PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM POLITIK DI K

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Saat ini perempuan sedang mengalami dilematika, di satu sisi perempuan
harus melakukan hak dan kewajibannya, tapi di sisi lain terkadang hak dan
kewajiban perempuan itu tidak dapat diperoleh secara semestinya. Perempuan
seringkali dibatasi aksesnya di kehidupan sehari-hari, walaupun yang kita lihat
pada umumnya perempuan dapat bekerja di sektor yang membutuhkan , tetapi ada
pengecualian dalam bidang –bidang tertentu.
Di beberapa daerah di Indonesia khususnya yang mayoritas masyarakatnya
masih tradisional peran perempuan sangat dibatasi, baik perannya di bidang
sosial, politik, ekonomi, hukum, maupun pendidikan. Hal ini terjadi akibat dari
doktrin patriarki yang dianut oleh masyarakat tersebut. Patriartki merupakan
sebuah doktrin dimana laki-laki memiliki kekuasaan paling tinggi diatas
perempuan, dalam doktrin patriarki ini laki-laki mendominasi perempuan dalam
berbagai sektor.
Madura merupakan salah satu daerah di Indonesia yang masih menerapkan
doktrin patriarki. Di Madura yang masyarakatnya dikenal religius memiliki
anggapan bahwa perempuan itu harus ada di belakang laki-laki, filosofinya ialah
bahwa laki-laki madura dengan slogan “harta, tahta, dan wanita” sangat

menghormati dan menghargai wanita sehingga mereka harus dilindungi dan selalu
ditempatkan di belakang mereka. Apabila kita analisis menggunakan perspektif
gender sebenarnya hal tersebut merupakan bukti bahwa wanita dibatasi akses nya
pada sektor tertentu. Seperti dalam bidang politik, wanita madura tidak boleh
menjadi pemimpin karena menurut orang madura, wanita harus dipimpin dan
berada di belakang laki-laki untuk mendapatkan perlindungan.
Kabupaten Bangkalan merupakan daerah di Pulau Madura yang terletak di
paling barat. Kabupaten Bangkalan berbatasan langsung dengan ibukota provinsi
Jawa Timur yaitu Surabaya. Pulau Madura dan Pulau Jawa hanya terpisah oleh
selat Madura. Hanya dengan melewati selat tersebut masyarakat Madura bisa

1

berhubungan langsung dengan kota-kota di Jawa Timur seperti Kota Gresik dan
Surabaya. Wilayah geografis Kabupaten Bangkalan yang berbatasan langsung
dengan kota Surabaya ini sedikit banyak membawa dampak positif bagi
kehidupan sosial-ekonomi masyarakat di wilayah tersebut. Perkembangan
teknologi di kabupaten Bangkalan semakin cepat serta diiringi oleh pemikiran
masyarakat Bangkalan telah mengalami transisi dari tradisional ke rasional
(modern). Di era modern ini masyarakat mulai mengerti tentang hukum dan

undang-undang. Dalam bidang politik, masyarakat kabupaten Bangkalan juga
telah melakukan sebuah revolusi dimana perempuan telah diberi kesempatan
untuk menjabat sebagai pemimpin daerah, kandidat partai politik, maupun
perempuan yang duduk di kursi legislatif. Hal ini dibuktikan dari adanya data dari
daftar calon legislatif (caleg) pada pemilu legislatif tahun 2009 di kabupeten
Bangkalan bahwa jumlah perempuan yang mendaftarkan diri dalam pemilu
legislatif sebesar 25 % dari seluruh jumlah kandidat. Jumlah tersebut sudah
mendekati persayaratan yang telah ditetapkan oleh pemerintah bahwa jumlah
perempuan yang harus duduk di kursi legislatif sekurang-kurangnya adalah 30% .
Dalam bidang politik, masyarakat Bangkalan cenderung memilih
pemimpin maupun kandidat dari partai politik yang berjenis kelamin laki-laki. Hal
ini dapat diketahui dari data pemilih tetap (DPT) pemilu Legislatif tahun 2014 di
Kabupaten Bangkalan bahwa jumlah pemilih perempuan hampir 10 % lebih tinggi
daripada pemilih laki-laki, seharusnya dengan adanya jumlah pemilih perempuan
yang banyak, kandidat perempuan bisa mendapatkan kursi di badan legislatif
tetapi pada kenyataannya dari data pemilu legislatif tahun 2014 terdapat 42
kandidat dalam 6 daerah pilihan (dapil) yang terpilih untuk menduduki kursi DPR
dan DPRD yang terdiri dari 7 partai. Sayangnya semua kandidat yang terpilih
dalam pemilu legislatif tahun 2014 di kabupaten Bangkalan berjenis kelamin lakilaki sehingga menimbulkan ketidaksetaraan gender.
1.2. Rumusan Masalah

Mengapa terdapat jumlah anggota legislatif perempuan yang rendah di Kabupaten
Bangkalan pada tahun 2014?

2

1.3. Tujuan
Untuk mengetahui penyebab jumlah anggota Legislatif perempuan yang rendah di
Kabupaten Bangkalan pada tahun 2014.
1.4.Manfaat


Manfaat Teoritik
-

Bagi mahasiswa dapat dijadikan sebagai wawasan tambahan ilmu
pengetahuan dan sebagai sebuah bahan referensi

-

Bagi pengajar dapat dijadikan sebagai bahan ajar dan analisis terhadap

jaringan sosial dalam sebuah komunitas usaha.



