Hak Perempuan di Keluarga Batak Toba (Studi tentang Kerentanan)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
. Skripsi ini membahas masalah tentang Hak Perempuan yang berfokus

pada Kerentanan Perempuan dalam Keluarga Masyarakat Batak Toba di pinggiran
Kota / Wilayah sub urban Kota Medan. Kerentanan perempuan untuk tidak
mendapatkan hak-haknya sangatlah besar, hal ini dikarenakan perempuan selalu
dianggap sebagai pihak yang lemah. Padahal, perempuan adalah sosok yang kuat
dengan tanggung jawab yang besar pada ranah domestik dan publik. Perempuan
sebagian besar berkutat dan bekerja pada ranah domestik. Ranah domestik yang
digeluti perempuan menurut sistem patriarki adalah tanggung jawab dalam
mengurusi rumah tangga. Akan tetapi, realitanya banyak perempuan yang bekerja
pada ranah publik dan bertanggung jawab dalam kehidupan keuangan keluarga.
Hal ini membuat perempuan sekaligus menjadi tulang punggung keluarga.
Namun walaupun telah menjadi pekerja keras yang berjuang untuk
keluarganya baik di dalam ranah domestik maupun publik, perempuan tersebut
seringkali tidak juga mendapatkan haknya. Hak perempuan tersebut diabaikan

oleh masyarakat dan hal tersebut menjadi beban bagi perempuan. Kerentanan
yang dimiliki oleh perempuan ini dapat dipengaruhi oleh faktor pendidikan
rendah, menikah dini, kemiskinan, dan lain-lain. Seperti empat faktor mendasar

13

Universitas Sumatera Utara

yang menjadi penyebab dari timbulnya kekerasan pada perempuan dalam rumah
tangga yang berhubungan dengan kerentanan tersebut yaitu1:
1. Sosial Budaya
Masyarakat Indonesia pada umumnya masih mempertahankan budaya
timur dengan kuat, dimana mereka akan selalu enggan untuk terbuka dengan
segala sesuatu yang menurut mereka bersifat pribadi. Hal ini juga yang
mengakibatkan kekerasan dalam rumah tangga kurang dapat terselesaikan dengan
tuntas. Karena sebagian besar masyarakat menganggap bahwa tindak kekerasan
dalam rumah tangga adalah sebuah wilayah pribadi yang tidak boleh dicampuri
oleh pihak lain. Bahkan ada beberapa daerah yang menganggap kekerasan dalam
rumah tangga dianggap lumrah dan wajar, yang kesemuanya dilatarbelakangi oleh
budaya bahwa suami berhak mengatur apa saja tentang istri dan anak-anaknya,

sehingga jika suami tidak puas dengan apa yang diinginkannya, maka tindakan
fisikpun dapat dilakukan.
2. Tingkat Pendidikan
Berbagai bentuk kekerasan yang dilakukan oleh suami dalam rumah
tangga, selain dilatarbelakangi oleh “budaya” buruk seperti disebutkan
sebelumnya, disamping itu juga disebabkan oleh minimnya pengetahuan kedua
pasangan suami istri tersebut. Sang suami selain karena sifat ego yang
dimilikinya, juga karena masih berpendapat bahwa kekerasan adalah cara terbaik
untuk membuat istri patuh. Hal ini tidak jarang disebabkan karena minimnya
pengetahuan dan pendidikan suami, hal ini biasanya terdapat pada warga
pedesaan. Namun demikian, tentu bukanlah jaminan bahwa suami yang status
1

Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakkan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996, Hal:267

14

Universitas Sumatera Utara


pendidikannya lebih tinggi benar-benar memperlakukan istri secara baik, seperti
halnya kasus-kasus kekerasan yang terekspos diberbagai media. Lalu minimnya
pendidikan istri juga bisa menyebabkan terjadinya kekerasan tersebut. Si Istri
biasanya tidak berani mengucapkan kata “tidak“ kepada suaminya, termasuk
dalam hal ini pengetahuan akan norma hukum yang berlaku, yang mengatur
tentang hak dan kewajiban suami serta istri. Mereka seakan-akan patuh pada
budaya leluhur bahwa tugas seorang perempuan (istri) semata-mata mengurus
suami dan anak-anaknya.
3. Sosial Ekonomi
Adanya budaya dalam masyarakat kita bahwa istri bergantung sepenuhnya
kepada suami. Istri hanya bertugas untuk mengurus suami, anak-anak dan rumah.
Sedangkan mencari nafkah adalah tugas utama dari suami. Dengan adanya
ketergantungan semacam ini perlakuan kasar dianggap dan diyakini sebagai
sebuah hukuman yang harus diterima karena kesalahan atau karena tidak
menjalankan peran sebagai istri dengan maksimal dan ideal dari kacamata suami.
4. Strata Sosial
Perbedaan status sosial antara suami dan istri juga menjadi hal yang
mendasar dari timbulnya kekerasan dalam rumah tangga. Dimana apabila salah
satu pihak berasal dari status sosial yang lebih tinggi, akan memiliki ego yang
tinggi juga, yang biasanya akan terwujud dalam bentuk sikap meremehkan atau

memandang rendah pasangannya. Hal ini akan berakibat pada ketidakberdayaan
masing-masing pihak yang menjadi korban.

15

Universitas Sumatera Utara

Faktor-faktor tersebutlah yang juga mencerminkan adanya ketidaksetaraan
antara laki-laki dan perempuan yang pada akhirnya bisa menyebabkan kekerasan
yaitu contohnya perempuan yang rentan dikesampingkan hak-haknya.
Peneliti merasa penting dan tertarik untuk menulis tentang kerentanan
perempuan pada Masyarakat Batak Toba ini yang pertama karena banyaknya
cerita tentang perempuan Batak yang sering tidak dinafkahi oleh suami. Suami
malas untuk bekerja sehingga perempuan harus bekerja keras mencari nafkah di
luar rumah. Sementara pekerjaan didalam rumah (domestik) seluruhnya masih
tetap dikerjakan oleh perempuan. Perempuan nampak seperti tidak berdaya untuk
mengubah ketidakadilan tersebut.
Kedua, walaupun perempuan Batak tersebut telah bekerja keras, banting
tulang siang malam, masih saja perempuan mendapat perlakuan yang tidak baik
seperti misalnya dibentak, dimarahi, atau dihina. Bahkan ada juga perempuan

yang sampai disakiti secara fisik oleh suaminya. Beban berat yang harus dipikul
seorang perempuan tersebut tidak sebanding dengan award yang diterimanya.
Akan tetapi perempuan tetap bertahan dan tidak ingin berpisah/bercerai (sirang).
Ketiga, ada pula perempuan Batak yang tidak bisa memiliki anak
(keturunan) terancam akan dipulangkan kepada orangtuanya, ditinggalkan, atau
harus rela untuk diduakan. Ada juga yang memaksa perempuan untuk pergi
menjalani pengobatan sampai dibawa ke dukun. Padahal hal tersebut bukanlah
sepenuhnya salah perempuan karena laki-laki juga berperan besar dalam
menentukan perempuan untuk bisa memiliki anak atau tidak
Sementara sebagai seorang perempuan, mereka memiliki hak yang wajib
untuk dihormati agar perempuan bisa menjalani hari-harinya dengan baik tanpa

