerak bila berukuran di bawah 20 meter kubik, bila berukuran di atas 20 meter
kubik sebuah kapal dapat dinyatakan sebagai benda bergerak tak bergerak dan
dapat didaftarkan. Mengenai pendaftaran kapal dapat dilihat dalam KUHD, UU
Pelayaran, dan PP Perkapalan. Selain itu secara lebih rinci dapat dilihat dalam
peraturan-peraturan pelaksana. Dalam Pasal 314 ayat (3) KUHD pada intinya
dituliskan bahwa kapal laut yang terdaftar dapat dibebankan dengan hipotik.
2.2. Hipotik Kapal Laut
Sebelum membahas mengenai hipotik kapal laut, akan dibahas terlebih dahulu
mengenai hipotik pada umumnya. Secara etimologis hipotik berasal dari bahasa
Romawi yaitu hipoteca, dalam bahasa Belanda terjemahannya adalah


11 R. Wiryono Prodjodikoro, Hukum Laut Bagi Indonesia, (Bandung: Sumur Bandung,
1991), hlm. 69-70.
12 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Pasal 311.
13 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 510.
14 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Pasal 314 ayat (1).

6

onderzetting, dan dalam bahasa Indonesia berarti pembebanan.15 Hipotik
merupakan hak kebendaan yang memberikan jaminan. Hak kebendaan adalah
suatu hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda yang dapat
dipertahankan terhadap setiap orang.16 Sementara jaminan adalah sesuatu yang
diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan
memenuhi kewajibannya yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu
perikatan.17
Mengenai jaminan, KUHPerdata mengatur dua macam jaminan yaitu jaminan
perorangan dan jaminan kebendaan. Jaminan kebendaan ada yang bersifat umum
dan bersifat khusus. Jaminan yang bersifat khusus ada dua macam yaitu jaminan
yang timbul karena undang-undang dan jaminan yang timbul karena perjanjian.
Hipotik termasuk dalam jaminan kebendaan yang bersifat khusus yang timbul
karena perjanjian.
Mengenai hipotik diatur dalam Pasal 1162-1232 KUHPerdata, hipotik adalah
suatu hak kebendaan untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan
suatu perikatan. Hipotik merupakan hak kebendaan atas benda tetap tertentu milik
orang lain, yang secara khusus diperikatkan untuk memberikan kepada suatu
tagihan, hak yang didahulukan dalam mengambil pelunasan atas hasil eksekusi
barang tersebut.18
Hipotik merupakan hak kebendaan yang memiliki beberapa ciri antara lain
bersifat absolut, artinya hak tersebut dapat dipertahankan terhadap setiap orang
dan setiap orang wajib menghormati hak tersebut. Sifat ini memberikan
perlindungan yang kuat kepada pemegang hipotik. Hipotik timbul dari perjanjian
yang bersifat accessoir atau perjanjian tambahan atas perjanjian pokok. Apabila
perjanjian pokok hapus maka hipotik hapus pula.
Ketentuan hipotik dalam KUHPerdata saat ini hanya berlaku bagi objek jaminan
selain tanah dan bangunan yang ada diatasnya karena saat ini objek jaminan tanah
dan bangunan diatasnya diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan
Tanah. Kapal laut yang terdaftar dapat menjadi objek jaminan hipotik karena tidak
termasuk dalam kriteria diatas.
Dalam Pasal 314 ayat (3) KUHD dituliskan bahwa kapal laut yang dapat dibebani
jaminan hipotik adalah kapal-kapal yang telah terdaftar yaitu kapal yang

15 Mariam Darus Badrulzaman, op. cit., hlm. 15.
16 Hartono Hadissoeprapto, op. cit., hlm. 19.
17 Ibid., hlm. 50.
18 J. Satrio, Hukum Jaminan Hak-Hak Jaminan Kebendaan, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 1993), hlm. 213.