Manfaat Praktis
-

Bagi pemerintah dapat dijadikan bahan kajian bahwa perempuan juga
memiliki hak untuk mendapatkan akses dalam bidang apapun termasuk
politik

-

Bagi masyarakat, agar masyarakat mengetahui bahwa perempuan pada
kenyataannya memiliki skill yang bagus dan mampu untuk memimpin
sebuah daerah . Masyarakat harus mulai rasional terhadap perempuan ,
jadi tidak selalu menganggap bahwa perempuan adalah makhluk yang
lemah.

3


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori
2.1.1.Teori Interaksionisme Simbolik : George Herbert Mead
Teori yang kami gunakan untuk menganalisis permasalahan ini adalah
dengan menggunakan teori interaksionisme simbolik. Menurut George Herbert
Mead, teori interaksionisme simbolik memiliki prinsip-prinsip dasar sebagai
berikut:
1. Manusia, tidak seperti hewan-hewan yang lebih rendah, diberkahi dengan
kemampuan untuk berpikir.
2. Kemampuan untuk berpikir dibentuk oleh interaksi sosial
3. Dalam interaksi sosial orang mempelajari makna dan simbol-simbol yang
memungkinkan, mereka melaksanakan kemampuan manusia yang khas
untuk berpikir
4. Makna-makna dan simbol-simbol memungkinkan orang melaksanakan
tindakan dan interaksi manusia yang khas.
5. Orang yang mampu memodifikasi atau mengubah makna –makna dan
simbol-simbol yang mereka gunakan di dalam tindakan dan interaksi

berdasarkan penafsiran mereka atas situasi
6. Orang mampu membuat modifikasi-modifikasi dan perubahan-perubahan
itu, sebagian karena kemampuan mereka berinteraksi dengan dirinya
sendiri, yang memungkinkan mereka memeriksa rangkaian tindakan yang
mungkin,

menaksir

keuntungan-keuntungan

dan

kerugian-kerugian

relatifnya, dan kemudian memilih salah satu diantaranya.
7. Pola-pola tindakan dan interaksi yang terangkai membentuk kelompokkelompok dan masyarakat-masyarakat (Ritzer, 2012:626).
Dalam penelitian ini, permasalahan dianalisis menggunakan

teori


interaksionisme simbolik dimana masyarakat dalam melakukan suatu tindakan
memiliki makna tersembunyi dibaliknya. Partisipasi masyarakat yang rendah
terhadap pemilihan kandidat perempuan dalam pemilu legislatif di kabupaten
Bangkalan tahun 2014 tentu memiliki alasan dan penyebab. Melalui penelitian ini,
4

kami akan mencari alasan dan penyebab dari permasalahan diatas agar dapat
dicari solusi pemecahannya.
2.2. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah Skripsi oleh
Katherine Gratton dengan judul “Pendapat Perempuan Tentang Perempuan
Dalam Dunia Politik Pada Era Reformasi Dan Masa Depan Di Kota Malang”
Tahun 2011. Dalam penelitian tersebut, penulis menyatakan bahwa:
“Hanya sejak pada era reformasi keterlibatan perempuan dalam dunia politik
telah menjadi isu penting. Akibatnya, ada data dan informasi yang terbatas
tentang topik ini. Mudah-mudahan penelitian ini akan memberikan kontribusi
pada ceramah tentang respresentasi maupun partisipasi perempuan di bidang
politik Malang. Perempuan meliputi 50,45 persen dari populasi Malang tetapi
hanya 25 persen dari keterwakilan politik lokal. Berdasarkan teori universalisme
dan PBB, kesetaraan gender merupakan hak asasi manusia. Oleh karena itu,

dikhawatirkan kesetaraan gender tidak terjadi di parlemen Malang pada saat ini.
Perempuan tidak memiliki perwakilan yang sama daripada laki-laki dalam politik
dan karena itu tidak memiliki perwakilan yang sama dalam masyarakat.
Penelitian ini berfokus pada tiga bidang utama. Pertama, hambatan-hambatan
yang mencegah perempuan dari memasuki bidang politik di Malang. Juga,
hambatan-hambatan yang mencegah politisi perempuan dari memberikan
kontribusi yang setara (daripada politisi laki-laki) di DPRD Malang. Kedua,
kontribusi politisi dan calon perempuan dalam bidang politik di Malang. Juga,
alasan mengapa politisi perempuan penting. Akhirnya, masa depan bagi
perempuan dalam politik di Malang. Kegiatan saat ini, dan kegiatan masa depan
untuk mendorong perempuan muda memasuki dunia politik maupun
meningkatkan kekuatan dan kemampuan perempuan yang sudah politisi... Hasil
penelitian menunjukkan sejumlah faktor yang membatasi jumlah politisi
perempuan serta kemampuan politisi perempuan untuk memberikan kontribusi
yang bermakna bagi politik lokal di Malang. Faktor-faktor ini termasuk budaya
patriarki, budaya Jawa, money politics, kewajiban sehari-hari perempuan, metode
organisasi dan media. Latar belakang penelitian menunjukkan nepotisme dan
agama Islam dianggap hambatan. Namun, penelitian mengungkapkan terdapat
pendapat yang menyataan bahwa kedua faktor ini tidak dianggap hambatan bagi
perempuan dalam politik di Malang.