16

Universitas Sumatera Utara

ada tekanan dari siapapun apalagi dari suaminya sendiri dan tidak merasa dirinya
direndahkan sebagai perempuan.
Perempuan Batak memang dikenal dari dulu merupakan perempuan yang
pekerja keras dan untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarganya. tangguh. Peran

perempuan Batak Toba dalam hal ekonomi keluarga yaitu dimana perempuan
Batak Toba terjun ke dalam ruang publik untuk bekerja memenuhi kebutuhan
keluarganya. Mulai dari pekerjaan masyarakat kelas atas seperti dokter,
pengacara, dosen, dan sebagainya hingga pekerjaan masyarakat kelas bawah yaitu
pembantu rumah tangga, buruh pabrik, hingga pengasuh anak. Untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi keluarga, perempuan batak toba banyak yang berperan ganda
dengan bekerja di ruang publik dan ruang domestik. Walaupun masyarakat Batak
Toba memiliki sistem Patrilineal yang menempatkan laki-laki sebagai pemeran
utama di dalam berbagai bidang kehidupan, perempuan Batak tidak menjadi
hanya banyak diam dirumah, namun mampu bekerja keras bahkan menjadi tulang
punggung keluarga. Sifat pekerja keras yang ada pada perempuan Batak Toba bisa
dilihat di Kisah Wanita Perkasa “Pelahap Angin Malam” yang bekerja di Pajak
Sambu di mana mereka berjuang memulai pekerjaannya dari pukul 24.00 WIB
melakukan transaksi pembelian dan penjualan sayuran untuk mencari nafkah,
menyekolahkan anak meskipun masih memikul beban mengurus rumah tangga.2
Namun dengan adanya sistem patrilineal ini juga ketidakadilan gender bisa
terjadi. Seperti dikemukakan oleh Baiduri dalam Paradoks Perempuan Batak
Toba yaitu Suatu Penafsiran Hermeunetik terhadap Karya Sastra Ende Siboru
yang menggambarkan bagaimana seseorang yang tidak mempunyai anak laki-laki
Antropologi Visual FI“IP U“U ’ 7, Inang-Inang Sambu: Potret Wanita-Wanita Perkasa Dari

Pajak Sambu”. FOLKS (Hal. 7-13)

2

17

Universitas Sumatera Utara

dianggap kurang terhormat dan tidak dihargai oleh saudara-saudaranya yang
berusaha merampas harta kekayaannya dari tangan putri-putrinya sehingga putriputrinya terpaksa melarikan diri ke hutan. Anak laki-laki tersebut lebih tinggi
derajatnya karena anak laki-laki adalah penerus marga dan keturunan. Sehingga
keluarga yang tidak mempunyai anak laki-laki, warisannya jatuh ke tangan
paman, yaitu saudara laki-laki dari pihak ayah. Karya tersebut ditandai dengan
situasi bahwa secara kultural orang Batak Toba dengan sistem Patrilinealnya
menempatkan laki laki sebagai pemeran utama dalam berbagai bidang kehidupan
yang termasuk dalam hal nafkah juga seharusnya akan diperolehnya dari suami
yang akan menjamin kehidupannya.3
Kisah-kisah tersebut menggambarkan dalam realitasnya perempuan Batak
Toba selain dikenal dari dulu sampai sekarang berperan penting dalam kehidupan
masyarakatnya termasuk bekerja keras dalam menafkahi keluarga dan rumah

tangganya, perempuan Batak juga merupakan sosok yang kuat dimana posisi
mereka yang lebih rendah dari laki-laki menyebabkan banyak ketidakadilan
gender terjadi. Sehingga hak perempuan Batak itu sangat penting untuk
diperhatikan
Seperti juga yang dikatakan oleh (Irianto 2005:79). Kuatnya adat istiadat
Batak serta kepercayaan masyarakat Batak pada sistem patrilineal membuat
seakan-akan memang itulah kodrat seorang perempuan. Padahal gender dan
kodrat tidaklah sama dan tidak bisa untuk disama-samakan. Karena kodrat
menyangkut kondisi biologis, sedangkan gender bukan. Misalnya, seorang
perempuan seharusnya pintar masak karena itu adalah kodratnya. Asumsi itu
Ratih Baiduri, Paradoks Perempuan Batak Toba: Suatu penafsiran Hermeunetik terhadap Karya
Sastra Ende Siboru Tombaga . MIMBAR, Vol. 3 , No. (Juni-2015) 51-60
3

18

Universitas Sumatera Utara

tidaklah benar karena tidak ada unsur biologis yang berkaitan dengan hal masakmemasak. Kegiatan memasak iti sebenarnya dapat dilakukan oleh kedua sepasang
suami istri, dan mereka juga dapat saling bertukarperan. Makna kodrat yang

seharusnya mengacu kepada perbedaan perempuan dan laki-laki sebatas fungsi
reproduksinya, diperluas menjadi peranan dan kedudukan di berbagai bidang
kehidupan. Tambahan lagi kondisi di atas didukung oleh penafsiran teks-teks
kitab suci yang bias laki-laki. Pemaknaan terhadap hakikat perempuan dan lakilaki menjadi berbeda.
Ketidakadilan gender dari sistem patrilineal tersebut juga akan cukup
merugikan dan menyulitkan perempuan apabila mulai mengandung bentuk
diskriminasi yang bertentangan dengan unsur kemanusiaan, juga apabila
menentang fakta-fakta sosial yang berujung kekerasan pada perempuan. Pada data
pengaduan Komnas Perempuan, sepanjang 2012, tercatat 8.315 kasus kekerasan
terhadap istri. Kekerasan bukan berarti hanya dalam bentuk fisik, namun juga
kekerasan dalam bentuk psikis, seksual maupun ekonomi.
Namun, ada juga perempuan yang tidak hanya tinggal diam. Perempuan
memiliki potensi dan dapat menuntut hak-haknya. Tidak hanya sebagai “milik”
laki- laki, tidak pula hanya mengikuti sistem yang berlaku. Tak sedikit perempuan
yang mengadakan perlawanan terhadap struktur patrilineal yang mencekik
kebebasan perempuan. Muncul kaum perempuan yang resisten yang kemudian
membuka suara-suara perempuan yang dianggap lemah. Gerakan-gerakan feminis
di Indonesia terbentuk untuk melawan sistem patriarkal tersebut. Gerakan
perempuan tersebut sebenarnya dilakukan untuk mengkritisi serta mensetarakan
peran perempuan dalam pembangunan tanpa memandang jenis kelamin.