7

berukuran paling sedikit 20 meter kubik isi kotor.19 Kemudian telah dibahas
sebelumnya bahwa pada dasarnya menurut KUHPerdata kapal adalah benda
bergerak namun jika didaftarkan maka statusnya berubah menjadi benda tidak
bergerak dan apabila dijaminkan maka lembaga yang harus digunakan adalah
hipotik. KUHD sebagai lex specialis KUHPerdata, maka apabila KUHD tidak
mengatur secara khusus ketentuan hipotik mengacu pada KUHPerdata.
Selain KUHPerdata dan KUHD, UU Pelayaran dan PP Perkapalan juga mengatur
mengenai hipotik. Dalam Pasal 1 angka 12 UU Pelayaran diberikan definisi
mengenai hipotik kapal laut dimana dtuliskan bahwa hipotik kapal adalah hak
agunan atas kapal yang terdaftar untuk menjamin pelunasan utang tertentu yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap
kreditor lain.20
Dalam UU Pelayaran tersebut juga diatur lebih rinci mengenai hipotik kapal,
sebagaimana dituliskan dalam Pasal 60 dimana kapal yang telah didaftarkan
dalam Daftar Kapal Indonesia dapat dijadikan jaminan utang dengan pembebanan
hipotik atas kapal. Pembebanan hipotik atas kapal dilakukan dengan pembuatan
akta hipotik oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal di tempat
kapal didaftarkan dan dicatat dalam Daftar Induk Pendaftaran Kapal. Atas setiap
akta hipotik diterbitkan satu Grosse Akta Hipotik yang diberikan kepada penerima
hipotik. Grosse Akta Hipotik mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama
dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Atas Grosse Akta Hipotik yang hilang dapat diterbitkan Grosse Akta Pengganti
berdasarkan penetapan pengadilan. Kapal dapat dibebani lebih dari satu hipotik.
Dalam Pasal 61 kemudian dituliskan bahwa peringkat masing-masing hipotik
ditentukan sesuai dengan tanggal dan nomor urut akta hipotik. 21 Kemudian dalam
Pasal 62 dituliskan bahwa pengalihan hipotik dari penerima hipotik kepada
penerima hipotik yang lain dilakukan dengan membuat akta pengalihan hipotik
oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal di tempat kapal
didaftarkan dan dicatat dalam Daftar Induk Pendaftaran Kapal.22
Dalam PP Perkapalan diatur bahwa pembebanan hipotik atas kapal harus
dilengkapi dengan dokumen berupa: (1) grosse akta pendaftaran atau balik nama
dan (2) perjanjian kredit.23 Proses pembebanan hipotik atas kapal laut terbagi
dalam tiga fase yaitu: (1) fase pertama, yaitu perjanjian kredit dengan jaminan
hipotik, (2) fase kedua, yaitu perjanjian pembebanan hipotik, (3) fase ketiga, yaitu
19 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Pasal 314 ayat (3).
20 Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Pasal 1 angka 12.
21 Ibid., Pasal 61.
22 Ibid., Pasal 62.
23 Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2008 tentang Perkapalan, Pasal 33 ayat (2).

8

akta hipotik didaftarkan dalam buku daftar.24 Dengan lahirnya hak hipotik ini,
maka pemegang hipotik dapat melaksanakan haknya atas kapal di tangan siapapun
kapal itu berada.
Pada fase pertama pembebanan hipotik, yaitu perjanjian kredit dengan jaminan
hipotik, bank pemberi kredit bersama dengan calon penerima kredit membuat
perjanjian kredit di bawah tangan atau dalam bentuk akta notaris. Perjanjian kredit
ini disertai dengan janji untuk menyerahkan kapal sebagai jaminan hipotik. Jadi
hipotik yang dicantumkan dalam perjanjian ini merupakan perjanjian pendahuluan
dari penyerahan uang.
Pada fase kedua pembebanan hipotik, yaitu perjanjian pembebanan hipotik, diatur
dalam peraturan perundang-undangan bahwa hipotik hanya dapat diberikan
dengan suatu akta otentik, kecuali dalam hal yang dengan tegas ditunjuk oleh
undang-undang. Proses pembuatan perjanjian hipotik yang otentik dilakukan oleh
bank bersama dengan penerima kredit atau bank sendiri berdasarkan surat kuasa
memasang hipotik, menghadap pejabat pendaftar kapal dan meminta dibuatkan
akta pembebanan hipotik kapal.
Pada fase ketiga pembebanan hipotik, yaitu akta hipotik didaftarkan dalam buku
daftar. Hak pemegan hipotik lahir setelah pendaftaran selesai dilakukan. Dengan
pendaftaran tersebut maka tingkat-tingkat hipotik dapat ditentukan berdasakan
hari pembukuan. Dasar hukumnya adalah Pasal 1179 KUHPerdata, dimana
dituliskan bahwa pembukuan segala perikatan hipotik harus dilakukan dalam
register umum yang disediakan untuk itu, jika pembukuan tidak dilakukan maka
suatu hipotik tidak mempunyai suatu kekuatan apapun, bahkan terhadap orangorang berpiutang yang tidak mempunyai ikatan hipotik.25
Mengenai akibat hukum pendaftaran hipotik diatur dalam Pasal 1162 dan Pasal
1163 KUHPerdata, yaitu hipotik merupakan hak kebendaan yang melekat pada
benda tidak bergerak yang dijadikan objek jaminan hipotik di tangan siapapun
benda tersebut berada untuk mengambil pelunasan suatu perikatan. Hak
kebendaan tersebut tidak dapat dibagi-bagi dan membebani keseluruhan objek
jaminan. Hak kebendaan berupa jaminan hipotik bersifat absolut, dimana dapat
dipertahankan kepada siapapun. Hak ini ditegaskan dalam Pasal 315 huruf e
KUHD dimana dituliskan bahwa kapal yang terdaftar dan akan dilelang sita di
luar wilayah Indonesia, tidak dibebaskan dari hipotik.26
Akibat hukum pembebanan hipotik pada benda tak bergerak menyebabkan benda
tersebut tetap mempunyai nilai sebagai objek jaminan bagi pelunasan hutang
debitur kepada kreditur dengan tidak mempersoalkan siapa yang menguasai benda
24 Mariam Darus Badrulzaman, op. cit., hlm. 101-102.
25 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1179.
26 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Pasal 315 huruf e.