Penelitian yang dilakukan oleh Gratton (2011) berfokus kepada hambatanhambatan perempuan untuk berpartisipasi dalam politik. Hambatan-hambatan
yang dimaksud adalah adanya budaya patriarki, adat Jawa di Kota Malang yang
melarang perempuan untuk ikut berpartisipasi dalam bidang politik, selain itu
agama Islam juga turut menjadi hambatan. Sedangkan dalam penelitian kami lebih
berfokus pada alasan yang mendasari rendahnya jumlah anggota legisatif
perempuan tahun 2014 di kabupaten Bangkalan. Dalam penelitiannya, Kathrine

5

Gratton menggunakan teori patriarki dan teori feminisme untuk menganalisis
permasalahan dalam penelitian tersebut.
Penelitian kami tidak menggunakan teori feminisme untuk menganalisis
permasalahan melainkan menggunakan teori interaksionisme simbolik karena
fokus penelitian tidak pada hal yang menghambat partisipasi perempuan dalam
politik tetapi cenderung pada alasan masyarakat yang mendasari rendahnya
partisipasi terhadap pemilihan kandidat perempuan dalam pemilu. Kedua
penelitian ini memiliki persamaan yaitu sama-sama bersumber dari permasalahan
ketidaksetaraan gender yang terjadi pada perempuan.


BAB 3
METODE PENELITIAN

6

3.1.Metode Penelitian Kualitatif
Jenis penelitian yang kami lakukan adalah penelitian deskriptif dengan
menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif disebut
sebagai metode artistik karena penelitian lebih bersifat seni (kurang terpola) dan
disebut sebagai metode interpretive karena data hasil penelitian lebih berkenaan
dengan interpretasi terhadap data yang ditemukan di lapangan. Metode penelitian
kualitatif sering disebut metode penelitian naturalistik karena penelitiannya
dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting); disebut juga sebagai
metode etnographi, karena pada awalnya metode ini lebih banyak digunakan
untuk penelitian di bidang antropologi budaya; disebut sebagai metode kualitatif,
karena

data

yang


terkumpul

dan

analisisnya

lebih

bersifat

kualitatif

(Sugiyono,2014).
Penelitian dilakukan pada obyek yang alamiah. Obyek yang alamiah
adalah obyek yang berkembang apa adanya, tidak dimanipulasi oleh peneliti dan
kehadiran peneliti tidak mempengaruhi dinamika pada obyek tersebut. Dalam
penelitian kualitatif instrumennya adalah orang atau human instrument, yaitu
peneliti itu sendiri. Untuk dapat menjadi instrument, maka peneliti harus memiliki
bekal teori dan wawasan yang luas,sehingga mampu bertanya,menganalisis,
memotret,

dan

merekonstruksi

situasi

sosial

yang

diteliti,maka

teknik

pengumpulan data bersifat triangulasi, yaitu menggunakan berbagai teknik
pengumpulan data secara gabungan/simultan. Analisis data yang dilakukan
bersifat induktif berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan di lapangan dan
kemudian direkonstruksikan menjadi hipotesis atau teori. Metode kualitatif
digunakan

untuk

mendapatkan

data

yang

mendalam,

suatu

databyang

mengandung makna (Sugiyono, 2014).

3.2. Teknik Penentuan Informan
Teknik penentuan informan pada penelitian ini menggunakan purposive
sampling yaitu teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan

7

tertentu. Pertimbangan tertentu ini misalnya orang tersebut yang dianggap paling
tahu tentang apa yang kita harapkan atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga
akan memudahkan peneliti menjelajahi objek/situasi sosial yang diteliti
(Sugiyono,2014).
Informan pada penelitian kami diambil berdasarkan karakteristik sebagai
berikut:
1. Penduduk asli kabupaten Bangkalan
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Berjenis kelamin laki-laki dan perempuan
Berusia >17 tahun
Memenuhi persyaratan mengikuti Pemilu (Pemilihan Umum)
Sehat secara mental dan fisik
Mampu berbicara (tidak tunawicara)
Sudah pernah mengikuti Pemilu (khususnya pemilu Legislatif tahun

2014).
Berdasarkan karakteristik diatas, kami telah mendapatkan 2 orang
informan yang sesuai. Informan 1 adalah Ibu Mutia, alamat asli Kecamatan Tanah
Merah Kabupaten Bangkalan, beliau adalah ibu rumah tangga dengan usia 26
tahun. Informan 2 adalah Bapak Gufron, alamat asli Kecamatan Kamal Kabupaten
Bangkalan, beliau bekerja sebagai security di salah satu universitas negeri di
Madura,informan kedua berusia 25 tahun. Semua informan kami memberikan
informasi secara sukarela (tanpa paksaan) dan tanpa diberikan suap dalam bentuk
apapun.
3.3. Teknik pengumpulan data
Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan pada natural
setting (kondisi yang alamiah), sumber data primer, dan teknik pengumpulan data
yang lebih banyak pada observasi berperan serta (participant observation),
wawancara mendalam (in depth interview) dan dokumentasi. Observasi yang
dilakukan pada penelitian ini adalah observasi secara terus terang atau tersamar,
yaitu peneliti dalam mengumpulkan data menyatakan terus terang kepada sumber
data, bahwa ia sedang melakukan penelitian. Jadi mereka yang diteliti mengetahui
sejak awal sampai akhir tentang aktivitas peneliti. Tetapi dalam suatu saat peneliti
juga tidak terus terang atau tersamar dalam observasi, hal ini untuk menghindari
kalau suatu saat data yang dicari merupakan data yang masih dirahasiakan.