19

Universitas Sumatera Utara

Misalnya akses dalam harta warisan, saat ini telah banyak sorotan, dimana
anak perempuan sudah mulai menuntut haknya dalam harta warisan dari orang
tuanya. Tulisan Sulistyowati (2003: 200-210) menceritakan tentang perempuan
Batak Toba yang sudah mulai menuntut haknya dalam mendapatkan harta
warisan. Perempuan yang sudah janda sudah berhasil mendapatkan warisan dari
keluarga mereka walaupun dengan membutuhkan perjuangan yang sangat
panjang. Anak perempuan terutama perempuan yang sudah janda menciptakan
budaya hukum sendiri, serta tahap-tahap pilihan hukum, yaitu yang pertama yang
didasarkan pada ketentuan adat, jika tidak berhasil, sebagai pilihan kedua adalah
digugat ke Pengadilan Negeri serta Pengadilan Tinggi yang dikuatkan oleh
Mahkamah Agung sehingga akhirnya dimenangkan oleh perempuan.
Jadi, dengan adanya sistem patrilineal dalam keluarga Batak tersebut dan
sosok perempuan Batak yang pekerja keras dan kuat dalam posisinya sebagai
perempuan, penelitipun merasa penting dan tertarik untuk melakukan penelitian
“Hak Perempuan di Keluarga Batak Toba”. Peneliti ingin melihat apakah terjadi

dan bagaimanakah Kerentanan akan hak-hak perempuan yang diabaikan tersebut
pada Keluarga Batak Toba.

1.2.

Tinjauan Pustaka

1.2.1. Patriarki
Kebudayaan Batak berakar pada sistem kekerabatan patrilineal dengan
prinsip Dalihan Na Tolu yaitu secara harfiah berarti “Tungku Nan Tiga.” Dengan
demikian dalam struktur sosial orang Batak Toba terdapat tiga unsur yang
didasarkan pada garis keturunan dan sistem perkawinan. Ketiga unsur tersebut

20

Universitas Sumatera Utara

adalah dongan tubu atau dongan sabutuha yaitu saudara semarga, hula-hula yaitu
sumber istri, dan anak boru yaitu penerima istri. Ketiga unsur ini saling terkait
dan membutuhkan. Ketiga unsur ini bersifat relatif dan dapat berubah-ubah
(Simanjuntak, 2001:121). Setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut. Ada
saatnya menjadi hula-hula, ada saatnya menempati posisi dongan tubu dan ada
saatnya menjadi boru.
Menurut Koentjaraningrat (1970: 106) orang Batak memperhitungkan
prinsip keturunan itu secara patrilineal. Masyarakat Batak Toba menganut sistem
kekerabatan menurut garis laki-laki dan dalam literatur Antropologi dikenal
sebagai masyarakat dengan sistem patrilineal yang terkuat di Indonesia. Pada
sistem kekerabatan patrilineal, bahwa kewajiban, wewenang dan kontrol atas
wanita dan anak-anak dalam masyarakat Batak Toba dipegang oleh seorang lakilaki. Hal ini menimbulkan hubungan kekuasaan yang timpang antara laki-laki
dengan perempuan, jadi selalu dilakukan berbagai usaha supaya ada anak laki-laki
yang dilahirkan dalam sebuah keluarga.
Patriarki adalah tata kekeluargaan yang sangat mementingkan garisturunan
bapak.4 Secara etimologi, patriarki berkaitan dengan sistem sosial dimana ayah
menguasai

seluruh

anggota

keluarganya,

harta

miliknya,

serta

sumbersumberekonomi. Ia juga yang membuat semua keputusan penting bagi
keluarga.Dalam sistem sosial, budaya (juga keagamaan), patriarki muncul sebagai
bentukkepercayaan atau ideologi bahwa laki-laki lebih tinggi kedudukannya
disbanding perempuan; bahwa perempuan harus dikuasai bahkan dianggap
sebagai harta milik laki-laki.
4

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, cet. Balai Pustaka,
cet. 3, 1990, hlm. 654

21

Universitas Sumatera Utara

Pengertian

patriarki

secara

harafiah

adalah

kekuasaan

bapak

atau“patriarkh” (patriarch). Pada awalnya istilah ini dipakai untuk menyebut
suatujenis keluarga yang dikuasai oleh laki-laki, yaitu rumah tangga besar
patriarchyang terdiri dari kaum perempuan, laki-laki muda, anak-anak, budak dan
pelayanrumah tangga yang semuanya berada dibawah kekuasaan atau “hukum
bapak”sebagai laki-laki atau penguasa itu.5

1.2.2. Perempuan dalam budaya Batak
Menurut Hutabarat (1999: 87) dalam Baiduri (2015: 53) posisi perempuan
dalam budaya Batak sebagaimana terwujud dalam sistem Dalihan Na Tolu
tergolong lemah dan tidak setara dengan laki-laki. Ada tiga julukan yang
menggambarkan posisi perempuan dalam kebudayaan Batak Toba.:
Pertama, perempuan disebut sebagai “boru ni rajanami” oleh suaminya
yang artinya “putri raja kami”. Kendati julukan ini terdengar terhormat, namun
dapat diartikan posisi perempuan ditentukan oleh ayahnya, ia adalah bagian dari
ayahnya.
Kedua, perempuan disebut sebagai “inang soripada” artinya “raja rumah
yang dimuliakan”, yang lebih menunjukkan peran domestik dari kaum
perempuan. Julukan ini sejajar dengan “portalaga”

yang artinya “pelaksana

pekerjaan kerumahtanggaan dengan segala macam tetek bengeknya”, juga sejajar
dengan istilah “pardihula”, dia yang mempunyai kepentingan dalam kampung,
sedangkan julukan suami adalah “pardibalian” artinya yang memajukan urusan
keluarga di luar cakupan rumah tangga.
5

Kamla Basin, Menggugat Patriarki: Pengantar tentang Persoalan Dominasi terhadap Kaum
Perempuan, (Yogyakarta: yayasan Bentang Budaya, 1996), hal 1-2

22

Universitas Sumatera Utara

Ketiga, perempuan dianggap sebagai “pembuka hubungan baru”. Hanya
melalui perkawinan dan melahirkan anak laki-laki seorang perempuan memiliki
makna dan martabat kemanusiaannya dalam masyarakat Batak Toba. Perempuan
membuka hubungan kekerabatan baru melalui perkawinan. Tanpa perkawinan ia
tidak mempunyai status dan martabat apapun dalam masyarakat Batak Toba.
Begitu pula dalam peta geneologis orang Batak Toba hanya dapat
ditelusuri melalui garis garis laki-laki. Anak perempuan tidak tercatat dalam peta
tersebut. Dalam sistem patrilineal itu laki-laki dengan perempuan menyandang
hak dan kewajiban yang berbeda terhadap clan mereka. Laki-laki sejak kecil
sudah disadarkan bahwa mereka harus memiliki pengetahuan mengenai sejarah
dan kebudayaan Batak Toba, dan mereka bertanggung jawab terhadap
kelangsungan clan ayahnya. Bila laki-laki sepanjang hidupnya hanya mengenal
clan ayahnya, maka perempuan mengenal dua clan, yaitu clan ayahnya dan clan
suaminya (bila sudah menikah). Walaupun perempuan berkaitan dengan kedua
clan tersebut tetapi kedudukan perempuan tidak jelas/tidak pernah menjadi
anggota penuh dari kedua clan tersebut” (Irianto, 2005: 9).
Dalam adat batak ada beberapa istilah yang cenderung menomorduakan
anak perempuan antara lain:
1. Sigoki jabu ni halak do ianggo boru (anak perempuan adalah untuk
mengisi rumah orang),
2. Mangan tuhor ni boru (anak perempuan dianggap barang dagangan yang
diperjualbelikan),
3. Holan anak do sijalo teanteanan (zaman dahulu ada tuntutan untuk
mendahulukan anak laki-laki dalam melestarikan marga dan juga