9

tersebut atau dikenal dengan asas droit de suite. Agar hak kebendaan tersebut
melekat pada obyek hipotik maka harus dipenuhi syarat pendaftaran, dengan
pendaftaran maka melekatlah hak kebendaan berupa jaminan hipotik kepada objek
hipotik.
Berdasarkan Pasal 1179 ayat (2) KUHPerdata dituliskan bahwa hipotik yang
belum didaftarkan tidak mempunyai kekuatan apapun dan terhadap para kreditur
tidak mempunyai ikatan hipotik.27 Hal yang menentukan seorang kreditur
mempunyai hak kebendaan atas objek hipotik kapal laut adalah hak tersebut lahir
sejak tanggal pendaftaran hipotik kapal laut di kantor Pejabat Pendaftaran dan
Balik Nama Kapal. Dengan pendaftaran lahirlah kekuatan mengikat perjanjian
hipotik dan kekuatan eksekutorial pada grosse akta perjanjian hipotik.
Sebagaimana juga telah disampaikan sebelumnya, penentuan tingkatan pemegang
hipotik didasarkan pada pemegang hipotik yang lebih dulu mendaftarkan. Dimana
yang lebih dulu mempunyai kedudukan untuk didahulukan atau dikenal dengan
asas droit de preference. Hal tersebut diatur dalam Pasal 315 KUHD dimana
dituliskan bahwa tingkatan hipotik ditentukan pada hari pembukuan, hipotik yang
dibukukan pada hari yang sama, mempunyai tingkatan yang sama pula.28
Hal yang sama juga disampaikan dalam KUHPerdata dan UU Pelayaran.
Pendaftaran hipotik ditujukan untuk memenuhi asas publisitas, yaitu agar dapat
diketahui oleh umum, dan asas spesialitas, yaitu hipotik hanya dapat dibebankan
atas benda yang ditunjuk secara khusus yang diikat sebagai jaminan.
Pembebanan hipotik terhadap kapal laut tak terlepas dari ketentuan internasional
karena kapal laut merupakan benda yang selalu bergerak, sehingga ada
kemungkinan suatu saat akan melintasi perairan negara lain. Oleh karena itu
berbagai negara bekerja sama untuk membentuk hukum yang diberlakukan
terhadap kapal laut termasuk mengenai masalah jaminan yang dibebankan
terhadap kapal laut.
Dalam Peraturan Presiden No. 44 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
Convention On Maritime Liens And Mortgage, 1993 dituliskan pada Pasal 1
bahwa mortgage atau hipotik serta pembebanan lainnya atas kapal yang telah
dilakukan sesuai dengan ketentuan undang-undang dari suatu negara peserta
dimana kapal tersebut telah didaftarkan dalam suatu daftar umum akan dianggap
sah dan dihormati serta dapat dilaksanakan di negara peserta lainnya.29
2.3. Eksekusi Hipotik Kapal Laut
27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1179 ayat (2).
28 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Pasal 315.
29 Peraturan Presiden No. 44 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convention
on Maritime Liens and Mortgages 1993, Pasal 1.