8

Kemungkinan kalau dilakukan dengan terus terang, maka peneliti tidak akan
diijinkan untuk melakukan observasi (Sugiyono, 2014). Kami menggunakan
pengumpulan data dengan tiga metode, yaitu observasai, kedua adalah wawancara
(tidak terstruktur) kemudian metode terakhir adalah pengumpulan data berupa
dokumentasi.
3.3.1. Pengumpulan data dengan observasi
Observasi yang kami lakukan tergolong dalam observasi terus terang,
observasi ini ialah observasi dengan cara mengatakan secara terus terang kepada
informan bahwa peneliti sedang melakukan penelitian sehingga informan
mengetahui apa saja data yang sekiranya dibutuhkan oleh peneliti. Selain itu,
observasi secara terus terang ini dilakukan untuk memperoleh data yang tidak
privat (bersifat umum), apabila peneliti ingin mendapatkan data yang lebih
mendalam maka perlu menggunakan observasi secara tersamar. Observasi dengan
cara tersamar berarti peneliti harus merahasiakan maksud dan tujuannya agar
tidak diketahui oleh informan bahwa peneliti sedang melakukan penelitian. Hal ini
dilakukan agar informan tidak obyektif sehingga bisa memberikan data yang
mendalam.
3.3.2. Pengumpulan data dengan wawancara(interview)
Dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara tak terstruktur
(unstructured interview), yaitu wawancara yang bebas dimana peneliti tidak
menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan
lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya
berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan (Sugiyono, 2014).
Dengan menggunakan wawancara tidak terstruktur, informan dan peneliti
akan merasa lebih akrab sehingga peneliti mudah dalam menggali informasi dari
informan. Wawancara dengan teknik ini bersifat tidak resmi sehingga peneliti dan
informan bisa bercakap-cakap dengan bahasa yang tidak resmi (bahasa daerah).
Dengan teknik ini, informan tidak akan merasa curiga dan tidak akan merasa
bahwa dirinya adalah obyek penelitian.
3.3.3. Pengumpulan data dengan dokumentasi
9

Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa
berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang.
Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan (life
histories), ceritera, biografi, peraturan, kebijakan. Dokumen yang berbentuk
gambar misalnya foto, gambar hidup, sketsa, dan lain-lain. Hasil penelitian dari
observasi atau wawancara, akan lebih kredibel/ dapat dipercaya kalau didukung
oleh sejarah pribadi kehidupan di masa kecil, di sekolah, di tempat kerja, di
masyarakat, dan autobiografi. Hasil penelitian juga akan semakin kredibel bila
didukung oleh foto-foto atau karya akademik dan seni yang telah ada (Sugiyono,
2014).
3.4. Teknik analisis data
Analisis data kualitatif adalah bersifat induktif, yaitu suatu analisis
berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan menjadi hipotesis.
Berdasarkan hipotesis yang dirumuskan berdasarkan data tersebut, selanjutnya
dicarikan data lagi secara berulang-ulang sehingga selanjutnya dapat disimpulkan
apakah hipotesis itu bisa diterima atau ditolak berdasarkan data yang terkumpul.
Bila berdasarkan data yang dapat dikumpulkan secara berulang-ulang dengan
teknik triangulasi, ternyata hipotesis diterima,maka hipotesis tersebut berkembang
menjadi teori (Sugiyono, 2014).
Pada penelitian kami menggunakan teknik analisis kualitatif dimana data
dikumpulkan secara berulang-ulang sampai hipotesis diterima. Teknik keabsahan
data menggunakan teknik triangulasi data.
BAB 4
PEMBAHASAN

4.1. Politik Perempuan di Kabupaten Bangkalan
4.1.1. Struktur Politik
Dalam struktur legislatif, perempuan berpartipasi. Kerangka politik
Indonesia adalah republik demokratis yang terdiri dari Majelis Permusyawaratan

10

Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah
(DPD). Di tingkat Provinsi, kabupaten dan kota terdapat legislatif DPRD yang
mengelola isu-isu Daerah (DPRD Provinsi Jawa Timur, 2010). Struktur politik
daerah secara sederhana diuraikan pada gambar 1dan perempuan di kabupaten
Bagkalan beroperasi di struktur administratif ini. Pada tingkat desa Rukun Warga
(RW) dan Rukun Tetangga (RT) terdapat pengolahan kebutuhan dan rencana
keluarga desa (Gratton, 2011). Struktur politik di Kabupaten Bangkalan diuraikan
pada gambar 1.

Gambar 1. Struktur Politik Daerah

4.1.2. Keterlibatan Perempuan dalam Dunia Politik
Secara keseluruhan sejarah perempuan dalam politik di Indonesia
memiliki peran yang terbatas di Parlemen. Pada tahun 1955 pemilihan umum
pertama kali diselenggarakan di Indonesia. Perempuan mencapai 6,5 % dari
anggota parlemen (Parawansa dalam Gratton, 2015:11). Sejak pemilu pertama
keterwakilan perempuan dalam dunia politik telah pasang-surut, sebagaimana
diuraikan gambar 2. Para perempuan dalam politik memiliki peran aktif dalam
masyarakat dan politik , dibantu oleh kerja dan advokasi organisasi seperti

11

organisasi Gerwani (1945-1965). Peran aktif kaum perempuan dalam politik dan
masyarakat berakhir pada masa orde baru. Soeharto mengambil alih kekuasaan
pada tahun 1965, dan selama 32 tahun pemerintahannya perempuan dibungkam
dan dibatasi di Ruang Privat (Wieringa dalam Gratton, 2011).