23

Universitas Sumatera Utara

pertahanan, sehingga anak laki-laki berhak memiliki serta berbicara
mengenai ikatan adat secara hukum (Vergouwen 1985 : 485)
Selain itu ada juga sebutan lainnya untuk istri dalam Bahasa Batak Toba
yang menunjukkan sangat pentingnya peran seorang perempuan yaitu:
1. Sirongkap ni Tondi = isteri, belahan jiwa/sukma, yang tercinta, yang sehati
sepikiran. Asal kata “rongkap”= jodoh, sehati, serasi dan “tondi” = daya
hidup, sukma, jiwa.
2. Tunggane

Boru

/

Tungganenta =

isteri, wanita/pasangan

yang

sepadan/serasi. Asal kata “gana”= rupa, bentuk dan “boru” =wanita,
perempuan/anak perempuan
3. Paniaran = isteri, wanita yang melahirkan anak marga. Asal kata “siar”
yang artinya masuk, hinggap, sehingga paniaran = yang mengandung bibit
keturunan/anak.
4. Parsonduk/Parsonduk Bolon = isteri, ibu rumah tangga, nyonya rumah.
Asal kata “sonduk” = sendok dan “bolon” = besar.Parsonduk = yang
menyajikan/ menghidangkan makanan untuk keluarga.
5. Dongan Saripe = isteri, pendamping/pasangan hidup berkeluarga. Asal
kata “ripe”= keluarga, family. Dongan = teman,dan saripe = sekeluarga.
6. Ina Soripada = isteri, ibu yang mengasuh, menjaga dan mendidik
anak. Asal kata “ina”= ibu, induk, pengasuh, “sori”=nasib, untung,
takdir.
7. Pardijabu = isteri, yang menata/memelihara/mendiami rumah (ibu rumah
tangga). Asal kata “jabu”= rumah, “di jabu” = di rumah.
8. Pardibagas =

isteri, yang

menata

mengasuh

keluarga. Asal

24

Universitas Sumatera Utara

kata “bagas”=rumah yang didiami oleh keluarga inti.“
9. Pardihuta = isteri, yang tinggal dan bersosialisasi di lingkungan
kediaman. Asal kata “huta”= kampung, tempat tinggal/kediaman.
10. Tuan Boru = isteri, wanita yang dihormati/dituakan dalam keluarga
inti. Asal kata “tuan”= yang dihormati, dituakan.
11. Boru ni Raja/Boru ni Raja i = isteri, wanita terhormat. Asal kata "boru ni
Raja"

=

putri

seorang

Raja.

Seorang

isteri

idealnya

mempunyaisifat dan perilaku yang santun, anggun serta senantiasa dapat
menjaga kehormatan keluarga dan orangtuanya
12. Siadopan,

Ina

Siadopan,

Inang

Siadopan =

isteri,

wanita yang selalu dihadapi, yang selalu berhadap-hadapan. Asal kata
"adop" = berhadapan; inang/ina = ibu, ibu rumah tangga. Seorang isteri
adalah teman bertukar pikiran, tempat curahan hati dan kasih sayang,
wanita yang selalu diperhatikan, dan wanita yang selalu siap berbuat
terbaik kepada suami, bagai seorang ibu kepada anak.

1.2.3. Perempuan dalam Konsep Gender
Menurut Fakih (2008:8-9) konsep gender, merupakan suatu sifat yang
melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial
maupun kultural. Terbentuknya perbedaan-perbedaan gender itu dikarenakan oleh
banyak hal di antaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat dan dikonstruksi
secara sosial dan kultural, melalui ajaran agama maupun negara.
Lebih lanjut dikatakan Fakih, sejarah perbedaan gender antara laki-laki

25

Universitas Sumatera Utara

dan perempuan tersebut terjadi melalui proses yang sangat panjang dan melalui
proses panjang sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan
Tuhan seolah-olah bersifat biologis yang tidak bisa diubah lagi, sehingga
perbedaan-perbedaan gender dapat dianggap dan dipahami sebagai kodrat lakilaki dan kodrat perempuan. Demikian pula sebaliknya, sosialisasi, konstruksi
sosial tentang gender secara evolusi pada akhirnya mempengaruhi perkembangan
fisik dan biologis masing masing jenis kelamin. Seperti misalnya gender laki laki
harus kuat dan agresif, sehingga dengan konstruksi sosial semacam ini
menjadikan laki laki terlatih dan termotivasi mempertahankan sifat tersebut, dan
akhirnya laki laki menjadi lebih kuat. Akan tetapi, dengan berpedoman bahwa
setiap sifat itu biasanya melekat pada jenis kelamin tertentu dan sepanjang sifat itu
dapat dipertukarkan, maka sifat tersebut adalah hasil konstruksi masyarakat, dan
sama sekali bukan kodrat (Fakih, 1997:10)
Graafland menuliskan (dalam Subadio dan Ihromi, 1994:44) pada
umumnya dalam kebanyakan bangsa, dahulu maupun sekarang wanita memiliki
tempat kedua dalam masyarakat. Namun demikian bukan tidaklah dapat
dipastikan bahwa dalam pergaulan masyarakat khususnya dalam keluarga, wanita
itu jauh lebih rendah kedudukannya dari pria. Walaupun harus diakui bahwa
dalam pergaulan umum wanita itu umumnya muncul di garis belakang, namun
pengaruhnya sebenarnya jauh lebih besar daripada yang kelihatan secara nyata.
Perbedaan kedudukan antara laki-laki dan wanita tersebut pun sangat erat dengan
masalah gender.
Permasalahan Gender tersebut juga dapat ditemukan di Kebudayaan Batak
yang dimana dikatakan oleh Irianto, (2003:9). Secara kultural konseptualisasi

26

Universitas Sumatera Utara

Batak Toba mengenai anak mengacu hanya kepada laki-laki saja dan bukan
perempuan. Sehingga dampak dari kekuasaan yang timpang antara laki-laki dan
perempuan mencerminkan kedudukan yang berbeda dimana anak perempuan
tidak berhak dalam penerusan silsilah marga, dalam

hak mendapat warisan,

dalam aktivitas adat serta dalam pendidikan.
Laki-laki sejak kecil sudah disosialisasikan bahwa mereka harus memiliki
pengetahuan mengenai kebudayaan Batak dan bertanggung jawab terhadap
kelangsungan penerusan clan ayahnya. Anak perempuan dalam hal ini,
dimasukkan ke dalam clan ayahnya. Namun apabila anak perempuan menikah ia
kemudian akan dimasukkan ke dalam clan suaminya. Dengan demikian dapat
dikatakan posisi perempuan dalam kekerabatan Batak adalah ambigu atau tidak
jelas. Meskipun berhubungan dengan kedua clan marga ayah dan suaminya tetapi
ia sebenarnya tidak pernah menjadi anggota penuh dari kedua clan tersebut. “She
is situated between hula-hula and boru, she is associated with both, and an
absolute member of neither” (Simbolon dalam Irianto, 2005: 9).
Menurut Mansyur (dalam Listiani, 2002:47) permasalahan gender dan
kondisi ketidakadilan gender selalu juga dijumpai di lingkungan rumah tangga,
bagaimana proses pengambilan keputusan, pembagian kerja dan interaksi antar
anggota keluarga dalam banyak rumah tangga sehari-hari dilaksanakan dengan
menggunakan asumsi bias gender. Oleh karena itu rumah tangga merupakan
tempat strategis dalam mensosialisasikan ketidakadilan gender.
Menurut Fakih (2008: 13-17) ketidakadilan dan diskriminasi gender yang
dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari adalah: (a) marginalisasi
(peminggiran), baik yang terjadi di rumah, tempat kerja, masyarakat, bahkan oleh