10

Sebelum membahas mengenai eksekusi hipotik kapal laut harus dibahas terlebih
dahulu mengenai eksekusi pada umumnya. Eksekusi merupakan tindakan yang
berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara. Eksekusi dapat diartikan
sebagai menjalankan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap secara paksa apabila pihak tidak mau menjalankannya secara sukarela.30
Bentuk eksekusi ada dua yaitu: (1) eksekusi riil, merupakan eksekusi berdasarkan
putusan pengadilan untuk melakukan suatu tindakan nyata yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dan berbentuk provisi atau akta perdamaian di pengadilan,
dan (2) eksekusi pembayaran sejumlah uang adalah eksekusi berdasarkan bentuk
akta yang berguna untuk pembayaran sejumlah uang yang oleh undang-undang
disamakan nilainya dengan putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap,
berupa grosse akta pengakuan hutang dan grosse akta hipotik.31
Eksekusi terhadap grosse akta hipotik dan grosse akta pengakuan hutang
merupakan eksekusi pengecualian yang diatur dalam Pasal 224 HIR dan Pasal 258
Rbg., yakni merupakan isi perjanjian yang dibuat para pihak yang merupakan
penyimpangan dan pengecualian eksekusi terhadap putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Hal tersebut karena perjanjian grosse akta
dipersamakan dengan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial.32
Mengenai kekuatan eksekutorial grosse akta, salinan pertama dari minuta akta
yang merupakan asli akta pendaftaran kapal, harus dimuat irah-irah “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan dibagian bawah harus
dicantumkan kata-kata “diberikan sebagai grosse pertama, dengan menyebutkan
nama dari oeang yang atas permintaannya grosse itu diberikan dan tanggal
pemberiannya.”
Adanya irah-irah diatas memberikan kekuatan eksekutorial, sehingga dapat
dieksekusi tanpa melalui proses pengadilan. Dengan demikian bila debitur
wanprestasi maka kreditor pemegang hipotik dapat meminta eksekusi baik secara
lisan maupun tulisan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang, hal ini
didasarkan pada Pasal 224 jo. Pasal 195 jo. Pasal 196 HIR. Selain hal yang telah
disampaikan diatas, terdapat dua alternatif lain untuk melakukan eksekusi yaitu
(1) melalui proses pengadilan, dan (2) melalui penjualan lelang oleh kreditur
berdasarkan kuasa sendiri.
Eksekusi melalui proses pengadilan dapat dilakukan dengan cara: (1) mengajukan
gugatan perdata pada Pengadilan Negeri yang sesuai dengan kompetensi relatif
30 Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Grosse Akta Dalam Pembuktian
Dan Eksekusi, (Jakarta: PT Rineka CIpta, 1993), hlm. 119.
31 Ibid., hlm. 120.
32 Ibid.

11

menurut Pasal 118 HIR, debitur menjadi pihak Tergugat, (2) melalui gugatan itu
akan dilakukan pemeriksaan persidangan hingga didapaykan suatu putusan, (3)
terhadp putusan PN dapat diajukan upaya hukum banding, kasasi, dan peninjauan
kembali. Eksekusi melalui proses ini memakan waktu yang lama sehingga tidak
efektif dan efisien, selain itu biayanya mahal.
Sementara itu eksekusi melalui penjualan lelang menurut Pasal 1178 ayat (2)
KUHPerdata, dibolehkan pemberian kuasa kepada kreditor untuk menjual sendiri
barang hipotik tanpa campur tangan pengadilan bila debitur wanprestasi yang
diperjanjikan dalam akta hipotik. Penjualannya harus dilakukan dimuka umum
dan melalui lelang dengan bantuan Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara.