Gambar 2. Prosentase Perempuan dan Laki-Laki dalam Parlemen 1950-2009
(Cattleya dalam Gattron, 2011)
Hal ini berubah pada tahun 1999 sehingga perempuan telah mampu
memasuki dunia politik lagi. Pemilu pertama era reformasi pada 1999, perempuan
mencapai 8,8 persen di parlemen nasional sedikit meningkat pada tahun 1955
(Parawansa dalam Gattron, 2011:12).
4.1.3.Peran Perempuan dalam Politik di Kabupaten Bangkalan
Dalam ranah politik di Kabupaten Bangkalan, partisipasi perempuan
sangat rendah dibanding dengan laki-laki. Lagipula, keterlibatan maupun
pengaruh perempuan dalam politik terbatas. Ketika terlibat dalam dunia politik
terdapat tendency for women to hold post that are traditionally seen as ‘soft’
(Parawansa dalam Gratton, 2011). Hal ini terbukti pada tabel 1 dimana presentase
tertinggi perempuan ditemukan dalam bidang-bidang yang lembut seperti
pemuda, agama, dan komisi seni. Selain itu, dibandingkan laki-laki perempuan
kurang mendapatkan dan menempati posisi tinggi di parlemen. Saat ini terjadi di
DPRD Kabupaten Bangkalan karena pada pemilu legislatif terakhir yaitu tahun
2014 sebanyak 42 anggota yang terpilih semuanya berjenis kelamin laki-laki.

12

Tabel 1. Komisi Legislatif Indonesia berdasarkan Gender 2005
(Parawansa dalam Gratton, 2011)
4.1.4. Pentingnya Perempuan Berpolitik
Rendahnya keterwakilan perempuan di Bidang politik menghasilkan
implikasi lebih luas. Kehadiran perempuan dalam jabatan politik memiliki
kepentingan simbolis.
“Penilaian itu meningkatkan pandangan perempuan dan laki-laki terhadap
kapasitas, aspirasi dan harga diri perempuan. Selain itu politisi perempuan
berfokus pada isu-isu yang berbeda daripada politisi laki-laki, misalnya isu-isu
KDRT maupun hak reproduksi” (Gratton, 2011).

Pengaruh utama perempuan adalah mencapai increasing effective
implementation of various government programs and schemes. Politisi perempuan
penting agar mampu memberlakukan isu-isu perempuan dan mendorong lebih
banyak perempuan memasuki bidang politik di Kabupaten Bangkalan.

13

4.2. Pendapat Masyarakat Bangkalan terhadap Kandidat Perempuan dalam Pemilu
Legislatif 2014 Kabupaten Bangkalan
No

Indikator

Informan 1

.
1.

Partisipasi dalam pemilu legislatif Informan

Informan

tahun

mengatakan

2014

di

Informan 2

kabupaten menyatakan

Bangkalan

2

bahwa pada tahun bahwa
2014

ikut

dalam

ia

serta mengikuti pemilu
pemilu legislatif

tahun

legislatif 2014 di 2014 di kabupaten
Kabupaten
2.

Bangkalan.

Bangkalan
Pilihan kandidat pada pemilu Informan memilih Informan memilih
legisalatif

tahun

2014

kabupaten Bangkalan

di kandidat laki-laki pasangan
pada

calon

pemilu legislatif laki-laki

legislatif 2014 di
kabupaten
3.

Bangkalan
Alasan memilih kandidat laki- Alasan informan Alasan
laki/perempuan

informan

memilih kandidat memilih pasangan
laki-laki

adalah caleg

laki-laki

karena

karena

menurutnya

menurutnya caleg

masyarakat

di laki-laki bisa tegas

daerahnya semua dan

bisa

memilih kandidat memimpin
laki-laki jadi ia daerahnya dengan
merasa
memilih

harus baik.
pilihan

yang sama dengan
4.

Tanggapan

pada

perempuan dalam pemilu

orang lain.
kandidat Informan
menjawab

14

Informan
tidak memilih

tidak
caleg

tahu,

artinya perempuan karena

informan

apatis menurutnya

terhadap

perempuan

perempuan

yang memiliki

berpolitik

sikap

yang tidak tegas
apalagi

dalam

memimpin

suatu

daerah

tetapi

tidak

semua

perempuan seperti
itu,

tergantung

pada

skill

dan

kemampuan
5.

Tanggapan tentang Money Politic Informan

seseorang.
Selama mengikuti

yang dilakukan oleh kandidat mengatakan

pemilu

dalam Pemilu Legislatif

bahwa

informan

selama tidak pernah diberi

pemilu di daerah uang sogokan dari
Bangkalan ia tidak kader

partai

pernah menerima tertentu. Menurut
uang dari kader informan, money
kandidat

pemilu. politic sebenarnya

Tetapi

ia tidak ada, kecuali

berpendapat

uang

bahwa mungkin di diberikan
daerah

lain

Kabupaten

di kader
tertentu

Bangkalan banyak digunakan
terjadi
politic.

Tanggapan tentang perempuan -

15

oleh
partai
hanya
untuk

money kepentingan
umum
perbaikan

6.

yang

seperti
jalan

aspal di desa-desa.
Informan setuju

yang berhasil menjadi pemimpin

apabila suatu saat
pemimpin

di

Kabupatennya
seorang
perempuan seperti
walikota Surabaya
, Ibu Tri Risma
Harini.