27

Universitas Sumatera Utara

negara

yang

keseluruhannya

bersumber

dari

kebudayaan,

keyakinan,

tradisi/kebiasaan, kebijakan pemerintah, maupun asumsi-asumsi pengetahuan
(teknologi), (b) subordinasi (penomorduaan), anggapan bahwa perempuan lemah,
tidak mampu memimpin, cengeng, dan lain sebagainya mengakibatkan
perempuan jadi nomor dua setelah laki-laki, (c) pandangan steriotipe atau
pelabelan/citra baku yang melekat pada peran, fungsi, dan tanggung jawab yang
membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan masyarakat, (d)
kekerasan (violence) yaitu serangan fisik, seksual dan psikis. Perempuan, pihak
paling rentan yang mengalami kekerasan, di mana hal itu terkait dengan
marginalisasi, subordinasi, maupun steriotipe dan (e) Beban ganda (double
burden) yaitu tugas dan tanggung jawab perempuan yang berat dan terus menerus,
baik di lingkup rumah tangga maupun di luar rumah tangga.

1.2.4. Hak Perempuan
Secara etimologis hak berarti pasti, tetap atau kewenangan untuk
mendapatkan sesuatu. Di dalam Kamus Bahasa Indonesia hak memiliki
pengertian tentang sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan,
kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang,
aturan, dsb), kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu,
derajat atau martabat. Sedangkan dalam Black's Law Dictionary berarti:
"Something that is due to a person by just claim, legal guarantee, or moral
principle. A legally enforceable claim that another will do or will not do a given
act; a recognized and protected interest the violation of which is a wrong."

28

Universitas Sumatera Utara

Adapun kewajiban berarti keharusan (sesuatu yang harus dilakukan). “A
legal or moral duty to do or not do something.” Pengertian tersebut tertera dalam
Black's Law Dictionary.
Definisi tentang hak dan kewajiban mengindikasikan terdapat dua bagian
yang berperan berlawanan, yaitu yang memberi dan yang menerima. Tetapi dalam
konteks hak asasi manusia, dimana hak perempuan termasuk didalamnya, hak
merupakan sesuatu yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi, dan dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintah, dan setiap orang.6
Penjelasan di atas menunjukkan siapa yang mempunyai hak dan siapa
yang berkewajiban untuk melindunginya. Hal itu bukan hanya sekedar kata-kata
yang terdapat dalam sebuah peraturan perundang-undangan, melainkan sesuatu
yang harus dijaga oleh semua warga negara. Dan apabila hal itu dilanggar selain
dia mendapat dosa, sebagai sanksi Tuhan, agama apapun di dunia ini tidak ada
yang mengajarkan untuk saling menyakiti, termasuk Islam. Selain itu dia juga
mendapat sanksi dari negara.
Pelanggaran yang sering terjadi, khususnya terhadap kaum perempuan,
adalah diskriminasi dalam segala hal, termasuk dalam rumah tangga. Munculnya
perlakuan diskriminatif terhadap perempuan bukan bersifat kodrati7, melainkan
karena adanya konstruksi sosial yang melatarbelakanginya. Sedangkan perubahan
sifat yang melekat terhadap suatu jenis kelamin yang dikonstruksi secara sosial
maupun kultural dikatakan bersifat gender, misalnya, bahwa perempuan itu
6

UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1 ayat (1)

7

Sifat-sifat yang melekat pada perempuan semenjak lahir dan bersifat permanen. Lihat: Mansour
Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 8

29

Universitas Sumatera Utara

bersifat lemah lembut, emosional atau cantik. Sedangkan laki bersifat rasional,
kuat atau perkasa. Terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh
adanya konstruksi sosial atau kultural yang dibawa baik melalui ajaran keagamaan
maupun hukum negara. Sehingga melalui proses inilah kemudian gender dianggap
sebagai suatu sifat yang bersifat biologis dan menjadi ketentuan Tuhan.8
Disadari oleh masyarakat dunia bahwa Hak Asasi Manusia (HAM)
perempuan memerlukan pengaturan khusus. Sikap ini didasarkan atas kenyataan
di seluruh dunia yang sampai kini juga masih berlanjut. Luhulima (2007: 42),
menyatakan hampir semua masyarakat di dunia masih ditandai dengan sikap yang
menganggap bahwa perempuan lebih rendah kedudukannya dan nilainya
dibanding laki-laki. Sumbangan perempuan bagi kehidupan keluarga dan
masyarakat, maupun sumbangan di dunia kerja atau bagi pertumbuhan ekonomi
masih sangat kurang diakui dan dihargai. Hal ini menyebabkan bahwa perempuan
pada umumnya kurang atau sama sekali tidak berperan dalam proses pengambilan
keputusan dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
Berikut adalah lima rangkuman Hak Konvensi mengenai Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), yang ditandatangani
pada 1979 dalam konferensi yang diadakan Komisi Kedudukan Perempuan PBB.
1. Hak dalam ketenagakerjaan
Setiap perempuan berhak untuk memiliki kesempatan kerja yang sama dengan
laki-laki. Hak ini meliputi kesempatan yang sama dari proses seleksi, fasilitas
kerja, tunjangan, dan hingga hak untuk menerima upah yang setara.

8

Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003),
hlm. 9

30

Universitas Sumatera Utara

Selain itu, perempuan berhak untuk mendapatkan masa cuti yang dibayar,
termasuk saat cuti melahirkan. Perempuan tidak bisa diberhentikan oleh pihak
pemberi tenaga kerja dengan alasan kehamilan maupun status pernikahan.
2. Hak dalam bidang kesehatan
Perempuan berhak untuk mendapatkan kesempatan bebas dari kematian pada saat
melahirkan, dan hak tersebut harus diupayakan oleh negara.
Negara juga berkewajiban menjamin diperolehnya pelayanan kesehatan,
khususnya pelayanan KB, kehamilan, persalinan, dan pasca-persalinan.
3. Hak yang sama dalam pendidikan
Seperti salah satu poin perjuangan RA Kartini, setiap perempuan berhak untuk
mendapatkan kesempatan mengikuti pendidikan, dari tingkat dasar hingga
universitas.
Harus ada penghapusan pemikiran stereotip mengenai peranan laki-laki dan
perempuan dalam segala tingkatan dan bentuk pendidikan, termasuk kesempatan
yang sama untuk mendapatkan beasiswa.
4. Hak dalam perkawinan dan keluarga
Perempuan harus ingat bahwa ia punya hak yang sama dengan laki-laki dalam
perkawinan.
Perempuan punya hak untuk memilih suaminya secara bebas, dan tidak boleh ada
perkawinan paksa. Perkawinan yang dilakukan haruslah berdasarkan persetujuan
dari kedua belah pihak.
Dalam keluarga, perempuan juga memiliki hak dan tanggung jawab yang sama,
baik sebagai orang tua terhadap anaknya, maupun pasangan suami-istri.
5. Hak dalam kehidupan publik dan politik