BAB 3

12

KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan:
 Dalam KUHD dituliskan bahwa kapal laut yang berukuran paling sedikit
20 meter kubik isi kotor dapat didaftarkan dan akan ditentukan dalam
suatu undang-undang tersendiri. Kata “dapat didaftarkan” dalam KUHD
dapat diartikan bahwa tidak ada keharusan kapal yang berukuran paling
sedikit 20 meter kubik isi kotor untuk didaftarkan. Kapal yang tidak
didaftarkan statusnya adalah benda bergerak sehingga ketika diletakkan
sebagai jaminan, lembaga jaminannya adalah gadai atau fidusia.
 Pengertian kapal dalam KUHPerdata dan KUHD, kapal merupakan benda
bergerak bila berukuran di bawah 20 meter kubik, bila berukuran di atas
20 meter kubik sebuah kapal dapat dinyatakan benda tidak bergerak dan
dapat didaftarkan.
 Mengenai pendaftaran kapal dapat dilihat dalam KUHD, UU Pelayaran,
dan PP Perkapalan. Selain itu secara lebih rinci dapat dilihat dalam
peraturan-peraturan pelaksana. Dalam KUHD pada intinya dituliskan
bahwa kapal laut yang terdaftar dapat dibebankan dengan hipotik.
 Mengenai hipotik diatur dalam KUHPerdata, UU Pelayaran, dan PP
Perkapalan. Hipotik merupakan hak kebendaan atau jaminan atas benda
tidak bergerak untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan
suatu hutang dalam suatu perikatan.
 Hipotik merupakan hak kebendaan yang memiliki beberapa ciri antara lain
bersifat absolut, artinya hak tersebut dapat dipertahankan terhadap setiap
orang dan setiap orang wajib menghormati hak tersebut. Sifat ini
memberikan perlindungan yang kuat kepada pemegang hipotik. Hipotik
timbul dari perjanjian yang bersifat accessoir atau perjanjian tambahan
atas perjanjian pokok. Apabila perjanjian pokok hapus maka perjanjian
hipotik juga hapus.
 Dalam PP Perkapalan diatur bahwa pembebanan hipotik atas kapal harus
dilengkapi dengan dokumen berupa: (1) grosse akta pendaftaran atau balik
nama dan (2) perjanjian kredit. Proses pembebanan hipotik atas kapal laut
terbagi dalam tiga fase yaitu: (1) fase pertama, yaitu perjanjian kredit
dengan jaminan hipotik, (2) fase kedua, yaitu perjanjian pembebanan
hipotik, (3) fase ketiga, yaitu akta hipotik didaftarkan dalam buku daftar.
 Pembebanan hipotik pada kapal menyebabkan kapal mempunyai nilai
sebagai objek jaminan bagi pelunasan hutang debitur kepada kreditur
dengan tidak mempersoalkan siapa yang menguasai kapal tersebut atau
dikenal dengan asas droit de suite.

13







Penentuan tingkatan pemegang hipotik didasarkan pada pemegang hipotik
yang lebih dulu mendaftarkan. Dimana yang lebih dulu mempunyai
kedudukan untuk didahulukan atau dikenal dengan asas droit de
preference.
Pembebanan hipotik terhadap kapal laut tak terlepas dari ketentuan
internasional karena kapal laut merupakan benda yang selalu bergerak,
sehingga ada kemungkinan suatu saat akan melintasi perairan negara lain.
Oleh karena itu berbagai negara bekerja sama untuk membentuk hukum
yang diberlakukan terhadap kapal laut termasuk mengenai masalah
jaminan yang dibebankan terhadap kapal laut.
Bagi kreditur pemegang hipotik terdapat tiga alternatif prosedur eksekusi
yaitu melalu proses pengadilan, eksekusi langsung, atau penjualan lelang
oleh krefitur berdasarkan kuasa sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

14

BUKU
Badrulzaman, Mariam Darus. Bab-Bab Tentang Hipotik. Cet. 4. Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 1991.
Hardisoeprapto, Hartono. Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum
Jaminan.Cet.1. Yogyakarta: Liberty, 1994.
Prodjodkoro, Wirjono. Hukum Laut Bagi Indonesia. Cet. 9. Bandung: Sumur
Bandung, 1991.
Satrio, J. Hukum Jaminan, Hak-Hak Kebendaan. Cet. 3. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 1996.
Situmorang, Victor dan Cormentyna Sitanggang. Grosse Akta Dalam Pembuktian
Dan Eksekusi. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1993.
Soekardono, R. Hukum Perkapalan Indonesia. Cet. 1. Jakarta: Dian Rakyat, 1969.
PERATURAN
Het Herziene Indonesich Reglement. Reglement Indonesia Yang Diperbaharui.
Diterjemahkan oleh Ali Boediarto. Cet 1. Jakarta: Fakultas Hukum Univeritas
Trisakti, 2003.
Indonesia. Undang-Undang Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda
Yang Berkaitan Dengan Tanah. UU No. 4 Tahun 1996. LN No. 42 Tahun 1996.
TLN No. 3632.
_______. Undang-Undang Tentang Pelayaran. UU No. 17 Tahun 2008. LN No. 64 Tahun
2008. TLN No. 4849.
_______. Peraturan Pemerintah Tentang Perkapalan. PP No. 51 Tahun 2002. LN No. 95
Tahun 2002. TLN No. 4227.
_______. Keputusan Presiden Tentang Pengesahan International Convention On
Maritime Liens And Mortgage, 1993 (Konvensi Internasional Tentang Piutang
Maritim dan Mortgage, 1993). Keppres No. 44 Tahun 2005.
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R,
Tjitrosudibio. Cet. 27. Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2002.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R.
Tjitrosudibio. Cet. 25. Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1992.

15