Karena

beliau sudah jelas
terlihat

dedikasi

nya

terhadap

masyarakat.
Tabel 2. Pemetaan Hasil Wawancara Informan
Partisipasi politik perempuan di kabupaten Bangkalan masih dianggap
sebagai hal yang awam. Hal ini dapat dilihat dari pandangan masyarakat yang
mengatakan bahwa perempuan tidak cocok untuk duduk di kursi legislatif apalagi
menjadi pemimpin di kabupaten Bangkalan. Hal ini sebagai pengaruh dari budaya
patriarki yang menganggap bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah.
Masyarakat Bangkalan pada umumnya masih menganggap bahwa perempuan
tidak memiliki skill dan kemampuan dalam hal berpolitik, seperti yang dikatakan
oleh informan 2 setelah peneliti bertanya alasan informan tidak memilih caleg
perempuan, informan menjawab:
“enggak, enggak. Ya kurang tegas gitu” (Wawancara Bapak Gufron. 2016).

Menurut informan, perempuan kurang tegas apabila menjadi seorang pemimpin,
karena belum melihat secara pasti dedikasi caleg perempuan terhadap masyarakat
dan daerahnya.
Banyak isu-isu yang dihadapi oleh perempuan di Indonesia didasarkan
pada budaya patriarki. Ini menyebabkan ketidaksetaraan gender di masyarakat
yang merupakan social system in which men dispropotionately occupy positions
of power and authority. Dalam sistem sosial terwujud adanya dikotomi publik dan

16

privat yang contribute to maintaining and reproducing gender inequality . Di
Indonesia budaya secara umum merupakan patriarkal dan mengakibatkan
marginalisasi perempuan karena ini, relegates women as mothers and house
workers to the home and psycologically denies them full personhood, citizenship
and humans rights (Gratoon, 2011). Mayoritas masyarakat di Kabupaten
Bangkalan memilih caleg laki-laki pada pemilu legislatif tahun 2014. Laki-laki
dalam budaya patriarki dianggap memiliki kekuasaan yang tinggi diatas
perempuan. Laki-laki juga dianggap memiliki skill dan keterampilan yang baik di
bidang apapun.
Asumsi dasar pemikiran Mead dalam interaksionisme simbolik salah
satunya adalah:
“Orang yang mampu memodifikasi atau mengubah makna –makna dan simbolsimbol yang mereka gunakan di dalam tindakan dan interaksi berdasarkan
penafsiran mereka atas situasi” (Ritzer, 2012).

Apabila

pemikiran

mead

diatas

digunakan

untuk

menganalisis

permasalahan rendahnya jumlah anggota legislatif perempuan yang terpilih dalam
pemilu tahun 2014 di Kabupaten Bangkalan, dapat ditarik hasil sebagai berikut.
Mead mengatakan bahwa orang memiliki kemampuan untuk mengubah simbol
dan makna yang digunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan penafsiran
mereka atas situasi. Dalam permasalahan ini, beberapa informan yang diberikan
pertanyaan tentang pendapatnya mengenai politik perempuan, sebagian menjawab
bahwa mereka tidak setuju terhadap perempuan yang ikut berpartisipasi dalam
bidang politik. Hal ini berdasarkan pada pengalaman mereka bahwa mereka
berfikir perempuan adalah orang yang tidak tegas, sehingga menurut mereka
perempuan tidak cocok apabila dilantik sebagai pemimpin. Selain itu, melihat dari
keahlian yang kebanyakan digunakan pada bidang yang soft, seperti bidang
perkantoran, keuangan, agama, dan lain-lain maka masyarakat berfikir bahwa
memang perempuan tidak cocok berada dalam ingkup pekerjaan yang
memerlukan ketegasan seperti memimpin suatu daerah. Seperti yang dikatakan
Gratton (2011) dalam tulisannya “tendency for women to hold post that are
traditionally seen as ‘soft’” yaitu selalu berada dalam kegiatan yang
membutuhkan kelembutan.

17

Tindakan yang diambil oleh masyarakat berdasarkan penafsian mereka
terhadap perempuan dalam politik adalah dengan tidak memilih kandidat
perempuan dalam pemilu legislatif tahun 2014 di kabupaten Bangkalan. Padahal
seorang informan yang kami beri pertanyaan tentang pendapatnya mengenai
pemimpin wanita yang tegas dan dedikasinya kepada masyarakat terbukti ketika
dia masih memimpin, maka informan kami menjawab :
P: kalau seumpama kayak nanti kandidatnya itu apa kayak bu tri risma , teges
gitu, bapak mau milih?
I: iya (Wawancara bapak Gufron, 2016).

Masyarakat tentu akan menjawab “iya” atau “mau” apabila diberi
pertanyaan seperti dalam penggalan wawancara diatas, hal ini terjadi karena
masyarakat mampu mengubah makna bahwa “perempuan berpolitik yang tidak
tegas” akan menjadi “tegas” apabila masyarakat telah melihat sendiri dedikasi
perempuan tersebut di masyarakat. Jadi masyarakat akan memilih seorang
kandidat perempuan dalam pemilu apabila perempuan tersebut telah memberikan
bukti nyata kepedulian seorang calon pemimpin daerah kepada calon warganya,
bukan hanya janji-janji semu seperti dalam kampanye-kampanye partai. “Tegas”
menurut masyarakat bukan hanya terdapat dalam sikap saja, tetapi juga tegas
dalam mengambil jalan keluar dari berbagai permasalahan di masyarakat
contohnya adalah alokasi anggaran perbaikan jalan dengan tepat dan cepat sesuai
dengan kebutuhan masyarakat, seperti yang dikatakan oleh informan kami:
P: gimana? Maksudnya pak?
I: ya apa dbikinin jalan, Kan jalannya nggak enak kayak becek gitu, dikasih itu
biar bagus , paving gitu (Wawancara bapak Gufron, 2016).