31

Universitas Sumatera Utara

Dalam kehidupan publik dan politik, setiap perempuan berhak untuk memilih dan
dipilih.
Setelah berhasil terpilih lewat proses yang demokratis, perempuan juga harus
mendapatkan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam perumusan
kebijakan pemerintah hingga implementasinya.
Sedangkan Hak dan kewajiban seorang istri menurut Konvensi CEDAW yaitu,
istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan suami dalam rumah
tangga, baik dalam wilayah domestik maupun publik. Yaitu : Mengurus, meme
lihara dan mendidik anak. Hak untuk menentukan secara bebas jumlah dan
penjarakan anak-anak. Memilih nama keluarga, profesi dan jabatan. Mempunyai
hak yang sama berkaitan dengan pemilikan, perolehan, penikmatan dan
memindah-tangankan harta benda, baik secara cuma-cuma maupun dengan uang
pengganti, sedang yang termasuk kewajiban istri adalah : Mengurus, memelihara
dan mendidik anak. Mempunyai kewajiban yang sama dalam memenuhi
kebutuhan keluarga.
Namun, salah satu masalah pelanggaran hak asasi manusia yang sampai
saat ini masih dirasakan adalah perlakuan diskriminasi yang kerap kali dialami
oleh kaum perempuan. Berbagai bentuk perlakuan diskriminasi yang diterima
oleh kaum perempuan tersebut sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari pandangan
sebagian masyarakat kita yang masih berpandangan tradisional, yang menganggap
perempuan adalah “makhluk yang lemah”. Pandangan seperti ini yang didasarkan
atas sifat-sifat kodrati dan alami dari sosok perempuan, seringkali dijadikan
sebagai alasan untuk membenarkan adanya diskriminasi terhadap kaum
perempuan.

32

Universitas Sumatera Utara

Hal senada dikemukakan oleh Bunch, (seorang aktivis) HAM perempuan,
sebagaimana dikemukakan oleh Savitri (2008:2) yang menyatakan bahwa
sebetulnya selama ini hak-hak perempuan telah dilanggar dengan berbagai cara.
Dalam kondisi politik tertentu sebenarnya baik perempuan maupun laki-laki
mengalami atau menjadi korban kekerasan, namun karena aktor-aktor politik
selama ini didominasi oleh laki-laki, maka masalah perempuan sebagai korban
kekerasan yang terlanggar HAM-nya berkaitan dengan keperempuannya menjadi
tidak kelihatan (invisible)
Selain itu, Hak Azasi perempuan sebagai bagian dari Hak Azasi Manusia
telah mendapat pengakuan dan perlindungan yang telah berhasil diperjuangkan
dalam waktu yang panjang. Konprensi Wina Majelis Umun PBB telah
mengakomodasi Deklarasi Penghapusan Diskriminasi terhadap perempuan.
Hukum Internasional tentang Hak Azasi Manusia di Wina menghasilkan
kesepakatan bahwa Hak Azasi Perempuan adalah bagian integral dan universal
dari Hak Azasi Manusia. Hal tersebut menghasilkan perlindungan terhadap kasus
pelecehan seksual sosial, kekerasan dalam rumah tangga serta kasus pemerkosaan.

1.2.5. Perempuan Batak Toba dalam budaya Patriarki
Peta genealogis dan sejarah orang Batak Toba hanya dapat ditelusuri
melalui garis garis laki-laki. Anak perempuan dan istri tidak tercatat dalam peta
tersebut. Dalam sistem patrilineal itu laki-laki dengan perempuan menyandang
hak dan kewajiban yang berbeda terhadap clan mereka. Laki-laki sejak kecil
sudah disadarkan bahwa mereka harus memiliki pengetahuan mengenai sejarah
dan kebudayaan Batak Toba, dan mereka bertanggung jawab terhadap

33

Universitas Sumatera Utara

kelangsungan clan ayahnya. Bila laki-laki sepanjang hidupnya hanya mengenal
clan ayahnya, maka perempuan mengenal dua clan, yaitu clan ayahnya dan clan
suaminya (bila sudah menikah).
Kendati demikian dalam rangka hubungannya dengan kedua clan tersebut,
tetapi kedudukan perempuan tidak jelas/tidak pernah menjadi anggota penuh dari
kedua clan tersebut. “She is situated between hula-hula and boru, she is
associated with both, and an absolute member of neither “ (Simbolon dalam
Irianto, 2005: 9). Posisi perempuan dalam kekerabatan Batak yang ambigu atau
tidak jelas ini dapat dikatakan dengan peristilahan (Turner (1977) dalam Baiduri
(2015)) sebagai situasi yang liminalitas. Dengan kata lain perempuan Batak yang
telah menikah dapat berada dalam situasi liminal karena dalam kenyataannya dia
sebenarnya tidak ditempatkan “di sini” (clan suami) dan “tidak di sana” (clan
ayah). Liminalitas diartikan (Turner (1977) dalam Baiduri (2015)) sebagai tahap
atau periode di mana subjek (ritual) mengalami keadaan yang ambigu yaitu “tidak
disana dan tidak disini”. Liminal dapat diartikan sebagai suatu periode peralihan
yang sifatnya transisi dari status dan kedudukan satu ke status kedudukan yang
yang lain.
Sebagaimana pula yang dikemukakan oleh Simbolon “By patriarchal
control they refer not just to individual husband and fathers controlling their
wives and daughters, but also male dominated institutions controling women as a
group. Patrilineal kinship is the core of what is meant by patriarchal control: the
idea that paternity is the central social relationship (Simbolon dalam Irianto,
2003, hal.81). Artinya bahwa pembatasan terhadap akses kontrol perempuan juga
dilakukan secara institusional oleh kelompok kekerabatan laki-laki. Pembatasan

34

Universitas Sumatera Utara

perempuan tersebut juga dilakukan dalam institusi perkawinan dimana garis
keturunan menurut laki-laki (suami).
Sedemikian besarnya dominasi sistem patrilineal untuk mengatur
kehidupan masyarakat, bahkan hingga pada konsep perkawinan. Sifat masyarakat
yang masih sangat patriarkhal juga mendukung hubungan kekuasaan yang
timpang dan menyuburkan yang timpang antara laki-laki dan perempuan tersebut
(Irianto, 2003, hal.19).
Orang Batak mendidik anak perempuan mereka supaya menjadi istri-istri
yang pantas dengan tujuan untuk dapat menjalin hubungan kekerabatan di antara
orang-orang dengan pangkat tinggi (Irianto, 2005 : 95). Walaupun perempuan
Batak Toba memiliki pendidikan yang tinggi, mereka akan tetap pada konsep dan
nilai mengenai perempuan, yang terikat pada ruang domestik dan lingkungan adat.
Sekalipun perempuan batak toba menjalani posisi terhormat, mereka tidak akan
bisa melepaskan kewajibannya menjadi seorang istri dan ibu bagi anak-anaknya.
Selain itu perempuan batak toba juga berperan sebagai perempuan yang
menjadi penjaga dan penjamin terwujudnya nilai-nilai hamoraon, hagabeon, dan
hasangapon melalui cara apapun (Irianto, 2005:96). Dimana hamoraon merupakan
nilai untuk memiliki kekayaan, hagabeon merupakan nilai untuk diberkati karena
keturunan, serta hasangapon merupakan nilai untuk prestise ataupun penghargaan.

1.3.

Masalah Penelitian
Dalam melakukan sebuah penelitian, yang menjadi landasan dari

penelitian adalah akar masalah yang ada dalam topik yang dibahas. Berdasarkan
latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka peneliti menarik rumusan

35

Universitas Sumatera Utara

masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Hak Perempuan di Keluarga Batak Toba?
2. Bagaimanakah Resistensi yang dilakukan oleh Perempuan Batak yang
haknya terabaikan?

1.4.

Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah Kelurahan Kenangan, Perumahan

Nasional Mandala, Kecamatan Deli Tua, Sumatera Utara. Alasan pemilihan lokasi
di Perumnas Mandala adalah karena penduduknya banyak yang merupakan Suku
Batak Toba termasuk perempuan Batak Toba baik yang tinggal sejak lahir di
Perumnas Mandala maupun yang melakukan urban dari luar perumnas Mandala /
Sumatera Utara.
Perempuan Batak Toba yang menjadi informan pada penilitian ini adalah
warga di Kelurahan Kenangan yang tinggal di lingkungan yang dimana
masyarakat sekitarnya banyak yang merupakan Suku Batak Toba. Bahasa yang
sering digunakan sehari-hari juga merupakan bahasa batak untuk beromunikasi
dengan anak atau tetangga mereka yang juga suku Batak Toba. Semua perempuan
Batak yang menjadi informan juga beragama Kristen seperti agama mayoritas
suku Batak Toba. Selain itu, semua informan juga adalah perempuan Batak Toba
yang merupakan tamatan SMA atau SMP.

1.5.

Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan Hak

Perempuan di Keluarga Batak Toba dimana sebelumnya anak perempuan selalu

36

Universitas Sumatera Utara

dinomorduakan dalam budaya Batak Toba sehingga hak-haknya yang
dikesampingkan. Secara akademis bahwa hasil penelitian ini merupakan bahan
untuk skripsi guna memperoleh gelar sarjana program Antropologi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sumatera Utara Medan.
Secara umum penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam memperkaya
pengetahuan tentang hak perempuan dalam suatu budaya patriarkhi yang sudah
mengalami perubahan-perubahan. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah
kepustakaan antropologi. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan
bagi masyarakat yang mengalami masalah yang sama, dalam arti dapat dijadikan
sebagai pertimbangan masyarakat yang mempunyai nilai budaya yang selalu
mengutamakan anak laki-laki dari pada anak perempuan. Selain itu penelitian ini
juga diharapkan dapat menjadi acuan bagi para penulis yang lain manakala
penelitian ini dirasa perlu penyempurnaan ataupun sebagaireferensi.
Berdasarkan Rumusan Masalah yang akan diungkap dalam penelitian ini,
maka adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui dan menjelaskan bagaimana Hak Perempuan di Keluarga
Batak Toba
2. Mengetahui dan menjelaskan bagaimana resistensi Perempuan Batak
terhadap Hak Perempuan yang diabaikan tersebut.

1.6.

Metode Penelitian
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode etnografi.

Metode ini digunakan untuk menganalisis dan menghasilkan data – data etnogafis
yang bersifat deskriptif. Menurut Spradley (1997:12) menyatakan metode

37

Universitas Sumatera Utara

etnografi

yaitu

mendekripsikan

kebudayaan

dengan

cara

mempelajari

masyarakatnya dan belajar dari masyarakatnya. Etnografi selalu menggunakan hal
yang dikatakan oleh orang dalam upaya untuk mendeskripsikan kebudayaan orang
tersebut. Metode etnografi mendeskripsikan suatu kebudayaan yang implisit
maupun yang eksplisit, terungkap melalui perkataan, baik dalam komentar
sederhana maupun dalam wawancara panjang.
Sebagaimana juga yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1989:29)
penelitian yang bersifat deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifatsifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk
menentukan frekuensi atau penyebaran suatu gejala atau frekuensi adanya
hubungan tertentu antara suatu gejala dan gejala lain.
Jadi, penulis akan menjelaskan secara terperinci Hak Perempuan di
Keluarga Batak Toba di Kota Medan. Pada penelitian ini penulis akan turun ke
lapangan untuk melakukan penelitian secara etnografi. Metode Etnografi pada
Ilmu Antropologi akan membantu penulis mendeskripsikan segala fenomena yang
ada dilapangan.

1.6.1. Teknik Pengumpulan Data
Untuk

memperoleh

data

penelitian

yang

dibutuhkan,

peneliti

menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Teknik Observasi
Observasi Partisisipasi adalah salah satu metode pengumpulan data yang
dilakukan dengan cara ikut berpartisipasi langsung dengan masalah yang diteliti.
Dalam observasi partisipasi, peneliti secara langsung terlibat dalam kegiatam

38

Universitas Sumatera Utara

sehari-hari orang atau situasi yang diamati sebagai sumber data. Menurut Burhan
Bungin ( 2008 : 115 ) Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian
manusia dengan menggunakan pancaindera mata sebagai alat bantu utamanya.
Selain pancaindera lainnya seperti penciuman, mulut dan kulit, kerena itu observsi
adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil
kerja pancaindera. Di dalam ilmu Antropologi metode pengumpulan data dengan
teknik observasi partisipasi adalah paling efektif.
Observasi ataupun pengamatan dilakukan untuk melihat secara langsung
bagaimana kondisi lapangan yang diteliti. Wilayah Kota Medan sebagai tempat
tinggal Perempuan Batak akan menjadi lokasi penting dalam penelitian ini.
b. Teknik Wawancara
Teknik lain yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu teknik
wawancara. Wawancara adalah suatu kegiatan dimana terjadi percakapan yang
telah tersruktur, dimana si pewawancara akan memberikan pertanyaan untuk
dijawab yang diwawancarai. Tujuan melakukan wawancara dalam penelitian ini
adalah untuk untuk mendapatkan keterangan secara lisan dari informan kita yang
ingin kita ketahui. Melalui wawancara ini si penulis akan mendengarkan semua
apa yang diungkapkan informan. Wawancara dalam penelitian ini merupakan hal
yang sangat penting dalam memperoleh informasi yang diperlukan guna
kelengkapan data penelitian dan untuk memperoleh sebanyak mungkin data
tentang Hak Perempuan di Keluarga Batak Toba.
Wawancara yang dilakukan penulis adalah wawancara mendalam (depth
interview) dengan menggunakan pedoman wawancara serta instrumenwawancara,
untuk merekam dan mencatat hasil wawancara akan digunakan alat seperti tape

39

Universitas Sumatera Utara

recorder, buku tulis, dan alat tulis lainnya untuk mencatat hasil wawancara dalam
hal menghindari terjadinya kelupaan data yang diperoleh dalam menulis hasil
laporan.
Untuk melengkapi data yang diperoleh dilapangan, peneliti juga mencari
data dari studi kepustakaan yang diperoleh dari buku-buku, majalah, tulisantulisan ilmiah yang berpengaruh dengan rumusan penelitian maupun website yang
berkaitan dengan penelitian ini.