Dari hal diatas dapat kita tarik beberapa kesimpulan, yang pertama adalah
mengenai alasan masyarakat kabupaten Bangkalan tidak memilih kandidiat
perempuan dalam pemilu legislatif tahun 2014. Berdasarkan penelitian yang kami
lakukan, masyarakat memiliki alasan untuk tidak memilih kandidat perempuan
dalam pemilu. Perempuan dianggap tidak tegas, karena mereka sering dikaitkan
dengan pekerjaan yang bersifa lembut (soft), menurut masyarakat Bangkalan,
seorang kandidat perempuan akan disukai dan dipilih dalam pemilu apabila dia

18

telah memiliki dedikasi terhadap masyarakat Bangkalan. Setidaknya, masyarakat
melihat dari hasil “kerja nyata” calon kandidat seorang pemimpin sebelum mereka
menentukan sebuah pilihan.
Ketidaksetaraan gender dalam hal politik di kabupaten Bangkalan ini
menurut kami tidak hanya karena partisipasi politik masyarakat yang kurang,
tetapi juga kurangnya akses yang diberikan kepada perempuan di kabupaten
bangkalan dalam bidang politik. Akses yang terbatas tersebut terjadi karena
pemerintah sebagai aparatur politik negara tidak memerlakukan peraturan secara
baik dan benar. Dalam Undang-Undang HAM Nomor 39 Tahun 1999 tertulis
bahwa perempuan memiliki hak yang sama dalam bidang politik.Kemudian
terkait dengan keikutsertaan perempuan dalam lembaga legislatif, dalam pasal 65
ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia nomor 12 Tahun 2003 Tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR,DPD, dan DPRD bahwa setiap partai politik
peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota

untuk

setiap

daerah

pemilihan

dengan

memperhatikan

keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (Nisa, 2012).
Tetapi pada kenyataannya, di Kabupaten Bangkalan pada pemilu tahun
2014 dari 7 partai dalam pencalonan anggota legislatif pemilu 2014 dari 6 daerah
pilihan, hasilnya adalah 42 orang anggota DPR yang terpilih semua berjenis
kelamin laki-laki. Data dipaparkan dalam tabel berikut:

19

20

Tabel 3. Daftar Anggota DPRD Kabupaten Bangkalan Tahun 2014
(KPU Kabupaten Bangkalan)

21

BAB 5
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Ketidaksetaraan gender yang terjadi di Kabupaten Bangkalan salah
satunya dapat diketahui dari permasalahan jumlah perempuan dalam lembaga
legislatif tahun 2014 di kabupaten Bangkalan yang rendah. Hal ni dapat dilihat
dari hasil penelitian kami yang menunjukkan bahwa masyarakat tidak setuju
terhadap perempuan yang ikut berpartisipasi dalam bidang politik. Alasannya
adalah perempuan dianggap tidak tegas, pekerjaan dan skill nya seringkali
dipergunakan di bidang pekerjaan yang tidak terlalu membutuhkan ketegasan.
Perempuan di kabupaten Bangkalan yang memang ingin dipilih oleh masyarakat
ialah perempuan yang sudah memiliki hasil “kerja nyata” yang diberikan kepada
masyarakat sehingga masyarakat akan percaya bahwa ternyata perempuan mampu
menjadi seorang pemimpin. Selain itu, peran pemerintah yang kurang dalam
memberikan akses kepada perempuan untuk berpolitik juga menjadi penyebab
perempuan di Kabupaten Bangkalan tidak memiliki antusisasme yang tinggi
untuk ikut dalam percaturan politik. Kurangnya kesadaran dari berbagai pilhak
baik masyarakat maupun pemerintah (stake holder) menjadi dasar utama yang
menyebabkan perempuan tidak memiliki akses dalam bidang politk.
5.2. Saran
Hasil penelitian dari permaslahan yang diangkat oleh peneliti diambil
kesimpulan bahwa terbatasnya akses perempuan dalam bidang politik
menyebabkan sebuah permasalahan baru yaitu ketidaksetaraan gender di
Kabupaten Bangkalan. Sebagai stakeholder, pemerintah beserta jajarannya
seharusnya memberikan kemudahan bagi perempuan agar mereka bisa ikut
bepartisipasi dalam bidang politik khususnya mencalonkan diri sebagai anggota
DPRD di kabupaten Bangkalan. Kesadaran masyarakat terhadap peran perempuan
yang besar dalam bidang politik harus dipupuk dengan pengetahuan sehingga

22

perempuan bisa menduduki kursi kepemimpinan /DPRD di Kabupaten
Bangkalan. Pengetahuan masyarakat mengenai peran perempuan yang positif di
bidang politik dapat dilakukan dengan memberikan sosialisasi terkait perempuan
yang telah berhasil menjadi pemimpin daerah, tidak hanya keberhasilan
perempuan tetapi juga mensosialisasikan program-program apa saja yang berhasil
terlaksana

dibawah

pimpinan

seorang

perempuan,

kepemimpinan oleh Walikota Surabaya Ibu Tri Rismaharini.

23

contohnya

adalah

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto,

Suharismi.