1.7. Analisis Data
Data yang diperoleh akan dianalisa kembali secara kualitatif. Proses
analisis data pada penelitian ini dimulai dengan menelaah keseluruhan data yang
diperoleh dari observasi dan wawancara serta studi kepustakaan. Lalu disusun
secara sistematis agar lebih mudah dipahami.
Penulisan laporan dilakukan sesuai data yang diperoleh sampai akhir
penelitian. Keseluruhan data yang diperoleh akan diklasifikasikan berdasarkan
kategori-kategori tertentu yaitu mengenai Hak Perempuan di Keluarga Batak
Toba.
Penulis juga akan menggunakan data kepustakaan guna melengkapi
informasi yang berkaitan dengan penelitian. Data-data kepustakaan berupa
sumber-sumber tertulis seperti buku-buku, koran, majalah dan sumber-sumber
elektronik seperti televisi dan internet.

40

Universitas Sumatera Utara

1.8. Pengalaman Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Perumnas Mandala, Deli Tua, Sumatera Utara
tepatnya di Kelurahan Kenangan. Sebelum melakukan penelitian skripsi penulis
belum pernah mengunjungi atau mengetahui tempat tersebut. Sebelumnya penulis
akan melakukan penelitian di Kota Medan, namun setelah bertanya dengan temanteman penulis untuk mencari-cari dimana wilayah Medan yang banyak dihuni /
ditinggali

oleh

masyarakat

Batak

Toba,

banyak

teman-teman

yang

merekomendasikan wilayah Perumnas Mandala karena terkenal dengan
banyaknya masyarakat bersuku bangsa Batak Toba disana. Namun setelah
melaksanakan penelitian, penulis baru mengetahui bahwa wilayah Kelurahan
Kenangan, Perumnas Mandala ini adalah wilayah dari Kecamatan Deli Tua dan
bukan merupakan wilayah Kota Medan lagi. Sehingga, penulis pun mengganti
wilayah penelitian.
Dalam melakukan penelitian ini, penulis mendapat bantuan dari teman
penulis, yaitu Ruth Oktodora Ginting karena Ruth bertempat tinggal di Perumnas
Mandala sehingga Ruth mengetahui informasi tentang lokasi-lokasi di Perumnas
Mandala dan bisa memberikan arahan tentang lokasi penelitian kepada penulis.
Setelah mendapat gambaran lokasi dari Ruth, penulis pun memilih Kelurahan
Kenangan sebagai lokasi penelitian karena wilayahnya yang cocok bagi penulis
untuk melakukan penelitian.
Di hari pertama penulis masih melihat-lihat lokasi penelitian dan memulai
untuk membangun rapor dengan beberapa informan yang dimulai dari informan
yang dikenal oleh Ruth, informan tersebut adalah orangtua/Ibu dari seorang tutor
yang pernah mengajar les private Ruth. Sebelumnya ibu tersebut menolak untuk

41

Universitas Sumatera Utara

menjadi informan saya dikarenakan beliau sibuk namun setelah saya menjelaskan
saya dari mana dan bercerita sedikit tentang skripsi saya, Ibu tersebut bersedia.
Jadi informan pertama saya adalah Ibu Basaria Sitorus yang berusia 55
tahun yang beralamat di Jalan Kiwi II no. 83, Kel. Kenangan, Perumnas Mandala.
Ibu Basaria Sitorus lahir di Pematang Siantar pada tanggal 22 April 1961 dan
bekerja sebagai pengusaha lampet.
Saya mewawancarai beliau ketika beliau sedang bekerja seperti biasa,
sehingga beliau seperti bercerita biasa saja tanpa seperti sedang diwawancarai. Ibu
Basaria mau menceritakan tentang dirinya dan keluarganya, dan hak-hak
perempuan menurut dirinya sendiri dengan baik. Kemudian setelah mendapat
informan pertama yaitu Ibu Basaria, beliau bertanya kemana penulis akan pergi
untuk melakukan wawancara lagi, penulis menjawab ke rumah Ibu jahit yaitu Ibu
kedua yang direkomendasikan oleh Ruth yaitu Ibu yang pernah menjahitkan baju
untuknya dan kemudian Ibu Basaria juga merekomendasikan Ibu-ibu yang
dikenalnya yang tinggal di sekitar Kelurahan Kenangan yang bisa penulis tanya
untuk menjadi informan. Penulis pun mengucapkan terima kasih atas ketersediaan
Ibu Basaria untuk menjadi informan bahkan mau untuk merekomendasikan
perempuan batak lainnya yang bagi penulis hal tersebut sangat membantu dalam
penelitian skripsi penulis.
Salah satu kendala bagi penulis pada penelitian skripsi ini adalah lokasi
penelitian yang agak jauh dari tempat tinggal penulis juga Ibu-ibu yang menjadi
informan penulis juga memiliki waktu yang sangat terbatas untuk melakukan
wawancara karena sebagian besar dari mereka adalah perempuan yang bekerja
dan sebagian besar hanya memiliki waktu malam setelah bekerja dari pukul

42

Universitas Sumatera Utara

20.00-22.00 untuk wawancara sehingga penulis tidak mungkin untuk pulang ke
tempat tinggal penulis yang berada di daerah Padang Bulan karena sudah terlalu
larut malam. Namun untungnya penulis bisa menginap di tempat tinggal teman
penulis yaitu Ruth. Kendala lainnya adalah kadang informan akan membatalkan
wawancara karena informan ingin istirahat karena sudah sangat capek sehingga
tidak memungkinkan untuk wawancara dan kadang karena hambatan lain seperti
informan harus melakukan suatu pekerjaan tiba-tiba sehingga wawancara pun
harus dihentikan secara tiba-tiba pula.
Penulis melakukan wawancara setelah informan selesai melakukan
pekerjaannya atau ada pula saat informan sedang bekerja karena saat itulah
informan menginginkan wawancara dilakukan. Wawancara tersebut penulis
lakukan pada pukul 20.00 sampai 22.00. Penulis berperan seperti bukan orang
yang memiliki kepentingan dan membiarkan informan bercerita apa adanya
namun tetap mengikuti panduan wawancara yaitu pertanyaan pedoman yang telah
dibuat sebelumnya agar wawancara tidak lari dari topik. Untuk mendapat data dan
informasi dari informan, penulis menggunakan alat perekam yaitu handphone.
Salah satu kendala bagi penulis pada penelitian skripsi ini adalah lokasi
penelitian yang agak jauh dari tempat tinggal penulis juga Ibu-ibu yang menjadi
informan penulis juga memiliki waktu yang sangat terbatas untuk melakukan