2010.

Prosedur

Praktik: Jakarta. Rineka

Cipta.

Penelitian:

Suatu

Pendekatan

Gratton, Katherine. 2011. Skripsi: Pendapat Perempuan Tentang Perempuan
Dalam Dunia Politik Pada Era Reformasi Dan Masa Depan Di Kota
Malang. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang
Lash, Scott. 2004. Sosiologi Postmodernisme. Yogyakarta. Kanisius.
Mulyana, Deddy. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung. Remaja
Rosdakarya.
Nisa, Elviana Fadhilatu. 2012. Skripsi: Partisipasi Politik Perempuan
Pemilu

Di

Kabupaten

Sragen.

Surakarta:

Dalam

Universitas

Muhammadiyah Surakarta.
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi : Dari Sosiologi Klasik Sampai
Perkembangan Terakhir

Postmodern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Soekanto, Soerjono. 2007. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. PT.

RajaGrafindo

Persada. Jakarta.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung.
Alfabeta.
Wirawan, Ida Bagus. 2012. Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma. Jakarta.
Prenadamedia Group.

24

LAMPIRAN
Lampiran 1: Transkip Wawancara
Informan 1:
Nama

: Mutia

Umur

: 26 Tahun

Alamat

: Tanah Merah, Bangkalan

Pekerjaan

: Ibu Rumah tangga

P:Ibuk nama lengkap e siapa?
I:apa?
P:Nama Lengkap
I: Nama lengkap asli?
P:Heeh, asli
I: Mutia
P: Umur?
I: umur?kelairan 90
P:kelairan 90? Hmmm
I: berarti 26
P:Oh berarti 26, alamatnya asli?aslinya mana rumahnya ibuk?Bangkalan?
I: Tanah Merah
P: tanah merah kan? iya tanah merah Bangkalan ?

25

P:Kemaren pas tahun 2014 kan pemilihan presiden buk ya, itu kan cowok semua
ya kan ada yang DPRD juga, itu ada cewek e. Pas pilihan DPRD itu ibuk milih
cowok apa cewek?
I: milih apa?
P:Yang pak Ra Fuad itu... milih cowok?
I: (Mengangguk)
P: Kok milih cowok kenapa?
I: kenapa ya? Ya ngikutin semua orang
P: gitu?
I: heeh
P: Kemarin dikasih uang nggak?
I: (menggeleng)
P: nggak?nggak dapet ? biasanya di rumahku dapet , 20, 50,
I: nggak tau kalo yang ini, yang di rumah, yang lain gitu loh
P: yang daerah lain?
I: heeh
P: tapi kalo yang tanah merah nggak dikasih? Hmm. Milih kandidat cowok ya.
Siapa namanya buk tadi? yang dipilih namanya siapa?
I: lupa
Informan 2:
Nama

: Gufron

Umur

: 25 Tahun

Alamat

: Gili Anyar, Kamal, Bangkalan

Pekerjaan

: Security (satpam)

P:Bapak namanya siapa?
I:Gufron
P:Oh iya, pak Gufron, hehe. Alamatnya pak?
I:Alamat Gili Anyar, Kamal
P:Gili anyar Kamal..hmm. Usia?
I:Usia dua puluh lima

26

P:Kemarin yang tahun 2014 ikut ta pak pilihan DPRD?
I:ikut
P:Ikut. Bapak nyoblos cowok apa cewek kadernya?
I:cowok
P: masih inget yang di coblos siapa? Pasangan siapa?
I:Kurang tau, lupa
P: itu kan banyak ya pak kandidatnya , ada yang pasangan ceweknya juga . Lha
itu bapak kenapa nggak milih yang kandidat cewek?kan ada ceweknya juga.
I: Itu dari kemauan hati sendiri
P: Gimana itu maksudnya pak?
I: Maksudnya jadi kan kita ini takut, takut gimana gitu
P: Takut?kalo milih perempuan nanti takut kalo yang cowok kalah itu
I: enggak, enggak. Ya kurang tegas gitu
P: Kalo cewek kurang tegas?Tapi teges juga loh pak kayak siapa itu? walikota bu
Tri Rismaharini itu juga tegas
I: ya makanya tergantung orangnya
P: Tergantung orangnya ya pak? Terus kalo nanti ada pemilihan pemilu lagi ya
bapak lebih milih laki-laki? Kandidat laki-laki?
I: Endak lah, tergantung dari yang menduduki
P: kalau seumpama kayak nanti kandidatnya itu apa kayak bu tri risma , teges
gitu, bapak mau milih?
I: iya
P: itu bapak lihatnya dia tegas itu darimana emangnya?
I: Ya dari sikapnya orangnya sih sama masyarakat gitu
P: gitu pak ya?kemarin pas pilihan dikasih uang pak?
I: endak
P: Enggak?.
I: enggak
P: Yang pemilu DPRD nggak dikasih uang?Yang Pemilu Presiden?
I: Pemilu presiden enggak
P: enggak juga?Pernah dikasih tapi pas ada pemilu?
I: Nggak ada, nggak pernah, nggak ada

27

P: Masa disini nggak ada pak?
I: nggak ada, kecuali buat jalan
P: gimana? Maksudnya pak?
I:ya apa dbikinin jalan, Kan jalannya nggak enak kayak becek gitu, dikasih itu
biar bagus , paving gitu
P: Oalah itu anggaran, hmmm. Yaudah gitu aja pak. Makasih ya
I: ya

28